BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kajian Teori Teori adalah seperangkat konsep, definisi, dan proporsi yang terkait
secara sistematis untuk menjelaskan dan memprediksi fenomena (fakta) (Cooper dan Schindler, 2006). Kajian teori merupakan dasar berpikir yang bersumber dari suatu teori yang relevan dan dapat digunakan sebagai tuntunan untuk memecahkan permasalahan dalam penelitian. 2.1.1
Teori Perilaku Terencana (Theory Of Planned Behaviour) Teori Perilaku Terencana atau Theory of Planned Behavior (selanjutnya
disingkat TPB, dikemukakan oleh Ajzen (1991). Teori ini menyatakan bahwa faktor sentral dari perilaku individu adalah bahwa perilaku itu dipengaruhi oleh niat individu terhadap perilaku tertentu tersebut. Niat untuk berperilaku dipengaruhi oleh variabel sikap (attitude), norma subjektif (subjective norm), dan kontrol perilaku yang dipersepsikan (perceived behavioral control). Teori ini dilandasi pada postulat teori yang menyatakan bahwa perilaku merupakan fungsi dari informasi atau keyakinan/ kepercayaan yang menonjol mengenai perilaku tersebut. Orang dapat saja memiliki berbagai macam keyakinan terhadap suatu perilaku, namun ketika dihadapkan pada suatu kejadian tertentu, hanya sedikit dari keyakinan tersebut yang timbul untuk mempengaruhi perilaku. Sedikit keyakinan inilah yang menonjol dalam mempengaruhi perilaku individu. 10
11
Keyakinan yang menonjol ini dapat dibedakan menjadi, pertama, behavioral belief, yaitu keyakinan individu akan hasil suatu perilaku dan evaluasi atas hasil tersebut. Behavioral belief akan mempengaruhi sikap terhadap perilaku (attitude toward behavior). Kedua adalah normative belief, yaitu keyakinan individu terhadap harapan normatif orang lain yang menjadi rujukannya, seperti keluarga, teman, dan motivasi untuk mencapai harapan tersebut. Harapan normatif ini membentuk variabel norma subjektif (subjective norm) atas suatu perilaku. Ketiga adalah control belief, yaitu keyakinan individu tentang keberadaan hal-hal yang mendukung atau menghambat perilakunya dan persepsinya tentang seberapa kuat hal-hal tersebut mempengaruhi perilakunya. Control belief membentuk variabel kontrol perilaku yang dipersepsikan (perceived behavioral control). Secara sekematis, hubungan antara konstruk atau variabel laten yang terdapat dalam Theory of Planned Behavior dapat dijelaskan seperti bagan dibawah ini : Gambar 2.1 Theory Planned Behaviour
Sumber : Ajzen, I. (1991)
Gambar di atas menjelaskan setidaknya tiga hal yang berkaitan dengan perilaku manusia. Hal pertama yang dapat dijelaskan adalah hubungan yang
12
langsung antara perilaku dengan niat. Hal ini dapat berarti bahwa niat merupakan faktor terdekat yang dapat memprediksi munculnya perilaku yang akan ditampilkan individu. Hal kedua bahwa niat dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu sikap individu terhadap perilaku yang dimaksud (attiude toward behavior), norma subyektif (subjective norm), dan persepsi terhadap kontrol yang dimiliki (perceived behavioral control). Hal ketiga yang diperoleh mengenai peran PBC, pada Gambar 2.1 dapat dilihat bahwa ada dua cara atau jalan yang menghubungkan perilaku dengan PBC. Cara yang pertama diwakili dengan garis penuh yang berhubungan dengan perilaku secara tidak langsung melaui perantara niat. Hubungan yang tidak langsung ini serta dengan hubungan dua faktor lainya dengan perilaku. Ajzen (2005) beramsumsi bahwa PBC mempunyai implikasi motivasional pada niat. Individu yang percaya bahwa tidak memiliki sumberdaya atau kesempatan untuk menampilkan perilaku tertentu cendrung tidak memiliki sikap yang positif dan ia percaya bahwa orang lain akan mendukung perilakunya itu. Cara yang kedua adalah hubungan secara langsung antara PBC dengan perilaku yang digambarkan dengan garis putus-putus, tanpa melalui niat. Ajzen (2005) menambahkan garis putus-putus pada Gambar 2.1 menandakan bahwa hubungan antara PBC dengan perilaku diharapkan muncul hanya jika ada kesepakatan antara persepsi terhadap kontrol dengan kontrol aktualnya dengan derajat akurasi yang cukup tinggi.
