6
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Proses Penuaan 2.1.1 Teori Penuaan Penuaan merupakan proses normal yang akan terjadi pada setiap manusia. Pada tahun 1993, Anti Aging Medicine (AAM) telah memberikan konsep baru pada dunia kedokteran, yaitu memperlakukan penuaan seperti penyakit, sehingga dapat dicegah atau diobati bahkan dikembalikan ke kondisi semula sehingga usia harapan hidup dapat menjadi lebih panjang dengan kualitas hidup yang lebih baik (Pangkahila, 2011). Proses penuaan dapat dijelaskan dengan beberapa teori, yaitu teori wear and tear dan teori program. Teori wear and tear pada prinsipnya menyatakan berbagai aktivitas tubuh dapat menyebabkan kerusakan DNA, glikosilasi dan radikal bebas, sehingga sel-sel menjadi rusak, tubuh melemah dan akhirnya meninggal. Sedangkan, teori program menganggap tubuh memiliki jam biologis, teori ini meliputi terbatasnya replikasi, proses imun dan neuroendocrine theory (Pangkahila, 2011). 1.
Teori wear and tear Teori ini menyatakan berbagai aktivitas tubuh dapat menyebabkan kerusakan
DNA, glikosilasi dan radikal bebas, sehingga sel-sel menjadi rusak, tubuh melemah dan akhirnya meninggal. Organ tubuh seperti hati, lambung, ginjal, kulit serta organ lainnya fungsinya menurun karena toksin
7
di dalam makanan dan lingkungan, konsumsi banyak lemak, gula, kafein, alkohol dan nikotin. Selain beberapa faktor diatas, sinar ultraviolet dan stress fisik serta emosional juga dianggap sebagai penyebab terjadinya kerusakan organ yang menyebabkan penuaan. Tetapi kerusakan ini tidak terbatas pada organ, melainkan juga terjadi pada tingkat sel (Pangkahila, 2011). Yang termasuk ke dalam teori wear and tear ini adalah kerusakan DNA, glikosilasi dan teori radikal bebas Pada usia muda sistem pemeliharaan dan perbaikan tubuh mampu melakukan kompensasi terhadap pengaruh penggunaan dan kerusakan yang terjadi, namun pada usia tua tubuh kehilangan kemampuan untuk memperbaiki kerusakan karena penyebab apapun. Teori ini meyakinkan bahwa pemberian suplemen yang tepat dan pengobatan yang tidak terlambat dapat membantu mengembalikan proses penuaan (Pangkahila, 2011). 1.1
Teori Kerusakan DNA Teori ini mengemukakan bahwa kerusakan DNA terjadi karena kerusakan molekul yang terus menerus dan menumpuk dalam waktu lama sehingga proses penyembuhan menjadi tidak sempurna. Bila kerusakan molekul ini mencapai taraf yang berat maka terjadilah kerusakan DNA. Dikatakan bahwa keseimbangan antara kerusakan DNA dan keberhasilan penyembuhan DNA yang menentukan rentang usia seseorang (Pangkahila, 2011).
1.2
Glikosilasi Glikosilasi terjadi saat molekul-molekul gula yang melayang dalam darah berikatan dengan molekul protein di permukaan sel sehingga molekul-molekul
8
tersebut kehilangan fungsinya.
Glikosilasi berkaitan erat dengan diabetes
melitus tipe 2. Diabetes sering dianggap sebagai model biologik proses penuaan dini karena penderita diabetes mengalami proses patologik yang lebih awal sehingga usia harapan hidup pada penderita diabetes lebih pendek (Pangkahila, 2011). 1.3
Teori Radikal Bebas Radikal bebas merupakan suatu molekul yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas memiliki sifat reaktifitas yang tinggi, karena kemampuannya untuk menarik elektron sehingga mengubah suatu molekul menjadi radikal bebas karena hilangnya satu elektron pada molekul lain. Reaksi ini dapat menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel, bahkan kematian sel. Molekul utama yang dirusak oleh radikal bebas adalah DNA, lemak dan protein. Pertambahan usia mengakibatkan akumulasi sel yang rusak akibat radikal bebas, sehingga dapat merusak sel dan merangsang terjadinya mutasi sel yang akhirnya menyebabkan kanker dan kematian (Goldman dan Klatz, 2007).
2.
