BAB II LANDASAN TEORI
A.
Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned Behavior) Menurut Azwar dalam bukunya berjudul Sikap Manusia dikatakan
bahwa (2013:9) Psikologi memandang perilaku manusia (human behavior) sebagai reaksi yang dapat bersifat sederhana maupun bersifat kompleks, dimana secara kodratinya terdapat bentuk-bentuk perilaku instinktif yang digunakan untuk mempertahankan kehidupannya. Lebih lanjut dikatakan bahwa salah satu karakteristik reaksi perilaku manusia yang menarik adalah pada saat terjadi satu stimulus yang dapat menimbulkan lebih dari satu respon yang berbeda dan beberapa stimulus yang berbeda daoat saja menimbulkan satu respon yang sama. Menurut Kurt Levin seperti dikutip oleh Azwar (2013:10) dalam bukunya dikatakan bahwa perilaku adalah fungsi karakteristik inidividu dan lingkungan, dimana karakteristik individu terdiri dari berbagai variable-variabel seperti motif, nilai-nilai, sifat kepribadian dan sikap yang saling berinteraksi satu sama lain dan kemudian berinteraksi pula dengan faktor-faktor yang mempengaruhi dalam menentukan perilaku. Azwar (2013:12) menuliskan bahwa teori perilaku ini berkembang dan di modifikasi oleh Ajzen menjadi Teori Perilaku Terencana atau sering disebut (Theory Planned Behavior) Dalam Theory of Planned Behavior (TPB) dijelaskan bahwa perilaku yang ditimbulkan oleh individu muncul karena adanya niat untuk berperilaku. Sedangkan menurut Ajzen, munculnya niat untuk berperilaku ditentukan oleh tiga 15
16
faktor (Azwar, 2013:13), yaitu: 1. Behavioral Beliefs Behavioral beliefs merupakan keyakinan individu akan hasil dari suatu perilaku dan evaluasi atas hasil tersebut. 2. Normative Beliefs Normative beliefs yaitu keyakinan tentang harapan normatif orang lain dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut. 3. Control Beliefs Control beliefs merupakan keyakinan tentang keberadaan hal-hal yang mendukung atau menghambat perilaku yang akan ditampilkan dan persepsinya tentang seberapa kuat hal-hal yang mendukung dan menghambat perilakunya tersebut (perceived power). Penelitian tentang kepatuhan pajak telah banyak dilakukan. Penelitian sebelumnya yang menggunakan teori tersebut adalah penelitian Mustikasari (2007). Dikaitkan dengan penelitian ini, Theory of Planned of Behavior relevan untuk
menjelaskan
perilaku
wajib
pajak
dalam
memenuhi
kewajiban
perpajakannya. Sebelum individu melakukan sesuatu, individu tersebut akan memiliki keyakinan mengenai hasil yang akan diperoleh dari perilakunya tersebut. Kemudian melakukannya atau
yang bersangkutan tidak
akan
memutuskan
bahwa
akan
melakukannya. Hal tersebut berkaitan dengan
kesadaran wajib pajak. Wajib pajak yang sadar pajak, akan memiliki keyakinan mengenai pentingnya membayar pajak untuk membantu menyelenggarakan pembangunan negara (behavioral beliefs).
17
Ketika akan melakukan sesuatu, individu akan memiliki keyakinan tentang harapan normatif dari orang lain dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut (normative beliefs). Hal tersebut dapat dikaitkan dengan pelayanan pajak, dimana dengan adanya pelayanan yang baik dari petugas pajak, sistem perpajakan yang efisien dan efektif, serta penyuluhan- penyuluhan pajak yang memberikan motivasi kepada wajib pajak agar taat pajak, akan membuat wajib pajak memiliki keyakinan atau memilih perilaku taat pajak. Sanksi pajak terkait dengan control beliefs. Sanksi pajak dibuat adalah untuk mendukung agar wajib pajak mematuhi peraturan perpajakan. Kepatuhan wajib pajak akan ditentukan berdasarkan persepsi wajib pajak tentang seberapa kuat sanksi pajak mampu mendukung perilaku wajib pajak untuk taat pajak. Seperti dikutip dalam Arum (2012:28) menurut Ajzen (2002:2) dikatakan bahwa Behavioral beliefs, Normative beliefs, dan Control beliefs sebagai tiga faktor yang menentukan seseorang untuk berperilaku. Setelah terdapat tiga faktor tersebut, maka seseorang akan memasuki tahap Intention, kemudian tahap terakhir adalah Behavior. Tahap intention merupakan tahap dimana seseorang memiliki maksud atau niat untuk berperilaku, sedangkan behavior adalah tahap seseorang berperilaku. Demikian pula Arum (2012:28) menjelaskan bahwa kesadaran wajib pajak, pelayanan fiskus, dan sanksi pajak dapat menjadi faktor yang menentukan perilaku patuh pajak. Setelah wajib pajak memiliki kesadaran untuk membayar pajak, termotivasi oleh fiskus dan sanksi pajak, maka wajib pajak akan memiliki niat untuk membayar pajak dan kemudian merealisasikan niat tersebut. Seperti
18
terlihat dalam gambar 2.1 berikut ini :
Sumber: Ajzen,I.(2002). The theory of planned behavior. Organizational Behavior and Human Decision Processes, 50, p. 179-211 Gambar 2.1 Theory of Planned Behavior
Oleh karena itu berdasarkan teori ini akan diteliti lebih lanjut bahwa pemahaman perpajakan dan tingkat pendidikan wajib pajak juga menjadi faktor yang menentukan perilaku patuh pajak. B.
