BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kajian Teoritis 2.1.1 Konsep tuberculosis paru 2.1.1.1
Definisi tuberculosis paru Tuberculosis paru adalah penyakit akibat infeksi kuman Mycobacterium
tuberculosis sistemis sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh, dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan infeksi primer. Tuberculosis merupakan bakteri kronik dan ditandai oleh pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan hipersensitivitas yang diperantarai sel (Cell Madiated Hipersensitivity) (Mansjoer Arif, 2000).
Tuberkulosis
adalah
penyakit
menular
yang
disebabkan
oleh
Mycobacterium tuberculosis (MTB). Sebagian besar kuman terdiri atas asam lemak (lipid), yang membuat kuman lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisik. Kuman ini tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin (sifat dormant). Sifat lain kuman ini adalah aerob, artinya bahwa kuman ini lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya, dalam hal ini bagian apikal paru-paru sehingga apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit TB Paru (Stark dkk, 2002).
Rab (2002) juga menjelaskan bahwa basil MTB tersebut masuk ke dalam jaringan paru melalui saluran napas (droplet infection) sampai alveoli, maka
terjadilah infeksi primer (Ghon), selanjutnya menyebar ke kelenjar getah bening setempat dan terbentuklah kompleks primer (Ranke). Robbins dkk (2003) mengatakan bahwa secara garis besar terdapat 2 bentuk penularan tuberculosis paru, yaitu :
a. Infeksi primer Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman tuberculosis. Droplet yang terhirup sangat kecil, sehingga dapat melewati pertahanan mucosiliar bronchus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap di sana. Infeksi dimulai saat kuman tuberculosis berhasil berkembang biak dengan cara membelah diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 4-6 minggu. Kelanjutan setelah infeksi primer, tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada waktu daya tahan tubuh bereaksi, maka perkembangan
kuman
tuberculosis
dapat
dihentikan.
Meskipun
demikian, ada beberapa kuman yang menetap sebagai kuman persisten (dormant). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan
kuman,
akibatnya
dalam
beberapa
bulan,
yang
bersangkutan akan menjadi penderita tuberculosis (Stark dkk, 2002; Robbins dkk, 2003).
b. Tuberkulosis pasca primer Tuberkulosis pasca primer, biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun setelah tubuh terpapar oleh kuman tuberculosis atau terjadi setelah infeksi primer, yang ditandai dengan kerusakan paru yang luas, terjadinya kavitas atau efusi pleura (Stark dkk, 2002; Robbins dkk, 2003).
2.1.1.2
Manifestasi klinik Alsagaff dkk (2003) mengemukakan, pada stadium dini penyakit
tuberculosis tidak menunjukkan adanya tanda dan gejala yang khas. Biasanya hanya berupa gejala umum, seperti suhu tubuh meningkat, hilang timbul berkisar 38-39ᴼC, berkeringat pada malam hari tanpa aktivitas, badan terasa lelah, nafsu makan berkurang, berat badan menurun serta gejala-gejala khusus seperti batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih, batuk lama dengan dahak bercampur darah, nyeri dada, dan sesak napas (Alsagaff dkk, 2003; Robbins 2003).
2.1.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya tuberculosis 1. Harus ada sumber infeksi Sumber infeksi dapat berasal dari penderita tuberculosis dengan BTA positif yang ditularkan melalui droplet. Baik itu melalui penggunaan alat makan secara bergantian tanpa dicuci terlebih dahulu ataupun pada waktu penderita batuk atau bersin.
2. Jumlah basil sebagai penyebab infeksi harus cukup Semakin banyak jumlah basil yang terhirup, maka semakin besar kemungkinan seseorang untuk mengidap penyakit tuberculosis.
3. Virulensi yang tinggi dari basil tuberculosis Apabila tingkat keaktifan kuman tinggi maka akan semakin cepat berkembang biak di dalam tubuh. Selain itu akan semakin cepat pula masa inkubasinya.
4. Daya tahan tubuh yang menurun Daya tahan tubuh yang menurun memungkinkan basil berkembang biak dan keadaan ini menyebabkan timbulnya penyakit tuberculosis paru.