13
2.1.2 Konstruk dalam Teori Perilaku Terencana Secara lebih lengkap, model teori perilaku terencana (theory of planned behavior/TPB) disusun oleh konstruk-konstruk sebagai berikut : 2.1.2.1 Sikap (attitude) Menurut Ajzen (2005), sikap adalah disposisi untuk merespon secara favorable atau unfavorable terhadap benda, orang, intansi atau kejadian. Menurut Assael (2001) sikap didefinisikan kecenderungan yang dipelajari untuk memberikan respon kepada obyekatau kelas obyek secara konsisten baik dalam rasa suka maupun tidak suka. Sedangkan menurut Mowen dan Minor (2002) sikap merupakan afeksi atau perasaan terhadap sebuah rangsangan. Berdasarkan dua definisi di atas sikap dapat didijelaskan bahwa sikap sebagai kecenderungan yang dipelajari untuk memberi respon atau menerima rangsangan terhadap obyek secara konsisten baik dalam rasa suka maupun tidak suka. 2.1.2.2 Norma subyektif (subjective norms) Norma Subyektif adalah pengaruh sosial yang mempengaruhi seseorang untuk berperilaku. Seseorang akan memiliki keinginan terhadap suatu obyek atau perilaku seandainya ia terpengaruh oleh orang-orang di sekitarnya untuk melakukannya atau ia meyakini bahwa lingkungan atau orang-orang disekitarnya mendukung terhadap apa yang ia lakukan. Hogg dan Vaughan (2005) menyatakan bahwa norma subyektif adalah produk dari persepsi individu tentang beliefs yang dimiliki orang lain. Norma subyektif yaitu keyakinan individu untuk mematuhi arahan atau anjuran orang di sekitarnya untuk turut dalam melakukan aktifitas.
14
Ramayah et al (2005) menyebutkan norma subjektif diukur dengan skala subjective Norm dengan indikator keyakinan peran keluarga dalam melakukan pengungkapan
kecurangan,
keyakinan
dukungan
teman
dalam
usaha
pengungkapan kecurangan, keyakinan dukungan dari dosen, dan keyakinan dukungan dalam usaha dari orang yang dianggap penting. 2.1.2.3 Persepsi Kontrol perilaku (perceived behavioral control) Dalam model TPB, Perceived behavioral control (PBC) mengacu kepada persepsi seseorang terhadap sulit tidaknya melaksanakan perilaku yang diinginkan, terkait dengan keyakinan akan tersedia atau tidaknya sumber dan kesempatan yang diperlukan untuk mewujudkan perilaku tertentu Ajzen (1991). Kontrol perilaku yang dipersepsikan adalah ukuran sejauh mana individu percaya tentang mudah atau sulitnya menampilkan tingkah laku tertentu (Hogg dan Vaughan, 2005). Definisi ini juga sesuai dengan model TPB yang dikembangkan oleh (Francis et al.,2004). PBC didefinisikan sebagai persepsi seseorang terhadap kesanggupannya dalam melaksanakan suatu perilaku. Didalamnya ada dua aspek yang diperhatikan yaitu, pertama, seberapa besar orang tersebut memiliki kontrol terhadap suatu perilaku (controllability), dan kedua, seberapa yakin orang tersebut merasa sanggup melakukan suatu perilaku (self-efficacy). PBC memiliki dua pengaruh yaitu pengaruh kepada niat berperilaku dan pengaruh langsung kepada perilaku.
