BAB II LANDASAN TEORI
A. Penerapan Performance Management System A.1.1. Definisi Performance Management System Performance management system atau sistem manajemen kinerja adalah sebuah proses manajemen kinerja yang dimulai dari penetapan, tujuan dan target bagi individu maupun kelompok disertai penilaian pencapaian secara regular dan pemberian imbalan yang sesuai dengan pencapaian target (O’Callaghan, 2005). Menurut Armstrong and Baron (2000), performance management system merupakan
pendekatan
yang
bersifat
strategis
dan
terintegrasi
untuk
menghadirkan hasil positif dalam organisasi dengan meningkatkan kinerja dan mengembangkan kemampuan tim dan individu. Menurut Aguinis (2011), performance management system merupakan proses berkelanjutan yang terdiri dari identifikasi, pengukuran, dan pengembangan kinerja dalam organisasi dengan menghubungkan kinerja dan tujuan masing-masing individu dengan misi dan tujuan organisasi secara menyeluruh. Sedangkan Salas, Weaver, Rosen, dan Smith-Jentsch (2009) menyatakan bahwa performance management system merupakan proses manajerial yang bertujuan memastikan individu memfokuskan upaya kerjanya agar berkontribusi terhadap tujuan organisasi. Hal ini dibagi kedalam tiga tahapan yaitu penetapan ekspektasi kinerja karyawan, menjaga dialog antara pekerja dan supervisor, dan pengukuran kinerja terhadap ekspektasi. Cokins (2009) menyampaikan bahwa dari sejarahnya performance management diarahkan untuk mengukur kinerja perindividu karyawan yang
16 Universitas Sumatera Utara
17
digunakan oleh fungsi personalia atau sumber daya manusia di perusahaan. Dalam perkembangannya hingga kini, performance management sudah diterima secara umum sebagai konsep enterprise-wide performance management seiring dengan berkembangnya teknologi informasi yang mendukung pengukuran kinerja secara terintegrasi dan terstruktur. Lebih jauh Cokins (2009) membahas mengenai pengukuran kinerja pada human capital & workforce management apakah merupakan seni atau ilmu Pengetahuan. Dalam hal ini disampaikan bahwa terdapat 2 (dua) aliran gaya manajemen dalam mengelola sumber daya manusia yaitu Newtonian dan Darwinian. Penganut Newtonian memilih untuk mengelola dengan cara berorientasi kuantitatif seperti pendekatan operation management dan finance. Gaya manajemen Newtonian ini menganggap bahwa seluruh kegiatan usaha adalah seperti mesin besar berorientasi kepada pengukuran kinerja yang diperhitungkan dari
faktor
pengungkit,
pendorong,
pengangkat
kinerja.
Pendekatan manajemen ini menelaah tentang produktivitas, kekuasaan, efisiensi dan kontrol pengendalian mengenai karyawan dan karyawan dianggap seperti mesin yang dapat serta merta diganti seperti halnya robot apabila tidak menghasilkan seperti yang diharapkan. Sedangkan pendekatan Darwinian, adalah pendekatan yang lebih lembut dalam perilaku seperti pendekatan yang dibahas pada change management, ethics, leadership. Pendekatan Darwinian menganggap bahwa faktor manusia dan perilaku manusialah yang paling berpengaruh dalam meningkatkan kinerja semua sumber daya yang ada di organisasi. Pendekatan ini melihat organisasi sebagai organisme yang hidup dan terus berubah bereaksi terhadap perubahan lingkungan sekitarnya. Cara pendekatan ini membicarakan
Universitas Sumatera Utara
18
kinerja dalam terminologi evolution, continuous learning, natural response dan adaptasi kepada kondisi yang terus berubah. Menurut Haeckel (1999) implementasi pendekatan manajemen sumber daya manusia mengikuti konsep Newtonian dan Darwinian diatas tentu bukan semata-mata mengambil dari ilmu pengetahuan yang telah diteliti oleh para ahli, tetapi merupakan seni tersendiri dalam mengelola sumber daya manusia. Maka
dapat
disimpulkan bahwa
definisi
mengenai
performance
management adalah proses manajemen kinerja yang merupakan pendekatan yang bersifat strategis dan terintegrasi untuk menghadirkan hasil positif dalam organisasi dimulai dari penetapan, tujuan dan target bagi individu maupun kelompok disertai penilaian pencapaian secara regular dan pemberian imbalan yang sesuai dengan pencapaian target.
A.1.2. Komponen Performance Management System Menurut Armstrong dan Baron (2000), dalam pendekatan performance management terdapat 3 (tiga) komponen untuk menerapkan landasan pengukuran kinerja yang relevan yaitu : 1. Dalam rangka mendapatkan tanggapan positif dan komitmen dari karyawan, maka karyawan harus ikutserta dalam pemilihan key performance indicators (KPI) yang akan diukur atas kinerja mereka. 2. Penetapan tujuan (objectives) dan pengukuran harus disepakati oleh keduabelah pihak yaitu antara pimpinan dengan karyawan yang diukur kinerjanya.
Universitas Sumatera Utara
19
3. Performance management system harus dapat memperlihatkan karyawan yang berkinerja melebihi target (overperformers) dan yang berkinerja dibawah target (underperformers) Menurut Cokins (2009) performance management memainkan peranan kunci dalam pengambilan keputusan di organisasi. Performance management system dapat memberikan umpanbalik atau masukan mengenai apakah perubahan yang diambil telah diimplementasikan secara efektif. Performance management juga memainkan peranan penting bagi perencanaan dan pengawasan organisasi. Performance management lebih menekankan pada proses komunikasi dalam proses kemitraan antara karyawan dan atasan langsungnya untuk membangun ekspektasi dan pemahaman mengenai job functions terkait, bagaimana kontribusi karyawan kepada tujuan perusahaan, apa yang diharapkan menjadi kinerja baik, bagaimana karyawan dan pimpinan akan bekerja sama untuk menjaga dan meningkatkan kinerja, bagaimana kinerja akan diukur dan mengidentifikasikan kendala dan mengatasinya. Oleh sebab itu, Performance management secara garis besar terkait bahkan erat kaitannya dengan strategic planning dantujuan perusahaan, penggajian bonus dan promosi serta renca pengembangan sumber daya manusia.
A.2. Key Performance Indicator A.2.1. Definisi Key Performance Indicator Parmenter (2007) mendefinisikan Key Performance Indicator sebagai sekumpulan pengukuran yang diciptakan terfokus kepada aspek kinerja organisasi
Universitas Sumatera Utara
20
yang paling kritikal untuk kesuksesan organisasi pada kondisi sekarang dan di masa datang. Menurut Warren (2011), key performance indicator merupakan sebuah pengukuran yang menilai bagaimana sebuah organisasi mengeksekusi visi strategisnya. Visi strategis yang dimaksud merujuk kepada bagaimana strategi organisasi secara interaktif terintegrasi dalam strategi organisasi secara menyeluruh. Menurut Banerjee dan Buoti (2012),
key performance indicator
merupakan ukuran berskala dan kuantitatif yang digunakan untuk mengevaluasi kinerja organisasi dalam tujuan mencapai target organisasi. KPI juga digunakan untuk menentukan objektif yang terukur, melihat tren, dan mendukung pengambilan keputusan. Menurut Iveta (2012), key performance indicator adalah ukuran yang bersifat kuantitatif dan bertahap bagi perusahaan serta memiliki berbagai perspektif dan berbasiskan data konkret, dan menjadi titik awal penentuan tujuan dan penyusunan strategi organisasi. Maka
berdasarkan uraian diatas
dapat
disimpulkan bahwa
key
performance indicator merupakan pengukuran kuantitatif dalam evaluasi kinerja organisasi yang memiliki berbagai perspektif dan menjadi acuan pencapaian target organisasi.
