BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Tuberkulosis Paru Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis,yang sebagian besar kuman tuberkulosis menyerang paru,tetapi juga dapat mengenai organ tubuh lainnya. Kuman Mycobacterium tuberculosis pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1882 (Depkes RI. 2008). 2.2
Etiologi
Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1 – 4 µm dan tebal 0,3 – 0,6 µm dan digolongkan dalam basil tahan asam (BTA). Bakteri Mycobacterium tuberculosis seperti halnya bakteri lain pada umumnya, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban yang tinggi. Air membentuk lebih dari 80% volume sel bakteri dan merupakan hal essensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri (Gibson, 2000).. 2.3 Cara Penularan Sumber penularan penyakit Tb paru adalah penderita dengan Tb BTA positif. Penderita menyebarkan kuman ke udara pada waktu batuk atau bersin dalam bentuk percikan dahak (droplet), percikan yang mengandung kuman tuberkulosis dapat bertahan diudara beberapa jam pada suhu kamar, terhirup oleh orang sehat sewaktu bernapas, selanjutnya akan berkembang biak dalam jaringan
paru-paru, kemungkinan pula masuk kebagian tubuh lainnya melalui pembuluh darah, saluran limfe, atau penyebaran langsung ketubuh lainnya (Enarson, 1996). Makin tinggi gradasi kuman BTA hasil pemeriksaan dahak makin menular penderita tersebut, bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman dibawah mikroskop) maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi Tb ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Faktor lain yang mempengaruhi seseorang terinfeksi Tb adalah daya tahan tubuh yang rendah diantaranya karena gizi buruk atau HIV/AIDS (Depkes 2001). 2.4 Patogenesis 2.4.1 Infeksi Primer Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman Tb droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman Tb berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri diparu yang mengakibatkan peradangan didalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman Tb ke kelenjar limfe disekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4 - 6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberculin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh
tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman Tb. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita Tb Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit diperkirakan sekitar 6 bulan. 2.4.2
Tuberkulosis Pasca Primer (Post Primary Tb) Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau
setahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberculosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitasi atau efusi pleura. 2.5 Penemuan Penderita 2.5.1 Penemuan Penderita Pada Orang Dewasa Penemuan kasus (case detection rate) adalah komponen yang sangat penting dalam pemberantasan penyakit tuberkulosis paru dan hampir semua penyakit menular lainnya. Tujuan penemuan kasus adalah untuk menentukan sumber infeksi dalam masyarakat yang berarti mencari orang yang mengeluarkan basis tuberkulosis untuk diobati. 2.5.2
Penemuan Penderita Pada Anak Penemuan penderita pada anak sebagian besar didasarkan pada gambaran
klinis, foto rontgen dan uji tuberculin.
2.6 Diagnosis TB Paru Diagnosis Tb paru ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan jasmani radiologi dan pemeriksaan laboratorium. Di Indonesia, pada saat ini uji tuberkulin tidak mempunyai arti dalam menentukan diagnosis Tb paru pada orang dewasa,
sebab
sebagian
besar
masyarakat
indonesia
sudah
terinfeksi
Mycobacterium tuberculosis karena tingginya prevalensi Tb paru. Uji tuberkulin positif hanya menunjukan bahwa orang yang bersangkutan pernah terpapar Mycobacterium tuberculosis (Depkes RI, 2008) 2.6.1
Gejala Klinik Gejala klinik Tb paru dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu, gejala
respiratorik dan gejala sistemik. 1). Gejala respiratorik dapat berguna a). Batuk lebih atau sama dengan 2 minggu b). Batuk darah c). Sesak napas d). Nyeri dada 2). Gejala Sistemik a). Demam b). Gejala sistemik lain : malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun.