15
2.1.2.4 Niat (intention) Ajzen (2005) mengartikan niat sebagai disposisi tingkah laku, yang hingga terdapat waktu dan kesempatan yang tepat, akan diwujudkan dalam bentuk tindakan. Niat juga diartikan sebagai deklarasi internal untuk bertindak/melakukan sesuatu (Hogg dan Vaughan, 2005). 2.1.2.5 Perilaku (behavior) Azjen (2008) menyatakan perilaku merupakan fungsi dari niat yang kompatibel dan Kontrol perilaku yang dipersepsikan. Kontrol perilaku yang dipersepsikan diharapkan untuk memoderasi pengaruh niat pada perilaku, sehingga niat baik menghasilkan perilaku hanya ketika dirasakan kontrol perilaku kuat. Perilaku adalah tindakan atau kegiatan nyata yang dilakukan individu (Jogiyanto, 2007).
2.1.3
Prosocial Organizational Behavior Theory Brief dan Motowidlo (1986) mendefinisikan prosocial organizational
behavior sebagai perilaku/tindakan yang dilakukan oleh anggota sebuah organisasi terhadap individu, kelompok, atau organisasi yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan individu, kelompok, atau organisasi tersebut. Perilaku prososial (prosocial behavior) juga diartikan sebagai setiap perilaku sosial positif yang bertujuan untuk menguntungkan atau memberikan manfaat pada orang lain (Penner et al., 2005). Perilaku prososial dapat dilatarbelakangi motif kepedulian pada diri sendiri dan mungkin pula merupakan perbuatan
16
menolong yang dilakukan murni tanpa adanya keinginan untuk mengambil keuntungan atau meminta balasan. Prosocial
behavior
menjadi
teori
yang
mendukung
terjadinya
whistleblowing. Brief dan Motowidlo (1986) menyebutkan whistleblowing sebagai salah satu dari 13 bentuk prosocial organizational behavior. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Dozier dan Miceli (1985) yang menyatakan bahwa tindakan whistleblowing dapat dipandang sebagai perilaku prososial karena perilaku tersebut memberikan manfaat bagi orang lain (atau organisasi) disamping juga bermanfaat bagi whistleblower itu sendiri. Perilaku prososial dapat digunakan untuk menjelaskan pembuatan keputusan etis individual yang terkait dengan niat melakukan whistleblowing. Miceli dan Near (1985) mengemukakan bahwa whistleblower melakukan pelaporan dugaan pelanggaran dalam upaya membantu korban dan memberikan manfaat bagi organisasi karena mereka yakin bahwa perbuatan pelanggaran tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh organisasi. Pada prinsipnya seorang whistleblower merupakan ‘prosocial behaviour’ yang menekankan untuk membantu pihak lain dalam menyehatkan sebuah organisasi atau perusahaan.
2.2
Penelitian Terdahulu Taylor dan Curtis (2010) melakukan penelitian terhadap auditor senior
yang bekerja di kantor akuntan publik internasional yang berkaitan mengenai identitas profesional, locus of commitment, niattas moral dan niat pelaporan.
