BAB II KERANGKA TEORI
2.1. Paradigma Memahami paradigma adalah hal terpenting dalam melakukan sebuah penelitian. Paradigma menjadi langkah awal bagaimana peneliti melakukan kajian terhadap persoalan yang ditelitinya. Membahas mengenai paradigma tentunya tak lepas dari Thomas Kuhn sebagai tokoh yang paling berjasa dalam memperkenalkan istilah paradigma (paradigm) melalui karyanya The Structure of Scientific Revolution pada tahun 1962. Meski seorang ahli ilmu alam, Kuhn berhasil menawarkan sebuah konsep yang disebut dengan paradigma sebagai pintu masuk bagi para sosiolog ketika itu untuk memahami disiplin ilmu mereka. Dalam konsep paradigma yang ditawarkannya, Kuhn menolak pendapat bahwa ilmu pengetahuan muncul secara kumulatif. Menurutnya ilmu pengetahuan muncul secara revolusi. Bagaimana ilmu pengetahuan muncul? Kuhn menggambarkan ilmu pengetahuan muncul dengan paradigma tertentu. Yakni suatu pandangan yang mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) dari suatu cabang ilmu 11. Dalam konsep Kuhn, ketika ilmuwan bekerja dan mengembangkan paradigma tertentu disebut dengan tahap normal scient. Berikutnya ketika muncul persoalan dan paradigma yang sudah ada tak mampu menjawab persoalan yang timbul sehingga menimbulkan pertentangan dan perbedaan pendapat, tahap inilah yang disebut Kuhn sebagai tahap anomalies. Selanjutnya yang terjadi adalah tahap crisis sebagai puncaknya karena paradigma yang sudah ada mulai diragukan validitasnya dan perdebatan serta perbedaan pendapat
11
Lebih lengkap lihat George Ritzer dalam Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, PT RajaGrafindo Persada, 2002, hal 4
Universitas Sumatera Utara
yang terjadi semakin memuncak. Maka yang terjadi berikutnya disebut Kuhn tahap revolusi yang menghasilkan paradigma yang baru. Itulah model perkembangan ilmu pengetahuan yang diutarakan Kuhn. (lihat gambar 2.1). Menurut Kuhn munculnya paradigma sebagai dasar sebuah ilmu pengetahuan dari proses revolusi. Kehadiran paradigma yang baru tentu akan lebih dominan, sebaliknya paradigma yang sebelumnya semakin tidak diminati dan ditinggalkan 12.
Gambar 2.1. Model Perkembangan Ilmu Pengetahuan 13 Paradigm I
Normal
Scient
Anomalies
Crisis
Revolution
Paradigm II
Konsep paradigma yang diperkenalkan Kuhn kemudian dipopulerkan Robert Friedrichs melalui bukunya Sociology of Sociology pada tahun 1970 dalam rangka mencari defenisi yang jelas mengenai paradigma. Sebab, Kuhn tidak menyebutkan secara spesifik tentang defenisi paradigma. Friedrichs lalu menyimpulkan bahwa paradigma adalah suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) yang semestinya dipelajari (a fundamental image a dicipline has of its subject matter). George Ritzer lalu memberikan defenisi yang lebih jelas dan rinci. Menurutnya paradigma adalah pandangan yang mendasar dari ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh satu cabang ilmu pengetahuan (dicipline). Paradigma
12
Dalam karyanya, Kuhn menyebutkan ada tipe paradigma, yakni; 1) Paradigma metafisik (metaphisical paradigm); 2) Paradigma yang bersifat sosiologis (sociological paradigm) dan; 3) Paradigma konstruk (construc paradigm). Ketiga paradigma itu diredusir oleh Masterman dari konsep yang disampaikan Kuhn. Paradigma metafisik merupakan konsensus terluas dalam sebuah disiplin ilmu yang membatasi bidang dari suatu ilmu sehingga membantu mengarahkan ilmuwan melakukan penelitian. Paradigma sosiologi adalah hasil-hasil ilmu pengetahuan yang diterima secara umum (dalam konsep Kuhn disebut exemplar) termasuk kebiasaan-kebiasaan, keputusan-keputusan. Paradigma konstruk adalah konsep terkecil dari ketiga paradigma. Ibid hal 4-6 13 Ibid hal 4
Universitas Sumatera Utara
membantu merumuskan apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan yang mesti dijawab, bagaimana seharusnya menjawabnya, serta aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang dikumpulkan dalam rangka menjawab persoalan-persoalan tersebut 14. Paradigma juga dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktek yang diterapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama, khususnya dalam disiplin intelektual 15. Berdasarkan konsep dan pengertian paradigma yang dimaksudkan terdahulu, jelaslah bahwa paradigma menjadi sentral dan fondasi utama bagi ilmuwan dalam melakukan sebuah penelitian. Paradigma ibarat teropong yang dapat diartikan sebagai cara pandang melihat sebuah persoalan. Paradigma merupakan pandangan yang sangat mendasar dari suatu disiplin ilmu yang menjadi pokok penelitian. Dalam sosiologi, meskipun menempati posisi sentral, tetap saja dimungkinkan untuk menggunakan paradigma yang beragam. Hal itu wajar karena menyesuaikan dengan objek persoalannya. Sekarang ini, dalam sosiologi dikenal 3 (tiga) paradigma, yaitu; 1) Paradigma fakta sosial; 2) Paradigma defenisi sosial dan; 3) Paradigma prilaku sosial. Paradigma fakta sosial berasal karya penelitian Durkheim berjudul Suicide pada tahun 1951 dan The Rule of Sociological Methode tahun 1964. Durkheim berharap agar sosiologi dapat berdiri sebagai satu disiplin ilmu dengan membangun konsep yang disebutnya dengan fakta sosial (social facts) yang menurutnya menjadi pokok kajian sosiologi. Kelahiran disiplin ilmu sosiologi sebagai induk dari ilmu komunikasi tidak terlepas dari Emile Durkheim sebagai orang pertama yang berusaha melepaskan sosiologi dari pengaruh filsafat positive Auguste Comte dan Herbert
14 15
Ibid hal 6-7 Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Paradigma diakses 25 November 2010
Universitas Sumatera Utara
Spencer 16. Fakta sosial yang dimaksudkan Durkheim adalah barang sesuatu yang untuk memahaminya diperlukan suatu penelitian di dunia nyata seperti orang mencari suatu barang 17. Bentuknya dapat berupa material yang dapat disimak, ditangkap dan diobservasi dan bentuk non material yang merupakan fenomena dalam kesadaran manusia seperti egoisme dan opini. Ada 4 (empat) varian teori yang tergabung ke dalam fakta sosial yakni; 1) Teori fungsionalisme structural; 2) Teori konflik; 3) Teori sistem, dan; 4) Teori sosiolog makro 18. Namun dari keempat teori yang dominan hanya teori fungsionalisme structural dan teori konflik. Pertama, Teori fungsionalisme struktural menekankan pada keteraturan (order) dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Konsep utama dari teori fungsionalisme struktural adalah fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifest dan keseimbangan (equilibrium). Teori ini berpendapat bahwa masyarakat merupakan sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan. Tokoh teori ini, Robert K Merton berpendapat bahwa objek analisa sosiolog adalah fakta sosial seperti; peranan sosial, pola-pola institusional, proses sosial, organisasi kelompok, pengendalian sosial dan sebagainya. Sebab itu, ia mengajukan konsep fungsi dan disfungsi (struktur sosial pranata sosial yang berdampak positif dan negatif), fungsi manifest (fungsi yang diharapkan), fungsi laten (fungsi yang tidak diharapkan). Namun, hal yang perlu dicatat bahwa masyarakat menurut teori ini
16
Auguste Comte (1798-1857) adalah filsuf yang mempelopori aliran filsafat dan menciptakan istilah sosiologi sebagai disiplin ilmu yang mengkaji masyarakat secara ilmiah. Pandangan positivisme dalam ilmu pengetahuan yang dimaksudkannya harus memenuhi empat kriteria, yakni 1) Objektif; 2) Fenomenalisme; 3) Reduksionisme dan; 4) Naturalisme. Lebih lengkap lihat Burhan Bungin dalam Sosiologi Komunikasi, Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Prenada Media Group, 2008, hal 10. 17 Untuk memisahkan sosiologi dan psikologi, Durkheim membedakan fakta sosial dengan fakta psikologi. Menurutnya, fakta psikologi adalah fenomena yang dibawa manusia sejak lahir (inherited) dan bukan merupakan hasil pergaulan hidup. George Ritzer op. cit hal 16. 18 Ibid hal 21-33
Universitas Sumatera Utara
senantiasa berada dalam perubahan secara berangsur-angsur dengan tetap memelihara keseimbangan
(equilibrium).
Kedua,
teori
konflik
yang
menentang
teori
fungsionalisme structuralis yang berpendapat bahwa masyarakat senantiasa dalam proses perubahan secara terus menerus, dimana setiap elemen yang ada memberikan konstribusi terhadap proses disintegrasi sosial. Ralp Dahrendorf yang merupakan tokoh teori konflik berpendapat bahwa keteraturan yang terdapat dalam masyarakat hanyalah disebabkan adanya tekanan atau pemaksaan dari golongan yang berkuasa. Konsep utama dari teori ini adalah wewenang dan posisi yang dianggap sebagai fakta sosial. Distribusi kekuasaan dan wewenang secara tidak merata tanpa kecuali menjadi faktor yang menentukan konflik sosial secara sistematis. Perbedaan wewenang adalah suatu tanda dari adanya berbagai posisi dalam masyarakat. Perbedaan wewenang dan posisi diantara individu dalam masyarakat itulah yang harusnya menjadi perhatian sosiolog dalam pandangan teori konflik. Menurut Dahrendorf, dalam kondisi ideal konsep-konsep lain seperti kepentingan nyata dan kepentingan laten, kelompok kepentingan dan kelompok semu, posisi dan wewenang merupakan merupakan unsur dasar untuk menerangkan bentuk-bentuk konflik sosial. Namun dalam kondisi yang tidak ideal, terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi proses terjadinya konflik sosial. Diantaranya, kondisi teknik dengan personal yang cukup, kondisi politik dengan suhu yang normal, kondisi sosial dengan adanya rantai komunikasi dan faktor lain yang menyangkut cara pembentukan kelompok semu. Aspek terakhir dari teori konflik Dahrendorf adalah mata rantai antara konflik dengan perubahan sosial. Menurutnya, konflik akan memimpin kearah perubahan dan pembangunan. Paradigma defenisi sosial yang menjadi acuan penelitian ini merupakan hasil karya Weber yang memperkenalkan analisanya tentang tindakan sosial (social action).
Universitas Sumatera Utara
Berbeda dengan Durkheim, menurut Weber yang menjadi pokok persoalan sosiologi adalah tentang tindakan sosial antar hubungan sosial dan yang menjadi pokok persoalan dalam sosiologi adalah proses pendefenisian sosial dan akibat-akibat dari suatu aksi dan interaksi sosial. Weber menyebutnya dengan tindakan yang penuh arti, maksudnya tindakan sosial itu adalah tindakan individu sepanjang aktivitasnya mempunyai makna dan arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Sebab itu, sosiologi didefenisikan sebagai ilmu yang berusaha menafsirkan dan memahami (interpretative understanding) tindakan sosial serta antar hubungan sosial untuk sampai pada penjelasan kausal. Mengacu pada defenisi diatas, terdapat dua konsep dasar yakni konsep tindakan tindakan sosial dan konsep penafsiran dan pemahaman (untuk menjelaskan konsep yang pertama). Selanjutnya Weber juga menawarkan metode yang disebutnya verstehen atau interpretative understanding untuk memahami tindakan sosial. Sedangkan untuk memahami motif tindakan seseorang, Weber menyarankan dua cara, yakni melalui kesungguhan dan mencoba mengenangkan dan menyelami pengalaman si aktor. Konsep kedua dari Weber adalah tentang antar hubungan sosial yang didefenisikannya sebagai tindakan yang beberapa orang aktor yang berbeda, sejauh tindakan itu mengandung makna dan dihubungkan serta diarahkan kepada tindakan orang lain. Ada tiga teori yang termasuk dalam paradigma defenisi sosial. adalah teori aksi (action theory), interaksionisme simbolik (simbolic interaksionism) dan fenomenologi (phenomenology). Teori aksi ini sebenarnya berperan penting dalam mengembangkan kedua teori berikutnya yakni interaksionisme simbolik dan fenomenologi. Beberapa asumsi fundamental dari teori aksi dikemukakan Hinkle yang merujuk karya Mac Iver, Znaniecki dan Parson, yakni; 1) Tindakan manusia muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subjek dan dari situasi
Universitas Sumatera Utara
eksternal dalam posisinya sebagai objek; 2) Sebagai subjek manusia bertindak atau berprilaku untuk mencapai tujuan tertentu; 3) Dalam bertindak manusia menggunakan cara, teknik dan prosedur, metode serta perangkat yang diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan tersebut; 4) Kelangsungan tindakan manusia hanya dibatasi oleh kondisi yang tak dapat diubah dengan sendirinya; 5) Manusia memilih, menilai dan mengevaluasi terhadap tindakan yang akan, sedang dan yang telah dilakukannya; 6) Ukuran-ukuran, aturan-aturan atau prinsip-prinsip moral diharapkan timbul pada saat mengambil keputusan; 7) Studi mengenai antar hubungan sosial memerlukan pemakaian teknik penemuan yang bersifat subjektif seperti motede verstehen, imajinasi, sympathetic reconstruction, atau seakan-akan mengalami sendiri (vicarious experience). Talcott Parsons sebagai pengikut Weber mengembangkan teori aksi dengan melakukan penegasan terhadap perbedaan istilah action dengan behavior. Menurutnya, behavior secara tidak langsung menyatakan kesesuaian secara mekanik antara prilaku (respons) dengan rangsangan dari luar (stimulus). Sedangkan istilah action menyatakan secara tidak langsung suatu aktivitas, kreativitas dan proses penghayatan individu. Teori interaksionisme simbolik pada dasarnya mengikuti pendekatan Weber dalam teori aksi yang berkembang pertama kali di Universitas Chicago sehingga sering disebut aliran Chicago. Tokoh utama teori interaksionisme simbolik adalah Jhon Dewey dan Charles Horton Cooley kemudian dikembangkan Mead. Mead berpendapat bahwa interaksionisme simbolik mempelajari tindakan sosial dengan mempergunakan teknik introspeksi untuk dapat mengetahui barang sesuatu yang melatarbelakangi tindakan sosial itu dari sudut si aktor. Mead memberikan perbedaan yang tegas dengan behavioralisme yang mempelajari tingkahlaku (behavior) manusia secara objektif dari luar. Herbert Blumer (1962),
Universitas Sumatera Utara
seorang tokoh interaksionisme simbolik menjelaskan perbedaan antara teori ini dengan teori behaviorisme. Menurutnya, interaksionisme simbolik menunjuk kepada sifat khas dari interaksi manusia, kekhasan yang dimaksudkannya adalah manusia saling menterjemahkan dan saling mendefenisikan tindakannya. Tanggapan seseorang tidak dibuat secara langsung terhadap tindakan orang lain, tetapi berdasarkan makna yang diberikan terhadap tindakan orang lain itu. Interaksi antar individu diantarai oleh penggunaan simbol-simbol, interpretasi atau dengan saling berusaha untuk saling memahami maksud dari tindakan masing-masing. Jadi dalam proses interaksi manusia bukan berarti dimana adanya stimulus secara otomatis menimbulkan tanggapan atau respon. Melainkan diantarai proses interpretasi yang merupakan proses berfikir dan menjadi kemampuan khas yang dimiliki manusia. Dalam teori interaksionisme simbolik, individual, interaksi dan interpretasi menjadi tiga terminologi yang penting dalam memahami kehidupan sosial. Sedangkan teori fenomenologi menyangkut pokok persoalan ilmu sosial itu sendiri yakni bagaimana kehidupan masyarakat dapat terbentuk. Salah satu tokoh teori ini, Alfred Schutz mengkhususkan perhatiannya kepada satu bentuk dari subjektivitas yang disebutnya antarsubjektivitas dan intersubjektivitas. Konsep ini menunjuk kepada dimensi dari kesadaran umum kepada kesadaran khusus kelompok sosial yang saling berintegrasi. Selain itu konsep intersubjektivitas yang mengacu pada suatu kenyataan bahwa kelompok-kelompok sosial saling mengintegrasikan tindakannya masing-masing dan pengalaman mereka juga diperoleh dengan cara yang sama seperti yang dialami dalam interaksi secara individu. Schutz memusatkan perhatiannya pada struktur kesadaran yang diperlukan untuk terjadinya saling bertindak atau interaksi dan saling memahami antar sesama manusia. Empat hal yang menjadi unsur pokok teori ini adalah; perhatian terhadap
Universitas Sumatera Utara
aktor, memusatkan perhatian kepada kenyataan yang penting dan kepada sikap yang wajar (alamiah), memusatkan perhatian pada masalah mikro dan memperhatian pertumbuhan, perubahan dan proses tindakan. Paradigma prilaku sosial dikemukakan B.F. Skinner yang menterjemahkan prinsip-prinsip psikologi aliran behaviorisme ke dalam sosiologi melalui bukunya berjudul beyond freedom and dignity. Menurutnya, kedua paradigma yang disebutkan sebelumnya (fakta sosial dan defenisi sosial) mengandung persoalan yang masih tekateki dan bersifat mistik. Skinner berpendapat objek studi sosiologi yang konkrit dan realistis adalah prilaku manusia yang nampak serta kemungkinan pengulangannya. (behavior of man and contigencies of reinforcement). Dalam pandangan paradigma prilaku sosial yang menjadi pokok persoalan sosiologi adalah tingkahlaku individu yang berlangsung dalam hubungannya dengan faktor lingkungan yang menghasilkan akibat-akibat atau perubahan dalam faktor lingkungan menimbulkan perubahan terhadap tingkahlaku. Dua teori yang masuk dalam paradigma prilaku sosial adalah; teori behavioral sociology yang mengandung konsep dasar reinforcement yang dapat diartikan sebagai ganjaran (reward). Maksudnya, perulangan tingkah laku tak dapat dirumuskan terlepas dari efeknya terhadap prilaku itu sendiri. Kedua adalah teori exchange
dengan
tokoh
utamanya
George
Homan
yang
mengemukakan
pandangannya tentang emergence, psikologi dan metode penjelasan Durkheim sebagai reaksi terhadap paradigma fakta sosial.
2.2. Aliran Frankfurt dan Kelahiran Teori Kritis Dalam ilmu-ilmu sosial, khususnya sosiologi ada dua tradisi besar pemikiran yang menjadi cikal bakal kelahiran berbagai teori dalam ilmu sosiologi beserta
Universitas Sumatera Utara
metodologinya. Pertama tradisi pemikiran Prancis dan Inggris yang lebih dikenal dengan positivisme atau sering disebut dengan empirisme, behaviroisme, naturalisme dan sinisme. Kemunculan dan perkembangan tradisi pemikiran Prancis dan Inggris ini sangat dominan dengan pengaruh-pengaruh ilmu alam yang tergolong Aristotelian. Hal terpenting dalam tradisi pemikiran ini adalah pandangannya terhadap realitas sebagai materi. Yang disebut dengan jiwa (mind) tak ubahnya seperti kertas putih (tabula rasa) yang pada hakikat semacam film kamera pada diri manusia; ia sekedar photocopy atau gambaran ‘hasil potret’ pengalaman indrawi manusia 19. Kedua adalah tradisi pemikiran Jerman yang lebih humanistik yakni memandang manusia sebagai manusia. Tradisi pemikiran ini lebih humanistik dilatarbelakangi dan dipengaruhi oleh filsafat rasionalisme (platonik). Oleh Kant dan Hegel, filsafat rasionalisme menjadi ilham bagi pemikiran keduanya yang melihat manusia bukanlah sebuah film kamera. Pemikiran Kant maupun Hegel pada akhirnya menjadi akar dan dasar pendekatan kualitatif dan menolak dengan tegas tradisi pemikiran Prancis dan Inggris yang melihat realitas sebagai sesuatu yang empiris dan menganggap jiwa manusia tak lebih dari film kamera. Penolakan itu bukan tidak beralasan, bagi Kant dan Hegel sejarah perjalanan umat manusia dipenuhi dengan ide-ide besar yang ternyata bukan berasal dari pengalaman nyata manusia itu sendiri. Contoh ide-ide besar itu adalah persoalan Tuhan, surga dan neraka yang sama sekali bukan berasal dari pengalaman empirik manusia. Tuhan, surga dan neraka sama sekali tidak pernah muncul dalam dunia empiris dan observasi siapapun. Tetapi diyakini dan memberikan dampak yang besar terhadap prilaku kehidupan manusia sehari-hari. Jadi keduanya berpendapat sebagai makhluk yang memiliki kesadaran dan tujuan dalam hidup (purpose creator), 19
Lebih lengkap Lihat Burhan Bungin dalam Analisis Data Penelitian Kualitatif, 2003, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal 4-12.
Universitas Sumatera Utara
perjalanan manusia adalah perjalanan sejarah ide dan kreasi bukan sekedar perubahan. Pada prinsipnya manusia adalah sumber dan penghasil ide-ide besar. Dunia ide, dunia makna itulah yang menjadi point penting pemikiran Kant dan Hegel untuk memahami manusia. Sebab menurut keduanya, realitas-realitas sosial yang muncul pada dasarnya bersumber dari ide dan makna yang tersembunyi dalam diri manusia bukan sesuatu yang hanya dapat dianggap bersifat empiris seperti dalam tradisi Prancis dan Inggris. Kant dan Hegel menyebut apa yang tampak dipermukaan sebagai wujud prilaku atau realitas sosial berasal dunia makna dan dunia ide atau fakta fenomenologis dan untuk mengetahui makna yang tersembunyi di dalamnya perlu dilakukan proses penghayatan atau interpretative understanding. Teori kritis lahir dari pemikir-pemikir besar dari Sekolah Frankfurt. Institut penelitian sosial di Frankfurt (Institut für Sozialforschung) Jerman yang saat itu sedang berlangsung propaganda Hitler. Media dipenuhi prasangka, retorika dan propaganda. Media menjadi alat pemerintah untuk mengontrol publik dan mengobarkan semangat perang. Ternyata media bukanlah entitas yang netral tetapi bisa
dikuasai
kelompok
dominan 20.
Aliran sekolah Frankfurt
ini
banyak
memperhatikan aspek ekonomi dan politik dalam penyebaran pesan. Teori kritis ini lahir sebagai wujud keprihatinan terhadap akumulasi dan kapitalisme lewat modal yang besar yang mulai menentukan dan mempengaruhi kehidupan masyarakat. Ciri khas dari teori kritis ini adalah selalu curiga dan mempertanyakan kondisi masyarakat dewasa ini. Sebab, kondisi masyarakat yang kelihatannya bagus, produktif sesungguhnya terselubung struktur masyarakat yang menindas dan menipu kesadaran khalayak. Pemikiran aliran Frankfurt yang disebut ciri teori kritik mencoba 20
Uraian lengkap lihat Eriyanto dalam Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media, 2001, LKiS, Yogyakarta hal 23.
Universitas Sumatera Utara
memperbaharui dan merekonstruksi teori yang membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Istilah teori kritis dikenalkan Max Horkheimer pada tahun 30-an untuk memaknakan kembali ideal-ideal modernitas tentang nalar dan kebebasan dengan mengungkap deviasi dari ideal-ideal dalam bentuk saintisme, kapitalisme, industri kebudayaan dan institusi politik borjuis. Teori kritis memungkinkan kita membaca produksi budaya dan komunikasi dalam perspektif yang luas dan beragam. Ia bertujuan untuk melakukan eksplorasi refleksif terhadap pengalaman yang kita alami dan cara kita mendefinisikan diri sendiri, budaya kita, dan dunia. Sebab Horkheimer menyatakan bahwa semua pemikiran, benar atau salah, tergantung pada keadaan yang berubah sama sekali tidak berpengaruh pada validitas sains. Pemikiran dari sekolah Frankfurt itu dikembangkan Stuart Hall melalui tulisannya berjudul The Rediscovery of Ideologi; The Return of The Repressed in Media Studies. Hall mengkritik penelitian studi tentang media yang tidak menempatkan ideologi sebagai bagian yang penting. Media dilihat sebagai kekuatan besar yang dapat memanipulasi kesadaran dan kenyataan. Karena itu, media dikuasai kelompok dominan dalam rangka melestarikan kelompok dominan sekaligus memarjinalkan kelompok masyarakat yang tidak dominan. Hall mengajukan gagasan arti pentingnya ideologi dalam studi media untuk membongkar kenyataan palsu yang diselewengkan dan dipalsukan oleh kelompok dominan. Namun media seharusnya bukan dilihat sebagai kekuatan yang jahat yang memang didesain untuk memburukkan kelompok lain. Media menjalankan peranannya seperti itu, melakukan representasi kelompok lain melalui proses yang kompleks, melalui proses pendefenisian dan penandaan. Perhatian Hall terhadap media adalah bagaimana media menciptakan sebuah konsensus sebagai sesuatu yang baik. Dalam proses pembentukan
Universitas Sumatera Utara
konsensus itu, ia mengemukakan teori mengenai normal dan penyimpangan. Menurutnya teori normal dan penyimpangan itu bukanlah sesuatu yang terjadi secara wajar dan alami seperti seperti pandangan kaum pluralis. Menurutnya, konsensus dihasilkan lewat pertarungan kekuasaan dan dibentuk melalui praktik sosial politik, disiplin legal, dan bagaimana kelas, kekuasaan dan otoritas ditempatkan. Dalam proses itu media memainkan peranan yang penting dan terlibat dalam usaha merekonstruksi yakni bagaimana mereproduksi, memapankan defenisi dari situasi yang mendukung dan melegitimasi struktur, mendukung suatu tindakan dan mendelegitimasi tindakan lain 21. Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa media tidak dapat dianggap secara sederhana merefleksikan konsensus yang ada, pandangan kritis berpendapat bahwa hasil konstruksi dan realitas hasil produksi media dipengaruhi kekuatan-kekuatan dan faktor dominan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Menurut Hall ketika media melakukan rekonstruksi terhadap realitas sosial ada dua hal yang harus diperhatikan yakni bahasa dan politik penandaan. Bahasa merupakan sistem penandaan dan media memiliki kemampuan bagaimana memberikan tanda terhadap sebuah realitas. Melalui penggunaan bahasa 22, media mampu melakukan praktik menonjolkan maupun memarjinalkan suatu realitas. Hall berpendapat praktik itu tidak bisa dilepaskan bagaimana wacana dominan membentuk dan membatasi pengertian yang ditandakan media melalui penggunaan bahasa. Makna muncul dari proses pertarungan masing-masing kelompok dengan klaim kebenarannya dan wacana
21
Ibid. hal 28 Bahasa dapat didefenisikan sebagai seperangkat simbol dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut yang digunakan dan difahami suatu komunitas. Dalam penggunaannya, makna muncul dari hubungan khusus antara kata (sebagai simbol verbal) dengan manusia. Makna tidak melekat pada kata-kata, namun kata-kata yang membangkitkan makna dalam fikiran orang. Pembahasan mengenai bahasa. verbal maupun non verbal. Lebih lengkap lihat uraian Deddy Mulyana dalam Ilmu Komunikasi; Suatu Pengantar, Cetakan Ketujuh, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005, hal 237-380. 22
Universitas Sumatera Utara
difahami sebagai arena pertarungan sosial. Hasilnya kelompok yang menang akan menjadi dominan dalam memberikan defenisi, pemahaman dan penafsiran dalam memaknakan suatu realitas. Media memegang peranan penting sebagai alat untuk menyampaikan kepada khalayak bagaimana suatu realitas difahami dan dimaknai. Sedangkan politik penandaan yakni bagaimana praktik sosial dalam membentuk, mengontrol dan menentukan makna. Menurut Hall media menandakan sebuah realitas realitas dengan pandangan tertentu tidak lepas dari unsur ideologi. Akibat dari ideologi dalam media itu membuat realitas hasil konstruksi yang diterima khalayak tampak natural, wajar dan nyata. 2.3. Ideologi dan Hegemoni Salah satu sumbangan konsep tentang ideologi disampaikan Althusser atau dikenal juga dengan ideology strukturalis. Ideologi berdasarkan konsep Althusser adalah dialektika yang dikarakteristikan dengan kekuasaan yang tidak seimbang atau dominasi. Althusser melihat bahwa ideologi adalah sebuah praktik daripada gagasan atau ide. Althusser mengatakan ada dua dimensi hakiki negara, yaitu; 1) Represif (represif state aparatus/RSA) dan; 2) Ideologi (ideological state aparatus/ISA). RSA masuk dengan jalan memaksa sedangkan ISA masuk dengan jalan mempengaruhi 23. Namun yang perlu difahami bahwa RSA dan ISA memiliki tujuan yang sama yaitu melanggengkan kekuasaan. RSA dilakukan dengan menggunakan kekerasan melalui penggunaan kekuatan militer dan polisi yang bersifat represif sedangkan ISA berperan menciptakan kondisi untuk melegitimasi sebuah ideologi dengan memanfaatkan sekolah, gereja, dan media agar dapat diterima masyarakat sebagai sesuatu yang benar, absah dan wajar. Dalam konteks ISA, media merupakan salah satu alat yang 23
Eriyanto op.cit. hal 98
Universitas Sumatera Utara
efektif untuk digunakan bagaimana kekuasaan yang dominan mempengaruhi kelompok yang tidak dominan. Hal penting dari teori ideologi dari pemikiran Althusser adalah subjek dan ideologi. Althusser berpendapat bahwa ideologi adalah hasil rumusan individu-individu yang dalam pemberlakuannya tidak hanya menuntut individu yang bersangkutan melainkan juga membutuhkan subjek. Ideologi membutuhkan subjek dan juga menciptakan subjek, usaha inilah yang dinamakan interpelasi. Setelah subjek tercipta maka akan diarahkan untuk kepentingan penciptanya (individu atau kelompok yang menciptakan ideologi). Atau merujuk kepada kepada faham Marxis strukturalis yang dianut Althusser maka kehidupan manusia sebagai subjek sama artinya dengan subjek bagi struktur kelas yang dominan. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa ideologi pada hakikatnya adalah alat untuk menciptakan manusia sesuai dengan dengan kepentingan negara yang identik dengan alat intervensi bagi perjuangan kelas. Konsep interpelasi adalah konsep penting dalam dunia komunikasi. Semua tindakan komunikasi menurut Jhon Fiske pada dasarnya adalah menyapa seseorang, dan dalam penyapaan/penyebutan itu selalu terkandung usaha menempatkan seseorang dalam posisi dan hubungan sosial tertentu 24. Hal yang sama juga terjadi dengan isi media yang berisi tentang interpelasi. Teks berita selalu menyapa seseorang ketika membaca teks berita tersebut. Sebab teks media bukan ditujukan untuk dirinya melainkan ditujukan untuk berkomunikasi dengan khalayaknya. Sebagaimana yang dikatakan Fiske, berita dan proses komunikasi secara keseluruhan pada dasarnya adalah praktik dan proses sosial dan hampir selalu ideologi; interpelasi adalah bagian penting dari praktik ideologi itu.
24
Ibid. hal 100.
Universitas Sumatera Utara
Hal yang menarik adalah bagaimana ideologi dapat diterima sebagai sesuatu yang seakan-akan benar adanya. Jika Althusser berbicara tentang ideologi dan bagaimana kelompok yang dominan mengontrol kelompok yang tidak dominan, maka ahli filsafat politik asal Itali yakni Antonio Gramsci membangun teori yang dikenal dengan hegemoni (hegemony). Menjelang kejatuhan orde baru, kata hegemoni sempat akrab dan menjadi cap bagi rezim orde baru yang berkuasa. Hegemoni diidentikkan dengan praktik pembodohan dan penindasan yang dilakukan penguasa kepada rakyat. Istilah hegemoni awalnya berasal dari bahasa Yunani yaitu hegeishtai artinya memimpin, kepemimpinan, atau kekuasaan yang melebihi kekuasaan yang lain. Antonio Gramsci berpendapat bahwa kekuatan dan dominasi kapitalis tidak hanya melalui dimensi material dari sarana ekonomi dan relasi produksi tetapi juga melalui kekuatan (force) hegemoni 25. Mirip seperti konsep pemikiran Althusser (RSA dan ISA), jika yang pertama dengan cara memaksa maka hegemoni meliputi perluasan dan pelestarian kepatuhan aktif (secara sukarela) dari kelompok-kelompok yang didominasi oleh kelas penguasa lewat kepemimpinan intelektual, moral dan politik. Caranya dengan menguasai basis-basis pikiran, kemampuan kritis, dan kemampuankemampuan afektif masyarakat melalui konsensus yang menggiring kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke dalam pola kerangka yang ditentukan lewat birokrasi atau penguasa (masyarakat dominan). Di sini terlihat adanya usaha untuk menaturalkan suatu bentuk dan makna kelompok yang berkuasa. Artinya, dengan menggunakan ideologi, masyarakat kelas dominan dapat merekayasa kesadaran masyarakat kelas bawah tanpa disadari sehingga rela dan mendukung kekuasaan kelas dominan. Gramsci membangun suatu teori yang menekankan
25
Ibid. hal 103
Universitas Sumatera Utara
bagaimana penerimaan kelompok yang didominasi terhadap kelompok yang dominan berlangsung dalam suatu proses yang damai, tanpa tindakan dan kekerasan yang disebut dengan hegemoni. Hegemoni dapat berjalan melalui dua saluran, yakni ideologi dan budaya. Dalam prosesnya, hegemoni terjadi tanpa adanya paksaan dan terlihat sebagai sesuatu yang wajar. Kekuatan hegemoni terletak bagaimana kelompok dominan mampu menciptakan dan menyebarkan cara pandang tertentu yang dominan terhadap kelompok yang didominasi. Selanjutnya, tanpa disadari dan seakan menjadi sebuah kebenaran, cara pandang itu dianut sehingga cara pandang lain menjadi salah. Dari sisi itulah media menjadi alat bagaimana cara pandang yang diciptakan kelompok dominan disebarluaskan sebagai nilai-nilai yang dianggap benar sehingga nilai-nilai diluar dari itu menjadi salah. Tujuannya tetap satu yakni melestarikan kekuasaan elit atau kelompok penguasa 26. Dalam proses produksi berita, menurut Stuart Hall proses hegemoni itu sendiri bahkan menjadi rituil yang sering kali tidak disadari oleh wartawan 27. Maksudnya, tanpa disadari kecendrungan wartawan atau media memberikan porsi yang lebih besar kepada kelompok penguasaha ketimbang buruh ketika ada peristiwa unjukrasa itu merupakan bentuk-bentuk hegemoni yang dilakukan media dalam memproduksi berita. Contoh lainnya adalah bagaimana Harian Kompas, Republik, Terbit dan Pos Kota yang dalam pemberitaan mengenai rencana referendum Aceh tahun 1999 lalu yang masih sangat elitis 28. Salah satu strategi kunci hegemoni
26
Pada era orde baru eksistensi media sangat dipengaruhi penguasa untuk tujuan menghegemoni dan mengapolitisasi warga. Media menjadi perpanjangan tangan penguasa, bahasa politik bermakna ganda untuk tujuan penghalusan maupun kepentingan memperdaya warga negara. Uraian lengkap lihat Siti Aminah dalam jurnal Politik Media, Demokrasi dan Media Politik, Dapat diakses http://journal.unair.ac.id/filerPDF/POLITIK%20MEDIA,%20%20DEMOKRASI.pdf 27 Eriyanto op. cit. 105 28 Hasil analisis isi terkait berita tentang rencana referendum Aceh, keempat media masih terjebak pada pola pemberitaan pers Orde Baru yang elitis-birokratis. Hal itu terlihat ketimpangan sumber berita dari masyarakat Aceh hanya 13 persen sedangkan unsur elit negara 51 persen. Agus Sudibyo op.cit hal 2730.
Universitas Sumatera Utara
adalah melalui nalar awam (common sense). Ketika kelompok dominan mampu menciptakan sebuah gagasan atau ide menjadi sebuah common sense yang tentunya diterima secara umum maka pada dasarnya hegemoni sudah terjadi. Proses penciptaan common sense
itulah yang selama ini berhubungan dengan praktik jurnalistik.
Misalnya, bagaimana wartawan lebih senang memberitakan aksi buruh yang anarkis daripada aksi yang damai atas dasar kaidah jurnalistik yang disebut dengan nilai berita atau layak berita. Secara terus menerus dan tanpa disadari kondisi itu bakal menggiring anggapan khalayak bahwa demonstrasi identik dengan kekerasan, kerusuhan dan tindakan anarkis. 2.4. Paradigma Kritis dalam Analisis Wacana Kritis Kata wacana merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yakni discourse. Discourse berasal dari Bahasa Latin yakni discursus terdiri atas dua kata dis dan currere yang berarti lari kesana kemari 29. Istilah wacana telah digunakan baik dalam arti terbatas maupun luas. Secara terbatas, wacana merujuk pada aturan-aturan dan kebiasaan-kebiasaan yang mendasari penggunaan bahasa baik dalam komunikasi lisan maupun tulisan. Lebih luas lagi, wacana menunjuk pada bahasa dalam tindakan serta pola-pola yang menjadi ciri jenis-jenis bahasa dalam tindakan. Di Indonesia, istilah wacana mulai akrab didengar pasca reformasi. Pemahaman terhadap wacana sering dikaitkan dengan diskursus tentang sesuatu hal. Wacana diletakkan pada posisi sesuatu yang layak untuk diperdebatkan dan dibahas. Namun, apa yang dimaksud wacana tergantung dari penggunaannya karena banyak disiplin ilmu yang
29
Secara etimologi kata wacana berasal dari bahasa sanskerta yakni wac/wak/vak yang berarti berkata atau berucap. Sedangkan bentuk ana adalah sufiks (akhiran) yang berarti membendakan (nominalisasi). Jadi wacana diartikan sebagai perkataan atau tuturan. Lebih lengkap lihat Mulyana dalam Kajian Wacana; Teori, Metode & Apikasi Prinsip-prinsip Analisis Wacana, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2005 hal 3-5
Universitas Sumatera Utara
menggunakan istilah wacana. Dalam lapangan sosiologi, wacana menunjuk terutama pada hubungan antara konteks sosial dari pemakaian bahasa. Dalam pengertian linguistik, wacana adalah unit bahasa yang lebih besar dari kalimat yang memiliki unsur-unsur 30. Sebab itu pengertian terhadap analisis wacana juga berbeda dalam masing-masing studi dan disiplin ilmu. Wacana yang dimaksud adalah Discourse (memakai huruf D besar) yang berarti merangkaikan unsur linguistik dengan unsur non lignuistik untuk memerankan kegiatan, pandangan dan identitas 31. Analisis wacana (discourse analysis) diperkenalkan Harris melalui artikel ‘discourse analysis’ dalam jurnal language No. 28/1952 1-30. Dalam artikel itu, Harris membicarakan wacana iklan dengan menelaah hubungan antara kalimat-kalimat yang menyusunnya dan kaitannya antara teks dengan masyarakat dan budaya 32. Salah satu ciri dan sifat analisis wacana adalah upaya mamahami makna tuturan dalam konteks, teks dan situasi. Analisis wacana kini menjadi salah satu alternatif dalam analisis isi. Analisis wacana kritis adalah analisis wacana yang berasal dari pandangan kritis. Unsur bahasa menjadi aspek penting dalam analisis wacana untuk menggambarkan sebuah objek yang mengandung nilai-nilai ideologi dan tujuan. Setidaknya ada tiga pandangan bahasa dalam analisis wacana yakni; 1) Padangan positivisme-empiris; 2) Pandangan konstruktivisme 33 dan; 3) Pandangan kritis.
30
Wacana memiliki dua unsur pendukung utama, yaitu unsur internal dan ekternal. Unsur internal terdiri dari; 1) kata dan kalimat, dan; 2)Teks dan Konteks, unsur eksternal terdiri dari; 1) Implikatur; 2)Presuposisi; 3)Referensi, 4) Inferensi dan; 5) Konteks. Ibid. hal 7-24 31 Berdasarkan pendapat Gee (1999) bahwa discourse (huruf d kecil) yang menjadi perhatian ahli bahasa tentang bagaimana bahasa digunakan pada tempatnya. Sedangkan Discourse (huruf D besar) merangkai unsur linguistik dan non lingustik. Non linguistik diantaranya kepercayaan, perasaan, cara, interaksi, penilaian yang bermakna dan penuh arti dengan cara tertentu. Ibnu Hamad. op. cit. hal 34. 32 Lebih lengkap lihat P. Ari Subagyo dalam Pragmatik Kritis: Paduan Pragmatik dengan Analisis Wacana Kritis, dapat diakses melalui http://sastra.um.ac.id/wp-content/uploads/2010/01/009-P.-AriSubagyo-Univ.-SaDhar-Pragmatik-Kritis-.-.-..pdf 33 Padangan positivisme-empiris yang melihat bahwa bahasa adalah media antara manusia dengan sesuatu di luar dirinya, Makanya, ciri pandangan positivisme-empiris selalu memisahkan antara pemikiran dan realitas. Kaitannya dengan analisis wacana adalah, tidak penting dan tidak perlu
Universitas Sumatera Utara
Pandangan kritis pada dasarnya pandangan yang melakukan koreksi terhadap pandangan konstruktivisme karena dianggap kurang sensitif terhadap proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis dan institusional. Pandangan kritis melihat ada kekuatan-kekuatan sosial dalam masyarakat yang membuat seseorang tidak bisa bertindak netral dan bebas memberikan pemaknaan terhadap suatu objek Sebab itu analisis wacana dalam pandangan kritis adalah membongkar kuasa yang ada dalam proses bahasa, perspektif apa yang digunakan, apa tujuannya dan tema apa yang ingin disampaikan. Perbedaan ketiga paradigma tersebut juga dapat dilihat dari dimensi epistemologis, dimensi ontologi, dimensi metodologis dan dimensi aksiologis. Dimensi epistemologis berkaitan dengan asumsi hubungan antara peneliti dengan yang diteliti dalam proses memperoleh
pengetahuan tentang objek yang
diteliti. Dimensi ontologis berkaitan dengan asumsi mengenai objek dan realitas yang diteliti. Dimensi metodologis mencakup asumi bagaimana memperoleh pengetahuan dari suatu objek. Sedangkan dimensi aksiologis berkaitan dengan posisi value judgment, etika serta pilihan moral peneliti. Paradgima kritis pada dasarnya adalah paradigma ilmu pengetahuan yang menerapkan epistemologis kritik marxisme dalam proses metodologi penelitiannya. Dalam analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis/CDA), wacana tidak hanya difahami sebagai studi bahasa saja, tetapi juga untuk menghubungan konteks yakni tujuan dan praktik, termasuk praktik kekuasaan. Ada 5 (lima) hal penting yang mengetahui makna-makna subjektif atau nilai dari pernyataan tentang pengalaman manusia dengan sesuatu di luarnya sepanjang benar menurut kaidah semantik dan sintaksis. Pandangan konstruktivisme yang berpendapat bahasa tidak dapat dilihat hanya sekedar sebagai alat untuk memahami realitas objektif. Pandangan ini berpendapat bahwa manusia sebagai subjek merupakan faktor sentral dalam wacana dan semua hubungan sosial yang terkandung didalamnya. Bahasa difahami sebagai suatu yang memiliki nilai dan tujuan tertentu. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan dan pengungkapan jati diri orang yang berbicara. Sebab itu, analisis wacana yang dimaksudkan dalam pandangan konstruktivisme adalah upaya untuk mengungkap makna atau sesuatu yang tersembunyi dibalik pernyataan-pernyataan itu. Eriyanto. op. cit. hal 4-6.
Universitas Sumatera Utara
menjadi karakteristik dalam analisis wacana kritis 34. Pertama, tindakan. Artinya, bahwa wacana dianggap sebuah tindakan (action). Dengan demikian wacana harus dipandang sebagai sesuatu yang mempunyai tujuan dan wacana harus difahami sebagai tindakan yang dilakukan secara sadar dan terkontrol, bukan diluar kendali atau di luar kesadaran. Kedua, konteks. Maksudnya analisis wacana kritis selalu mempertimbangkan konteks dari wacana itu sendiri. Wacana harus dipandang, diproduksi dan dianalisis pada konteks tertentu. Guy Cook menyebut ada tiga hal yang sentral dalam pengertian wacana, yakni teks, konteks dan wacana. Teks maksudnya adalah semua bentuk bahasa, baik yang tercetak maupun terucap. Konteks adalah semua situasi dan hal-hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa. Sedangkan wacana dimengerti sebagai teks dan konteks bersama-sama. Jadi, poin utama dalam analisis wacana adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam proses komunikasi. Meski demikian, tidak semua konteks dapat dimasukkan dalam analisis wacana kritis. Konteks yang dimaksud adalah konteks yang dapat mempengaruhi produksi wacana. Konteks tersebut dibagi dalam dua kelompok, yakni; 1) Partisipan wacana, latar siapa yang memproduksi wacana, jenis kelamin, umur, pendidikan, kelas sosial, etnik dan agama, dan; 2) Setting sosial tertentu, seperti waktu, tempat, posisi pembicara dan pendengar atau lingkungan secara fisik. Ketiga, Historis. Salah satu hal penting untuk dapat memahami teks adalah dengan cara memperhatikan wacana tersebut dalam konteks historis atau kesejarahan. Dibutuhkan sebuah tinjauan historis untuk memahami sebuah wacana, kenapa wacana itu berkembang dan dikembangkan seperti itu, mengapa bahasa yang digunakan seperti itu dan sebagainya. Keempat, Kekuasaan. Dalam analisis wacana
34
Ibid hal 8-14
Universitas Sumatera Utara
kritis, harus mempertimbangkan faktor kekuasaan dalam proses analisisnya. Sebab, teks atau wacana yang muncul bukan sesuatu yang wajar, alamiah dan netral. Wacana muncul sebagai bentuk dari pertarungan kekuasaan. Hal ini membuktikan bahwa analisis wacana kritis tidak terbatas pada struktur level dan wacana saja, tetapi menghubungkannya dengan kekuasaan dan kondisi sosial politik, ekonomi dan budaya tertentu. Kekuasaan dalam analisis wacana kritis penting untuk melihat adanya kontrol yaitu satu atau sekelompok orang mengontrol orang lain melalui wacana. Kontrol itu dapat dilakukan melalui kontrol teks dan kontrol atas struktur wacana. Kelima, Ideologi. Teori klasik mengenai ideologi
mengatakan bahwa ideologi 35
dibangun oleh sekelompok orang yang dominan dengan tujuan mereproduksi dan melegitimasi dominasi mereka. Caranya dengan membuat kesadaran kepada khalayak bahwa dominasi itu diterima oleh khalayak. Wacana adalah media komunikasi yang sangat
tepat
bagi
kelompok-kelompok
dominan
untuk
mempersuasi
dan
mengkomunikasikannya kepada khalayak sehingga tampak absah dan benar. Sebab itu, ideologi merupakan hal penting dalam analisis wacana kritis. Setidaknya ada dua implikasi penting terkait ideologi ini, yakni; 1) Ideologi secara inharen bersifat sosial, tidak personal atau individual sehingga ia membutuhkan share diantara orang-orang pada kelompoknya; 2) Ideologi yang bersifat sosial tetapi digunakan secara internal antara kelompok atau komunitas tertentu sebagai fungsi koordinatif maupun membentuk identitas kelompok atau komunitasnya. Dalam paradigma kritis, analisis wacana berpendapat bahwa media bukanlah sesuatu yang netral melainkan bisa dikuasai oleh kelompok dominan. Wartawan juga 35
Sebuah teks menurut Aart Van Zoest tak pernah lepas dari ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca kearah suatu ideologi. Dalam pandangan Magnis Suseno, ideologi dipergunakan dalam arti kesadaran palsu, ideologi dianggap sebagai sistem berfikir yang telah terdistorsi disadari atau tidak. Alex Sobur. op. cit. hal 60-68
Universitas Sumatera Utara
dalam proses produksi berita bukan pihak yang otonom karena adanya ketidakseimbangan dan dominasi. Dalam tradisi CDA, atribut kritis dibangun berdasarkan gagasan kritis dari sekolah Franfurt, khususnya Jurgen Habermas yang berpandangan bahwa ilmu (critical science) harus sampai pada refleksi diri, yakni harus merefleksikan interes-interes awal yang menjadi dasarnya dan mengindahkan konteks historis dari interaksi yang dilibatinya 36. Sebab itu, yang menjadi pertanyaan dalam paradigma kritis adalah siapa yang mengontrol media?, Kenapa ia mengontrol? Keuntungan apa yang bisa diambil dengan kontrol tersebut? Kelompok mana yang tidak dominan dan menjadi objek pengontrolan? 37 2.5. Pendekatan Perubahan Sosial Banyak pendekatan yang dapat dilakukan dalam melakukan analisis wacana kritis 38. Salahsatunya adalah model pendekatan perubahan sosial (Sosiocultural Change Approach) yang disampaikan Norman Fairclough 39 yang digunakan dalam penelitian ini. Fairclough memfokuskan perhatian dengan melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan. Untuk melihat bagaimana bahasa membawa nilai ideologi tertentu dibutuhkan analisis secara menyeluruh. Bahasa secara sosial merupakan bentuk 36
P. Ari Subagyo op. cit. Eriyanto op. cit. hal 24 38 Pendekatan yang dimaksud secara umum dapat dikategorikan dalam 5 (lima) pendekatan, yakni; 1) Analisis Bahasa Kritis (Critical Linguistik) yang banyak dipengaruhi oleh Haliday yang memusatkan analisis wacana pada bahasa dan menghubungkannya dengan ideologi; 2) Analisis wacana pendekatan Prancis (French Discourse Analysis) disebut juga pendekatan Pecheux yang memandang bahasa dan ideologi bertemu pada pemakaian bahasa dan naterialisasi bahasa pada ideologi; 3) Pendekatan Kognisi Sosial (Social Cognitive Approach) dengan tokohnya Teun A Van Dijk yang melihat faktor kognisi sosial sebagai elemen penting dalam produksi wacana; 4) Pendekatan Perubahan Sosial (Sosiocultural Change Approach) dengan tokoh utamanya Norman Fairclough yang memandang wacana ssebagai praktik sosial; 5) Pendekatan Wacana Sejarah (Dicourse Historical Approahes) dengan tokohnya Ruth Wodak yang melihat bahwa analisis wacana harus menyertakan konteks sejarah bagaimana wacana tentang suatu kelompok atau komunitas digambarkan. Eriyanto. op. cit. hal 14-17 39 Dalam beberapa karyanya, Fairclough menyebut bahwa teorinya merupakan gabungan dari linguistic fungsional-sistemik halliday, linguistik fowler dan teori social baru Foucoult. Uraian lengkap lihat Anang Santoso dalam Jejak Halliday dalam Linguistik Kritis dan Analisis Wacana Kritis,dapat diakses http://sastra.um.ac.id/wp-content/uploads/2009/10/Jejak-Halliday-dalam-Linguistik-Kritis-danAnalisis-Wacana-Kritis-Anang-Santoso.pdf 37
Universitas Sumatera Utara
tindakan dalam hubungan dialektik dengan struktur sosial. Sebab itu dalam model analisisnya, Fairclough mengkombinasikan tradisi analisis tekstual (yang melihat bahasa dalam ruang tertutup) dengan konteks yang lebih luas 40. Fairclough membangun model yang mengintegrasikan analisis wacana berdasarkan linguistik dan pemikiran sosial politik secara bersama bersama dan secara umum diintegrasikan dengan perubahan sosial. Sebab itu, model yang disampaikan Fairclough disebut dengan model perubahan sosial (social change). Titikfokus bahasa dalam analisis Fairclough sebagai praktik sosial berimplikasi terhadap dua hal. Pertama wacana dipandang sebagai tindakan yakni ketika seseorang menggunakan bahasa merupakan sebuah tindakan sebagai bentuk representasi ketika melihat dunia/realitas. Kedua model ini mengimplikasikan adanya hubungan timbal balik antara wacana dan struktur sosial. Analisis wacana menurut Fairclough terbagi dalam tiga dimensi yakni teks, discourse practice dan sociocultural practise. (lihat gambar 2.2) Teks dianalisis secara linguistik dengan melihat kosakata, semantik dan tata kalimat. Selain itu juga diperhatikan koherensi dan kohesivitas yakni bagaimana kalimat atau antar kalimat memberikan pengertian. Hal itu dianalisis untuk melihat tiga masalah yang disebut Fairclough ideasional, relasi dan identitas 41. Ideasional merujuk pada representasi tertentu yang ditampilkan dalam teks yang umumnya membawa muatan ideologi tertentu. Sedangkan relasi merujuk pada analisis bagaimana kontruksi hubungan diantara wartawan dengan pembaca. Sementara, identitas merujuk pada konstruksi tertentu dari identitas wartawan dan pembaca, serta bagaimana personal dan identitas ditampilkan. 40 41
Discourse practise merupakan dimensi yang berhubungan dengan
Ibid hal 285 Ibid hal 286-287
Universitas Sumatera Utara
proses produksi dan konsumsi teks. Teks berita pada dasarnya dihasilkan lewat proses produksi yang berbeda. Teks berita diproduksi dalam cara yang spesifik dengan rutinitas dan pola kerja yang terstruktur. Perbedaan pola kerja, struktur dan bentuk rutinitas yang berbeda di tiap-tiap insitusi media tentu akan menghasilkan produksi teks yang berbeda juga. Sama halnya dengan konsumsi teks yang juga berbeda dalam konteks sosial yang berbeda juga. Konsumsi teks tersebut dapat dilakukan secara personal maupun kolektif. Sedangkan sosciocultural practice adalah dimensi yang berhubungan dengan konteks di luar teks, seperti halnya konteks situasi, politik media, ekonomi media, atau budaya media tertentu yang memiliki pengaruh terhadap berita yang dihasilkan. Artinya konteks yang dimaksud lebih luas luas dari praktik institusi media dari media sendiri dalam hubungannya dengan masyarakat atau budaya dan politik tertentu. Gambar 2.2. Dimensi Wacana Norman Fairclough 42 Produksi
Teks
TEKS DISCOURSE PRACTICE
Konsumsi Teks
SOCIOCULTURAL PRACTICE
2.6. Media Massa dan Rekonstruksi Realitas Politik Media massa 43 dan politik meski berasal dari disiplin ilmu yang berbeda, dalam perkembangannya media massa dan politik adalah dua sisi yang tidak akan
42
Ibid hal 288 Media massa merupakan salah satu turunan dari 4 (empat) tipe komunikasi. Keempat tipe itu, Komunikasi intrapersonal yakni proses dimana kita berbicara dengan diri sendiri tentang ide dan gagasan kita sendiri. Komunikasi interpersonal yakni proses pertukaran pesan, ide atau gagasan yang dilakukan antar pribadi. Komunikasi kelompok yakni proses pertukaran pesan, ide atau gagasan yang terjadi dalam sebuah kelompok orang-orang tertentu. Dan Komunikasi massa (mass communication)
43
Universitas Sumatera Utara