Universitas Sumatera Utara
21
A.2.2. Indikator kesuksesan penerapan KPI (key performance indicator) Menurut Parmenter (2007), dalam implementasinya KPI harus memenuhi 7 (tujuh) karakteristik, antara lain: 1. Tidak ditulis secara finansial saja yaitu tidak ditulis dalam denominasi uang namun juga dapat ditulis dengan denominasi volume misal jumlah kunjungan ke nasabah, jumlah telepon yang masuk yang dapat berpengaruh kepada pencapaian target perusahaan. 2. Harus diukur secara berkala dan teratur misalnya dihitung secara harian atau secara terus-menerus 24 jam sehari dan 7 hari seminggu. 3. Yang diterapkan harus mendapat komitmen penuh dari manajemen puncak dan diterapkan kepada semua lapisan organisasi mulai dari atas ke bawah. 4. Diperlukan pemahaman yang baik oleh karyawan atas pengukuran dan tindakan perbaikan yang perlu dilakukan. 5. Menghubungkan tanggungjawab individu dengan tim. 6. Yang dipilih sebagai pengukuran haruslah yang memberikan dampak besar kepada suksesnya pencapaian target perusahaan. 7. Harus membawa dampak positif kepada organisasi secara keseluruhan.
A.2.3. Komponen Key Performance indicator Dasar dalam landasan keberhasilan penerapan KPI (Key Performance Indicator) (Parmenter, 2007) adalah sebagai berikut : 1. Kerjasama erat antara manajemen puncak dengan seluruh karyawan, dan serikat pekerja jika ada, serta pelanggan dan pemasok utama. Kerjasama
Universitas Sumatera Utara
22
erat ini harus dimulai dari commitment from the top untuk melaksanakan pengukuran kinerja secara terintegrasi. 2. Pemberian wewenang yang cukup kepada pelaksana yang berhadapan dengan pelanggan. Dengan pendelegasian wewenang yang cukup kepada pelaksana yang berhadapan dengan pelanggan diharapkan dapat terjadi komunikasi yang baik antara organisasi dengan pelanggannya, sehingga dapat memberi masukan bagi manajemen untuk perbaikan strategi dimana diperlukan. 3. Metode pengukuran dan pelaporan yang terintegrasi. Pengukuran dan pelaporan secara terintegrasi dalam hal tepat waktu, mudah dimengerti dan tepat guna sangat penting untuk memberi masukan bagi pengambilan keputusan apabila diperlukan perubahan strategi guna mencapai tujuan. 4. Pengukuran kinerja harus berkesinambungan dengan strategi yang diterapkan. Pengukuran kinerja harus dibuat secara serasi selaras dan berkesinambungan terhadap strategi yang dijalankan agar dapat memberi masukan yang tepat kepada manajemen. Menurut Parmenter (2007) Management model yang dapat memberikan dampak besar pada penerapan KPI antara lain adalah balanced scorecard. Dari sejarahnya balanced scorecard yang ditulis oleh Kaplan & Norton (2004) pada mulanya dikembangkan untuk menyelesaikan masalah yang terkait dengan pengukuran keuangan di akuntansi. Dalam perkembangannya kemudian balanced scorecard dibuat untuk menjadi salah satu alat pengukuran kinerja atau performance management dengan membagi pengukuran menjadi 4 (empat)
Universitas Sumatera Utara
23
perspectives besar yang saling terkait, yaitu financial perspectives, customer perspectives, internal process, learning & growth perspectives. Dalam perkembangan implementasi balanced scorecard Parmenter (2007) kemudian menambah perspectives pengukuran menjadi 6 (enam) yaitu : 1. Financial : yaitu penggunaan aset dan optimalisasi penggunaan modal kerja. 2. Customer : yaitu dengan ukuran untuk meningkatkan kepuasan pelanggan,
dan
target
diarahkan
kepada
pelanggan
yang
menyumbangkan keuntungan terbesar. 3. Environment / community : yaitu untuk mendukung bisnis perusahaan harus memiliki hubungan atau keterkaitan dengan masyarakat setempat. 4. Internal : yaitu proses internal seperti pengukuran atas pengiriman barang dilakukan secara benar dan tepat waktu, pemakaian teknologi yang tepat guna. 5. Employee satisfaction : yaitu pengukuran atas budaya perusahaan yang positif yang dapat menahan karyawan yang berkualitas baik untuk setia dan memberikan citra baik bagi perusahaan dan karyawan itu sendiri. 6. Learning & Growth : yaitu pemberdayaan sumber daya manusia dengan meningkatkan keahlian dan daya adaptasinya kepada perubahan. Simmons (2000) menjelaskan bahwa pada saat memilih ukuran kinerja atau KPI pilihan tersebut harus lulus dari 3 test pertanyaan dibawah ini, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
24
1. Test 1 : apakah pengukuran tersebut sejalan / align dengan strategi. 2. Test 2 : dapatkah pengukuran tersebut diukur secara efektif. 3. Test 3 : apakah pengukuran tersebut terkait dengan nilai-nilai perusahaan. Untuk menentukan berapa banyak pengukuran yang harus diterapkan untuk setiap karyawan dalam performance management system pada bagian Planning, Simmons (2000) mengusulkan untuk mengikuti ‘The magic number seven, plus or minues two’ dari Miller (1956) yang mengatakan bahwa pada umumnya manusia hanya dapat memahami, mengingat atau melaksanakan secara sekaligus pekerjaan sejumlah antara 5 – 9 macam.
A.2.4. Faktor penyebab individu menunjukan resistensi pada performance management system Simmons (2005), menyatakan penolakan atau resistensi sumber daya manusia terhadap performance management system mereka dikarenakan 5 (lima) faktor penyebab, yaitu : 1. Target yang membingungkan 2. Insentif yang saling berlawanan atau conflicting 3. Tidak seimbangnya pertanggungjawaban dengan pengawasan 4. Hubungan yang tidak serasi antara pengkuran dengan pengembangan nilai perusahaan 5. Tidak memadainya kompetensi dan keahlian sumber daya manusia dibandingkan dengan kinerja yang dituntut dari perusahaan
Universitas Sumatera Utara
25
A.2.5. Ciri kondisi yang menunjang penerapan performance management system Pandey (2005) menyatakan ada 4 ciri kondisi yang menunjang penerapan performance management system, meliputi: 1. Informasi yang dihasilkan dari sistem penilian kinerja harus secara konsisten mendapat perhatian besar dari manajemen tertinggi atau diperlukan commitment from the top 2. Karena merupakan perhatian dari top management, maka informasi tersebut juga merupakan perhatian penuh bagi manajemen madya / middle level management 3. Informasi yang dihasilkan didiskusikan pada rapat tatap muka antara atasan, bawahan dan rekan-rekan sekerja sesama tingkat hirarki 4. Fokus dari diskusi haruslah merupakan tantangan dan debat atas informasi yang dihasilkan, asumsi yang digunakan serta tindak-lanjut yang akan diambil untuk memperbaiki kinerja.
A.3. Kompetensi A.3.1. Definisi Kompetensi Kompetensi adalah sebuah karakteristik dari seorang individu yang memiliki hubungan sebab dengan efektifitas yang berbasis kriteria dan/atau performanceyang superior dalam sebuah pekerjaan atau situasi. Karakteristik yang dimaksud berarti bahwa kompetensi adalah sebuah bagian yang dalam dan bertahan dalam kepribadian seseorang dan merupakan indikator prediktif dari perilaku individu tersebut dalam berbagai situasi dan tugas kerja (Spencer dan Spencer, 1993).
