BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penuaan (Aging) 2.1.1 Definisi Penuaan Perkembangan ilmu kedokteran, dalam hal ini Anti Aging Medicine (AAM) telah membawa konsep baru dalam dunia kedokteran. Penuaan diperlakukan sebagai penyakit sehingga dapat dan harus dicegah atau diobati bahkan dikembalikan ke keadaan semula sehingga usia harapan hidup dapat menjadi lebih panjang dengan kualitas hidup yang baik (Goldman dan Klatz, 2007; Pangkahila, 2007). Dengan mencegah proses penuaan, fungsi berbagai organ tubuh dapat dipertahankan agar tetap optimal. Hasilnya organ tubuh dapat berfungsi seperti pada usia yang lebih muda, padahal usia sebenarnya bertambah. Dengan demikian penampilan dan kualitas hidupnya lebih muda dibandingkan dengan usia sebenarnya (Pangkahila, 2007). Konsep dan definisi ilmu AAM pada awalnya diperkenalkan oleh American Academy of Anti Aging Medicine (AAAM) pada tahun 1993, definisinya adalah bagian ilmu kedokteran yang didasarkan pada penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran terkini untuk melakukan deteksi dini, pencegahan, pengobatan, dan perbaikan ke keadaan semula berbagai disfungsi, kelainan dan penyakit yang berkaitan dengan penuaan, yang bertujuan untuk memperpanjang hidup dalam keadaan sehat”. Berbagai upaya dilakukan untuk kaitannya dengan anti aging, diantaranya terapi sulih hormon, olah raga, nutrisi
dan estetika, bahkan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan kedokteran yang baru, dikembangkan pula cell therapy dan stem cell therapy untuk upaya anti aging (Pangkahila, 2007). Penuaan berkaitan dengan ketidakmampuan akibat penurunan kapasitas baik fisik maupun mental. Penurunan tersebut mengenai berbagai sistem dalam tubuh seperti penurunan daya ingat, kelemahan otot, pendengaran, penglihatan, perasaan dan tampilan fisik yang berubah serta berbagai disfungsi biologis lainnya. Seiring dengan penuaan maka muncul pula berbagai penyakit seperti penyakit jantung koroner, hipertensi, diabetes melitus, kanker, osteoarthritis dan demensia. Penyakit ini sering kali merupakan penyebab kematian utama di berbagai negara hingga merupakan fokus perhatian yang sangat tinggi di bidang kedokteran terutama cara pencegahan dan penanganannya (Goldsmith, 2008). Usia harapan hidup manusia semakin meningkat berkat kemajuan yang pesat di bidang kesehatan. Peningkatan usia kronologis (pertambahan umur berdasarkan tahun kelahiran) tersebut tidak selalu diikuti oleh usia biologis, sehingga masalah – masalah kesehatan yang berkaitan dengan penuaan juga cenderung meningkat. Usia biologis yang mencerminkan perfoma fisiologis inilah yang menjadi pusat perhatian pada Anti Aging Medicine. Bidang ini memiliki konsep bahwa penuaan dianggap sebagai suatu penyakit, yang artinya dapat dicegah, diobati bahkan dikembalikan lagi seperti semula. Konsep ini mencerminkan adanya suatu paradigma baru yang sangat berkebalikan dengan pandangan umum yang telah ada sebelumnya, yaitu menjadi tua adalah takdir
manusia yang sudah digariskan dan karenanya tidak dapat ditolak (Goldman dan Klatz, 2007; Pangkahila, 2007). 2.1.2 Tanda – tanda Penuaan Proses penuaan dimulai dengan menurunnya bahkan terhentinya fungsi berbagai organ tubuh. Akibat penurunan fungsi itu, muncul berbagai tanda dan gejala proses penuaan, yang pada dasarnya dibagi dua bagian, yaitu (Pangkahila, 2007) : 1) Tanda fisik, antara lain massa otot berkurang, lemak meningkat, kulit berkerut, daya ingat berkurang, fungsi seksual terganggu, kemampuan kerja menurun dan sakit tulang. 