BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Teori Keagenan Teori keagenan mendeskripsikan hubungan antara pemegang saham
sebagai prinsipal dan manajemen sebagai agen. Manajemen merupakan pihak yang dikontrak oleh pemegang saham untuk bekerja demi kepentingan pemegang saham. Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan hubungan keagenan merupakan suatu kontrak dimana satu atau lebih orang (prinsipal) memerintah orang lain (agen) untuk melakukan suatu jasa atas nama prinsipal serta memberi wewenang kepada agen membuat keputusan yang terbaik bagi prinsipal. Entitas di Indonesia terdiri dari dua sektor, yaitu entitas sektor publik dan non publik/swasta. Anggaran sektor publik berhubungan dengan proses penentuan jumlah dana untuk tiap-tiap program dan aktivitas dalam satuan moneter yang menggunakan dana masyarakat, serta bersifat terbuka untuk publik. Sedangkan anggaran pada sektor swasta bersifat tertutup untuk publik. Meskipun berbeda, kedua sektor memiliki kesamaan dalam hal pihak-pihak yang mengelola entitas tersebut yaitu prinsipal dan agen. Eisenhard (1989) dalam Sandrya (2012), menyatakan ada tiga asumsi mengenai teori keagenan yaitu: 1) asumsi tentang sifat manusia, yaitu sifat manusia yang mengutamakan kepentingan sendiri (self interest), keterbatasan rasionalitas atau daya pikir terhadap persepsi masa depan (bounded rationality), dan cenderung untuk menghindari resiko; 2) asumsi tentang keorganisasian, 10
11
adalah konflik antar anggota organisasi, efisiensi, dan asimetri informasi yang terjadi antara prinsipal dan agen; dan 3) asumsi tentang informasi, adalah informasi dianggap sebagai barang komoditi yang dapat diperjualbelikan. Berdasarkan ketiga asumsi tersebut manusia akan bertindak opportunistik, yaitu mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan organisasi. Agen akan termotivasi untuk meningkatkan kompensasi dan jenjang karir di masa mendatang, sedangkan prinsipal termotivasi untuk meningkatkan utilitas dan profitabilitasnya. Konflik kepentingan antara agen dan prinsipal akan terus meningkat, karena prinsipal tidak dapat memonitor kegiatan agen setiap hari. Sebaliknya, agen memiliki lebih banyak informasi penting mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja dan organisasinya secara keseluruhan. Hal inilah yang menimbulkan asimetri informasi yaitu ketidakseimbangan informasi antara prinsipal dan agen. Teori keagenan juga menyatakan bahwa entitas merupakan urat nadi dari hubungan-hubungan keagenan dan mencoba untuk memahami perilaku organisasi dengan menguji bagaimana pihak-pihak dalam hubungan keagenan tersebut memaksimumkan utilitas melalui
kerjasama. Latuheru
(2005)
menyatakan jika bawahan (agent) yang berpartisipasi dalam proses penyusunan anggaran
mempunyai
informasi
khusus
tentang
kondisi
lokal,
akan
memungkinkan bawahan memberikan informasi yang dimilikinya untuk membantu kepentingan perusahaan. Namun sering keinginan atasan tidak sama dengan bawahan sehingga menimbulkan konflik diantara mereka. Hal ini dapat terjadi dalam melakukan kebijakan pemberian rewards organisasi kepada
12
bawahan
didasarkan
pada
pencapaian
anggaran.
Bawahan
cenderung
memberikan informasi yang bias agar anggaran mudah dicapai dan mendapatkan rewards berdasarkan pencapaian
anggaran tersebut.Kondisi
ini akan
menyebabkan terjadinya senjangan anggaran.
2.2
Pengertian Anggaran Anggaran didefinisikan sebagai suatu rencana yang disusun secara
sistematis dalam bentuk angka dan dinyatakan dalam unit moneter yang meliputi seluruh kegiatan perusahaan untuk jangka waktu (periode) tertentu di masa yang akan datang. Oleh karena itu rencana yang disusun dinyatakan dalam bentuk unit moneter, maka anggaran sering kali disebut juga dengan rencana keuangan. Secara lebih substansial, penganggaran merupakan komitmen resmi manajemen yang terkait dengan harapan manajemen tentang pendapatan, biaya dan beragam transaksi keuangan dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang. Seringkali anggaran juga disebut sebagai rencana manajemen. Sebagai rencana manajemen anggaran mempunyai beberapa karakteristik sebagai berikut: 1) Dinyatakan dalam satuan, walaupun angkanya berasal dari angka yang bukan satuan uang, misalnya jumlah produk terjual. 2) Mencakup periode waktu tertentu. 3) Isinya menyangkut komitmen manajemen. 4) Usulan anggaran diperiksa dan disetujui oleh orang yang memiliki wewenang lebih tinggi daripada penyusunnya.