Universitas Sumatera Utara
26
Teece dan Pisano (1997) melihat sumberdaya sebagai “aset-aset khusus perusahaan yang sulit, yang jika mungkin tidak dapat ditiru, dimana kompetensi dihasilkan dari integrasi aset-aset khusus perusahaan.” Kompetensi merupakan kemampuan dan pengetahuan perusahaan yang menjadi dasar pemecahan masalah sehari-hari (Henderson dan Cockburn, 1994). Definisi lain menyatakan bahwakompetensi
adalah
kemampuan
perusahaan
untukmengekploitasi
sumberdaya yang berbeda, dengan menggunakan berbagai proses organisasi untuk mencapai hasil yang diinginkan (Grant, 1991). Helfat dan Peteraf (2002) mendefinisikan sumberdaya sebagai aset atau input untuk melakukan kegiatan produksi baik berwujud maupun tidak berwujud yang dimiliki dan dikendalikan oleh perusahaan atau memiliki akses ke barang semi-permanen lain. Sedangkan Wheelen danHunger (2002) mendefinisikan sumberdaya sebagai aset, kompetensi, proses, keahlian atau pengetahuan yang dikendalikan oleh perusahaan. Sejalan dengan para ahli di atas Leary (1975) menyatakan kompetensi merupakan kriteria yang mampu membedakan mereka yang memiliki kinerja yang unggul dan yang rata-rata. Kompetensi bukan sekedar aspek-aspek yang menjadi prasyarat suatu jabatan, tetapi merupakan aspek-aspek yang menentukan optimalitas keberhasilan kinerja Maka berdasarkan uraian yang dikemukakan oleh banyak ahli di atas, Kompetensi dapat didefinisikan sebagai gabungan berbagai karakteristik individu, termasuk didalamnya pengetahuan, keterampilan, sikap, dan karakteristik dasar lainnya dari individu, yang juga selalu berkaitan dengan kinerja dan tampil dalam bentuk perilaku yang dapat diobservasi dan diukur (measurable).
Universitas Sumatera Utara
27
A.3.2. Lima Karakteristik Kompetensi Menurut Spencer dan Spencer (1993), lima karakteristik kompetensi antara lain: 1. Motif Motif merupakan sesuatu yang secara konsisten menjadi tujuan atau keinginan yang menyebabkan suatu aksi. Motif mengarahkan dan memilih perilaku yang terjadi menuju sebuah tujuan serta menjauhkan dari tujuan yang tidak ingin dicapai. Sebagai contoh, orang dengan motivasi Achievement secara konsisten menetapkan tujuan bagi dirinya sendiri, melakukan kewajibannya sendiri dan menggunakan umpan balik untuk berperilaku lebih baik. 2. Traits Traitsadalah karakteristik dan respon fisik yang konsisten terhadap sebuah informasi atau situasi. Sebagai contoh, waktu bereaksi dan tajam penglihatan yang baik merupakan ciri fisik yang merupakan kompetensi seorang pilot pesawat tempur. Pengendalian emosi dan perilaku inisiatif adalah contoh respon yang lebih kompleks. Ciri ini membuat seseorang tidak mudah marah kepada orang lain dan mau mendahulukan kepentingan bersama dan menjadi pemimpin. Ciri ini merupakan kompetensi seorang manajer. 3. Konsep Diri Konsep diri adalah sikap, nilai-nilai, dan citra diri yang dimiliki oleh seorang individu. Sebagai contoh, percaya diri adalah kepercayaan diri individu bahwa dia dapat menghadapi situasi dengan efektif. Nilai yang dimiliki seseorang merupakan motif yang bersifat reaktif atau responden
Universitas Sumatera Utara
28
yang memprediksi bagaimana seseorang menghadapi sesuatu yang bersifat jangka pendek dan situasi dimana orang lain yang memimpin. Sebagai contoh, seseorang yang menilai dirinya sendiri sebagai seorang pemimpin lebih mungkin menunjukkan perilaku kepemimpinan jika dirinya diberikan suatu pekerjaan yang merupakan suatu ujian perilaku tersebut. Seorang yang menilai dirinya sebagai seorang manajer namun secara intrinsik tidak memiliki konsep diri untuk mempengaruhi orang lain dalam pekerjaannya akan mengalami kegagalan. 4. Pengetahuan Pengetahuan adalah informasi yang dimiliki seseorang dalam area konten spesifik. Sebagai contoh, pengetahuan tentang persarafan dan anatomi otot merupakan kompetensi seorang dokter bedah. Pengetahuan merupakan kompetensi yang kompleks. Nilai pengetahuan seseorang seringkali tidak dapat memprediksi kinerja karena ketidakmampuan alat uji untuk mengukur pengetahuan dan keterampilan yang memang dibutuhkan atau dilakukan dalam pekerjaan tersebut. Pertama, banyak pengukuran tingkat pengetahuan hanya mengukur memori, dimana hal yang paling penting adalah kemampuan untuk mencari informasi. Memori mengenai fakta tertentu bukan hal yang penting, yang diperlukan adalah fakta yang relevan dan penting dalam menghadapi suatu masalah spesifik dan bagaimana mencari fakta tersebut ketika dibutuhkan. Kedua, tes pengetahuan bersifat responden. Tes ini mengukur kemampuan seseorang untuk memilih dari beberapa pilihan yang merupakan respon yang benar,namun tidak mengukur apakah seseorang ini dapat bertindak sesuai
Universitas Sumatera Utara
29
dengan pengetahuan yang dimilikinya. Hal ini menjadikan pengetahuan sebagai hal yang hanya dapat memprediksi apa yang seseorang dapat lakukan, alih-alih apa yang akan dia lakukan (Haslam, 2011). 5. Keterampilan Keterampilan adalah kemampuan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan fisik maupun mental. Sebagai contoh, keterampilan seorang dokter gigi untuk menambal gigi tanpa merusak saraf disekitarnya, kemampuan seorang pemogram komputer untuk menyusun kode program dalam urutan logis. Kompetensi keterampilan mental meliputi kemampuan berpikir analitik dan konseptual (Walklin, 1991).
Gambar 2.1. Central and Surface Competencies
Universitas Sumatera Utara
30
Sebagaimana digambarkan dalam Gambar 2.1, pengetahuan dan keterampilan cenderung terlihat dan berada di permukaan, sedangkan motif, ciri, dan konsep diri lebih tersembunyi dan lebih dalam kepribadian seseorang. Kompetensi pengetahuan dan keterampilan relatif lebih mudah untuk dikembangkan, dengan training merupakan usaha yang paling cost-effective untuk membuat seseorang memiliki kompetensi tersebut. Trait dan Motif merupakan kompetensi yang berada pada inti kepribadian dan lebih sulit untuk dinilai dan dikembangkan, adalah lebih baik untuk memilih seseorang yang sesuai untuk melakukan suatu pekerjaan dibanding dengan melatih atau mengembangkan kompetensi tersebut (Sonnentag, 2002). Kompetensi konsep diri berada di tengah-tengah. Nilai dan sikap seseorang dapat diubah melalui training, psikoterapi dan/atau pengalaman positif, meskipun lebih sulit dan lebih memakan waktu. Banyak organsisasi memilih karyawan berdasarkan kompetensi pengetahuan dan keterampilan, dan hanya berasumsi karyawan tersebut memiliki kompetensi motif dan trait yang sesuai dan setidaknya dapat diatur oleh manajemen yang baik. Hal ini justru lebih cost-effective jika dilakukan sebaliknya. Sebuah organisasi sebaiknya memilih karyawan berdasarkan kompetensi motif dan trait yang sesuai kemudian mengajarkan pengetahuan dan keterampilan yang sesuai untuk pekerjaan tersebut (Shermon, 2004).
A.3.3.Competency Causal Flow Model Competency Causal Flow Model adalah model yang menggambarkan hubungan sebab akibat antara kompetensi, perilaku dan hasil yang dicapai. Sebuah hasil muncul dari adanya aksi yang berbentuk perilaku, dimana perilaku
Universitas Sumatera Utara
31
tersebut dibentuk dari kompetensi yang menjadi intensi, yaitu karakteristik pribadi yang mencakup motif, trait, konsep diri dan pengetahuan. Model ini dapat digunakan untuk melakukan analisis risk assessment (Spencer & Spencer, 1993).
Personal Characteristic Motif Trait Konsep Diri Pengetahuan
INTENT
Perilaku Skill
Job Performance
ACTION
OUTCOME
Gambar 2.2. Competency Causal Flow Model
A.3.4.Threshold Competencies dan Differentiating Competencies Kompetensi dapat dibagi kedalam dua kategori, Threshold dan Differentiating, berdasarkan kriteria performance yang diprediksi. Threshold Comptencies adalah karakteristik esensial yang diperlukan setiap orang dalam sebuah pekerjaan agar pekerjaan yang dilakukan dapat berjalan secara minimal, namun tidak dapat membedakan performa superior dengan yang inferior. Sebagai contoh adalah kemampuan untuk membaca, atau kemampuan pengetahuan tertentu. Differentiating competencies adalah kompetensi yang membedakan performa superior dengan yang inferior. Sebagai contoh kompetensi achievement orientation yang diekspresikan dengan penentuan tujuan yang jelas dan lebih tinggi dari yang ditetapkan oleh perusahaan dapat membedakan seorang karyawan yang lebih superior dibanding karyawan yang lain (Spencer & Spencer, 1993).