2.1.1.4
Diagnosis Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada pasien TB adalah
(Stark dkk, 2002) :
a. Pemeriksaan fisik Adanya tanda-tanda infiltrat (redup, bronchial, ronchi basah), pada pemeriksaan perkusi didapati hipersonor/timpani, bila terdapat kavitas yang cukup, pada auskultasi memberikan suara amforik, atropi dan retraksi interkostal pada keadaan lanjut dan fibrosis, bila mengenai pleura dapat menyebabkan efusi pleura (perkusi memberikan suara pekak), tanda-tanda penarikan paru dan diafragma (Stark dkk, 2002). b. Pemeriksaan radiologi Tampak gambaran bercak-bercak seperti awan dengan batas tidak jelas. Pada kavitas gambar bayangan berupa cincin tunggal atau ganda (milier) (Stark dkk, 2002). Gambaran “klasik” radiologist adalah adanya infiltrat atau kavitas pada lobus paru, namun gambaran radiologis penderita dapat sangat bervariasi mulai dari normal sampai terlihat nodul infiltrat soliter (Abbas dkk, 2005; Depkes RI, 2002, 2007). c. Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan laboratorium yang biasanya dilakukan adalah (Baron dkk, 1994; Abbas dkk, 2005; Haynet dkk, 2001) : 1). Pemeriksaan mikroskopis basil tahan asam (BTA) Basil tahan asam akan memberikan warna merah pada pewarnaan ZiehlNeelsen (ZN) atau Kinyoun Gabbet, dan menemukan basil tahan asam dalam
dahak penderita. Penderita TB, diambil 3 kali specimen sputum: pengumpulan dahak semalam, pengumpulan dahak pada pagi hari dan pengumpulan dahak sewaktu. Pengumpulan dahak yang baik adalah dahak pagi atau dahak semalam dengan jumlah dahak yang terkumpul sebanyak 3-5 ml setiap botol dahak (Akhtar dkk, 2000; Depkes RI, 2002). 2). Kultur Spesimen diinokulasi pada medium telur atau agar, dibutuhkan waktu sekitar 4-8 minggu untuk deteksi adanya pertumbuhan koloni. Saat ini laboratorium menggunakan metode BACTEC-460, untuk memperpendek waktu yang dibutuhkan mengidentifikasi mikobakteri, yaitu sekitar 2-3 minggu (Baron dkk, 1994; Abbas dkk, 2005; Haynet dkk, 2001). 3). Amplifikasi asam nukleat / PCR Metode ini dapat mendeteksi MTB walau jumlahnya hanya 1 atau 2 mikroorganisme dalam sampel, dapat juga digunakan untuk tes resistensi obat anti tuberculosis (Maidin, 2000; Abbas dkk, 2005).
2.1.1.5 Cara penularan 1. Percikan ludah (droplet infection) Pada saat penderita tuberculosis batuk akan mengeluarkan droplet dengan ukuran mikroskopis yang bervariatif. Ketika partikel tersebut berada di udara, air akan menguap dari permukaannya sehingga menurunkan volume dan menaikkan konsentrasi kumannya. Partikel inilah yang disebut dengan droplet (Crofton, 2002).
2. Inhalasi debu yang mengandung basil tuberculosa (air bone infection) Seseorang yang melakukan kontak erat dalam waktu yang lama dengan penderita tuberculosis paru akan mudah tertular karena menginhalasi udara yang telah terkontaminasi kuman tuberculosis (Depkes RI, 2002).
2.1.2 Konsep pengobatan tuberculosis paru 2.1.2.1
Tahap pengobatan
1. Tahap intensif/awal, pada tahap ini penderita mendapat obat setiap hari, dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua obat anti tuberculosis (OAT). Sebagian besar penderita tuberculosis BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif (Stark dkk, 2002; Depkes RI, 2002, 2007). 2. Tahap lanjutan/intermitten, pada tahap lanjutan, penderita mendapat jenis obat lebih sedikit namun dalam jangka waktu yang lama dan masih terus diawasi langsung (Stark dkk, 2002; Depkes RI, 2002, 2007).
