1
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS 2.1 KAJIAN TEORITIS 2.1.1 Model Pembelajaran Cooperative Learning Tipe Jigsaw Pembelajaran kooperatif muncul dari konsep bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit jika mereka saling berdiskusi dengan temannya. Siswa secara rutin bekerja dalam kelompok untuk saling membantu memecahkan masalah-masalah yang kompleks. Jadi, hakekat sosial dan penggunaan kelompok sejawat menjadi aspek utama dalam pembelajaran kooperatif (Trianto, 2007:41). Menurut Roger, dkk (dalam Huda, 2011:29) Pembelajaran kooperatif merupakan aktivitas pembelajaran kelompok yang diorganisir oleh satu prinsip bahwa pembelajaran harus didasarkan pada perubahan informasi secara sosial diantara kelompok-kelompok pembelajar yang didalamnya setiap pembelajar bertanggung
jawab
atas
pembelajarannya
sendiri
dan
didorong
untuk
meningkatkan pembelajaran anggota-anggota yang lain. Sedangkan, Parker (dalam Huda, 2011:29) mendefinisikan kelompok kecil kooperatif sebagai suasana pembelajaran dimana para siswa saling berinteraksi dalam kelompokkelompok kecil untuk mengerjakan tugas akademik demi mencapai tujuan bersama. Didalam kelas kooperatif siswa belajar bersama dalam kelompokkelompok kecil yang terdiri dari 4-6 orang siswa yang sederajat tetapi heterogen, kemampuan, jenis kelamin, suku/ras, dan satu sama lain yang saling membantu. 8
2
Tujuan dibentuknya kelompok tersebut adalah untuk memberikan kesempatan kepada semua siswa untuk dapat terlibat secara aktif dalam proses berfikir dan kegiatan belajar. Selama bekerja dalam kelompok, tugas anggota kelompok adalah mencapai ketuntasan materi yang disajikan oleh guru, dan saling membantu teman sekelompoknya untuk mencapai ketuntasan belajar (Trianto, 2007:42). Walaupun prinsip dasar pembelajaran kooperatif tidak berubah, terdapat beberapa variasi dari model tersebut. Dalam pembahasan model Cooperative Learning pada penelitian ini dibatasi mengenai model Cooperative Learning tipe Jigsaw. Arends (dalam Putra, 2012) Model pembelajaran jigsaw pertama kali dikembangkan oleh Elliot Aronson dan teman teman di Universitas Texas pada tahun kurun waktu 1971 sampai 1978. Mereka mengembangkan model tersebut berdasarkan karakteristik kelas yang sangat heterogen dari segi latar belakang sosial. Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam suatu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan bagian tersebut kepada anggota kelompok lainnya. Model pembelajaran kooperatif model jigsaw adalah sebuah model belajar kooperatif yang menitik beratkan kepada kerja kelompok siswa dalam bentuk kelompok kecil, seperti yang diungkapkan Lie (dalam Fadhly, 2012:22) bahwa pembelajaran kooperatif model jigsaw ini merupakan model belajar kooperatif dengan cara siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri atas empat sampai dengan enam orang secara heterogen dan siswa bekerja sama saling ketergantungan positif dan bertanggung jawab secara mandiri. Dalam model
3
pembelajaran
jigsaw
ini
siswa
memiliki
banyak
kesempatan
untuk
mengemukakan pendapat, dan mengelola informasi yang didapat dan dapat meningkatkan keterampilan berkomunikasi, anggota kelompok bertanggung jawab atas keberhasilan kelompoknya dan ketuntasan bagian materi yang dipelajari, dan dapat menyampaikan kepada kelompoknya. Menurut Rusman (dalam Fadhly, 2012:22) pembelajaran model jigsaw ini dikenal juga dengan kooperatif para ahli. Karena anggota setiap kelompok dihadapkan pada permasalahan yang berbeda. Namun, permasalahan yang dihadapi setiap kelompok sama, kita sebut sebagai team ahli yang bertugas membahas permasalahan yang dihadapi. Selanjutnya, hasil pembahasan itu di bawa kekelompok asal dan disampaikan pada anggota kelompoknya. Kegiatan yang dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1) Melakukan membaca untuk menggali informasi. Siswa memperoleh topik-topik permasalahan untuk di baca sehingga mendapatkan informasi dari permasalahan tersebut, (2) Diskusi kelompok ahli. Siswa yang telah mendapatkan topik permasalahan yang sama bertemu dalam satu kelompok atau kita sebut dengan kelompok ahli untuk membicarakan topik permasalahan tersebut, (3) Laporan kelompok, kelompok ahli kembali ke kelompok asal dan menjelaskan dari hasil yang didapat dari diskusi tim ahli, (4) Kuis dilakukan mencakup semua topik permasalahan yang dibicarakan tadi, (5) Perhitungan skor kelompok dan menentukan penghargaan kelompok. Dalam metode Jigsaw, siswa bekerja kelompok selama dua kali, yakni dalam kelompok mereka sendiri dan dalam “kelompok ahli”. Setelah masing-
4
masing anggota menjelaskan bagiannya masing-masing kepada teman-teman satu kelompoknya, mereka mulai bersiap untuk diuji secara individu (biasanya dengan kuis). Guru memberikan kuis kepada setiap anggota kelompok untuk dikerjakan sendiri-sendiri, tanpa bantuan siapapun. Skor yang diperoleh setiap anggota dari hasil ujian/kuis individu ini akan menentukan skor yang diperoleh kelompok mereka (Huda, 2011:121). Langkah-langkah pembelajaran Jigsaw menurut Trianto (2007:57) adalah sebagai berikut: (1) Siswa dibagi atas beberapa kelompok (tiap kelompok anggotanya 5-6 orang), (2) Materi pelajaran diberikan kepada siswa dalam bentuk teks yang telah dibagi-bagi menjadi beberapa sub bab, (3) Setiap anggota kelompok membaca sub bab yang ditugaskan dan bertanggung jawab untuk mempelajarinya, (4) Anggota dari kelompok lain yang telah mempelajari sub bab yang sama bertemu dalam kelompok-kelompok ahli untuk mendiskusikannya, (5) Setiap anggota kelompok ahli setelah kembali kekelompoknya bertugas mengajar teman-temannya, (6) Pada pertemuan dan diskusi kelompok asal, siswa-siswa dikenai tagihan berupa kuis individu. Persyaratan lain yang perlu disiapkan guru, yaitu Bahan Kuis, Lembar Kerja Siswa (LKS), dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Berikut ini disajikan ilustrasi penerapan tim-tim kelompok Jigsaw yang dapat dilihat pada Gambar 2.1 :
5
Kelompok Asal (5 atau 6 anggota yang heterogen dikelompokkan)
dst
dst Kelompok Ahli (tiap kelompok ahli memiliki satu anggota dari tim-tim asal)
Gambar 2.1 Ilustrasi yang menunjukkan Tim Jigsaw (Trianto, 2007:58)
Aronson (dalam Firmanu, 2012) Pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, terdapat kelompok asal dan kelompok ahli. Kelompok asal yaitu kelompok induk siswa yang beranggotakan siswa dengan kemampuan, asal, dan latar belakang keluarga yang beragam. Kelompok asal merupakan gabungan dari beberapa ahli. Kelompok ahli yaitu kelompok siswa yang terdiri dari anggota kelompok asal yang berbeda yang ditugaskan untuk mempelajari dan mendalami topik tertentu dan menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan topiknya untuk kemudian dijelaskan kepada anggota kelompok asal. Hubungan antara kelompok asal dan kelompok ahli digambarkan sebagai berikut :
6
Kelompok Asal
Kelompok Ahli
Gambar 2.2 Ilustrasi Kelompok Jigsaw (Aronson)
Langkah-langkah dalam penerapan teknik Jigsaw Aronson (dalam Firmanu, 2012) adalah sebagai berikut : Guru membagi suatu kelas menjadi beberapa kelompok, dengan setiap kelompok terdiri dari 4 – 6 siswa dengan kemampuan yang berbeda. Kelompok ini disebut kelompok asal. Jumlah anggota dalam kelompok asal menyesuaikan dengan jumlah bagian materi pelajaran yang akan dipelajari siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Dalam tipe Jigsaw ini, setiap siswa diberi tugas mempelajari salah satu bagian materi pembelajaran tersebut. Semua siswa dengan materi pembelajaran yang sama belajar bersama dalam kelompok yang disebut kelompok ahli (Counterpart Group/CG). Dalam kelompok ahli, siswa mendiskusikan bagian materi
pembelajaran
yang
sama,
serta
menyusun
rencana
bagaimana
menyampaikan kepada temannya jika kembali ke kelompok asal. Kelompok asal ini oleh Aronson disebut kelompok Jigsaw (gigi gergaji).
