BAB II KAJIAN PUSTAKA
Suatu teori dalam penelitian berperan penting untuk menurunkan hipotesis dan menjelaskan suatu fenomena. Oleh karenanya, teori yang digunakan harus mampu mencapai maksud penelitian. 2.1 Teori Keagenan (Agency Theory) Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan hubungan keagenan sebagai suatu kontrak dimana satu orang atau lebih (prinsipal) meminta pihak lainnya (agen) untuk melaksanakan sejumlah pekerjaan atas nama prinsipal yang melibatkan pendelegasian beberapa wewenang pembuatan keputusan kepada agen. Jika kedua pihak yang terlibat dalam kontrak tersebut berusaha untuk memaksimalkan utilitas mereka, maka ada kemungkinan bahwa agen tidak akan selalu bertindak untuk kepentingan terbaik prinsipal. Kontrak yang efisien merupakan kontrak yang memenuhi dua asumsi, yaitu (1) agen dan prinsipal memiliki informasi yang simetris, artinya baik agen maupun prinsipal memiliki kualitas dan jumlah informasi yang sama sehingga tidak terdapat informasi tersembunyi yang dapat digunakan untuk keuntungan dirinya sendiri; (2) risiko yang dipikul agen berkaitan dengan imbal jasanya adalah kecil, yang berarti agen mempunyai kepastian yang tinggi mengenai imbalan yang diterimanya. Teori agensi mengasumsikan bahwa agen memiliki informasi mengenai pekerjaannya yang lebih banyak dibandingkan dengan
11
12
prinsipal, sehingga menimbulkan terjadinya informasi asimetri yang dapat memberikan keuntungan bagi agen. Pada konteks ini, penugasan audit mencerminkan hubungan keagenan. Lembaga audit yang berperan sebagai prinsipal, meminta tim audit (agen) untuk melaksanakan sejumlah pekerjaan atas nama prinsipal pada penugasan audit. Prinsipal mengatur komposisi tim audit dengan mempertimbangkan anggaran waktu, kompleksitas tugas, dan pengalaman auditor agar pelaksanaan audit dapat berjalan secara efektif dan efisien. Tahap pengumpulan bukti audit yang dilaksanakan oleh agen, sebagian besar terpisah dari pembuatan kesimpulan akhir yang menjadi tanggung jawab prinsipal.
Prinsipal membangun kesimpulan
berdasarkan kertas kerja audit yang disiapkan oleh agen, tanpa terlibat dalam penyusunan kertas kerja tersebut. Situasi ini dapat menimbulkan asimetri informasi di antara kepentingan prinsipal dan kepentingan agen. Agen yang memiliki informasi yang lebih banyak mengenai kondisi penugasan, dapat bertindak disfungsional demi penyelesaian penugasannya untuk kepentingannya sendiri, sehingga berdampak pada kualitas audit.
2.2 Teori Perkembangan Moral (Moral Development Theory) Salah satu teori perkembangan moral dalam literatur psikologi dikemukakan oleh Kohlberg pada tahun 1958 (Agoes dan Ardana, 2009). Perkembangan moral (moral development) bergantung pada perkembangan intelektual seseorang dan berhubungan dengan tahapan perkembangan intelektual
13
tersebut. Tatkala kemampuan persepsi meningkat, maka tahap perkembangan moral juga meningkat. Dalam tahapan pertama (pre-conventional), individu akan melakukan suatu tindakan karena takut terhadap hukum/peraturan yang ada. Selain itu individu pada level moral ini juga akan memandang kepentingan pribadinya sebagai hal yang utama dalam melakukan suatu tindakan. Pada tahap kedua (conventional), individu akan mendasarkan tindakannya persetujuan teman-teman dan keluarganya dan juga pada norma-norma yang ada di masyarakat. Pada tahap ketiga
(post-conventional),
individu
mendasari
tindakannya
dengan
memperhatikan kepentingan orang lain dan berdasarkan tindakannya pada hukumhukum universal. Berkaitan dengan suatu profesi, etika profesional merupakan prinsip moral yang menunjukan perilaku yang baik dan yang buruk, yang bersangkutan dengan suatu profesi itu. Kode etik atau prinsip-prinsip etika akan semakin mudah diimplementasikan dalam suatu masyarakat dengan kesadaran moral yang telah mencapai tingkat ketiga (post-conventional) (Agoes dan Ardana, 2009). Etika profesi auditor dirumuskan agar dalam memberikan jasa profesional, auditor selalu bertindak tegas dan jujur, mematuhi rambu-rambu standar profesional dan teknis yang relevan, dan pada saat menghadapi penugasan, keahlian dan ketelitiannya berjalan sesuai dengan syarat integritas, obyektivitas, serta syarat independensi yang berlaku untuk mencapai kualitas audit yang tinggi.