Universitas Sumatera Utara
32
B. Perubahan Organisasi B.1. Definisi Perubahan Organisasi Mills (2009) mendefinisikan perubahan organisasi sebagai perubahan aspek-aspek inti dari cara organisasi beroperasi yang meliputi struktur teknologi, budaya, pimpinan, tujuan dan individu yang ada dalam sebuah organisasi. Sejalan dengan hal itu Newstorm (2007) menyatakan bahwa perubahan organisasi adalah seluruh perubahan dalam lingkungan organisasi yang mempengaruhi individu didalamnya untuk merubah perilakunya. Lebih lanjut Lewis (2012) menyatakan bahwa perubahan organisasi didefinisikan sebagai suatu proses modifikasi struktur dan proses organisasi. Van de Ven dan Poole (1995) mendefinisikan perubahan organisasi sebagai sebuah observasi yang bersifat empirik yang menunjukkan perbedaan dalam bentuk, kualitas atau struktur seiring waktu dalam sebuah entitas organisasi. Entitas tersebut dapat berupa pekerjaan individu, kelompok kerja, strategi organisasi, sebuah program, produk, atau organisasi secara menyeluruh. Ford dan Ford (1995) menyatakan perubahan organisasi sebagai perbedaan antara dua atau lebih kondisi, bentuk, atau momen dalam organisasi secara bertahap. Lewis dan Seibold (1993) menyatakan bahwa perubahan organisasi adalah perubahan yang berbasis inovasi, yaitu entitas baik berupa teknologi, ide, produk, kebijakan, atau program baru yang dikenalkan kepada anggota organisasi. Maka berdasarkan uraian yang dikemukakan oleh para ahli di atas perubahan organisasi memiliki arti perubahan yang terjadi pada pengelolaan suatu organisasi yang meliputi perubahan pada struktur organisasi, teknologi yang digunakan, budaya organisasi, gaya kepemimpinan, tujuan organisasi serta
Universitas Sumatera Utara
33
individu-individu didalamnya yang akan berdampak pada kemajuan organisasi tersebut.
B.2. Bentuk-bentuk Perubahan Organisasi Menurut Malopinsky dan Osman (2006) model-model perubahan organisasi dapat dibagi sebagai berikut: 1. Perubahan organisasi berdasarkan tingkat perubahannya Berdasarkan tingkat perubahannya, perubahan organisasi dibagi atas perubahan transformatif atau mayor dan perubahan inkremental atau minor. Perubahan transformatif meliputi perubahan sistem yang bersifat radikal pada strategi organisasi termasuk visi, misi, nilai dan keyakinan, serta
struktur
dan
komponen-komponen
struktural.
Perubahan
transformatif terjadi pada perubahan manajemen atau pimpinan atau sebagai bagian dari revitalisasi. Sedangkan perubahan inkremental atau minor hanya merupakan penambahan atau pengenalan komponen-komponen baru kedalam organisasi, dan tidak mengubah fondasi organisasi seperti struktur dan budaya organisasi. 2. Perubahan organisasi berdasarkan mode perubahannya Berdasarkan mode perubahannya, perubahan organisasi dibagi atas perubahan proaktif dan reaktif. Perubahan proaktif yaitu perubahan yang dilakukan karena inisiatif internal organisasi dan merupakan proses inovasi. Sedangkan perubahan reaktif adalah perubahan yang dipicu oleh faktor eksternal seperti kompetisi atau tekanan sosial maupun krisis.
Universitas Sumatera Utara
34
3. Perubahan organisasi berdasarkan kontrol perubahannya Berdasarkan kontrol terhadap perubahan, perubahan organisasi dibagi atas perubahan terencana dan tidak terencana. Perubahan yang terencana merupakan perubahan yang sudah direncanakan sebelumnya oleh manajemen dan sudah mencakup alasan dilakukan perubahan, bagaimana mengimplementasikan perubahan dan bagaimana mengatasi rintangan yang muncul dalam proses perubahan tersebut. Perubahan tidak terencana merupakan perubahan yang bersifat spontan dan biasanya dipengaruhi oleh faktor eksternal yang mendadak berubah sehingga diperlukan penyesuaian cepat untuk mengatasi dampak yang terjadi. 4. Perubahan organisasi berdasarkan aspek perubahannya Berdasarkan aspek perubahannya, Durmaz (2007) membagi perubahan organisasi menjadi perubahan perilaku, sikap, dan budaya. Perubahan di tingkat perilaku biasanya bermanfaat dalam meningkatkan produktivitas dalam jangka pendek, karena perubahan perilaku hanya merubah cara kerja individu dalam suatu organisasi. Sedangkan untuk jangka panjang, diperlukan perubahan sikap. Perubahan ini dapat merubah perilaku secara individual. Sedangkan perubahan budaya dilakukan untuk merubah organisasi secara menyeluruh dan individu diharapkan mengubah bagaimana cara berpikir dan bertindak dalam organisasi tersebut secara fundamental.
Universitas Sumatera Utara
35
C. Kesiapan Berubah C.1. Definisi Kesiapan Berubah Menurut Armenakis, Harris dan Mossholder (1993), readiness for change atau kesiapan untuk berubah merupakan sebuah hal yang tercermin dalam kepercayaan, sikap, dan intensi anggota organisasi mengenai sejauh mana perubahan diperlukan dalam organisasi dan seberapa siap organisasi dalam menjalankan perubahan tersebut. Holt, Armenakis, Field, dan Harris (2007) menyatakan kesiapan berubah sebagai sikap komprehensif yang dipengaruhi secara simultan oleh apa yang berubah (content), bagaimana perubahan diimplementasikan (process), keadaan saat perubahan dilakukan (context), dan karakteristik individu yang terlibat dalam perubahan
(indivivual
characteristics).
Lebih
lanjut
kesiapan
berubah
menunjukkan sejauh mana individu atau kelompok dalam sebuah organisasi melalui proses kognitif dan afektif menerima, merangkul, dan mengadopsi rencana perubahan yang dipersiapkan untuk mengganti keadaan pada saat sekarang. Bernerth (2004) mendefinisikan kesiapan berubah sebagai pikiran yang dimiliki individu sepanjang proses perubahan yang merefleksikan kesediaan dan penerimaan terhadap perubahan. Walinga (2008) menyatakan bahwa kesiapan berubah merupakan kesiapan fisik dan mental dalam mengambil suatu tindakan yang memiliki resiko dan ketidakpastian. Madsen (2003) mengemukakan bahwa kesiapan berubah sebagai sebuah tingkat kesiapan fisik dan mental dari individu untuk mengambil tindakan segera yang bertujuan untuk meningkatkan, mengubah, memvariasikan atau memodifikasi sesuatu.
Universitas Sumatera Utara
36
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kesiapan berubah didefinisikan sebagai tingkat keyakinan individu yang tercermin dalam keyakinan, sikap dan intensi mengenai pentingnya dilakukan perubahan dan persiapan yang diperlukan untuk menjalankan perubahan tersebut.
C.2. Dimensi Kesiapan Berubah Menurut Holt (2007) terdapat beberapa dimensi dari kesiapan berubah, yaitu: 1. Dukungan dari organisasi (organizational support) Sebuah perubahan yang terjadi dalam organisasi akan berjalan lebih lancar apabila terdapat dukungan dari pemimpin organisasi. Dukungan yang dimaksud tidak hanya berasal dari pemimpin formal dari sebuah organisasi namun dari pemimpin informal dan rekan kerja. 2. Diskrepansi(Discrepancy) Diskrepansi didefinisikan sebagai derajat dimana anggota organisasi merasa bahwa perubahan diperlukan, dan apa saja aspek yang perlu berubah. 3. Keuntungan
Personal
atau
Valensi
Personal
(Personal
Benefit/Personal Valence) Keuntungan personal merupakan derajat dimana anggota organisasi merasa terdapat keuntungan intrinsik dan ekstrinsik bagi dirinya jika perubahan terjadi.