7
Misal suatu kelas dengan jumlah 40 siswa dan materi pembelajaran yang akan dicapai sesuai dengan tujuan pembelajarannya terdiri dari 5 bagian materi pembelajaran, maka dari 40 siswa akan terdapat 5 kelompok ahli yang beranggotakan 8 siswa dan 8 kelompok asal yang terdiri dari 5 siswa. Setiap anggota kelompok ahli akan kembali ke kelompok asal memberikan informasi yang telah diperoleh atau dipelajari dalam kelompok ahli. Guru memfasilitasi diskusi kelompok baik yang ada pada kelompok ahli maupun kelompok asal.
5 Gambar 2.3 Contoh Pembentukan Kelompok Jigsaw (Aronson)
Setelah siswa berdiskusi dalam kelompok ahli maupun kelompok asal, selanjutnya dilakukan presentasi masing-masing kelompok atau dilakukan pengundian salah satu kelompok untuk menyajikan hasil diskusi kelompok yang telah dilakukan agar guru dapat menyamakan persepsi pada materi pembelajaran yang telah didiskusikan. Kemudian Guru memberikan kuis untuk siswa secara individual. Guru memberikan penghargaan pada kelompok melalui skor penghargaan berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya. Materi sebaiknya secara alami dapat dibagi
8
menjadi beberapa bagian materi pembelajaran. Perlu diperhatikan bahwa jika menggunakan Jigsaw untuk belajar materi baru maka perlu dipersiapkan suatu tuntunan dan isi materi yang runtut serta cukup sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai. Dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah tidaklah selalu berjalan dengan mulus meskipun rencana telah dirancang sedemikian rupa. Menurut Firmanu (2012), Hal-hal yang dapat menghambat proses pembelajaran terutama dalam penerapan model pembelajaran kooperatif diantaranya adalah sebagai berikut: (1) Kurangnya pemahaman guru mengenai penerapan pembelajaran kooperatif. (2) Jumlah siswa yang terlalu banyak yang mengakibatkan perhatian guru terhadap proses pembelajaran relatif kecil sehingga yang hanya segelintir orang yang menguasai arena kelas, yang lain hanya sebagai penonton. (3) Kurangnya
sosialisasi
dari
pihak
terkait
tentang
teknik
pembelajaran
kooperatif. (4) Kurangnya buku sumber sebagai media pembelajaran. (5) Terbatasnya pengetahuan siswa akan sistem teknologi dan informasi yang dapat mendukung proses pembelajaran. Agar pelaksanaan pembelajaran kooperatif dapat berjalan dengan baik, maka upaya yang harus dilakukan adalah sebagai berikut: (1) Guru senantiasa mempelajari teknik-teknik penerapan model pembelajaran kooperatif di kelas dan menyesuaikan dengan materi yang akan diajarkan. (2) Pembagian jumlah siswa yang merata, dalam artian tiap kelas merupakan kelas heterogen. (3) Diadakan sosialisasi dari pihak terkait tentang teknik pembelajaran kooperatif. (4) Meningkatkan sarana pendukung pembelajaran terutama buku sumber. (5)
9
Mensosialisasikan kepada siswa akan pentingnya sistem teknologi dan informasi yang dapat mendukung proses pembelajaran (Firmanu, 2012). Model pembelajaran Cooperative tipe Jigsaw yang diterapkan pada penelitian ini mengacu berdasarkan langkah-langkah menurut Trianto (2007:57). Pada model pembelajaran ini, persyaratan lain yang perlu disiapkan guru, yaitu Bahan Kuis, Lembar Kerja Siswa (LKS), dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Sehingganya akan mempermudah peneliti dalam penerapan pembelajaran berkelompok ketika proses belajar mengajar berlangsung. Hal tersebut yang mendasari peneliti untuk menerapkan langkah-langkah Jigsaw menurut Trianto (2007:57) dengan ilustrasi Gambar 2.1 yang telah ditunjukkan pada pembahasan sebelumnya. Dari berbagai uraian yang telah dikemukakan tentang pembelajaran kooperatif diatas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang didasarkan atas kerja kelompok yang dilakukan utuk mencapai tujuan bersama. Dalam pembelajaran kooperatif, selain mempelajari materi siswa juga harus mempelajari keterampilan kooperatif. Keterampilan kooperatif berfungsi untuk melancarkan peranan hubungan kerja dan peranan tugas agar kelompok dapat bekerjasama secara aktif dan produktif. Dengan pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw seperti ini, diharapkan terbentuk kreativitas, kemandirian, kepemimpinan dan prakarsa yang baik pada diri siswa yang nantinya akan meningkatkan hasil belajar siswa serta penerapannya mampu menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab.
10
2.1.2 Metode Guided Inquiry (Inquiry Terbimbing) Suatu pembelajaran pada umumnya akan lebih efektif bila diselenggarakan melalui model-model pembelajaran yang termasuk rumpun pemrosesan informasi. Hal ini dikarenakan model-model pemrosesan informasi menekankan pada bagaimana seseorang berfikir dan bagaimana dampaknya terhadap cara-cara mengolah informasi. Inti dari berpikir yang baik adalah kemampuan untuk memecahkan masalah. Dasar dari pemecahan masalah adalah kemampuan untuk belajar dalam situasi proses berfikir. Dengan demikian, hal ini dapat diimplementasikan bahwa kepada siswa hendaknya diajarkan bagaimana belajar yang meliputi apa yang diajarkan, bagaimana hal itu diajarkan, jenis kondisi belajar, dan memperoleh pandangan baru. Salah satu yang termasuk dalam model pemrosesan informasi adalah model pembelajaran inkuiri (Trianto 2007:134) Kuhlthau (dalam Sumarmi, 2012:17) Inkuri dalam bahasa inggris Inquiry, berarti pertanyaan, atau pemeriksaan, penyelidikan. Inkuiri sebagai proses umum yang dilakukan manusia untuk mencari atau memahami informasi (Trianto 2007:135). Inkuiri adalah pendekatan pembelajaran dimana siswa menemukan, menggunakan variasi sumber informasi dan ide untuk lebih memahami suatu permasalahan, topik atau isu. Hal ini tidak hanya sekedar menjawab pertanyaan tetapi juga melalui investigasi, eksplorasi, mencari, bertanya, meneliti dan mempelajari. Inkuiri tidak berdiri sendiri tetapi menyatu dengan interst, tantangan bagi murid untuk menghubungkan antara kurikulum dengan dunia nyata.