Teori Atribusi (Atribution Theory) Seperti dikutip dalam Robbins dan Judge (2008) dikatakan bahwa teori
atribusi ini pertama kali dikemukakan oleh Harold Kelley (1972) yang merupakan perkembangan dari teori atribusi yang dicetuskan oleh Fritz Heider (1958). Teori ini menjelaskan bahwa ketika individu mengamati perilaku seseorang, individu tersebut berupaya untuk menentukan apakah perilaku tersebut disebabkan secara internal atau eksternal. Perilaku yang disebabkan secara internal merupakan perilaku yang diyakini berada di bawah kendali
19
pribadi seorang individu. Perilaku yang disebabkan secara eksternal merupakan perilaku yang dianggap sebagai akibat dari sebab-sebab luar, yaitu individu tersebut dianggap telah dipaksa berperilaku demikian oleh situasi. Menurut Robbins dan Judge (2008), penentuan apakah perilaku disebabkan secara internal atau eksternal dipengaruhi oleh tiga faktor berikut : 1. Kekhususan Kekhususan merujuk pada apakah seorang individu memperlihatkan perilaku-perilaku yang berbeda dalam situasi-situasi yang berbeda. Apabila perilaku dianggap biasa maka perilaku tersebut disebabkan secara internal. Sebaliknya, apabila perilaku dianggap tidak biasa maka perilaku tersebut disebabkan secara eksternal. 2. Konsensus Konsensus merujuk pada apakah semua individu yang menghadapi situasi yang serupa merespon dengan cara yang sama. Apabila konsensus rendah, maka perilaku tersebut disebabkan secara internal. Sebaliknya, apabila konsensus tinggi maka perilaku tersebut disebabkan secara eksternal. 3. Konsistensi Konsistensi merujuk pada apakah individu selalu merespons dalam cara yang sama. Semakin konsisten perilaku, maka perilaku tersebut disebabkan secara internal. Sebaliknya, semakin tidak konsisten perilaku, maka perilaku tersebut disebabkan secara eksternal. Teori atribusi relevan untuk menjelaskan faktor-faktor yang dapat
20
mempengaruhi kepatuhan wajib pajak yang digunakan dalam model penelitian ini. Kepatuhan wajib pajak dapat dikaitkan dengan sikap wajib pajak dalam membuat penilaian terhadap pajak itu sendiri. Persepsi seseorang untuk membuat penilaian mengenai orang lain sangat dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal orang lain tersebut (Jatmiko, 2006). C.
Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning Theory) Teori pembelajaran sosial dikemukakan oleh Albert Bandura (1977).
Teori ini menjelaskan bahwa seseorang dapat belajar lewat pengamatan dan pengalaman langsung (Robbins dan Judge, 2008). Pengaruh model-model adalah sentral pada sudut pandang pembelajaran sosial. Proses dalam pembelajaran sosial untuk menentukan pengaruh model pada seorang individu meliputi : 1.
Proses perhatian (attentional) Proses perhatian yaitu orang hanya akan belajar dari seseorang atau model, jika mereka telah mengenal dan menaruh perhatian pada orang atau model tersebut. Contoh seseorang yang tidak patuh pajak akan belajar mematuhi perpajakan jika pegawai pajak telah melakukan pengelolaan perpajakan sebagaimana mestinya.
2. Proses penahanan (retention) Proses penahanan adalah proses mengingat tindakan suatu model setelah model tidak lagi tersedia. Contoh seseorang mematuhi perpajakan dengan cara mengingat bahwa fasilitas Negara yang didapat adalah hasil pengelolaan pajak yang baik.
21
3. Proses reproduksi motorik Proses reproduksi motorik adalah proses mengubah pengamatan menjadi perbuatan. Contoh seseorang akan patuh terhadap pajak jika masyarakat di sekitarnya telah sadar serta memenuhi kewajiban perpajakannya. 4. Proses penguatan (reinforcement) Proses penguatan adalah proses yang mana individu-individu disediakan rangsangan positif supaya berperilaku sesuai dengan model. Contoh dengan penyuluhan dan pelayanan pajak yang baik, diharapkan mampu merangsang individu-individu untuk berperilaku terhadap perpajakan. Teori pembelajaran sosial ini relevan untuk menjelaskan perilaku Wajib Pajak dalam memenuhi kewajibannya membayar pajak (Jatmiko, 2006). Seseorang akan taat membayar pajak tepat pada waktunya jika melalui pengamatan dan pengalaman langsungnya, uang pajak yang mereka bayarkan telah memberikan kontribusi nyata
pada
pembangunan
di
wilayahnya.
Penelitian dibidang perpajakan yang menggunakan dasar teori pembelajaran sosial salah satunya adalah penelitian Jatmiko (2006). D.
Kepatuhan Pajak (Tax Compliance) Kepatuhan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), berarti
tunduk atau patuh pada ajaran atau aturan. Jatmiko (2006) menyatakan bahwa menurut Gibson (1991), kepatuhan adalah motivasi seseorang, kelompok atau organisasi untuk berbuat atau tidak berbuat sesuai dengan aturan yang
22
ditetapkan.
Dalam
pajak,
aturan yang berlaku adalah Undang-Undang
Perpajakan. Jadi, kepatuhan pajak merupakan kepatuhan seseorang, dalam hal ini adalah wajib pajak, terhadap peraturan atau Undang-Undang Perpajakan. Gunadi (2008) mengutip Simon James et al (n.d.) yaitu pengertian kepatuhan pajak (tax compliance) adalah wajib pajak mempunyai kesediaan untuk memenuhi kewajiban pajaknya sesuai dengan aturan yang berlaku tanpa perlu diadakannya pemeriksaan, investigasi seksama, peringatan ataupun ancaman, dalam penerapan sanksi baik hukum maupun administrasi. Menurut Nurmantu (2008:148) definisi kepatuhan perpajakan sebagai suatu keadaan dimana wajib pajak
memenuhi
semua
kewajiban
perpajakan
dan
melaksanakan
hak
perpajakannya. Lebih lanjut Nurmantu (2008:149) mengatakan bahwa kepatuhan terdiri dua macam, yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan material. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan di mana wajib pajak memenuhi kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang perpajakan. Wajib pajak yang memenuhi kepatuhan formal adalah wajib pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan sebelum batas waktu. Kepatuhan material adalah suatu keadaan di mana wajib pajak memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai dengan isi dan jiwa undang-undang perpajakan. Kepatuhan material dapat juga meliputi kepatuhan formal. Wajib pajak yang memenuhi kepatuhan material adalah wajib pajak yang mengisi SPT dengan benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan ketentuan undang-undang serta menyampaikannya sebelum batas waktu.
23
Kriteria
wajib
pajak
patuh
(kumpulan
peraturan
perpajakan,
www.pajak.go.id), menurut Direktur Jenderal Pajak berdasarkan Surat Edaran Nomor SE-02/PJ/2008 Tentang Tata Cara Penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu
sebagai
turunan
dari
Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor
192/PMK.03/2007. Dalam Surat Edaran tersebut disebutkan bahwa Wajib Pajak Patuh adalah wajib pajak yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai wajib pajak yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2007 Tentang Tata Cara Penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu Dalam Rangka Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak. Kriteria tertentu dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2007 adalah : 1.