pernah bisa dipisahkan. Media dengan kekuatannya melalui berita-berita yang dihadirkan mampu mempengaruhi situasi politik dan proses demokrasi di sebuah negara. Bahkan, kebebasan media dianggap menjadi salah satu indikator demokrasi disebuah negara. Banyak pengertian dan defenisi yang dapat diterjemahkan sebagai politik. Politik adalah siapa memperoleh apa, kapan dan bagaimana, pembagian nilainilai oleh yang berwenang, kekuasaan dan pemegang kekuasaan, pengaruh, tindakan yang diarahkan untuk mempertahankan atau memperluas tindakan lainnya 44. Namun, hal yang perlu difahami bahwa politik pada dasarnya adalah proses dan pembicaraan. Secara lebih spesifik, pembicaraan yang dimaksud adalah pertukaran simbol dalam bentuk kata-kata yang diucapkan, gerakan tubuh, sikap, perangai dan pakaian. Sebab itu, ilmuwan politik, Mark Roeles menyebutkan bahwa politik adalah pembicaraan atau lebih tepat lagi kegiatan politik adalah berbicara 45. Melalui komunikasi politik46 membuat media dan politik menjadi saling membutuhkan saling sama lain. Politik sebagai kegiatan yang melibatkan orang banyak dalam proses penyampaian komunikasinya tentu memilih saluran yang tepat dan dapat menjangkau masyarakat secara luas. Sebab, siapapun komunikator politiknya tentu berharap pesan yang disampaikan dalam proses komunikasi politik dapat menjangkau orang banyak guna mencapai tujuan yang diinginkan. Saluran yang paling efektif adalah saluran komunikasi massa baik secara langsung maupun melalui perantara. Secara langsung
yakni proses pertukaran ide, pesan atau gagasan yang menjangkau orang banyak dengan menggunakan media elektronik dan media cetak. Jhon Vivian op cit hal 450. 44 Lihat Dan Nimmo dalam Komunikasi Politik; Komunikator, Pesan, dan Media, 2005, PT Remaja Rosdakarya Bandung, Cetakan Keenam, hal 8 45 Ibid. hal 8 46 Komunikasi politik adalah salah satu dari cabang ilmu politik Adapun cabang ilmu politik lainnya yaitu; 1) Perbandingan sistem politik; 2) Pembangunan politik; 3) Analisa Politik 4) Sosiologi politik; 5) Manajemen politik; 6) Etika politik; 7) Psikologi politik; 8) Politik Ekonomi, dan; 9) Komunikasi politik. Lebih lengkap lihat Inul Kencana Syafiie dalam Ilmu Politik, Rineka Cipta, 2000, hal 15
Universitas Sumatera Utara
artinya, komunikator politik berbicara langsung dihadapan masyarakat banyak dengan cara tatap muka untuk menyampaikan ide, gagasan yang ingin disampaikanya kepada publik. Sedangkan tidak langsung, pesan komunikator politik disampaikan melalui media. Komunikasi politik pada hakikat dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Istilah konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality) diperkenalkan Peter L Berger dan Thomas Luckmann dalam bukunya The Social construction of reality, a treatise in the sociological of knowledge tahun 1966. Keduanya menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, yang mana individu menciptakan secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Berger dan Luckmann memulai penjelasan mengenai realitas sosial dengan memisahkan kenyataan dengan pengetahuan. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat dalam realitas-realitas yang diakui keberadaannya (being) yang tidak tergantung kepada kehendak kita sendiri. Sedangkan pengetahuan didefenisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik. Sedangkan realitas sosial adalah pengetahuan yang bersifat keseharian yang hidup dan berkembang dimasyarakat. Realitas sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Konstruksi sosial itu tidak berlangsung dalam ruang hampa melainkan sarat dengan kepentingan-kepentingan 47. Berger dan Luckmann meneliti bagaimana pengetahuan manusia dibangun melalui interaksi sosial. Teori ini berpendapat bahwa identitas suatu objek merupakan hasil dari bagaimana kita membicarakan objek yang bersangkutan, bahasa yang digunakan untuk menuangkan konsep kita, dan cara bagaimana kelompok sosial memberikan perhatiannya kepada pengalaman bersama mereka. Jadi teori 47
Realitas sosial menurut Berger dan Luckmann terdiri dari realitas objektif, realitas simbolis dan realitas subjektif. Burhan Bungin. op. cit. 189-192.
Universitas Sumatera Utara
konstruksi sosial berpendapat bahwa manusia merupakan instrumen untuk menciptakan realitas sosial objektif melalui ketiga proses di atas. Proses tersebut adalah Eksternalisasi yakni usaha mengkonstruksi realitas objektif; Sedangkan obyektifikasi yakni realitas obyektif yang diperoleh melalui eksternalisasi dan internalisasi yakni realitas objektif yang diterima untuk menjadi dasar kegiatan eksternalisasi berikutnya. Berger dan Luckman berpendapat bahwa realitas tidak dibentuk secara ilmiah dan juga tidak turun dari tuhan melainkan dibentuk atau dikonstruksi. Atas dasar itulah pemahaman terhadap suatu realitas bersifat jamak atau plural. Tiap orang tentu dapat memaknakan sesuatu berbeda berdasarkan cara pandang, pengalaman, pendidikan, atau berdasarkan usia. Gagasan tentang konstruksi sosial itu kemudian dikoreksi dengan gagasan dekonstruksi oleh Derrida (1978) yang melakukan interpretasi terhadap teks, wacana dan pengetahuan masyarakat. Gagasan Dekonstruksi Deerida melahirkan tesis keterkaitan antara kepentingan (interest) dan metode penafsiran (interpretation) atas realitas sosial. Contohnya memaknakan kata ‘kursi’ yang dapat difahami berbeda oleh tiap orang. Buat seorang politisi, kursi berarti kedudukan di lembaga legislatif, bagi pelajar tentunya kursi berarti tempat duduk di kelas atau bagi ibu rumah tangga kursi artinya tempat duduk atau sofa di ruang tamu. Substansi teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas yang dikemukakan Berger dan Luckmann adalah proses simultan yang terjadi secara alamiah dalam kehidupan sehari-hari dan yang menjadi basis sosial teori dan pendekatan itu adalah masyarakat transisi-modern di Amerika Serikat pada tahun 1960-an. Ketika itu, media massa belum menjadi fenomena yang menarik untuk dibicarakan, sehingga Berger dan Luckmann sama sekali tidak memasukkan media sebagai variabel atau fenomena yang berpengaruh dalam
Universitas Sumatera Utara
konstruksi sosial atas realitas 48. Sebab itu, saat kondisi masyarakat Amerika menjadi masyarakat yang modern dan postmodern, pendekatan konstruksi sosial atas realitas Berger dan Luckmann menjadi tidak tajam lagi dengan kata lain tidak mampu menjawab perubahan jaman. Melalui Konstruksi Sosial Media Massa; Realitas Iklan Televisi Dalam Masyarakat Kapitalistik akhirnya teori Berger dan Luckmann direvisi dengan melihat variabel atau fenomena media menjadi sangat subtansi dalam proses eksternalisasi, subjektivitasi dan internalisasi. Substansi teori konstruksi sosial media massa adalah pada sirkulasi informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial dapat berlangsung cepat dan sebarannya merata. Realitas yang terkonstruksi juga membentuk opini massa, massa cenderung apriori dan opini massa cenderung sinis. Namun yang harus diingat, proses simultan yang disebutkan diatas tidak terjadi secara tiba-tiba melainkan melalui 4 (empat) tahapan penting, yakni; 1) tahap menyiapkan materi konstruksi; 2) tahap sebaran konstruksi; 3) tahap pembentukan konstruksi dan; 4) tahap konfirmasi 49. Media dalam kegiatannya sehari-hari adalah bagaimana mengkonstruksikan realitas yang ada untuk dilaporkan atau disampaikan kepada khalayak. Pembuatan berita di media pada dasarnya adalah penyusunan realitas-realitas hingga membentuk wacana yang bermakna. Dalam proses itu bahasa tidak hanya menjadi alat konseptualisasi dan alat narasi untuk menggambarkan realitas tetapi juga menentukan
48
Ibid. op. cit hal 202. Tahap menyiapkan konstruksi merupakan tugas awak redaksi, hal penting dalam penyiapan itu yakni, keberpihakan media massa pada kapitalisme; keberpihakan semu kepada masyarakat dan keberpihakan pada kepentingan umum Tahap sebaran konstruksi dilakukan melalui strategi media massa bersangkutan. Tahap pembentukan konstruksi melalui dua tahapan yakni tahapan pembentukan konstruksi realitas dan pembentukan konstruksi citra. Sedangkan tahap konfirmasi ketika media massa maupun pembaca/pemirsa memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam tahap pembentukan konstruksi. Ibid hal 205-212
49
Universitas Sumatera Utara
gambaran (citra) mengenai suatu realitas kepada khalayak 50. Untuk itu harus difahami bahwa proses konstruksi realitas yang terjadi di institusi media tidak berada dalam ruang hampa dan netral serta seakan-akan hanya menyalurkan apa yang didapat wartawan kemudian disajikan dalam bentuk berita. Proses tersajinya sebuah berita kepada khalayak adalah proses yang rumit dan melibatkan banyak faktor yang masing-masing berpotensi untuk mempengaruhi isi berita. Sebab, masing-masing faktor memiliki kepentingan untuk mempengaruhi berita yang akan disajikan. Maka yang terjadi selanjutnya adalah akumulasi dari berbagai pertarungan bagaimana memaknai sebuah realitas dan kemudian disajikan kepada khalayak dalam bentuk berita. Pamela J Soemaker dan Stephen D Reese mengklasifikasikan beberapa faktor yang mempengaruhi keputusan dalam ruangan pemberitaan. Mereka mengidentifikasi ada lima faktor yang mempengaruhi kebijakan redaksi dalam mengambil keputusan sebelum menyajikan berita kepada publik (lihat gambar 2.3). 51
Gambar 2.3. Hierarchy of Influence Soemaker & Reese 52
50
Hal itu sejalan dengan teori agenda setting yang berasumsi bahwa media memiliki pengaruh yang besar terhadap khalayaknya melalui pemaknaan dengan bahasa. Ibid. hal 281 dan lihat juga Jhon Vivian dalam Teori Komunikasi Massa, edisi kedelapan, Juli 2008, hal 495-499 51 Agus Sudibyo. op. cit. hal 7-13 dan lihat juga Alex Sobur dalam Analisis Teks Media, Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analissi Semiotik, dan Analisis Framing, cetakan ketiga, 2004, PT Remaja Rosdakarya Bandung, hal 138-139 52 Ibid
Universitas Sumatera Utara
Tingkat Ideologi TIngkat Ekstramedia Tingkat Organisasi Tingkat Rutinitas media Tingkat Individual
2.6.1. Tingkat Individual Faktor ini fokus melihat pengelola media secara personal, Dalam level individual, aspek-aspek bersifat personal seperti jenis kelamin, pendidikan, agama, suku sangat mempengaruhi wartawan dalam memaknai sebuah realitas dan kemudian menyampaikannya dalam bentuk berita. Kecendrungan seorang wartawan untuk meliput tokoh tertentu, tema berita tertentu sangat terkait dengan aspek personal yang ada dalam dirinya. Menjadi hal yang wajar jika seorang wartawan akan merasa lebih akrab dekat dengan sumber berita yang dianggapnya sejalan dengan personalnya. Sejalan bisa diartikan memiliki kesamaan aspek personal, dari sisi jenis kelamin, pendidikan, suka atau agama. Kondisi konkritnya kita dapat melihat diberbagai media yang selalu mengekspos tokoh-tokoh tertentu saja atau dari kalangan tertentu saja sehingga sumber beritanya itu ke itu saja.