2.7 Klasifikasi Penyakit Tb Paru a. Tuberkulosis paru BTA positif ; 1. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. 2. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. b. Tuberkulosis paru BTA negatif ; Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. Tuberkulosis paru BTA negatif rontgen positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya yaitu berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto rontgen dada memperlihatkan kerusakan paru yang luas (misalnya proses for advanced millier) dan keadaan umum penderita buruk. Bentuk ringan bila gambaran foto rontgen dada memperlihatkan sedikit kerusakan paru dan keadaan umum penderita baik. c. Tuberkulosis Ekstra Paru Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung, kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lainlain. 2.8 Tipe Penderita Tb paru Tipe pendcerita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita yaitu :
a. Kasus baru Adalah penderita yang belum diobati dengan OAT atau sudah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian). b.
Kambuh Adalah penderita Tb paru yang sebelumnya mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
c.
Pindahan Adalah penderita
yang sedang mendapat
pengobatan di
suatu
Kabupaten/Kota lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten / kota lain. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan / pindah. d.
Lalai Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
e.
Lain-lain 1). Gagal Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada lahir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan atau lebih). 2). Kronis Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan basil BTA positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 (Depkes RI, 2008).
2.9 Pengobatan Tb Paru Pengobatan tuberculosis berdasarkan panduan OAT dan terdiri dari faseintensif dan fase lanjutan (Crofton, 2005) adalah : a. Kategori 1 (2HRZE/4H3R3) Obat ini diberikan untuk: 1) Penderita baru Tb paru BTA positif 2) Penderita Tb paru BTA positif rontgen positif yang sakit berat 3) Penderita Tb ekstra paru berat b. Kategori 2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3) Obat ini diberikan untuk: 1) Penderita kambuh (relaps) 2) Penderita gagal (failure) 3) Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default) c. Kategori 3 (2HRZ/4H3R3) Obat ini diberikan untuk: 1) Penderita baru BTA positif dan rontgen positif sakit ringan 2) Penderita ekstra paru ringan, yaitu Tb kelenjar limfe (limfadenitis), pleuritis eksudativa unilateral, Tb kulit, Tb tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal. OAT sisipan (HRZE) 2.10
Beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian Tuberkulosis Paru Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kejadian
Tb
Paru
adalah
ventilasi,pencahyaan,suhu udara,kepadatan hunian (lingkungan rumah),keadaan
sosial ekonomi (faktor kependudukan) dan kontak serumah dengan penderita (faktor kontak). 2.10.1 Lingkungan Rumah Pada umumnya, lingkungan rumah yang buruk (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan berpengaruh pada penyebaran penyakit menular termasuk penyakit Tb. Berikut ini akan diuraikan mengenai lingkungan rumah yang berpengaruh terhadap kejadian Tb : a. Ventilasi Ventilasi yaitu proses penyediaan udara atau pengerahan udara ke atau dari ruangan baik secara alami maupun secara mekanis. Fungsi dari ventilasi dapat dijabarkan sebagai barikut (Prabu, 2009): 1. Mensuplai udara bersih yaitu udara yang mengandung kadar oksigen yang optimum bagi pernapasan. 2. Membebaskan udara ruangan dari bau-bauan asap ataupun debu dan zatzat pencemar lain dengan pengenceran udara 3. Mensuplai panas agar hilang panas badan seimbang. 4. Mensuplai panas akibat hilangnya panas ruangan dan bangunan. 5. Mengeluarkan kelebihan udara panas yang disebabkan oleh radiasi tubuh, kondisi evaporasi atupun keadaan ekternal. Mendisfungsikan suhu udara secara merata (Prabu, 2009) Ventilasi adalah usaha untuk memenuhi kondisi atmosfer yang menyenangkan dan menyehatkan manusia. Berdasarkan kejadiannya, maka ventilasi dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu (Lubis, 2000):