Teori Program Teori ini beranggapan bahwa tubuh manusia menjalani suatu proses yang
terprogram, mulai dari proses konsepsi kemudian menjadi embrio, janin, masa bayi, anak – anak, remaja, dewasa sampai menjadi tua dan meninggal. Yang termasuk ke dalam teori program ini adalah teori terbatasnya replikasi sel, proses imun dan teori neuroendocrine (Pangkahila, 2011).
9
2.1. Teori Terbatasnya Replikasi Sel Telomere adalah struktur khusus yang terdapat di bagian ujung chromosome strands, berfungsi menentukan rentang usia sel dan pada akhirnya rentang usia organisme itu sendiri (Hayflick, 1998). Pada setiap proses replikasi sel, telomere akan memendek, yang pada suatu saat ketika telomere telah dipakai maka pembelahan sel akan berhenti (Pangkahila, 2011). 2.2 Proses Imun Teori ini menyatakan bahwa pada siklus kehidupan akan terjadi involusi pada kelenjar timus. Kelenjar ini adalah sumber dari sel T yang berperan penting pada sistem imun. Pada penuaan, jumlah sel T tidak berkurang secara drastis namun terjadi penuruan pada fungsinya (Pangkahila, 2011). 2.3 Teori Neuroendocrine Hormon
dikeluarkan
oleh beberapa organ
yang dikendalikan
oleh
hipotalamus, sebuah kelenjar yang terletak di otak. Hipotalamus membentuk poros dengan hipofise dan organ tertentu yang kemudian mengeluarkan hormonnya. Hormon bekerja dengan baik mengendalikan berbagai fungsi organ tubuh pada usia muda, namun seiring dengan bertambahnya usia, akan terjadi penurunan produksi hormon, yang pada akhirnya akan mengganggu berbagai sistem tubuh (Goldman dan Klatz, 2007).
10
2.1.2 Gejala Klinis Penuaan Proses penuaan dimulai dengan menurunnya bahkan terhentinya fungsi berbagai organ tubuh. Akibat penurunan fungsi itu, muncul berbagai tanda dan gejala proses penuaan Proses penuaan berlangsung melalui tiga tahap (Pangkahila, 2011). 1. Tahap Subklinik (usia 25 – 35 tahun) : Pada tahap ini, sebagian besar hormon di dalam tubuh mulai menurun, yaitu hormon testosteron, growth hormone, dan hormon estrogen. Pembentukan radikal bebas, yang dapat merusak sel dan DNA, mulai mempengaruhi tubuh. Kerusakan ini biasanya tidak tampak dari luar. Karena itu, pada tahap ini orang merasa dan tampak normal, tidak mengalami gejala dan tanda penuaan. Bahkan, umumnya rentang usia ini dianggap usia muda dan normal. 2. Tahap Transisi (usia 35 – 45 tahun) : Selama tahap ini kadar hormon menurun sampai 25%. Massa otot berkurang sebanyak satu kilogram setiap beberapa tahun. Akibatnya, tenaga dan kekuatan terasa hilang, sedang komposisi lemak tubuh bertambah. Keadaan ini menyebabkan resistensi insulin, meningkatnya resiko penyakit jantung pembuluh darah dan obesitas. Pada tahap ini gejala mulai muncul, yaitu penglihatan dan pendengaran menurun, rambut putih mulai tumbuh, elastisitas dan pigmentasi kulit menurun, dorongan dan bangkitan seksual menurun. Pada tahap ini orang merasa tidak muda lagi dan tampak lebih tua.