Tepat waktu penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) dalam 3 tahun terakhir.
2.
Penyampaian SPT Masa yang terlambat dalam tahun terakhir untuk Masa Pajak dari Januari sampai Nopember tidak lebih dari 3 masa pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut.
3.
SPT Masa yang terlambat sepert dimaksud dalam huruf b telah disampaikan tidak lewat batas waktu penyampaian SPT Masa untuk masa pajak berikutnya.
4.
Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak, meliputi keadaan pada tanggal 31 Desember tahun sebelum penetapan sebagai Wajib Pajak Patuh dan tidak
24
termasuk utang pajak yang belum melewati batas akhir pelunasan. 5.
Laporan keuangan diaudit oleh akuntan publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat wajar tanpa pengecualian selama tiga tahun berturut-turut dengan ketentuan disusun dalam bentuk panjang (long form report) dan menyajikan rekonsiliasi laba rugi komersial dan fiskal bagi Wajib Pajak yang menyampaikan SPT Tahunan dan juga pendapat akuntan atas laporan keuangan yang diaudit ditandatangani oleh akuntan publik yang tidak dalam pembinaan lembaga pemerintah pengawas akuntan publik.
6.
Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasar pada putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 tahun terakhir.
E.
Pemahaman Wajib Pajak Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), pemahaman dapat
diartikan sebagai proses, perbuatan, cara memahami atau memahamkan. Wajib pajak yang tidak memahami peraturan perpajakan secara jelas cenderung akan menjadi wajib pajak yang tidak taat. Jelas bahwa semakin paham wajib pajak terhadap peraturan perpajakan, maka semakin paham pula wajib pajak terhadap sanksi yang akan diterima bila melalaikan kewajiban perpajakan mereka. Sementara pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut Soemitro, seperti dikutip oleh Ilyas dan Burton (2011:6) merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga
25
negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan. Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus berdasarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak. Setiap akhir tahun para wajib pajak disibukkan dengan pengisian SPT tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan dan melaporkannya paling lambat tanggal 30 April serta kekurangan setoran PPh Pasal 29 dibayar paling lambat tanggal 25 Maret. Demikian pula dengan SPT tahunan Pajak Penghasian Wajib Pajak Orang Pribadi yang harus dilaporkan paling lambat tanggal 30 Maret serta kekurangan setoran PPh Pasal 21/25/29 dibayar paling lambat 25 Februari. Meskipun pengisian SPT sudah menjadi hal rutin yang dilakukan oleh Wajib Pajak, tetapi masih terdapat berbagai hal yang terasa sulit dalam pengisiannya sehingga sering terjadi kesalahan-kesalahan. Untuk memperkecil bahkan menghilangkan kesalahan-kesalahan tersebut, berbagai kegiatan dan program telah dilakukan di antaranya pendekatan penyuluhan dan sosialisasi pajak yang juga berguna untuk menciptakan masyarakat patuh pajak. Tidak mudah untuk meningkatkan kepatuhan pajak pada saat ini, diperlukan adanya kepercayaan masyarakat, baik terhadap integritas administrasi perpajakan maupun sistem perpajakan sebagai sarana untuk mensejahterakan masyarakat. Selain itu, pemerintah juga harus dapat secara nyata membuktikan dan bila memang terbukti bahwa dana pajak telah terdistribusi dengan baik untuk
26
meningkatkan pembangunan dan memperbaiki kesejahteraan secara luas akibat kontribusi tidak langsung dari uang pajak (Rahayu, 2010:29). Jika yang terdengar masih seputar isu mengenai kebocoran-kebocoran keuangan negara, terutama dana dari pajak, tentu sulit untuk meyakinkan masyarkat untuk mau patuh dalam membayar pajak. Menurut Prasetyo (2006) dalam Artikel Ilmiahnya pada Jurnal Perpajakan Indonesia mengemukakan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) harus memastikan target penerimaan pajak dapat tercapai bila perlu Gijzeling „hukuman badan‟ bagi wajib pajak yang tidak patuh pajak. Selain itu diperlukan reformasi administrasi perpajakan yang meliputi prosedur, tata cara atau proses pemajakan, fungsi, sistem, dan kelembagaan. Wajib pajak yang tidak memahami peraturan perpajakan secara jelas cenderung akan menjadi wajib pajak yang tidak taat. Jelas bahwa semakin paham wajib pajak terhadap peraturan perpajakan, maka semakin paham pula wajib pajak terhadap sanksi yang akan diterima bila melalaikan kewajiban perpajakan mereka. Pada Harian Kedaulatan Rakyat, 4 Agustus 2001 (dalam Prasetyo, 2006) menyatakan bahwa pemahaman peraturan perpajakan sangat kecil. Setiap wajib pajak yang telah memahami peraturan perpajakan sangat baik, biasanya akan melakukan aturan perpajakan yang ada sesuai dengan apa yang tercantum di dalam peraturan yang ada. Mungkin semua yang dilakukan DJP adalah sebuah metode pencapaian target pajak dengan penyadaran pajak melalui penyuluhan dan dengan terpaksa diikuti dengan law inforcement bagi setiap penyelenggaranya.
27
Penyuluhan
pajak
yang
efektif
menjadi
ujung
tombak
DJP
untuk
memasyarakatkan pajak dan meningkatkan kepatuhan pajak. Menurut Masruroh (2013) dijelaskan bahwa Sistem self assessment menuntut adanya peran aktif masyarakat dalam pemenuhan kewajiban perpajakan. Wajib pajak yang telah memiliki NPWP diharapkan akan menjadi wajib pajak yang aktif dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Sesuai dengan sistem self assessment yang dianut di Indonesia, wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayarnya. Kewajiban perpajakan tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang- undangan perpajakan yang berlaku. Oleh karena itu, wajib pajak harus memiliki pemahaman yang baik tentang peraturan perpajakan yang berlaku dalam rangka memenuhi kewajiban perpajakan tersebut. Sebagaimana dikutip oleh Nugroho (2012) dalam Resmi (2009) mengatakan bahwa pengetahuan dan pemahaman akan peraturan perpajakan adalah proses dimana wajib pajak mengetahui tentang perpajakan dan mengaplikasikan pengetahuan itu untuk membayar pajak. Pengetahuan dan pemahaman pertaturan perpajakan yang dimaksud mengerti dan paham tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan yang meliputi tentang bagaimana cara menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT), pembayaran, tempat pembayaran, denda dan batas waktu pembayaran atau pelaporan SPT. Ekawati dan Radianto (2008) dalam Jurnal Teknologi & Manajemen Informatika dalam judul Survey Pemahaman dan Kepatuhan Wajib Pajak Usaha
28
Kecil dan Menengah mengemukakan pendapat bahwa kesadaran dan kedisiplinan dari masyarakat sangat diperlukan untuk memahami dan mematuhi kewajiban perpajakan. Semua ketentuan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat dilakukan dengan baik oleh wajib pajak apabila wajib pajak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai keempat hal berikut : 1.
Pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) secara benar, sehingga wajib pajak harus memiliki pemahaman yang cukup mengenai pengisian SPT.
2.
Penghitungan pajak sesuai dengan pajak terutang yang ditanggung oleh wajib pajak, sehingga wajib pajak harus memiliki pemahaman yang cukup dalam menghitung pajak terutang yang ditanggung oleh wajib pajak.
3.
Penyetoran pajak (pembayaran) secara tepat waktu sesuai yang ditentukan, sehingga wajib pajak harus mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai hal-hal yang berhubungan dengan penyetoran pajak.
4.
Pelaporan atas pajaknya ke kantor pajak setempat oleh wajib pajak.
Pemenuhan kewajiban perpajakan akan terlaksana dengan baik jika didukung dengan pemahaman wajib pajak yang baik mengenai peraturan perpajakan. Pemahaman tersebut akan memudahkan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. Wajib pajak yang tidak memahami peraturan perpajakan secara jelas akan cenderung menjadi wajib pajak yang tidak patuh (Hardiningsih,2011).
29
Demikian pula sebaliknya, semakin wajib pajak paham mengenai peraturan perpajakan, maka wajib pajak akan cenderung menjadi wajib pajak yang patuh. Hal ini yang menjadi dasar adanya dugaan bahwa pemahaman wajib pajak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak. Penggunaan variabel pemahaman peraturan perpajakan ini didukung dengan hasil penelitian Widayati dan Nurlis (2010), Rajif (2012), dan Nugroho (2012) juga menunjukkan bahwa pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan perpajakan berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak. F.
Kesadaran Perpajakan Kesadaran merupakan unsur dalam diri manusia untuk memahami
realitas dan bagaimana mereka bertindak atau bersikap terhadap realitas. Jatmiko (2006) menjelaskan bahwa kesadaran adalah keadaan mengetahui atau mengerti. Irianto (2005) dalam Widayati dan Nurlis (2010) menguraikan beberapa bentuk kesadaran membayar pajak yang mendorong wajib pajak untuk membayar pajak. Pertama, kesadaran bahwa pajak merupakan bentuk partisipasi dalam menunjang pembangunan negara. Dengan menyadari hal ini, wajib pajak mau membayar pajak karena merasa tidak dirugikan dari pemungutan pajak yang dilakukan. Kedua, kesadaran bahwa penundaan pembayaran pajak dan pengurangan beban pajak sangat merugikan negara. Wajib pajak mau membayar pajak karena memahami bahwa penundaan pembayaran pajak dan pengurangan beban pajak berdampak pada kurangnya sumber daya finansial yang dapat mengakibatkan terhambatnya pembangunan negara. Ketiga, kesadaran bahwa pajak ditetapkan dengan Undang-undang dan dapat dipaksakan. Wajib pajak akan
30
membayar karena pembayaran pajak disadari memiliki landasan hukum yang kuat dan merupakan kewajiban mutlak setiap warga negara. Dalam Jatmiko (2006), Sumarso (1998) menyatakan bahwa kesadaran perpajakan masyarakat yang rendah seringkali menjadi salah satu
sebab
banyaknya potensi pajak yang tidak dapat dijaring. Masih dalam Jatmiko (2006), Larche (1980) juga mengemukakan bahwa kesadaran perpajakan seringkali menjadi kendala dalam masalah pengumpulan pajak dari masyarakat. Secara empiris juga telah dibuktikan bahwa makin tinggi kesadaraan perpajakan wajib pajak maka akan makin tinggi tingkat kepatuhan wajib pajak (Suyatmin, 2004 dalam Jatmiko, 2006). G.
Pelayanan Fiskus Pelayanan adalah cara melayani (membantu mengurus atau menyiapkan
segala kebutuhan yang diperlukan seseorang). Sementara itu, fiskus merupakan petugas pajak. Jadi, pelayanan fiskus dapat diartikan sebagai cara petugas pajak dalam membantu, mengurus, atau menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan seseorang yang dalam hal ini adalah wajib pajak (Jatmiko, 2006). Kegiatan yang dilakukan otoritas pajak dengan menyapa masyarakat agar menyampaikan SPT tepat waktu, termasuk penyuluhan secara kontinyu melalui berbagai media, serta pawai peduli NPWP di jalan, patut untuk dipuji. Dengan penyuluhan secara terus-menerus kepada masyarakat agar mengetahui, mengakui, menghargai, dan menaati ketentuan pajak, diharapkan tujuan penerimaan pajak bisa berhasil. Ilyas dan Burton (2011) menjelaskan bahwa meskipun kampanye dan
31
penyuluhan perpajakan telah dilaksanakan Ditjen Pajak, cara yang dirasa paling baik untuk bisa mengubah sikap masyarakat yang masih kontra dan belum memahami pentingnya membayar pajak, dan akhirnya mau mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP adalah melalui pelayanan. Masih dalam Ilyas dan Burton (2011), dijelaskan bahwa sikap atau pelayanan fiskus yang baiklah yang harus diberikan kepada seluruh wajib pajak, karena dalam membayar pajak seseorang tidak mempunyai kontraprestasi yang langsung. Jika dalam dunia perdagangan ada ungkapan “Pembeli adalah Raja”, maka ungkapan “Wajib Pajak adalah Raja” juga perlu dimasyarakatkan, sehingga wajib pajak bersemangat dalam membayar pajak. Dalam
hal untuk mengetahui bagaimana pelayanan terbaik yang
seharusnya dilakukan oleh fiskus kepada wajib pajak, diperlukan juga pemahaman mengenai hak dan kewajiban sebagai fiskus. Kewajiban fiskus yang diatur dalam UU Perpajakan adalah: 1.