Program nasional penanggulangan tuberculosis di Indonesia menggunakan panduan OAT (Depkes RI, 2002, 2007) yaitu yang terdiri dari 3 kategori dan sisipan: a. Kategori 1 (2HRZE/4H3R3) Tahap intensif terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid, dan Etambutol. Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan, kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniasid dan Rifampisin diberikan 3 kali dalam seminggu selama 4 bulan. Obat ini diberikan untuk penderita TB
paru BTA negatif rontgen positif yang sakit berat dan penderita TB ekstra paru berat (Depkes RI, 2002, 2007). b. Kategori 2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3) Tahap intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri dari 2 bulan Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol, dan suntikan Streptomisin setiap hari di UPK. Dilanjutkan 1 bulan dengan Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid, dan Etambutol setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan Isoniasid, Rifampisin, dan Etambutol yang diberikan selama 3 kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan Streptomisin diberikan setelah penderita selesai menelan obat. Obat ini diberikan untuk penderita kambuh (relaps), penderita gagal (failure), dan penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default) (Depkes RI, 2002, 2007). c. Kategori 3 (2HRZ/4H3R3) Tahap intensif terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, dan Pirazinamid diberikan setiap hari selama 2 bulan, diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari Isoniasid dan Rifampisin selama 4 bulan diberikan 3 kali dalam seminggu. Obat ini diberikan untuk penderita batuk BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan, penderita ekstra paru ringan yaitu tuberculosis kelenjar limfe (limfadenitis), pleuritis eksudativa unilateral, tuberculosis kulit, tuberculosis tulang (kecuali tulang belakang) sendi, dan kelenjar adrenal (Depkes RI, 2002, 2007).
d. OAT sisipan (HRZE) Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak BTA positif, diberikan obat sisipan Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol setiap hari selama 1 bulan (Depkes RI, 2002, 2007).
2.1.2.2 Efek samping obat 1. Efek samping berat Yaitu efek samping yang dapat menyebabkan sakit serius. Dalam kasus ini maka pemberian OAT harus dihentikan dan penderita harus dirujuk ke Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) spesialistik (Hadju dkk, 2003; Depkes RI, 2002, 2007).
2. Efek samping ringan Yaitu hanya menyebabkan sedikit perasaan yang tidak enak. Gejala-gejala ini sering dapat ditanggulangi dengan obat-obat simtomatik atau obat sederhana, tetapi kadang-kadang menetap untuk beberapa waktu selama pengobatan. Dalam hal ini pemberian OAT dapat diteruskan (Hadju dkk, 2003; Depkes RI, 2002, 2007).
2.1.2.3
Evaluasi Pengobatan
1. Klinis biasanya pasien dikontrol dalam 1 minggu pertama, selanjutnya setiap 2 minggu selama tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai akhir pengobatan. Secara klinis hendaknya terdapat perbaikan keluhan pasien seperti batuk-batuk berkurang, batuk darah hilang, nafsu makan bertambah dan berat badan bertambah. 2. Bakteriologis Biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA mulai menjadi negative. Pemeriksaan kontrol sputum dilakukan sekali sebulan. Bagi pasien BTA positif setelah tahap intensif akan mendapatkan pengobatan ulang. Bila sudah negative, sputum diperiksa tiga kali berturut-turut dan harus di kontrol agar tidak terjadi “silent bacterial shedding” yaitu terdapat sputum BTA positif tanpa disertai keluhan-keluhan tuberculosis yang relevan pada kasus-kasus 3 kali pemeriksaan (3 bulan), berarti pasien mulai kambuh.
3. Radiologis Evaluasi radiologi juga diperlukan untuk melihat kemajuan terapi. Dengan pemeriksaan radiologi dapat dilihat keadaan tuberculosis parunya atau adanya penyakit lain yang menyertainya. Karena perubahan gambar radiologi tidak secepat perubahan bakteriologis, evaluasi foto dada dilakukan setiap 3 bulan sekali. Pemantauan kemajuan pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan dahak sewaktu-pagisewaktu (SPS), pemeriksaan bisa dikatakan negative jika hasil kedua
specimen negative, sedangkan bisa dikatakan positif bila salah satu atau kedua specimen positif. Pemeriksaan ulang dahak dilakukan pada akhir tahap intensif, sebulan sebelum akhir pengobatan dan 1 minggu sebelum akhir pengobatan (bulan ke 6).
2.1.2.4 Hasil Pengobatan 1. Sembuh Penderita dikatakan sembuh bila telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap dan pemeriksaan dahak 2 kali selama pengobatan negatif.
2. Pengobatan lengkap Adalah penderita yang telah menyelsaikan pengobatan lengkap tapi tidak ada hasil pemeriksaan dahak negatif.