11
3. Tahap Klinik (usia 45 tahun ke atas) : Pada tahap ini penurunan kadar hormon terus berlanjut, yang meliputi DHEA (dehydroepiandrosterone), melatonin, growth hormone, testosteron, estrogen dan hormon tiroid. Terjadi juga penurunan bahkan hilangnya kemampuan penyerapan bahan makanan, vitamin dan mineral. Densitas tulang menurun, massa otot berkurang sekitar satu kilogram setiap tiga tahun, yang mengakibatkan ketidak mampuan membakar kalori, meningkatnya lemak tubuh dan berat badan. Penyakit kronis mulai nyata, sistem organ tubuh mulai mengalami kegagalan. Disfungsi seksual merupakan keluhan yang penting dan mengganggu keharmonisan banyak pasangan (Pangkahila, 2011). 2.2 Kulit 2.2.1 Anatomi Kulit
Gambar 2.1 Anatomi Kulit yang mengalami penuaan (Best Practice Statement: Care of the older person’s skin. Cooper, 2012)
12
Kulit adalah lapisan terluar dan organ terbesar dari tubuh, terhitung sekitar 15% dari total berat badan manusia. Kulit tersusun atas tiga lapisan yaitu epidermis, dermis, dan subkutis. Setiap lapisan memiliki karakteristik dan fungsinya masing – masing (Kanitakis, 2002; Baumann dan Saghari, 2009). 2.2.1.1 Lapisan Epidermis Epidermis adalah lapisan terluar dari kulit, terdiri dari epitel skuamosa bertingkat yang terutama terdiri dari dua jenis sel yaitu sel keratinosit dan sel dendritik. Epidermis dibagi menjadi empat lapisan sesuai dengan morfologi keratinosit yang tersusun dari dalam ke luar, yaitu lapisan sel basal (stratum basale), lapisan sel skuamosa (stratum spinosum), lapisan sel granular (stratum granulosum), dan lapisan sel cornified (stratum korneum) (Baumann dan Saghari, 2009). a. Lapisan sel basal Lapisan sel basal (stratum germinativum), mengandung sel keratinosit yang menempel pada membran dasar dengan sumbu panjang tegak lurus terhadap dermis. Sel basal memiliki peran dalam terjadinya proliferasi sel pada epidermis. Pada stratum basale terdapat ornithine decarboxylase (ODC) yang digunakan sebagai marker aktivitas proliferasi. ODC distimulasi oleh paparan berulang UVB dan diinaktivasi oleh asam retinoat, kortikosteroid dan vitamin D3 (Baumann dan Saghari, 2009). b. Lapisan sel skuamosa Lapisan sel skuamosa terdiri dari berbagai sel yang berbeda dalam bentuk, struktur dan sifat tergantung dari lokasinya. Di lapisan bawah terdapat
13
sel spinosus supra basal yang berbentuk polyhedral dengan inti bulat, sedangkan sel – sel dari lapisan spinosus atas umumnya lebih besar ukurannya dan menjadi datar karena terdorong ke arah permukaan kulit dan mengandung granula lamellar. Pada lapisan ini terdapat cell junction yaitu, desmosom, adherent junction, tight junction dan gap junction (Baumann dan Saghari, 2009). c. Stratum Granulosum Stratum granulosum terdiri dari beberapa sel – sel pipih yang mengandung granul keratohialin dalam sitoplasmanya. Granul keratohialin mengandung profilagrin, lorikrin dan involukrin. Sel – sel ini bertanggung jawab untuk sintesis dan modifikasi protein yang terlibat dalam keratinisasi (Baumann dan Saghari, 2009). d. Stratum Korneum Pada stratum korneum terdapat korneosit yang memiliki fungsi sebagai pelindung mekanik untuk epidermis dengan mencegah hilangnya air dan invasi oleh zat – zat asing. Korneosit yang mengandung kadar protein tinggi dan kadar lemak rendah ini dikelilingi oleh matriks ekstraseluler lipid. Sifat fisik dan biokimia dari sel – sel di stratum korneum bervariasi sesuai dengan letaknya. Sel – sel di lapisan tengah memiliki kapasitas untuk mengikat air lebih banyak dibandingkan dengan sel – sel yang berada di lapisan yang lebih di dalam ((Baumann dan Saghari, 2009).