2) Tanda psikis, antara lain menurunnya gairah hidup, sulit tidur, mudah cemas, mudah tersinggung dan merasa tidak berarti lagi. Akan tetapi proses penuaan tidak terjadi begitu saja dengan langsung terlihat pada perubahan fisik dan psikis seperti di atas, melainkan terjadi secara perlahan – lahan dan dapat dibagi menjadi beberapa tahapan, antara lain (Pangkahila, 2011): 1) Tahap Subklinik (Usia 25 – 35 tahun) Pada tahap ini, sebagian besar hormon di dalam tubuh mulai menurun, yaitu hormon testosteron, GH dan estrogen. Pembentukan radikal bebas yang dapat merusak sel dan DNA mulai mempengaruhi tubuh. Kerusakan ini biasanya tidak tampak dari luar. Karena itu, pada tahap ini orang merasa dan tampak normal, tidak mengalami gejala dan tanda penuaan. Pada umumnya, rentang usia
ini dianggap usia muda dan normal, padahal sebenarnya sudah mulai terjadi proses penuaan. 2) Tahap Transisi (Usia 35 – 45 tahun) Selama tahap ini level hormon menurun sampai 25%. Massa otot berkurang sebanyak 1kg setiap beberapa tahun. Akibatnya, tenaga dan kekuatan terasa hilang, sedang komposisi lemak tubuh bertambah. Keadaan ini menyebabkan resistensi insulin, meningkatnya resiko penyakit jantung pembuluh darah dan obesitas. Pada tahap ini gejala mulai muncul, yaitu penglihatan dan pendengaran menurun, rambut putih mulai tumbuh, elastisitas dan pigmentasi kulit menurun, dorongan seksual dan bangkitan seksual menurun. Pada tahap ini orang mulai merasa tidak muda lagi dan tampak lebih tua. Kerusakan oleh radikal bebas mulai merusak ekspresi genetik yang dapat mengakibatkan penyakit, seperti kanker, radang sendi, berkurangnya memori, penyakit jantung koroner dan diabetes. 3) Tahap Klinik (Usia 45 tahun ke atas) Pada tahap ini penurunan level hormon terus berlanjut, yang meliputi DHEA, melatonin, GH, testosteron, estrogen dan hormon tiroid. Terjadi juga penurunan, bahkan hilangnya kemampuan penyerapan bahan makanan, vitamin dan mineral. Densitas tulang menurun, massa otot berkurang sekitar 1kg setiap 3 tahun, yang mengakibatkan ketidakmampuan membakar kalori, meningkatnya lemak tubuh dan berat badan. Penyakit kronis menjadi lebih nyata, sistem organ tubuh mulai mengalami kegagalan. Ketidakmampuan menjadi faktor utama
sehingga mengganggu aktivitas sehari – hari. Disfungsi seksual merupakan keluhan yang penting dan mengganggu keharmonisan banyak pasangan. Dengan melihat ketiga tahap ini, ternyata proses penuaan tidak selalu harus dinyatakan dengan gejala atau keluhan. Ini menunjukkan bahwa orang yang tidak mengalami gejala atau keluhan, bukan berarti tidak mengalami proses penuaan. Lebih jauh, ini dapat menjadi pegangan bahwa untuk mengatasi proses penuaan jangan menunggu sampai muncul gejala atau keluhan yang nyata (Pangkahila, 2011). 2.1.3 Mekanisme Penuaan Proses yang melatarbelakangi terjadinya penuaan sampai saat ini masih menjadi topik perdebatan, merupakan proses fisiologis atau patologis, proses terprogram atau peristiwa acak yang dipengaruhi lingkungan eksternal, kegagalan biologis semata atau kontribusi akumulasi kimiawi patologis. Oleh karena itu banyak teori mengenai penuaan bermunculan (Goldman dan Klatz, 2007). Ada 4 teori pokok dari aging, yaitu: 1) Teori “wear and tear” Tubuh dan selnya mengalami kerusakan karena sering digunakan dan disalahgunakan (overuse and abuse). Organ tubuh seperti hati, lambung, ginjal, kulit dan yang lainnya, menurun karena toksin di dalam makanan dan lingkungan, konsumsi berlebihan lemak, gula, kafein, alkohol dan nikotin, karena sinar ultraviolet dan stress fisik dan emosional. Tetapi kerusakan ini tidak terbatas pada organ melainkan juga terjadi di tingkat sel (Goldman dan Klatz, 2007).
