BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1 2.1.1
Kajian Pustaka Konsep Penempatan Kerja
2.1.1.1 Pengertian Penempatan Kerja Penempatan (placement) merupakan kegiatan pengadaan sumber daya manusia, seperti yang dikemukakan oleh Malayu S.P. Hasibuan (2004:22) bahwa: Pengadaan (procurement) adalah proses penarikan, seleksi, penempatan, orientasi, dan induksi untuk mendapatkan karyawan yang sesuai dengan kebutuhan. Setelah calon pegawai dinyatakan lulus seleksi/diterima, maka pegawai tersebut akan ditempatkan pada jabatan atau posisi kerja yang sesuai dengan kualifikasi yang dimilikinya (Bambang Wahyudi, 2002:95). Penempatan adalah proses kegiatan dalam suatu perusahaan untuk menentukan lokasi dan posisi seorang pegawai dalam melakukan pekerjaan. Menurut pendapat Veithzal Rivai (2009:198) bahwa : Penempatan karyawan berarti mengalokasikan para karyawan pada posisi kerja tertentu, hal ini khusus terjadi pada karyawan baru. Kepada karyawan lama yang telah menduduki jabatan atau pekerjaan termasuk sasaran fungsi penempatan karyawan dalam arti mempertahankan pada posisinya atau memindahkan pada posisi yang lain. Hal ini senada dengan pendapat dari Sondang P. Siagian (2008:168-169) bahwa: “Penempatan tidak hanya berlaku bagi para pegawai baru, akan tetapi berlaku pula bagi para pegawai lama yang mengalami alih tugas dan mutasi”.
14
15
Dikatakan demikian karena sebagaimana halnya dengan para pegawai baru, pegawai lama pun perlu direkrut secara internal, perlu dipilih dan biasanya juga menjalani program pengenalan sebelum mereka ditempatkan pada posisi yang baru dan melakukan pekerjaan baru pula. Kemudian menurut Gouzali Saydam (2000:218) yang dimaksud dengan penempatan SDM adalah “proses kegiatan yang dilaksanakan Manager SDM dalam suatu perusahaan untuk menentukan lokasi dan posisi seorang karyawan dalam melakukan pekerjaan”. Pendapat lain menurut Bedjo Siswanto (2002:162) menyatakan bahwa : Penempatan tenaga kerja adalah proses pemberian tugas dan pekerjaan, kepada tenaga kerja yang lulus seleksi untuk dilaksanakan sesuai dengan lingkup yang telah ditetapkan serta mampu mempertanggungjawabkan segala resiko dan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi atas tugas dan pekerjaan, wewenang serta tanggung jawabnya. Menurut Randall S. Schuler dan Susan E. Jackson (1997:276) bahwa : Penempatan (placement) berkaitan dengan pencocokan seseorang dengan jabatan yang akan dipegangnya, berdasarkan pada kebutuhan jabatan dan pengetahuan, keterampilan, kemampuan, preferensi, dan kepribadian karyawan tersebut. 2.1.1.2 Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam Penempatan kerja Pegawai yang telah lulus seleksi kemudian akan ditempatkan oleh manajer dimana manajer perlu memperhatikan beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam penempatan kerja pegawai demi kelangsungan perusahaan. Manajer yang profesional biasanya selalu jeli terhadap karakteristik dan kualifikasi yang dimiliki pegawai yang akan ditempatkan dalam satu tugas atau pekerjaan. Menurut Bedjo Siswanto (2001:89-94) faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam penempatan kerja pegawai adalah sebagai berikut:
16
1.
Faktor Prestasi Akademis Prestasi akademis yang dimiliki tenaga kerja selama mengikuti
pendidikan sebelumnya harus dipertimbangkan, khususnya dalam penempatan tenaga kerja tersebut untuk menyelesaikan tugas pekerjaan, serta mengemban wewenang dan tanggung jawab. Prestasi akademis yang perlu dipertimbangkan tidak terbatas pada jenjang terakhir pendidikan tetapi termasuk jenjang pendidikan yang pernah dialaminya. Tenaga kerja yang mempunyai prestasi akademis yang tinggi harus ditempatkan pada tugas dan pekerjaan yang diperkirakan dia mampu mengembannya, walaupun tugas dan pekerjaan tersebut dipandang berat yakni memerlukan wewenang dan tanggung jawab yang besar. Sebaliknya bagi tenaga kerja yang mempunyai latar belakang akademis yang pas di bawah standar harus ditempatkan pada tugas dan pekerjaan yang ringan pula yaitu suatu tugas dan pekerjaan yang hanya mempunyai wewenang dan tanggung jawab yang relatif rendah. Latar belakang pendidikan yang pernah dialami sebelumnya harus pula dijadikan pertimbangan dalam menempatkan dimana yang bersangkutan harus bekerja. 2.
Faktor Pengalaman Pengalaman bekerja pada pekerjaan sejenis, perlu mendapatkan
pertimbangan dalam penempatan tenaga kerja. Kenyataan menunjukkan makin lama tenaga kerja bekerja, makin banyak pengalaman yang dimiliki tenaga kerja yang bersangkutan. Sebaliknya makin singkat masa kerja, makin sedikit pengalaman yang diperoleh. Pengalaman bekerja banyak memberikan keahlian
17
dan keterampilan kerja. Pengalaman bekerja yang dimiliki seseorang kadangkadang lebih dihargai daripada tingkat pendidikan yang menjulang tinggi. Tenaga kerja berdasarkan pengalaman bisa langsung memegang suatu tugas dan pekerjaan, mereka hanya memerlukan latihan dan petunjuk yang relatif singkat, sebaliknya tenaga kerja yang hanya mengandalkan latar belakang pendidikan dan gelar yang disandangnya, belum tentu mampu mengerjakan tugas dan pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Mereka perlu diberikan latihan dan petunjuk yang memakan alokasi waktu dan biaya yang tidak sedikit. 3.
Faktor Kesehatan Fisik dan Mental Dalam menempatkan tenaga kerja, faktor kesehatan fisik dan mental
perlu dipertimbangkan untuk menghindari kerugian perusahaan. Selanjutnya perlu dipertimbangkan tempat yang cocok bagi tenaga kerja yang bersangkutan sesuai dengan kondisi fisiknya. Tenaga kerja yang kondisi fisik dan mentalnya lemah/rendah sebaiknya ditempatkan pada bagian-bagian yang tidak begitu memerlukan tenaga yang kuat, jadi bukan pada bagian operasi mesin-mesin produksi. Sebaliknya untuk dipekerjakan pada bagian yang berat, seharusnya dicari tenaga kerja yang kuat dan benar-benar sehat jasmani dan rohaninya. 4.
Faktor Status Perkawinan Status perkawinan tenaga kerja juga merupakan hal penting untuk
diketahui. Status perkawinan dapat menjadi bahan pertimbangan, khususnya menempatkan tenaga kerja yang bersangkutan. Seperti tenaga kerja wanita yang memiliki suami dan anak perlu dipertimbangkan penempatannya. Jika telah
18
memiliki anak, tenaga kerja yang bersangkutan ditempatkan tidak pada perusahaan yang jauh dari tempat tinggal suaminya, baik perusahaan maupun kantor pusat perusahaan. 5.
Faktor Usia Dalam menempatkan tenaga kerja, faktor usia tenaga kerja yang lulus
seleksi perlu dipertimbangkan sepenuhnya. Hal ini untuk menghindarkan rendahnya produktivitas yang dihasilkan tenaga kerja bersangkutan. Tenaga kerja yang umurnya sudah agak tua sebaiknya ditempatkan pada pekerjaan yang tidak begitu mempunyai resiko tenaga fisik dan tanggung jawab yang berat, cukup diberikan pekerjaan yang seimbang dengan kondisi fisiknya. Sebaliknya tenaga kerja yang masih muda dan masih energik sebaiknya diberikan pekerjaan yang agak berat dibandingkan dengan tenaga kerja yang tua. Sedangkan menurut Bambang Wahyudi (1991:32) yang mengemukakan bahwa dalam melakukan penempatan pegawai hendaklah mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut: 1.
Pendidikan, yaitu pendidikan minimum yang disyaratkan yaitu menyangkut: a.
Pendidikan yang seharusnya, artinya pendidikan yang harus dijalankan dengan syarat
b.
Pendidikan alternatif, yaitu pendidikan lain yang apabila terpaksa dengan tambahan latihan tertentu dapat mengisi syarat pendidikan yang seharusnya.
2.
Pengetahuan, yaitu pengetahuan yang harus dimiliki oleh seorang tenaga kerja agar dapat melakukan kerja dengan wajar, pengalaman kerja sebelum
19
ditempatkan dan yang harus diperoleh pada waktu ia bekerja dalam pekerjaan tersebut. 3.
Keterampilan, yaitu kecakapan atau keahlian untuk melakukan suatu pekerjaan yang hanya diperoleh dalam praktek.
4.
Pengalaman, yaitu pengalaman seorang tenaga kerja untuk melakukan pekerjaan tertentu, pengalaman ini dinyatakan dalam: a.
Pekerjaan yang harus dilakukan.
b.
Lamanya melakukan pekerjaan itu.
c.
Senioritas jabatan. Sementara itu, Schuler and Jackson (1997:276) mengemukakan faktor-
faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penempatan pegawai adalah keterampilan, kemampuan, preferensi dan kepribadian karyawan. Kepribadian mengacu pada campuran unik sejumlah karakteristik yang mendefinisikan seseorang dan menentukan pola interaksinya dengan lingkungan. Menurut Schuler and Jackson (1997:300), kepribadian seseorang meliputi lima dimensi, yaitu: 1.
Ekstraversi (social, talkactive, assertive)
2.
Agreeableness (good-nature, kooperatif, dapat dipercaya)
3.
Conscientiouness (tanggung jawab, mandiri, gigih, berorientasi pada hasil)
4.
Stabilitas atau instabilitas emosi (ketegangan, merasa kurang aman, gugup)
5.
Keterbukaan terhadap pengalaman (penuh imajinasi, perasaan seni, intelektual)
20
Perlu disadari penempatan bukanlah masalah sederhana, sebab kesalahan penempatan akan dapat dirasakan akibatnya tidak saja pada unit kerja yang bersangkutan tetapi juga pada unit kerja yang lain, sehingga operasi perusahaan akan terganggu tidak saja untuk saat ini tetapi juga pada masa yang akan datang. Pada hakikatnya apa yang menjadi sasaran proses penempatan pegawai ini menurut Gouzali Saydam (2000:219) adalah untuk : a. b. c.
Mengisi lowongan pekerjaan yang tersedia dalam perusahaan. Agar orang yang ditempatkan itu tidak terombang-ambing lagi dalam menunggu tempat dan apa yang akan dikerjakan. Menempatkan orang yang tepat pada posisi dan tempat yang tepat. Agar perusahaan dapat bertindak efisien dengan memanfaatkan sumber
daya manusia yang berhasil direkrut. Akibat dari kesalahan penempatan menurut Bambang Wahyudi (1991:96) diantaranya adalah: 1. 2. 3.
Meningkatnya Labour Turn Over (LTO) Timbulnya konflik Timbul atau meningkatnya angka kecelakaan kerja
2.1.1.3 Sistem Penempatan Pegawai Organisasi adalah suatu kebulatan yang utuh dan terpadu, untuk itu dalam pelaksanaannya diperlukan suatu sistem yang utuh termasuk sistem dalam penempatan pegawai, sehingga tercipta suatu efisiensi kerja dalam menempatkan pegawainya dengan prinsip the right man in the right job. Sistem penempatan pegawai dapat didefinisikan sebagai rangkaian komponen ketenagakerjaan khususnya dalam menempatkan pegawai yang tepat pada posisi yang tepat dan dirancang dapat mencapai daya guna yang sebesar-besarnya sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.
21
Berkaitan
dengan
sistem
penempatan
pegawai
Bedjo
Siswanto
Sastrohadiwiryo (2003:166) mengemukakan: Pertama, haruslah terdapat suatu maksud atau tujuan, dalam merancang sistem penempatan karyawan. Kedua, haruslah terdapat pendekatan rancangan atau suatu susunan komponen ketenagakerjaan. Ketiga, masukkan informasi ketenagakerjaan yang tersedia harus disesuaikan dengan rencana yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Berikut ini gambar rancangan suatu sistem penempatan pegawai sebagai berikut : Rancangan Penempatan Pegawai
Masukan
Alat Transformasi
Keluaran
Gambar 2. 1 Rancangan Suatu Sistem Penempatan Pegawai Sumber: Bedjo Siswanto Sastrohadiwiryo (2003:166) Rancangan sistem penempatan ini dimaksudkan untuk mencapai daya guna dan hasil guna sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Apabila tugas dan pekerjaan tersebut dianggap ruwet maka sistem penempatan ini dapat dimodifikasi sesuai dengan yang diinginkan perusahaan. 2.1.1.4 Prosedur Penempatan Pegawai Prosedur penempatan pegawai yang diambil merupakan hasil dari pengambilan keputusan dari manajer sumber daya manusia, khususnya bagian penempatan pegawai, baik yang telah diambil berdasarkan pertimbangan rasional maupun pertimbangan objektif ilmiah (didasarkan fakta keterangan dan data yang dianggap representatif atau berdasarkan hasil dari seleksi yang telah dilakukan).
22
Menurut Bedjo Siswanto (2002:168-169) dalam setiap kegiatan diperlukan tahapan yang harus dilalui dalam pelaksanaannya. Tahapan tersebut merupakan urutan kronologis yang dilaksanakan tahap demi tahap (step by step) tanpa meninggalkan prinsip dan asas yang berlaku. Prosedur penempatan tenaga kerja merupakan urutan kronologis untuk menempatkan tenaga kerja yang tepat pada posisi yang tepat pula. Secara sistematik mekanisme kerja bagian penempatan kerja dan bagian seleksi kerja dapat digambarkan sebagai berikut: Manajemen Tenaga Kerja
Proses Fungsi Sebelumnya
Bagian Seleksi
Bagian Penempatan
Proses Fungsi Selanjutnya
Gambar 2. 2 Mekanisme Kerja Bagian Penempatan Tenaga Kerja Keterangan : 1. Manager tenaga kerja mendelegasikan kekuasaannya (delegation of authority) kepada bagian seleksi tenaga kerja untuk melaksanakan seleksi tenaga kerja guna mengisi lowongan formasi yang telah tersedia berdasarkan kualifikasi tertentu. 2. Atas pelaksanaan seleksi tenaga kerja, bagian seleksi tenaga kerja melaporkan atau mempertanggung jawabkan segala kegiatan yang telah dilaksanakan dalam rangka seleksi tenaga kerja, kepada manajer tenaga kerja yang merupakan atasan langsung.
23
3. Setelah menerima laporan seleksi (selection report), manajer tenaga kerja mendelegasikan kekuasaannya kepada bagian penempatan tenaga kerja untuk menempatkan tenaga kerja yang telah lulus seleksi berdasarkan kondisi yang ada, dan berdasarkan laporan bagian seleksi tenaga kerja. 4. Bagian seleksi tenaga kerja atas dasar pelaksanaan fungsi horizontal memberikan laporan hasil seleksi (calon tenaga kerja yang lulus seleksi) kepada bagian penempatan tenaga kerja untuk menempatkan tenaga kerja tersebut dalam posisi yang tepat. 5. Atas pelaksanaan fungsi dalam penempatan tenaga kerja, bagian penempatan tenaga kerja melaporkan atau mempertanggung jawabkan segala kegiatannya kepada manager tenaga kerja yang merupakan pihak yang mendelegasikan kekuasaan atau atasan langsung kepada bagian penempatan tenaga kerja. Dalam mekanisme kerja tersebut, bagian seleksi tenaga kerja sangat bergantung pada fungsi manager tenaga kerja sebelumnya. Demikian juga bagian penempatan tenaga kerja sangat bergantung pada posisi manager tenaga kerja selanjutnya. 2.1.2
Konsep Semangat Kerja
2.1.2.1 Pengertian Semangat Kerja Istilah moral berbeda jauh dengan moril kerja, semangat kerja, serta gairah kerja. Hal ini senada dengan pendapat Gouzali Saydam (2000:443) bahwa : “Moril berasal dari kata morale (semangat juang). Jadi istilah moril berbeda jauh dengan moral (akhlak; budi pekerti). Sedangkan kegairahan kerja berasal dari kata
24
anthusiasm (kegairahan atau kegembiraan yang besar)”. Semangat kerja dan kegairahan kerja sulit untuk dipisahkan. Hal ini senada dengan pendapat Alex S. Nitisemito (1991:160) yang menyatakan bahwa : Meskipun semangat kerja tidak mesti disebabkan oleh kegairahan kerja, tetapi kegairahan kerja mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap semangat kerja. Oleh karena itulah antara semangat kerja dan kegairahan kerja sulit untuk dipisah-pisahkan, sehingga orang lebih senang menggunakan istilah semangat dan kegairahan kerja. Semangat kerja adalah melakukan pekerjaan secara lebih giat, sehingga dengan demikian pekerjaan akan dapat diharapkan lebih cepat dan lebih baik. Sedang kegairahan kerja adalah kesenangan yang mendalam terhadap pekerjaan yang dilakukan. (Alex S. Nitisemito, 1991:160) Semangat kerja merupakan hal yang sangat penting yang harus dimiliki oleh setiap pegawai. Dengan demikian pekerjaan yang dikerjakan dapat terselesaikan dengan baik. Biasanya semangat kerja pegawai tergantung pada situasi atau kondisi pada diri bawahan, situasi lingkungannya, dan bisa juga dipengaruhi oleh atasannya, situasi pribadinya, dan sebagainya. Hal ini selaras dengan pendapat IG. Wursanto (1998) yang menyatakan bahwa “Semangat kerja adalah sikap seseorang maupun kelompok terhadap pekerjaannya, lingkungan kerjanya, teman kerjanya dalam melaksanakan pekerjaan secara lebih baik dalam rangka pencapaian tujuan bersama”. Menurut Sondang P. Siagian (2003:57) mengemukakan bahwa semangat kerja karyawan menunjukkan sejauh mana karyawan bergairah dalam melakukan tugas dan tanggung jawabnya di dalam perusahaan.
25
Menurut Malayu S.P. Hasibuan (1990:105) mengatakan bahwa semangat kerja adalah keinginan dan kesungguhan seseorang mengerjakan pekerjaannya dengan baik serta berdisiplin untuk mencapai prestasi kerja yang maksimal. Bedjo siswanto (2002:130), mengemukakan bahwa : Semangat kerja adalah suatu kondisi rohaniah, perilaku individu tenaga kerja dan kelompok-kelompok yang menimbulkan kesenangan yang mendalam pada diri tenaga kerja dan giat serta konsekuen dalam mencapai tujuan yang ditetapkan oleh pihak perusahaan. Moekijat (1999:30) berpendapat bahwa : Semangat kerja menggambarkan suatu perasaan, agak berhubungan dengan tabiat, semangat kelompok, kegembiraan, untuk kelompok pekerjapekerja, penggunaan yang sudah lazim bahwa semangat kerja menunjukkan iklim dan suasana pekerjaan. Adapun menurut Alfred R. Lateiner (1983:66) mengatakan bahwa : Semangat kerja adalah sikap individu untuk bekerja sama dengan disiplin dan rasa tanggung jawab terhadap kegiatannya. Dari beberapa pendapat ilmuan di atas, maka penulis menyimpulkan sendiri bahwa semangat kerja adalah kemauan dari setiap individu maupun kelompok untuk saling bekerja sama dengan giat, disiplin, dan penuh rasa tanggung jawab dalam melaksanakan tujuan yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Dengan meningkatnya semangat kerja pegawai, maka kesalahan dan kerusakan yang dilakukan oleh para pegawai akan dapat dikurangi, absensi akan dapat diperkecil, kemungkinan perpindahan pegawai ke perusahaan lain dapat diperkecil seminimal mungkin dan sebagainya.
26
2.1.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Semangat Kerja Semangat kerja merupakan sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan dan prestasi kerja. Banyak faktor yang mempengaruhi semangat kerja, diantaranya sistem pengupahan, kondisi lingkungan kerja, penempatan posisi yang tepat, penghargaan kerja dan sebagainya. Penempatan kerja yang tepat akan menimbulkan semangat kerja yang dicapai lebih tinggi. Menurut
Alex
S.
Nitisemito
(1991:170-181)
faktor-faktor
untuk
meningkatkan semangat kerja antara lain : a.
Gaji yang Cukup Setiap perusahaan seharusnya dapat memberikan gaji yang cukup kepada pegawainya. Pengertian “cukup” ini adalah sebenarnya sangat relatif sifatnya. Cukup disini adalah jumlah yang mampu dibayarkan tanpa menimbulkan kerugian bagi perusahaan tersebut. Dan dengan sejumlah gaji yang diberikan tersebut akan mampu memberikan semangat dan kegairahan kerja pada para pegawainya.
b.
Memperhatikan Kebutuhan Rohani Besarnya gaji yang diberikan pada para pegawai mempunyai pengaruh positif terhadap kegairahan kerjanya. Walaupun demikian sebenarnya yang dapat mempengaruhi semangat dan kegairahan kerja bukanlah hanya besarnya gaji yang mereka terima. Selain kebutuhan materi yang berwujud gaji yang cukup, maka mereka juga membutuhkan kebutuhan rohani. Kebutuhan rohani ini antara lain adalah
27
menyediakan tempat untuk menjalankan ibadah, rekreasi, partisipasi dan sebagainya. c.
Sekali-sekali Perlu Menciptakan Suasana Santai Suasana kerja yang rutin seringkali menimbulkan kebosanan dan ketegangan kerja bagi para pegawai. Untuk menghindarkan hal-hal seperti itu maka perusahaan perlu sekali kadang-kadang (dalam waktu tertentu) menciptakan suasana santai.
d.
Harga Diri Perlu Mendapatkan Perhatian Pihak perusahaan perlu memperhatikan harga diri pegawai, yaitu dengan memberikan penghargaan, baik berupa surat penghargaan maupun dalam bentuk hadiah materi, bagi para pegawai yang memiliki prestasi kerja menonjol.
e.
Tempatkan Para Pegawai Pada Posisi yang Tepat Setiap perusahaan harus mampu menempatkan para pegawainya pada posisi yang tepat. Artinya tempatkan mereka dalam posisi yang sesuai dengan keterampilan dan keahliannya masing-masing, apabila terjadi ketidaktepatan dalam penempatan posisi dapat menurunkan prestasi kerja pegawai dan semangat kerja pegawai karena tidak sesuai dengan kemampuan yang ia miliki.
f.
Berikan Kesempatan untuk Maju Semangat dan kegairahan kerja pegawai akan timbul jika mereka mempunyai harapan untuk dapat maju. Perusahaan hendaknya memberikan kesempatan kepada para pegawainya. Berikan penghargaan kepada para pegawai yang
28
berprestasi. Penghargaan dapat berupa pengakuan yang kemudian disertai hadiah, kenaikan gaji, kenaikan pangkat, pemindahan ke posisi yang lebih sesuai dan sebagainya. g.
Perasaan Aman Menghadapi Masa Depan Perlu Diperhatikan Semangat dan gairah kerja para pegawai akan terpupuk jika mereka mempunyai perasaan aman terhadap masa depan profesi mereka. Untuk menciptakan rasa aman perusahaan melaksanakan program pensiun, mereka memiliki alternatif lain yaitu mewajibkan pegawai untuk menyisihkan sebagian penghasilannya untuk ditabung dalam bentuk polis asuransi.
h.
Usahakan Agar Para Pegawai Mempunyai Loyalitas Kesetiaan/Loyalitas
para
pegawai
terhadap
perusahaan
akan
dapat
menimbulkan rasa tanggung jawab. Tanggung jawab dapat menciptakan kegairahan dan semangat kerja. Untuk dapat menimbulkan loyalitas para pegawai terhadap perusahaan maka pihak pimpinan harus mengusahakan agar para pegawai merasa senasib dengan perusahaan. Salah satu cara menimbulkan sikap loyalitas para pegawai terhadap perusahaan yaitu memberi gaji yang cukup dan memenuhi kebutuhan rohani mereka. i.
Sekali-sekali Para Pegawai Perlu Juga Diajak Berunding Mengajak pegawai berunding dalam mengambil keputusan, mereka akan memiliki rasa tanggung jawab dan semangat untuk mewujudkannya.
j.
Pemberian Insentif yang Terarah Perusahaan hendaknya memberikan insentif kepada para pegawai yang menunjukkan kelebihan prestasi kerjanya, kesenangan dan loyalitas mereka.
29
Cara seperti ini sangat efektif untuk mendorong semangat kerja para pegawai. Tentu saja cara seperti itu harus disertai dengan kebijaksanaan yang tepat. k.
Fasilitas yang Menyenangkan Bilamana memungkinkan perusahaan hendaknya menyediakan fasilitas yang menyenangkan bagi para pegawai. Fasilitas tersebut dapat berupa tempat rekreasi cafetaria, tempat olah raga, balai pengobatan, tempat ibadah, kamar kecil yang bersih, dan pendidikan untuk anak. Adapun menurut Alfred R. Lateiner (dalam Alex S. Nitisemito, 1996:103)
faktor-faktor yang dapat meningkatkan semangat kerja pegawai diantaranya adalah : a.
Memberikan kepada karyawan bagaimana kemampuannya.
b.
Membicarakan dengan para karyawannya terlebih dahulu tentang perubahanperubahan yang akan terjadi.
c.
Mempergunakan kemampuan tiap-tiap orang dengan sebaik-baiknya.
d.
Membuat cara penempatan tenaga kerja dan melaksanakan aturan yang berlaku.
e.
Menjaga jangan sampai mempergunakan kekuasaan dengan sewenangwenangnya. Bedjo Siswanto (2002:268) mengungkapkan cara yang biasa ditempuh
oleh perusahaan dalam rangka meningkatkan semangat kerja pegawai sebagai berikut: a.
Memberikan kompensasi kepada pegawai dalam posisi yang wajar, akan tetapi tidak memaksa kemauan perusahaan
30
b.
Menciptakan iklim dan lingkungan kerja
c.
Perlu saat penyegaran sebagai media pengurangan ketegangan kerja dengan memperkokoh rasa kesetiakawanan antara pegawai maupun manajer
d.
Memperhatikan kebutuhan yang berhubungan dengan spiritual pegawai
e.
Penempatan pegawai pada posisi yang tepat
f.
Peran serta pegawai untuk mengembangkan aspirasinya mendapatkan tempat yang wajar
g.
Memperhatikan masa depan pegawai Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa cara-cara yang tepat
untuk meningkatkan semangat dan kegairahan kerja pegawai. Dan banyak pula pekerjaan yang gagal atau kurang memberikan hasil yang memuaskan karena cara-cara tersebut di atas kurang diperhatikan pimpinan perusahaan. Perlu diketahui, bahwa semangat kerja juga menentukan kualitas dan kuantitas hasil pekerjaan. Disamping itu, untuk meningkatkan semangat kerja pegawai, selain memenuhi kebutuhan material juga tidak kalah pentingnya memenuhi kebutuhan nonmaterial. 2.1.2.3 Indikasi Semangat Kerja 1.
Indikasi Semangat Kerja yang Rendah Selain terdapat beberapa cara untuk meningkatkan semangat kerja
pegawai, adapula indikasi semangat kerja pegawai yang rendah. Semangat kerja membutuhkan perhatian yang teratur, diagnosis, dan pengobatan yang layak seperti halnya dengan kesehatan. Semangat kerja agak sukar diukur karena sifatnya abstrak. Semangat kerja merupakan gabungan dari kondisi fisik, sikap,
31
perasaan, dan sentimen pegawai. Untuk mengetahui adanya semangat kerja yang rendah dalam perusahaan dapat dilihat dari beberapa indikasi. Dengan demikian, perusahaan dapat mengetahui faktor penyebabnya dan berusaha untuk mengambil suatu tindakan yang lebih dini. Alex
S. Nitisemito (1991:161-166) menguraikan
indikasi-indikasi
turunnya semangat dan kegairahan kerja antara lain adalah : a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Turun/rendahnya produktivitas kerja Turunnya produktivitas kerja ini dapat diukur atau diperbandingkan dengan waktu sebelumnya. Produktivitas kerja yang turun ini dapat terjadi karena kemalasan, penundaan pekerjaan dan sebagainya. Tingkat absensi yang naik/tinggi Pada umumnya bila semangat dan kegairahan kerja turun, maka mereka akan malas untuk setiap hari datang bekerja. Labour Turn Over (Tingkat perpindahan buruh) yang tinggi Tingkat keluar masuknya pegawai yang tinggi selain dapat menurunkan produktivitas kerja, juga dapat mengganggu kelangsungan jalannya perusahaan. Tingkat kerusakan yang naik/tinggi Naiknya tingkat kerusakan tersebut sebetulnya menunjukkan bahwa perhatian dalam pekerjaan berkurang, terjadinya kecerobohan dalam pekerjaan dan sebagainya. Kegelisahan dimana-mana Kegelisahan di mana-mana akan terjadi bilamana semangat dan kegairahan kerja turun. Sebagai seorang pemimpin harus mengetahui adanya kegelisahan-kegelisahan yang timbul. Kegelisahan-kegelisahan itu dapat terwujud dalam bentuk ketidaktenangan kerja, keluh kesah serta hal-hal yang lain. Tuntutan yang seringkali terjadi Sering terjadi tuntutan juga sebetulnya merupakan indikasi semangat dan kegairahan kerja yang turun. Tuntutan merupakan perwujudan dari ketidakpuasan, dimana pada tahap tertentu akan menimbulkan keberanian untuk mengajukan tuntutan. Oleh karena itu, bilamana dalam suatu perusahaan sering terjadi tuntutan maka perusahaan tersebut harus waspada. Pemogokan Pemogokan merupakan perwujudan dari ketidakpuasan, kegelisahan dan lain sebagainya. Bilamana hal ini telah memuncak dan tidak tertahan lagi, maka akan menimbulkan tuntutan dan apabila tidak berhasil pada umumnya berakhir dengan suatu pemogokan.
32
Tanda-tanda perubahan semangat kerja perlu diketahui oleh perusahaan. Perusahaan dapat mengambil tindakan-tindakan perbaikan jika ternyata diketahui bahwa dari tanda-tanda tersebut menunjukkan semangat kerja yang menurun, sehingga perusahaan dapat terhindar dari kerugian. Alex. S. Nitisemito (1996:9) mengemukakan bahwa menurunnya tingkat semangat kerja pegawai pada suatu perusahaan dapat digambarkan sebagai berikut: …perusahaan seperti itu jalannya akan sangat terhambat karena kemalasan para pegawainya. Mereka banyak yang absen, pekerjaan banyak salah, barang-barang banyak yang rusak karena kurang terurus. Para pegawai yang susah payah telah dididik berpindah ke perusahaan lain. Selain itu masih banyak kerugian-kerugian lain diakibatkan karena tidak ada semangat kerja pada diri pegawai. Semangat kerja memiliki perilaku yang dapat diamati dan digambarkan yang disebut indikasi semangat kerja. Menurut Moekijat (1999:130) bahwa: Apabila mereka merasa baik, bahagia, optimis, kebanyakan orang menggambarkan orang-orang tersebut sebagai mempunyai moril yang tinggi. Apabila orang suka membantah, menyakitkan hati, kelihatan aneh, merasa dalam kesulitan, dan tidak tenang/tentram maka keadaan mereka dapat digambarkan sebagai mengandung moril yang rendah. Adapun menurut Carlaw, Deming & Friedman (2003) semangat kerja yang rendah sering ditunjukkan dengan perilaku sebagai berikut: a. b. c. d. e. 2.
Menjadi sangat tenang karena tidak tertarik dengan pekerjaannya Tidak bersosialisasi dengan rekan kerja Selalu datang terlambat dan pulang lebih awal Kurangnya kinerja yang dimiliki pegawai Menjadi mudah terganggu dari pekerjaan yang mereka kerjakan Indikasi Semangat Kerja yang Tinggi Piet A. Suhertian dan Frans Mataheru (1991:276) mengemukakan bahwa : Indikator semangat kerja yang tinggi ditandai dengan perilaku positif individu maupun kelompok dalam lingkungan kerjanya. Indikator moral kerja yang tinggi antara lain ditandai oleh sikap penuh kegembiraan,
33
ketetapan hati, antusiasme, rasa senasib dan sepenanggungan, ingin bekerja sama dan selalu mengambil inisiatif. Carlaw, Deming, dan Friedman (2003) menyatakan bahwa yang menjadi indikasi semangat kerja yang tinggi adalah sebagai berikut: a.
b.
c.
d.
e.
f. g.
h.
Ceria. Senyum dan tertawa mencerminkan kebahagiaan individu dalam bekerja. Walaupun individu tidak memperlihatkan senyum dan tawanya, tetapi di dalam dirinya individu merasa tenang dan nyaman bekerja serta menikmati tugas yang dilaksanakan. Memiliki Insiatif Individu yang memiliki semangat kerja yang tinggi akan memiliki kemauan diri untuk bekerja tanpa pengawasan dan tanpa perintah dari atasan. Berfikir Kreatif dan Luas Individu mempunyai ide-ide baru dan tidak mempunyai hambatan untuk menyalurkan ide-idenya dalam menyelesaikan tugas. Menyenangi apa yang sedang dilakukan Individu lebih fokus terhadap pekerjaan daripada memperlihatkan gangguan selama melakukan pekerjaan. Tertarik dengan pekerjaannya Individu menaruh minat pada pekerjaan karena sesuai keahlian dan keinginannya. Bertanggung jawab Individu bersungguh-sungguh dalam menjalankan pekerjaan. Memiliki Kemauan Bekerja Sama Individu memiliki kesediaan untuk bekerja sama dengan individu yang lain untuk mempermudah atau mempertahankan kualitas kerja. Berinteraksi dengan Atasan Adanya interaksi yang baik dengan atasan, sehingga pegawai merasa nyaman tanpa ada rasa takut dan tertekan.
2.1.2.4 Indikator untuk Mengukur Semangat Kerja Ada beberapa indikator yang dapat dijadikan ukuran dalam menentukan tinggi rendahnya semangat kerja. Adapun indikasi semangat kerja menurut I.G. Wursanto (1998:150) : 1. 2. 3. 4.
Disiplin Human Relation Loyalitas Antusias
34
Bedjo Siswanto (1989:264) indikator-indikator untuk mengukur semangat kerja adalah : 1. 2. 3. 4.
Disiplin Tanggung Jawab Antusiasme Loyalitas Menurut Benge yang dikutip Yadi Purwanto (1995:22) ada tiga aspek
yang dapat dijadikan tolak ukur tinggi rendahnya semangat kerja pegawai yakni sebagai berikut: 1) Aspek sikap terhadap pekerjaan, merupakan sikap pegawai secara umum terhadap aspek-aspek pekerjaan yang meliputi jenis pekerjaan, kemampuan melakukan pekerjaan, suasana fisik lingkungan kerja, hubungan dengan rekan sekerja, serta sikap terhadap imbalan yang diterima. 2) Aspek sikap terhadap atasan, sikap terhadap atasan dipengaruhi oleh bagaimana perlakuan atasan terhadap karyawan, cara menangani keluhan karyawan, cara penyampaian informasi, perencanaan tugas, tindakan pendisiplinan karyawan, dan bagaimana pandangan terhadap kemampuan atasannya dalam melaksanakan tugas. 3) Aspek sikap terhadap perusahaan, sikap terhadap perusahaan atau organisasi dipengaruhi oleh kebijakan yang berlaku, pemenuhan kebutuhan karyawan, pembanding dengan perusahaan lain, semangat kelompok, dan hubungan dengan pihak atasan. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa aspek atau indikator untuk mengukur semangat kerja pegawai tidak hanya berkisar kepada persoalan karakter individu terhadap pekerjaannya, melainkan juga terhadap lingkungan kerjanya. Pegawai yang memiliki semangat kerja tinggi akan menunjukkan perilaku yang baik yang akan berdampak positif pada hasil kerja demi pencapaian tujuan perusahaan.
35
2.2
Kerangka Berpikir Dasar pemikiran yang melandasi penelitian ini adalah untuk mengkaji
masalah semangat kerja pegawai ditinjau dari penempatan kerja pegawai. Asumsi dasarnya bahwa penempatan kerja memiliki pengaruh terhadap semangat kerja pegawai. Berdasarkan hal tersebut terdapat dua konsep yang memerlukan penjelasan dan akan diukur melalui variabel-variabel penelitian yang disandarkan kepada teori yang melandasinya. Konsep tersebut adalah penempatan kerja dan semangat kerja. Pendekatan yang digunakan untuk memecahkan masalah penelitian ini menggunakan pendekatan psikologi tentang perilaku, khususnya teori perilaku organisasi. Luthans (1985) dan Gibson, et al. (1997) (dalam Sambas Ali Muhidin, 2007:61-62) mengungkapkan bahwa konsep dasar psikologi pada dasarnya dilandasi oleh proses-proses psikis pada diri individu atau organisme di dalam lingkungan tertentu. Kerangka konseptual psikologi tentang perilaku individu dapat digambarkan sebagai berikut:
36
ORANG
STIMULUS / SITUASI
Lingkungan Eksternal Stimulasi Sensual Lingkungan Fisik Kantor Area Pabrik Laboratorium Penelitian Toko Cuaca dll.
