BAB II KONSEP, LANDASARN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Konsep adalah suatu rangkaian kegiatan yang terencana dan sistematis untuk menemukan jawaban suatu permasalahan atau konsep adalah gambaran mental diri objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Alwi, 2003:588).
2.1.1 Fonem dan Fitur Distingtif, Segmen Vokal dan Konsonan. Dalam kajian Fonologi Struktural, fonem dianggap sebagai unsur bahasa yang terkecil dan dapat membedakan arti atau makna (Gleason,1955: 9), sejalan dengan penelitian fonologi yang merupakan suatu penelitian yang mendasar untuk mengetahui struktur bunyi suatu bahasa. Berdasarkan definisi tersebut maka setiap bunyi bahasa, baik segmental maupun suprasegmental apabila terbukti dapat membedakan arti dapat disebut fonem. Setiap bunyi bahasa memiliki peluang yang sama untuk menjadi fonem. Namun, tidak semua bunyi bahasa pasti akan menjadi fonem. Bunyi itu harus diuji dengan beberapa pengujian penemuan fonem. Nama fonem, ciri-ciri fonem, dan watak fonem berasal dari bunyi bahasa. Adakalanya jumlah fonem sama dengan jumlah bunyi bahasa, tetapi sangat jarang terjadi. Lain halnya dalam kajian Fonologi Generatif yang menganggap fitur distingtiflah sebagai satuan terkecil yang membedakan makna. Fitur Distingtif merupakan suatu bentuk perkembangan baru dari fonologi yang bertujuan menganalisis bunyi bahasa sampai ke tahap ciri tertentu yang membedakan sebuah fonem dari yang lain. Tujuan utama teori ini adalah untuk menemukan ciri-ciri minimal yang dapat digunakan untuk membedakan bunyi-bunyi bahasa yang signifikan, dengan demikian dapat membedakan sebuah bahasa dari yang lain. Teori ini diperkenalkan oleh Roman Jakobson seorang pendiri dan tokoh utama Aliran Praha. Dalam pencariannya Jakobson menggunakan partikel-partikel subfonemik yang tidak dapat diuraikan lagi menjadi bagian yang lebih kecil. Berawal dari pendapat Bloomfield yang kurang memuaskan mengakibatkan muncul beberapa paham lain mengenai fonem dan fitur distingtif. Pertama, pada kenyataanya fonem-fonem itu dapat diuraikan menjadi beberapa ciri yang membedakannya satu dengan yang lainnya. Kedua, pada saat teori itu dikemukakan oleh Bloomfield data fonetis ini belum dapat digunakan sebagaimana mestinya karena pada saat itu fonologi masih 6 Universitas Sumatera Utara
mengalami empirisasi. Ketiga, karena ketiadaan data fisik mengenai bunyi-bunyi bahasa maka penjelasan tentang bunyi-bunyi bahasa lebih didasarkan pada psikologis ( Jakobson, R : 1971 ). Bunyi ujaran terbentuk secara alamiah oleh dan di dalam alat-alat pengucapan. Bunyi itu berkelompok dan membentuk dengan apa yang disebut kelas-kelas bunyi bahasa alamiah ( nasal, vokal, hambat, frikatif, dan likuid) . Setiap kelompok itu pun akhirnya memiliki karakter bunyi yang berbeda antara satu dengan yang lain. Dengan memperhatikan letak dan pengucapan bunyi serta ditunjang oleh sifat dan kualitas bunyi ujar itu, para ahli bahasa umumnya berpendapat bahwa ada seperangkat ciri yang menandai perbedaan bunyi-bunyi itu, fitur distingtif inilah yang nantinya disebut sebagai “basic units of phonology” atau unsur terkecil dalam fonologi. Namun, walaupun dalam tatanan Fonologi Generatif menganggap fitur distingtiflah satuan unit terkecil, istilah fonem masih diperbincangkan dan digunakan sebagai bagian di atas fitur distingtif yang bisa disegmenkan sehingga setiap fonem mengandung ciri pembeda dan ciri fitur distingtifnya tersendiri. Sehingga fonem dapat diselevelkan dengan sebutan segmen. Berdasarkan ada tidaknya rintangan terhadap arus udara dalam saluran suara, bunyi bahasa dibedakan menjadi dua kelompok yaitu vokal dan konsonan. Vokal adalah bunyi bahasa yang dihasilkan tanpa penutupan atau penyempitan di atas glotis. Dengan kata lain, vokal adalah bunyi bahasa yang arus udaranya tidak mengalami rintangan, sedangkan konsonan adalah bunyi bahasa yang dihasilkan dengan berbagai hambatan atau penyempitan aliran udara (Alwi dkk, 2003: 49 - 52). Sistem segmen vokal dan konsonan diklasifikasikan dalam dua bunyi yaitu bunyi segmental dan bunyi suprasegmental. Arus ujaran merupakan suatu runtutan bunyi yang bersambung-sambung terus-menerus dan diselang-seling dengan jeda singkat atau jeda agak singkat disertai dengan keras lembut bunyi, tinggi rendah bunyi, panjang pendek bunyi, dan dalam arus ujaran itu ada bunyi yang dapat disegmentasikan sehingga disebut bunyi segmental, tetapi yang berkenaan dengan keras lembut, panjang pendek, dan jeda bunyi tidak dapat disegmentasikan yang disebut bunyi suprasegmental atau prosodi (Chaer, 2007: 120). Jadi pada tingkat fonemik ciri-ciri prosodi itu seperti tekanan, durasi, dan nada bersifat fungsional, atau dapat membedakan makna. Misalnya dalam BAM /ba’gas/ (dengan tekanan pada suku kata pertama) bermakna ‘rumah tempat tinggal’ , sedangkan kata /bagas’/ (dengan tekanan pada suku kata kedua) yang bermakna ‘dalam’. Dengan berbedanya letak tekanan pada kedua kata tersebut yang telah menunjukkan unsur segmentalnya menyebabkan makna kedua kata itu berbeda. 7 Universitas Sumatera Utara