Universitas Sumatera Utara
37
4. Efikasi (Efficacy) Efikasi yaitu derajat dimana anggota organisasi merasa bahwa dirinya memiliki keterampilan dan mampu melakukan perubahan tersebut serta mampu mengatasi hambatan yang terjadi selama proses perubahan
sehingga
organisasi
secara
menyeluruh
mampu
menjalankan perubahan tersebut dengan berhasil. 5. Ketepatan untuk berubah (Appropriateness) Ketepatan untuk berubah yaitu derajat dimana anggota organisasi merasa bahwa organisasi akan memperoleh keuntungan jika perubahan tersebut terjadi. Lima tahapan perubahan yang mempengaruhi kesiapan berubah menurut Procahaska dan Di Clemente (1992), yaitu: 1. Pre Kontemplasi Dalam tahapan ini seorang individu belum melihat bahwa dirinya merupakan bagian dari sebuah masalah dan solusi. Individu merasa bahwa situasi dimana dirinya sekarang tidak dapat dirubah, dan dirinya tidak berdaya untuk mempengaruhi hal tersebut. Sebaliknya, individu tersebut merasa bahwa orang disekitarnya yang seharusnya berubah dan bukan dirinya. Dalam tahapan ini individu masih melakukan minimalisasi ancaman atau ketidaknyamanan atau menggunakan mekanisme pertahanan ego seperti rasionalisasi untuk menjaga dirinya. 2. Kontemplasi Dalam tahap ini individu menyadari masalah yang dihadapinya dan posisi dirinya dalam permasalahan tersebut, namun individu masih
Universitas Sumatera Utara
38
belum siap untuk terjadinya perubahan. Individu berada dalam situasi yang disebut dengan analysis paralysisdimana individu terlalu banyak memikirkan skenario-skenario perubahan yang dimungkinkan tanpa mengambil langkah pasti untuk berubah. Individu masih menunggu untuk munculnya tanda-tanda atau perubahan untuk berjalan sendiri. 3. Preparasi Dalam tahapan ini individu mulai bersiap untuk melakukan sesuatu untuk berubah. Individu mulai memikirkan cara atau teknik yang diperlukan untuk berubah melalui penyelesaian masalah secara analitik. Individu juga melakukan persiapan akhir dan melatih pemecahan masalah dengan bermain peran dan menjabarkan aksi yang akan dilakukan. Namun individu masih membutuhkan persetujuan atau dorongan dari dirinya sendiri dan orang disekitarnya untuk menjalankan aksi perubahan tersebut. 4. Aksi Dalam tahapan ini individu mulai melakukan perubahan yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Dalam tahapan ini individu masih melihat efek yang dicapai melalui perubahan yang dilakukan. Jika perubahan yang terjadi tidak membawa efek yang signifikan, atau tidak dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi, maka individu akan kembali ke tiga tahapan sebelumnya. 5. Pemeliharaan Dalam tahapan ini individu sudah siap dalam menghadapi efek negatif serta menjaga perubahan yang dilakukan agar tetap berjalan. Individu
Universitas Sumatera Utara
39
dalam tahap ini sudah mengetahui bahwa kemungkinan gagal bisa saja terjadi, namun bukan berarti kegagalan itu akan membuatnya gagal dalam berubah. Individu mengembangkan berbagai mekanisme antisipasi jika terjadi ancaman terhadap perubahan yang dilakukan.
D. Komitmen terhadap Organisasi D.1. Definisi Komitmen terhadap Organisasi Porter, Steers dan Mowday (1979) menyatakan bahwa komitmen organisasi adalah ukuran relatif dari identifikasi seseorang dengan organisasi dan keterlibatannya dalam organisasi tersebut. Definisi ini sesuai dengan nilai-nilai dalam komitmen yaitu kesetiaan, anggapan bahwa organisasi mewakili nilainilainya, dan hasrat untuk terlibat dalam organisasi lebih jauh. Menurut Meyer dan Allen (1997) seorang pekerja yang memiliki komitmen terhadap organisasi yang menaunginya akan bertahan dengan organisasinya baik dalam keadaan positif maupun negatif, mempertahankan dan mengembangkan aset yang dimiliki, ikut serta dalam mengimplementasikan visi dan tujuan organisasi. Kanter (1968) menyatakan bahwa komitmen terhadap organisasi adalah suatu bentuk keterikatan seorang individu terhadap aspek afektif dan emosional dari suatu kelompok. Sheldon (1971) mendefinisikan komitmen terhadap organisasi sebagai sikap atau orientasi kepada organisasi yang menghubungkan atau mengikat identitas individu kepada organisasi. Hall (1970) menyatakan bahwa komitmen terhadap organisasi sebagai suatu proses dimana tujuan organisasi dan tujuan individu menyatu menjadi terintegrasi dan kongruen. Mowday, Porter & Steers (1982) menyatakan bahwa komitmen terhadap
Universitas Sumatera Utara
40
organisasi sebagai derajat kekuatan relatif dari identifikasi individu terhadap organisasi dan derajat keterlibatannya dalam organisasi tersebut. Maka berdasarkan uraian yang dikemukakan oleh para ahli di atas, komitmen terhadap organisasi dapat didefinisikan sebagai sebagai suatu bentuk kerterikatan seorang pekerja secara emosional terhadap organisasi yang ia ikuti dan akan bertahan dengan organisasinya baik dalam keadaan positif maupun negatif, hingga ikut serta dalam mengimplementasikan visi, misi dan tujuan organisasi tersebut.
D.2. TipeKomitmen terhadap Organisasi Menurut Codery (1993) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi komitmen seorang pekerja terhadap organisasi yaitu penerimaan seseorang terhadap nilai-nilai organisasi, keinginan untuk tetap berada dalam organisasi, dan simpati terhadap organisasi dan keputusan organisasi. Menurut Meyer dan Allen (1997) terdapat tiga tipe dari komitmen terhadap organisasi yaitu : 1. Komitmen Afektif (Affective Commitment) Komitmen afektif adalah keterikatan emosional individu terhadap organisasi,
derajat
identifikasinya,
dan
keterlibatannya
dalam
organisasi tersebut. Seorang individu dengan komitmen afektif yang tinggi akan berkomitmen untuk tetap berada dalam organisasi tersebut karena individu tersebut ingin tetap berada didalam organisasi tersebut.