14
2.2.1.2 Lapisan Dermis Lapisan dermis terletak antara epidermis dan lemak subkutan. Lapisan dermis menentukan ketebalan kulit dan memiliki peranan penting pada penampilan kosmetik kulit. Ketebalan
dermis bervariasi di berbagai bagian tubuh. Di dalam dermis
terdapat syaraf, pembuluh darah, kelenjar keringat dan sebagian besar dermis terdiri dari kolagen. Bagian paling atas lapisan dermis yang dekat dengan epidermis disebut dermis pars papilare dan bagian bawah dari lapisan dermis yang dekat dengan lemak subkutan disebut dermis pars retikulare. Pada penuaan, terjadi penurunan ketebalan dan kelembaban pada lapisan dermis (Baumann dan Saghari, 2009). Pada dermis pars papilare terdapat bundel kolagen yang kecil, kepadatan yang tinggi dan terdapat elemen vaskular. Pada pars retikulare terdapat bundel kolagen yang lebih besar, elastin yang matang, pembuluh darah, saraf, otot, polisebasea, kelenjar apokrin dan ekrin (Baumann dan Saghari, 2009). Fibroblast adalah jenis sel utama di lapisan dermis. Fibroblast memproduksi kolagen, elastin, protein matriks lainnya, dan enzim seperti kolagenase dan stromelysin. Di dalam dermis juga terdapat sel mast, leukosit polimorfonuklear, limfosit dan makrofag (Baumann dan Saghari, 2009). a. Kolagen Kolagen merupakan protein alami terkuat yang terdapat dalam tubuh manusia. Terdapat beberapa tipe kolagen. Kolagen tipe I (80-85%) terdapat di dermis, terdiri dari 2 rantai α yaitu α1 dan α2 yang berguna untuk kelenturan dermis. Jumlah kolagen tipe I terbukti menurun pada kulit yang menua. Kolagen tipe III adalah
15
bentuk kedua yang paling penting dari kolagen pada dermis, namun memiliki diameter yang lebih kecil dari kolagen tipe I. Kolagen tipe III terdiri dari 3 rantai α, yaitu hidroksiprolin, glisin dan residu sistein. Karena banyak ditemukan pada fetus, kolagen tipe III dikenal juga sebagai fetal kolagen. Kolagen jenis lain yang juga terdapat pada dermis adalah kolagen tipe IV, terdapat pada lamina densa dan terdiri dari rantai α1 dan α2, heterotrimer dan homo polimer. Kolagen tipe V terdiri dari 4 rantai yang berbeda dan terletak pada ubiquitous. Kolagen tipe VII terdiri dari satu rantai α dan memiliki ikatan disulfide dalam rantainya, dan kolagen tipe XVII terletak pada hemidesmosome (Baumann dan Saghari, 2009). Biosintesis Kolagen Kolagen adalah protein terbanyak pada serat-serat jaringan ikat kulit, tulang dan kartilago. Kolagen tidak dapat larut dalam air, tetapi mudah dicerna dan mudah larut dalam basa (Padayatty, 2003). Seperti halnya protein lainnya, kolagen juga mengandung rantai polipeptida. Rantai panjang dari molekul-molekul kolagen mengandung kira-kira seribu residu asam amino, sekitar enam ribu atom. Proses sintesis kolagen dimulai dengan reaksi hidroksilasi, dimana reaksi ini terjadi dalam tiga tahap, yaitu: (1) suatu struktur tiga dimensi terbentuk, dengan asam amino prolin dan glisin sebagai komponen utamanya. Struktur tiga dimensi ini belum menjadi kolagen, tetapi masih berupa prekursornya yaitu prokolagen. (2) Proses konversi ini membutuhkan ion hidroksida (OH-) untuk bereaksi dengan Hidrogen (H+).
(3) Reaksi katalisis. Reaksi ini
dikatalisis oleh enzim prolyl-4-hidroksilase dan lisil-hidroksilase (Padayatty, 2003).
16
Transkripsi
Translasi
Residu prolil dan lisil hidroksilasi Residu hidroksilisil
Glikosilasi Pro-kolagen Pembentukan rantai dan ikatan disulfida Triple helix formation
Sekresi pro-kolagen ke matriks ektrasel
Konversi pro-kolagen menjadi kolagen
Pembentukan kross-link
Gambar 2.2 Skema Proses Pembentukan Kolagen (Sharma, 2007)
17
2.2.1.3. Lapisan Subkutis Lapisan subkutis atau hipodermis terletak di bawah dermis, sebagian besar terdiri dari lemak, yang merupakan sumber energi yang penting bagi tubuh. Pada lapisan ini juga terdapat kolagen tipe I, III, dan V. Lapisan subkutis menghubungkan kulit secara longgar dengan jaringan di bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda – beda menurut daerah di tubuh dan keadaan nutrisi individu (Baumann dan Saghari, 2009).
