BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Konsep merupakan suatu pernyataan singkat tentang fenomena atau kejadian. Konsep juga dapat diartikan sebagai suatu abstraksi dari ciri-ciri sesuatu yang mempermudah komunikasi antar manusia dan memungkinkan manusia untuk berpikir . Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (1995:456) konsep diartikan sebagai rencana atau pengertian yang diabstrakkan dari pengertian konkret, gambaran mental dari objek atau apapun yang ada di luar bahasan yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain. Peneliti akan menggambarkan objek yang diteliti secara abstrak yaitu gambaran berupa pengertian-pengertian yang berkaitan dengan penelitian fungsi dan makna meditasi bagi masyarakat yang mempelajarinya di kota Medan.
2.1.1 Fungsi Pada umumnya fungsi mempunyai arti guna atau manfaat. Fungsi dapat diartikan sebagai sekumpulan kegiatan yang dikelompokkan berdasarkan kesamaan jenis dan sifat, atau dapat disebut kegunaan suatu hal. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, (2007: 323), fungsi adalah kegunaan suatu hal bagi hidup suatu masyarakat. Fungsi merupakan sekelompok aktivitas yang tergolong pada jenis yang sama berdasarkan sifatnya, pelaksanaan ataupun pertimbangan lainnya. Penciptaan suatu fungsi adalah sekelompok aktivitas yang tergolong
pada jenis yang sama berdasarkan sifat pelaksanaannya, atau dapat dimaknai sebagai kegunaan suatu hal. Fungsi kebudayaan adalah fungsi dalam suatu kelompok masyarakat yang terdapat suatu kegiatan atau sikap yang menjadi suatu ciri atau kebiasaan. Menurut Schneider, (1968)Fungsi secara budaya yaitu fungsi dimana setiap kegiatan, kelakuan dan sikap menjadi suatu kebiasaan. Sebagian ilmuwan sosial bahkan berusaha membatasi lagi pengertian istilah kebudayaan tersebut hingga hanya mencakup bagian-bagian warisan sosial yang melibatkan representasi atas hal-hal yang dianggap penting, tidak termasuk norma-norma atau pengetahuan prosedural mengenai bagaimana sesuatu harus dikerjakan. Menurut Soekanto, (1999) Kebudayaan berfungsi sebagai suatu pedoman hubungan antara manusia dan kelompok, wadah untuk menyalurkan perasaan dan kehidupan lainnya, pembimbing kehidupan manusia dan sebagai pembeda antar manusia dan binatang.
2.1.2 Makna Makna dapat diartikan sebagai maksud yang terkandung dalam sesuatu. Makna tidak terbatas hanya pada arti dari sebuah kata atau kalimat, namun makna juga meliputi arti atau maksud yang terkandung dalam simbol, kebiasaan atau kegiatan, isyarat, maupun kepercayaan. Makna dapat dibedakan menjadi makna simbolik, makna empirik, makna estetik, makna sinoetik, makna etik, dan makna sinoptik. Lebih lanjut Nursyrid, (2002 : 109) mengemukakan : Ada 6 pola makna esensial yang melekat dalam kehidupan masyarakat dan budaya manusia, yaitu : simbol, empirik, estetika, sinoetik (perasaan yang halus), etik dan sinoptik (hubungan agama dan filsafat). Makna Simbolik meliputi bahasa, matematika, termasuk juga isyarat-isyarat, upacaraupacara, tanda-tanda kebesaran dan sebagainya. Makna Empirik
mengembangkan kemampuan teoritis, generalisasi berdasarkan fakta-fakta dan kenyataan yang biasa diamati. Makna Estetik meliputi seni musik, tari, sastra, dan lain-lain, berkenaan dengan keindahan dan kehalusan serta keunikan berdasarkan persepsi subyektif berjiwa seni. Makna Sinoetik berkenaan dengan perasaan, kesan, penghayatan dan kesadaran yang mendalam. Makna Etik berkenaan dengan aspek-aspek moral, akhlak, perilaku yang luhur, dan tanggung jawab. Makna Sinoptik berkenaan dengan pengertian-pengertian yang terpadu dan mendalam seperti agama, filsafat, pengetahuan alam yang menuntut nalar masa lampau dan hal-hal yang bernuansa spiritual.