Konfrontasi Stimulus khusus (misalnya, penyelia atau prosedur baru)
Registrasi Stimulus (misalnya mekanisme sensor dan saraf)
Interprestasi Stimulus (misalnya motivasi, pembelajaran, dan kepribadian)
Umpan balik Untuk klarifikasi (misalnya, kinestetik/ psikologis)
Perilaku (misalnya, seperti terburu-buru atau menyembunyikan suatu perbuatan sebagai suatu sikap)
Lingkungan Sosial Budaya Gaya manajemen Nilai Diskriminasi
Konsekuensi (misalnya, penguatan respons stimulus/hukuman atau beberapa hasil organisasi)
Sumber: Luthans (2006:198) Gambar 2. 3 Kerangka Konseptual Model Analisis Perilaku S-O-B-C Tampak dalam gambar di atas, bahwa Stimulus (S) dalam model di atas merupakan rangsangan dan mewakili segala hal yang berada dalam lingkungan organisasi sebagaimana dapat diamati, dihayati dan dialami, yang semuanya merupakan stimulus bagi organisme atau individu (O). Individu akan berinteraksi dengan stimulus, yang akan menimbulkan persepsi atau interpretasi tentang stimulus (S). Hasil interpretasi tentang stimulus (S) akan melahirkan perilaku (B) tertentu, yang pada gilirannya akan menentukan hasil perilaku atau konsekuensikonsekuensi (C) organisasi tertentu.
PERILAKU
KONSEKUENSI
37
Subproses yang ada dalam stimulus sebelum melahirkan suatu persepsi adalah adanya registrasi, interpretasi, dan umpan balik (feedback). Dalam masa registrasi suatu gejala yang nampak adalah mekanisme fisik yang berupa penginderaan dan syaraf seseorang terpengaruh, kemampuan fisik untuk mendengar dan melihat akan mempengaruhi persepsi. Dalam hal ini seseorang mendengar atau melihat informasi terkirim pada individu. Mulailah semua informasi yang terdengar dan terlihat itu terdaftar. Setelah terdaftarnya semua informasi yang sampai kepada seseorang, subproses berikutnya adalah interpretasi yang merupakan suatu aspek kognitif dari persepsi yang amat penting. Proses interpretasi ini tergantung pada cara pendalaman, motivasi, dan kepribadian seseorang. Pendalaman, motivasi, dan kepribadian seseorang akan berbeda dengan orang lain. Oleh karena itu, interpretasi terhadap sesuatu informasi yang sama, akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. Disinilah letak sumber perbedaan pertama dari persepsi, dan itulah sebabnya mengapa interpretasi merupakan subproses yang penting. Subproses yang terakhir adalah umpan balik yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang. Hal ini seperti yang diungkapkan Miftah Toha (2009:146). Model di atas menunjukkan bahwa perilaku tergantung pada individu dan lingkungan yang dihadapinya. Artinya, individu dan lingkungan akan selalu berada dalam satu hubungan yang tidak terpisah. Stimulus merupakan rangsangan dari situasi lingkungan, baik yang teramati maupun yang tidak, baik yang bersifat fisik, sosio-kultural, maupun teknologi. Organisme erat kaitannya dengan proses kognitif yang terjadi pada diri manusia. Behaviour mempunyai arti sebagai segala
38
sesuatu yang dilakukan oleh manusia, baik yang teramati maupun yang tidak teramati. Consequence seperti halnya stimulus, merupakan konsekuensikonsekuensi yang berasal dari lingkungan organisasi, baik yang teramati maupun tidak. Dalam konteks penelitian ini, penempatan kerja mewakili situasi yang menyediakan stimulus (S) yang dapat diamati, dihayati, dan dialami oleh organisme (O) atau individu, melahirkan persepsi atau interpretasi terhadap stimulus yang pada akhirnya melahirkan perilaku (B) tertentu. Selanjutnya perilaku
yang
ditampilkan
individu
akan
menimbulkan
perubahan
di
lingkungannya berupa hasil perilaku C (consequence). Dengan demikian berdasarkan model teori SOBC ini, penempatan kerja dapat memberikan pengaruh terhadap perilaku atau hasil perilaku pegawai dalam bekerja yang berbentuk semangat kerja. Berdasarkan uraian di atas, secara sederhana kerangka konseptual psikologi tentang perilaku individu dalam organisasi dapat diragakan pada gambar 2.3: STIMULUS (S)
INDIVIDU (O)
PERILAKU (B)
HASIL PERILAKU (C)
Penempatan Kerja
Anggota Organisasi
Perilaku Individu
Semangat Kerja
Sumber: Sambas dan Uep, 2011 mengadaptasi Luthans (1985) Gambar 2. 4 Perilaku Individu dalam Konteks Perilaku Organisasi
39
Bertitik tolak dari kerangka konseptual sebagaimana diragakan di atas, mengisyaratkan bahwa pertama, perilaku individu dalam organisasi tercipta dari berbagai situasi yang dapat diamati, dihayati, dan dialami oleh individu, yang kemudian melahirkan persepsi atau interpretasi dan akhirnya melahirkan perilaku tertentu. Kedua, semangat kerja yang merupakan perwujudan perilaku individu dalam organisasi ditentukan oleh sejumlah faktor. Artinya, tinggi rendahnya semangat kerja tergantung pada seberapa besar faktor-faktor tersebut memberikan tekanan pada perilaku individu. Semangat kerja dapat diartikan sebagai suatu kondisi rohaniah atau perilaku individu tenaga kerja dan kelompok-kelompok yang dapat menimbulkan kesenangan yang mendalam pada diri tenaga kerja untuk bekerja dengan giat dan konsekuen dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan perusahaan. (Bedjo siswanto, 2002:130) Semangat kerja pegawai merupakan fokus kajian dalam penelitian ini. Semangat kerja adalah melakukan pekerjaan secara lebih giat, sehingga dengan demikian pekerjaan akan lebih cepat terselesaikan dan menjadi lebih baik. (Alex S. Nitisemito, 1991:160). Lebih lanjut Alex S. Nitisemito (1991: 160) menyatakan bahwa, dengan meningkatkan semangat kerja dan kegairahan kerja, maka pekerjaan akan lebih cepat diselesaikan, kerusakan dapat diperkecil seminim mungkin. Adapun untuk mengukur dan melihat tingkat semangat kerja pegawai, menurut I.G. Wursanto (1998:150), dapat melalui : 1. 2. 3. 4.