1. Ventilasi alam Ventilasi alam berdasarkan pada tiga kekuatan, yaitu: daya difusi dari gasgas, gerakan angin dan gerakan massa di udara karena perubahan temperatur. Ventilasi alam ini mengandalkan pergerakan udara bebas (angin), temperatur udara dan kelembabannya. Selain melalui jendela, pintu dan lubang angin, maka ventilasi pun dapat diperoleh dari pergerakan udara sebagai hasil sifat porous dinding ruangan, atap dan lantai. 2. Ventilasi buatan Pada suatu waktu, diperlukan juga ventilasi buatan dengan menggunakan alat mekanis maupun elektrik. Alat-alat tersebut diantarana adalah kipas angin, exhauster dan AC (air conditioner). Persyaratan ventilasi yang baik adalah sebagai berikut: 1. Luas lubang ventilasi tetap minimal 5% dari luas lantai ruangan, sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup) minimal 5% dari luas lantai. Jumlah keduanya menjadi 10% dari luas lantai ruangan. 2. Udara yang masuk harus bersih, tidak dicemari asap dari sampah atau pabrik, knalpot kendaraan, debu dan lain-lain. 3. Aliran udara diusahakan cross ventilation dengan menempatkan lubang ventilasi berhadapan antar dua dinding. Aliran udara ini jangan sampai terhalang oleh barangbarang besar, misalnya lemari, dinding, sekat dan lain-lain (Lubis, 2000).
Secara umum, penilaian ventilasi rumah dengan cara membandingkan antara luas ventilasi dan luas lantai rumah, dengan menggunakan Role meter. Menurut indikator pengawaan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah 10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 10% luas lantai rumah. Rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya (Notoatmodjo, 2003). Salah satu fungsi ventilasi adalah menjaga aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Luas ventilasi rumah yang < 10% dari luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksigen dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya. Disamping itu, tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan berkembang biaknya bakteri-bakteri patogen termasuk kuman tuberkulosis (Notoatmodjo, 2003). Selain itu, fungsi kedua ventilasi adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen seperti tuberkulosis, karena di situ selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan terhalangngya proses pertukaran aliran udara dan sinar matahari yang masuk ke dalam rumah, akibatnya kuman tuberkulosis yang ada di
dalam rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap bersama udara pernafasan (Notoatmodjo, 2003). b. Pencahayaan Pencahayaan alami ruangan rumah adalah penerangan yang bersumber dari sinar matahari (alami), yaitu semua jalan yang memungkinkan untuk masuknya cahaya matahari alamiah, misalnya melalui jendela atau genting kaca. Cahaya berdasarkan sumbernya dibedakan menjadi dua jenis, yaitu (Notoatmodjo, 2003): 1. Cahaya Alamiah Cahaya alamiah yakni matahari. Cahaya ini sangat penting, karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya kuman TBC. Oleh karena itu, rumah yang cukup sehat seyogyanya harus mempunyai jalan masuk yang cukup (jendela), luasnya sekurang-kurangnya 15% - 20%. Perlu diperhatikan agar sinar matahari dapat langsung ke dalam ruangan, tidak terhalang oleh bangunan lain. Fungsi jendela disini selain sebagai ventilasi, juga sebagai jalan masuk cahaya. Selain itu jalan masuknya cahaya alamiah juga diusahakan dengan genteng kaca (Notoatmodjo, 2003). 2. Cahaya Buatan Cahaya buatan yaitu cahaya yang menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah, seperti lampu minyak tanah, listrik, api dan lain-lain. Kualitas dari cahaya buatan tergantung dari terangnya sumber cahaya (brightness of the source). Pencahayaan buatan bisa terjadi dengan 3 cara, yaitu direct, indirect, semi direct atau general diffusing (Notoatmodjo, 2003).