Untuk menentukan suatu bunyi dalam suatu bahasa merupakan salah satu segmen vokal atau konsonan maka hal itu bisa diuji melalui pasangan minimalnya. Pasangan minimal bertujuan untuk menciptakan kekontrasan yang pada gilirannya menunjukkan segmen yang berbeda. Dua segmen yang saling mengantikan dalam kerangka yang sama jika menghasilkan kata atau morfem yang berbeda dalam bahasa itu disebut kontras. Hal ini dapat kita lihat pada BAM. Misalnya: 1. /bolu/
:
/tolu/
→ /b/ dan /t/ pada awal kata
2. /hayu/
:
/halu/
→ /y/ dan /l/ pada tengah kata
3. /sale/
:
/sali/
→ /e/ dan /i/ pada akhir kata
Setiap segmen memiliki hubungan yang sistematis dalam lingkungan atau tempat segmen itu direalisasikan. Perangkat lingkungan tempat perealisasian segmen dinamakan distribusi (periksa Carr, 1994: 15) . Melalui distribusi ini dapat dilihat apakah sebuah segmen dapat diekspresikan pada semua lingkungan atau hanya pada lingkungan tertentu saja. Jika sebuah segmen mampu menempati diseluruh lingkungan, segmen itu berdistribusi lengkap. Sebaliknya, bila segmen itu hanya menempati lingkungan tertentu berarti segmen itu berdistribusi tidak lengkap.
2.1.2 Bahasa Angkola-Mandailing Bahasa merupakan alat komunikasi yang dipakai untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan. Bahasa tidak dapat dipisahkan dari manusia, karena bahasa selalu mengikuti setiap aktifitasnya. Samsuri (1987:3) mengatakan bahwa bahasa erat hubungannya dengan pemakai bahasa, karena bahasa merupakan alat yang paling vital bagi kehidupan manusia. Lebih lanjut Samsuri mengatakan bahwa fungsi bahasa adalah sebagai alat yang dipakai untuk membentuk pikiran, perasaan, keinginan, dan perbuatan. Bahasa juga merupakan alat untuk mempengaruhi manusia. Dari uraian di atas tampaklah bahwa bahasa adalah dasar utama yang paling berakar pada manusia. Masyarakat Indonesia pada umumya masyarakat yang dwibahasawan, sekurangkurangnya mengenal dua bahasa. Pertama bahasa daerah , sedangkan yang kedua adalah bahasa Indonesia (Samsuri, 1987:56). Keanekaragaman bahasa daerah mencerminkan kekayaan budaya nasional, maka sangat penting dijaga dan dilestarikan di tengah masyarakat penuturnya.
8 Universitas Sumatera Utara
Bahasa daerah yang dipakai di wilayah nusantara menurut politik bahasa nasional berkedudukan sebagai salah satu unsur kebudayaan nasional dan dilindungi oleh negara. Salah satu di antara bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia adalah BAM. Hingga saat ini BAM tetap dapat bertahan dari derasnya pengaruh bahasa lain terutama bahasa Indonesia. Keberadaan BAM yang tetap bertahan tidak lepas dari pengaruh sikap dan perilaku penuturnya. BAM termasuk rumpun bahasa Melayu, tetapi bila dibedakan antara protomalaya (Melayu Kono) dari Dutoromalaya (Melayu Muda, Melayu Pesisir) maka BAM adalah cabang dari Protomalaya sebagaimana bahasa Jawa dan bahasa Toraja adalah cabang dari bahasa Melayu Kuno (Anicetus, 2002: vii). BAM merupakan bahasa dari provinsi Sumatera Utara yang masih satu keluarga dengan bahasa Batak Toba, bahasa Pakpak, bahasa Simalungun, dan bahasa-bahasa di Sumatera Utara lainnya. BAM digunakan masyarakat penutur bahasanya untuk berkomunikasi dan berinteraki dengan sesamanya khususnya di daerah Kecamatan Sipirok. BAM juga merupakan salah satu dari sekian banyaknya bahasa-bahasa daerah di nusantara yang secara gramatikal mempunyai khas, sistem tata bahasa, dan arti kata tersendiri. Ada perdebatan antara bahasa Mandailing dan Angkola yang menyatakan kedua bahasa ini sama atau tidak. Bahasa Mandailing dan Angkola sebenarnya tidak terpisahkan karena kedekatan kultural dan geografis. Berdasarkan hasil pemetaan bahasa yang dilakukan oleh Tim Pemetaan Bahasa, Balai Bahasa Medan, Pusat Bahasa, tahun 2007 menunjukkan bahwa antara bahasa Angkola dan Mandailing tidak mempunyai perbedaan yang signifikan. Penggunaan nama bahasa Angkola dan bahasa Mandailing tidak bisa diterima sebab masing-masing masyarakat pengguna bahasa tersebut masih dapat melakukan komunikasi dengan baik, walaupun pada beberapa makna tertentu mereka saling tidak memahami. Setelah dilakukan penghitungan dialektometri terhadap kedua bahasa tersebut, maka dapat dibuktikan bahwa penggunaan nama atau istilah bahasa untuk bahasa Angkola dan Mandailing tidak bisa digunakan sebab persentase perbedaannya hanya 48,75%. Ini berarti istilah yang cocok digunakan untuk bahasa bahasa tersebut adalah Angkola Mandailing karena perbedaannya hanya pada subdialek. Jadi, bahasa Angkola dan Mandailing merupakan satu bahasa yang sama. Sibarani (1997) menjelaskan, pembagian linguistik bahasa Batak di Sumatera Utara terdiri atas bahasa Batak Toba, bahasa Batak Karo, bahasa Batak Simalungun, bahasa Batak Pakpak Dairi, dan bahasa Batak Angkola-Mandailing. Artinya Sibarani menganggap bahasa Angkola dan Mandailing merupakan bahasa yang sama. Begitu pula 9 Universitas Sumatera Utara
dengan Kozok (1999) mengatakan bahasa Angkola dan Mandailing adalah dua bahasa yang mempunyai sedemikian banyak persamaan sehingga pada umumnya disebut bahasa Angkola-Mandailing saja. Berdasarkan hasil wawancara singkat peneliti terhadap beberapa masyarakat di Kecamatan Sipirok, beberapa dari mereka mengaku bahasa yang ia gunakan adalah bahasa Angkola, ada yang mengaku bahasa Mandailing, dan ada pula yang mengaku bahasa Angkola-Mandailing. Untuk itu berdasarkan beberapa fakta-fakta dan sumber referensi di atas, peneliti memilih bahasa Angkola-Mandailinglah (BAM) yang menjadi nama dari objek penelitian ini.
2.2 Landasan Teori Menurut Kridalaksana (2002) dalam kamus linguistik, fonologi adalah bidang dalam linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya. Muslich (2008) mengatakan fonologi adalah kajian mendalam tetang bunyi-bunyi ujaran. Sedangkan Schane (1992) secara singkat mengatakan fonologi adalah kajian linguistik yang menelahan struktur bunyi. Fonologi mempunyai dua cabang kajian. Pertama, fonetik yaitu cabang kajian yang mengkaji bagaimana bunyi-bunyi fonem sebuah bahasa direalisasikan atau dilafalkan. Fonetik juga mempelajari cara kerja organ tubuh manusia terutama yang berhubungan dengan penggunaan bahasa. Chaer (2007) membagi urutan proses terjadinya bunyi bahasa itu, menjadi tiga jenis fonetik, yaitu: fonetik artikulatoris atau fonetik organis atau fonetik fisiologi, mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja dalam menghasilkan bunyi bahasa serta bagaimana bunyi-bunyi itu diklasifikasikan, fonetik akustik mempelajari bunyi bahasa sebagai peristiwa fisis atau fenomena alam (bunyibunyi itu diselidiki frekuensi getaranya, aplitudonya,dan intensitasnya), dan fonetik auditoris mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu oleh telinga kita ( Dew dan Jensen, 1997: 3 dalam Muclich, 2008: 8-10). Dari ketiga jenis fonetik tersebut yang paling berurusan dengan dunia lingusitik adalah fonetik artikulatoris, sebab fonetik inilah yang berkenaan dengan masalah bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu dihasilkan atau diucapkan manusia. Sedangkan fonetik akustik lebih berkenaan dengan bidang fisika, dan fonetik auditoris berkenaan dengan bidang kedokteran. Kedua, fonemik yaitu
kesatuan bunyi terkecil suatu bahasa yang berfungsi
membedakan makna. Chaer (2007) mengatakan bahwa fonemik mengkaji bunyi bahasa yang dapat atau berfungsi membedakan makna kata. Misalnya bunyi [labu] dan [rabu] 10 Universitas Sumatera Utara
jika dibandingkan perbedaannya hanya pada bunyi yang pertama, yaitu bunyi [l] dan bunyi [r]. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedua bunyi tersebut adalah fonem yang berbeda dalam bahasa Indonesia, yaitu fonem [l] dan [r]. Sebuah fonem atau gabungan dari beberapa fonem yang dihembuskan dalam satu ketukan sehingga membentuk sebuah kata disebut suku kata. Untuk memecahkan permasalan suku kata para linguis menggunakan teori sonoritas dan teori prominans. Teori sonoritas menjelaskan bahwa suatu rangkaian bunyi bahasa yang diucapkan oleh penutur selalu terdapat puncak-puncak kenyaringan (sonoritas) di antara bunyi-bunyi yang diucapkan. Puncak kenyaringan ini ditandai dengan denyutan nada yang menyebabkan paru-paru mendorong udara keluar. Misalnya dalam BAM, kata /sega/ terdiri atas dua puncak kenyaringan yaitu /e/ pada /se/ dan /a/ pada /ga/. Teori
prominans
menitikberatkan
pada
gabungan
sonoritas
dan
ciri-ciri
suprasegmental, terutama jeda. Ketika rangkaian bunyi diucapkan selain terdengan satuan kenyarngan bunyi, juga terasa adanya jeda di antaranya, yaitu kesenyapan sebelum dan sesudah puncak kenyaringan. Atas anjuran teori ini , batas di antara bunyi-bunyi puncak diberi tanda plus (+). Jadi kata /sega/ ditranskripsikan menjadi /se+ga/. Ini berarti kata tersebut terdiri dari dua suku kata. Berdasarkan teori sonoritas dan teori prominans diketahui bahwa sebagian besar struktur suka kata terdiri dari satu bunyi sonor yaitu vokal, baik didahului konsonan atau tidk didahului konsonan. Penyataan tersebut dirumuskan sebagai berikut:
(K) V (K)
Rumusan diatas menjelaskan bahwa vokal merupakan unsur yang harus dimiliki dalam sebuah suku kata, sedangkan konsonan adalah unsur manasuka. Bunyi puncak sonoritas suku kata disebut nuklus, konsonan yang mendahului vokal disebut onset, dan konsonan yang mengikuti vokal disebut koda ( Muslich, 2008: 73-75 ) Fonologi Generatif merupakan teori yang mutahir untuk saat ini dan teori ini juga akan diaplikasikan pada penelitian ini. Teori Fonologi Generatif muncul dan berkembang seiring menurunnya pamor teori Fonologi Deskriptif dan Fonologis Struktural. Munculnya teori ini sebagai konsekuensi logis perkembangan ilmu linguistik. Tata bahasa generatif pertama kali dikenalkan oleh Noam Chomsky dalam bukunya yang berjudul Syntactic Structure (1957). Menurut model tata bahasa generatif ini, proses pembentukan kalimat harus melewati tiga rumus, yaitu rumus struktur frase, rumus transformasi dan rumus 11 Universitas Sumatera Utara
morfofonemik. Apabila ketiga rumus tersebut diterapkan, maka akan didapatkan hasil yang berupa serangkaian fonem dalam bahasa yang bersangkutan dan digunakan dalam struktur fonetik berupa ujaran yang didengar. Chomsky pada mulanya hanya berbicara generatif pada level kalimat tetapi kemudian diterapkan dalam tataran lain seperti morfologi dan fonologi. Namun teori Fonologi Generatif yang akan digunakan pada penelitian ini yaitu teori yang dikemukakan oleh Schane (1992). Salah satu yang membedakan Fonologi Struktural dengan Fonologi Generatif adalah Fonologi Struktural menganggap satuan unit terkecil ialah fonem sedangan Fonologi Generatif mengganggap fonem masih dapat diperkecil lagi sehinga satuan yang paling terkecil ialah fitur distingtif. Untuk memahani fitur distingtif, penelitian ini tidak akan terlepas dari segmen sabagai satuan yang terbentuk dari peragkat-perangkat sifat sebagai satuan tak terbagi. Hubungan yang terdapat secara eksplilis dari setiap segmen adalah yang dikenal sebagai fitur dalam tatanan Fonologi Generatif. Konsep signifikansi dalam fonologi menyangkut perbedaan segmen pada level fonetis, apakah bersifat fonemis atau alofonis. Segmen yang berbeda secara fonemis digolongkan sebagai segmen asal. Untuk mengidentifikasi segmen asal akan diadopsikan mekanisme Pike (1961: 73), yang menyebutkan bahwa segmen cendrung dimodifiksi oleh segmen lain dalam lingkungannya. Dua prosedur dari mekanisme itu (yang lazim itu lazim disebut pasangan minimal) yaitu 1) segmen yang secara fonetis mirip harus digolongkan kedalam kelas yang berbeda apabila terdapat dalam lingkungan yang mirip dan 2) segmen yang secara fonetis mirip harus digolongkan kedalam kelas yang berbeda apabila terdapat dalam lingkungan yang sama. Segmen fonologi memiliki dua tataran representasi, yaitu representasi fonemis dan representasi fonetik. Kedua representasi ini selain berbeda dalam penggunaan notasi, juga berbeda dalam tingkat keabstrakannya. Representasi fonemis dan dianggap lebih abstrak dibandingkan representasi fonetis sebab rincian fonetisnya lebih terbatas. Bagaimana realisasi dari kedua representasi ini ditunjukkan dalam bagan berikut.
representasi fonemis (/ /)
representasi fonetis ([ ])
Representasi di atas pada dasarnya menggambarkan proses penurunan sebuah segmen. Schane (1992: 43) mengatakan apabila terjadi proses fonologis biasanya: 12 Universitas Sumatera Utara
1. Ada satu atau lebih segmen yang dipengruhi. 2. Segmen yang dipengaruhi itu akan mengalami perubahan. 3. Perubahan itu pada umumnya terjadi pada lingkungan tertentu. Jika proses yang terjadi berlangsung secara sistematis tentunya dapat dikaidahkan. Melalui kaidah fonologis, semua varian segmen dalam lingkungan yang berbeda dapat diderivasikan dari segmen asalnya. Deskripsi proses derivasi dari sebuah segmen bisa dipetakan dalam empat kaidah fonologis, (Schane 1993: 65) yaitu. 1. Kaidah perubahan ciri Tujuan kaidah perubahan ciri yaitu ingin mengetahui tiga hal, 1) segmen mana yang berubah, 2) bagaimana segmen itu berubah, dan 3) dalam kondisi apa segmen itu berubah. 2. Kaidah pelepasan dan penyisipan Pelepasan dan penyisipan dinyatakan dengan Ø, simbol nol. Segmen yang mengalami pelepasan muncul di sebelah kiri tanda panah, dan Ø di sebelah kanan. 3. Kaidah permutasian dan perpaduan 4. Kaidah variabel
Keempat kaidah di atas tidak hanya diterapkan dalam sebuah segmen dalam suatu morfem, tetapi juga pada hubungan antarmorfem atau di antara morfem-morfem yang berdekatan. Untuk proses fonologis yang melibatkan sebuah segmen, terlihat pada bagan berikut. /x/
-----> [y] / z______z
Keterangan: 1. Segmen yang dipengaruhi muncul di sebelah kiri tanda panah ( /x/ ). 2. Perubahan itu muncul disebelah kanan ( [y] ) 3. Lingkungan itu ditemukan sesudah garis miring ( z_____z) 4. ‘z_____z’ artinya perubahan terjadi apabila terdapat pada sesudah atau sebelum konsonan atau vokal tertentu.
Selanjutnya Schane (1992) juga menyebutkan, tata bahasa generatif berhubungan dengan proses fonologis dimana setiap bahasa mengalami proses fonologis yang tidak hanya disebabkan adanya interaksi dengan bunyi lain tetapi juga dipengaruhi oleh aspekaspek morfologis ataupun sintaksis. Proses fonologis biasanya terjadi pada tingkat kata maupun frasa. Proses fonologis yang terjadi pada tingkat kata sebagai satu unit morfem 13 Universitas Sumatera Utara
bebas maupun gabungan antara morfem terikat dengan morfem lain dan salah satu dari bunyi morfem tersebut mengalami perubahan karena pengaruh bunyi dari morfem lain. Proses fonologis lain terjadi pada tingkat frasa, yaitu pada saat perubahan bunyi terjadi karena pengaruh faktor sintaksis. Ketika morfem bergabung mengalami perubahan, perubahan itu juga terjadi dalam lingkungannya yang bukan berupa pertemuan kedua morfem, misalnya posisi awal kata dan akhir kata atau hubungan antara segmen dengan vokal bertekanan yang mana parubahan itu disebabkan dengan proses fonologis. Perubahan bunyi-bunyi morfem biasanya berhubungan erat dengan proses morfofonemik, yaitu perubahan bentuk fonemis sebuah morfem yang disebabkan oleh segmen yang ada di sekitarnya atau dipengaruhi oleh syarat-syarat sintaksis atau syaratsyarat lainnya. Dalam hal ini fitur distingtif yang disebut “ultimate disctinctive entities of language” yaitu partikel-partikel submorfemik yang tidak bisa untuk diuraikan lagi menjadi bagian yang lebih kecil, secara garis besar dikelompokkan menjadi enam ciri utama yaitu, 1) ciri golongan utama, 2) ciri berdasarkan cara artikulasi, 3) ciri berdasarkan tempat artikulasi, 4) ciri batang lidah, 5) ciri tambahan, dan 6) ciri prosidi. Keenam ciri tersebut memiliki 18 ciri pembeda pula. Namun dalam BAM hanya terdapat 5 ciri pembeda dan melalui keenam ciri pembeda tersebut dapat dilihihat BAM memiliki 16 fitur distingtif. Untuk pembuktian ada tidaknya sifat ciri-ciri pembeda itu digunakan sistembiner (plus dan minus) (Schane, 1992: 27-43). Tanda plus (+) digunakan untuk menyatakan bahwa sifat ciri pembeda itu ada, sebaliknya tan minus (-) digunakan untuk menyatakan bahwa sifat ciri pembeda itu tidak ada. Berikut penjabaran mengenai kelima ciri pembeda tersebut dalam BAM ( berdasarkan Schane, 1992: 28-35).
1. Ciri golongan utama Persamaan dan perbedaan antara vokal dan konsonan dapat dilihat melalui ciri ini dengan sifat yang berkaitan dengan silabitas, sonoritas, dan jenis penyempitan. Ketiga ciri tersebut silabitas, sonoran, dan konsonantal memengaruhi sifat suatu fitur. Ciri silabis menggambarkan peran yang dimainkan oleh suatu segmen dalam struktur silabelnya. Pada umumnya, vokal [+sil] dan konsonan [-sil]. Ciri sonoran merujuk ke kulaitas resonan suatu bunyi vokal selalu [+son], seperti halnya bunyi nasal, likuid, dan semivokal. Bunyi obstruen-konsonan hambat, frikatif, afrikatif, dan luncuran laringal [-son]. Ciri konsonantal merujuk ke hambatan yang menyempit dalam rongga mulut, baik dalam hambatan total maupun geseran. Bunyi hambat frikatif, afrikatif, nasal, dan likuid adalah [+kons], sedangkan vokal 14 Universitas Sumatera Utara
dan semivokal adalah [-kons]. Bunyi luncuran laringal juga digolongkan sebagai [-kons] karena bunyi ini tidak memiliki penyempit dalam rongga mulut.
a. Konsonantal [kons] Bunyi konsonantal ialah bunyi yang dihasilkan dengan cara berlakunya penyekatan atau penyempitan pada terusan ujaran. Bunyi-bunyi tidak konsonantal dihasilkan tanpa sembarang sekatan. Yang termasuk ke dalam [+kons] adalah bunyi konsonan hambat [p, t, c, k, b, d, j, g, ?] , konsonan frikatif [s, h], konsonan nasal [m, n, ŋ, ň], konsonan likuid [l, r]. Yang termasuk ke dalam [-kons] adalah bunyi-bunyi vokal [a, i, u, ɛ, o, I, U] dan semivokal [w,y].
b. Silabis [sil] Silabis adalah bunyi yang menjadi puncak suku kata, sehingga apabila bunyi tidak silabis tidak boleh dipuncakkan. Yang termasuk ke dalam [+sil] adalah bunyi vokal [a, i, u, ɛ, o, I, U,] dan bunyi semivokal [y, w]. Yang termasuk ke dalam [-sil] adalah konsonan hambat [p, t, c, k, ʔ, b, d, j, g] , konsonan frikatif [h, s], konsonan nasal [m, n, ŋ, ň], konsonan likuid [l, r], dan semivokal [w, y].
c. Sonoran [son] Bunyi sonoran dihasilkan dengan terusan ujaran terbuka luas dan dengan itu tekanan udara di bagian dalam dan luar mulut menjadi seimbang. Yang termasuk ke dalam [+son] adalah bunyi vokal [a, i, u, ɛ, o, I, U, ɔ], semivokal [w, y], likuid [l,r], dan nasal [m, n, ň, ŋ]. Yang termasuk ke dalam [-son] adalah bunyi konsonan hambat [p, t, c, k, ʔ, b, d, j, g] , konsonan frikatif [h, s]
2. Ciri daerah artikulasi Secara sederhana, fitur distingtif yang didasarkan pada tempat artikulasi bunyi ujar dapat dikelompokkan menjadi koronal dan anteror.
a. Koronal [kor]
15 Universitas Sumatera Utara
Bunyi koronal dihasilkan dengan cara menaikkan daun lidah ke bahagian antara gigi (dental) dan lelangit keras (palatal). Yang termasuk ke dalam [+kor] adalah bunyi hambat [t, d, j, c], konsonan frikatif alveolar [s], konsonan likuid [l, r], konsonan nasal dental [n], dan konsonan nasal palatal [ň]. Yang termasuk ke dalam [-kor] adalah bunyi vokal [a, i, u, ɛ, o, I, U, ɔ], semivokal [y,w] konsonan hambat [b, g, k, p, ?], konsonan frikatif glotal [h], konsonan nasal bilabial [m], dan konsonan nasal velar [ŋ].
b. Anterior [ant] Bunyi ujar dengan ciri ini dihasilkan dengan pusat penyempitan sebagai sumber bunyi berada di sebelah depan pangkal gusi. Yang termasuk ke dalam [+ant] adalah bunyi vokal, konsonan hambat bilabial [p, b], konsonan hambat dental [d, t] , konsonan frikatif alveolar [s], konsonan nasal bilabial [m], konsonan nasal dental [n], dan konsonan likuid [l, r]. Yang termasuk ke dalam [-ant] adalah bunyi vokal [a, i, u, ɛ, o, I, U, ɔ], semivokal [w, y] konsonan hambat palatal [j, c], konsonan hambat velar [k,g], konsonan hambat glotal [?] frikatif glotal [h].
3. Ciri berdasarkan cara artikulasi Cara-cara pengucapan bunyi ujar, seperti dihambat (stops/plosives), dialirkan (liquids), digeserkan (fricatives), dan seterusnya juga dengan menentukan ciri distingtif. Pada garis besarnya, ciri-ciri itu dapat dibagi menjadi kontinuan, pelepasan tidak segera, striden, nasal, dan lateral.
a. Kontituan [kont] Kelompok bunyi ini dihasilkan dengan mengalirkan udara ke rongga mulut dengan bebas. Yang termasuk ke dalam [+kont] adalah bunyi frikatif [s, h] dan konsonan getar alveolar [r]. Yang termasuk ke dalam [-kont] adalah bunyi vokal [a, i, u, ɛ, o, I, U, ɔ], semivokal [w, y], konsonan hambat [p, t, c, k, b, d, j, g, ?], konsonan nasal [m, n, ŋ, ň], dan lateral [l].
b. Pelepasan tidak segera [pts] Pada dasarnya ada dua cara bagaimana bunyi yang dihambat di dalam rongga mulut itu dilepaskan , yaitu 1) diletupkan segera setelah penutupan 16 Universitas Sumatera Utara
alat-alat ucap yakni untuk bunyi-bunyi hambat dan 2) secara perlahan-lahan sehingga menghasilkan bunyi. Yang termasuk ke dalam [+pts] adalah bunyi hambat palatal [c, j]. Yang termasuk ke dalam [-pts] adalah konsonan hambat selain palatal [p, b, t, d, k, g, ?], konsonan frikatif [s, h], konsonan nasal [m, n, ŋ, ň], konsonan likuid [l, r], vokal [a, i, u, ɛ, o, I, U, ɔ], dan semivokal [w, y].
c. Striden [strid] Striden merupakan kelompok segmen yang dihambat dengan pelepasan dalam intensitas yang tinggi. Yang termasuk ke dalam [+strid] merupakan bunyi konsonan frikatif glotal [h]. Yang termasuk ke dalam [-strid] merupakan bunyi konsonan hambat [p, b, d, t, c, k, g, j, ?], konsonan nasal [m, n, ŋ, ň], konsonan alveolar [s, l, r], vokal [a, i, u, ɛ, o, I, U, ɔ], dan semivokal [w, y].
d. Nasal [nas] Bunyi ini ditandai dengan ditariknya langit-langit lunak ke bawah dengan menyentuh bagian belakang lidah sehingga aliran darah berhembus melewati hidung. Yang termasuk ke dalam [+nas] yaitu bunyi konsonan nasal [m, n, ň, ŋ]. Yang termasuk ke dalam [-nas] yaitu bunyi konsonan hambat [p, b, d, t, c, k, g, j, ?], konsonan frikatif glotal [h], konsonan alveolar [s, l, r], vokal [a, i, u, ɛ, o, I, U, ɔ], dan semivokal [w, y].
e. Lateral [lat] Bunyi lateral dihasilkan dengan cara udara keluar melalui sisi lidah. Yang termasuk ke dalam [+lat] adalah bunyi [l]. Yang termasuk ke dalam [lat] adalah bunyi vokal dan konsonan lainnya selain [l].
4. Ciri batang lidah Fitur distingtif yang didasari pada ciri batang lidah dapat dikelompokkan menjadi empat ciri yaitu tinggi, rendah, belakang, dan bulat.
a. Tinggi [ting] Bunyi tinggi dihasilkan dengan cara mengangkat badan lidah ke arah palatal. Yang termasuk ke dalam [+ting] adalah vokal tinggi [i, I, u, U], 17 Universitas Sumatera Utara
semivokal [w, y], hambat [c, j, k, g], dan konsonan nasal velar [ŋ] konsonan nasal palatal [ň]. Yang termasuk ke dalam [-ting8] adalah bunyi vokal [a, ɔ, ɛ, o], konsonan hambat [p, b, t, d, ?], konsonan frikatif [s, h], konsonan nasal bilabial [m], konsonan nasal dental [n], konsonan likuid [l, r].
b. Rendah [ren] Bunyi rendah dihasilkan dengan cara menarik badan lidah jauh ke bawah dari bumbung mulut. Yang termasuk ke dalam [+ren] adalah bunyi vokal [ɛ], konsonan frikatif glotal [h], dan konsonan hambat glotal [?].Yang termasuk ke dalam [-ren] adalah bunyi vokal [a, i, u, o, I, U, ɔ], konsonan hambat [p, b, t, d, j, c, k, g, ?], konsonan frikatif [s], konsonan nasal [m, n, ň, ŋ], dan konsonan likuid [l, r].
c. Belakang [bel] Bunyi belakang dihasilkan dengan keadaan badan lidah ditarik ke belakang. Yang termasuk ke dalam [+bel] adalah vokal [u, U, ɔ, o], semivokal [w], konsonan hambat velar [k, g], konsonan nasal velar [ŋ]. Yang termasuk ke dalam [-bel] adalah vokal [a, i, I, ɛ] konsonan hambat [p, b, t, d, j, c], konsonan frikatif [s, h], konsonan nasal [m, n, ŋ], dan konsonan likuid [l,r].
d. Bulat [bul] Bunyi bundar dihasilkan dengan cara membundarkan bibir. Yang termasuk ke dalam [+bul] adalah bunyi vokal [u, U, o, ɔ] dan semivokal [w]. Yang termasuk ke dalam [-bul] adalah vokal [a, i, I, ɛ], semivokal [y], konsonan hambat [p, b, t, d, j, c, k, g, ?], konsonan frikatif [s, h], konsonan nasal [m, n, ŋ, ň], dan konsonan likuid [l, r].
5. Ciri tambahan Fitur distingtif yang didasarkan pada ciri batang tambahan dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu tegang dan bersuara.
a. Tegang [teg] Yang termasuk ke dalam [+teg] adalah vokal [a, i, u, o], konsonan hambat [p, b, t, d, j, c, k, g], konsonan frikatif [s, h], konsonan likuid [l, r], 18 Universitas Sumatera Utara
konsonan nasal [m, n, ŋ, ň], dan semivokal [w, y]. Yang termasuk ke dalam [teg] adalah vokal [I, U, ɛ, ɔ] dan hambat glotal [?].
b. Bersuara [sur] Bunyi yang dihasilkan sambil menggetarkan pita suara. Yang termasuk ke dalam [+sur] adalah vokal [ a, i, I, u, U, o, ɔ, ɛ], semivokal [w, y], hambat [b, d, k, ?], dan konsonan frikatif glotal [h]. Yang termasuk ke dalam [-sur] adalah bunyi hambat [p, t, c, j, g], konsonan frikatif [s], konsonan likuid [l,r], dan konsonan nasal [m, n, ň, ŋ].
Demikian di atas adalah beberapa pengertian tentang fitur distingtif yang akan digunakan untuk membedakan ciri menurut fonetiknya sehingga akan terlihat bentuk perubahan dalam kata menurut bunyi pada BAM. Perubahan bunyi yang dapat memengaruhi ciri pembeda atau fitur distingtif itu dapat dikategorikan dalam kaidahkaidah fonologis.
2.3 Tinjauan Pustaka Alwi (2005: 1198) mengatakan bahwa tinjauan pustaka adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat (sesudah menyelidiki atau mempelajari), sedangkan pustaka adalah kitab, buku, prambon (Alwi, 2005:912). Tinjauan pustaka bertujuan menyelidiki penelitian-penelitian terdahulu sehingga peneliti yang sekarang tahu kedudukan penelitiannya. Lapoliwa (1991) merupakan perintis penelitian bahasa Indonesia dalam bidang kajian Fonologi Generatif. Lapoliwa (1981) penelitiannya yang berjudul “Fonologi Bahasa Indonesia: Suatu Pendekatan Generatif”, menemukan dalam bahasa Indonesia mempunyai 23 bunyi konsonan dan 6 vokal. Ada 11 ciri pembeda untuk membedakan 29 segmen. Ada 27 kaidah fonologi, yaitu kaidah degiminasi, pelesapan trill, penyisipan glotal stop, realisasi glotal stop dari /k/, pelesapan /h/, despirantisasi (naturalisasi) /f/, naturalisasi /h/, pengedepanan (naturalisasi) /s/, naturalisasi /x/, penyisipan schwa, pelesapan nasal dan asimilasi, penyatuan konsonan, pelesapan dua segmen pertama dari /mǝn/, pelemahan vokal, penarikan kembali vokal, pelesapan schwa, nasalisasi vokal, perendahan vokal, penyatuan vokal, penyisipan luncuran, desilabitasi, desilabitasi, desimilasi vokal, akhir kata pinjaman, dan penempatan tekanan. Dalam penelitian itu ditemukan adanya rangkaian konsonan s-t, s-l, k-t, k-s, k-d, k-n, k-l, k-r, k-z, p-t, h-t, h-k, 19 Universitas Sumatera Utara