2) Teori neuroendokrin Teori ini menunjukkan keterlibatan hormon dan sistem saraf dalam proses penuaan. Hormon berfungsi untuk mengatur fungsi – fungsi organ tubuh. Satu hormon dapat berpengaruh terhadap lebih dari satu fungsi dan satu fungsi dapat dikontrol oleh lebih dari satu hormon. Produksi hormon diatur oleh hipotalamus yang membentuk poros dengan hipofise dan organ tertentu yang kemudian mengeluarkan hormonnya. (Djuanda, 2005). Pada usia muda kadar hormon berada dalam kondisi optimal sehingga tercapai performa biologis yang prima dan berbagai organ tubuh dapat bekerja dengan baik. Secara umum dirasakan kemampuan kognitif, motorik, sensorik, mental dan seksual berada dalam keadaaan puncak sehingga dirasakan adanya kualitas hidup yang tinggi (Pangkahila, 2011). Produksi hormon mengalami perubahan ketika penuaan terjadi. Hormon tertentu mengalami penurunan seperti GH, Triiodothyronine (T3), testosteron, estrogen, renin, aldosteron, Dehydroepiandrosterone (DHEA) dan Dehydroepiandrosteronesulphate (DHEAS). Peningkatan kadar hormon juga terjadi pada penuaan seperti FSH, LH, vasopressin, insulin, Para Thyroid Hormone (PTH), Atrial Natriuretic Hormone (ANH) dan leptin. Ketidakseimbangan produksi hormon tersebut berpengaruh terhadap regulasi fungsi – fungsi tubuh dalam rangka pertumbuhan, pemeliharaan dan perbaikan. Sehingga timbul berbagai keluhan yang dianggap sebagai gejala penuaan. Hubungan antara penuaan dan perubahan hormon terjadi timbal balik, yaitu proses penuaan mempengaruhi produksi hormon begitu
pula sebaliknya penurunan hormon yang menyebabkan timbulnya keluhan – keluhan penuaan (Djuanda, 2005; Pangkahila, 2007) 3) Teori Kontrol Genetik Teori ini fokus pada genetik memprogram sandi sepanjang Deoxyribo Nucleic Acid (DNA), dimana kita dilahirkan dengan kode genetik yang unik, yang memungkinkan fungsi fisik dan mental tertentu. Dan penurunan genetik tersebut menentukan seberapa cepat kita menjadi tua dan berapa lama kita hidup (Goldman dan Klatz, 2007). 4) Teori Radikal Bebas Teori lain yang mempercayai bahwa penuaan terjadi karena pengaruh eksternal dan bukan terprogram adalah teori radikal bebas. Penganut teori ini percaya bahwa penuaan berhubungan dengan akumulasi radikal bebas yang
meningkat seiring dengan penuaan. Peningkatan radikal bebas
menimbulkan kerusakan terhadap molekul – molekul organik seperti protein, DNA dan lemak. Kerusakan molekul tubuh lama – kelamaan akan bermanifestasi pada penyakit – penyakit berkaitan dengan usia tua seperti Alzheimer, aterosklerosis, kanker, Parkinson dan penurunan fungsi imun (Pangkahila, 2007).
2.2 Nitric Oxide (NO) 2.2.1 Definisi NO NO adalah merupakan mediator penting pada proses fisiologis dan patologi tubuh. NO merupakan Endothelium Derived Relaxing Factor (EDRF), untuk relaksasi otot polos pembuluh darah, mengakibatkan vasodilatasi dan meningkatkan aliran darah (Cerielo, 2008).