14
2.3 Teori Resilience (Resilience Theory) Teori resilience dikemukakan oleh Grotberg pada tahun 1995 (Halim, 2014). Resilience merupakan kemampuan seseorang untuk menghadapi dan mengatasi suatu tekanan pekerjaan atau tekanan hidup, yang dikelompokkan menjadi pada empat tingkatan, yaitu menyerah (succumbing), bertahan (survival), pemulihan (recovery), dan maju pesat (thriving). Pada tingkat maju pesat (thriving), individu yang resilience mampu menghadapi dan mengatasi kondisi yang menekan dan menantang, dengan mendatangkan kemampuan baru yang membuat individu menjadi lebih baik. Individu pada tingkat maju pesat (thriving) memiliki karakteristik, sebagai berikut: sikap yang tenang, kontrol emosi, komampuan, visi yang jelas, konsep diri yang positif, komitmen terhadap profesi, pengalaman, pengetahuan, keinginan hubungan sosial yang positif, dan kualitas keimanan. Dalam hal ini, auditor yang berada pada tahapan maju pesat (thriving), mampu menghadapi dan mengatasi anggaran waktu audit yang ketat dan kompleksitas tugas, dengan mengoptimalkan pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya untuk praktik terbaik yang digunakan untuk membuat pertimbangan (judgment).
2.4 Pendekatan Kontijensi (Contingency Approach) Pendekatan kontinjensi dilandaskan pada konsep fit (kecocokan). Tiga pendekatan dalam konsep fit tersebut (Drazin dan Van de Ven, 1985 dalam Suartana, 2010:134), meliputi: seleksi, interaksi, dan sistem. Pendekatan seleksi
15
memperhatikan fit antara variabel kontekstual dan variabel terikat. Pendekatan interaksi memandang bahwa fit antara variabel kontekstual dengan variabel terikat diekspresikan dengan bentuk perkalian antara variabel kontekstual dengan variabel organisasional dalam model regresi. Koefisien signifikansi dari order tertinggi interaksi dalam persamaan regresi menunjukkan adanya dukungan terhadap
hipotesis
yang
dikembangkan.
Sedangkan
pendekatan
sistem
mempelajari dampak dari interaksi variabel kontekstual dan terikat. Keterkaitan interaksi hubungan antara integritas dengan tekanan anggaran waktu, kompleksitas tugas, dan pengalaman kerja dapat dijelaskan menggunakan pendekatan kontinjensi. Pada penugasan audit, penerapan prinsip dan prosedur audit merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan kualitas audit. Namun, tim audit seringkali menghadapi beragam tekanan terkait dengan ketersediaan anggaran waktu, kompleksitas tugas, dan pengalaman, yang berisiko memengaruhi
kemahiran
profesional
dan
perilaku
etis
auditor
dalam
mempertahankan kualitas audit. Pada sisi lain, Kode Etik Auditor Intern Pemerintah Indonesia mengharuskan auditor intern pemerintah untuk menerapkan dan menegakkan prinsip etika, salah satunya integritas. Integritas diperlukan untuk membangun kepercayaan dan dasar kepercayaan atas pertimbangan (judgment) auditor. Dengan demikian, interaksi antara integritas dengan pengaruh tekanan anggaran waktu, kompleksitas tugas, dan pengalaman kerja dapat meminimalkan risiko timbulnya perilaku tidak etis yang memengaruhi kualitas audit.