11
Menurut Gulo (dalam Trianto 2007:135) menyatakan bahwa strategi inkuiri berarti suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri. Sasaran utama kegiatan pembelajaran inkuiri adalah: (1) Keterlibatan siswa secara maksimal dalam proses kegiatan belajar, (2) Keterarahan kegiatan secara logis dan sistematis pada tujuan pembelajaran, (3) Mengembangkan sikap percaya pada diri siswa tentang apa yang ditemukan dalam proses inkuiri. Tujuan pembelajaran inkuiri adalah membantu siswa bagaimana merumuskan pertanyaan, mencari jawaban atau pemecahan untuk memuaskan keingintahuannya juga untuk membantu teori dan gagasannya tentang dunia. Lebih jauh lagi dikatakan, pembelajaran inkuiri juga bertujuan untuk mengembangkan tingkat berfikir dan keterampilan berfikir kritis (Sumarmi, 2012:19). Sebagaimana yang diungkapkan oleh Joyce (dalam Sariyanto, 2012) menyatakan bahwa “ The general goal of inquiry training is to help students develop the intellectual discipline and skills necessary to raise questions and search out answers stemming from their curiosity”. Dalam pembelajaran inkuiri diharapkan siswa secara maksimal terlibat langsung dalam proses kegiatan belajar, sehingga dapat
meningkatkan kemampuan siswa tersebut
mengembangkan sikap percaya diri yang dimiliki oleh siswa tersebut.
dan
12
Menurut Trianto (2007:135-136) menyatakan bahwa kondisi umum yang merupakan syarat timbulnya kegiatan inkuiri bagi siswa adalah: (1) Aspek sosial di kelas dan suasana terbuka yang mengundang siswa berdiskusi, (2) Inkuiri berfokus pada hipotesis, dan (3) Penggunaan fakta sebagai evidensi (informasi, fakta). Untuk menciptakan kondisi seperti itu, peranan guru adalah sebagai berikut: (1) Motivator, memberi rangsangan agar siswa aktif dan bergairah berfikir. (2) Fasilitator, menunjukkan jalan keluar jika siswa mengalami kesulitan. (3) Penanya, menyadarkan siswa dari kekeliruan yang mereka buat. (4) Administrator, bertangguang jawab terhadap seluruh kegiatan kelas. (5) Pengarah, memimpin kegiatan siswa untuk mencapai tujuan yang diharapkan. (6) Manager, mengelola sumber belajar, waktu dan organisasi kelas. (7) Rewarder, memberi penghargaan pada prestasi yang dicapai siswa. Peran guru adalah menjadi fasilitator dalam proses pembelajaran, bukan memberikan informasi atau ceramah kepada siswa. Guru juga harus memfokuskan pada tujuan pembelajaran, yaitu mengembangkan tingkat berfikir tinggi dan keterampilan berfikir kritis siswa. Setiap pertanyaan yang diajukan siswa sebaiknya tidak langsung dijawab oleh guru, namun siswa diarahkan untuk berfikir tentang jawaban dari pertanyaan tersebut (Sumarmi, 2012:19) Pada penelitian ini sintaks atau tahapan pembelajaran yang digunakan mengadaptasi dari tahapan pembelajaran inkuiri yang dikemukakan oleh Eggen & Kauchak (dalam Trianto (2007:141-142). Adapun sintaks atau tahapan pembelajaran inkuiri akan disajikan dalam Tabel 2.1 sebagai berikut:
13
Tabel 2.1 Tahap Pembelajaran Inkuiri Fase 1. Menyajikan Pertanyaan
Perilaku Guru Guru membimbing siswa mengidentifikasi masalah dan
atau Merumuskan
masalah dituliskan dipapan tulis. Guru membagi siswa
Masalah
dalam kelompok.
2. Membuat Hipotesis
Guru memberikan kesempatan pada siswa untuk curah pendapat dalam membentuk hipotesis. Guru membimbing siswa dalam menentukan hipotesis yang relevan dengan permasalahan dan memprioritaskan hipotesis mana yang menjadi prioritas penyelidikan.
3. Merancang dan
Guru
memberikan
kesempatan
langkah-langkah
pada
menentukan
untuk memperoleh
hipotesis.
informasi
langkah-langkah percobaan. Guru membimbing siswa
membimbing
sesuai
untuk
Melakukan Percobaan
Guru
yang
siswa
siswa
dengan
mengurutkan
mendapatkan informasi melalui percobaan. 4. Mengumpulkan dan
Guru memberi kesempatan pada tiap kelompok untuk
Menganalisis Data
menyampaikan hasil pengolahan data yang terkumpul.
5. Membuat Kesimpulan
Guru membimbing siswa dalam membuat kesimpulan.
Sumarmi (2012:24) menguraikan empat tingkat pembelajaran Inkuiri yang disajikan dalam Tabel 2.2 sebagai berikut: Tabel 2.2 Jenis-Jenis Inkuiri No 1.
Jenis Inkuiri
Penjelasan
Konfirmasi
Siswa mempelajari konsep-konsep tertentu berdasarkan
(Confirmation)
penjelasan guru dan keputusan penyelidikan sudah direncanakan dari awal oleh guru.
2.
Inkuiri Berstruktur
Siswa melakukan penyelidikan berdasarkan
(Structured Inquiry)
permasalahan dan langkah-langkah yang telah ditentukan oleh guru.
14
3.
Inkuiri Terbimbing
Siswa melakukan penyelidikan berdasarkan
(Guided Inquiry)
permasalahan yang telah disediakan oleh guru, dan pemilihan langkah-langkah penyelidikan ditentukan sendiri oleh siswa.
4.
Inkuiri Terbuka
Siswa melakukan penyelidikan berdasarkan
(Open Inquiry)
permasalahan yang mereka buat dan langkah-langkah yang disusun ditentukan sendiri oleh mereka berdasarkan topik-topik yang tertentu.