Gambar 2.1 Molekul NO (Hala et al., 2011) 2.2.2 Sintesis NO NO disintesis oleh Nitric Oxide Synthase (NOS) yang mengubah L – Arginine menjadi L – Citruline dan NO. Reaksi pembentukan NO adalah sebagai berikut : L – Arginine + 3/2 NADH + H+ + 2 O2 L – Citruline + NO + / NADP+. Tiga isoform mayor NOS yaitu (Hala et al., 2001; Zhang et al., 2011) : 1. neuronal NOS (nNOS) 2. endothelial NOS (eNOS) 3. inducible NOS (iNOS) eNOS dan nNOS berperan penting pada kondisi normal. eNOS berperan pada relaksasi otot polos pembuluh darah dan nNOS mempunyai fungsi pada neurotrasmiter. Kedua isoform ini terdapat di dalam sel dan secara cepat diaktivasi oleh Ca2+ dan calmodulin intrasel dan menghasilkan NO dalam jumlah yang kecil. iNOS tidak diekspresikan pada kondisi normal tetapi diinduksi oleh
sitokin dan atau endotoksin selama proses inflamasi dan menghasilkan jumlah NO yang berlebihan dalam jangka waktu yang lama (Hala et al., 2001; Zhang et al., 2011).
Gambar 2.2 Skema Proses Sintesis NO (Hala et al., 2001; Zhang et al., 2011)
Di dalam jaringan, NO dibentuk L – Arginine oleh eNOS dengan kofaktor NADPH, oksigen (O2) dan Tetrahydrobiopterin (BH4) menghasilkan L – Citrulline serta nitrat dan nitrit sebagai metabolit antara NO yang tidak digunakan akan dioksidasi menjadi nitrit. Apabila NO diperlukan kembali, nitrit dalam jaringan akan direduksi menjadi NO dikatalisis oleh enzim Xanthine Oxidase (XO) (Lundberg dan Weitzberg, 2005). 2.2.3 Pengukuran NO Dalam serum, waktu paruh NO sangat singkat karena cepat dipakai oleh sel endotel pembuluh darah sebagai vasodilator. Waktu paruh nitrit lebih pendek daripada nitrat karena nitrat dapat direduksi menjadi nitrit kemudian cepat direduksi menjadi NO pada keadaan hipoksia. Kadar nitrat, nitrit dan NO dalam serum berbanding lurus dengan waktu paruhnya. NO yang disekresi oleh sel endotel dengan cepat dioksidasi membentuk nitrit, kemudian berikatan dengan
hemoglobin membentuk nitrat. Kadar nitrat dan nitrit relatif stabil di dalam darah, sehingga total kadar nitrit dan nitrat serum (NOx) dipakai sebagai indikator sintesis NO tubuh (Lundberg dan Weitzberg, 2005). Tabel 2.1 Waktu Paruh NO dan Produknya (Lundberg dan Weitzberg, 2005) NO dan Produknya
Kadar Serum (nmol/L)
Waktu Paruh (T1/2)
Nitrat
20.000-50.000
5-8 Jam
Nitrit
100-500
1-5 Menit
NO
<1
1-2 Milidetik
HbNO
<1-200
15 Menit
Pemeriksaan kadar NO secara langsung sangat sulit dilakukan karena senyawa NO berupa gas, bersifat polar dan memiliki waktu paruh yang sangat singkat. Senyawa nitrat dan nitrit merupakan metabolit antara NO yang memiliki waktu paruh yang lebih lama sehingga relatif stabil. Beberapa metoda pemeriksaan kadar NO yang sering dilakukan antara lain metoda oksidasi hemoglobin, chemiluminescent, reaksi Griess dan konversi Arginin Citrulin. Metoda pemeriksaan tersebut hanya menggambarkan bioavailabilitas NO tubuh, sedangkan bioaktivitas NO dapat diketahui dari perubahan ekspresi gen enzim eNOS yang mengkatalisis arginine menjadi NO (Tarpey dan Fridovich, 2001).