2.1.3 Meditasi Meditasi adalah praktik relaksasi yang melibatkan pelepasan pikiran dari semua hal yang menarik, membebani, maupun mencemaskan dalam hidup kita sehari-hari.Meditasi sering diartikan secara salah, dianggap sama dengan melamun sehingga meditasi dianggap hanya membuang waktu dan tidak ada gunanya. Meditasi justru merupakan suatu tindakan sadar karena orang yang melakukan meditasi tahu dan paham akan apa yang sedang ia lakukan. Menurut Agus, (2009:156) makna harfiah dari meditasi adalah kegiatan mengunyahunyah atau membolak-balik dalam pikiran, memikirkan, merenungkan. Arti defenisinya, meditasi adalah kegiatan mental terstruktur, dilakukan selama jangka waktu tertentu untuk menganalisis, menarik kesimpulan, dan mengambil langkah-langkah lebih lanjut untuk menyikapi, menentukan tindakan, atau penyelesaian masalah pribadi, hidup, dan perilaku. Banyak manfaat yang dapat diperoleh dari melakukan meditasi, diantaranya dapat mengontrol emosi dengan baik, lebih tenang dan merasa bahagia,
hingga
menyembuhkan
penyakit.
Menurut
Tjiptadinata,
(2008:126)Manfaat meditasi yang kita lakukan bisa secara langsung maupun
tidak langsung kita rasakan secara fisik. Salah satu manfaat tersebut adalah kesembuhan yang kita peroleh, jika kita menderita sakit tertentu.
2.1.4 Kebaktian Keagamaan Buddha Pada agama Buddha Theravāda terdapat berbagai jenis kebaktian dan upacara seperti kebaktian puja bakti, kebaktian meditasi, upacara Maṅgala (memperoleh berkah), upacara Avamaṅgala (upacara perkabungan), upacara pernikahan, dan lain sebagainya. Pada setiap kebaktian biasanya terdapat pembacaan paritta suci. Paritta adalah kumpulan khotbah sang Buddha yang dituliskan dalam bahasa Pāli. Pada kebaktian meditasi, sesudah melakukan namakāra, umat membaca paritta ataupun Paṭṭhānatergantung dari yang diajarkan sayalay ataupun bhikku yang memimpin meditasi. Paṭṭhāna adalah salah satu kitab dari tujuh kitab abhidahamma piṭaka. Paṭṭhāna adalah metode yang menjelaskan tentang hukum hubungan-sebab. Kemudian barulah dilanjutkan dengan meditasi. Biasanya yang menjadi objek umum dari empat puluh objek yang ditentukan oleh guru meditasi dalam berlatih meditasi adalah ānāpānasati ataupun empat unsur elemen seperti api, air, tanah, dan angin. Begitu juga dengan kebaktian atau upacara lain dalam agama Buddha theravadā, terdapat bacaan-bacaan paritta tertentu disetiap pelaksanaannya.Pada kebaktian puja bakti misalnya, dimulai dari bernamakāra, dan diakhiri dengan pembacaan ettāvatātiādipattidāna (pelimpahan jasa berawalkan kata ettāvatā). Fungsi dari pembacaan paritta biasanya berkaitan dengan jenis upacara atau kebaktian tersebut, begitu pula maknanya.
2.1.5 Masyarakat Tionghoa Tionghoa atau Tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan Cina di Indonesia, yang berasal dari kata Zhonghua dalam bahasa Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa. Sedangkan istilah peranakan Tionghoa pertama kali digunakan oleh bangsa Belanda di abad ke 18 untuk menyebut para keturunan imigran Tionghoa yang datang dari Tiongkok beberapa waktu sebelumnya. Seiring dengan berjalannya waktu, istilah peranakan Tionghoa disingkat menjadi peranakan saja. Dalam bahasa Indonesia, semua sudah seperti sepakat bahwa sebutan Tionghoa berarti orang dari ras Cina yang memilih tinggal dan menjadi warga negara Indonesia. Kata Tionghoa sebagai pengganti sebutan nonpri atau Cina. Di Medan, masyarakat Tionghoa termasuk golongan minoritas. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, keberadaan masyarakat Tionghoa ini mulai diakui oleh masyarakat pribumi. Hal ini ditandai dengan adanya libur Nasional untuk Hari Raya Imlek dan diakui sebagai salah satu dari etnis di Indonesia. Masyarakat Tionghoa memiliki berbagai jenis kebudayaan dan tradisi yang unik dan menarik.