16
2.5 Kualitas Audit Kualitas audit menurut Government Accountability Office (GAO, 2003) adalah ketaatan pada standar profesi dan perikatan kontrak selama audit berlangsung (Lowenshon et al., 2005). Namun, definisi kualitas audit masih menjadi perdebatan di antara para peneliti. Hal tersebut disebabkan persepsi atas kualitas audit sangat bergantung pada sudut pandang pengguna, auditor, regulator, masyarakat dan semua pemangku kepentingan dalam proses pelaporan keuangan, yang memiliki kepentingan berbeda pada kualitas audit, sehingga memengaruhi jenis indikator yang digunakan untuk menilai kualitas audit (Knechel et al., 2013). Knechel et al. (2013) mengidentifikasi sejumlah karakteristik kualitas audit dari beragam sudut pandang, antara lain: (1) Perihal insentif, karena audit merupakan respon bermotif ekonomi atas risiko; (2) Perihal ketidakpastian, karena output dari audit adalah laporan, tetapi hasilnya tidak pasti dan tidak dapat diamati; (3) Perihal keunikan, karena sifat istimewa audit yang timbul dari variasi karakteristik klien, tim audit, waktu kerja, risiko yang dinilai, dan prosedur yang digunakan; (4) Perihal proses, karena audit merupakan kegiatan yang sistematis; dan (5) Perihal Profesional, karena pelaksanaan proses audit bergantung pada ketepatan pemanfaatan pengetahuan dan keterampilan profesional. Pengertian kualitas audit yang sering digunakan adalah definisi dari DeAngelo (1981), yaitu besarnya probabilitas seorang auditor menemukan dan melaporkan tentang adanya suatu pelanggaran dalam sistem akuntansi kliennya. Probabilitas dari penemuan suatu pelanggaran tersebut tergantung pada kemampuan teknikal auditor atau kompetensi auditor, dan probabilitas dari
17
pelaporan kesalahan itu tergantung pada independensi auditor. Sedangkan, Deis dan Giroux (1992) berargumen bahwa jangka waktu audit adalah proksi yang sesuai untuk mengukur kualitas audit pada saat tidak terdapat ukuran yang secara langsung mampu untuk mengukur kualitas audit. Praktisi yang fokus pada deteksi kesalahan dan hasil laporan keuangan, menunjukkan bahwa auditor berkualitas tinggi akan mendeteksi kesalahan laba yang dilaporkan dan meningkatkan keandalan laporan keuangan (Chan dan Wong 2002; Gul et al., 2002). Sedangkan, praktisi lainnya menunjukkan bahwa kualitas audit secara langsung terkait dengan jumlah pekerjaan audit (Carcello et al., 2002).
2.6 Tekanan Anggaran Waktu Tekanan anggaran waktu merupakan keadaan yang menunjukkan auditor dituntut untuk melakukan efisiensi terhadap anggaran waktu yang telah disusun, atau terdapat pembatasan waktu dan anggaran yang sangat ketat dan kaku (Sososutikno, 2003). Sedangkan DeZoort dan Lord (1997) mendefinisikan tekanan anggaran waktu sebagai bentuk tekanan yang muncul dari keterbatasan sumber daya berupa waktu yang dialokasikan untuk melaksanakan seluruh tugas audit (McNamara dan Liyanarachchi, 2008). Anggaran waktu audit yang ketat dapat mengakibatkan auditor merasakan tekanan
anggaran
waktu
dalam
pelaksanaan
program
audit,
karena
ketidakseimbangan antara anggaran waktu audit yang tersedia dan waktu yang dibutuhkan untuk penyelesaian program audit (Cook dan Kelley, 1988 dalam
18
Silaban, 2009). McDaniel (1990) menemukan bahwa tekanan anggaran waktu mengakibatkan menurunnya efektifitas dan efisiensi kegiatan pengauditan. Pada program yang terstruktur, penurunan efektifitas ini semakin besar, sedangkan pada program yang tidak terstruktur, efisiensi audit akan mengalami penurunan yang signifikan. Ketika menghadapi tekanan anggaran waktu, auditor akan memberikan respon dengan dua cara, yaitu: fungsional dan disfungsional (DeZoort and Lord, 1997 dalam McNamara dan Liyanarachchi, 2008). Beberapa perilaku fungsional, antara lain: permintaan tambahan anggaran waktu, bekerja lebih keras, dan menggunakan teknik audit secara efisien (Otley dan Pierce, 1996; Coram et al., 2003). Sedangkan perilaku disfungsional, antara lain: premature signing-off (penghentian prosedur audit secara dini), gathering of insufficient evidential materials (pemerolehan bukti material yang kurang), processing inaccuracy (pemrosesan yang kurang akurat), omission of audit steps (kesalahan dari tahapantahapan audit), dan underreporting of time yang terjadi ketika auditor menyelesaikan pekerjaan yang dibebankan, namun tidak membebankan pekerjaan itu kepada klien yang bersangkutan (Donnelly et al., 2003, Sososutikno, 2003). Perilaku disfungsional dapat memengaruhi kualitas audit baik secara langsung maupun tidak langsung (Donnelly et al., 2003). Perilaku disfungsional yang mempunyai pengaruh langsung, yaitu premature signing-off, gathering of insufficient evidential materials, processing inaccuracy, dan omission of audit steps. Sedangkan underreporting of time mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap kualitas audit, namun mengarah pada konsekuensi yang tidak diinginkan,
19
seperti evaluasi staf tidak akurat, kehilangan pendapatan bagi kantor auditor, anggaran yang akan datang menjadi tidak realistis, dan mengurangi kualitas audit di masa depan (Sososutikno, 2003).