Secara umum pengukuran pencahayaan terhadap sinar matahari adalah dengan menggunakan lux meter, yang diukur ditengah-tengah ruangan, pada tempat setinggi < 84 cm dari lantai, dengan ketentuan tidak memenuhi syarat kesehatan bila < 50 lux atau > 300 lux, dan memenuhi syarat kesehatan bila pencahayaan rumah antara 50-300 lux (Lubis, 2003). c. Suhu Udara Rumah dinyatakan sehat dan nyaman, apabila suhu udara dan kelembaban udara ruangan sesuai dengan suhu tubuh manusia normal. Suhu udara dan kelembaban ruangan sangat dipengaruhi oleh penghawaan dan pencahayaan. Penghawaan yang kurang atau tidak lancar akan menjadikan ruangan terasa pengap atau sumpek dan akan menimbulkan kelembaban tinggi dalam ruangan. Untuk mengatur suhu udara dan kelembaban normal untuk ruangan dan penghuni dalam melakukan kegiatannya, perlu memperhatikan: 1. Keseimbangan penghawaan antara volume udara yang masuk dan keluar. 2. Pencahayaan yang cukup pada ruangan dengan perabotan tidak bergerak. 3. Menghindari perabotan yang menutupi sebagian besar luas lantai ruangan. (Menteri Pekerjaan Umum, 2006) d. Kepadatan hunian Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal. Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m² per orang. Luas minimum per orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk perumahan sederhana, minimum 9 m²/orang. Untuk kamar tidur
diperlukan minimum 3 m²/orang. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami istri dan anak dibawah dua tahun. Apabila ada anggota keluarga yang menjadi penderita penyakit tuberkulosis sebaiknya tidak tidur dengan anggota keluarga lainnya. Secara umum penilaian kepadatan penghuni dengan menggunakan ketentuan standar minimum, yaitu kepadatan penghuni yang memenuhi syarat kesehatan diperoleh dari hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni > 9 m²/orang dan kepadatan penghuni tidak memenuhi syarat kesehatan bila diperoleh hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni < 9 m²/orang (Lubis, 2000). Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh bagi penghuninya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan perjubelan (overcrowded). Hal ini tidak sehat karena disamping menyebabakan kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, terutama tuberkulosis akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain (Notoatmodjo, 2003). E .Kontak Serumah Kontak serumah dengan penderita Tb paru merupakan salah satu faktor risiko terjadinya Tb paru. Semua kontak penderita Tb paru positif harus diperiksa dahak. Kontak erat seperti dalam keluarga dan pemaparan besar-besaran seperti pada petugas kesehatan memungkinkan penularan lewat percikan dahak. Faktor risiko tersebut semakin besar bila kondisi lingkungan perumahan jelek seperti kepadatan penghuni, ventilasi yang tidak memenuhi syarat dan kelembaban dalam rumah merupakan media transisi kuman Tb paru untuk dapat hidup dan menyebar.
Untuk itu penderita Tb paru dapat menularkan secara langsung terutama pada lingkungan rumah, masyarakat di sekitarnya dan lingkungan tempat bekerja, makin
meningkatnya
waktu
berhubungan
dengan
penderita
memberi
kemungkinan infeksi lebih besar pada kontak. Hal tersebut memberikan gambaran bahwa pemaparan kuman Tb Paru dapat dipengaruhi oleh faktor individu, keeratan kontak dan faktor lingkungan rumah seseorang. 2.10.2 Faktor Kependudukan F. Pendapatan Keluarga Pada masyarakat dengan tingkat pendapatan yang tinggi lebih mampu memanfaatkan pelayanan kesehatan untuk melakukan pengobatan, sedangkan seseorang dengan tingkat pendapatan yang rendah kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada, mungkin oleh karena tidak mempunyai cukup uang untuk membeli obat atau untuk yang lain. Hal itu dapat mengakibatkan penyakit yang di derita bertambah parah. Penurunan pendapatan dapat menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam memenuhi konsumsi makanan sehingga akan berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status gizi buruk maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun sehingga memudahkan terkena infeksi Tb Paru. Jenis pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terhadap pendapatan keluarga yang akan mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari diantara konsumsi makanan, pemeliharaan kesehatan selain itu juga akan mempengaruhi terhadap kepemilikan rumah (Depkes, 2001). Kepala keluarga yang mempunyai pendapatan dibawah UMP
akan
mengkonsumsi makanan dengan kadar gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan bagi setiap anggota keluarga sehingga mempunyai status gizi yang kurang dan akan memudahkan untuk terkena penyakit infeksi diantaranya Tb Paru. Dalam hal jenis kontruksi rumah dengan mempunyai pendapatan yang kurang maka kontruksi rumah yang dimiliki tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga akan mempermudah terjadinya penularan penyakit Tb Paru (Depkes, 2001).