3. Meninggal Adanya penderita yang dalam masa pengobatan diketahui meninggal karena sebab apapun.
4. Pindah Adanya penderita yang pindah berobat ke daerah atau kabupaten\kota lain.
5. Default Penderita yang tidak kontrol atau terlambat mengambil obat 2 minggu berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
6. Gagal Penderita BTA positif yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada satu bulan sebelum akhir pengobatan.
2.1.1.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi keteraturan berobat 1. Keadaan sosial ekonomi Makin buruk keadaan sosial ekonomi masyarakat sehingga makin jelek pula gizi dan hygiene lingkungannya yang akan menyebabkan rendahnya daya tahan tubuh mereka sehingga memudahkan terjadinya penyakit.
2. Kesadaran Pengobatan TBC memerlukan waktu yang lama (minimal 2 tahun terbentuk) sebab anti TBC bersifat tuberculostotica atau bersifat tubercuicocido. Kadangkadang walaupun penyakitnya agak berat si penderita tidak merasa sakit sehingga tidak mencari pengobatan. Menurut hasil penelitian WHO, 50% penderita TBC menunjukan gejala bahwa orang ini akan berbahaya lagi sebagai sumber penular karena bebas bercampur dengan masyarakat.
3. Pengetahuan Makin rendah pengetahuan penderita tentang bahaya penyakit TBC untuk dirinya, keluarga dan masyarakat di sekitarnya maka semakin besar pula bahaya bagi si penderita sebagai sumber penularan penyakit baik di rumah maupun di tempat kerjanya. Untuk keluarga dan orang-orang di sekitarnya, sebaiknya pengetahuan yang baik tentang penyakit ini akan menolong masyarakat dalam menghindarinya (Indan Entjang, 2000).
2.1.3 Konsep pengetahuan 2.1.3.1
Definisi
Berasal dari kata “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap sesuatu obyek tertentu, penginderaan terjadi melalui panca indra manusia. Tetapi sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh dari atau melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003).
Roger (1974) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003) mengemukakan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru dalam diri seseorang akan terjadi proses yang berturut-turut yaitu :
1. Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu. 2. Interest, yaitu orang tertarik pada stimulus. 3. Evaluation (menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi. 4. Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru. 5. Adaption, subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
2.1.3.2
Sumber pengetahuan
1. Tradisi Tradisi adalah suatu dasar pengetahuan dimana setiap orang tidak dianjurkan untuk memulai mencoba memecahkan masalah. Tradisi merupakan kendala dalam kebutuhan manusia karena beberapa tradisi begitu melekat sehingga validitas, manfaat dan kebenarannya tidak pernah dicoba dan diteliti.
2. Autoritas Ketergantungan terhadap suatu autoritas tidak dapat dihindarkan karena kita tidak dapat secara otomatis menjadi seseorang ahli dalam mengatasi setiap permasalahan yang dihadapi.
3. Pengalaman Dalam memecahkan suatu permasalahan dapat berdasarkan pengalaman sebelumnya, dan ini merupakan pendekatan yang penting dan bermanfaat.
4. Trial and Error Kadang kita dalam menyelesaikan suatu permasalahan keberhasilan kita dalam menggunakan alternatif pemecahan melalui “coba dan salah”.
5. Alasan yang logis Dalam menyelesaikan suatu masalah berdasarkan proses penelitian yang logis. Pemikiran ini merupakan komponen yang penting dalam pendekatan ilmiah akan tetapi alasan rasional sangat terbatas.
6. Metode ilmiah Pendekatan ilmiah adalah pendekatan yang paling tepat untuk mencari suatu kebenaran, karena didasari pada pengetahuan yang terstruktur dan sistematis, serta dalam mengumpulkan dan menganalisa datanya didasarkan pada prinsip validitas dan reliabilitas. (Nursalam, 2000)
2.1.3.3
Komponen pengetahuan (Notoatmodjo, 2003)
1. Tahu Pengetahuan berkenan dengan bahan yang dipelajari sebelumnya disebut juga istilah recal (mengingat lagi) namun apa yang yang telah diketahui hanya sekedar informasi yang diingat saja. Oleh sebab itu ini merupakan tongkat pengetahuan yang rendah.