2.7
Kompleksitas Tugas Kompleksitas tugas didefinisikan sebagai tugas yang kompleks, terdiri atas
bagian-bagian yang banyak, berbeda-beda dan saling terkait satu sama lain (Engko dan Gudono, 2007). Kompleksitas tugas juga diartikan sebagai persepsi individu tentang suatu tugas yang disebabkan terbatasnya kapabilitas dan daya ingat, serta kemampuan untuk mengintegrasikan masalah yang dimiliki pembuat keputusan (Jamilah dkk., 2007). Tingkat kesulitan tugas dan struktur tugas merupakan dua aspek penyusun dari kompleksitas tugas (Jamilah dkk., 2007). Tingkat sulitnya tugas selalu dikaitkan dengan banyaknya informasi tentang tugas tersebut, sementara struktur tugas terkait dengan kejelasan informasi (information clarity). Sedangkan Wood (1986), kompleksitas tugas memiliki tiga dimensi, yaitu: kompleksitas komponen (jumlah dari isyarat informasi dan tindakan yang berbeda), kompleksitas koordinatif (jenis dan jumlah hubungan antara tindakan dan isyarat), dan kompleksitas dinamis (perubahan dalam tindakan dan isyarat, serta hubungan di antara tindakan dan isyarat). Chung dan Monroe (2001) mengemukakan bahwa kompleksitas tugas dalam pengauditan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: (1) Banyaknya informasi yang tidak relevan, dalam artian bahwa
informasi tersebut tidak
20
konsisten dengan kejadian yang akan diprediksikan; (2) Adanya ambiguitas yang tinggi, yaitu beragamnya outcome (hasil) yang diharapkan oleh klien dari kegiatan pengauditan.
2.8
Pengalaman Kerja Pengalaman merupakan proses pembelajaran dan pertambahan potensi
tingkah laku yang diperoleh dari pendidikan formal maupun non formal (Knoers dan Haditono, 1999 dalam Jamilah dkk., 2007). Bonner dan Lewis (1990) menyebutkan bahwa peningkatan pengetahuan yang muncul dari penambahan pelatihan formal sama bagusnya dengan yang didapat dari pengalaman khusus dalam rangka memenuhi persyaratan sebagai seorang profesional. Melalui program pelatihan dan praktek-praktek audit yang dilakukan, para auditor mengalami proses sosialisasi agar dapat menyesuaikan diri dengan perubahan situasi yang ditemui,
sehingga struktur pengetahuan auditor yang berkenaan
dengan kecurangan mungkin akan berkembang dengan adanya program pelatihan auditor ataupun dengan bertambahnya pengalaman auditor. Chi et al. (1982) menemukan bahwa struktur pengetahuan individu yang mendapatkan pengalaman yang relevan akan berubah dan berkembang. Pengetahuan
yang tersimpan dalam memori dan informasi eksternal yang
diperoleh auditor diperlukan untuk mengembangkan dugaan auditor agar efektif dalam penugasannya (Knapp dan Knapp, 2001).
