BAB II KONSEP, KERANGKA TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA
2.4
Konsep
2.4.1 Fonetik Akustik Fonetik akustik merupakan daerah teknis linguistik. Para ahli fonetik akustik menggambarkan dan menganalisis gelombang suara dengan menggunakan mesin dan program komputer. Fonetik akustik mempelajari gelombang suara yang dibuat oleh organ vokal manusia untuk berkomunikasi. Fonetik akustik mengkaji gelombang suara sebagai gejala fisika atau fenomena alam yang membentuk hubungan antara penutur dan pendengar. (Syarfina, 2009:28) Fonetik akustik melibatkan studi produksi ujaran dan persepsi pada tingkat gramatikal yang lebih tinggi, terutama fonologi. Tahap-tahapannya bermula pada bagaimana sinyal ujaran dihasilkan oleh penutur, bagaimana sinyal-sinyal tersebut dipersepsikan oleh pendengar, dan bagaimana sinyal-sinyal tersebut distrukturkan dalam fonologi bahasa. Model akustik produksi ujaran menghitung forman frekuensi, frekuensi dasar, spektrum Amplitudo/intensitas dan durasi yang digunakan untuk menggambarkan varietas bahasa fonetik. Hasil diinterpretasikan dalam kerangka fonologis. Fokusnya terletak pada bahasa kurang dijelaskan dan varietas bahasa. Penutur (speaker) varian khusus memainkan peranan penting dalam pengenalan
13 Universitas Sumatera Utara
penutur. Perbandingan kinerja sistem pengenalan penutur otomatis dengan hasil metode analisis fonetik-fonologi saat ini sedang diselidiki di audio forensik. Obyek kajian fonetik akustik adalah sinyal ujaran akustik (acoustic speech signals) sebagai gejala fisika. Selanjutnya, dikembangkan dalam bentuk simbiosis dengan kajian produk ujaran, persepsi ujaran, dan ilmu kebahasaan. Dengan kata lain, kajian ini tidak lagi mengabaikan bagaimana sinyal dihasilkan dan dipersepsikan, dan bagaimana sinyal tersebut distrukturisasi secara linguistik. Berdasarkan perkembangan, studi fonetik akustik ini menjadi sangat penting dalam cabang psikologi kognitif, terutama pada persepsi ujaran. Bagaimana tidak, fonetik akustik menyediakan teknik untuk memanipulasi sinyal-sinyal ujaran yang sesungguhnya dan menciptakan sinyal-sinyal ujaran artificial dengan sintesis ujaran (speech synthesis). Rangsangan eksperimental yang properti akustiknya diketahui dengan jelas dan yang bisa divariasikan dengan cara-cara terkontrol. Hal ini memungkinkan untuk menemukan properti-properti suara mana yang penting bagi persepsinya oleh pendengar (Nolan dalam Syarfina, 2009:29) Pengetahuan fonetik akustik juga penting dalam teknologi ujaran, terutama dalam pengenalan tuturan (speech recognition) dan hasil ujaran melalui komputer. Bunyi disebabkan oleh benda bergetar, seperti garpu tala. Ketika lengan garpu tala bergerak ke dalam, molekul udara tetangga menjadi kurang ramai (misalnya, itu menciptakan vakum parsial). molekul udara dari lingkungan sekitar akan cenderung bergerak ke daerah tekanan rendah yang baru. Hasilnya adalah pola gelombang dari
Universitas Sumatera Utara
daerah tekanan tinggi dan rendah bergerak ke luar dari objek bergetar. Ini adalah gelombang suara. Salah satu cara mudah untuk menggambarkan diagram gelombang suara adalah dengan grafik tekanan udara pada setiap titik waktu.(lihat grafik 1) Grafik 1 Diagram Gelombang Suara
Dalam diagram ini, waktu diwakili dalam dimensi horisontal dan perbedaan tekanan udara diwakili dalam dimensi vertikal. Garis (merah) lurus ke bawah tengah merupakan tekanan udara rata-rata latar belakang - tekanan udara yang akan ada jika tidak ada gelombang suara. Poin di atas garis ini merupakan tekanan yang lebih tinggi (molekul udara lebih padat); poin di bawah ini merupakan tekanan yang lebih rendah (kurang molekul udara ramai). Merujuk pendapat Verhaar (1996:21--22), gelombang suara diklasifikasikan menjadi dua, yaitu gelombang murni (gelombang yang dihasilkan oleh satu alat penghasil gelombang suara (garpu tala)) dan gelombang rumit/kompleks (gelombang yang dihasilkan oleh bermacam-macam alat penghasil gelombang suara dengan frekuensi yang berbeda-beda dan tak beraturan). Sketsa Gelombang Murni (lihat gambar 1).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1 Gelombang Murni
Sketsa Gelombang Rumit/Kompleks (lihat gambar 2). Gambar 2 Gelombang Kompleks
Gelombang rumit selanjutnya dibedakan lagi menjadi gelombang rumit yang periodis--dua gelombang atau lebih muncul dengan frekuensi yang berbeda tetapi beraturan dan gelombang rumit yang turbulen--dua gelombang atau lebih muncul dengan frekuensi yang berbeda tetapi tak beraturan. Dikaitkan dengan gelombang suara manusia, vokal merupakan gelombang rumit yang periodis sedangkan konsonan merupakan gelombang rumit yang turbulen. Gerakan molekul udara melalui ruang adalah gelombang suara. Sebuah gelombang suara yang berulang secara teratur disebut gelombang periodik. Pada bagian ini, akan diberikan pemahaman tentang bagian-bagian dari gelombang perodik sederhana. Gelombang tersebut dapat digambarkan dengan gerakan (atau jumlah tekanan yang diberikan oleh molekul udara) pada sumbu vertikal dan waktu pada sumbu horisontal. (lihat grafik 2):
Universitas Sumatera Utara
Grafik 2 Gerak Gelombang
Jumlah
tekanan
udara
yang
diberikan
pada
molekul
udara
adalah
Amplitudo/intensitas digambarkan sepanjang sumbu y (vertikal). Waktu gelombang digambarkan sepanjang sumbu x (horizontal). Panjang gelombang adalah jarak yang ditempuh selama satu siklus tunggal.
2.4.2 Ciri-Ciri Fonetik Akustik Ciri akustik terdiri dari frekuensi atau struktur melodik, durasi atau struktur temporal, dan intensitas. Ciri-ciri akustik disebut juga dengan istilah prosodi. Ketiga kajian di atas merujuk pada unsur suprasegmental yang akurasi datanya hanya bisa di dapat lewat pengukuran sebuah piranti. Dalam hal ini peranti yang dimaksud adalah Praat. Menurut Heuven dalam T. Syarfina (2009) prosodi atau ciri akustik berfungsi: (1) untuk menandai ranah (seperti paragraf, kalimat, dan frasa), (2) untuk mengkualifikasikan informasi yang disajikan di dalam suatu ranah (seperti batasan pernyataan, batasan pertanyaan), dan (3) untuk menonjolkan konstituen-konstituen tertentu di antara ranah-ranah (aksentuasi).
Universitas Sumatera Utara
Kemudian Crystal dalam T. Syarfina (2009) berpendapat bahwa intonasi dan ciri suprasegmental menampilkan beragam fungsi yang berbeda. Fungsi intonasi dan suprasegmental itu adalah menjadi penanda emosional, gramatikal, struktur informasi, tekstual, psikologi, dan indeksikalitas. Penjelasan lebih lanjut sebagai berikut: 1) Penanda emosional mencakup fungsi intonasi dan suprasegmental tentang makna yang didasari oleh sikap seperti: kesenangan, kebosanan, terkejut, keramahan, dan lain-lain; 2) Penanda gramatikal, intonasi berperan sebagai penanda kontras gramatikal, yaitu mengidentifikasi unit-unit besar gramatikal seperti klausa dan kalimat berdasarkan cara kontur nada memilah suatu ujaran. 3) Penanda struktur informasi, intonasi berperan sebagai penanda struktur informasi pada ujaran. Aspek informasi mana yang ditekankan dengan intonasi maksimum merupakan asumsi untuk menganalisa sebuah informasi; 4) Penanda tekstual, intonasi berperan sebagai penanda dalam analisis wacana (discourse). Koherensi prosodi dengan baik digambarkan melalui bentuk melodi distingtif pada paragraf-paragraf yang dibaca saat pembacaan sebuah berita; 5) Penanda psikologi, intonasi diperankan untuk mengklarifikasi ujaran yang rumit menjadi sederhana sehingga dapat dipakai untuk mengorganisasi ujaran dalam membantu seseorang dalam pemerolehan bahasa.
Universitas Sumatera Utara
6) Penanda indeksikal, ciri suprasegmental difungsikan untuk mengidentifikasi ideksikal seseorang sehingga identitas sosial seseorang dapat dilihat dari kajian ini.
2.4.2.1 Frekuensi Frekuensi digunakan untuk mengukur gelombang yang berjalan secara ritmis dengan hitungan per satuan waktu. Dalam hubungannya dengan fonetik akustik, gelombang yang dimaksud adalah gelombang suara yang dihasilkan oleh pita suara manusia yang ditangkap/direkam dan dideteksi
oleh alat yang dinamakan
spektogram. Dalam ilmu fisika, bunyi dapat diukur dan digambarkan dalam bentuk grafik yang dinamakan gelombang sinusoidal (lihat gambar
) sehingga bunyi dapat
dijelaskan sebagai suatu rangkaian siklus (cycle). Toleransi frekuensi bunyi yang dapat diterima oleh telinga manusia berkisar antara 15 – 20 cycle per second (c/sec) untuk titik terendah dan 15.000 – 20.000 c/sec untuk titik tertinggi (Ridwan 2006:292). Frekuensi gelombang adalah seberapa sering gelombang berulang. Hal ini biasanya diukur dalam Hertz (disingkat Hz), terkadang juga disebut cycle per second "siklus per detik". Orang akan mendengar frekuensi gelombang sinus sebagai nada (pitch), yaitu, frekuensi tinggi (sering berulang) gelombang akan terdengar seperti nada tinggi, sedangkan frekuensi rendah (tidak seperti yang sering berulang) gelombang akan terdengar seperti sebuah catatan yang lebih rendah. Misalnya, dalam tangga nada diakronis dikenal nada do, re, mi, fa, sol, la, si. Nada do direalisasikan
Universitas Sumatera Utara
sebagai gelombang yang longgar berfrekuensi rendah, sedangkan nada si direalisasikan sebagai gelombang yang rapat dengan frekuensi tinggi. Ilustrasi lain adalah pada dawai gitar,
keenam dawai gitar jika dipetik akan menghasilkan
gelombang bunyi yang berbeda antar satu sama yang lainnya. Perbedaan yang signifikan terlihat jika dawai gitar paling atas dan paling bawah dipetik. Dawai gitar paling atas jika dipetik menghasilkan gelombang bunyi yang longgar dengan frekuensi rendah, sedangkan dawai gitar yang paling bawah jika dipetik menghasilkan gelombang bunyi yang rapat dengan frekuensi tinggi. Simpulannya bahwa secara fisik, nada tergantung atas banyaknya getaran pada pita suara, semakin banyak getaran yang dihasilkan oleh pita suara semakin tinggi pula nada bunyi yang dihasilkan (Nooteboom 1999:642). Frekuensi adalah jumlah siklus per detik yang direpresentasikan dengan huruf F atau huruf kecil f. pengukuran frekuensi gelombang didasarkan atas seberapa sering gelombang tersebut berulang selama satu detik. Detik direpresentasikan dengan huruf T.
Terdapat hubungan yang penting antara F dan T, yaitu periode atau waktu
gelombang. (Lieberman, 1972:7;Lapoliwa, 1988:47). F x T = 1, berarti bahwa F = 1/T dan T = 1/F Contoh, T adalah 0,01 detik dan F adalah 100 siklus per detik (c/sec). Jadi (0,01 X 100 = 1). Sebuah ujaran menghasilkan variasi frekuensi dasar. Jadi, jika berbicara tentang variasi nada berarti berbicara intonasi dalam suatu ujaran, tetapi jika
Universitas Sumatera Utara
berbicara tentang frekuensi dasar/fundamental (Fo) berarti berbicara tentang frekuensi bunyi ujaran yang menghasilkan nada ujaran tersebut. Berkenaan dengan nada, variasi frekuensi fundamental di sepanjang ujaran itu membentuk rentang suara yang disebut rentang nada (pitch range). Frekuensi memegang peranan yang cukup penting dalam analisis struktur internal bunyi bahasa (speech sound). Dalam kajian intonasi, frekuensi fundamental (Fo) lebih relevan diukur dengan perhitungan logaritma. Dalam ukuran logaritma disebut Semiton (st). Tinggi Fo yang semula diukur dengan Hz dikonversi dalam ukuran semiton (st) dengan rumus sebagai berikut:
F (st) = (12 Log (2)) (Log (FHz/FRef))
FHz adalah frekuensi fundamental hasil pengukuran yang terstilisasi dan F (Ref) adalah frekuensi fundamental yang dijadikan referen. Semiton merupakan satuan ukuran nada. Satu semiton berarti jarak dari satu nada ke nada berikutnya. Kajian ini menggunakan F sebesar 130,7749 Hz yaitu frekuensi fundamental C dalam musik. Hal ini dimaksudkan agar tinggi nada dalam setiap kontur dapat dibandingkan dengan nada C natural itu (Sugiono, 2003:96)
2.4.2.2 Intonasi Kontur nada sebenarnya secara global hanya dikelompokan menjadi dua yaitu alir naik dan alir turun. Namun, jik diidentifikasi lebih spesifik, kontur alir nada memiliki perbedaan struktur, tuturan, modus, situasi tuturan, maupun aspek-aspek
Universitas Sumatera Utara
tindak tutur yang menghasilkan ujaran. Hal ini membuktikan produktivitas sebagai salah satu sifat bahasa. Dalam kajian fonetik akustik, alir nada biasa disebut intonasi yang dijabarkan melalui pendeskripsian frekuensi fundamental dalam suatu ujaran. Fungsi frekuensi fundamental pada tataran kalimat disebut intonasi; pada tataran kata disebut nada (tone). (Lehiste, 1970:105;T.Syarfina, 2009:34). Selanjutnya, Lehiste dalam Rahyono FX (2003) menjelaskan bahwa intonasi merupakan ciri tonal (tonal features) yang ada pada tingkat kalimat. Ciri tonal pada tingkat kalimat itu juga mengandung makna nonlinguistis, yakni mengungkap sikap penutur dan taraf kepentingan pesan yang disampaikan melalui kalimat itu.
2.4.2.3 Durasi Menurut Sugiono (2003) durasi adalah rentang waktu yang diperlukan untuk merealisasikan segmen bunyi yang diukur dengan satuan milidetik. Durasi dalam siklus tunggal disebut periode (period). Dilambangkan dengan huruf T (Time). Diukur dengan satuan detik atau milidetik (second atau milisecond) yang disingkat (md). Dalam (gambar 1) ditunjukan dengan garis warna merah. Jika diterapkan pada suara manusia menunjukan bahwa rentang waktu pita suara terbuka mengeluarkan bunyi dan tertutup kembali, gelombang suara itu dihitung sebagai periode dengan hitungan 1 detik. Tempo adalah rentang waktu yang diperlukan untuk merealisasikan sebuah tuturan. Jadi, struktur temporal diartikan sebagai seperangkat aturan yang dipakai
Universitas Sumatera Utara
untuk menentukan pola durasi dalam tuturan. Durasi berhubungan dengan gerakan artikulatori dan rangkaiannya yang sifatnya terukur. Beberapa faktor yang mempengaruhi durasi antara lain: (1) titik dan perilaku artikulasi dari segmen itu sendiri, (2) suara-suara sementara awal dan berikutnya, dan (3) faktor suprasegmental.
2.4.2.4 Intensitas Intensitas biasa disebut Amplitudo gelombang, yakni ukuran perbedaan tekanan pada gelombang suara. Amplitudo/intensitas biasanya diukur dalam desibel (disingkat dB). Orang-orang akan mendengar Amplitudo/intensitas sebagai kenyaringan. Amplitudo/intensitas merupakan istilah untuk menentukan lebar sempitnya suatu gelombang. Dengan kata lain, intensitas bunyi, yaitu keras, nyaring, lirihnya suatu bunyi yang diterima oleh telinga berpangkal pada luasnya atau lebarnya gelombang udara (istilahnya ”Amplitudo/intensitas) dan bersifat netral terhadap frekuensi/titi nada (Vehaaar J.W.M. 22 : 1996) Jarak sangat menentukan Amplitudo/intensitas. Maksudnya, semakin jauh kita dari sumber bunyi maka Amplitudo/intensitas bunyi/suara
(intensitas/kekerasan
bunyi) yang diterima oleh indra pendengar kita semakin kecil. Begitu juga berlaku sebaliknya, semakin dekat kita dari sumber bunyi maka Amplitudo/intensitas bunyi /suara (intensitas/kekerasan bunyi) yang diterima oleh indra pendengar kita semakin besar pula.
Universitas Sumatera Utara
Selain jarak, berkurangnya amplitudo/intensitas bunyi/suara atau berkurangnya kecepatan pelenyapan bunyi juga ditentukan oleh proses dan tempat pemantulan gelombang Amplitudo/intensitas. Semakin padat/keras dan permukaan yang rata suatu obyek pantul, seperti dinding tembok, semakin rendah tingkat kecepatan pelenyapan bunyi. Sebaliknya, semakin lunak dan permukaan tidak rata, semakin tinggi tingkat kecepatan pelenyapan bunyi. Dapat dikatakan, media yang padat/keras dan rata sangat berpotensi baik sebagai penghantar Amplitudo/intensitas dan media yang lunak dan tak rata berpotensi kurang baik menghantarkan Amplitudo/intensitas. Perbandingan intensitas suara dengan intensitas suara lainnya dihitung dengan fungsi logaritma, yaitu 10 kali logaritma terhadap bilangan dasar 10 rasio intensitas bunyi; rasio intensitas bunyi tersebut merupakan hasil kuadrat rasio amplitudo (Hayward 2000:44; Syarfina 2009:37) Amplitudo dalam dB suara B berhubungan dengan suara A yang dihasilkan dengan mendapatkan logaritma terhadap bilangan dasar dari rasio intensitas bunyi (Ia/Ib) dan dikalikan dengan 10. Misalnya, apabila suara B mempunyai dua kali intensitas suara A, rasio intensitas suaranya adalah 2. berdasarkan logaritma, 2 adalah 0,3, dikali dengan 10, dan hasilnya adalah 3 dB. Apabila intensitas suara B setengah dari suara A, intensitas rasionya adalah ½. Logaritma dari ½ adalah -0,3, dikali dengan 10, dan hasilnya bernilai -3 dB. Intensitas diukur dengan rumus berikut ini:
I = 10(LOG(IA/IB))
Universitas Sumatera Utara
2.4.2.5 Resonansi Resonansi adalah getaran suara yang memberi efek getaran yang sama pada obyek lain dari sumber suara. Obyek yang dimaksud tersebut biasa disebut sebagai resonator. Obyek memiliki frekuensi. Jika obyek digetarkan pada frekuensi yang berbeda, getaran akan berangsur melambat dan akhirnya berhenti. Namun, jika obyek digetarkan pada frekuensi yang sama dengan obyek lain disekelilingnya maka getaran akan diperkuat dan obyek lain disekelilingnya tersebut. Obyek-obyek lainnya yang turut bergetar pada frekuensi yang sama dengan obyek utama tersebut dinamakan obyek yang beresonansi. Artinya resonansi merupakan respon suatu obyek, yang berpotensi
menghasilkan
frekuensi,
dari
frekuensi
obyek
lain
yang
mempengaruhinya. Beberapa contoh resonansi: 1)
Gelombang berdiri pada lompat tali,
2)
Getaran suara hasil tiupan botol yang diisi dengan air separoh, dan
3)
Getaran dawai biola.
Jika obyek digetarkan dua kali pada frekuensi resonansi favorit, obyek lain sebagai resonator tidak akan merespon dengan baik. Jika obyek digetarkan tiga kali dengan frekuensi resonansifavoritnya, maka obyek lain akan beresonansi - meskipun tidak sebanyak pada frekuensi resonansinya. Pola ini akan berulang pada setiap kelipatan ganjil dari frekuensi terendah. Dengan kata lain, pola ini akan menjadi frekuensi resonansi yang efektif:
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1 Frekuensi Resonansi yang Efektif Frekuensi Favorit
Resonansi
1x1x
ya
2x2x
tidak ada
3x3x
ya
4x4x
tidak ada
5x5x
ya
Contohnya, pada tabung setengah terbuka yang berukuran 17 cm (panjang khas untuk saluran vokal seorang pria dewasa), frekuensi yang disukai adalah 500 Hz, 1500 Hz, 2500 Hz, 3500 Hz, dan seterusnya. Jika ditinjau dari diagram kurva respon frekuensi tabung, setiap frekuensi akan beresonansi jika getaran diberikan pada frekuensi tersebut. Kurva respon frekuensi untuk saluran vokal ukuran 17 cm dalam posisi netral (yaitu, posisi untuk schwa) terlihat seperti pada Grafik 3 berikut ini: Grafik 3 Kurva Respon Frekuensi
Universitas Sumatera Utara
Resonansi penting untuk bunyi bahasa berdasarkan struktur alat-alat bicara karena memang resonansi membahas getaran bunyi suara yang menjadi resonator. Dalam hal ini antara lain: rongga mulut, rongga hidung, rongga laring, beserta gumpalan-gumpalan udara di dalamnya.
2.4.3 Tuturan Modus Deklaratif Hudson, (1980:110) dalam A. Chaedar Alwasilah, (1993:19), mengatakan bahwa petuturan (speech act) adalah bagian dari ujaran yang dipakai dalam interaksi sosial. A. Chaedar Alwasilah menyebut istilah (speech act) sebagai petuturan. Sedangkan para ahli-ahli bahasa yang lain biasa menyebut tindak ujar atau tindak tutur. Berarti konsep petuturan, tindak ujar, maupun tindak tutur merujuk pada konsep yang sama, yaitu speech act. Dalam penelitian ini digunakan istilah ”tindak tutur” sebagai representasi dari istilah ”speech act”. Tindak tutur adalah interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur (petutur), dengan satu pokok tuturan atau lebih, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Tindak tutur dibatasi sebagai aksi yang dilakukan oleh penutur melalui ujaran atau dengan menggunakan bahasa. Dell Hymes (1972) dalam Abdul Chaer (1995) mengatakan bahwa peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yaitu: 1)
Setting and scene, yaitu tempat dan situasi berlangsungnya tuturan,
2)
Participant, yaitu pihak yang terlibat dalam tuturan,
Universitas Sumatera Utara
3)
Ends, yaitu maksud dan tujuan tuturan,
4)
Act sequence, bentuk dan isi tuturan. Hal ini berkenaan dengan kata-kata dan kalimat yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topic penuturan. Bentuk tuturan dalam ruang sekolah atau penuturan biasa di kedai kopi. Begitu juga dengan isi yangh dibicarakan,
5)
Key, penggunaaan nada (intonasi), cara, dan semangat dimana sebuah tuturan disampaikan,
6)
Instrumentalities, Jalur bahasa yang digunakan, lisan ataukah tulis. Kode tuturan yang digunakan, seperti bahasa, dialek ragam, atau register,
7)
Norm of interaction and interpretation, yaitu norma dalam berinteraksi dan penafsirannya, dan
8)
Genre, yaitu jenis bentuk penyampaiannya, seperti narasi, puisi, doa, dan sebagainya. Syarat utama berlangsungnya tindak tutur adalah penggunaan kalimat.
Kalangan formalisme membedakan kalimat menjadi empat berdasarkan modusnya, yaitu: 1)
deklaratif, yaitu kalimat yang isinya hanya meminta petutur untuk menaruh perhatian saja, tanpa melakukan tindakan atau aksi atas pernyataan penutur karena maksud penutur hanya memberitahukan saja;
2)
interogatif, yaitu kalimat yang isinya meminta agar si petutur memberikan jawaban dari si penutur;
Universitas Sumatera Utara
3)
imperatif, yaitu kalimat yang isinya meminta agar si petutur memberikan aksi atau tindakan dari si penutur; dan
4)
interjektif (seruan), yaitu kalimat yang menyatakan seruan. Austin (1962) dalam Abdul Chaer, (1995:66) membedakan kalimat deklaratif
berdasarkan maknanya menjadi kalimat konstantif dan kalimat performatif. Kalimat konstantif adalah kalimat yang berisi pernyataan belaka, seperti Siti adalah gadis yang manis. atau pagi tadi saya terlambat sekolah. Sedangkan kalimat performatif adalah kalimat yang berisi perlakuan. Artinya apa yang diucapkan si pengujar sesuai dengan apa yang dilakukan. Austin (1962:100-102) dalam Abdul Chaer (1995:68) merumuskan tiga peristiwa tindakan yang berlangsung sekaligus dalam kalimat performatif, yaitu: (1) Tindak tutur lokusi (locution, locutionary act), yakni makna linguistik suatu ujaran; (2) Tindak Tutur Ilokusi (illocution, illocutionary act), yakni makna komunikatif ujaran oleh penutur (penutur); dan (3) Tindak tutur Perlokusi (perlocution, perlocutionary
act),
yakni
dampak
ujaran
bagi
pendengar,
disebut
juga
perlocutionary effect. Austin (1962:150-163) dalam Abdul Chaer (1995:79), membagi kalimat performatif menjadi lima kategori, Yaitu: 6)
Kalimat Verdiktif (verdictives). Kalimat perlakuan yang menyatakan keputusan atau penilaian (judgement). Contoh: (Aku mutuske) kowe sing salah.
7)
kalimat Eksersitif (exercitives). Kalimat perlakuan yang menyatakan nasihat, peringatan, dan sebagainya. Contoh: (Aku pingin) kowe dadi dokter
Universitas Sumatera Utara
8)
Kalimat Komisif (commissives). Kalimat perlakuan yang mana penutur terikat (commited) dengan perjanjian. Contoh: (Aku janji) sesuk tak bayar.
9)
Kalimat Behatitif (behatitives). Kalimat perlakuan yang berhubungan dengan tingkah laku sosial, baik keberuntungan maupun kemalangan. Seperti permintaan maaf, ucapan selamat, pernyataan penyesalan, atau tantangan. Contoh: (Aku sedih) duitku ilang.
10) Kalimat ekspositif (expositives). Kalimat perlakuan yang memberi penjelasan, keterangan, perincian kepada seseorang. Contoh: (Aku nerangke) Getuk iki digawe soko telo. Menurut J. Searle dalam Asin Gunarwan (2007) Tindak ujar (tutur) dapat digolongkan berdasarkan fungsinya ke dalam lima kategori sebagai berikut. 1)
Deklarasi, yaitu tindak tutur yang pengungkapannya menimbulkan efek dalam bentuk perubahan status dan keadaan. Seperti, menyatakan, meresmikan, menobatkan, menetapkan, menghukum, memutuskan, menyebutkan, dan lainlain. Rumusannya adalah Deklarasi membuat U mengubah dunia P menyebabkan X. Contoh: (Aku mutuske) kowe sing salah;
2)
Representatif, yaitu tindak tutur yang kebenaran pengungkapannya dapat diverifikasi salah atau betul. Seperti menyatakan, mengakui, meyakini, menyadari, menerangkan, dan memastikan. Rumusannya adalah Representatif membuat U sesuai dengan dunia P yakin X. Contoh: (Aku nerangke) Gethuk iki digawe soko telo;
Universitas Sumatera Utara
3)
Ekspresif yaitu tindak tutur yang merupakan pengungkapan perasaan, sikap, dan pendapat si penutur. Seperti, berterima kasih, mohon maaf, bersedih, berdukacita, mengucapkan selamat, dan lain-lain. Rumusannya adalah Ekspresif
membuat U sesuai dengan dunia P merasa X. Contohnya: (Aku
sedih) duitku ilang; 4)
Direktif, yaitu tindak tutur yang pengungkapannya bertujuan mempengaruhi petutur untuk melakukan sesuatu. Seperti, memerintahkan, memohon, mengingatkan, memperingatkan, menyarankan, dan lain-lain. Rumusannya adalah Direktif membuat U sesuai dgn dunia P mau/ingin X. Contoh: (Aku pingin) kowe dadi dokter;
5)
Komisif, yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya (di dalam arti si penutur membuat komitmen) untuk melakukan sesuatu bagi petutur. Seperti, menjanjikan, bersumpah, mengancam, dan lain-lain. Rumusannya adalah Komisif membuat U sesuai dgn dunia P bermaksud X. Contohnya: (Aku janji) sesuk tak bayar.
2.4.4 Bahasa Jawa Dialek Standar Dialek Solo-Yogya ini dikenal sebagai bahasa Jawa Mataraman. Menurut sejarah, wilayah Solo dan Yogyakarta merupakan kesatuan wilayah yang terintegrasi pada masa kerajaan Surakarta (Mataram). Namun, setelah diadakan perjanjian Giyanti pada tahun 1755, kerajaan Surakarta dibagi menjadi dua wilayah, yaitu wilayah Surakarta Hadiningrat (Solo sekarang) yang dipimpin oleh Sunan
Universitas Sumatera Utara
Pakubuwana dan wilayah Ngayogyakarta Hadiningrat (Yogyakarta sekarang) yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi (Hamengkubuwana). Bahasa Jawa dialek Surakarta adalah dialek bahasa Jawa yang diucapkan di daerah Surakarta dan sekitarnya. Sejak masa pemerintah Belanda, dialek ini telah menjadi acuan baku bagi pemakaian resmi bahasa Jawa (bahasa Jawa Baku) dan standar bagi pengajaran bahasa dan sastra Jawa. Maka sering disebut sebagai bahasa Jawa
dialek
standar.
Selain
dialek
Surakarta,
dialek
Yogyakarta
juga
direpresentasikan juga sebagai dialek standar bahasa Jawa karena sebenarnya kedua wilayah itu masih merupakan satu dialek. Maka, dialek Solo-Yogya sering disebut sebagai dialek standar. Standarisasi dialek Solo-Yogya didasarkan pada anggapan bahwa daerah SoloYogya merupakan pusat kebudayaan Jawa-Kraton sebagai sumber dari nilai-nilai dan norma-norma Jawa. Dengan demikian, logat Solo-Yogya juga dianggap sebagai ”bahasa Jawa yang beradab”. Dengan logat ini penggunaan bahasa Jawa dengan sistem kesembilan gaya itu betul-betul sudah berkembang mencapai kerumitan yang luar biasa. (Koentjaraningrat, 1984:23—24). Pada tahun 2006, Pujiati Suyata dan Suharti menguatkan anggapan tersebut. Mereka melakukan penelitian dengan judul penelitian ”Status Isolek YogyakartaSurakarta Dan Implikasinya Terhadap Bahasa Jawa Standar: Tinjauan Linguistik Komparatif Diakronis”. Penelitian ini menekankan aspek isolek Solo-Yogya yang merupakan alat komunikasi antar-anggota masyarakat di daerah Yogyakarta dan Surakarta yang belum ditentukan statusnya sebagai bahasa, dialek, atau subdialek.
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah pasangan kerabat mencapai 86,5%, yang termasuk ke dalam kriteria hubungan antardialek dalam satu bahasa. Dengan demikian, status hubungan kedua isolek adalah hubungan antardialek. Hal itu diperkuat oleh hasil analisis sinkronis melalui kosakata 600 medan makna, tataran frase, dan kalimat. Bukti-bukti linguistis tersebut berimplikasi pada penetapan dialek Jawa Standar. Sesuai dengan statusnya sebagai dialek, dalam dialek Yogyakarta dan Surakarta ada unsur yang sama, selain ada yang khas. Unsur-unsur yang sama pada kedua dialek, merupakan dialek Jawa Standar.
2.4.5 Bahasa Jawa Dialek Deli (Medan) Menurut data sejarah, eksodus ethnis Jawa secara besar-besaran diawali pada masa Hindia Belanda, orang Jawa didatangkan dari pulau Jawa untuk direkrut menjadi pekerja (kuli) perkebunan di wilayah Deli (sekarang wilayah Medan dan sekitarnya). Pada masa inilah terjadi eksodus besar-besaran suku bangsa Jawa ke Deli (Medan) atas propaganda pemerintah Hindia Belanda. Suku bangsa Jawa yang memiliki latar belakang tersebut di atas sekarang disebut orang Jawa-Deli (Jadel), lalu keturunannya sekarang disebut Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera). Berdasarkan Sensus Penduduk Indonesia 2010, penduduk Medan berjumlah 2.109.339 jiwa.Penduduk Medan terdiri atas 1.040.680 laki-laki dan 1.068.659 perempuan. Komposisi penduduk kota Medan dilihat dari sisi ethnis seperti pada tabel di bawah ini.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2 Perbandingan Ethnis di Kota Medan pada tahun 1930,1980, dan 2000 Perbandingan etnis di Kota Medan pada tahun 1930, 1980, dan 2000 Etnis
Tahun 1930
Tahun 1980
Tahun 2000
Jawa
24,89%
29,41%
33,03%
Batak
2,93%
14,11%
20,93%*
Tionghoa
35,63%
12,8%
10,65%
Mandailing
6,12%
11,91%
9,36%
Minangkabau
7,29%
10,93%
8,6%
Melayu
7,06%
8,57%
6,59%
Karo
0,19%
3,99%
4,10%
Aceh
--
2,19%
2,78%
Sunda
1,58%
1,90%
--
Lain-lain
14,31%
4,13%
3,95%
Sumber: 1930 dan 1980: Usman Pelly, 1983; 2000: BPS Sumut *Catatan: Data BPS Sumut tidak menyenaraikan "Batak" sebagai suku bangsa, total Simalungun (0,69%), Tapanuli/Toba (19,21%), Pakpak (0,34%), dan Nias (0,69%) adalah 20,93%
Populasi ethnis Jawa di Medan cukup besar. Berdasarkan data statistik tahun 2000, kira-kira 33,3% penduduk Medan adalah ethnis Jawa. Besarnya populasi tersebut turut memberi nuansa terhadap perkembangan bahasa Jawa di Medan. Bahasa Jawa berbaur dengan kebudayaan lokal dan membentuk varian sendiri, yaitu dialek bahasa Jawa-Medan atau Jawa-Deli. Memang belum ada kajian yang secara spesifik mengkaji bahasa Jawa dialek Deli (Medan). Dialektologi dengan metode dialektometri--salah satu cara untuk melakukan pemilahan bahasa dan dialek dengan melakukan penghitungan perbedaan kosakata pada satu titik pengamatan dengan titik pengamatan yang lain--belum pernah dilakukan, sehingga secara ilmiah bahasa Jawa di Deli (Medan) belum dapat dikategorikan sebagai negligeable, parler, sousdialecte, dialecte, atau langue. Menurut (Guiter 1973:96) dalam Lauder (2002), jika perhitungan perbedaan kosakata pada titik pengamatan menghasilkan persentase di bawah 20%, dianggap tak berbeda
Universitas Sumatera Utara
(negligeable); antara 21%–30% dianggap ada perbedaan wicara (parler); antara 31%–50% dianggap ada perbedaan subdialek (sousdialecte); antara 51%–80% dianggap ada perbedaan dialek (dialecte); dan persentase di atas 80% dianggap sudah mewakili dua bahasa (langue) yang berbeda. Konsep bahasa Jawa dialek Deli (Medan) didapat dari pengertian sederhana tentang istilah dialek geogafis—penentuan ragam bahasa didasarkan pada posisi geografis atau areal penutur. Jadi, berhubung bahasa Jawa-Deli terletak di kerajaan Deli (sekarang Medan dan sekitarnya) maka disebut saja sebagai bahasa Jawa dialek Deli (Medan). Berdasarkan uraian diatas disimpulkan bahwa bahasa Jawa dialek Deli (Medan) adalah bahasa Jawa yang tumbuh dan berkembang di wilayah Deli (Medan) digunakan oleh penutur suku bangsa Jawa-Deli untuk berkomunikasi dan mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Jawa (wong Jowo).
2.5
Kerangka Teoretis Penelitian ini adalah model eksperimental yang menggunakan pendekatan
fonetik eksperimental sebagai solusi atas keterbatasan pendekatan impresionistik, yakni kajian fonetik dengan menggunakan instrumen alat ukur atau aplikasi yang akurasinya dapat dipertanggungjawabkan, yakni aplikasi program praat, sesuai dengan ancangan IPO (Instituut voor Perceptie Onderzoek), yaitu ancangan yang didesain untuk mendeskripsikan sinyal akustik dan kemudian menganalisis secara statistik terhadap parameter akustik suatu ujaran yang diteliti. Acuan utama penelitian
Universitas Sumatera Utara
ini adalah pada teori-teori fonetik akustik yang dikembangkan oleh Lehiste (1970), Hart et al (1990), Cruttenden (1997) dan Nooteboom (1990).
2.5.1 Fonetik dan Fonologi Tuturan bahasa terdiri atas bunyi. Fonetik dan fonologi sama-sama memusatkan perhatian terhadap bunyi bahasa. Fonetik meneliti bunyi bahasa menurut cara pelafalan, sifat-sifat akustiknya, dan penerimanya sedangkan fonologi meneliti bunyi bahasa tertentu menurut fungsinya (Verhaar, 1996:10). Fonetik mengkaji fisik bunyi yang, baik secara; (1) artikulatoris, yaitu pengartikulasian oleh alat ucap manusia sebagai pemroduksi bunyi, (2) akustik, yaitu fisik bunyi sebagai gelombang suara, dan (3) auditoris, yaitu menyangkut aspek penerimaan bunyi. Kemudian, kajian tentang fungsi bunyi yang diimplementasikan dalam bahasa tertentu selanjutnya menjadi bahasan fonologi. Implementasi ini dijabarkan dalam telaah ”fonem” dalam suatu bahasa ditinjau dari perbedaan maknanya. Jadi, fonologi adalah ilmu yang menganalisis tentang bunyi-bunyi bahasa dengan memperhatikan bunyi tersebut sebagai pembeda makna (T. Syarfina, 2009:21). Dalam bahasa Indonesia /l/ dan /r/ merupakan fonem yang berbeda. Implementasi /l/ pada lupa dan implementasi /r/ pada rupa merupakan bentuk dan arti yang berbeda. Lain halnya dalam bahasa Jepang, /l/ dan /r/ meskipun bentuknya berbeda tetapi tidak membedakan arti. Dengan kata lain, meskipun secara fonetik
Universitas Sumatera Utara
berbeda tetapi secara fonologi tidak merupakan fonem yang berbeda (Verhaar, 1996: 11). Sommerstein dalam T. Syarfina (2009) membedakan antara fonetik dan fonologi. Menurutnya, fonologi adalah cabang linguistik sedangkan fonetik bukan merupakan cabang linguistik. Argumentasinya, fonetik terkait dengan kemampuan sistem artikulatori dan auditori manusia yang berhubungan dengan suara dan fiturfitur prosodi yang ada untuk digunakan di dalam bahasa dan berhubungan dengan karakteristik suara dan fitur-fitur itu sendiri. Namun seiring perkembangannya, baik kajian fonetik maupun fonologi merupakan kajian yang terintegrasi mengingat speech sounds merupakan bagian dari suatu sistem yang fungsi utama dalam fisiknya memiliki perbedaan yang signifikan, baik paradigmatik dan sintagmatik, walaupun belum membentuk suatu bahasa tertentu.
2.5.2 Pendekatan Kajian Fonetik 2.5.2.1 Fonetik Impresionistik Sebelum pendekatan eksperimental ditemukan, fonetik dipelajari dengan menggunakan pendekatan impresionistik, yaitu suatu pendekatan untuk. mengkaji fonetik hanya mendasarkan diri atas indera alamiah manusia, yaitu pendengaran. Indera ini digunakan untuk mengidentifikasi bunyi bahasa yang diproduksi oleh alat ucap manusia secara impresif. Selain indera pendengaran juga dibantu dengan indera penglihatan. Data diolah hanya berdasarkan atas kesadaran pendengaran, penglihatan,
Universitas Sumatera Utara
dan dibantu oleh aspek kesadaran menganalisa aktifitas organ ucap manusia, secara artikulatoris. Sugiono (2003) mengatakan bagaimanapun kepekaan indera dan kesadaran seseorang terhadap bunyi amat dipengaruhi oleh kesiapan persepsi orang itu terhadap bahasa yang sedang dihadapi. Hal ini tentunya semakin menguatkan sisi kelemahan pendekatan impresionistik karena kemampuan seorang ahli fonetik impresionistik sangat ditentukan oleh penguasaan terhadap persepsi bunyi yang diidentifikasi. Sangatlah sulit jika mengidentifikasi bunyi bahasa dari konvensi bahasa yang sebelumnya tidak dikuasai, atau asing bagi seseorang sampai pada bahasa yang dikuasai dan dideskripsikan. Akurasi deskripsinya tergantung atas proses identifikasi yang cukup lama.
2.5.2.2 Fonetik Eksperimental Pendekatan
fonetik
eksperimental
menitikberatkan
pada
kemampuan
merepresentasikan suara secara visual dan menjelaskannya secara obyektif sesuai data visualnya dalam peranti. Peranti dimaksud adalah computer tomograpy (CT), magnetic resonance imaging (MRI), electromagnetic midsagital articulometer (EMMA), strain gauges, electropalatograpy, dan electromiograpy (EMG). Khusus untuk pengukuran ciri akustik dikembangkan program computer seperti computerized research speech environment (CRSE) dan Praat. Pendekatan fonetik eksperimental muncul atas dasar keterbatasan pendekatan impresionistik. Meskipun demikian, pendekatan ini tetap memposisikan kerangka
Universitas Sumatera Utara
dasarnya pada fonetik impresionistik. Penemuan dan terobosan baru ini setidaknya membawa fonetik kepada kajian yang lebih menarik dan bernuansa. Peranti-peranti yang diciptakan memiliki kemampuan deskripsi dan akurasi ukuran terhadap apa yang tidak dapat dijabarkan lewat panca indera pendengaran dan penglihatan maupun kesadaran mendeskripsikan ukuran suara hasil kinerja alat ucap secara artikulatoris.