2.2.2 Penuaan kulit Penuaan kulit terjadi karena proses intrinsik dan ekstrinsik. Penuaan intrinsik mengambarkan latar belakang genetik dari individu dan akibat dari bertambahnya usia kronologis. Penuaan intrinsik pada kulit terjadi karena akumulasi kerusakan endogen akibat dari pembentukan senyawa oksigen relatif selama metabolisme oksidasi seluler. Selain itu penuaan intrinsik pada kulit juga terjadi akibat dari pemendekan telomere pada pembelahan sel, penurunan faktor pertumbuhan dan akibat dari penurunan hormon, dimana menurunnya hormon estrogen dapat mempengaruhi degradasi dari kolagen (Baumann dan Saghari, 2009). Gambaran klinis penuaan intrinsik antara lain serosis, kelemahan dan kerutan pada kulit serta gambaran tumor jinak seperti keratosis seboroik dan angina buah cherry. Di bawah mikroskop akan tampak atrofi epidermis, pendataran epidermal rete ridges dan atrofi dermis. Pada penuaan intrinsik terjadi peningkatan rasio jumlah kolagen III terhadap kolagen I (Baumann dan Saghari, 2009).
18
Sedangkan penuaan ekstrinsik disebabkan oleh faktor eksternal seperti merokok, konsumsi alkohol yang berlebihan, gizi buruk, dan paparan sinar matahari (Baumann dan Saghari, 2009). Penuaan ekstrinsik paling utama disebabkan oleh paparan sinar UV atau yang disebut photoaging, sehingga penuaan ekstrinsik paling terlihat pada daerah wajah, dada dan bagian ekstensor dari lengan. Gambaran klinis photoaging antara lain adalah kerutan dan lesi pigmentasi seperti frackles, lentigines, hiperpigmentasi dan lesi hipopigmentasi seperti hipomelanosis gutata. Gambaran histopatologis berupa atrofi epidermis, dan perubahan pada kolagen dan elastin berupa fragmentasi, progresif cross-linkage serta kalsifikasi. Perbedaan gambaran klinis antara penuaan intrinsik dan ekstrinsik adalah pada penuaan intrinsik kulit tampak lebih halus dibandingkan pada kulit yang mengalami penuaan ekstrinsik walaupun pada kulit yang mengalami penuaan intrinsik tipis dan mengalami penurunan elastisitas (Baumann dan Saghari, 2009).
2.3 Sinar Ultraviolet dan Efeknya Terhadap Kulit Sinar ultraviolet dibagi menjadi UVA (panjang gelombang 320 – 400 nm), UVB (panjang gelombang 280 – 320 nm) dan UVC (panjang gelombang 100 – 280 nm). UVC tidak pernah mencapai permukaan bumi karena terfiltrasi oleh ozon, namun UVA dan UVB dapat mencapai permukaan bumi, dan keduanya dapat menimbulkan kerusakan akut maupun kronis pada kulit manusia (Krutmann, 2011).
19
Meskipun hanya dapat menembus epidermis, UVB dapat menyebabkan kerusakan yang lebih banyak dibandingkan sinar UVA (Alam dan Havey, 2010).
Gambar 2.3 Efek Sinar Ultraviolet Terhadap Kulit (American Cancer Society, 2004).
2.3.1 Efek Akut Sinar Ultraviolet 1. Eritema Eritema adalah reaksi inflamasi akut pada kulit yang ditandai dengan kemerahan setelah paparan berlebihan radiasi UV. Dosis kemerahan minimal yang dapat dilihat jelas dalam 24 jam setelah radiasi disebut minimal erytema doses (MED). Eritema yang terbentuk bervariasi tergantung kepada panjang gelombang UVA (Rigel et al., 2004; Taylor, 2005). UVA terbagi dua, yaitu UVA 1 dan UVA 2, dimana UVA 2 lebih meningkatkan eritema dibandingkan dengan UVA 1. Efektivitas eritema menurun sebanding dengan panjang gelombang. Eritema terinduksi UVB memberikan respon
20
lebih lambat daripada UVA dan mencapai puncak setelah paparan 6 – 24 jam tergantung dosis (Rigel et al., 2004; Taylor, 2005). 2. Pigmentasi Eritema yang diinduksi UVB diikuti dengan pigmentasi. Melanisasi yang terjadi akibat paparan kumulatif UVA bertahan lebih lama dibandingkan dengan yang terjadi akibat paparan UVB. Perbedaan ini terjadi karena lokalisasi pigmen yang diinduksi UVA dari basal. Melanin yang diinduksi oleh UVB menghilang dengan turn-over epidermis dalam 1 bulan (Fisher at al.,2002; Taylor, 2005). 3. Kerusakan DNA Sinar Ultraviolet dapat menyebabkan kerusakan pada DNA berupa kesalahan pembacaan kode genetik, mutasi dan apoptosis. DNA seluler langsung menyerap UVB dan menyebabkan lesi pada basa pirimidin, yang menjadi ikatan kovalen dan merusak heliks DNA. Radiasi UVA dapat juga mengakibatkan lesi pada DNA walaupun daya rusak lebih lemah dibandingkan UVB (Taylor, 2005). 2.3.2 Efek Kronis Sinar Ultraviolet 1. Photoaging Penuaan kulit dini dengan berbagai derajat keparahan dapat terjadi pada semua orang, salah satunya akibat aktivitas di luar ruangan. Hal ini terutama terjadi pada orang yang aktivitasnya sering terkena paparan sinar matahari (Fisher, 2000). Studi epidemiologi di seluruh dunia menggambarkan ada koneksi langsung antara insiden kanker kulit dengan paparan sinar UV. Kanker kulit adalah tipe kanker
21
yang paling umum terjadi pada populasi Kaukasian di Amerika Serikat; lebih dari 500.000 – 1.000.000 kasus terdiagnosa setiap tahunnya (Fisher, 2000). Kerusakan DNA akibat radiasi UV menghasilkan mutasi genetik yang menyebabkan transformasi seluler dan aktivasi sinyal transduksi pathway, sehingga merangsang matrix metalloproteinase dan produk gen-gen lain merubah jaringan dan membentuk formasi kanker (Fisher, 2000).