2.11 Kerangka Teori Host,
Agent, dan Lingkungan merupakan faktor penentu yang saling
berinteraksi, terutama dalam perjalanan alamiah epidemi Tb Paru baik periode Prepatogenesis maupun Patogenesis. Interaksi tersebut dapat digambarkan dalam Bagan “Segitiga Epidemiologi Tb Paru.”
Faktor kependudukan/Host : Pendapatan keluarga
Agent :
Lingkungan/ Environment Ventilasi Pencahayaan Suhu udara rumah Kepadatan hunian Kontak serumah
Mycobacterium tuberculosis
Kejadian Tb Paru
Gambar Kerangka Teori Sumber : Ahmadi (2002) dan Bustan (2002)
2.12 Kerangka Konsep
Ventilasi
Pencahayaan
Suhu Udara Kejadian Tb Paru Kepadatan Hunian
Kontak Serumah
Pendapatan Keluarga
Keterangan :
: Variabel Independen
: Variabel Dependen
: Variabel Yang Diteliti
2.13 Hipotesis Penelitian a.
Hipotesis Nol (Ho)
1. Tidak ada pengaruh faktor ventilasi terhadap kejadian Tuberculosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Bohabak Kecamatan Bolangitang Timur Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Tahun 2012. 2. Tidak ada pengaruh faktor Pencahayaan terhadap kejadian Tuberculosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Bohabak Kecamatan Bolangitang Timur Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Tahun 2012. 3. Tidak ada pengaruh faktor suhu udara dalam rumah terhadap kejadian Tuberculosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Bohabak Kecamatan Bolangitang Timur Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Tahun 2012. 4. Tidak ada pengaruh faktor Kepadatan Hunian terhadap kejadian Tuberculosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Bohabak Kecamatan Bolangitang Timur Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Tahun 2012. 5. Tidak
ada
pengaruh
faktor
kontak
serumah
terhadap
kejadian
Tuberculosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Bohabak Kecamatan Bolangitang Timur Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Tahun 2012. 6. Tidak ada pengaruh faktor Pendapatan Keluarga terhadap kejadian Tuberculosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Bohabak Kecamatan Bolangitang Timur Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Tahun 2012.
b. Hipotesis Alternatif (Ha) 1. Ada pengaruh faktor ventilasi terhadap kejadian Tuberculosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Bohabak Kecamatan Bolangitang Timur Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Tahun 2012. 2. Ada pengaruh faktor Pencahayaan terhadap kejadian Tuberculosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Bohabak Kecamatan Bolangitang Timur Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Tahun 2012. 3. Ada pengaruh faktor suhu udara dalam rumah terhadap kejadian Tuberculosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Bohabak Kecamatan Bolangitang Timur Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Tahun 2012. 4. Ada pengaruh faktor Kepadatan Hunian terhadap kejadian Tuberculosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Bohabak Kecamatan Bolangitang Timur Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Tahun 2012. 5. Ada pengaruh faktor kontak serumah terhadap kejadian Tuberculosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Bohabak Kecamatan Bolangitang Timur Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Tahun 2012. 6. Ada
pengaruh
faktor
Pendapatan
Keluarga
terhadap
kejadian
Tuberculosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Bohabak Kecamatan Bolangitang Timur Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Tahun 2012.