2.6
Kajian Pustaka
2.6.1 Sarah Hawkins, dkk Sarah Hawkins (University of Cambridge), Jill House (University College London), Mark Huckvale (University College London), John Local (University of York), dan Richard Ogden (University of York) (2000) melakukan penelitian tentang An integrated prosodic approach to device-independent, natural-sounding speech synthesis. Penelitian ini merupakan sebuah proyek penelitian yang didanai oleh ESRC Speech and Language programme. Proyek ini merupakan kolaborasi antara Departemen Linguistik di Cambridge, London dan York dengan tujuan untuk membangun sebuah model fonologi komputasi yang mengintegrasikan dan memperluas pendekatan perangkat modern untuk interpretasi fonetik dan menerapkan model ini ke generasi berkualitas tinggi sintesis ujaran. Tiga bidang fokus penelitian adalah intonasi, struktur morfologi dan variasi segmental sistematis. Integrasi ini merupakan model temporal yang menyediakan struktur linguistik atau objek data, yang mana interpretasi fonetik dijalankan dengan memberikan informasi yang terkontrol dalam data sintesisnya.
Universitas Sumatera Utara
Awalnya, penelitian ini bertujuan untuk mencakup rentang yang terbatas dari fenomena dalam satu aksen bahasa Inggris, tetapi model yang lengkap harus sesuai bahasa dan aksen aslinya. Meskipun kompatibilitas dengan metode concatenative akan dipertahankan, untuk pembangkit sinyal, penelitian ini akan dimulai dengan modifikasi sinyal ucapan yang alami, dilengkapi dengan forman berbasis model sintesis. Kemajuan akan dievaluasi menggunakan tes persepsi untuk menguji kealamiannya dalam persepsi makna yang dimengerti dan komunikatif. Model komputasi untuk interpretasi fonetik dalam ujaran sintesis yang dilakukan Sarah Hawkins, dkk merupakan model yang relatif identik dengan model yang diterapkan dalam penelitian ini.
2.6.2 F.X. Rahyono F.X. Rahyono (2003) melakukan penelitian tentang Intonasi Ragam Bahasa Jawa Keraton Yogyakarta Kontras Deklaratif, Deklaratif, Interogatif, dan Imperatif. Tujuan penelitian ini adalah menemukan pola intonasi pada kalimat deklaratif, deklaratif dan interogatif, dan imperatif. Kemudian, menemukan ciri-ciri yang menandai kontras modus-modus pada kalimat itu. Berdasarkan penemuan ciri-ciri tersebut diharapkan dapat memberi gambaran yang menunjukan bahwa sebuah pola kontur tertentu merupakan pola dasar dan kontur yang lainnya merupakan varian pola kontur utama. F.X. Rahyono hanya melakukan bandingan prosodi terhadap satu dialek tuturan, yaitu dialek bahasa Jawa Kraton, sedangkan penelitian ini melakukan bandingan
Universitas Sumatera Utara
tuturan terhadap dua dialek geografis, yaitu ragam bahasa Jawa ngoko dialek Medan dan ragam bahasa Jawa ngoko dialek Solo. Hanya saja tuturan yang dibahas hanya modus deklaratif performatif, sedangkan F.X. Rahyono membahas tiga modus, yaitu deklaratif, interogatif, dan imperatif. Kerangka konseptual yang diterapan dalam penelitian yang dilakukan oleh F.X. Rahyono adalah proses komunikasi terdapat tiga aspek, yaitu (1) produksi, (2) bunyi bahasa, dan (3) persepsi. Ketiga aspek ini merupakan kesatuan yang tidak terpisah dalam penelitian intonasi. Model penelitiannya adalah penelitian eksperimental, data yang dijaring, diolah dan diujipersepsikan melalui eksperimen-eksperimen. Rahyono mengkaji aspek produksi kontur nada (intonasi) sebagai penanda modus kalimat, lalu membandingkannya melalui uji persepsi untuk mendapatkan kontras tuturan. Berbeda dengan penelitian ini yang membahas aspek produksi ujaran dan bunyi bahasa dua kelompok penutur dengan mendeskripsikan signifikansi perbedaan parameter struktur melodik yang dijabarkan melalui frekuensi nada dasar, nada final, nada tinggi dan nada rendah, mendeskripsikan signifikansi perbedaan parameter intensitas yang dijabarkan melalui intensitas dasar, intensitas final, intensitas tinggi dan intensitas rendah, dan mendeskripsikan signifikansi perbedaan parameter bunyi silabis tuturan pada silabel masing-masing. Temuan penelitian Rahyono menyangkut identifikasi modus dan kontras pola intonasi modus deklaratif, interogatif, dan imperatif. Modus deklaratif ditandai dengan dominasi garis dasar nada deklinasi, modus interogatif didominasi oleh garis dasar nada inklinasi. Modus imperatif ditandai dengan keseimbangan antara alir nada
Universitas Sumatera Utara
subyek dengan alir nada akhir, sedangkan modus deklaratif alir nada akhir lebih rendah jika dibanding dengan alir nada subyek. Penanda modus didominasi oleh pola alir nada final dan oleh keseimbangan rentang nada semua alir nada disepanjang kontur (F.X. Rahyono, 2003: iv). Sedangkan temuan penelitian ini adalah signifikansi perbedaan parameter ukuran ciri akustik pada tuturan modus deklaratif performatif ragam bahasa Jawa ngoko antara kedua kelompok penutur berdasarkan dialek geografis, yaitu kelompok penutur di Medan dan Solo.
2.6.3 Sugiono Sugiono (2007) melakukan penelitian tentang Parameter Prosodi yang Menandai Kontras antara Ciri Akustik Tuturan Deklaratif dan Interogatif dalam Bahasa Melayu Kutai. Dalam model penelitian eksperimantalnya, Sugiono mencari toleransi modifikasi setiap ciri akustik yang signifikan dalam kedua modus deklaratif dan interogatif. Masalah yang diketengahkan dalam penelitian Sugiono adalah parameter akustik apa yang digunakan penutur untuk menandai modus sebuah tuturan. Untuk itu, dilakukan lima eksperimen, yaitu satu eksperimen produksi dan
empat
eksperimen persepsi (Sugiono dalam T. Syarfina, 2009:14). Sugiono mengukur parameter akustik yang menjadi pembeda antara kalimat deklaratif, interogatif dan imperatif bahasa Melayu Kutai sedangkan penelitian ini
Universitas Sumatera Utara
mengukur parameter akustik kalimat deklaratif ragam bahasa Jawa ngoko yang menjadi pembeda antara dua kelompok penutur berdasarkan dialek geografis.
2.6.4 T. Syarfina T. Syarfina (2009) meneliti tentang Ciri-Ciri Akustik dalam Bahasa Melayu Deli. Kajiannya membuktikan apakah dalam strata tuturan pada masyarakat Melayu Deli tersebut juga berlaku pada aspek akustiknya. Artinya, ciri-ciri akustik yang ada pada bahasa Melayu Deli apakah bisa dijadikan pemarkah sosial penuturnya. Tujuan penelitian T. Syarfina difokuskan pada deskripsi kuantitas ukuran perbedaan ciri akustik kelompok sosial yang satu dengan kelompok sosial yang lain dalam tuturan modus kalimat deklaratif, interogatif, dan imperatif dalam bahasa Melayu Deli. T. Syarfina mengukur parameter akustik kalimat deklaratif, interogatif dan imperatif bahasa Melayu Deli yang menjadi pembeda berdasarkan kelompok sosial sedangkan penelitian ini mengukur parameter akustik kalimat deklaratif ragam bahasa Jawa ngoko yang menjadi pembeda antara dua kelompok penutur berdasarkan dialek geografis.