Universitas Sumatera Utara
41
2. Komitmen Kontinuans(Continuance Commitment) Komitmen kontinuans adalah komitmen individu yang berkembang disebabkan oleh pertimbangan efek yang diterima jika individu tersebut meninggalkan organisasi tersebut. Seorang individu dengan komitmen kontinuans yang tinggi akan berkomitmen untuk tetap berada dalam organisasi tersebut karena individu tersebut merasa ia membutuhkan organisasi tersebut. 3. Komitmen Normatif (Normative Commitment) Komitmen normatif adalah komitmen yang berkembang dalam sebuah individu terhadap organisasi disebabkan oleh perasaan bahwa individu harus berada dan melanjutkan perannya dalam organisasi tersebut. Seorang individu dengan komitmen normatif yang tinggi akan berkomitmen untuk tetap berada dalam organisasi tersebut karena individu tersebut merasa ia harus berada dalam organisasi tersebut. Menurut McMahon (2007), dari ketiga tipekomitmen terhadap organisasi berdasarkan Three-Component Model diatas, komitmen afektif merupakan aspek yang paling berhubungan dengan perilaku kerja positif seperti kehadiran, kinerja dan kepercayaan kepada organisasi. Meta-analisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen afektif menunjukkan adanya hubungan yang kuat dengan dukungan organisasional, keadilan interaksional, dan kepemimpinan yang transformasional. Komitmen afektif sebaliknya, berhubungan terbalik dengan ambiguitas peran kerja, sedangkan kepuasan kerja, keterlibatan kerja, dan komitmen kerja memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap komitmen afektif. Komitmen afektif yang tingi memiliki dampak positif terhadap
Universitas Sumatera Utara
42
organisasi, dimana terdapat hubungan antara tingkat komitmen afektif terhadap rendahnya turnover pekerja, dan perilaku diluar lingkungan kerja seperti perilaku bermasyarakat yang positif. Temuan ini menunjukkan bahwa komitmen afektif berhubungan terhadap spontanitas organisasi, yaitu perilaku individual yang proorganisasi diluar perannya sebagai anggota organisasi yang dilakukan tanpa melihat imbalan. Komitmen kontinuans, meskipun tidak memilki pengaruh sebesar komitmen afektif dalam mempengaruhi perilaku kerja individu dalam organisasi, tidak selalu memiliki nilai yang lebih rendah dibanding komitmen afektif. Pekerja dengan masa kerja yang panjang dan sudah mengidentifikasi dirinya dengan organisasi tempatnya bernaung mungkin dapat menunjukkan nilai komitmen kontinu yang lebih tinggi dibanding komitmen afektif. Pekerja dengan nilai komitmen kontinu yang lebih tinggi cenderung memiliki nilai yang tinggi untuk terjadinya konflik kerja dan ambiguitas peran kerja. Dalam keadaan tersebut, pekerja dengan komitmen kontinu yang tinggi menganggap dirinya tidak memiliki alternatif lain sehingga dirinya berusaha sekuat mungkin untuk menjaga posisinya, biarpun beresiko berdampak negatif bagi pertumbuhan organisasi (McMahon, 2007). Komitmen normatif sendiri dianggap sebagai bentuk kecil dari komitmen afektif, namun memiliki efek jangka panjang yang lebih kuat dibanding komitmen afektif. Komitmen normatif timbul sebagai kompas moral individu dan menyebabkan seorang individu berperilaku dalam cara dimana dirinya tidak memperdulikan keuntungan pribadi terlebih dahulu disebabkan menurut dirinya hal tersebut benar secara moral. Komitmen normatif dapat berkembang jika
Universitas Sumatera Utara
43
sebuah organisasi menawarkan imbalan kepada pekerja terlebih dahulu sebelum mulai bekerja seperti jaminan pendidikan, atau adanya jaminan posisi untuk jangka panjang. Pemberian imbalan yang diawal ini menyebabkan individu tidak memikirkan imbalan dirinya lagi sebelum berpikir untuk merancang tindakan bagi organisasi tempatnya bekerja. Allen & Meyer (1990) membagi anteseden komitmen organisasi berdasarkan tiga komponen komitmen organisasi, yaitu: 1. Anteseden komitmen afektif terdiri dari karakteristik pribadi, karakteristik jabatan, pengalaman kerja, serta karakteristik struktural. Karakteristik struktural meliputi besarnya organisasi, kehadiran serikat kerja, luasnya kontrol, dan sentralisasi otoritas. Dari keempat anteseden tersebut, anteseden yang paling berpengaruh adalah pengalaman kerja, terutama pengalaman atas kebutuhan psikologis untuk merasa nyaman dalam organisasi, identifikasi diri dalam organisasi dan keterlibatan dalam menjalankan peran kerja. 2. Anteseden komitmen kontinuans terdiri dari besarnya dan/atau jumlah investasi atau taruhan sampingan individu, dan persepsi atas kurangnya alternatif pekerjaan lain. Karyawan yang merasa telah berkorban ataupun mengeluarkan investasi yang besar terhadap organisasi akan merasa rugi jika meninggalkan organisasi karena akan kehilangan apa yang telah diberikan selama ini. Sebaliknya, karyawan yang merasa tidak memiliki pilihan kerja lain yang lebih menarik akan merasa rugi jika meninggalkan organisasi karena belum tentu
Universitas Sumatera Utara
44
memperoleh sesuatu yang lebih baik dari apa yang telah diperolehnya selama ini. 3. Anteseden komitmen normatif terdiri dari tanggung jawab moral individu terhadap organisasi serta pengalaman sosialisasi selama berada dalam organisasi. Komitmen normatif karyawan dapat tinggi jika sebelum masuk ke dalam organisasi, orang tua karyawan yang juga bekerja dalam organisasi tersebut menekankan pentingnya kesetiaan pada organisasi. Sementara itu, jika organisasi menanamkan kepercayaan pada karyawan bahwa organisasi mengharapkan loyalitas karyawan maka karyawan juga akan menunjukkan komitmen normatif yang tinggi.
E. Komunikasi tentang Perubahan Organisasi Griffin (2006) mendefinisikan komunikasi sebagai proses penciptaan dan interpretasi pesan yang saling berhubungan yang bertujuan untuk memicu sebuah respon. Komunikasi juga merupakan proses dimana individu secara interaktif menciptakan,
mempertahankan dan mengatur pengertian. Sementara itu
komunikasi organisasi didefinisikan sebagai aktivitas dari sebuah perkumpulan yang terkoordinasi untuk mencapai tujuan baik tujuan individu dan kelompok. Komunikasi organisasi merupakan cabang dari studi komunikasi umum yang merupakan komponen manajemen efektif. Komunikasi organisasi merupakan komunikasi yang terjadi antara pekerja maupun anggota organisasi. Dalam ini termasuk juga usaha komunikasi formal dalam organisasi, komunikasi kelompok
Universitas Sumatera Utara
45
informal yang terjadi dalam kelompok kerja maupun antar kelompok kerja, serta komunikasi verbal pemimpin dan supervisor. Banyak penelitian memfokuskan pada pentingnya komunikasi tentang perubahan organisasi. Wojtecki dan Peters (2000) meneliti pentingya komunikasi tentang perubahan organisasi pada implementasi teknologi informatika pada organisasi yang masih berpegang pada alat komunikasi tradisional. Mereka menyatakan bahwa prinsip terutama dalam komunikasi tentang perubahan adalah persepsi pekerja merupakan kenyataan. Pekerja lebih bereaksi terhadap ancaman yang dapat terjadi jika terjadi perubahan dibanding dengan kenyataan yang ada saat itu. Maka dari itu, ketika pekerja memberi respon yang ekstrim terhadap sebuah perubahan, maka manajemen harus memeriksa kembali perubahan yang direncanakan serta melihat bagaimana persepsi pekerja terhadap rencana itu sendiri. Menurut Foehrenback dan Rosenberg (1983) sebagian besar pekerja menyatakan bahwa supervisor langsungnya merupakan sumber informasi pertama yang dipercayai, disusul dengan manajemen atau pimpinan dan serikat kerja. Komunikasi tentang perubahan organisasi dipengaruhi oleh kekuatiran pekerja terhadap ancaman dan kepercayaan pekerja terhadap perusahaan. Dalam situasi dimana tingkat kekuatiran pekerja terhadap perubahan sangat besar, sebaiknya metode penyampaian komunikasi dilakukan dengan cara yang tradisional, dengan tatap mata dibanding melalui media informasi. Hal ini disebabkan karena kredibilitas dan kepercayaan individu terhadap penyampai informasi memegang peranan yang sangat penting dalam keberhasilan penyampaian informasi. Elving (2005) menyatakan bahwa komunikasi tentang perubahan organisasi merupakan prekursor atau antesenden menuju kesiapan berubah
Universitas Sumatera Utara
46
pekerja. Tujuan komunikasi tentang perubahan organisasi yang terutama adalah mengurangi ketidakpastian dan mengurangi sikap negatif terhadap perubahan yang terwujud melalui resistensi.
E.1. Definisi Komunikasi tentang Perubahan Organisasi Communications of Organizational Change atau komunikasi tentang perubahan organisasi didefinisikan oleh Hall (1996) sebagai pertukaran informasi dan transmisi pemahaman tentang perubahan dalam sebuah organisasi dan terjadi secara vertikal dan horizontal. Menurut Covin dan Kilmann (1990) perubahan dalam organisasi membutuhkan komunikasi yang baik, dimana kurangnya kualitas dan kuantitas komunikasi dapat menyebabkan tujuan perubahan yang tidak jelas. Menurut Elving (2005) komunikasi tentang perubahan memiliki dua tujuan yaitu pertama untuk menginformasikan perubahan kerja dan kebijakan yang terjadi, dan kedua untuk menciptakan komunitas didalam organisasi. Menurut Fox (2001) terdapat lima isu yang harus diperhatikan dalam penyampaian pesan perubahan dalam organisasi yaitu isi pesan itu sendiri, bagaimana pesan tersebut disampaikan, karakteristik pemimpin perubahan atau penggagas perubahan tersebut, interaksi antara pemimpin dengan audiens dalam hal ini pekerja, dan situasi saat interaksi tersebut dilakukan. Maka berdasarkan uraian yang dikemukakan oleh para ahli di atas, komunikasi tentang perubahan organisasi dapat didefinisikan sebagaipertukaran informasi secara vertikal dan horizontal dan transmisi pemahaman tentang perubahan yang terjadi dalam organisasi tersebut, termasuk didalamnya mengenai perubahan kebijakan yang terjadi yang akan berdampak pada perubahan kerja.