Adapun model pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah model pembelajaran inkuri jenis Guided Inquiry atau pembelajaran Inkuiri Terbimbing. Guided Inquiry adalah sebagai proses pembelajaran dimana guru menyediakan unsur-unsur asas dalam satu pelajaran dan kemudian meminta pelajar membuat generalisasi. Menurut Sanjaya (dalam Sariyanto, 2012), pembelajaran inkuiri terbimbing yaitu suatu model pembelajaran inkuiri yang dalam pelaksanaannya guru menyediakan bimbingan atau petunjuk cukup luas kepada siswa. Sebagian perencanaannya dibuat oleh guru, siswa tidak merumuskan problem atau masalah. Dalam pembelajaran inkuiri terbimbing guru tidak melepas begitu saja kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh siswa. Guru harus memberikan pengarahan dan bimbingan kepada siswa dalam melakukan kegiatan-kegiatan sehingga siswa yang berifikir lambat atau siswa yang mempunyai intelegensi rendah tetap mampu mengikuti kegiatan-kegiatan yang sedang dilaksanakan dan siswa mempunyai kemampuan berpikir tinggi tidak memonopoli kegiatan oleh sebab itu guru harus memiliki kemampuan mengelola kelas yang bagus.
15
Yanger (dalam Sumarmi, 2012:25) menyatakan, bahwa kelas yang sudah menggunakan standar Guided Inquiry, guru mengadaptasi buku teks untuk fokus pada inkuiri, guru memulai bertanya pada para siswa untuk menggali pengetahuan awal, siswa melakukan investigasi untuk mendapatkan pengetahuan dan apa yang ingin mereka temukan, pertama menggali pertanyaan kemudian merencanakan aktivitas untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, dan rencana siswa untuk melakukan investigasi sangat didukung oleh guru. Proses inkuiri yang dinyatakan oleh Gulo (dalam Trianto, 2007:137-138), bahwa inkuiri tidak hanya mengembangkan kemampuan intelektual tetapi seluruh potensi yang ada, termasuk pengembangan emosional dan keterampilan. Dalam pelaksanaan pembelajaran inkuiri terbimbing tersebut kemampuan yang diperlukan mengacu pada langkah-langkah yaitu: (1) Mengajukan Pertanyaan atau Permasalahan, (2) Merumuskan Hipotesis, (3) Mengumpulkan Data, (4) Analisis Data, (5) Membuat Kesimpulan. Kegiatan inkuiri dimulai ketika pertanyaan atau permasalahan diajukan. Untuk meyakinkan bahwa pertanyaan sudah jelas, pertanyaan dituliskan di papan tulis, kemudian siswa diminta untuk merumuskan hipotesis. Hipotesis adalah jawaban sementara atas pertanyaan atau solusi permasalahan yang dapat diuji dengan data. Untuk memudahkan proses ini, guru menanyakan kepada siswa gagasan mengenai hipotesis yang mungkin. Dari semua gagasan yang ada, dipilih salah satu hipotesis yang relevan dengan permasalahan yang diberikan. Hipotesis digunakan untuk menuntun proses pengumpulan data. Data yang dihasilkan dapat berupa tabel, matriks, atau grafik. Siswa bertanggung jawab menguji hipotesis
16
yang telah dirumuskan dengan menganalisis data yang telah diperoleh. Faktor penting dalam menguji hipotesis adalah pemikiran ’benar’ atau ’salah’. Setelah memperoleh kesimpulan, dari data percobaan, siswa dapat menguji hipotesis yang telah dirumuskan. Bila ternyata hipotesis itu salah atau ditolak, siswa dapat menjelaskan sesuai dengan proses inkuiri yang telah dilakukannya. Langkah penutup dari pembelajaran inkuiri adalah membuat kesimpulan sementara berdasarkan data yang diperoleh siswa. Sanjaya (dalam Sariyanto, 2012) menyatakan bahwa pembelajaran inkuiri terbimbing mengikuti langkah-langkah sebagai berikut: (1) Orientasi, Pada tahap ini guru melakukan langkah untuk membina suasana atau iklim pembelajaran yang kondusif. (2) Merumuskan masalah, yaitu langkah membawa siswa pada suatu persoalan yang mengandung teka-teki.
(3) Merumuskan hipotesis,
Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu permasalahan yang dikaji. (4) Mengumpulkan data, yaitu aktifitas menjaring informasi yang dibutuhkan untuk menguji hipotesis yang diajukan. (5) Menguji hipotesis, yaitu menentukan jawaban yang dianggap diterima sesuai dengan data atau informasi yang diperoleh. (6) Merumuskan kesimpulan, yaitu proses mendeskripsikan temuan yang diperoleh berdasarkan hasil pengujian hipotesis. Sudjana (dalam Trianto, 2007:142) menyatakan ada lima tahapan yang ditempuh dalam melaksanakan inkuiri terbimbing yaitu: (1) Merumuskan masalah, (2) Menetapkan jawaban sementara atau lebih dikenal dengan istilah hipotesis, (3) Mencari informasi, data, dan fakta yang diperlukan untuk menjawab
17
hipotesis atau permasalahan, (4) Menarik kesimpulan jawaban atau generalisasi, dan (5) Mengaplikasikan kesimpulan. Keunggulan menggunakan metode Guided Inquiry bagi siswa menurut Kuhlthau (dalam Trianto, 2007:23) adalah sebagai berikut: (1) Mengembangkan keterampilan sosial, bahasa, dan membaca. (2) Mengontruk pemahaman mereka. (3) Membuat siswa mandiri dalam riset dan pembelajaran. (4) Termotivasi untuk membentuk pengalaman tingkat tinggi. (5) Memiliki strategi belajar dan terampil mentrasfer pada proyek inkuiri yang lain. Pada pembelajaran Guided Inquiry terdapat pula kelemahan yang pasti dihadapi pada proses pembelajaran baik secara konsep maupun teknis, kelemahan pembelajaran inkuiri menurut Prambudi (dalam Sariyanto, 2012) adalah: (1) Model ini sulit dalam merencanakan pembelajaran oleh karena terbentur dengan
kebiasaan
siswa
dalam
belajar.