Disiplin Human Relation Loyalitas Antusias
40
Mengingat semangat kerja pegawai merupakan salah satu cara meningkatkan kinerja pegawai sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai, maka dari itu perlu adanya rangsangan untuk meningkatkan semangat kerja, salah satunya adalah penempatan kerja pegawai. Setiap perusahaan mengharapkan pegawainya dapat bekerja dengan baik dan dengan semangat yang tinggi untuk mencapai tujuan perusahaan yang telah ditetapkan, karena semangat kerja merupakan kunci sukses dari sebuah perusahaan. Oleh sebab itu, agar pegawai dapat bekerja dengan semangat yang tinggi dan hasil kerjanya optimal maka perusahaan harus menempatkan posisi pegawai dengan tepat. Hal ini seperti dikemukakan oleh Malayu S.P. Hasibuan (2002:64) bahwa : Penempatan yang tepat merupakan motivasi yang menimbulkan antusias dan moral kerja yang tinggi bagi karyawan dalam menyelesaikan pekerjaannya. Jadi, dengan penempatan yang tepat merupakan kunci sukses untuk memperoleh hasil kerja optimal dari setiap karyawan selain moral kerja, kreativitas, dan prakarsanya juga akan berkembang. Apabila kebijakan dalam penempatan pegawai kurang memperhatikan jabatan dan kualifikasi individu, serta kebutuhan pribadi pegawai dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak intern yang menjurus kepada terjadinya konflik yang nantinya akan menimbulkan ketidakpuasan dan menurunnya semangat dalam diri pegawai yang secara tidak langsung akan mengakibatkan kerugian yang cukup besar dalam upaya mencapai tujuan perusahaan. Untuk dapat melaksanakan semboyan “the right man in the right place”, maka ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan. Dalam hal ini Bambang
41
Wahyudi (1991:32) mengemukakan bahwa : Faktor yang harus dipertimbangkan dalam penempatan tenaga kerja pada posisi yang tepat antara lain : a. b. c. d.
Pendidikan Pengetahuan Keterampilan Pengalaman Adapun menurut Schuler and Jackson (1997:276), mengemukakan faktor-
faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penempatan pegawai adalah keterampilan, kemampuan, preferensi, dan kepribadian karyawan. Kepribadian mengacu pada campuran unik sejumlah karakteristik yang mendefinisikan seseorang dan menentukan pola interaksinya dengan lingkungan. Dari pendapat mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penempatan pegawai di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pada umumnya faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan proses penempatan pegawai antara lain : pendidikan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman, dan karakteristik kepribadian. Dengan penempatan yang tepat, diharapkan semangat dan gairah kerja, mental kerja, serta prestasi kerja akan mencapai hasil yang optimal. Namun permasalahannya tidaklah sesederhana itu, karena justru keberhasilan dari keseluruhan program pengadaan tenaga kerja terletak pada ketepatan dalam penempatan tenaga kerja yang bersangkutan. Pada kenyataannya menunjukan bahwa tidak jarang seseorang yang lulus seleksi secara langsung dapat ditempatkan sesuai pada jabatan yang tepat. Kesalahan penempatan akan dapat dirasakan akibatnya tidak saja pada unit kerja yang bersangkutan tetapi juga kepada unit kerja yang lainnya, sehingga
42
kinerja dan produktivitas organisasi/perusahaan kurang optimal. Hal ini seperti dikemukakan oleh Alex S. Nitisemito (1991:12) bahwa : Dengan penempatan yang keliru dapat menimbulkan beberapa akibat, antara lain keresahan, turunnya semangat dan kegairahan kerja, produktivitas yang menurun, tanggung jawab yang kurang, kekeliruan dalam melaksanakan tugas dan sebagainya. Adapun akibat lain dari kesalahan penempatan di antaranya : a. b. c.
Meningkatnya labour turnover (LTO) Timbulnya konflik Timbul/meningkatnya angka kecelakaan kerja Secara teoritis terlihat bahwa penempatan kerja dapat berpengaruh
terhadap semangat kerja pegawai, dimana apabila semangat kerja menurun dapat mengakibatkan meningkatnya absensi, turnover, angka kecelakaan kerja, angka pelanggaran kerja, dan sebagainya. Hal tersebut bisa saja terjadi dalam hal penempatan yang tidak sesuai atau tidak tepat. Berangkat dari permasalahan tersebut, dalam rangka mencapai tujuan dan manfaat penelitian ini, disajikan dalam kerangka pemikiran yang termuat dalam model penelitian dan digambarkan sebagai berikut :
43
Variabel X
Variabel Y
Penempatan Kerja
Semangat Kerja
Indikator
Indikator
1. 2. 3. 4. 5.
Pendidikan Pengetahuan Keterampilan Pengalaman Karakteristik kepribadian
Sumber : Bambang Wahyudi, 1991:32 dan Schuler and Jackson, 1997:276
1. 2. 3. 4.
Disiplin Human Relation Loyalitas Antusias
Sumber : I.G. Wursanto, 1998:150
Gambar 2. 5 Pola Model Kerangka Berpikir Pengaruh Penempatan Kerja terhadap Semangat Kerja Pegawai
2.3
Hipotesis Hipotesis merupakan acuan bagi peneliti untuk memperoleh jawaban
sementara yang akan dibuktikan kebenarannya dalam penelitian, sebagaimana yang dikemukakan oleh Uep dan Sambas (2011:78) ”Hipotesis merupakan pernyataan (jawaban) sementara yang masih perlu diuji kebenarannya”. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Suharsimi Arikunto (2006:71) bahwa ”Hipotesis dapat diartikan sebagai jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian sampai terbukti melalui data yang terkumpul”. Dikatakan sementara
44
karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan fakta-fakta empiris yang diperoleh dari pengumpul data. Berdasarkan uraian kerangka pemikiran di atas, maka penulis mengajukan hipotesis penelitian bahwa : “Penempatan kerja berpengaruh secara positif terhadap semangat kerja pegawai Bagian Operasi pada Perum DAMRI Unit Angkutan Bus Kota Bandung”.