Kewajiban untuk membina wajib pajak
2.
Kewajiban menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
3.
Kewajiban merahasiakan data wajib pajak
4.
Kewajiban melaksanakan Putusan
Sementara itu, terdapat pula hak-hak fiskus yang diatur dalam UU Perpajakan, antara lain: 1. Hak menerbitkan NPWP atau NPPKP secara jabatan 2. Hak menerbitkan surat ketetapan pajak 3. Hak menerbitkan Surat Paksa dan Surat Perintah Melaksanakan
32
Penyitaan 4. Hak melakukan pemeriksaan dan penyegelan 5. Hak menghapuskan atau mengurangi sanksi administrasi 6. Hak melakukan penyidikan 7. Hak melakukan pencegahan 8. Hak melakukan penyanderaan Pelayanan adalah suatu proses bantuan kepada orang lain dengan caracara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan interpersonal agar tercipta kepuasan dan keberhasilan (Boediono, 2003 dalam Supadmi, 2009). Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik Pasal 1 dijelaskan bahwa : “Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa,
dan/atau
pelayanan
administratif
yang
disediakan
oleh
penyelenggara pelayanan publik.” Pelayanan pada sektor perpajakan dapat diartikan sebagai pelayanan yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada wajib pajak untuk membantu wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakannya (Fuadi, 2013). Pelayanan yang berkualitas menurut Supadmi (2009) adalah pelayanan yang dapat memberikan kepuasan kepada wajib pajak dan tetap dalam batas memenuhi standar pelayanan yang dapat dipertangungjawabkan serta harus dilakukan secara terus-menerus.
33
Kualitas adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pihak yang menginginkannya. Dengan demikian, kualitas yang dimaksud di sini adalah kondisi dinamis yang dapat menghasilkan : 1. Produk yang memenuhi atau melebihi harapan wajib pajak. 2. Jasa yang memenuhi atau melebihi harapan wajib pajak. 3. Suatu proses yang memenuhi atau melebihi harapan wajib pajak. 4. Lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan wajib pajak. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-84/PJ/2011 Tentang Pelayanan Prima menjelaskan bahwa : “Pelayanan yang baik adalah sentra dan indikator utama dalam membangun citra Direktorat Jenderal Pajak, sehingga kualitas pelayanan harus terus menerus ditingkatkan dalam rangka mewujudkan harapan dan membangun kepercayaan seluruh stakeholder perpajakan terhadap Direktorat Jenderal Pajak.” Peningkatan kepuasan wajib pajak dan seluruh stakeholder perpajakan menjadi salah satu sasaran strategis Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka mewujudkan tingkat kepercayaan masyarakat yang tinggi terhadap pelayanan perpajakan. Salah satu upaya untuk mencapai tingkat kepuasan yang tinggi atas pelayanan perpajakan adalah dengan meningkatkan kualitas pelayanan kepada wajib pajak. Hal ini diwujudkan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-84/PJ/2011 Tentang Pelayanan Prima yang menjadi pedoman bagi aparat pajak dalam melaksanakan pelayanan kepada wajib pajak.
34
Pelayanan Prima Direktorat Jenderal Pajak secara tidak langsung akan dapat menamankan citra positif. Konsep pelayanan prima yang merupakan pelayanan ideal, yang mengadopsi pelayanan terbaik dan universal yang telah disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan Direktorat Jenderal Pajak. Disadari sepenuhnya bahwa proses tersebut tidak memberikan hasil dalam waktu singkat, namun demikian diharapkan kepatuhan sukarela akan terbentuk, dengan sinergi dalam pelayanan dan kehumasan dan ditambah komunikasi internal dan eksternal, diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada Direktorat Jenderal Pajak (http://www.pajak.go.id). Parasuraman et al. (1988, dalam Tjiptono, 2005) mengemukakan bahwa terdapat lima dimensi yang digunakan untuk menilai kualitas pelayanan, yaitu : 1.
Kehandalan (Reliability) Kehandalan berkaitan dengan kemampuan aparat pajak untuk memberikan pelayanan yang akurat sejak pertama kali tanpa membuat kesalahan apapun dan menyampaikan pelayanan sesuai dengan waktu yang disepakati.
2.
Daya Tanggap (Responsiveness) Daya tanggap berkenaan dengan kesediaan dan kemampuan aparat pajak untuk membantu wajib pajak dan merespon permintaan mereka, serta menginformasikan kapan pelayanan akan diberikan dan kemudian memberikan pelayanan secara cepat.
35
3.
Jaminan (Assurance) Jaminan yaitu perilaku aparat pajak mampu menumbuhkan kepercayaan dan menciptakan rasa aman bagi wajib pajak. Jaminan juga berarti bahwa aparat pajak selalu bersikap sopan dan menguasai pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan untuk menangani setiap pertanyaan atau masalah wajib pajak.
4.
Empati (Emphaty) Empati berarti aparat pajak memahami masalah wajib pajak dan bertindak demi kepentingan wajib pajak, serta memberikan perhatian personal kepada wajib pajak dan memiliki jam operasi yang nyaman.
5.
Bukti Fisik (Tangibles) Bukti fisik berkenaan dengan daya tarik fasilitas fisik, perlengkapan, dan material yang digunakan aparat pajak, serta penampilan aparat pajak.
Kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya membayar pajak berhubungan erat dengan kualitas pelayanan terbaik yang diberikan aparat pajak kepada wajib pajak. Apabila pelayanan yang diberikan oleh aparat pajak tidak memenuhi atau melebihi harapan wajib pajak, berarti pelayanan yang diberikan tidak berkualitas. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kualitas pelayanan pajak yang diberikan oleh aparat pajak diduga akan berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak. Oleh karena itu, kualitas pelayanan digunakan sebagai variabel independen dalam penelitian ini. Pelayanan yang berkualitas akan memberikan kepuasan kepada wajib pajak sehingga akan menjadi patuh dalam
36
memenuhi kewajibannya kembali. Semakin baik kualitas pelayanan yang diberikan oleh aparat pajak maka semakin tinggi tingkat kepatuhan wajib pajak. Beberapa temuan empiris seperti penelitian Arum (2012), Rajif (2012), dan Fuadi (2013) menunjukkan bahwa kualitas pelayanan berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak. H.