Gambar 2.4 Mekanisme Terjadinya Photoaging (Fisher, 2000).
Aktivasi Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR) telah terbukti berperanan penting pada respons berbagai radiasi sinar UV. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa EGFR dipertahankan dalam keadaan inaktif oleh protein
22
tyrosine phosphatase kappa (RPTP-k). Radiasi UV menghambat RPTP-k, sehingga memungkinkan EGFR untuk menjadi aktif. EGFR akan merangsang transduksi sinyal pathway sehingga merangsang matrix metalloproteinase (Fisher, 2000). 2. Fotokarsinogenesis Efek pajanan sinar UV pada induksi dan progresi kanker kulit pada manusia sangat sulit dideteksi pada manusia. Perkembangan lesi kanker ini membutuhkan waktu bertahun – tahun, sehingga penelitian mengenai fotokarsinogenesis masih terbatas. Kerusakan DNA yang disebabkan oleh radiasi UV merupakan penyebab utama perkembangan kanker kulit (Taylor, 2005; Krutmann, 2011).
2.4. Benang Polydioxanone (PDO) PDO adalah benang sintetis, monofilamen, dapat diserap kembali oleh tubuh, berwarna biru atau violet dan disterilisasi dengan ethylene oxide. Benang PDO sudah digunakan pada tindakan operasi jaringan internal dan diterima di semua komunitas ilmiah. Benang PDO juga direferensikan pada penggunaan operasi mata, gastrointestinal, bedah plastik, bedah rekonstruktif, ginekologi, urologi, kutikular dan bedah jantung anak (Llorca, 2014). PDO merupakan hasil polimerisasi membuka cincin dari monomer pdioxanone. In vivo, PDO mengalami hidrolisis secara perlahan membentuk monomer 2-hydroxy-ethoxyacetic. Monomer ini kemudian di degradasi menjadi air dan karbondioksida yang merupakan komponen netral bagi tubuh dan dapat diserap sempurna melalui kulit (Mercik, 2013).