(2)
Kadang-kadang
dalam
mengimplementasikannya, memerlukan waktu yang panjang sehingga sering guru sulit menyesuaikannya dengan waktu yang telah ditentukan. (3) Selama kriteria keberhasilan belajar ditentukan oleh kemampuan siswa menguasai materi pelajaran, maka startegi ini akan sulit diimplementasikan oleh setiap guru. Melalui serangkaian pembelajaran yang menggunakan metode inkuiri terbimbing, maka hasil belajar siswa yang mencakup aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek psikomotor dapat dilatihkan. Sehingga diharapkan hasil belajar siswa dapat meningkat setelah diterapkannya model pembelajaran inkuiri terbimbing. Kaitan antara Guided Inquiry dengan hasil belajar siswa disajikan pada Tabel 2.3 sebagai berikut:
18
Tabel 2.3 Kaitan Antara Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Dan Hasil Belajar TAHAPAN INKUIRI TERBIMBING 1. Penyajikan Masalah
KEGIATAN
2. Mengajukan Hipotesis
3. Pngumpulan Data
4. Analisis Data
Memberikan pertanyaan apersepsi Menunjukan fenomena melalui demonstrasi / poster Menyajikan pertanyaan berdasarkan fenomena pada demonstrasi Menyajikan kompotensikompotensi yang akan dipelajari Memberi pertanyaan arahan dalam membuat hipotesis siswa Menampung jawaban sementara siswa Membagikan LKS Memberi pertayaan mengarah untuk menentukan prosedur percobaan Membimbing siswa selama proses pengambilan data Menyampaikan pertanyaan pengarah untuk menganalisis data percobaan Meminta siswa untuk membuat laporan kelompok
HASIL BELAJAR ASPEK ASPEK KOGNITIF EFEKTIF C1 C2 C3 C4 A1 A2 A3
ASPEK PSIKOMOTOR
P1
P2
P3
19
5. Membuat Kesimpulan
Memberi kesempatan kepada siswa untuk menyampaikan kesimpulan pembelajaran, dengan menunjuk salah satu nomor siswa Memberikan kesempatan pada siswa untuk menjawab hipotesis yang telah dibuatnya pada awal pembelajaran Memberi penguatan
berkaitan dengan kesimpulan yang telah disampaikan siswa
(Sumber: Maryana, 2012:18) Angelo & Cross (dalam Mahuri, 2011) mengungkapkan bahwa sasaran pembelajaran yang lebih mengacu pada aspek kognitif yang dapat dicapai dengan penerapan inkuiri terbimbing ini adalah sebagai berikut: (1) Memahami bidang khusus dari materi pelajaran, (2) Mengembangkan keterampilan proses sains, (3) Mengembangkan kemampuan bertanya, memecahkan masalah dan melakukan percobaan, (4) Menerapkan pengetahuan dalam situasi baru yang berbeda, (5) Mengevaluasi dan mensintesis informasi, ide dan masalah baru, (6) Memperkuat keterampilan berpikir kritis. Dalam pelaksanaan pembelajaran inkuiri terbimbing tersebut peneliti mengacu pada langkah-langkah menurut Gulo (dalam Trianto 2007:137-138)
20
yaitu: (1) Mengajukan Pertanyaan atau Permasalahan, (2) Merumuskan Hipotesis, (3) Mengumpulkan Data, (4) Analisis Data, (5) Membuat Kesimpulan. Dengan alasan bahwa inkuiri terbimbing ini tidak hanya mengembangkan kemampuan intelektual tetapi seluruh potensi yang ada, termasuk pengembangan emosional dan keterampilan. Diharapkan dengan pendekatan tersebut dapat meningkatkan proses pembelajaran yang lebih berorientasi kepada tercapainya kemampuan, keterampilan dan penguasaan siswa terhadap seperangkat konsep atau materi yang diajarkan. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa, dalam penerapan inkuiri terbimbing ini apabila siswa belum pernah mempunyai pengalaman belajar dengan kegiatan-kegiatan inkuiri, maka diperlukan bimbingan yang cukup luas dari guru. Hal inilah yang disebut dengan inkuiri terbimbing. Dalam pembelajaran inkuiri terbimbing, guru tidak melepas begitu saja kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh siswa. Guru harus memberikan pengarahan dan bimbingan kepada siswa dalam melakukan kegiatan-kegiatan sehingga siswa yang berifikir lambat atau siswa yang mempunyai intelegensi rendah tetap mampu mengikuti kegiatankegiatan yang sedang dilaksanakan dan siswa yang berifikir cermat atau mempunyai intelegensi tinggi tidak memonopoli kegiatan oleh sebab itu guru harus memiliki kemampuan mengelola kelas yang baik.
21
2.1.3 Integrasi Penerapan Model Pembelajaran Cooperative Learning Tipe Jigsaw Dengan Metode Guided Inquiry Integrasi menurut Kamus Inggris Indonesia adalah pembauran atau penggabungan hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat atau pembentukkan suatu identitas baru yang serasi, bisa vertikal dan horizontal. Integrasi berasal dari bahasa Inggris “Integration” yang berarti kesempurnaan atau keseluruhan. Jadi, berintegrasi dapat diartikan sebagai bergabung supaya menjadi kesatuan yg utuh (berpadu), dan mengintegrasikan yaitu menggabungkan atau menyatukan. Dalam penerapannya, langkah-langkah model pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw adalah sebagai berikut: (1) Siswa dibagi atas beberapa kelompok (tiap kelompok anggotanya 5-6 orang), (2) Materi pelajaran diberikan kepada siswa dalam bentuk teks yang telah dibagi-bagi menjadi beberapa sub bab, (3) Setiap anggota kelompok membaca sub bab yang ditugaskan dan bertanggung jawab untuk mempelajarinya, (4) Anggota dari kelompok lain yang telah mempelajari sub
bab
yang
mendiskusikannya,
sama (5)
bertemu Setiap
dalam anggota
kelompok-kelompok kelompok
ahli
ahli
setelah
untuk kembali
kekelompoknya bertugas mengajar teman-temannya, (6) Pada pertemuan dan diskusi kelompok asal, siswa-siswa dikenai tagihan berupa kuis individu. Pada model pembelajaran ini, persyaratan lain yang perlu disiapkan guru, yaitu Bahan Kuis, Lembar Kerja Siswa (LKS), dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Sedangkan Guided Inquiry digunakan dalam pembahasan materi pembelajaran dengan langkah-langkah tahapan, yaitu (1) Merumuskan Masalah,
22
(2) Menentukan Hipotesis, (3) Mengumpulkan Data, (4) Menganalisis Data, (5) Membuat Kesimpulan. Adapun integrasi penerapan model pembelajaran Cooperative Learning tipe Jigsaw dengan Metode Guided Inquiry disajikan dengan langkah-langkah dalam Tabel 2.4 sebagai berikut: Tabel 2.4 : Integrasi penerapan model pembelajaran Cooperative Learning tipe Jigsaw dengan Metode Guided Inquiry Kegiatan Pembelajaran
Keterangan
Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok yang heterogen (kelompok Tahap Jigsaw Asal), setiap kelompok anggotanya terdiri dari 5-6 orang. Guru membagikan LKS dan memberikan topik pembahasan diskusi
Tahap Jigsaw
yang telah dibagi-bagi menjadi beberapa sub bab. Setiap anggota kelompok Asal mengkaji sub bab dan menentukan anggota kelompok yang akan bertanggung jawab dalam memecahkan
Tahap Guided Inquiry
permasalahan sesuai topik pembahasan dengan langkah-langkah penyelidikan mulai dari merumuskan masalah, menentukan hipotesis, mengumpulkan data, menganalisis data, dan membuat kesimpulan. Anggota dari kelompok lain yang telah mempelajari sub bab yang
Tahap Jigsaw
sama bertemu dalam kelompok-kelompok Ahli untuk mendiskusikannya. Guru membimbing siswa pada kelompok Ahli untuk mendiskusikan topik pembahasan dengan langkah-langkah penyelidikan mulai dari merumuskan apa saja yang menjadi permasalahan sesuai topik pembahasan, menentukan hipotesis sebagai jawaban atau dugaan sementara dari topik permasalahan, mengumpulkan data atau sumber informasi berdasarkan analisa dari topik permasalahan, menganalisis kesesuaian data dan menguji ketepatan hipotesis, hingga membuat kesimpulan dari hasil analisis data.
Tahap Guided Inquiry
23
Setelah diskusi dari kelompok Ahli selesai, Guru meminta tiap-tiap
Tahap Jigsaw
anggota kelompok Ahli untuk kembali kekelompok Asalnya. Setiap anggota kelompok Asal saling mengajarkan (sharing) untuk
Tahap Jigsaw
bertukar informasi berdasarkan sub bab yang telah dikaji mulai dari
Dan Guided
merumuskan masalah, menentukan hipotesis, mengumpulkan data,
Inquiry
menganalisis data, dan membuat kesimpulan dari hasil diskusi pada kelompok Ahli. Guru bersama-sama dengan siswa membahas hasil diskusi.