2.2 Landasan Teori Teori adalah seperangkat konsep dan defenisi yang menjelaskan hubungan sistematis suatu fenomena dengan cara mendeskripsikan hubungan sebab-akibat yang terjadi. Menurut Koentjaraningrat, (1973:10)Teori adalah landasan dasar keilmuan untuk menganalisis berbagai fenomena. Tanpa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan.
Landasan teori adalah teori–teori yang sesuai yang dapat digunakan untuk menjelaskan variabel–variabel penelitian. Landasan teori juga berfungsi sebagai dasar untuk memberi jawaban sementara terhadap rumusan masalah yang diajukan, serta membantu dalam penyusunan instrumen penelitian. Teori – teori yang digunakan tersebut bukan sekedar pendapat dari pengarang saja, melainkan teori yang sudah teruji kebenarannya, ( Ridwan, 2004:19 ).
2.2.1 Teori Fungsionalisme Teori fungsionalisme adalah teori yang digunakan untuk menganalisis setiap pola kelakuan yang menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan yang bersangkutan. Bronislaw Malinowski, (1884-19422) mengajukan suatu orientasi teori yang dinamakan fungsionalisme. Bronislaw Malinowski dalam Warsani, (1978:111) mengemukakan: “ ... Setiap kebudayaan yang hidup merupakan kesatuan yang menjalankan fungsi-fungsi tertentu,tidak ubahnya sebagai suatu tubuh yang hidup dimana setiap bahagian mempunyai fungsi yang berhubungan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan tidak dapat dipelajari dan dipahami, kalau tidak dihubungkan dengan kebudayaan sebagi keseluruhan”. Menurut Malinowski dalam teorinya, fungsi sosial dibagi kepada tiga tingkatan abstraksi, yaitu: pertama, suatu adat, pranata sosial, atau unsur kebudayaan berpengaruh terhadap adat, tingkah laku, dan pranata sosial lain dalam masyarakat. Kedua, suatu adat, pranata sosial, atau unsur kebudayaan berpengaruh terhadap kebutuhan suatu adat atau pranata sosial lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga, masyarakat yang bersangkutan. Ketiga, suatu adat, pranata sosial, dan unsur kebudayaan lain
berpengaruh
terhadap
kebutuhan
mutlak
untuk
berlangsungnya
secara
terintegerasi dari suatu sistem sosial tertentu. Dalam mengkaji fungsi meditasi pada kebaktian keagamaan Buddha Theravada bagi Masyarakat Tionghoa di Kota Medan, penulis mengklasifikasikan fungsi sosialnya berdasarkan ketiga tahapan dalam rangkaian kebaktian yaitu Namakāra, pembacaan Paṭṭhāna, dan meditasi ānāpānasati. Ketiga fungsi tersebut kemudian dianalisis dan dikategorikan sesuai dengan tingkatan abstraksi tersebut. Oleh karena itu penulis menggunakan teori fungsionalisme dalam mengkaji fungsi dari meditasi pada kebaktian keagamaan Buddha bagi masyarakat Tionghoa di Kota Medan.