Universitas Sumatera Utara
47
E.2. Dimensi Komunikasi tentang Perubahan Organisasi Menurut Elving (2005) terdapat beberapa dimensi komunikasi tentang perubahan organisasi, yaitu: 1. Tingkat Resistensi terhadap Perubahan Resistensi didefinisikan sebagai bentuk penolakan terhadap perubahan oleh individu atau kelompok. Resistensi timbul akibat implementasi perubahan yang tidak berdampak sebelumnya. Durmaz (2007) menyatakan bahwa resistensi muncul sebagai akibat ketidakpastian informasi perubahan dan pemikiran bahwa perubahan organisasi akan merubah atau menghilangkan sesuatu yang berharga dari individu tersebut sebagai dampak perubahan organisasi secara menyeluruh. 2. Proses Penyampaian Informasi Penyampaian informasi mengenai perubahan dalam organisasi harus tepat dalam hal penyampai dalam hal ini pemimpin atau manajer, isi yang disampaikan harus menyeluruh dan dapat dipahami dan apa pengaruh yang ditimbulkan bagi masing-masing individu dalam proses kerjanya, dan yang terakhir adalah penerima pesan harus dalam keadaan siap untuk menerima informasi perubahan tersebut dan mampu berdiskusi dua arah dengan manajemen mengenai perubahan yang terjadi.
F. Implementasi Performance Management System di PT. Permata Hijau Group PT Permata Hijau Group sebagai salah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang palm oil producer and distributor terbesar di Indonesia mulai
Universitas Sumatera Utara
48
merubah sistem manajemen performa karyawannya dalam satu tahun terakhir ini. Sebelumnya PT Permata Hijau Group masih menggunakan sistem konvensional dengan performance appraisal dimana setiap awal tahun setiap karyawan akan dinilai oleh atasan langsungnya dengan instrumen yang berisi pernyataanpernyataan mengenai kinerja karyawan dan dinilai dengan sistem rating, diantaranya yang dinilai adalah job knowledge, skill and abilities, quality of work, productivity, reliability, dan communication. Selanjutnya form ini akan dikumpulkan dan kemudian dikoding untuk melihat rating kinerja karyawan tersebut dari A (sangat superior) sampai E (sangat inferior). Kelemahan dari sistem ini adalah subjektivitas dari atasan dan kriteria yang terlalu umum dan tidak dapat menilai kinerja karyawan per individu secara baik. PT Permata Hijau Group kemudian mulai menggunakan KPI and Competency-Based Performance Management System yang berdasarkan pada konsep Balanced Scorecard. Keuntungan dari sistem ini antara lain: 1. Meningkatnya kejelasan akan tujuan dan perilaku yang diharapkan melalui manajemen aktif 2. Mengatur standar kinerja dan pengembangan berdasarkan kinerja superior 3. Mengetahui karyawan dengan kinerja superior dan menghargainya 4. Lebih fokus dengan iklim manajemen yang mampu mempertahankan kinerja 5. Lebih sesuai dengan proses manajemen kritikal seperti pengembangan karyawan, training, perencanaan suksesi dan lain-lain.
Universitas Sumatera Utara
49
6. Disesuaikan dengan rencana strategis dan bisnis, nilai-nilai dan visi dan misi perusahaan. Dalam menjalankan sistem manajemen kinerja ini, PT Permata Hijau Group mengikuti empat langkah implementasi sistem ini, yaitu 1. Planning, dimana perusahaan merencanakan dan menentukan standar kinerja dan merumuskan strategi kinerja. Dalam tahap ini perusahaan merencanakan aspek kinerja yang akan menjadi indikator. Dalam hal ini, perusahaan juga menetapkan KPI dan Kamus Kompetensi bagi setiap posisi dan menentukan metode evaluasi yang direncanakan. Perusahaan membuat timeline dan menentukan target implementasi perubahan sistem ini dalam satu tahun. 2. Coaching, dimana perusahaan memastikan kinerja optimal dari seluruh karyawan. Seluruh karyawan ditetapkan untuk diberi pelatihan, kemudian setiap manajer diberikan pelatihan untuk melakukan coaching kepada seluruh karyawan. Selanjutnya intervensi terhadap kinerja karyawan yang tidak sesuai dengan perencanaan akan dilakukan oleh manajer, termasuk membuat laporan sementara. Hal ini memastikan seluruh karyawan mampu memberi dan menerima umpan balik baik dari atasan, bawahan, maupun sesama (360 degrees feedback). 3. Reviewing. Dalam tahapan ini perusahaan melakukan assessment terhadap seluruh karyawan berdasarkan kompetensi dan KPI yang dicapai. KPI yang ditentukan tidak lebih dari 6 item, dimana 2-3 dari seluruh item ini merupakan indikator primer/utama sementara sisanya
Universitas Sumatera Utara
50
merupakan indikator sekunder. Selanjutnya seluruh karyawan dinilai dengan sistem rating setelah dikombinasikan pencapaian KPI yangberhasil dilakukan dan kompetensi karyawan tersebut seperti yang sudah ditentukan. 4. Rewarding. Dalam tahapan ini perusahaan memberikan reward baik finansial maupun non finansial dan kembali mempersiapkan planning untuk tahun selanjutnya serta meminta umpan balik mengenai manajemen kinerja karyawan.
G. Pengaruh Kesiapan Berubah terhadap Penerapan Performance Management System Menurut Armenakis (1999), kesiapan berubah tampak dalam keyakinan, sikap, dan intensi yang menyangkut perubahan apa yang perlu dilakukan dan kemampuan organisasi untuk secara sukses melakukan perubahan tersebut. Sejalan dengan pernyataan diatas, perubahan harus diikuti dengan kapasitas organisasi untuk berubah dan menyesuaikan diri dengan lingkungan secara cepat dan
efektif
agar
2009).Knickerbocker
mampu dan
tetap
McGregor
bertahan
(Slocum
(1991)
menyatakan
&
Hellriegel,
bahwa
untuk
meningkatkan usaha kooperatif dan efisiensi dalam perusahaan, perubahan harus diterima oleh pekerja sebagai hal yang penting dan beralasan. Bernerth (2004) menemukan bahwa faktor keberhasilan perubahan organisasi adalah kesiapan karyawan dalam berubah. Sejalan dengan Bernerth, Holt (2007) mengemukakan bahwa individu dengan kesiapan berubah yang lebih tinggi akan lebih berpegang pada perubahan yang dilakukan dan menunjukkan dukungan yang lebih baik.
Universitas Sumatera Utara
51
Halgrimsson (2008) dalam penelitiannya menemukan bahwa peningkatan kesiapan berubah akan meningkatkan implementasi perubahan dalam organisasi. Hal ini disebabkan oleh umpan balik dari kepuasan kerja yang meningkat ketika seorang karyawan siap dalam menghadapi perubahan. Alasan lain adalah berkurangnya
ketidakpastian
(uncertainty)dengan
meningkatnya
kesiapan
berubah.