2.6.5 Veraci Silalahi Veraci Silalahi (2007) meneliti tentang Kontras Tuturan Deklaratif dan Interogatif Bahasa Batak Toba. Penelitian Veraci Silalahi mengukur frekuansi dan tempo pada tuturan deklaratif dan interogatif pada bahasa Batak Toba. Setelah diukur
Universitas Sumatera Utara
kedua tuturan ini dibandingkan untuk mendapatkan data kontinum yang mendeskripsikan signifikansi perbedaan antara tuturan deklaratif dan interogatif pada bahasa Batak Toba. Tujuan penelitian Veraci adalah menentukan struktur melodik dan tempo pada tuturan deklaratif dan interogatif bahasa Batak Toba. Setelah ditentukan struktur tersebut dijadikan parameter untuk membedakan tuturan. Veraci mencari kontras dua jenis kalimat dalam bahasa Batak Toba dengan cara membandingkannya. Dasarnyanya mirip dengan penelitian Rahyono dan Sugiono yang hanya mencari kontras tuturan. Aspek penuturnya tidak mendapat perhatian.
2.6.6 Asni Barus Asni Barus (2007) meneliti tentang Pemarkah Kedeklaratif dan Interogatifan Ciri-ciri Akustik dalam Bahasa Karo. Model penelitian Asni Barus adalah eksperimental yang membandingkan ciri akustik penutur laki-laki dan penutur perempuan pada masyarakat karo. Hal-hal yang dibandingkan adalah intensitas, frekuensi, dan durasi dalam tuturan deklaratif dan interogatif. Temuan penelitian Asni Barus berupa deskripsi rerata dan signifikansi perbedaan tuturan bahasa Karo yang dituturkan oleh kelompok laki-laki dan perempuan. Hasilnya, ciri-ciri akustik, khususnya frekuensi dan intensitas tuturan yang dituturkan oleh kelompok jenis kelamin dan kelompok umur mempunyai derajad perbedaan yang sangat signifikan. Namun, dalam ukuran durasi, Asni Barus tidak menemukan perbedaan ukuran. Dengan kata lain, ukuran durasi pada bahasa karo yang dituturkan oleh kelompok
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan jenis kelamin dan umur tidak menunjukan signifikansi perbedaan. Jadi, durasi tidak dapat dijadikan acuan untuk membedakan tuturan pada bahasa karo. Asni Barus melakukan perbandingan ciri akustik kalimat deklaratif dan interogatif bahasa Karo berdasarkan klasifikasi gender. Padahal karakter ciri akustik laki-laki dan perempuan sudah jelas berbeda. Mengapa mesti dibandingkan hanya untuk mencari signifikansi perbedaannya. Berbeda dengan penelitian ini yang mencoba membandingkan tuturan berdasarkan kelompok gender yang berbeda dialek geografisnya. Kelompok gender laki-laki dibandingkan dengan laki-laki, demikian halnya dengan kelompok perempuan yang dibandingkan dengan kelompok perempuan yang berbeda dialek geografisnya.
2.6.7 Valerie Hazan dan Stuart Rosen Valerie Hazan dan Stuart Rosen (2008) melakukan penelitian tentang Clarifying the Speech Perception Deficits of Dyslexic Children. Valerie Hazan dan Stuart Rosen mengkaji bagaimana anak dengan kesulitan membaca spesifik (disleksia) dan mereka yang membaca biasanya merasakan suara berbicara. Untuk memecahkan kode ujaran, pendengar harus mampu untuk mengabaikan ketidakrelevanan variasi dalam sinyal suara yang dihubungkan dengan perbedaan penutur, gaya berbicara, aksen, dan lainlain. Indikasinya bahwa anak-anak dengan SRD lebih sensitif terhadap variasi dari anak-anak lain . Valerie Hazan dan Stuart Rosen melakukan eksperimen tes dengan memanipulasi pola akustik tertentu dalam kata. Kemudian, dilakukan uji persepsi kepada anak-anak dari konsonan yang berbeda untuk mencoba dan memahami apa
Universitas Sumatera Utara
yang membuat beberapa indikasi yang dianggap lebih sulit dari yang lain. Selanjutnya, dilakukan uji kemampuan anak untuk beradaptasi dengan penutur yang berbeda dalam gaya berbicaranya. Tujuan utama dari penelitian Valerie Hazan dan Stuart Rosen antara lain: (1) mengevaluasi klaim bahwa anak-anak dengan SRD terlalu sensitif terhadap variasi fonetis dengan ketidakrelevanan; dan (2) mengevaluasi apakah kinerja anak-anak ini dalam kategorisasi analisis mereka berhubungan dengan persepsi mereka tentang suara ujaran dan kata-kata dalam kondisi mendengar secara alami.
2.6.8 Paul Iverson Paul Iverson (2008) melakukan penelitian tentang Second Language Vowel Perception. Paul Iverson melakukan kajian tentang persepsi vokal dan plastisitas selama belajar bahasa kedua (L2) dengan orang dewasa. Studi ini mengevaluasi apakah individu belajar untuk 'perseptual beralih' antara bahasa pertama (L1) mereka dengan sistem vokal bahasa kedua (L2), dan menilai peran deskripsi fonetik dalam proses pembelajaran. Studi 1 akan menggunakan metode baru untuk menghasilkan fonetis rinci bahasa pertama (L1) dan peta persepsi vokal bahasa kedua (L2) untuk penutur asli Norwegia, Jerman, Spanyol, dan Perancis. Studi 2 akan melatih kelompok yang dicocokkan peserta didik Jerman dan Spanyol untuk mengidentifikasi vokal Inggris dan meneliti bagaimana ruang vokal bahasa pertama (L1) dan bahasa kedua (L2) berubah seiring waktu. Studi 3 akan melatih berbahasa Perancis dengan berbagai pengalaman berbahasa Inggris. Penelitian ini akan memberikan kontribusi
Universitas Sumatera Utara
untuk
pemahaman
ilmiah
kita
tentang
persepsi
fonetik
dan
plastisitas,
memperkenalkan inovasi metodologi, dan membantu mengarahkan pengembangan baru berbasis komputer metode pelatihan fonetik.
2.6.9 Jonas Lindh and Anders Eriksson Jonas Lindh and Anders Eriksson (2009) meneliti tentang The SweDat Project and Swedia Database for Phonetic and Acoustic Research. Penelitian ini merupakan pemetaan dialek dari sisi akustiknya yang bertujuan untuk mengubah basis data lama yang telah dikumpulkan menjadi basis data elektronik. Basis data terdiri atas rekaman dialek Swedia dari 107 lokasi di Swedia. Tujuan lain dari penelitian ini adalah untuk membuat materi dengan cara yang fleksibel dan sederhana serta ketersediaan yang lebih luas dari sektor komunitas riset. Lebih khusus, penelitian Jonas, dkk juga dirancang untuk memfasilitasi penelitian fonetik akustik dengan orientasi basis data. Untuk tujuan penelitian fonetik akustik kadang-kadang lebih baik bekerja dengan basis data lokal yang berbasis lingkungan.
Universitas Sumatera Utara