Sanksi Pajak Sanksi adalah suatu tindakan berupa hukuman yang diberikan kepada
orang yang melanggar peraturan. Peraturan atau undang-undang merupakan rambu- rambu bagi seseorang untuk melakukan sesuatu mengenai apa yang harus dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan. Sanksi diperlukan agar peraturan atau undang-undang tidak dilanggar (Arum, 2012). Sanksi dalam perpajakan menjadi penting karena pemerintah lndonesia memilih menerapkan self
assessment system dalam rangka pelaksanaan
pemungutan pajak. Pemerintah telah menyiapkan rambu-rambu yang diatur dalam Undang-Undang Perpajakan yang berlaku agar pelaksanaan pemungutan pajak dapat tertib dan sesuai dengan target yang diharapkan. Apabila kewajiban perpajakan tidak dilaksanakan, maka ada konsekuensi hukum yang bisa terjadi karena pajak mengandung unsur pemaksaan. Konsekuensi hukum tersebut adalah pengenaan sanksi-sanksi perpajakan. Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan disebutkan bahwa ada dua macam sanksi, yaitu: 1. Sanksi administrasi yang terdiri dari : a. Sanksi administrasi berupa denda.
37
b. Sanksi administrasi berupa bunga. c. Sanksi administrasi berupa kenaikan. 2. Sanksi pidana yang terdiri dari : a. Pidana kurungan. b. Pidana penjara. Muliari dan Setiawan (2010) menjelaskan bahwa sanksi perpajakan merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (norma perpajakan) akan dituruti/ditaati/dipatuhi, dengan kata lain sanksi perpajakan merupakan alat pencegah agar wajib pajak tidak melanggar norma perpajakan. Pandangan tentang sanksi perpajakan tersebut diukur dengan indikator sebagai berikut: 1. Sanksi pidana yang dikenakan bagi pelanggar aturan pajak cukup berat. 2. Sanksi adminstrasi yang dikenakan bagi pelanggar aturan pajak sangat ringan. 3. Pengenaan sanksi yang cukup berat merupakan salah satu sarana mendidik wajib pajak. 4. Sanksi pajak harus dikenakan kepada pelanggarnya tanpa toleransi. 5. Pengenaan sanksi atas pelanggaran pajak dapat dinegosiasikan. Ilyas dan Burton (2011, dalam Arum, 2012) menyebutkan bahwa terdapat empat hal yang diharapkan atau dituntut dari wajib pajak apabila dikaitkan dengan Undang-Undang Perpajakan yang berlaku, yaitu : 1. Dituntut kepatuhan (compliance) wajib pajak dalam membayar
38
pajak yang dilaksanakan dengan kesadaran penuh. 2. Dituntut tanggung jawab (responsibility) wajib pajak dalam menyampaikan atau memasukan Surat Pemberitahuan tepat waktu sesuai Pasal 3 Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983. 3. Dituntut kejujuran (honesty) wajib pajak dalam mengisi Surat Pemberitahuan sesuai dengan keadaan sebenarnya. 4. Memberikan sanksi (law enforcement) yang lebih berat kepada wajib pajak yang tidak taat pada ketentuan yang berlaku. Ilyas dan Burton (2011) berpendapat dalam Arum (2012) bahwa pemberian sanksi (law enforcement) tanpa pandang bulu dan dilaksanakan secara konsekuen merupakan cara yang paling efektif dari keempat hal di atas. Wajib pajak akan patuh membayar pajak bila memandang sanksi perpajakan akan lebih banyak merugikannya (Jatmiko, 2006). Namun, sekarang ini banyak wajib pajak yang menganggap remeh sanksi perpajakan. Wajib pajak berfikir bahwa sanksi perpajakan yang dikenakan tidaklah menakutkan. Wajib pajak bahkan tidak segan untuk menyuap aparat pajak agar dapat terbebas dari sanksi. Pengenaan sanksi perpajakan bertujuan untuk menciptakan kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Beberapa hasil penelitian yang dilakukan seperti Jatmiko (2006), Muliari dan Setiawan (2010), dan Arum (2012) mengenai sanksi perpajakan menunjukkan bahwa sanksi perpajakan berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak. Semakin tinggi atau beratnya sanksi, maka akan semakin merugikan wajib pajak. Oleh sebab itu, sanksi perpajakan diduga akan berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak.
39
I.
Penelitian Terdahulu Arum (2012) melakukan penelitian yang bertujuan untuk menganalisis
pengaruh kesadaran wajib pajak, pelayanan fiskus, dan sanksi pajak terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan pekerjaan bebas. Penelitian ini menggunakan kesadaran wajib pajak, pelayanan fiskus, dan sanksi pajak sebagai variabel independen dan kepatuhan wajib pajak sebagai variabel dependen. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis regresi berganda. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, penelitian Arum (2012) menunjukkan bahwa kesadaran wajib pajak, pelayanan fiskus, dan sanksi pajak memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak. Penelitian Nugroho (2012) bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi
kemauan
untuk
membayar
pajak.
Penelitian
ini
menggunakan kesadaran wajib pajak, pelayanan fiskus, dan sanksi pajak sebagai variabel independen dan kepatuhan wajib pajak sebagai variabel dependen. Variabel independen dalam penelitian ini antara lain pengetahuan dan pemahaman akan peraturan perpajakan, pelayanan fiskus yang berkualitas, dan persepsi atas efektifitas sistem perpajakan.