2. Pemahaman Adalah kemampuan mengetahui arti sesuatu bahan yang tekah dipakai dipelajari seperti menafsirkan. Menjelaskan dan meringkas tentang sesuatu kemampuan. Ini lebih tinggi dari pengetahuan.
3. Penerapan Adalah kemampuan menggunakan suatu bahan yang telah dipelajari dalam sesuatu yang baru atau konkrit.
4. Analisa Adalah suatu komponen untuk menjabarkan materi atau suatu bahan obyek ke dalam komponen-komponen tetapi masih di dalam stuktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5. Sintesa Kemampuan untuk menghimpun bagian dalam keseluruhan seperti merugikan tema rencana atau melihat hubungan abstrak dan sebagian fakta.
6. Evaluasi Adalah berkenaan dengan kemampuan menggunakan pengetahuan untuk membantu penelitian terhadap sesuatu berdasarkan maksud atau kriteria tertentu.
2.1.3.4
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan
1. Faktor eksternal 1) Kebudayaan Kebudayaan dimana kita hidup dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita. Apabila dalam suatu wilayah mempunyai budaya untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan maka sangat mungkin masyarakat sekitarnya mempunyai sikap untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan maka sangatlah mungkin berpengaruh dalam pembentukan sikap pribadi seseorang (Syaifudin A, 2003).
2) Informasi Informasi adalah keseluruhan makna yang dapat diartikan sebagai pemberitahuan seseorang. Adanya informasi baru akan berpengaruh bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut.
2. Faktor internal 1) Pendidikan Pendidikan adalah setiap usaha pengaruh pelindung dan bantuan yang diberikan kepada
anak
yang
tertuju
pada
kedewasaan.
GBHN
Indonesia
telah
mengidentifikasi lain bahwa pendidikan diri dalam dan dari luar sekolah dan berlangsung seumur hidup (Notoatmodjo, 2003).
2) Pengalaman Pengalaman adalah sesuatu pengalaman sama sekali terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan emosi penghayatan. Pengalaman akan lebih mendalam dan lama membekas (Syaifudin A, 2005).
3) Usia Usia individu terhitung mulai dilakukan sampai berulang tahun (Elizabeth B Hospitalisasi, 1995). Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat seseorang yang telah dewasa akan lebih percaya dari pada seseorang yang belum cukup tinggi kedewasaannya. Hal ini sebagai akibat dari pengalaman
dan kematangan yang dijiwainya (Hurlock, 1998), makin tua seseorang makin kondusif dalam mengunakan koping masalah yang dihadapi.
4) Pekerjaan Pekerjaan adalah sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah atau pencarian. Masyarakat yang sibuk dengan kegiatan atau pekerjaan sehari-hari akan mempunyai waktu yang lebih sedikit untuk memperoleh informasi.
5) Pendapatan Pendapatan sesuatu yang didapatkan dan sebelumnya belum ada. Pendapatan erat sekali dengan status kesehatan.
6) Informasi Informasi yang diperoleh dari berbagai sumber akan mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang. Bila seseorang memperoleh banyak informasi maka ia cenderung mempunyai pengetahuan lebih luas.
2.1.3.5
Kriteria tingkat pengetahuan
Menurut Arikunto (2006) pengetahuan seseorang dapat diketahui dengan dipersentasikan tetapi berupa prosentasi lalu ditafsirkan dengan kalimat yang bersifat kualitatif, yaitu :
1. baik
: hasil prosentase 76-100%
2. cukup : hasil prosentase 56-75% 3. kurang : hasil prosentase < 55%
Pengetahuan yang mesti dimiliki oleh pasien TB Paru meliputi pengetahuan tentang :
1. Definisi Penyakit menular yang disebabkan oleh kuman/bakteri. 2. Penyebab Kuman Mycobacterium tuberculosis. 3. Tanda dan gejala Batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih, batuk bercampur darah, berkeringat pada malam hari tanpa kegiatan fisik. 4. Faktor/kebiasaan yang dapat memperberat Merokok, lingkungan dan kurang gizi. 5. Cara penularan Penularan penyakit TB Paru dapat terjadi melalui batuk, bersin yang mengandung kuman TB yang terhirup orang lain. 6. Pemeriksaan yang dapat dilakukan Pemeriksaan dahak, rontgen dan laboratorium. 7. Terapi/pengobatan TB paru Minum obat (OAT) selama 6 bulan dengan tahap awal (2 bulan) obat diminum setiap hari dan dilanjutkan dengan minum obat 3x seminggu selama 4 bulan. 8. Efek samping obat Warna kemerahan pada air seni (urine), tidak ada nafsu makan, mual, sakit perut, nyeri sendi dan kesemutan sampai dengan rasa terbakar.