Sehingga, auditor yang
berpengalaman akan memiliki lebih banyak pengetahuan dan struktur memori lebih baik dibandingkan auditor yang belum berpengalaman.
21
Libby
dan
Frederick
(1990)
menemukan
bahwa
auditor
yang
berpengalaman mempunyai pemahaman yang lebih baik. Mereka juga lebih mampu memberi penjelasan yang masuk akal atas kesalahan-kesalahan dalam laporan keuangan dan dapat mengelompokkan kesalahan berdasarkan pada tujuan audit dan struktur dari sistem akuntansi yang mendasari. Hal senada juga diungkapkan oleh Tubbs (1992) yang melakukan penelitian tentang pengalaman audit yang diperoleh auditor dari lamanya auditor bekerja. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa auditor yang berpengalaman memiliki keunggulan dalam hal mendeteksi kesalahan, memahami kesalahan secara akurat, dan mencari penyebab kesalahan. Pengalaman audit juga dapat diperoleh dari banyaknya tugas audit yang dilakukan. Salah satu penelitian tentang ini adalah yang dilakukan oleh Abdolmohammadi dan Wright (1987) yang memberikan bukti empiris bahwa dampak auditor akan signifikan ketika kompleksitas tugas dipertimbangkan. Mereka melakukan penelitian terhadap auditor berpengalaman dan auditor yang kurang berpengalaman, ketika mereka dihadapkan pada tugas yang terstruktur, semi struktur dan tidak terstruktur. Penelitian ini memberikan bukti empiris bahwa pengalaman akan berpengaruh signifikan ketika tugas yang dilakukan semakin kompleks. Seseorang yang memiliki pengetahuan tentang kompleksitas tugas akan lebih ahli dalam melaksanakan tugas-tugas audit, sehingga memperkecil tingkat kesalahan, kekeliruan, ketidakberesan, dan pelanggaran dalam melaksanakan tugas.
22
2.9
Integritas Aturan Perilaku Pemeriksa BPKP (Ulum, 2009) menyebutkan bahwa
integritas adalah kepribadian yang dilandasi unsur jujur, berani, bijaksana, dan bertanggungjawab. Jujur adalah perpaduan dari keteguhan watak dalam prinsipprinsip moral (lurus hati), tabiat suka akan kebenaran (tidak curang), tulus hati (ikhlas) serta berperasaan halus mengenai etika keadilan dan kebenaran. Berani berarti tidak dapat diintimidasi oleh orang lain dan tidak tunduk karena tekanan yang dilakukan oleh orang lain guna memengaruhi sikap dan pendapatnya. Keberanian dapat pula diartikan sebagai tindakan mengemukakan hal-hal yang menurut pertimbangan dan keyakinannya perlu dilakukan. Keberanian juga diartikan orang yang mantap dan memiliki rasa percaya diri yang besar dalam menghadapi berbagai kesulitan. Bijaksana diartikan sebagai sikap yang selalu menimbang permasalahan berikut akibat-akibatnya dengan seksama. Dalam hubungan dengan pelaksanaan audit, bijaksana diartikan sebagai sikap yang mempertimbangkan kepentingan negara. Bertanggungjawab adalah suatu sikap yang
tidak
mengelak,
menyalahkan
orang
lain
atau
mengakibatkan
kerugian/kemungkinan kerugian kepada orang lain. Bertanggungjawab dapat pula diartikan sebagai tindakan untuk menyelesaikan setiap tugas sebagaimana mestinya. Unsur perilaku yang dapat menujang integritas, antara lain: a)
Memandang suatu masalah dengan berdasarkan ketentuan yang berlaku;
23
b) Dalam
menyusun
rekomendasi,
auditor
harus
berpegang
pada
ketentuan/peraturan yang berlaku dengan tetap mempertimbangkan agar rekomendasi dapat dilaksanakan; c)
Dapat memotivasi diri dengan menunjukkan antusiasme yang konsisten;
d) Membangkitkan diri dan menggerakkan dirinya sendiri secara terus menerus untuk selalu bekerja. Dari perspektif pengguna, integritas auditor haruslah yang terpenting sebagai upaya untuk mematuhi aturan independensi dan menghindari konflik kepentingan yang dilarang pada saat memberikan jasa audit (DeZoort et al., 2012). Integritas auditor berkaitan dengan kecenderungan untuk terlibat dalam kegiatan yang tidak pantas (Srivastava, 2002). Auditor dengan standar etika yang tinggi mungkin tetap benar-benar independen dalam berpikir dan bertindak meskipun ada insentif yang kuat dan kesempatan yang tersedia. Sedangkan auditor lainnya mungkin menganggap bahwa insentif tersebut terlalu menarik untuk ditolak, sehingga menerbitkan laporan tanpa mengeluarkan pendapat yang sesuai. Integritas auditor dikendalikan pada tingkat yang mungkin oleh budaya kantor audit, prosedur dan pelatihan, serta pembatasan keanggotaan suatu profesi.