Kesadaran
membayar pajak
merupakan variabel intervening dan kemauan membayar pajak merupakan variabel dependen. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis regresi berganda. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, penelitian Nugroho (2012) menunjukkan bahwa pengetahuan dan
40
pemahaman akan peraturan perpajakan, pelayanan fiskus yang berkualitas, dan persepsi atas efektifitas sistem perpajakan berpengaruh postif terhadap kesadaran membayar pajak, demikian pula dengan kesadaran membayar pajak berpengaruh positif terhadap kemauan membayar pajak. Penelitian yang dilakukan Putri (2012) menguji tentang pengaruh pemahaman wajib pajak, manfaat yang dirasakan wajib pajak, kepercayaan terhadap aparat pajak, dan sosialisasi pajak terhadap kepatuhan pemilik UMKM dalam memiliki NPWP. Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik analisis regresi berganda. Variabel independen yang digunakan adalah pengaruh pemahaman wajib pajak, manfaat yang dirasakan wajib pajak, kepercayaan terhadap aparat pajak, dan sosialisasi pajak. Variabel dependen yang digunakan adalah kepatuhan pemilik UMKM dalam memiliki NPWP. Hasil penelitian Putri (2012) menunjukkan bahwa pemahaman Wajib Pajak, manfaat yang dirasakan Wajib Pajak, kepercayaan terhadap aparat pajak dan sosialisasi pajak berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan pemilik UMKM dalam memiliki NPWP. Penelitian Masruroh (2013) bertujuan untuk mengetahui pengaruh kemanfaatan NPWP, pemahaman wajib pajak, kualitas pelayanan, dan sanksi perpajakan terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi di Kabupaten Tegal. Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik analisis regresi berganda. Variabel independen yang digunakan adalah kemanfaatan NPWP, pemahaman wajib pajak, kualitas pelayanan, dan sanksi perpajakan, sedangkan variabel dependen yang digunakan adalah kepatuhan wajib pajak orang pribadi. Hasil
41
penelitian
Masruroh
(2013)
menunjukkan
bahwa
kemanfaatan
NPWP,
pemahaman wajib pajak, kualitas pelayanan, dan sanksi perpajakan secara simultan berpengaruh positif signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi. Penelitian Fuadi (2013) bertujuan untuk mengetahui pengaruh kualitas pelayanan petugas pajak, sanksi perpajakan dan biaya kepatuhan pajak terhadap kepatuhan wajib pajak UMKM di Jawa Timur. Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik analisis regresi berganda. Variabel independen yang digunakan adalah kualitas pelayanan petugas pajak, sanksi perpajakan dan biaya kepatuhan pajak, sedangkan variabel dependen yang digunakan adalah kepatuhan wajib pajak UMKM. Hasil penelitian Fuadi (2013) menunjukkan bahwa kualitas pelayanan petugas pajak, sanksi perpajakan dan biaya kepatuhan secara simultan berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak UMKM. Ringkasan penelitian-penelitian terdahulu mengenai kepatuhan wajib pajak tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini.
42
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu No
Peneliti (Tahun)
1
Arum (2012)
Variabel yang Digunakan Variabel independen: Kesadaran wajib pajak, pelayanan fiskus, dan sanksi pajak
Alat Analisis
Hasil Penelitian
Analisis regresi berganda
Kesadaran wajib pajak, pelayanan fiskus, dan sanksi pajak memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak
Analisis regresi berganda
(1) Pengetahuan dan pemahaman akan peraturan perpajakan, pelayanan fiskus yang berkualitas, dan persepsi atas efektifitas sistem perpajakan berpengaruh postif terhadap kesadaran membayar pajak, (2) Kesadaran membayar pajak berpengaruh positif terhadap kemauan membayar pajak
Analisis regresi berganda
Pemahaman Wajib Pajak, manfaat yang dirasakan Wajib Pajak, kepercayaan terhadap aparat pajak dan sosialisasi pajak berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan pemilik UMKM dalam memiliki NPWP
Analisis regresi logistik
kemanfaatan NPWP, pemahaman wajib pajak, kualitas pelayanan, dan sanksi perpajakan berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak OP
Analisis regresi berganda
Kualitas pelayanan petugas, sanksi perpajakan dan biaya kepatuhan pajak berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak UMKM
Variabel dependen: Kepatuhan wajib pajak 2
Nugroho (2012)
Variabel independen: pengetahuan dan pemahaman akan peraturan perpajakan, pelayanan fiskus yang berkualitas, dan persepsi atas efektifitas sistem perpajakan Variabel intervening: kesadaran membayar pajak Variabel dependen: kemauan membayar pajak
3
Putri (2012)
Variabel independen: pemahaman Wajib Pajak, manfaat yang dirasakan Wajib Pajak, kepercayaan terhadap aparat pajak dan sosialisasi pajak Variabel dependen: kepatuhan pemilik UMKM dalam memiliki NPWP
4
5
Masruroh (2013)
Fuadi (2013)
Variabel independen: kemanfaatan NPWP, pemahaman wajib pajak, kualitas pelayanan, dan sanksi perpajakan Variabel dependen: Kepatuhan wajib pajak UMKM Variabel independen: Kualitas pelayanan petugas pajak, sanksi perpajakan dan biaya kepatuhan pajak Variabel dependen: Kepatuhan wajib pajak UMKM
43
J.
KERANGKA PEMIKIRAN Berdasarkan hal tersebut diatas maka wajib pajak akan berperilaku patuh
dalam melaksanakan kewajiban perpajakan apabila wajib pajak mendapatkan pemahaman yang baik mengenai peraturan perpajakan, memiliki kesadaran perpajakan, tingkat pendidikan Wajib Pajak, kualitas petugas pajak dalam memberikan pelayanan pajak kepada Wajib Pajak dan penetapan sanksi pajak secara tegas dan tepat oleh Direktorat Jenderal Pajak. Oleh karena itu, berdasarkan penjabaran tersebut diatas maka disusun kerangka pemikiran sebagai berikut :
Pemahaman Wajib Pajak
H1 (+)
Kesadaran Perpajakan
H2 (+) Kepatuhan Wajib Pajak OP
Pelayanan Fiskus
H3 (+)
Sanksi Pajak
H4 (+)
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran
K.
HIPOTESIS
1.
Pengaruh Pemahaman Wajib Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib
Pajak Kemampuan Pemahaman Wajib Pajak dipengaruhi dua teori diatas, yaitu Teori Atribusi, dimana pemahaman wajib pajak tentang ketentuan dan peraturan perpajakan merupakan penyebab internal yang dapat mempengaruhi persepsi dari wajib pajak dalam membuat keputusan mengenai perilakunya untuk patuh dalam
44
menjalankan kewajiban perpajakannya. Kemudian Teori Pembelajaran Sosial mengajarkan kepada wajib pajak melalui pengamatan dan pengalaman langsung mengenai tugas dan peran wajib pajak dalam memahami tentang ketentuan dan peraturan perpajakan sebagai salah satu cara memenuhi kewajiban perpajakannya. Kewajiban utama dari wajib pajak adalah mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP kemudian setelah itu wajib pajak melakukan dan menjalankan kewajiban untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang. Semua kewajiban perpajakan tersebut dijalankan sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Oleh karena itu, pelaksanaan kewajiban perpajakan akan berlangsung dengan baik apabila wajib pajak memiliki pemahaman berdasarkan pengalaman yang baik mengenai peraturan perpajakan yang berlaku. Seperti dikutip oleh Masruroh (2013) dalam Hardiningsih (2011) mengatakan bahwa wajib pajak yang tidak memahami peraturan perpajakan secara jelas akan cenderung menjadi wajib pajak yang tidak patuh sehingga hal ini menjadi dasar asumsi bahwa pemahaman wajib pajak terhadap peraturan perpajakan berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak. Semakin tinggi tingkat pemahaman wajib pajak mengenai peraturan perpajakan maka kepatuhan wajib pajak juga akan meningkat. Berdasarkan hasil penelitian Widayati dan Nurlis (2010), Rajif (2012) dan Nugroho (2012) menunjukkan bahwa pengetahuan dan pemahaman peraturan perpajakan berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak. Berdasarkan penjabaran di atas, maka diajukan hipotesis pertama sebagai berikut:
45
H1 : Pemahaman wajib pajak tentang peraturan perpajakan berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak 2.