13
5) Jika anggaran sudah disahkan, maka anggaran tidak dapat dirubah kecuali dalam keadaan khusus. 6) Realisasi anggaran dibandingkan dengan anggaran secara periodik dan penyimpangan yang terjadi dianalisis dan dijelaskan. Dari pengertian di atas maka terlihat bahwa anggaran sangat diperlukan oleh setiap manajer dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Tujuan pokok dalam penyusunan anggaran adalah sebagai berikut: 1) Memperbaiki rencana strategis organisasi. 2) Mengkoordinasikan aktivitas berbagai bagian organisasi. 3) Menyerahkan tanggung jawab kepada manajer, memberikan otorisasi besarnya biaya yang boleh dikeluarkan dan memberikan umpan balik kepada manajer atas kinerja mereka. 4) Sebagai perjanjian atau komitmen yang merupakan dasar untuk mengevaluasi kinerja manajer sesungguhnya.
2.3
Partisipasi Penganggaran Partisipasi penganggaran merupakan suatu pernyataan formal yang dibuat
oleh manajemen tentang rencana-rencana yang akan dilakukan pada masa yang akan datang dalam suatu periode tertentu, yang akan digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan kegiatan selama periode tersebut (Hanson, 1966). Partisipasi secara luas pada dasarnya merupakan proses organisasional, dimana para anggota organisasi ikut serta dan mempunyai pengaruh dalam pembuatan keputusan yang berkepentingan dengan mereka. Milani (1975),
14
menyatakan bahwa tingkat keikutsertaan dan pengaruh bawahan terhadap pembuatan keputusan dalam proses penyusunan anggaran merupakan faktor utama yang membedakan anggaran partisipatif tersebut. Dengan menyusun anggaran secara partisipatif diharapkan kinerja para manajer akan meningkat. Anggaran partisipatif mengarah kepada seberapa besar keterlibatan individu dalam menyusun anggaran serta pelaksanaannya untuk mencapai target anggaran. hal ini diperlukan agar para manajer merasa lebih puas dan produktif dalam bekerja, sehingga akan timbul perasaan untuk selalu ingin berprestasi. Menurut Siegel
dan Marconi (1989),
penerapan partisipasi dan
penyusunan anggaran memberikan banyak manfaat antara lain: 1) Partisipan (orang yang terlibat dalam proses penyusunan anggaran) menjadi egoinvolved tidak hanya task-involved dalam kerja mereka. 2) Partisipasi akan menaikkan rasa kebersamaan dalam kelompok, yang akibatnya akan menaikkan kerjasama anggota kelompok dalam penerapan sasaran. 3) Partisipasi dapat mengurangi rasa tertekan akibat adanya anggaran. 4) Partisipasi dapat mengurangi rasa ketidaksamaan di dalam alokasi sumber daya di antara bagian-bagian organisasi.
2.4
Senjangan Anggaran Penjelasan kosep senjangan anggaran dapat dimulai dari pendekatan
agency theory. Praktik senjangan anggaran dalam perspektif agency theory dipengaruhi adanya konflik kepentingan antara agen (manajemen) dengan
15
principal yang timbul ketika setiap pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendakinya. Menurut Anthony dan Govindarajan (2005:85), budget slack adalah perbedaan jumlah anggaran yang diajukan oleh bawahan dengan jumlah estimasi yang terbaik dari organisasi. Kesenjangan anggaran atau yang lebih dikenal dengan budget slack dilakukan oleh bawahan yaitu dengan menyajikan anggaran dengan tingkat kesulitan yang rendah agar mudah dicapai dan kesenjangan ini cenderung dilakukan oleh bawahan karena mengetahui bahwa kinerja mereka diukur berdasarkan tingkat pencapaian anggaran yang telah ditetapkan bersama. Jika pemberian rewards perusahaan kepada bawahan didasarkan pada pencapaian anggaran, maka bawahan cenderung memberikan informasi yang bias agar anggaran mudah dicapai dan memberikan penilaian kinerja yang baik. Sehingga, pada organisasi yang memberikan rewards berdasar pencapaian anggaran, hubungan antara partisipasi penganggaran dan senjangan anggaran adalah positif. Persoalan-persoalan senjangan anggaran terjadi karena perhatian yang tidak memadai terhadap pembuatan keputusan, komunikasi, proses persetujuan anggaran dan kepemimpinan yang tidak selektif. Permasalahan ini sering diidentifikasi dengan anggaran pemerintah. Anggaran seperti ini lebih berbahaya di pemerintahan, karena yang memberikan persetujuan adalah badan legislatif yang tidak terlibat dalam proses manajemen setelah memberikan persetujuan. Permasalahan pembengkakan anggaran pada dasarnya dapat diatasi melalui pendidikan anggaran secara berkesinambungan yang efektif yang memusatkan
16
pada kebijakan dan keluwesan dalam menjalankan program perencanaan dan pengendalian. Anggaran daerah harus bisa menjadi tolak ukur pencapaian kinerja yang diharapkan sehingga perencanaan anggaran harus bisa menggambarkan sasaran kinerja secara jelas. Adanya sasaran anggaran yang jelas maka akan mempermudah unutk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan tugas organisasi dalam rangka mencapai tujuan-tujuan dan sasaransasaran yang telah ditetapkan sebelumnya.