Pengetahuan ini dapat diperoleh melalui pendidikan kesehatan dari petugas kesehatan atau informasi dari berbagai literatur/media.
2.1.4
Konsep kepatuhan
2.1.4.1 Pengertian kepatuhan Pengertian kepatuhan menurut Sockett yang dikutip oleh Neil Niven (2000) bahwa kepatuhan pasien sebagai sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan. Orang mematuhi perintah dari orang yang mempunyai kekuasaan bukan hal yang mengherankan karena ketidakpatuhan sering kali diikuti dengan beberapa bentuk hukuman. Meskipun demikian, yang menarik adalah pengaruh dari orang yang tidak mempunyai kekuasaan dalam membuat orang mematuhi perintahnya dan sampai sejauh mana kesediaan orang untuk mematuhinya.
2.1.4.2 Tingkat kepatuhan Derajat ketidakpatuhan bervariasi sesuai dengan apakah pengobatan tersebut kuratif atau preventif, jangka panjang atau jangka pendek. Sockett and Snow yang dikutip oleh Niven (2000) menemukan bahwa ketaatan terhadap 10 hari jadwal pengobatan sejumlah 70% adalah pencegahan. Kegagalan untuk mengikuti program jangka panjang, yang bukan dalam kondisi akut, dimana derajat ketidakpatuhannya rata-rata 50% dan derajat tersebut bertambah buruk sesuai waktu.
2.1.4.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan menurut Niven (2000) antara lain adalah:
1. Pemahaman tentang instruksi Tidak seorangpun dapat mematuhi instruksi jika dia salah paham tentang instruksi yang diberikan. Kadang hal ini disebabkan oleh kegagalan profesional kesehatan dalam memberikan informasi yang lengkap, penggunaan istilah medis dan memberikan instruksi yang harus diingat oleh pasien.
2. Kualitas interaksi Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan pasien merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan. Hal ini bisa dilaksanakan dengan bersikap ramah dan memberikan informasi dengan singkat dan jelas.
3. Isolasi sosial dan keluarga Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dan menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu dan dapat juga menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima.
4. Motivasi Motivasi dapat diperoleh dari diri sendiri, keluarga, teman, petugas kesehatan dan lingkungan sekitarnya.
5. Pengetahuan Semakin
tinggi
tingkat
pengetahuan
seseorang
semakin
besar
kemungkinan untuk patuh pada suatu program pengobatan.
2.1.4.4 Cara mengurangi ketidakpatuhan Dinicola dan Dimatteo yang dikutip oleh Niven (2000) mengusulkan beberapa rencana untuk mengatasi ketidakpatuhan pasien, antara lain:
1. Mengembangkan tujuan kepatuhan Pernyataan-pernyataan juga dapat meningkatkan kepatuhan seseorang, kontrak tertulis juga dapat meningkatkan kepatuhan, tetapi kontrak kemungkinan dapat menjadi tidak efektif dalam kurun waktu yang lama.
2. Mengembangkan perilaku sehat dan mempertahankannya Perilaku sehat dapat dipengaruhi oleh kebiasaan. Oleh karena itu perlu dikembangkan suatu strategi yang bukan hanya mengubah perilaku, tetapi juga untuk mempertahankan perubahan tersebut.
3. Pengontrolan perilaku Pengontrolan perilaku seringkali tidak cukup untuk mengubah perilaku itu sendiri. Suatu program secara total dapat dihancurkan sendiri oleh pasien dengan menggunakan pernyataan pertahanan.
4. Dukungan sosial Keluarga dan teman dapat membantu mengurangi kecemasan yang disebabkan oleh penyakit tertentu, mereka dapat menghilangkan godaan
pada ketidaktaatan, dan mereka seringkali dapat menjadi kelompok pendukung untuk mencapai kepatuhan.