23
Gambar 2.5 Sintesis Polydioxanone (Mercik, 2013)
Studi Janik et al. (2011) di bidang operasi kolorektal menunjukkan resistensi yang baik setelah penggunaan PDO. Pada kasus prolaxes urinals, Madhuvrata menyimpulkan 2 tahun setelah operasi pasien memiliki kualitas hidup yang baik. Ruim et al. (2014) pada studi bandingnya menyimpulkan benang PDO lebih berguna dibandingkan benang permanen pada operasi abdominoplasti. Tahun 2008, James dan Kelly
mempublikasikan hasil yang baik pada operasi rhinoplasti menggunakan
24
benang PDO. Backer et al. (2010) mempublikasikan bahwa tidak ditemukan komplikasi penggunaan benang PDO pada operasi fraktur periorbita. Parara et al.(2011) mengadakan studi banding efek eritema dan iritasi antara lima benang yang berbeda (polydioxanone, blue propylene, polyamide 6, metallic chips dan polyglactin) dengan gambaran digital yang diproses oleh software metode observasi menyimpulkan “polydioxanone merupakan benang dengan hasil yang lebih baik dan tanda-tanda iritasi atau eritema yang lebih sedikit”. Ogawa pada studi operasi torakal di Jepang menyimpulkan bahwa kekuatan benang polydioxanone, sifat dapat diabsorbsi dalam 6 bulan dan efek samping yang rendah membuat benang ini lebih disukai. Studi Goodrich menyimpulkan tidak ditemukan komplikasi penggunaan benang polydioxanone pada operasi kraniofasial. De Toledo juga tidak menemukan adanya komplikasi ataupun efek samping penggunaan polydioxanone pada operasi gigi. Serat atau jalinan benang yang terbuat dari PDO tidak mempunyai efek pirogenik, sehingga tidak merangsang reaksi system imun. Di bidang medis, PDO telah digunakan lebih dari 20 tahun, terutama di bidang bedah dan implant ortopedi. Di abad 21, PDO digunakan sebagai promoter jaringan, untuk merangsang pembentukan kolagen baru. Di tahun 2008, Korea Selatan yang pertama kali mematenkan system benang PDO yang dimasukkan pada jarum khusus untuk digunakan di bidang estetik dan bedah plastik. Sejak saat itu, benang PDO digunakan
25
luas di seluruh dunia, khususnya Korea, Jepang, Amerika Utara dan Selatan, Rusia dan Eropa.
A.
B.
Gambar 2.6 Benang PDO berbentuk V sebelum dimasukan ke dalam jarum (A) dan sesudah dimasukkan satu sisinya ke dalam jarum (B) (Shimizu, 2013).
Polydioxanone di reabsorbsi total setelah 180 hari dan mempertahankan 75% tekanan pada minggu ke 2 dan 25% tekanan pada minggu ke 6. Selama waktu 2-6 minggu itu, selain mempertahankan tekanan, juga terjadi perangsangan kolagen di sekitar benang akibat stimulasi fibroblas dan aktivasi neokolagenesis (Mercik, 2013).
Tipe benang Polydioxanone (PDO) Secara garis besar, ada 3 tipe benang polydioxanone yang tersedia, yaitu monofilamen, multifilament dan bergerigi.
Studi banding antara benang
polydioxanone monofilamen dengan multifilamen pada operasi abdomen
yang
dilakukan oleh Hennesey et al. (2012) menyimpulkan putaran yang terjadi pada benang multifilamen dapat meningkatkan resiko patah.
26
Gambar 2.5 Berbagai tipe benang PDO (Suh et al, 2015)
Gambar 2.8 Metode implantasi benang PDO. Setelah jarum ditarik dari kulit, benang akan tertinggal di lapisan kulit (Shimizu, 2013).
27
2.5 Mekanisme Benang PDO Menghambat Penurunan Kolagen Mekanisme benang PDO dalam menghambat penurunan kolagen sampai saat tesis ini ditulis masih belum pasti. Beberapa pendapat menyatakan mekanismenya hampir mirip dengan proses penyembuhan akibat luka terpotong. Shimizu, (2013) melakukan studi kepada beberapa pria dengan mengimplantasikan benang PDO di leher dan melakukan biopsi 3 bulan kemudian.