2.5
Komitmen Organisasi Mowday et al (1979) menyebutkan bahwa komitmen organisasi
merupakan keyakinan dan dukungan yang kuat terhadap nilai dan sasaran (goal) yang ingin dicapai organisasi. Komitmen organisasi sedikitnya memiliki tiga karakteristik. Pertama, memiliki kepercayaan yang kuat dan menerima nilai-nilai dan tujuan organisasi. Kedua, kemauan yang kuat untuk berusaha atau bekerja keras untuk organisasi. Ketiga, keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi. Robbins and Judge (2008) mengemukakan bahwa komitmen organisasi didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak organisasi tertentu serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi tersebut. Tiga dimensi terpisah komitmen organisasi adalah:
17
1) Komitmen afektif (affective commitment) yaitu perasaan emosional untuk organisasi dan keyakinan dalam nilai-nilainya. 2) Komitmen berkelanjutan (continuance commitment) yaitu nilai ekonomi yang dirasa dari bertahan dalam suatu organisasi bila dibandingkan dengan meninggalkan organisasi tersebut. 3) Komitmen normatif (normative commitment) yaitu kewajiban untuk bertahan dalam organisasi untuk alasan-alasan moral atau etis. Allen and Meyer (1990) juga menyatakan bahwa karyawan yang memiliki komitmen pada organisasinya akan bekerja dengan penuh dedikasi karena karyawan yang memiliki komitmen tinggi menganggap bahwa hal yang penting harus dicapai adalah pencapaian tugas dalam organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen tinggi pada organisasi juga memiliki pandangan positif dan akan melakukan yang terbaik untuk kepentingan organisasi. Komitmen ini membuat karyawan memiliki keinginan untuk memberikan tenaga dan tanggungjawab yang lebih menyokong kesejahteraan dan keberhasilan organisasi tempatnya bekerja.
2.6
Karakteristik SKPD Pusat pertanggungjawaban adalah unit organisasi yang dipimpin oleh
seorang manajer
pusat pertanggungjawaban.
Pusat
pertanggungjawaban
dimaksudkan untuk membantu mengimplementasikan rencana manajemen puncak.
Dalam
kaitan
pusatpertanggungjawaban.
ini,
organisasi
Keseluruhan
pusat
terdiri
dari
kumpulan
pertanggungjawaban
ini
18
membentuk jenjang hierarki dalam organisasi tersebut. Pada penelitian ini, pusat pertanggungjawaban revenue dan pusat pertanggungjawaban biaya yang digunakan sebagai dasar menentukan perbedaan karakteristik SKPD, yaitu: 1) Pusat biaya (expense center) Pusat biaya adalah pusat pertanggungjawaban dimana prestasi manajer dinilai berdasarkan biaya yang telah dikeluarkan. Contoh: Dinas Sosial, Dinas Pekerjaan Umum, dan Departemen Produksi. 2) Pusat pendapatan (revenue center) Pusat pendapatan adalah pusat pertanggungjawaban yang prestasi manajernya dinilai berdasarkan pendapatan yang dihasilkan. Contoh: Departemen Pemasaran dan Dinas Pendapatan Daerah. Pusat pertanggungjawaban merupakan bagian yang paling kompeten untuk menyiapkan anggaran karena merekalah yang paling dekat dan berhubungan langsung dengan aktivitas pelayanan masyarakat. Adapun kompetensi penting ini muncul adalah karena pusat pertanggungjawaban mengemban fungsi sebagai budget holder, sehingga proses penyiapan dan pengendalian anggaran harus menjadi fokus perhatian manajer pusat pertanggungjawaban (Mardiasmo, 2002).