5. Dukungan dari profesional kesehatan Dukungan dari profesional kesehatan merupakan faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku kepatuhan. Dukungan mereka berguna terutama saat pasien menghadapi bahwa perilaku sehat yang baru tersebut merupakan hal penting. Begitu juga mereka dapat mempengaruhi perilaku pasien dengan cara menyampaikan antusias mereka terhadap tindakan tertentu dari pasien, dan secara terus-menerus memberikan penghargaan yang positif bagi pasien yang telah mampu beradaptasi dengan program pengobatannya.
6. Pendidikan pasien Pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif.
7. Modifikasi faktor-faktor lingkungan sosial Modifikasi faktor-faktor lingkungan sosial berarti membangun hubungan sosial dari keluarga dan teman-teman. Kelompok-kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membentuk kepatuhan terhadap program-program pengobatan seperti berhenti merokok dan menurunkan konsumsi alkohol.
8. Meningkatkan interaksi profesi kesehatan dengan pasien Meningkatkan interaksi profesi kesehatan dengan pasien adalah suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi tentang diagnosis. Pasien membutuhkan penjelasan kondisinya saat ini, apa penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti itu.
9. Perubahan model terapi Program-program pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin, dan pasien terlibat aktif dalam pembuatan program tersebut. Dengan cara ini komponen-komponen sederhana dalam program pengobatan dapat diperkuat, untuk selanjutnya dapat mematuhi komponen-komponen yang lebih kompleks.
2.1.4.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien menurut Niven (2000) adalah sebagai berikut :
1. Keadaan penyakit Pasien yang menderita penyakit kronis (tuberculosis paru) cenderung paling tidak patuh. Ini terutama karena harus menggunakan obat dalam jangka waktu lama dimana gejala yang terasa hanya dalam waktu singkat.
2. Keadaan pasien Kepatuhan pasien menurun pada usia tinggi yang hidup sendiri (tidak ada yang mendorong).
Tingkat ekonomi lemah,
orang-orang dengan
pengetahuan dan pendidikan rendah, dimana faktor budaya atau bahasa menjadi penghalang komunikasi antara petugas kesehatan dengan pasien.
3. Petugas kesehatan Kepatuhan pasien akan dipengaruhi oleh sikap petugas kesehatan dalam melayani pasiennya. Petugas yang bersifat merendah, pasien kurang yakin terhadap terapi yang diputuskan, ada hambatan dalam komunikasi karena faktor budaya, bahasa dan waktu yang disediakan.
4. Pengobatan Kepatuhan pasien akan berkurang apabila obat yang diberikan dalam jangka waktu lama. Bentuk dan keberhasilan kemasan yang terlalu sederhana dimana obat mudah pecah dan terkontaminasi oleh kotoran juga dapat menurunkan kepatuhan pasien untuk minum obat.
5. Struktur pelayanan Semakin sulit tempat pelayanan kesehatan dicapai, semakin berkurang kepatuhan pasien. Kepatuhan yang perlu dimiliki oleh pasien adalah kepatuhan datang teratur/rutin sesuai jadwal untuk mengambil OAT di sarana pelayanan kesehatan, kepatuhan minum OAT sesuai resep dokter, kepatuhan untuk menjaga pola hidup,
kepatuhan untuk datang mengontrol perkembangan kesehatan di sarana pelayanan kesehatan, dan kepatuhan menjalani pengobatan sampai tuntas (sesuai dengan waktu pengobatan yang telah direkomendasikan). 2.1.5. Hubungan pengetahuan dengan kepatuhan datang berobat pasien TB Paru Salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan berobat pasien TB Paru adalah masalah pengetahuan. Semakin besar/tinggi tingkat pengetahuan seorang penderita TB Paru maka akan semakin tinggi pula tingkat kepatuhan datang berobat. Pengetahuan merupakan hal mendasar yang akan sangat berpengaruh pada sikap/kepatuhan berobat, terutama dalam hal lama pengobatan TB Paru agar klien tahu benar apa manfaat pengobatan yang cukup lama tersebut (6 bulan) yang harus dijalankan secara rutin dan teratur. 2.2. Kerangka Berpikir Variabel Independen PENGETAHUAN
Variabel Dependen KEPATUHAN DATANG BEROBAT
2.3. Hipotesis Penelitian h1 : ada hubungan antara pengetahuan dengan kepatuhan datang berobat pasien tuberculosis paru di Puskesmas Limba B Kota Gorontalo tahun 2012.