Tahap Jigsaw
Guru memberikan penugasan berupa Kuis kepada setiap siswa.
Tahap Jigsaw
Ilustrasi desain kelompok Jigsaw diintegrasikan dengan Guided Inquiry disajikan pada gambar 2.4 sebagai berkut: Gambar 2.4 Ilustrasi Desain Kelompok Jigsaw Diintegrasikan Dengan Guided Inquiry
Kelompok Asal (terdiri dari 5-6 siswa yang Heterogen) Asal 1
Asal 2
Asal 3
Asal 4
Asal 5
Asal 6
dst
Ahli 1
Ahli 2
Ahli 3
Ahli 4
Ahli 5
Kelompok Ahli Catatan: Pembahasan dalam kelompok Ahli berupa penyelidikan permasalahan dengan Langkah-Langkah, yaitu: (1) Merumuskan Masalah (2) Menentukan Hipotesis (3) Mengumpulkan Data (4) Menganalisis Data (5) Membuat Kesimpulan)
24
2.1.1 Hasil Belajar Dalam keseluruhan proses pendidikan disekolah, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Ini berarti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan bergantung kepada bagaimana proses belajar yang dialami oleh siswa. Selain itu, pandangan seseorang tentang belajar akan mempengaruhi tindakan-tindakannya yang berhubungan dengan belajar dan setiap orang memiliki pandangan yang berbeda tentang belajar. Belajar adalah suatu proses yang kompleks, sejalan dengan itu menurut Robert M. Gagne (dalam Sagala, 2006:17) belajar merupakan kegiatan yang kompleks, dan hasil belajar berupa kapabilitas, timbulnya kapabilitas disebabkan: (1) stimulasi yang berasal dari lingkungan, dan (2) proses kognitif yang dilakukan oleh pelajar. Setelah belajar orang memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap dan nilai. Dengan demikian dapat ditegaskan, belajar adalah seperangkat proses kognitif yang mengubah sifat stimulasi lingkungan, melewati pengolahan informasi, dan menjadi kapabilitas baru. Belajar terjadi bila ada hasilnya yang dapat diperlihatkan. Belajar dan mengajar sebagai suatu proses mengandung tiga unsur yang dapat dibedakan, yakni tujuan pengajaran (intruksional), pengalaman (proses) belajar mengajar, dan hasil belajar. Penilaian hasil belajar tidak hanya bermanfaat untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan intruksional, dalam hal ini perubahan tingkah laku siswa, tetapi juga sebagai umpan balik bagi upaya memperbaiki proses belajar mengajar (Sudjana, 2006:2)
25
Untuk menyatakan bahwa suatu proses belajar mengajar dapat dikatakan berhasil, setiap guru memiliki pandangan masing-masing sejalan dengan filsafatnya. Namun, untuk menyamakan persepsi sebaiknya kita berpedoman pada kurikulum yang berlaku saat ini yang telah disempurnakan, antara lain bahwa “Sesuatu proses belajar mengajar tentang suatu bahan pengajaran dinyatakan berhasil apabila tujuan intruksional khusus (TIK)-nya dapat tercapai” (Djamarah & Zain, 2010:105) Briggs (dalam Sumarno, 2011) mengemukakan bahwa hasil belajar yang sering disebut dengan istilah “Scholastic Achievement” atau “Academic Achievement” adalah seluruh efisiensi dan hasil yang dicapai melalui proses belajar mengajar disekolah yang dinyatakan dengan angka-angka atau nilai-nilai berdasarkan tes hasil belajar. Menurut Gagne (dalam Sumarno, 2011) hasil belajar merupakan kemampuan internal (kapabilitas) yang meliputi pengetahuan, keterampilan dan sikap yang telah menjadi milik pribadi seseorang dan memungkinkan seseorang melakukan sesuatu. Menurut Gagne dan Driscoll (dalam Sumarno, 2011) hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa sebagai akibat perbuatan belajar dan dapat diamati melalui penampilan siswa (Learner’s Performance). Gagne dan Briggs (dalam Sumarno, 2011) menyatakan bahwa hasil belajar merupakan kemampuan internal (capability) yang meliputi kemampuan, keterampilan dan sikap yang telah menjadi milik pribadi seseorang dan memungkinkan orang itu melakukan sesuatu. Dick dan Reiser (dalam Sumarno, 2011) mengemukakan bahwa hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa sebagai hasil kegiatan
26
pembelajaran, yang terdiri dari empat jenis, yaitu: pengetahuan, keterampilan intelektual, keterampilan motor dan sikap. Sedangkan pendapat yang lain dikemukakan oleh Bloom dan Kratwohl (dalam Sumarno, 2011) bahwa hasil belajar merupakan perubahan tingkah laku yang secara umum dapat dikelompokkan kedalam tiga kategori yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Sudjana (2006:22-23) menyatakan bahwa, proses adalah kegiatan yang dilakukan oleh siswa dalam mencapai tujuan pengajaran, sedangkan hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Horward Kingsley membagi tiga macam hasil belajar, yakni (a) keterampilan dan kebiasaan, (b) pengetahuan dan pengertian, (c) sikap dan cita-cita. Masing- masing jenis hasil belajar dapat diisi dengan bahan yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Sedangkan Gagne membagi lima kategori hasil belajar, yakni (a) informasi verbal, (b) keterampilan intelektual, (c) strategi kognitif, (d) sikap, dan (e) keterampilan motoris. Dalam system pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan intruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotoris. Anderson (dalam Dimyati, 2009: 140) menguraikan dimensi proses kognitif pada taksonomi Bloom Revisi yang mencakup: (1) menghafal (remember), yaitu menarik kembali informasi yang tersimpan dalam memori jangka panjang, yang mencakup dua macam proses kognitif mengenali dan
27
mengingat, (2) memahami (understand), yaitu mengkonstruk makna atau pengertian berdasarkan pengetahuan awal yang dimiliki, atau mengintegrasikan pengetahuan yang baru kedalam skema yang ada dalam pemikiran siswa, yang mencakup tujuh proses kognitif: menafsirkan (interpreting), memberikan contoh (exemplifying), mengklasifikasikan (classifying), meringkas (summarizing), menarik inferensi (inferring), membandingkan (comparing), dan menjelaskan (explaining), (3) mengaplikasikan (apply), yaitu penggunaan suatu prosedur guna menyelesaikan masalah atau mengerjakan tugas, yang mencakup dua proses kognitif: menjalankan (executing) dan mengimplementasikan (implementing), (4) menganalisis (analyze), yaitu menguraikan suatu permasalahan atau obyek keunsur-unsurnya dan menentukan bagaimana saling keterkaitan antar unsurunsur tersebut, yang mencakup tiga proses kognitif: menguraikan (differentiating), mengorganisir (organizing), dan menemukan pesan tersirat (attributing), (5) mengevaluasi (evaluate), yaitu membuat suatu pertimbangan berdasarkan kriteria dan standar yang ada, yang mencakup dua proses kognitif: memeriksa (checking) dan mengkritik (critiquing), dan (6) membuat (create), yaitu menggabungkan beberapa unsure menjadi suatu bentuk kesatuan, yang mencakup tiga proses kognitif: membuat (generating), merencanakan (planning), dan memproduksi (producing). Lorin Anderson (dalam Maksum, 2012) menyatakan struktur dari Dimensi Proses Kognitif menurut Taksonomi yang telah direvisi disajikan dalam Gambar 2.5 sebagai berikut:
28
Gambar 2.5: Diagram Taksonomi Bloom Mengingat (C1):
mengurutkan,
menjelaskan,
mengidentifikasi,
menamai,
menempatkan, mengulangi, menemukan kembali, dsb. Memahami (C2): menafsirkan, meringkas, mengklasifikasikan, membandingkan, menjelaskan, membeberkan, dsb. Menerapkan (C3): melaksanakan, menggunakan, menjalankan, melakukan, mempraktekan, memilih, menyusun, memulai, menyelesaikan, mendeteksi, dsb. Menganalisis (C4): menguraikan, membandingkan, mengorganisir, menyusun ulang,
mengubah
struktur,
mengkerangkakan,
menyusun
outline,
mengintegrasikan, membedakan, menyamakan, membandingkan, dsb. Mengevaluasi (C5): menyusun hipotesis, mengkritik, memprediksi, menilai, menguji, membenarkan, menyalahkan, dsb. Berkreasi (C6): menemukan,
merancang,
membaharui,
membangun, menyempurnakan,
merencanakan,
memproduksi,
memperkuat,
memperindah,
mengubah, dsb. Selain ranah kognitif tersebut di atas, evaluasi juga dilakukan pada ranah afektif. Menurut Davies (dalam Dimyati, 2009: 205), ranah afektif berhubungan dengan perhatian, sikap, penghargaan, nilai-nilai, perasaan, dan emosi.