Pengaruh Kesadaran Wajib Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Kesadaran Wajib Pajak dipengaruhi dua teori diatas, yaitu Teori Atribusi,
dimana kesadaran wajib pajak dalam mengetahui, memahami dan melaksanakan ketentuan perpajakan dengan benar dan sukarela merupakan penyebab internal yang dapat mempengaruhi persepsi dari wajib pajak dalam membuat keputusan mengenai perilakunya untuk patuh dalam menjalankan kewajiban perpajakannya. Kemudian Teori Pembelajaran Sosial mengajarkan kepada wajib pajak melalui pengamatan dan pengalaman langsung mengenai tugas dan peran wajib pajak dalam mengetahui, memahami dan melaksanakan ketentuan perpajakan dengan benar dan sukarela sebagai salah satu cara memenuhi kewajiban perpajakannya. Kesadaran wajib pajak adalah suatu kondisi dimana wajib pajak mengetahui, memahami dan melaksanakan ketentuan perpajakan dengan benar dan sukarela. Semakin tinggi tingkat kesadaran wajib pajak maka pemahaman dan
pelaksanaan
kewajiban
perpajakan
semakin
baik
sehingga
dapat
meningkatkan kepatuhan (Muliari dan Setiawan, 2010). Kesadaran wajib pajak atas fungsi perpajakan sebagai pembiayaan negara sangat diperlukan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak (Jatmiko, 2006). Demikian pula Soemarso (1998) dalam Jatmiko (2006) mengungkapkan bahwa kesadaran perpajakan masyarakat yang rendah seringkali menjadi salah satu sebab banyaknya potensi pajak yang tidak dapat dijaring. Kesadaran wajib pajak sangat diperlukan dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak (Jatmiko,
46
2006). Berdasarkan penjabaran diatas maka dirumuskan hipotesis kedua sebagai berikut : H2 : Kesadaran wajib pajak berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak 3.
Pengaruh Pelayanan Fiskus Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Berdasarkan teori atribusi, pelayanan fiskus merupakan penyebab
eksternal yang mempengaruhi persepsi wajib pajak untuk membuat penilaian mengenai perilaku kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. Berdasarkan teori pembelajaran sosial, wajib pajak dapat belajar melalui pengamatan dan pengalaman langsungnya mengenai bagaimana aparatur pajak dalam memberikan pelayanan kepada wajib pajak. Menurut Jatmiko (2006), kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban membayar pajak tergantung pada bagaimana petugas pajak memberikan mutu pelayanan yang terbaik kepada wajib pajak. Apabila pelayanan yang diberikan oleh aparat pajak tidak memenuhi atau melebihi harapan wajib pajak, berarti pelayanan yang diberikan tidak berkualitas. Pelayanan yang berkualitas akan memberikan kepuasan kepada wajib pajak sehingga akan mendorong kepatuhan wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya kembali. Fiskus diharapkan memiliki kompetensi dalam arti memiliki keahlian, pengetahuan, dan pengalaman dalam hal kebijakan perpajakan, administrasi pajak dan perundang-undangan perpajakan. Selain itu fiskus juga harus memiliki motivasi yang tinggi sebagai pelayan publik (Ilyas dan Burton, 2011). Hasil
47
penelitian Arum (2012), Rajif (2012) dan Fuadi (2013) mengungkapkan bahwa kualitas pelayanan berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak. Berdasarkan penjabaran diatas maka dirumuskan hipotesis keempat sebagai berikut : H3 : Pelayanan Fiskus berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak 4.
Pengaruh Sanksi Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Sanksi perpajakan dipengaruhi dua teori diatas, yaitu Teori Atribusi,
dimana sanksi perpajakan merupakan penyebab eksternal yang mempengaruhi persepsi dari wajib pajak dalam penilaian mengenai perilakunya untuk patuh dalam menjalankan kewajiban perpajakannya. Kemudian Teori Pembelajaran Sosial mengajarkan kepada wajib pajak melalui pengamatan dan pengalaman langsung mengenai pemberian sanksi yang dikenakan aparatur pajak kepada wajib pajak yang melanggar norma perpajakan. Sanksi adalah suatu tindakan berupa hukuman yang diberikan kepada orang yang melanggar peraturan. Sanksi diperlukan agar peraturan atau undangundang tidak dilanggar (Arum, 2012). Apabila kewajiban perpajakan tidak dilaksanakan, maka ada konsekuensi hukum yang bisa terjadi karena pajak mengandung unsur pemaksaan. Konsekuensi hukum tersebut adalah penerapan sanksi perpajakan. Penerapan sanksi perpajakan bertujuan untuk memberikan efek jera kepada wajib pajak yang melanggar norma perpajakan sehingga tercipta kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Jatmiko (2006) mengatakan bahwa Wajib pajak akan patuh membayar pajak bila memandang sanksi perpajakan akan lebih banyak merugikannya.
48
Oleh sebab itu, sanksi perpajakan diduga akan berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak. Pengenaan sanksi secara tegas akan semakin merugikan wajib pajak sehingga wajib pajak akan lebih memilih untuk patuh melaksanakan kewajibannya. Penelitian yang telah dilakukan oleh Jatmiko (2006), Muliari dan Setiawan (2010), dan Arum (2012) menunjukkan bahwa sanksi perpajakan berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak. Berdasarkan penjabaran diatas maka dirumuskan hipotesis kelima sebagai berikut : H4 : Sanksi Pajak berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak