BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS
2.1
Kajian Teoritis
2.1.1
Self Assessment System Self assessment system yaitu suatu sistem pemungutan yang memberi
wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang (Mardiasmo, 2008:07). Pada self assessment system wajib pajak aktif mulai dari menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang, dan fiskus pada sistem ini hanya bersifat pasif, yaitu
hanya
memberikan
pelayanan,
penerangan,
mengawasi
maupun
pemeriksaan (Zain, 2007:6). Reformasi sistem perpajakan telah mengalami beberapa perubahan, tahun 1983 diberlakukan UU Nomor 6 Tahun 1983, UU Nomor 7 Tahun 1983, UU Nomor 8 Tahun 1983, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 9 Tahun 1994, UU Nomor 16 Tahun 2000 dan UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sistem pemungutan pajak di Indonesia berubah dari official assessment system menjadi self assessment system. Ciri-ciri dari self assessment system
sebagaimana dikemukakan oleh
Mardiasmo (2008: 07), yaitu: 1.
Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri,
2. Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang,
3. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi. Sejak tahun 1983, berlaku UU Nomor 6 Tahun 1983, UU Nomor 7 Tahun 1983, UU Nomor 8 Tahun 1983, dalam UU perpajakan yang baru tersebut berlaku asas perpajakan di Indonesia, yakni: 1. Asas kegotongroyongan nasional terhadap kewajiban kenegaraan, termasuk membayar pajak. 2. Asas keadilan, dalam pemungutan pajak kewenangan yang domain tidak lagi diberikan kepada aparat pajak untuk menentukan jumlah pajak yang harus dibayar. 3. Asas kepastian hukum, WP diberikan ketentuan yang sederhana dan mudah dimegerti serta pelaksanaan administrasi pemungutan pajaknya tidak birokratis. 4. Asas kepercayaan penuh, masyarakat diberikan kepercayaan penuh untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya, termasuk keaktifan pelaksanan administrasi perpajakan. Berlakunya undang-undang tersebut, sistem perpajakan di Indonesia secara mutlak menganut self assessment system, dan kewenangan aparat pajak tidak lagi seperti sebelumnya. Dengan pemberian kepercayaan penuh kepada WP (Agoes, 2009: 8). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi self assessment sytem, yaitu:
1. Kesadaran wajib pajak Tingkat kesadaran membayar pajak didasarkan pada tingkat kepatuhan wajib pajak yang berpijak pada kesadaran hukum dalam membayar pajak. Dalam hal ini peran fiskus sangatlah penting, karena tingkat kepatuhan wajib pajak didasarkan pada tingkat pemahaman yang baik seputar pajak. 2. Kejujuran wajib pajak Faktor kejujuran wajib pajak sangatlah penting, karena dengan self assessment system, pemerintah telah memberikan kepercayaan penuh kepada wajib pajak dalam menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan jumlah pajak yang harus dibayar sesuai dengan ketentuan. Masyarakat diharapkan melaporkan jumlah pajak yang sebenarnya tanpa ada usaha manipulasi. 3. Hasrat untuk membayar pajak (tax mindedness) Hasrat untuk membayar pajak pada dasarnya adalah kepatuhan sukarela dalam membayar pajak, dengan kerangka pemikiran bahwa kesadaran membayar pajak haruslah diikuti dengan hasrat yang tinggi untuk membayar pajak. 4. Disiplin dalam membayar pajak (tax discipline) Tax discipline dalam membayar pajak didasarkan pada tingkat pemahaman terhadap hukum pajak yang dianut suatu negara dan sanksi-sanksi yang menyertainya, sehingga diharapkan masyarakat tidak menunda-nunda dalam membayar pajak.
Menurut Zain, yang dikutip oleh Tarjo (2006: 104) self assessment system merupakan tipe administrasi perpajakan yang mengungkapkan bahwa tipe administrasi perpajakan banyak ditentukan oleh bentuk kerjasama atau tingkat partisipasi wajib pajak atau pemotong/ pemungut pajak dan respon wajib pajak terhadap pengenaan pajak tersebut. pada tipe ini wajib pajak mendapat beban yang sangat berat, karena: 1)
Wajib pajak harus melaporkan semua informasi yang relevan dalam SPT,
2)
Menghitung dasar pengenaan pajaknya (DPP),
3)
Mengkalkulasi jumlah pajak yang terutang maksudnya mengurangi pajak yang terutang dengan jumlah pajak yang dilunasi dalam tahun berjalan,
4)
Melunasi pajak yang terutang atau mengangsur jumlah pajak yang terutang. Pihak wajub pajak dalam self assessment system ini diberikan wewenang
untuk menghitung, membayar, menyetorkan dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang. Inti dari self assessment system ini adalah adanya peralihan sebagian wewenang dari DJP (Direktur Jenderal Pajak) dalam menetapkan besarnya kewajiban pajak kepada wajib pajak. Keuntungan self assessment system
ini adalah wajib pajak diberi
kepercayaan oleh pemerintah (fiskus) untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. fungsi penghitungan adalah fungsi yang memberi hak kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri pajak yang terutang sesuai dengan peraturan perpajakan. Atas dasar fungsi penghitungan tersebut wajib pajak berkewajiban
untuk membayar pajak sebesar pajak yang terutang ke Bank Persepsi atau kantor pos. Selanjutnya wajib pajak melaporkan pembayaran dan berapa besar pajak yang telah dibayar kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Menurut Puji, sebagaimana yang dikutip oleh Andriyani (2010: 9), tingkat pemahaman wajib pajak pada pelaksanaan self assessment system
dalam
melaksanakan kewajiban perpajakan diukur berdasarkan pemahaman wajib pajak pada kewajiban menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan pajak terutang. (1) Kewajiban menghitung sendiri pajak yang terutang adalah wajib pajak menghitung sendiri pajak terutang berdasarkan ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku, misalnya menghitung pajak penghasilan adalah menghitung besarnya pajak yang terutang yang dilakukan pada setiap akhir tahun pajak dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak. (2)
Kewajiban
memperhitungkan
berarti
bahwa
wajib
pajak
mampu
memperhitungkan besarnya pajak penghasilan yang harus dibayar dan angsuran pajaknya setelah diketahui jumlah pajak yang terutang. Selanjutnya mengurangi pajak terutang tersebut dengan jumlah pajak yang dilunasi dalam tahun berjalan yang dikenal sebagai kredit pajak. Selisih antara pajak terutang dengan kredit pajak tersebut dapat berupa kurang bayar, lebih bayar, dan nihil bayar. Kurang bayar terjadi bila jumlah pajak yang terutang lebih besar daripada kredit pajak, yang harus dilunasi selambat-lambatnya tanggal dua puluh lima bulan ketiga setelah tahun pajak atau bagian tahun pajak berakhir
sebelum surat pemberitahuan itu disampaikan. Lebih bayar terjadi bila jumlah pajak yang terutang lebih kecil daripada kredit pajak, yang dapat dimintakan restitusi atau dilakukan kompensasi dengan pajak-pajak yang belum dilunasi atau yang akan dilunasi. Nihil bayar terjadi bila jumlah pajak yang terutang sama besar dengan jumlah kredit pajak. (3) Kewajiban membayar dijelaskan dalam pasal 12 ayat (1) UU KUP No. 28, Tahun 2007 bahwa wajib pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007, diketahui bahwa pembayaran pajak dilakukan dengan menggunakan surat setoran pajak (SSP). Pembayaran atau penyetoran pajak melalui kantor pos atau bank persepsi yang telah ditunjuk oleh menteri keuangan. (4) Kewajiban melaporkan berarti bahwa wajib pajak wajib melaporkan surat pemberitahuan (SPT) ke KPP setempat tepat waktu. Berdasarkan pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007, diketahui bahwa untuk pelaporan pajak menggunakan surat pemberitahuan (SPT).
2.1.2
Wajib pajak Menurut Suryarini (2011:05), wajib pajak adalah orang pribadi atau badan
yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakannya, termasuk pemungut pajak dan pemotong pajak tertentu. Masyarakat yang dapat disebut sebagai wajib pajak yaitu:
a. Orang pribadi Kedudukan orang pribadi sebagai subjek pajak dapt bertempat tinggal di Indonesia maupun di luar Indonesia. Orang pribadi tidak mengenal batasan usia ataupun jenjang social ekonomi, dengan kata lain berlaku untuk semua. b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak, dalam hal ini,warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak, yaitu ahli waris. Penunjukan ahli warisan tersebut di maksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan, demikian juga dengan penagihan selanjutnya. c. Badan Badan sebagai subjek pajak adalah suatu bentuk usaha atau non usaha. d. Bentuk usaha tetap Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang digunakan oleh orang yang tidak bertempat tinggal di Indonesia tidak lebih dari 183 hari atau jangka 12 bulan, atau juga badan yang tidak didirikan atau tidak berkedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan usaha di Indonesia.
2.1.3
Pengusaha Kena pajak (PKP) Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak
berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya pasal 1 (UU No. 28 Tahun 2007). Untuk menjadi PKP, seseorang atau badan harus dikukuhkan dulu oleh otoritas pajak dalam hal ini adalah Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang wilayah kerjanya membawahi tempat tinggal, tempat kedudukan atau tempat kegiatan usahanya. Prinsipnya, Pengusaha yang sudah memenuhi syarat sebagai PKP harus melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP. Jika tidak, otoritas pajak dapat mengukuhkan PKP secara jabatan dan dapat mengih pajak terutangnya sejak kewajiban subjektif dan objektifnya timbul, paling lama lima tahun ke belakang (Dudi, 2012) Dalam memori penjelasan Pasal 2 ayat (1) ini ditegaskan bahwa Pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak mempunyai akibat hukum yang luas antara lain berkaitan dengan pembuatan Faktur Pajak, penerapan tarif 0%, pengkreditan Pajak Masukan, dan pengembalian kelebihan pembayaran PPN/PPnBM. Agar pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terlaksana secara efektif dan lancar, sudah sewajarnya apabila pengusaha yang sejak semula bermaksud melakukan penyerahan BKP, penyerahan JKP, ekspor BKP Berwujud, ekspor BKP Tidak Berwujud, dan/atau ekspor JKP dapat melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP. Baik di Pasal 3A Undang-undang PPN maupun di Pasal 2 ayat (1) PP Nomor 1 Tahun 2012, Pengusaha Kecil dikecualikan dari kewajiban untuk melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP.
Batasan Pengusaha Kecil diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010. Berdasarkan ketentuan ini Pengusaha Kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000,00.
2.1.4
Kewajiban Wajib pajak Kewajiban wajib pajak antara lain (Suryarini dan Tarmudji, 2011 : 22):
1)
Mendaftarkan diri dan meminta Nomor Pokok Wajib pajak (NPWP) apabila belum mempunyai NPWP.
2)
Mengambil sendiri blangko Surat Pemberitahuan (SPT) dan blangko perpajakan lainnya di tempat-tempat yang ditentukan oleh DJP.
3)
Mengisi dengan lengkap, jelas dan benar dan menandatangani sendiri SPT dan kemudian mengembalikan SPT itu kepada kantor inspeksi pajak dilengkapi dengan lampiran-lampiran.
4)
Melakukan pelunasan dan melakukan pembayaran pajak yang ditentukan oleh Undang-Undang.
5)
Menghitung sendiri, menetapkan besarnya jumlah dan membayar pajak dalam tahun yang sedang berjalan, sesuai dengan pajak dari tahun terakhir atau sesuai dengan SKP yang dikeluarkan oleh DJP.
6)
Menghitung dan menetapkan sendiri pajak yang terutang menurut cara yang ditentukan.
7)
Menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan-pencatatan.
8)
Dalam hal terjadi pemeriksaan pajak, wajib pajak wajib: a. Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas wajib pajak atau objek yang terutang pajak. b. Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan. c. Memberikan keterangan yang diperlukan.
9)
Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang diminta, wajib pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan.
2.1.5
Hak-hak Wajib pajak Hak-hak wajib pajak antara lain (Suryarini dan Tarmudji, 2011 : 23): 1)
Menerima tanda bukti pemasukan SPT.
2)
Mengajukan permohonan dan penundaan penyampaian SPT.
3)
Melakukan pembetulan sendiri SPT yang telah dimasukkan ke KPP.
4)
Mengajukan permohonan penundaan dan pengangsuran pembayaran pajak sesuai dengan kemampuannya.
5)
Mengajukan permohonan perhitungan atau pengembalian kelebihan pembayaran pajak serta berhak memperoleh kepastian terbitnya surat
keputusan kelebihan pembayaran pajak, surat keputusan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. 6)
Mendapatkan kepastian batas ketetapan pajak yang terutang dan penerbitan Surat Pemberitahuan.
7)
Mengajukan permohonan pembetulan salah tulis atau salah hitung atau kekeliruan yang terdapat dalam Surat Ketetapan Pajak (SKP) dalam penerapan peraturan perundang-undangan perpajakan.
8)
Mengajukan surat keberatan dan mohon kepastian terbitnya surat keputusan atas surat keberatannya.
9)
Mengajukan permohonan banding atas surat keputusan keberatan yang diterbitkan oleh DJP.
10) Mengajukan permohonan penghapusan dan pengurangan pengenaan sanksi perpajakan serta pembetulan ketetapan pajak yang salah atau keliru. 11) Memberikan kuasa khusus kepada orang yang dipercaya untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya.
2.1.6
Nomor Pokok Wajib pajak/NPWP Waluyo (2011: 24), menjelaskan sebagaimana tertuang dalam pasal 2 ayat
(4a) undang-undang KUP bahwa kewajiban perpajakan bagi wajib pajak yang diterbitkan NPWP dan atau yang dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak seara jabatan dimulai sejak saat wajib pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif. Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkan nomor pokok wajib pajak (NPWP)
dan/atau dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak. NPWP adalah nomor yang diberikan kepada wajib pajak sebagai sarana administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanpa pengenal atau identitas wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Oleh karena itu, kepada setiap wajib pajak hanya di berikan satu NPWP dan NPWP tersebut berfungsi: 1. Sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak 2. Untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan.
2.1.7
Kepatuhan Menurut Gibson dalam Jatmiko (2006:16) kepatuhan adalah motivasi
seseorang, kelompok atau organisasi untuk berbuat atau tidak berbuat sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Perilaku patuh seseorang merupakan interaksi antara perilaku individu, kelompok dan organisasi. Secara konsep, kepatuhan diartikan dengan adanya usaha dalam mematuhi peraturan hukum oleh seseorang atau organisasi. Aturan yang berlaku dalam perpajakan, merupakan aturan perpajakan. Sehingga dalam hubungannya dengana wajib pajak yang patuh, maka pengertian kepatuhan wajib pajak merupakan suatu ketaatan untuk melakukan ketentuanketentuan atau aturan-aturan perpajakan yang diwajibkan atau diharuskan untuk dilaksanakan (Kiryanto, dalam Jatmiko, 2006:16). Kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan
peraturan
perpajakannya
dipengaruhi
oleh
motivasi
WP.
Pelaksanaan atas kewajiban mengisi, menyampaikan atau melaporkan SPT
tahunan serta membayar pajak terutangnya, mencerminkan kepatuhan WP yang bersangkutan. Berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 192/PMK.03/2007
Tentang Tata Cara Penetapan Wajib pajak dengan kriteria tertentu dalam rangka pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak, yang disebut wajib pajak patuh yaitu: Pasal 1: Wajib pajak dengan kriteria tertentu yang selanjutnya disebut sebagai wajib pajak patuh adalah wajib pajak yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan; b. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin mengangsur atau menunda pembayaran pajak; c. Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut; dan d. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.
Pasal 2: 1) Tepat waktu dalam penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a meliputi: a. Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan tepat waktu dalam 3 (tiga) tahun terakhir; b. Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat dalam tahun terakhir untuk Masa Pajak Januari sampai November tidak lebih dari 3 (tiga) Masa Pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut; dan c. Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat sebagaimana dimaksud pada huruf b telah disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Masa Pajak berikutnya. 2) Tidak mempunyai tunggakan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b adalah keadaan pada tanggal 31 Desember tahun sebelum penetapan sebagai wajib pajak patuh dan tidak termasuk utang pajak yang belum melewati batas akhir pelunasan. 3) Laporan keuangan yang diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf c harus disusun dalam bentuk panjang (long form report) dan menyajikan rekonsiliasi laba rugi komersial dan fiskal bagi Wajib pajak yang wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan 4) Pendapat akuntan atas laporan keuangan yang diaudit oleh akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditandatangani oleh akuntan publik
yang tidak sedang dalam pembinaan lembaga pemerintah pengawas akuntan publik. Pasal 3: 1) Direktur Jenderal Pajak menetapkan Wajib pajak berdasarkan hasil penelitian terhadap pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 paling lambat tanggal 20 Januari. 2) Penetapan Wajib pajak Patuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk jangka waktu 2 (dua) tahun kalender. Pasal 4: Terhadap permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib pajak Patuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan penelitian atas: a. kelengkapan Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya; b. kebenaran penulisan dan penghitungan pajak; c. kebenaran Kredit Pajak atau Pajak Masukan berdasarkan hasil konfirmasi dalam sistem aplikasi Direktorat Jenderal Pajak atau konfirmasi dengan menggunakan surat; d. kebenaran pembayaran pajak yang telah dilakukan oleh Wajib pajak; dan e. kebenaran alamat yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan tersebut atau dalam surat pemberitahuan perubahan alamat.
Pasal 5: 1)
Direktur
Jenderal
Pajak
setelah
melakukan
penelitian
atas
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib pajak
Patuh,
menerbitkan
Surat
Keputusan
Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1(satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai. 2)
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diterbitkan apabila hasil penelitian
menyatakan
tidak
lebih
bayar,
lampiran
Surat
Pemberitahuan tidak lengkap, pembayaran pajak tidak benar, atau alamat
tidak
sesuai
dengan
yang
tercantum
dalam
Surat
Pemberitahuan atau dengan pemberitahuan perubahan alamat. 3) Dalam hal Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak tidak diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepada Wajib pajak diberitahukan secara tertulis. Pasal 6: 1) Surat
Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 tidak dapat diterbitkan kepada wajib pajak Patuh apabila dalam masa berlakunya jangka waktu sebagai wajib pajak Patuh:
a. terhadap wajib pajak tersebut dilakukan tindakan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan; b. Wajib pajak terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak tertentu 2 (dua) Masa Pajak berturut-turut; c. Wajib pajak terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak tertentu 3 (tiga) Masa Pajak tidak berturutturut dalam 1 (satu) tahun kalender; d. Wajib pajak terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa tidak lebih 3 (tiga) Masa Pajak secara berturut-turut dan terdapat penyampaian Surat Pemberitahuan Masa yang lewat dari batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Masa Pajak berikutnya; atau e. Wajib pajak terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan. 2) Terhadap wajib pajak Patuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberitahukan secara tertulis bahwa kepada Wajib pajak yang bersangkutan tidak dapat diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak. Pasal 7: Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan wajib pajak dengan kriteria tertentu dan prosedur dalam rangka pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak, diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
2.2
Penelitian Terdahulu Tabel 2 berikut merupakan mapping penelitian terdahulu. Tabel 2 Mapping Penelitian Terdahulu
No
Judul
Nama
Variabel X
Variabel Y
Hasil penelitian
1
Analisis Perilaku Wajib pajak Orang Pribadi Terhadap Pelaksanaan Self assessment system: Suatu Studi Di Bangkalan
Tarjo & Indra Kusuma wati, 2005
Perilaku wajib pajak
Pelaksanaan self assessment system
Dari hasil penelitian, diperoleh kesimpulan bahwa self assessement system di Bangkalan belum terlaksana dengan baik. Dilihat dari fungsi Fiskus, ternyata self assessment system di Bangkalan juga belum terlaksana dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan informasi tentang penyuluhan yang tidak merata. Selain itu fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Fiskus sulit diukur dari persepsi Wajib Pajak, karena dalam melakukan pengawasan Fiskus melakukan fungsinya secara berlebihan. Sedangkan pada fungsi pelayanan, ternyata mereka yang sering datang ke KPP adalah Wajib pajak yang fungsi penghitungannya dilakukan oleh Fiskus
2
Kepatuhan Wpop Dalam Kaitannya Dengan System Self assessment (Studi Kasus Wajib pajak Di Kabupaten Demak)
Sukardi 2003
Kepatuhan wajib pajak orang pribadi
Pelaksanaan self assessment system
Dari hasil penelitian, diperoleh temuan bahwa secara formal, wajib pajak perorangan di kabupaten demak adalah mematuhi ketentuan perpajakan. Adapun tingkat pemahaman ketentuan perpajakan dari wajib pajak tersebut masih rendah, terbukti dari 36 wajib pajak yang telah memiliki NPWP, ternyata yang mampu melaksanakan kewajiban perpajakannya hanya 25%.
