BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Penelitian membutuhkan pemahaman yang memadai mengenai istilahistilah yang dipakai di dalamnya. Istilah-istilah tersebut merupakan konsep pedoman atau panduan bagi peneliti. Adapun konsep-konsep yang akan dipergunakan dalam penelitian ini adalah:
2.1.1 Strukturasi Secara etimologis struktur berasal dari kata structura, bahasa Latin, yang berarti bentuk atau bangunan (Ratna, 2008: 88). Selanjutnya strukturasi adalah proses pembentukan struktur karya sastra menjadi bentuk baru yang utuh dengan tidak menghilangkan makna sebenarnya. Bentuk yang baru tersebut memiliki makna yang padu dan koheren, atau strukturasi adalah usaha membuat struktur karya sastra menjadi ‘bangunan’ wacana baru yang memiliki makna yang tidak berubah dengan karya sastra itu, karena strukturasi dibangun berdasarkan unsurunsur yang dikandung oleh karya sastra itu sendiri. Struktur karya sastra terdiri atas struktur dalam atau intrinsik dan struktur luar atau ekstrinsik. Unsur intrinsik sastra misalnya tulisan serta aspek bahasa dan struktur wacana dalam hubungannya dengan kehadiran makna yang tersurat, sedangkan unsur ekstrinsik antara lain berupa biografi pengarang, latar proses kreatif penciptaan maupun latar sosial budaya yang menunjang kehadiran teks sastra (Aminuddin, 2000: 34).
2.1.2 Subjek Kolektif Menurut Goldmann (Faruk, 1994: 15) Subjek kolektif itu dapat kelompok kekerabatan, kelompok sekerja, kelompok teritorial, dan sebagainya.
“Pengarang adalah bagian dari masyarakat. Dalam pandangan strukturalisme genetik individu bukanlah agen bebas dari masyarakatnya. Aspirasi, pendapat, maupun pandangan individu, termasuk pengarang, diikat oleh keberadaan kolektif masyarakatnya. Pengarang dengan demikian sebagai subjek sekaligus kolektifitas atau subjek kolektif. Pengarang sebagai individu dapat dipandang sebagai produk sosial dari kelompok sosialnya. Sebagai produk sosial dari kelompok sosial tertentu, pengarang dalam hidupnya cenderung mempresentasikan kelompok sosialnya. Karya sastra yang ditulisnya pun merupakan representase pengarang dalam memperjuangkan kelompok sosialnya di hadapan kelompok sosial yang lain. Kerja pengarang adalah kerja sosial sebagai perwujudan subjek kolektif seorang pengarang, (Sitepu, 2009: 38).”
Artinya bahwa apapun yang ditulis pengarang Putroe Neng adalah lahir dari pengalamannya dalam suatu kelompok sosial masyarakat (Aceh) sekaligus mewakili masyarakat itu. Konsep subjek kolektif dimanfaatkan dalam penelitian ini untuk mengetahui latar kehidupan sosial pengarang (Ayi Jufridar) yang tampak jelas mewakili masyarakat Aceh untuk menyampaikan pada dunia (pembaca) mengenai sebuah kisah sejarah yang mereka yakini pernah ada. Tentu saja pemikiran pengarang mengenai tujuannya membuat karya tersebut harus diselidiki dengan cermat, mulai dari lingkungan keluarga, hobi, agama, prinsip hidupnya, teman pergaulannya, buku-buku yang dibaca, dan pengalaman hidup yang telah dilewatinya yang telah berkontribusi (berpengaruh) bagi proses kreatif penciptaan karya sastranya.
2.1.3 Pandangan Dunia Bagi Goldmann (Endraswara, 2008: 58) pandangan dunia merupakan perspektif yang koheren dan terpadu mengenai hubungan manusia dan sesamanya dengan alam semesta. Hal ini menunjukkan bahwa pandangan dunia adalah sebuah kesadaran hakiki masyarakat dalam menghadapi kehidupan. Ia juga menambahkan (dalam Faruk, 1994: 16) pandangan dunia merupakan istilah yang cocok bagi kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan, yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota suatu kelompok sosial tertentu dan yang mempertentangkannya dengan kelompok-kelompok sosial yang lain. “Menurut Goldmann, karya sastra sebagai struktur bermakna itu akan mewakili pandangan dunia (vision du monde) penulis, tidak sebagai individu melainkan sebagai anggota masyarakatnya. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa strukturalisme genetik merupakan penelitian sastra yang menghubungkan antara struktur sastra dengan struktur masyarakat melalui pandangan dunia pengarang atau ideologi yang diekspresikannya. Oleh karena itu, karya sastra tidak akan dapat dipahami secara utuh jika totalitas kehidupan masyarakat yang telah melahirkan teks sastra diabaikan begitu saja. Pengabaian unsur masyarakat berarti penelitian sastra menjadi pincang (Endraswara, 2008: 57).” Ratna (2005: 166)
berpendapat bahwa pandangan dunia harus dicari
dengan cara mengungkap pandangan dasar kelas sosial, menelusurinya ke masa lampau, dengan cara melibatkan peranan multidisiplin.
2.1.4 Fakta Kemanusiaan Menurut Faruk (1994: 12) fakta kemanusiaan adalah segala hasil aktivitas atau perilaku manusia baik yang verbal maupun yang fisik, yang berusaha dipahami oleh ilmu pengetahuan. Fakta itu dapat berwujud aktivitas sosial
tertentu, aktivitas politik tertentu, maupun kreasi kultural seperti filsafat, seni rupa, seni patung, dan seni sastra. Goldmann (dalam Fananie, 2001: 117) mengemukakan: “... bahwa fakta kemanusiaan merupakan struktur yang bermakna. Semua aktifitas manusia merupakan respon dari subjek kolektif atau individu dalam situasi tertentu yang merupakan kreasi atau percobaan untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok dengan aspirasinya. Sesuatu yang dihasilkan merupakan fakta hasil usaha manusia untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik dengan dunia sekitarnya. Dalam hal ini, manusia selalu mempunyai kecenderungan perilaku yang bersifat alami karena manusia berusaha untuk beradaptasi dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang merupakan satu proses hubungan timbal balik.” Selanjutnya Goldmann (dalam Faruk, 1994: 13) menganggap bahwa semua fakta kemanusiaan merupakan suatu struktur yang berarti. Yang dimaksudkannya adalah bahwa fakta-fakta itu sekaligus mempunyai sruktur tertentu
dan arti tertentu. Sehingga fakta-fakta kemanusiaan harus dipahami
dengan mempertimbangkan struktur dan artinya. 2.2 Landasan Teori Strukturalisme Genetik Penelitian ini menggunakan landasan teori studi strukturalisme genetik. Strukturalisme genetik (genetic structuralism) adalah cabang penelitian sastra yang tak murni. Ini merupakan bentuk penggabungan antara struktural dengan metode penelitian sebelumnya. Konvergensi penelitian struktural dengan penelitian yang memperhatikan aspek-aspek eksternal karya sastra, dimungkinkan lebih demokrat (Endraswara, 2008: 55). Dalam beberapa analisis novel, Goldmann selalu menekankan latar belakang sejarah. Karya sastra, di samping memiliki unsur otonom juga tidak bisa lepas dari unsur ekstrinsik. Teks sastra sekaligus merepresentasikan kenyataan sejarah yang mengkondisikan munculnya karya sastra (Endraswara, 2008:56).
Menurut Goldmann, metode dan teori yang sesuai untuk menganalisis karya sastra adalah strukturalisme genetik, sebab strukturalisme genetik memandang karya sastra sebagai gejala-gejala kultural dalam pengertian yang sesungguhnya, antar hubungan yang memiliki kualitas homologi dan simetri (Ratna, 2002: 105). Selanjutnya Jabrohim (2001: 61-62) mengemukakan bahwa strukturalisme genetik adalah sebuah pendekatan di dalam penelitian sastra yang lahir sebagai reaksi dari pendekatan strukturalisme murni yang antihistoris dan kausal. Lalu, Ratna (2002: 123) menyebutkan secara definitif strukturalisme genetik adalah analisis struktur dengan memberikan perhatian terhadap asal-usul karya dan sekaligus memberikan perhatian terhadap analisis intrinsik dan ekstrinsik. Dengan demikian peneliti tentu membutuhkan alat untuk membongkar asal-muasal suatu karya sastra (genetik) dan alat itu adalah strukturalisme genetik, setelah membongkar struktur dalam, selanjutnya strukturalisme genetik mengajak membedah struktur luar pembangun karya sastra. Adapun struktur dalam itu adalah segala unsur yang terdapat dalam karya sastra yang menjadikannya sebagai sebuah karya otonom, meliputi tema, alur atau plot, tokoh dan penokohan, setting, gaya bahasa, dan amanat. Adapun struktur luar itu adalah faktor luar yang mempengaruhi dan melatarbelakangi penciptaan suatu karya sastra yang lahir di luar dari karya itu sendiri, berupa kehidupan sosial pengarang, agama, falsafah hidup, kondisi politik, norma, tradisi, budaya, profesi pengarang di samping mengarang, motivasi, dan sebagainya. Sehingga struktur luar inilah yang memberi tendensi dan arah kepengarangan seseorang.
2.3 Tinjauan Pustaka Berdasarkan penelusuran peneliti novel Putroe Neng belum ada yang meneliti secara ilmiah (penelitian kompleks), melainkan hanya penelitian sederhana seperti resensi di surat kabar dan internet. Adapun beberapa di antaranya adalah: 2.3.1 Putroe Neng antara Dongeng dan Mitos Sebuah resensi berjudul Putroe Neng Antara Dongeng dan Mitos? dalam harian Analisa (Minggu, 11 Maret 2012) adalah karya Idris Pasaribu. Menurutnya kisah atau hikayat yang diceritakan secara turun temurun di Aceh ini adalah sebuah fakta sejarah. Meskipun ada yang menyebut mitos, Idris bertahan mitos tidak selamanya kebohongan. Hanya saja mitos selalu tak tertulis. Bagi Idris apa yang ditulis oleh Ayi Jufridar adalah sebuah sejarah di Aceh ketika datangnya bangsa-bangsa lain ke negeri Aceh dengan berbagai cara dan berbagai kepentingan. Baik ekonomi dan politik serta kekuasaan. Hal yang menjadi pertanyaan besar bagi Idris benarkah Putroe Neng berasal dari China? Bukankah tak mungkin dia berasal dari Burma, Korea, Mongolia, Vietnam atau Kambodia? Melihat namanya yang empat suku kata, Nian Nio Liang Khie adalah marga Nian atau marga Nio bagi orang Tionghoa daratan, bahkan China dan Taiwan, bukankah mereka memastikan diri, nama mereka hanya tiga suku kata. Kalau Nian adalah sebuah gelar atau titel, maka dia adalah marga Nio? Ayi Jufridar membawa alam pikiran pembaca berkelana mengitari wilayah bekas berbagai kerajaan di Aceh. Secara lembut Ayi juga memaparkan bagaimana kearifan lokal dari para genius lokal, terlebih mereka para tuan guru. Keislaman sangat sarat dalam novel ini, menyampaikan pesan-pesan Islam. Seorang Syeikh
Syiah Hudam, ternyata mampu melewati malam pertamanya di atas ranjang bersama Putroe Neng, karena dia seorang ulama besar dari Peureulak. Islam bukan agama yang mengandung makna kekerasan, namun Islam akan mengulurkan tangannya dengan baik kepada siapa saja, termasuk non Islam jika mereka memang membutuhkan uluran tangan Islam. Kalau ada yang mengatakan Putroe Neng adalah pelengkap sejarah di Aceh, bagi Idris novel Putroe Neng adalah bagian dari catatan sejarah Aceh itu sendiri. Tiga kerajaan di Aceh yang cukup kuat yakni Kerajaan Indra Patra, Indra Jaya, dan Indra Puri sekarang berada di dalam Aceh Besar dan ketiga benteng bekas kerajaan itu masih ada, walau kurang terawat. Benteng kerajaan itu, membuktikan kalau apa yang ditulis oleh Ayi Jufridar adalah sebuah sejarah dengan pendekatan penulisannya gaya mitos. Selama ini di Aceh dalam hikayat, selalu diceritakan tentang 100 orang suami Putroe Neng. Diceritakan tentang kecantikan Putroe Neng dan keperkasaannya dalam peperangan. Ada yang percaya ada yang tidak tentang ke 99 suami Putroe Neng. Sekali lagi, ke 99 suami Putroe Neng adalah bumbu penyedap dalam hikayat. Ayi Jufridar justru mengangkat bagaimana kehebatan peperangan di tiga kerajaan kecil di Aceh itu. Ayi Jufridar mengangkat, bagaimana heroiknya putra-putri Aceh dalam berbagai peperangan. 2.3.2 Putroe Neng, Pemakan ....* Artikel berjudul Putroe Neng, Pemakan ... (judul lengkapnya dapat dilihat di laman
*http://media.kompasiana.com) diposting oleh Dudi Rustandi dan
diakses oleh peneliti pada tanggal 11 Agustus 2012 pukul 12.20 WIB berisi komentarnya mengenai novel Putroe Neng. Dalam tulisannya Dudi Rustandi
menyebutkan bahwa Aceh ternyata banyak menyimpan wanita-wanita perkasa. Tidak hanya Syeikh Keumala Hayati yang mampu melawan merubuhkan 100 prajurit Portugis dalam medan pertempuran pada tahun 1600-an, juga ada wanita perkasa lainnya yang kerap menjadi ikon pejuang wanita Indonesia, Cut Nyak Dien dan Cut Meutia. Membaca Novel ini kita akan diajak penulisnya berkeliling-keliling ke wilayah kerajaan Aceh masa lampau, terutama menyampaikan pesan tentang kearifan bangsawan Islam yang tumbuh di Aceh. Islam bukanlah agama perang, bahkan seorang muslim akan mengulurkan tangannya kepada nonmuslim jika benar-benar membutuhkannya seperti dilakukan oleh kerajaan Peureulak dan Syeikh Syiah Hudam. Kearifan Islam inilah sesungguhnya yang menjadi daya tarik bangsa lain terhadap Islam seperti ditunjukan oleh kerajaan Indra Purba. Penulis dengan baik berhasil menggambarkannya. Novel ini pun mengajarkan bahwa sebuah do’a akan terkabul jika dibarengi dengan ikhtiar fisik sehingga mendapat hasil yang sempurna seperti dilakukan oleh murid dan guru (Syeikh Syiah Hudam) saat melewati malam pertamanya. Jika salah-salah membaca, novel ini akan dianggap sebagai sejarah Aceh pada masa lampau dengan menjadikan Putroe Neng sebagai pelengkap cerita belaka sebagai salah satu daya tariknya. Kedua tinjauan di atas telah melengkapi penelitian ini. Namun, yang membedakannya adalah penelitian ini lebih komplek membahas dari dua sudut pandang yaitu struktur dalam dan struktur luar (genetiknya). Penelitian ini menjabarkan struktur pembangun karya sastra dan asal-usul lahirnya Putroe Neng karya Ayi Jufridar dengan mengkaji strukturasi, subjek kolektif, fakta kemanusiaan, dan pandangan dunia.