Gambar 2.3 Pembentukan NO Dalam Darah dan Jaringan (Lundberg dan Weitzberg, 2005)
Pada pembuluh darah, dalam keadaan normal NO dihasilkan oleh endothelial Nitric Oxide Synthase (eNOS), tetapi jika terjadi peradangan NOS juga terdapat pada makrofag dan sel otot polos yang kemudian menghasilkan NO. -
Sedangkan O2 dan H2O2 dapat dihasilkan oleh semua sel pembuluh darah (Droge, 2002). Apabila bioaktivitas NO dalam sel endotel pembuluh darah menurun akibat rendahnya bioavailabilitas NO, menimbulkan gangguan endothelium dependent vasorelaxation sebagai disfungsi endotel. Rendahnya bioavailabilitas NO disebabkan berkurangnya pembentukan enzim eNOS dan oksigen serta rendahnya asupan nitrat anorganik. Walaupun sintesis NO normal, namun bioaktivitasnya dapat berkurang akibat tingginya oksidasi NO oleh radikal
superoksida yang berakibat menurunnya efek vasodilator endogen (Deanfield et al., 2007). Peningkatan jumlah radikal bebas dan penurunan bioavailabilitas NO memperberat disfungsi endotel. Selain itu, menurunnya pembentukan NO tubuh berhubungan dengan rendahnya asupan bahan makanan sumber NO. Bahan makanan sumber NO mengandung antioksidan yang dapat meredam efek radikal bebas, sehingga bioavailabilitas NO dapat dipertahankan (Deanfield et al., 2007). Perubahan ekspresi eNOS dapat mengakibatkan gangguan sintesis NO. Aktivitas eNOS tergantung dari protein kinase Akt pada residu serin 1177 dan defosforilasi treonin 495. Beberapa inhibitor eNOS endogen, seperti Asymmetric Di Methyl Arginine (ADMA), L – Mono Methyl Arginine (LNMA) dan Tetrahydrobiopterin (BH4) dapat mengubah aktivitas eNOS. Apabila tidak tersedia arginin atau BH4, eNOS dapat menjadi uncoupled dan menghasilkan radikal superoksida dan radikal hidrogen peroksida. Radikal superoksida bereaksi dengan NO membentuk peroksinitrit yang dapat mengoksidasi BH4 sehingga BH4 menurun. Dalam keadaan defisiensi BH4, eNOS dapat meningkatkan stres oksidatif dan disfungsi endotel (Endemann, 2004). Stres oksidatif merupakan pemicu aktivasi disfungsi endotel, yang ditandai dengan penurunan kadar NO. Endotel mempunyai banyak fungsi penting antara lain mengatur tekanan darah melalui pelepasan bahan vasokonstriktor dan vasodilator,
mengatur
(Endemann, 2004).
fungsi
antikoagulan,
antiplatelet
dan
fibrinolisis
2.2.4 Pengaruh NO Pada Korpus Kavernosum Ereksi penis adalah manifestasi bangkitan seksual yang terjadi bila pria normal menerima rangsangan seksual yang cukup. Proses ereksi juga tergantung pada keseimbangan antara aliran darah yang masuk dan keluar dari korpus kavernosum. Bila terjadi keseimbangan antara aliran darah masuk dan keluar, maka penis menjadi flaccid (lemas). Bila aliran masuk ke arteri korpus kavernosum meningkat, sedangkan aliran keluar vena terhambat, maka penis mengalami tumescence (membesar dan memanjang) (Pangkahila, 2005). Penis memiliki dua korpus kavernosum yang memiliki banyak sinus yang saling berhubungan yang terisi darah untuk menghasilkan ereksi. Penis juga memiliki satu korpus spongiosum yang mengelilingi uretra dan yang membentuk glans penis. Asetilkolin bekerja dengan neurotransmiter lain cyclic Guanylate Mono Phosphate (cGMP), cyclic Adenosin Mono Phosphate (cAMP) dan polipeptida intestinal vasoaktif untuk menghasilkan vasodilatasi arteri penis yang dapat menyebabkan terjadinya ereksi (Susanto, 2011). Mekanisme fisiologis ereksi pada penis diawali dengan adanya stimulasi seksual yang akan melibatkan pelepasan suatu senyawa NO, dari bagian penis yang disebut korpus kavernosum. NO akan mengaktifkan enzim guanylyl cyclase yang menyebabkan peningkatan senyawa cGMP, selanjutnya menyebabkan pelebaran pembuluh darah disekitar korpus kavernosum, sehingga darah mengalir ke penis dan menyebabkan pembesaran penis (ereksi). Senyawa cGMP diuraikan atau didegradasi oleh enzim yang bernama Phospho Di Esterase – 5 (PDE5) yang