H. PengaruhKomitmen terhadap Organisasiterhadap Penerapan Performance Management System Iverson (1996) menyatakan bahwa komitmen merupakan salah satu determinan terpenting bagi suksesnya sebuah perubahan. Lau dan Woodman (1995) menyatakan bahwa komitmen pekerja terhadap organisasi mempengaruhi bagaimana perubahan dievaluasi. Pekerja yang berkomitmen terhadap organisasi akan menerima perubahan. Semakin tinggi simpati yang dimiliki pekerja terhadap perubahan, semakin besar keinginannya untuk menerima perubahan dalam organisasi. Hal ini sejalan dengan penelitian Greenberg dan Baron (1993) menemukan bahwa karyawan yang memiliki komitmen terhadap organisasi yang tinggi akan lebih stabil dan lebih produktif sehingga akhirnya dapat mendukung perubahan dalam organisasi. Mowday, Porter dan Steers (1982) menemukan bahwa karyawan yang memiliki komitmen terhadap organisasi yang tinggi akan lebih termotivasi untuk hadir dalam organisasi dan berusaha mencapai tujuan organisasi, termasuk tujuan organisasi untuk merubah sistem yang ada. Dalam penelitiannya, Becker (1996) menyatakan bahwa keterikatan psikologis pekerja terhadap organisasi dipengaruhi oleh komitmen dan mempengaruhi tingkat sikap
Universitas Sumatera Utara
52
negatif (stres dan sinisme) terhadap perubahan. Hal ini didukung oleh Vakola dan Nikolaou (2005) yang menyatakan komitmen pekerja terhadap organisasi berhubungan dengan sinisme terhadap perubahan, dimana semakin tinggi tingkat sinisme pekerja, maka komitmen pekerja terhadap organisasi semakin rendah. Berdasarkan pembagian komponen komitmen menurut Meyer dan Allen (1997), terdapat beberapa hal dalam komitmen organisasi yang mempengaruhi implementasi perubahan dalam organisasi. Komitmen afektif dipengaruhi oleh keterikatan emosional, identifikasi individu dalam organisasi dan keterlibatan individu dalam organisasi. Dalam hal ini maka keterlibatan individu dalam organisasi memegang peranan penting dalam implementasi perubahan. Individu yang memiliki komitmen afektif yang rendah dikarenakan keterlibatan dalam organisasi yang rendah akan mengalami kesulitan dalam penerapan perubahan. Komitmen kontinuans dipengaruhi oleh persepsi individu akan alternatif pekerjaan lain, maka individu dengan komitmen kontinuans yang rendah dapat memiliki niat untuk meninggalkan organisasi lebih tinggi, dan ini akan berdampak buruk bagi organisasi yang sedang menjalani perubahan. Komitmen normatif dipengaruhi oleh loyalitas dan tanggung jawab moral individu untuk berada dalam organisasi. Maka semakin tinggi komitmen normatif yang dimiliki oleh seorang pekerja, semakin tinggi juga loyalitas dan tanggung jawab moral pekerja untuk menjalankan perubahan dan tetap berada dalam organisasi selama penerapan perubahan tersebut.Dunham, Grube, dan Castaneda (1994) menyatakan bahwa komitmen normatif dan afektif memiliki pengaruh yang signifikan kepada persepsi terhadap manajemen parsipatif. Hal ini yang kemudian akan membantu penerapan perubahan dalam perusahaan.
Universitas Sumatera Utara
53
I. Pengaruh Komunikasi tentang Perubahan Organisasiterhadap Penerapan Performance Management System DiFonzo dan Bordia (1995) menyatakan bahwa komunikasi perubahan yang buruk akan menyebabkan adanya rumor, dan meningkatnya resistensi terhadap perubahan. Kotter dan Schlesinger (1979) juga menyatakan bahwa sikap negatif pekerja terhadap perubahan (sinisme dan skeptisisme) berhubungan terbalik dengan persepsi pekerja terhadap kecukupan informasi terhadap pekerja. Kurangnya komunikasi merupakan faktor terpenting yang menyebabkan resistensi terhadap perubahan. Stanley, Meyer dan Topolnytsky (2005) menyatakan bahwa dalam keadaan dimana resistensi pekerja terhadap perubahan sangat besar, maka manajemen harus melakukan strategi lain dalam melakukan komunikasi seperti menempatkan
pekerja
yang
dapat
dipercaya
dalam
organisasi
untuk
mengkomunikasikan dan meyakinkan pekerja lain mengenai keinginan organisasi untuk berubah. Ketidakpercayaan pekerja terhadap motif perubahan organisasi sebagai hasil dari komunikasi yang buruk merupakan sumber resistensi terhadap perubahan. Coch dan French (1978) menyatakan bahwa manajer perlu menciptakan kesiapan berubah dalam pertemuan dengan pekerja untuk mengurangi penolakan dari pekerja. Dalam hal ini, perubahan sistem yang sedang dilakukan oleh perusahaan membutuhkan komunikasi yang efektif. Hal ini sejalan dengan penelitian Newstrom (2007) yang menyatakan bahwa komunikasi merupakan faktor penting dalam mengatasi resistensi dan meningkatkan penerimaan pekerja terhadap perubahan dalam organisasi.
Universitas Sumatera Utara
54
J. Pengaruh Kesiapan Berubah, Komitmen terhadap Organisasi, dan Komunikasi tentang Perubahan Organisasi terhadap Penerapan Performance Management System Visagie dan Steyn (2011) meneliti pengaruh kesiapan berubah, komitmen terhadap organisasi, dan komunikasi tentang perubahan organisasi terhadap perubahan dalam organisasi. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara ketiganya dengan penerapan perubahan organisasi. Dari ketiga variabel tersebut, komitmen terhadap organisasi memegang peran kunci dimana menurut mereka kesiapan berubah dan komunikasi tentang perubahan akan memiliki pengaruh terhadap penerapan perubahan jika disertai oleh komitmen terhadap organisasi yang kuat. Hal ini disebabkan oleh karena komitmen organisasi memegang peran dalam menahan pekerja untuk tetap berada dalam organisasi meskipun dalam periode ketidakpastian. Selain itu komunikasi tentang perubahan organisasi juga memegang pengaruh terhadap penerapan perubahan. Hal ini terjadi jika komunikasi yang disampaikan mempertibangkan personal valence(keuntungan pribadi), yang merupakan dimensi kesiapan berubah. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi tentang perubahan dapat memiliki pengaruh positif terhadap kesiapan berubah, yang akhirnya akan mempengaruhi penerapan perubahan. Durmaz (2007) meneliti hubungan antara kesiapan berubah, komitmen terhadap organisasi, komunikasi tentang perubahan organisasi, kepercayaan terhadap organisasi, penerimaan terhadap perubahan organisasi dan pelatihan terhadap perubahan organisasi. Dari penelitian tersebut dijumpai bahwa kesiapan berubah dan komunikasi tentang perubahan organisasi memiliki pengaruh terhadap
Universitas Sumatera Utara
55
perubahan dalam organisasi. Hal ini disebabkan oleh kesiapan berubah dapat meningkat jika dipicu oleh komunikasi tentang perubahan organisasi yang baik, dan sebaliknya. Sedangkan komitmen terhadap organisasi tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penerapan perubahan. Hal ini mungkin disebabkan oleh karakteristik pribadi dan jabatan yang mempengaruhi komitmen terhadap organisasi. Organisasi dengan karakteristik pribadi anggota organisasi yang lebih homogen dapat mempengaruhi komitmen disebabkan oleh identifikasi diri dan keterikatan emosional yang rendah, sedangkan karakteristik jabatan atau lingkungan kerja yang tidak dinamis akan mempengaruhi komitmen kontinuans sehingga pekerja tidak merasa memiliki sumbangsih yang nyata bagi organisasi (Meyer dan Allen, 1997).
K. Hipotesis Berdasarkan konsep dan kerangka teori tersebut di atas maka hipotesis penelitian ini adalah : Dan hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: H1: terdapat pengaruh kesiapan berubahterhadap penerapan performance management system. H2: terdapat pengaruh komitmen afektifterhadap penerapan performance management system. H3: terdapat pengaruh komitmen kontinuansterhadap penerapan performance management system. H4: terdapat pengaruh komitmen normatifterhadap penerapan performance management system.
Universitas Sumatera Utara
56
H5: terdapat pengaruh komunikasi tentang perubahan organisasiterhadap penerapan performance management system. H6: terdapat pengaruh kesiapan berubah, komitmen afektif, komitmen kontinuans, komitmen normatif, dan komunikasi tentang perubahan organisasi terhadap penerapan performance management system.
Universitas Sumatera Utara