2.10 Tekanan Ketaatan Tekanan ketaatan (obedience pressure) merupakan salah satu tipe tekanan pengaruh sosial (social influence pressure) yang dapat mempengaruhi kinerja auditor. Brehm dan Kassin (1990) mengemukakan bahwa tekanan ketaatan muncul dari perintah yang dibuat oleh individu yang berada pada posisi otoritas
24
(Faisal, 2007). Instruksi atasan dalam suatu organisasi mempengaruhi perilaku bawahan karena atasan memiliki otoritas. Secara umum, perilaku ketaatan dihasilkan dari mekanisme normatif (seperti kemampuan superior untuk memberi reward dan punishment). Dalam hal ini, bawahan akan percaya bahwa superior/atasan bertanggung jawab atas perilaku profesional dalam organisasi (Otley dan Pierce,1996), sehingga akan menyesuaikan diri mereka dengan situasi pengaruh normatif karena mereka takut terhadap konsekuensi negatif atas penampilan yang menyimpang dari rekan-rekannya (Brehm dan Kassin, 1990 dalam Faisal 2007).
2.11 Hasil Penelitian Terdahulu Penelitian ini mengacu pada beberapa penelitian-penelitian terdahulu sebagai referensi. Berikut ini merupakan ringkasan hasil penelitian terdahulu yang menjadi landasan untuk penelitian ini, yaitu: Penelitian yang dilakukan oleh Otley dan Pierce (1996), Herrbach (2001), Coram et al. (2003), serta Pierce dan Sweeney (2004) menunjukkan bahwa tindakan audit disfungsional yang kadang-kadang dilakukan auditor dalam menyelesaikan tugas audit dapat mengancam penurunan kualitas audit. Hasil penelitian Waggoner dan Cashell (1991) menunjukkan bahwa 48% responden setuju bahwa time pressure mengakibatkan dampak negatif pada kinerja auditor dan 31% responden mengakui bahwa time pressure yang berlebihan akan membuat auditor menghentikan prosedur audit. Simanjuntak (2008) meneliti pengaruh Tekanan Anggaran Waktu dan Risiko Kesalahan terhadap Penurunan
25
Kualitas Audit. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Tekanan Anggaran Waktu dan Risiko Audit berpengaruh pada perilaku Penurunan Kualitas Audit. Ningsih dan Yaniartha (2013) meneliti pengaruh Kompetensi, Independensi, dan Tekanan Anggaran Waktu terhadap Kualitas Audit. Hasilnya menunjukkan bahwa Tekanan Anggaran Waktu berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Kualitas Audit, yang berarti semakin tinggi tekanan anggaran waktu, maka kualitas audit yang dihasilkan semakin menurun. Sedangkan, penelitian Sososutikno (2003) mengenai hubungan Tekanan Anggaran Waktu dengan Perilaku Disfungsional serta pengaruhnya terhadap Kualitas Audit menunjukkan hasil bahwa perilaku disfungsional tidak berpengaruh pada kualitas audit, dan tekanan anggaran waktu secara langsung tidak memiliki hubungan negatif terhadap kualitas audit. Hasil penelitian Sanusi dkk. (2007) menunjukkan bahwa ketika auditor memiliki tugas yang kompleks atau tidak terstruktur dengan baik, setinggi apapun usahanya, auditor akan sulit menyelesaikan pekerjaan dengan baik sehingga justru menurunkan kinerja auditor tersebut. Widiarta (2013) meneliti pengaruh Gender, Umur dan Kompleksitas Tugas Auditor pada Kualitas Audit Kantor Akuntan Publik di Bali. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa kompleksitas tugas auditor berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit, yang diinterpretasikan kemampuan untuk melaporkan salah saji yang material tergantung dari independensi auditor. Penelitian Prasita dan Adi (2007) mengenai pengaruh Kompleksitas Audit dan Tekanan Anggaran Waktu terhadap Kualitas Audit dengan moderasi Pemahaman terhadap Sistem Informasi, menunjukkan hasil bahwa Kompleksitas Audit mempunyai pengaruh negatif terhadap Kualitas Audit,