2.2.2 Teori semiotik Teori semiotik adalah teori yang digunakan untuk menjelaskan makna yang terdapat dari tanda-tanda, sistem, kebiasaan atau perbuatan yang terdapat dalam suatu kelompok masyarakat mau`pun suatu kebudayaan. Dalam membahas makna-makna yang terkandung dalam
meditasi pada kebaktian
keagamaan Buddha bagi masyarakat Tionghoa di kota Medan, penulis menggunakan teori semiotik yang dikemukakan oleh Roland Barthes. Semiotik berasal dari bahasa Yunani, yaitu semeion yang berarti tanda. Semiotik adalah model penelitian sastra dengan memperhatikan tanda-tanda. Tanda tersebut dianggap mewakili sesuatu objek secara representative. Istilah semiotik sering digunakan dengan bersama dengan istilah semiologi. Istilah pertama merujuk pada sebuah disiplin sedangkan istilah kedua merefer pada ilmu tentangnya. Baik semiotik atau semiologi sering digunakan bersama-sama, tergantung
dimana istilah itu popular, (Endaswara, 2008:64). Selanjutnya Roland Barthes (1915-1980) mengatakan: “... teori signifiant-signifie adalah teori mengenai denotasi dan konotasi. Perbedaan pokoknya adalah pada mitos dan pada masyarakat budaya tertentu (bukan individual). Semua hal yang dianggap wajar di dalam suatu masyarakat adalah pada penekanan konteks pada penandaan. Penggunaan istilah expression (bentuk, ekspresi untuk signifiant) dan contenu (isi, untuk signifie)”. Menurut Barthes dalam Kusumarini, (2006) denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti. Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu mitos yang menandai suatu masyarakat. Mitos menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk system sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki pertanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos. Oleh karena itu penulis menggunakan teori semiotik dalam mengkaji makna meditasi pada kebaktian keagamaan Buddha Theravada bagi masyarakat Tionghoa di Kota Medan.
2.3 Tinjauan Pustaka Penulis menemukan beberapa buku dan jurnal yang relevan dengan judul penelitian ini. Adapun buku, skripsi dan Jurnal yaitu:
Desy (2009) dalam skripsinya yang berjudul Meditasi Buddhis Theravada (Studi Kasus di Vihara Tanah Putih Semarang) membantu penulis dalam menjelaskan tentang postur tubuh pada saat meditasi. Dalam penelitian ini, dijelaskan bahwa cara bermeditasi dalam memilih posisi bagi para pemula ialah bebas,tetapi biasanya posisi meditasi yang baik ialah duduk bersila di lantai yang beralas dengan meletakkan kaki kanan di atas kaki kiri, dan tangan kanan menumpu tangan kiri dipangkuan, atau diperbolehkan juga dalam posisi setengah sila dengan kaki dilipat ke samping. Yang terpenting bahwa badan dan kepala harus tegak tetapi tidak kaku atau tegang. Jika meditasinya telah maju, maka dapat dilakukan dalam berbagai posisi, baik berdiri, berjalan, maupun berbaring. Enny
(2011)
Fungsionalisme
dalam
dalam
artikelnya Masyarakat
yang
berjudul
membantu
Aplikasi penulis
Teori dalam
mengklasifikasikan setiap fungsi pada ketiga tahapan meditasi pada kebaktian keagamaan Buddha Theravada. Pembagian fungsi ditinjau berdasarkan tingkatan abstraksi dari masing-masing tahapan meditasi pada kebaktian keagamaan Buddha Theravada bagi masyarakat Tionghoa di kota Medan. Mehm (2012) dalam bukunya The Essence of Buddha Abhidhamma sangat membantu penulis dalam
menjelaskan arti, fungsi serta makna dari bacaan
Paṭṭhāna yang dilafalkan saat proses kebaktian meditasi berlangsung. Buku ini juga menjelaskan secara rinci ke-24 model dari pengondisian dari mulai Hetupaccayo hingga Avigata-Paccayo. Rong (2013) dalam artikelnya yang berjudul 佛教中的“坐禅”技术与机
理 membantu penulis dalam memahami sistem meditasi Buddhis khhususnya
Buddhisme Theravada. Artikel tersebut juga membahas tentang tata cara melakukan namakāra, serta apa makna yang terkandung di dalamnya. Santoso (2008) dalam artikelnya yang berjudul perancangan panduan meditasi singkat untuk umat buddha theravada membantu penulis untuk menguraikan manfaat-maafaat yang terkandung dalam meditasi tidak hanya ditinjau dari segi keagamaan namun juga ditinjau dari segi kesehatan. Sri (2014) dalam artikelnya yang berjudul Roland Barthes dan Semiotika membantu penulis dalam memahami sistem tanda dan bagaimana penggunaan penanda dan petanda yang diaplikasikan ke dalam penelitian penulis. Zhang (2012) dalam artikelnya yang berjudul 安那般那念 membantu penulis menjelaskan defenisi dari ānāpānasati serta bagaimana cara melakukan meditasi ānāpānasatitersebut.