2.6.2. Tingkat Rutinitas
Universitas Sumatera Utara
Faktor rutinitas media membahas bagaimana mekanisme dan proses penentuan berita sebelum terbentuk, Biasanya masing-masing media memiliki standard dan ukuran apa yang dianggap sebuah berita, bagaimana berita yang baik dan seperti apa yang layak menjadi berita. Termasuk juga standar menentukan jumlah kata dalam sebuah judul berita. Rutinitas yang berlangsung setiap hari ini menjadi standard dan berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk diperoleh. Siapa yang meliput peristiwa, bagaimana bentuk pendelegasian tugas, siapa yang mengkoordinir peliputan, selanjutnya kepada siapa berita dari seorang wartawan diserahkan hingga proses pencetakan siapa yang bertanggungjawab. Level rutinitas media pada akhirnya akan mempengaruhi bagaimana wujud sebuah berita. 2.6.3. Tingkat Organisasi Faktor organisasi berhubungan dengan struktur organisasi di media yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Bicara organisasi media tidak hanya bicara soal wartawan atau redaksi saja, banyak bagian yang masuk dalam struktur organisasi media. Ada bagian iklan, pemasaran, bagian umum, keuangan dan bagian lainnya. Layaknya sebuah industri, redaksi dan wartawan hanyalah salah satu bagian dalam sebuah organisasi pers sebagai salah satu industri. Level organisasi membahas bagaimana masing-masing bagian tersebut memiliki konsep dan tidak selamanya berjalan seiring. Umumnya yang terjadi dalam organisasi media adalah pertentangan antara bagian redaksi dengan iklan atau pemasaran. Bagi bagian iklan tentunya pemberitaan diharapkan dapat menservis pemasang iklan atau merangsang caloncalon pemasang iklan. Sedangkan bagi pemasaran, pemilihan tema berita diharapkan sejalan dengan keinginan pasar. Keinginan masing-masing bagian tentu semakin memperumit bagaimana produk berita itu dapat diwujudkan. Sebab masing-masing
Universitas Sumatera Utara
bagian tentu memberikan pengaruh dengan alasan tersendiri bagaimana wartawan bersikap, redaksi bersikap dan bagaimana sebuah peristiwa disajikan dalam berita. Sebab, dalam kepentingan yang lebih besar, bagi pengelola media apa yang menjadi produk dari media adalah hasil kerjasama semua bagian yang bersifat kolektif, bukan kerja bagian redaksi saja. 2.6.4. Tingkat Ekstramedia Faktor ini membahas bagaiman faktor lingkungan di luar media juga turut memberikan andil dalam terbentuknya sebuah berita oleh media. Beberapa hal yang termasuk dalam level ekstramedia adalah; a. Sumber Berita Sumber berita dipandang bukan sebagai pihak yang netral dalam menyampaikan informasi kepada wartawan. Tentunya seorang sumber berita memiliki kepentingan untuk menyampaikan apa yang menguntungkan bagi dirinya dan menyembunyikan informasi yang dapat merugikan dirinya. Hal itu dilakukan dengan berbagai alasan, mulai dari untuk pembentukan opini publik hingga pembentukan citra. Sebab itu, tanpa disadari terkadang media tak lebih menjadi sekedar corong bagi sumber berita untuk menyampaikan apa yang ingin disampaikan oleh sumber berita sesuai dengan pemaknaan realitas menurut dirinya sendiri. b. Sumber Penghasilan Media Sebagai sebuah industri, media dituntut harus survive dengan cara mempertahankan atau meningkatkan apa yang menjadi sumber penghasilan bagi media. Sumber penghasilan itu secara garis besar berasal dari pendapatan iklan maupun penjualan atau pelanggan media. Media terkadang harus
Universitas Sumatera Utara
kompromi dengan pemasang iklan atau pelanggan agar sumber penghasilan media tidak terganggu dan organisasi media dapat berjalan. Pemasang iklan tak jarang memaksakan keinginannya kepada media untuk memuat atau tidak memuat sebuah peristiwa agar kepentingan pemasang iklan di tengah-tengah masyarakat dapat terjaga. Sedangkan pelanggan juga mampu melakukan hal yang sama dengan memaksakan sebuah tema liputan atau kepada media agar produk dari media tetap diminati dan dicari pelanggan. c. Pemerintah dan Lingkungan Bisnis Pengaruh ekstramedia dari faktor pemerintah dan lingkungan bisnis ini sangat tergantung dari sistem negara dimana media berada. Dalam negara yang otoriter tentunya peranan pemerintah sangat dominan dalam menentukan apa yang harus diberitakan dan apa yang tidak boleh diberitakan. Melawan keinginan negara atau pemerintah bisa berakibat fatal terhadap kelangsungan media itu sendiri. Tentunya kondisi yang berbeda akan dirasakan media yang berada dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi. Campur tangan pemerintah terhadap media nyaris tidak ada, sebaliknya pengaruh yang besar itu muncul dari lingkungan pasar dan bisnis. 2.6.5. Tingkat Ideologi Level ideologi ini merupakan sesuatu yang abstrak tetapi memberikan pengaruh bagaimana berita terbentuk. Ideologi merupakan kerangka berfikir atau refrensi yang digunakan seseorang untuk melihat sebuah realitas dan bagaimana menghadapi realitas tersebut. Ideologi berhubungan bagaimana seseorang menafsirkan sebuah realitas yang ada dihadapannya. Sebagai contoh, adalah pemberitaan media tentang PKI dimana pemahaman dan refrensi komunisme dalam diri kita adalah suatu
Universitas Sumatera Utara
hal yang tidak dapat diterima karena secara ideologi kita sudah dicekoki untuk anti terhadap komunisme. Pengelola media akan menggunakan persepsi yang ada dibenak masyarakat dalam menyikapi perkembangan isu tentang PKI dan komunisme. Contoh lain adalah pemberitaan mengenai aksi terorisme yang marak beberapa tahun belakangan. Pengelola media menyikapi perkembangan aksi terorisme merujuk dengan konsepsi dan pemikiran masyarakat yang menganggap aksi teroris tidak dapat diterima dan merugikan semua pihak. Dengan kata lain, pada level ini pengelola media hanya mengikuti gagasan atau ideologi yang berlaku secara umum di masyarakat. Menurut Harsono Suwardi ada 5 (lima) aspek dari media massa yang membuat dirinya penting dalam kehidupan politik. Pertama, daya jangkau (coverage) media massa yang sangat luas dalam menyebarkan informasi-informasi politik yang melewati batas wilayah, kelompok umur, jenis kelamin dan sosial-ekonomis-status dan perbedaan faham dan orientasi. Dengan demikian informasi politik yang dimediasikan dapat jadi perhatian bersama diberbagai tempat dan kalangan. Kedua, kemampuan media massa dalam melipatgandakan pesan (multiplier of message) dalam bentuk jumlah eksamplar media, bahkan dapat diulang sesuai dengan kebutuhan. Ketiga, media massa mempunya kemampaun untuk mewacanakan sebuah peristiwa politik sesuai dengan pandangannya masing-masing. Kemampuan dalam menentukan kebijakan redaksi itulah membuat media massa banyak diincar oleh politisi. Keempat, fungsi agenda setting yang melekat pada media massa menjadi kelebihan media untuk memberikan atau tidak memberitakan suatu peristiwa politik. Kelima, pemberitaan politik di satu media biasanya berkaitan dengan media lainnya hingga membentuk mata rantai informasi (media as link in other chains).
Universitas Sumatera Utara