3
Pengaruh Self assessment system Terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat
Lidya purnama sari 2009
X1: NPWP
Penerimaan pajak penghasilan
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa secara parsial NPWP tidak berpengaruh secara signifikan terhadap PPh, sedangkan SSP PPh Pasal 25 berpengaruh signifikan positif terhadap penerimaan PPh. Secara simultan NPWP dan SSP PPh pasal25 berpengaruh secara signifikan positif terhadap penerimaan PPh.
Pengaruh Penerapan Self assessment system Terhadap Kecenderungan Penghindaran Pajak Penghasilan (Studi Kasus Wajib pajak Penghasilan Orang Pribadi Pada Kpp Pratama Sidoarjo Barat)
Nur Kamila Jilan Maulida 2010
Pengaruh Penerapan Self assessment system
Penghindara n Pajak Penghasilan
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Kesadaran Wajib pajak berpengaruh terhadap kecenderungan Penghindaran Pajak, sedangkan Kejujuran Wajib Pajak, Hasrat Membayar Pajak, dan Kedisiplinan Wajib pajak tidak berpengaruh terhadap kecenderungan Penghindaran Pajak.
4
X2: SSP PPH Pasal 25
2.3
Kerangka Pemikiran Menurut Zain, dalam Andriyani, 2011: 10, variabel self assessment system
berdasarkan prinsip pemungutan pajak ada empat, yaitu kewajiban menghitung sendiri, kewajiban memperhitungkan sendiri, kewajiban membayar sendiri, dan kewajiban melaporkan sendiri. Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat digambarkan dengan kerangka pemikiran atas self assessment system dan pengaruhnya terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi (studi kasus pada pengusaha kena pajak di wilayah kota Gorontalo yang terdaftar di KPP Pratama Gorontalo)” seperti pada gambar 1 sebagai berikut:
Gambar 1 Kerangka Pikir
Self Assessment System (X)
Kepatuhan Wajib Pajak (Y)
Dasar teori: Self assessment system yaitu suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang (Mardiasmo, 2008: 7)
1. 2. 3. 4.
Dasar teori: Menurut Gibson kepatuhan adalah motivasi seseorang, kelompok atau organiself assessment systemi untuk berbuat atau tidak berbuat sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan (Jatmiko 2006:16).
Penelitian terdahulu: Tarjo & Indra Kusumawati, 2005 Sukardi 2003 Lidya Purnama Sari 2009 Nur Kamila Jilan Maulida 2010
Permasalahan penelitian:
Seberapa besar pengaruh penerapan self assessment system terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi (pengusaha kena pajak) di wilayah kota Gorontalo?
Hipotesis: Diduga penerapan self assessment system berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi (pengusaha kena pajak)
2.4 Hipotesis Hipotesis berasal dari dua kata, yaitu hypo (belum tentu benar) dan tesis (kesimpulan). Menurut Sugiyono (2005) hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah pada suatu penelitian. Berdasarkan teori dan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan, maka hipotesis dalam penelitian ini yaitu diduga terdapat pengaruh self assessment system terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi (pengusaha kena pajak) di wilayah kota Gorontalo.