17
Penelitian ini mengeksplorasi keunikkan dari keyakinan tempat kerja yang mempengaruhi niat auditor untuk melaporkan pelanggaran. Penelitian selanjutnya pernah dilakukan oleh Shawver (2011) yang bertujuan untuk mengevaluasi dilema etika yang dialami oleh akuntan profesional dan menjelaskan alasan seseorang dapat memilih untuk melaporkan pelanggaran dalam situasi manajemen laba. Penelitian yang dilakukan Shawver menunjukkan bahwa niattas moral mempengaruhi niat moral dalam melaporkan tindakan manajemen laba. Penelitian whistleblowing di kalangan internal auditor dilakukan oleh Sagara (2013) yang menganalisis pengaruh profesionalisme internal auditor terhadap niat untuk melakukan whistleblowing. Elias (2006) melakukan penelitian terhadap mahasiswa akuntansi tingkat akhir di dua universitas di Amerika yang sedang mengambil kursus auditing dengan asumsi mahasiswa tingkat akhir telah mengerti dengan baik tentang standar-standar auditing dan tanggung jawab professional auditor sebelum mengisi kuesioner. Penelitian tersebut menunjukkan hubungan yang signifikan antara komitmen professional dan sosialisasi antisipatif dengan orientasi etika yang meliputi persepsi etika dan tujuan etis. Somers dan Casal (1994) membagi skala komitmen organisasional menjadi tiga skor, yaitu komitmen kuat, moderat, dan lemah. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa hanya komitmen pada tingkat moderat yang mempunyai kemungkinan paling besar untuk melakukan whistleblowing. Penelitian yang dilakukan Chiu (2003) terhadap 254 mahasiswa MBA di China menunjukan bahwa anggapan whistleblowing sebagai perilaku etis
18
memiliki hubungan signifikan terhadap keinginan seseorang untuk melakukan pelaporan pelanggaran (whistleblowing), serta hubungan yang signifikan pula antara penilaian etis dan locus of control sebagai variabel moderat terhadap keinginan melakukan whistleblowing. Penelitian Keenan dan Krueger (1992) terhadap 6500 eksekutif dan manajer secara acak menunjukkan hasil yang berbeda, yaitu 50% dari manajer yang menemukan pelanggaran menganggap kecurangan yang terjadi adalah suatu kewajaran dan tidak melaporkannya. O’leary dan Cotter (2000) melakukan penelitian terhadap mahasiswa akuntansi tingkat akhir di Irlandia dan Australia yang menunjukkan bahwa 56% mahasiswa Irlandia dan 28% mahasiswa Australia ingin untuk melakukan kecurangan dalam ujian, dan hanya kurang lebih 50% dari mahasiswa kedua negara yang ingin melakukan whistleblowing atas kecurangan tersebut. Namun studi yang dilakukan Varelius (2009) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara whistleblowing sebagai masalah moral dengan loyalitas karyawan dan keinginan untuk melindungi kepentingan publik. Penelitian selanjutnya pernah dilakukan oleh Staley (2008) yang bertujuan untuk meneliti dampak budaya pada niat akuntan dan auditor professional saat ini dan yang akan datang menjadi whistleblower di sosial budaya Cina. Hasil dari penelitian ini menunjukkan mayoritas dari responden percaya bahwa makna moralitas secara umum adalah faktor terpenting untuk mendorong whistleblowing, dengan menuruti aturan organisasi mereka. Selain itu, penelitian ini juga menemukan bahwa guanxi, takut terhadap pembalasan dendam dan takut terhadap liputan media yang mengecilkan hati whistleblowing di masyarakat Cina.
19
Penelitian yang dilakukan Zhang et al., (2008) bertujuan untuk mengusulkan whistleblowing judgment, positive mood dan organizational ethical culture sebagai perkiraan niat untuk melakukan whistleblowing. Dari penelitian yang dilakukan oleh Zhang et al., (2008) menunjukkan hasil bahwa whistleblowing judgment menjelaskan varians yang tinggi pada whistleblowing intention, sedangkan organizational ethical culture memiliki hubungan moderat. Selain itu, budaya organisasi mempengaruhi positive mood secara kuat sebagai moderator. Penelitian whistleblowing di Indonesia pernah dilakukan oleh Fultanegara (2010) dengan tujuan untuk menguji hubungan antara komitmen profesional dan sosialisasi antisipatif mahasiswa PPA dengan whistleblowing. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa komitmen profesional dan sosialisasi antisipatif berhubungan dengan persepsi dan rencana whistleblowing. Meskipun penelitian mengenai whistleblowing sudah pernah dilakukan di Indonesia, namun penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi niat mahasiswa akuntansi untuk melakukan whistleblowing belum banyak dilakukan.