Gambar 2.9 Pewarnaan HE (Hematoxylin Eosin) pembesaran 20x (A) dan 100x (B) (Shimizu, 2013) Pada pewarnaan HE (Hematoxylin Eosin) dapat terlihat benang PDO yang terlipat di lapisan antara dermis dan subkutan. Di sekitar benang PDO terlihat reaksi terhadap benda asing seperti limfosit, histiosit, cluster aerotropism dan fibrosis (Shimizu, 2013). Benang PDO mempengaruhi kolagenisasi dengan cara indirek, yaitu dengan adanya benang PDO di lapisan dermis akan memberikan stimulus biologis pada kulit
28
sehingga merangsang peningkatan kolagen tipe I dan tipe III oleh fibroblas (Llorca, 2014). Sintesis kolagen dan komponen-komponen matriks ekstraselular (kolagen, elastin, fibronektin, glikosaminoglikans dan proteoglikans) jumlahnya berkurang seiring penuaan. Fibroblas aktif dewasa dapat memproduksi sampai 3,5juta makromolekul prokolagen setiap harinya. Kolagen tipe I dan III yang menyusun 90% strutur kulit membentuk struktur bundel serat tiga dimensi. Fragmen struktur GlyPro-hidroxyprolin disebut urutan kolagen. Pada usia 80 tahun, sintesis kolagen sudah berkurang 75% dibanding ketika usia 18-29 tahun. Kesimpulannya adalah penurunan sintesis kolagen tipe I dan III berkorelasi dengan bertambahya usia (Llorca, 2014). Mercik, 2013 menyatakan prosedur PDO mempengaruhi 2 mekanisme. Mekanisme pertama adalah mekanisme stres mekanik pada jaringan kulit, yaitu pada saat melakukan implantasi PDO pada lapisan dermis atau subkutan. Mekanisme kedua adalah bahan PDO dapat menstimulasi fibroblast untuk mensintesis kolagen. Studi yang dilakukan Jang, 2005 dengan membandingkan implantasi benang PDO monofilamen, multifilamen dan COG pada punggung tikus, dengan pewarnaan HE memperlihatkan terbentuknya kapsul mengelilingi PDO di minggu ke empat. Kapsul yang mengelilingi COG terlihat lebih tebal dibanding kapsul yang mengelilingi monofilamen. Benang COG yang berduri menyebabkan kerusakan jaringan dan pembentukan skar. Jang menggunakan antibodi monoklonal α otot polos aktin untuk menandakan miofibroblast pada kapsul. Kontraktil fibroblast, yaitu miofibroblas dianggap sebagai pelaku aktif kontraksi luka. Gabbiani dan Ryan (2016)
29
menyatakan miofibroblas juga ditemukan pada Dupuytren’s contracture dan pada kontraktur kapsul fibrous di sekeliling implant payudara. Pemeriksaan dengan mikroskop electron tidak menunjukkan adanya fibroblas dan sel otot polos pada fase aktif penyembuhan luka, terlihat pada minggu ke tiga dan mulai berkurang setelah minggu ke delapan. Pada minggu ke 20, di mana luka sudah stabil, sudah tidak ditemukan lagi miofibroblas. Miofibroblas biasanya ditemukan pada kapsul fibrous, yang menandakan bahwa kontraksi kapsul fibrous bersamaan dengan kontraksi jaringan skar. Semakin banyak miofibroblas pada kapsul akan membuat tenaga kontraksi semakin kuat. Pada studi Jang, miofibroblast ditemukan pada kapsul yang mengelilingi benang PDO, dan jumlahnya lebih banyak pada COG dibandingkan benang monofilament. Maka, beberapa COG dianggap cukup untuk menimbulkan stimuli pembentukan miofibroblas. Jang mengemukakan bahwa ia sendiri tidak yakin hasil studinya ini dapat mendukung aplikasi klinis saat ini. Studi jangka panjang pada kulit yang hidup masih diperlukan untuk mencari informasi lebih jauh mengenai efektifitas PDO.
30
Saat jarum menembus kulit
Perlukaan seketika (A Minute Injury)
Rangsangan Saraf (Nerve Stimulus)
Memulai Fase Penyembuhan (Growth Signal/Growth Factor)
-
-
-
Fase I : Inflamasi Dimulai sesaat setelah terjadi perlukaan s/d 48 jam. Terjadi pembengkakan ringan Kemerahan berkurang setelah 4-6 jam Mengaktifkan komunikasi antar sel dan motilitas sel Mengaktifkan sinyal elektrik (electro-taxis)
Fase II : Proliferasi Fibroblast membentuk serat kolagen dan elastin pada hari ke-5 sampai minggu ke-8
Fase II : Remodelling Fibroblast bermigrasi ke area perlukaan untuk menutup luka Pembentukan serat kolagen baru untuk mempertebal dermis (neokolagenesis) Pembentukan sel endotel baru (neo-angiogenesis)
Gambar 2.10. Skema Mekanisme Perlukaan (Liebl, 2013)
31
Implant PDO
Pengaktifan sel-sel radang Terlihat zona ireguler disekitar implant PDO yang terbentuk dari sel-sel radang (hari ke-7)
Pembentukan kapsul fibroblast Terbentuk kapsul kolagen tebal di sekitar implant PDO yang terbentuk dari fibroblas dan makrofag (hari ke-120)
Reabsorbsi sempurna Implant PDO telah terabsorbsi sempurna. Tidak ditemukan reaksi jaringan yang signifikan (hari ke-180)
Gambar 2.11. Skema Mekanisme Implant PDO (Im, 2007)