h-s, h-b, h- l, h-y, h-w, s-h, m-r, m-l, l-m, dan b-r dan rangkaian vokal i-a, i-u, i-o, u-a, u-e, u-u, a-i, a-u, a-e, a-a, o-a. Fitri (2001) juga telah menganalisis fonologi bahasa Minang melalui teori Fonologi Generatif dalam tulisannya yang berjudul “Fonologi Bahasa Minangkabau Di Sawah Lunto Sijunjung” . Fitri mengatakan jumlah bunyi konsonan bahasa Minangkabau di Sawah Lunto Sijunjung adalah sebanyak 17 buah segmen konsonan asal yaitu /p/, /b/, /t/, /d/, /c/, /j/ ,/k/, /g/, /s/, /m/, /n/, /ñ/, /ŋ/, /r/, /l/, /w/, dan /y/ , dan secara fonemis ditemukan lima buah segmen asal vokal yaitu /a, i, u, e, dan o/. Namun secara fonetis empat buah segmen asal mengalami pengenduran yaitu /I, U, ε, dan ɔ/ . Dengan demikian terdapat 9 segmen vokal. Dalam makalah ini ditemukan 19 segmen konsonan asal dan 9 segmen vokal asal bahasa Minangkabau. Hasil penelitian Fitri mengatakan bunyi glotal frikatif tak bersuara ([h]) dan bunyi glotal hambat tak bersuara ([ʔ]) tidak digunakan oleh masyarakat Minangkabau di Sawah Lunto Sijunjung. Ekayani (2004) dalam tulisannya yang berjudul “Sistem Fonologi Bahasa Kodi di Pulau Sumba”, telah mengkaji Fonologi Generatif. Penelitian ini berfokus pada sebuah bahasa di Pulau Sumba, yakni bahasa Kodi (BK). Dua masalah yang melandasi penelitian ini adalah (1) bagaimanakah inventarisasi fonem BK di Pulau Sumba dan (2) bagaimanakah fitur distingtif inventarisasi fonem BK di Pulau Sumba? Analisis dilakukan terhadap data 350 leksikon BK, yang dijaring melalui wawancara tidak terstruktur kepada lima informan penutur asli BK. Dengan berpijak pada teori fonologi generatif, penelitian kualitatif ini menghasilkan dua temuan.Temuan pertama adalah BK memiliki lima fonem vokal /i, e, a, o, u/, dengan dua buah alofon di dalam, yaitu fonem /e/ dengan alofon [e] dan [ɛ] serta fonem /o/dengan alofon [o] dan [ɔ]. BK memiliki 20 fonem konsonan, yakni konsonan /p, t, c, k, ʔ, ɓ, ɗ, ɠ, m, n, ŋ, mb, nd, nj, ŋg, l, h, r, w, y/. Persukuan BK terdiri atas minimum V (vokal) dan maksimum KV (konsonan+vokal), mengingat bahasa ini merupakan bahasa vokalis terbuka. Jumlah suku terbanyak dalam leksikon adalah empat suku, dengan pola KV.KV.KV.KV. Temuan kedua adalah bahwa atas dasar fitur distingtif, fonem BK terbagi atas lima kelompok (atas dasar ciri golongan utama, ciri tempat artikulasi, ciri cara artikulasi, ciri batang lidah, dan ciri tambahan) dan berjumlah 18 ciri pembeda. Shaumiwaty (2012) dalam penelitian yang berjudul “Fonologi Bahasa Gayo: Suatu Analisis Fonologi Generatif”. Hasil penelitian ini menemukan 6 segmen vokal fonemis /i,u,e,ǝ,o,a/ dan memiliki realisasi fonetik [i,u,e,ǝ,o,a,I,ʊ,Ԑ,Ɔ]. Konsonan Bahasa Gayo ditemukan sebanyak 18 buah, yaitu /p,b,t,d,c,j,k,g,s,h,m,n, ɲ,ŋ,l,r,y,w/. Memiliki distribusi 20 Universitas Sumatera Utara
yang lengkap, yaitu dapat mendeskripsikan awal, tengah dan akhir kata. Segmen konsonan /c,j,ɲ,y,w/ hanya dapat menduduki posisi awal dan tengah kata. Diperlukan 15 ciri-ciri pembeda, segmen yang digambarkan sebanyak 24 buah, sehingga penggambaran keseluruh segmen tersebut memakai 360 fitur. Ditemukan 136 kaidah redundansi yang bisa digabung-gabungkan, sehingga menjadi 38 kaidah. Pola morfem pangkal asal ditemukan dalam 24 macam, yaitu pola satu sukukata 6 macam, dan 4 macam, dua sukukata 3 macam. Ditemukan 11 kaidah fonologi ( KF ) yang berguna untuk menjelaskan proses fonologi yang terjadi. KF penambahan luncuran semivokal, KF penggantian konsonan [k], KF penggantian konsonan [b], KF pelesapan konsonan [h], KF pelesapan vokal [ǝ], KF penaksuaraan konsonan hambat, KF pengenduran vokal dan penempatan tekanan dalam Bahasa Gayo. Sartini (2012) juga telah meneliti Fonologi Generatif dalam tulisannya yang berjudul “Bahasa Pergaulan Remaja: Analisis Fonologi Generatif”. Dalam penelitian ini ditemukan analisis fonologi generatif, pada tipe-tipe kata yang terdapat dalam bahasa pergaulan remaja cenderung singkat atau pendek. Pemendekan ini terjadi dalam dua proses yaitu kontraksi dan akronim. Kecenderungan lain adalah modifikasi bentuk, menggunakan verba dengan akhiran –in. Sedangkan ciri-ciri fonologis yang terdapat dalam bahasa pergaulan remaja adalah cenderung menggunakan vokal /e, o dan ә/; melesapkan bunyi, pengenduran , penguatan, dan perpaduan vokal. Kajian fonologi yang telah dilakukan oleh penelitian terdahulu dapat memperkaya khazanah penerapan teori Fonologi Generatif, khususnya pada bahasa-bahasa Nusantara. Hal itu menjadi penting karena teori Fonologi Generatif tersebut lahir dari kajian pada bahasa Inggris saja. Kajian tersebut akan dapat merumuskan, antara lain, bunyi-bunyi yang khas pada bahasa tertentu; jumlah fitur yang diperlukan dalam penggambaran bunyibunyi bahasa Nusantara; dan kaidah-kaidah yang diperlukan dalam realisasi bentuk asal dan turunannya. Demikian juga dengan kajian fonologi terhadap BAM sehingga dapat ditemukan bagaimana kedudukan sistem fonologi BAM dengan menggunakan teori Fonologi Generatif.
21 Universitas Sumatera Utara