29
Kratwohl, Bloom dan Masia (dalam Dimyati, 2009: 205) mengemukakan taksonomi ranah afektif, yaitu: (1) menerima, merupakan tingkat terendah tujuan ranah afektif berupa perhatian terhadap stimulasi secara pasif yang meningkat secara lebih aktif, (2) merespon, merupakan kesempatan untuk menanggapi stimulant dan merasa terikat serta secara aktif memperhatikan, (3) menilai, merupakan kemampuan menilai gejala atau kegiatan sehingga dengan sengaja merespon lebih lanjut, (4) mengorganisasi, merupakan kemampuan untuk membentuk suatu system nilai bagi dirinya berdasarkan nilai-nilai yang dipercaya, dan (5) karakterisasi, merupakan kemampuan untuk mengkonseptualisasikan masing-masing nilai pada waktu merespon dengan jalan mengidentifikasi karakteristik nilai atau membuat pertimbangan-pertimbangan. Hasil belajar yang berikutnya adalah dalam ranah psikomotor. Menurut Davies (dalam Dimyati, 2009: 207), ranah psikomotor berhubungan dengan keterampilan motorik, manipulasi benda atau kegiatan yang memerlukan koordinasi saraf dan koordinasi badan. Harrow (dalam Dimyati, 2009: 208) mengemukakan taksonomi ranah psikomotor sekaligus menjelaskan bahwa penentuan kriteria untuk mengukur keterampilan siswa harus dilakukan dalam jangka waktu 30 menit. Taksonomi ranah psikomotor Harrow disusun secara hierarkis dalam lima tingkatan, yaitu: (1) meniru, artinya siswa dapat meniru atau mengikuti suatu perilaku yang dilihatnya, (2) manipulasi, artinya siswa dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan visual sebagaimana pada tingkat meniru, (3) ketetapan gerak, artinya siswa diharapkan dapat melakukan sesuatu perilaku tanpa menggunakan contoh visual ataupun petunjuk tertulis, (4) artikulasi, artinya siswa
30
diharapkan dapat menunjukkan serangkaian gerakan dengan akurat, urutan yang benar, dan kecepatan yang tepat, dan (5) naturalisasi, artinya siswa diharapkan melakukan gerakan tertentu secara spontan atau otomatis. Ketiga ranah tersebut menjadi objek penilaian hasil belajar. Diantara ketiga ranah itu, ranah kognitiflah yang paling banyak dinilai oleh para guru di sekolah karena berkaitan dengan kemampuan para siswa dalam menguasai isi bahan pengajaran. Hasil belajar dapat diukur dan dinilai melalui penilaian dalam pembelajaran, yang dilaksanakan oleh guru mata pelajaran. Dengan demikian dikatakan bahwa prestasi belajar adalah hasil yang dicapai siswa setelah melakukuan kegiatan belajar. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan sesuatu yang dicapai atau diperoleh siswa berkat adanya usaha atau fikiran dan perubahan tingkah laku yang mana hal tersebut dinyatakan dalam bentuk penguasaan, pengetahuan dan kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai aspek kehidupan. Hasil belajar siswa dipengaruhi oleh kamampuan siswa dan kualitas pengajaran. Kualitas pengajaran yang dimaksud adalah profesional yang dimiliki oleh guru. Artinya kemampuan dasar guru baik di bidang kognitif (intelektual), bidang sikap (afektif) dan bidang perilaku (psikomotorik). Adapun hasil belajar pada penelitian ini dibatasi pada ranah kognitif yang meliputi pengetahuan
atau
mengingat
(C1),
memahami
(C2),
menerapkan
atau
mengaplikasikan (C3), menganalisis (C4), mengevaluasi (C5) dan berkreasi (C6).