2.7
Pendekatan Kontijensi Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ada ketidakkonsistenan
antara satu
peneliti dengan peneliti
lainnya,
sehingga
para peneliti
berkesimpulan bahwa ada variabel lain yang memengaruhinya. Govindarajan (1986) dalam Husnatarina dan Nor (2007) mengemukakan bahwa untuk
19
menyelesaikan perbedaan dari berbagai hasil temuan tersebut, dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan kontijensi (contigency approach). Pendekatan kontijensi tersebut memungkinkan adanya variabel-variabel lain yang dapat bertindak sebagai variabel moderating maupun intervening yang memengaruhi hubungan antara partisipasi penganggaran dengan senjangan anggaran. Murray (1990) dalam Husnatarina dan Nor (2007) menjelaskan bahwa Variabel Moderating adalah variabel yang memengaruhi hubungan antara dua variabel. Sedangkan variabel intervening adalah variabel yang dipengaruhi oleh suatu variabel lain dan memengaruhi variabel lainnya. Dengan kata lain variabel intervening merupakan variabel perantara antara dua variabel. Dalam penelitian ini, pendekatan kontijensi akan digunakan untuk mengevaluasi keefektifan hubungan partisipasi penganggaran pada senjangan anggaran. Berdasarkan pendekatan kontijensi di atas peneliti menduga komitmen organisasi dan karakteristik SKPD akan memoderasi hubungan partisipasi anggaran dengan senjangan anggaran.
2.8
Penelitian Terdahulu Penelitian Yilmaz dan Ozer (2011) yang menguji pengaruh persepsi
keadilan prosedural, efektivitas pengendalian anggaran dan iklim kerja etis kecenderungan untuk menciptakan senjangan anggaran. Data penelitian dikumpulkan dengan memberikan kuesioner kepada 465 manajer yang bekerja pada organisasi sektor publik sebagai sampel penelitian. Penelitian tersebut menemukan efektivitas pengendalian anggaran, iklim kerja etis dan persepsi
20
keadilan prosedural dari manajer memiliki dampak signifikan terhadap kecenderungan manajer untuk menciptakan senjangan anggaran. Penelitian Stede (2000) mengumpulkan data melalui kuesioner dengan menggunakan 341 responden, yaitu manajer unit bisnis umum dengan garis pelaporan langsung ke perusahaan di Belgia, menemukan bukti bahwa budgetary control berpengaruh negatif dan signifikan pada senjangan anggaran. Penelitian yang dilakukan oleh Belianus Patria Latuheru (2005) menguji pengaruh variabel komitmen organisasi dan partisipasi anggaran pada senjangan anggaran. Hasil dari penelitian tersebut adalah interaksi antara variabel komitmen
organisasi
dengan
partisipasi
anggaran
akan
menurunkan
kecenderungan manajer dalam menciptakan senjangan anggaran. Pengaruh partisipasi anggaran terhadap senjangan anggaran dengan menggunakan lima variabel pemoderasi diuji Ikhsan dan Ane (2007). Menggunakan 37 responden pada perusahaan manufaktur yang berada pada Kawasan Industri Medan dengan menggunakan teknik kuesioner. Temuan dari hasil pengujian adalah partisipasi anggaran berpengaruh positif terhadap senjangan anggaran. Desmiyawati (2009) menguji pengaruh partisipasi anggaran terhadap senjangan anggaran dengan komitmen organisasi sebagai variabel moderating, pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner terhadap 103 responden di lingkungan pemerintah daerah Kabupaten Indragiri Hulu. Dari hasil pengujian dapat disimpulkan bahwa partisipasi anggaran berpengaruh negatif signifikan
21
terhadap senjangan anggaran. Tetapi tidak terdapat pengaruh interaksi partisipasi anggaran dan komitmen organisasi pada senjangan anggaran. Pengaruh partisipasi anggaran terhadap senjangan anggaran dengan asimetri informasi dan komitmen organisasi sebagai pemoderasi (studi empiris pada Pemerintah Daerah Kota Padang) diuji oleh Elfi Rahmiati (2013). Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa partisipasi anggaran berpengaruh signifikan negatif terhadap senjangan anggaran, asimetri informasi berpengaruh signifikan positif terhadap hubungan partisipasi anggaran dengan senjangan anggaran dan komitmen organisasi tidak berpengaruh terhadap hubungan partisipasi anggaran dengan senjangan anggaran.
22