26
dan Tekanan Anggaran Waktu mempunyai pengaruh negatif terhadap Kualitas Audit. Praditaningrum dan Januarti (2012) melakukan analisis Faktor-Faktor yang berpengaruh terhadap Audit Judgment; Jamilah dkk. (2007) meneliti pengaruh Gender, Tekanan Ketaatan, dan Kompleksitas Tugas terhadap Audit Judgment; sedangkan Zulaikha (2006) meneliti pengaruh interaksi Gender, Kompleksitas Tugas dan Pengalaman Auditor terhadap Audit Judgment. Ketiga peneliti berhasil membuktikan bahwa bahwa kompleksitas tugas tidak berpengaruh secara signifikan pada kinerja auditor dalam pembuatan dan keakuratan judgment. Hal ini mengindikasikan bahwa auditor yang dapat memahami tugasnya, tidak mendapat kesulitan untuk menyelesaikan tugas yang dikerjakannya. Hasil penelitian Tubbs (1992) menyebutkan bahwa auditor yang berpengalaman memiliki keunggulan dalam hal mendeteksi kesalahan, memahami kesalahan secara akurat, dan mencari penyebab kesalahan. Sedangkan penelitian Choo dan Trotman (1991) menunjukkan bahwa auditor yang berpengalaman lebih banyak menemukan item-item yang tidak umum (atypical) dibandingkan auditor yang kurang berpengalaman. Wiratama dan Budiartha (2015) meneliti pengaruh Independensi, Pengalaman Kerja, Due Professional Care dan Akuntabilitas terhadap Kualitas Audit; dan Sukriah dkk. (2009) meneliti pengaruh Pengalaman Kerja, Independensi, Obyektifitas, Integritas dan Kompetensi terhadap Kualitas Hasil Pemeriksaan. Ketiga peneliti berhasil menunjukkan bahwa pengalaman kerja berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas hasil audit. Hasil penelitian Singgih dan Bawono (2010) mengenai pengaruh Independensi, Pengalaman, Due Professional Care dan Akuntabilitas terhadap
27
Kualitas Audit, juga penelitian Nugraheni (2009) mengenai pengaruh FaktorFaktor Personal Auditor Internal terhadap Kualitas Audit menemukan bahwa pengalaman auditor pemerintah tidak terbukti berpengaruh dalam meningkatkan kualitas audit. Singgih dan Bawono (2010) menyebutkan bahwa expectation gap antara pengetahuan dan praktik yang dimiliki auditor menjadi penyebab kurang berperannya pengalaman pada kualitas audit. Parasayu dan Rohman (2014) melakukan analisis Faktor-Faktor yang mempengaruhi Kualitas Hasil Audit Internal. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa integritas berpengaruh positif terhadap kualitas hasil audit internal. Hasil penelitian Cahyono dkk. (2015) mengenai pengaruh Kompetensi, Independensi, Obyektivitas, Kompleksitas Tugas, dan Integritas Auditor terhadap Kualitas Hasil Audit menunjukkan bahwa integritas dan kompleksitas tugas secara bersamasama berpengaruh positif pada kualitas audit. Mabruri dan Winarna (2010) melakukan analisis Faktor-Faktor yang mempengaruhi Kualitas Hasil Audit di Lingkungan Pemerintah Daerah. Penelitiannya memberikan hasil, yaitu: Pengalaman kerja berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas hasil audit di lingkungan pemerintah daerah, artinya semakin banyak pengalaman kerja seorang auditor maka semakin meningkat kualitas hasil audit yang dilakukan; Integritas berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas hasil audit di lingkungan pemerintah daerah; dan secara serentak, pengalaman kerja dan integritas berpengaruh signifikan terhadap kualitas hasil audit.