31
2.1.5 Kajian Materi Lingkungan Hidup Lingkungan Hidup Merupakan system kesatuan ruang antara makhluk hidup dan komponen abiotik lainnya. Interaksi antara lingkungan alamiah dan sekitarnya membentuk system ekologi atau ekosistem (Samadi, 2010:146). Berikut ini akan disajikan pengertian lingkungan hidup menurut para ahli (dalam Samadi, 2010:150); Lingkungan Hidup menurut Otto Sumarwoto, yaitu jumlah semua benda dan kondisi yang ada dalam ruang yang kita tempati yang mempengaruhi kehidupan kita. Secara teoritis ruang itu tidak terbatas jumlahnya, oleh karenanya matahari dan bintang termasuk didalamnya; Emil Salim berpendapat bahwa lingkungan hidup adalah segala benda, kondisi, keadaan dan pengaruh yang terdapat dalam ruangan yang kita tempati dan mempengaruhi hal yang hidup termasuk kehidupan manusia; Sedangkan menurut UU No.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia, dan
perilakunya,
yang mempengaruhi
kelangsungan
perikehidupan
dan
kesejahteraan manusia serta makhluh hidup lain. Batas ruang lingkungan menurut pengertian-pengertian yang telah diuraikan diatas bisa sangat luas, tetapi untuk praktisnya kita batasi ruang lingkungan dengan factor-faktor yang dapat dijangkau oleh manusia seperti factor alam, factor politik, factor ekonomi, factor sosial budaya dan lain-lain. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut dapat diketahui bahwa lingkungan hidup merupakan suatu system yang kompleks dalam ruang. Sementara itu, ruang merupakan tempat bagi komponen-komponen lingkungan
32
hidup dalam melakukan setiap proses, yaitu saling memengaruhi (interaksi), saling berhubungan (interelasi), dan saling kebergantungan (interdependensi); (Samadi, 2010:150). Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak dapat melepaskan diri dari keterkaitannya pada air, tanah, udara, hewan, tumbuhan dan manusia yang merupakan serangkaian ekosistem hidup. Disamping itu masih banyak lagi hal-hal lain yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan kita, misalnya hewan dan tumbuh-tumbuhan yang kesemuanya itu merupakan bagian dari lingkungan hidup. Karena lingkungan hidup diartikan sebagai keseluruhan unsur atau komponen, maka tentu saja setiap lingkungan dapat dibedakan menjadi lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Adapun yang akan dibicarakan dalam kajian penelitian ini adalah lingkungan fisik tempat manusia berada, tempat manusia hidup dan melangsungkan kehidupannya. Secara khusus, kita sering menggunakan istilah lingkungan hidup untuk menyebutkan segala sesuatu yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup segenap makhluk hidup di bumi. Adapun berdasarkan UU No. 23 Tahun 1997, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda dan kesatuan makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang melangsungkan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Unsur-unsur lingkungan hidup dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: 1. Unsur Hayati (Biotik) Unsur hayati (biotik), yaitu unsur lingkungan hidup yang terdiri dari makhluk hidup, seperti manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan jasad renik. Jika
33
kalian berada di kebun sekolah, maka lingkungan hayatinya didominasi oleh tumbuhan. Tetapi jika berada di dalam kelas, maka lingkungan hayati yang dominan adalah teman-teman atau sesama manusia. 2. Unsur Sosial Budaya Unsur sosial budaya, yaitu lingkungan sosial dan budaya yang dibuat manusia yang merupakan sistem nilai, gagasan, dan keyakinan dalam perilaku sebagai makhluk sosial. Kehidupan masyarakat dapat mencapai keteraturan berkat adanya sistem nilai dan norma yang diakui dan ditaati oleh segenap anggota masyarakat. 3. Unsur Fisik (Abiotik) Unsur fisik (abiotik), yaitu unsur lingkungan hidup yang terdiri dari benda-benda tidak hidup, seperti tanah, air, udara, iklim, dan lain-lain. Keberadaan lingkungan fisik sangat besar peranannya bagi kelangsungan hidup segenap kehidupan di bumi. Bayangkan, apa yang terjadi jika air tak ada lagi di muka bumi atau udara yang dipenuhi asap? Tentu saja kehidupan di muka bumi tidak akan berlangsung secara wajar. Akan terjadi bencana kekeringan, banyak hewan dan tumbuhan mati, perubahan musim yang tidak teratur, munculnya berbagai penyakit, dan lain-lain. Kerusakan pada lingkungan hidup terjadi karena dua faktor baik faktor alami ataupun karena tangan-tangan jahil manusia. Pentingnya lingkungan hidup yang terawat terkadang dilupakan oleh manusia, dan hal ini bisa menjadikan ekosistem serta kehidupan yang tidak maksimal pada lingkungan tersebut.
34
Melestarikan lingkungan hidup merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditunda lagi dan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau pemimpin negara saja, melainkan tanggung jawab setiap insan di bumi, dari balita sampai manula. Setiap orang harus melakukan usaha untuk menyelamatkan lingkungan hidup di sekitar kita sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Sekecil apa pun usaha yang kita lakukan sangat besar manfaatnya bagi terwujudnya bumi yang layak huni bagi generasi anak cucu kita kelak. Upaya pemerintah untuk mewujudkan kehidupan adil dan makmur bagi rakyatnya tanpa harus menimbulkan kerusakan lingkungan ditindaklanjuti dengan menyusun program pembangunan
berkelanjutan
yang
sering
disebut
sebagai
pembangunan
berwawasan lingkungan. Pembangunan berwawasan lingkungan adalah usaha meningkatkan kualitas manusia secara bertahap dengan memerhatikan faktor lingkungan. Pembangunan berwawasan lingkungan dikenal dengan nama Pembangunan Berkelanjutan. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Lingkungan hidup yang disemaikan melalui dunia pendidikan tidak harus menjadi mata pelajaran tersendiri, tetapi disajikan lintas mata pelajaran melalui pokok-pokok bahasan yang relevan. Dengan kata lain, lingkungan hidup tidak cukup hanya menjadi tanggung jawab guru Geografi atau IPA saja, misalnya, tetapi harus menjadi tanggung jawab semua guru mata pelajaran.
35
2.2 KERANGKA BERPIKIR Model pembelajaran Cooperative Learning tipe Jigsaw dirancang untuk memberikan kesempatan belajar yang adil kepada semua siswa, sehingga memberikan kesempatan yang sama untuk terlibat aktif dalam pembelajaran. Interaksi yang terjadi adalah pola pembelajaran saling berbagi (share). Serangkaian pemecahan masalah mengenai lingkungan hidup hingga memperoleh kesimpulan pada tahap Guided Inquiry memberi pengaruh pada keaktifan kognitif siswa.
Dalam pembelajaran Geografi, siswa dibuka pemikirannya untuk
memahami fenomena-fenomena alam yang terjadi dan kondisi alam yang sudah semakin menurun dalam mendukung kehidupan yang ada. Oleh sebab itu, siswa harus diajak untuk semakin tahu, bersikap, dan berperilaku baik terhadap lingkungannya. Belajar memerlukan keterlibatan mental dan kerja peserta didik. Penjelasan dan pemeragaan semata tidak akan membuahkan hasil belajar yang langgeng. Yang bisa membuahkan hasil belajar yang langgeng hanyalah kegiatan belajar aktif. Kegiatan pembelajaran aktif inilah yang dapat di terapkan dengan model pembelajaran Kooperatif. Sedangkan dengan penerapan pembelajaran Inkuri Terbimbing (Guided Inquiry), siswa dapat melakukan penyelidikan berdasarkan permasalahan yang telah disediakan oleh guru, dan pemilihan langkah-langkah penyelidikan ditentukan sendiri oleh siswa, sehingga kegiatan pembelajaran akan lebih aktif. Tantangan yang motivatif menyebabkan interaksi antara
pengetahuan
atau
mengingat,
memahami,
menerapkan
atau
mengaplikasikan, menganalisis, mengevaluasi, dan berkreasi yang termasuk
36
dalam aspek kognitif siswa meningkat. Sehingga keterkaitan tersebut dapat berdampak pula pada meningkatnya keaktifan dan hasil belajar siswa. Berdasarkan uraian di atas, pembelajaran Geografi yang diterapkan dengan model pembelajaran Kooperative Learning tipe Jigsaw diintegrasikan dengan Guided Inquiry diduga dapat mempengaruhi meningkatnya hasil belajar siswa.
2.3. HIPOTESIS Hipotesis dalam penelitian ini adalah “Terdapat perbedaan yang signifikan pada hasil belajar siswa yang menggunakan penerapan model pembelajaran Cooperative Learning tipe Jigsaw diintegrasikan dengan metode Guided Inquiry pada kelas eksperimen dan penerapan model pembelajaran Cooperative Learning tipe Jigsaw pada kelas kontrol”.