menyebabkan penis kembali pada ukuran semula (relaksasi penis) (Susanto, 2011). Saat ereksi terjadi, aliran darah arteri dan vena yang awalnya berjalan seimbang dari corpus, kemudian aliran arteri meningkat akibat adanya asetilkolin sebagai mediator vasodilatasi dan mengisi sinusoid dalam korpus yang menyebabkan penis mengalami pembengkakan dan pemanjangan. Pada umumnya asetilkolin bekerja dengan dua jalur yang berbeda untuk menimbulkan ereksi. 1) Dengan adanya rangsangan seksual dari jaringan genital, asetilkolin melalui jalur utama meningkatkan produksi NO oleh sel endotel dan neuron Non Adrenergic Non Cholinergic (NANC). NO meningkatkan aktivitas guanylyl cyclase, yang meningkatkan senyawa cGMP. Senyawa cGMP menurunkan konsentrasi kalsium intraseluler dalam sel otot halus arteri penis dan sinus kavernosum. Akibatnya terjadi relaksasi otot halus yang meningkatkan aliran darah arteri korpus. 2) Sedangkan pada jalur alternatif, asetilkolin menstimulasi otot halus pada reseptor membran sel untuk meningkatkan aktivitas adenylyl cyclase. Adenylyl cyclase menyebabkan peningkatan senyawa senyawa cAMP. Seperti halnya cGMP, cAMP menurunkan konsentrasi kalsium intraselular untuk menghasilkan relaksasi otot halus dalam sel pembuluh darah dan sinus karvernosum. (Dipiro et al, 2005). Faktor saraf yang mempengaruhi mekanisme ereksi adalah stimulasi saraf parasimpatetik S2 – S4 yang menimbulkan dilatasi arteriol dan relaksasi otot polos trabekula penis. Di pihak lain, stimulasi saraf simpatetik Th12 – L2
mengakibatkan konstriksi arteriol dan otot polos korpus kavernosum yang menimbulkan detumesensi dan fleksid penis. Ketika mengalami rangsangan seksual, impuls saraf menyebabkan pelepasan NO dari neuron NANC dan sel endotel korpus kavernosum. NO merupakan mediator kimia yang terpenting untuk menimbulkan relaksasi otot polos korpus kavernosum (Susanto, 2011).
Gambar 2.4 Mekanisme Ereksi (Burnett, 2002) Disfungsi Ereksi (DE) didefinisikan sebagai ketidakmampuan yang menetap dan atau rekuren (setidaknya tiga bulan) untuk mencapai dan mempertahankan ereksi yang cukup untuk memungkinkan terjadinya hubungan seksual yang memuaskan. Tingkat keparahan dan prevalensi disfungsi ereksi meningkat seiring dengn peningkatan usia. Kejadian disfungsi ereksi lebih rendah pada pria dengan usia < 40 tahun, tetapi meningkat dengan bertambahnya usia. Hasil studi Health Professional Follow Up terbaru, pada lebih dari 31.000 pria
sehat profesional berusia 53 – 90 tahun, prevalensi terjadinya disfungsi ereksi sebesar 33% (Dipiro et al., 2005).
2.3 Hormon Testosteron 2.3.1 Deskripsi Testosteron Hormon-hormon steroid seks yang terpenting dalam reproduksi pada lakilaki adalah : testosteron, dihidrotestosteron (DHT) dan estradiol. Hormon seks pada laki-laki adalah androgen. Hormon testosteron merupakan hormon androgen utama. Testosteron merupakan sebuah hormon steroid dari kelompok androgen yang dapat ditemukan pada mamalia, reptil, burung dan vertebrata yang lain (Braunstein, 2011). Istilah
androgen
berarti
hormon steroid
yang mempunyai
efek
maskulinisasi, terdiri atas testosteron, dihidrotestosteron dan androstenedion. Testosteron merupakan hormon utama dan terpenting diantara ketiganya, sedangkan dihidrotestosteron dan androstenedion adalah bentuk androgen yang lemah. Semua androgen merupakan senyawa steroid. Baik dalam testis maupun dalam adrenal, androgen dapat dibentuk dari kolesterol atau langsung dari asetil koenzim A (Guyton dan Hall, 2002). Seperti hormon steroid lain, testosteron juga berasal dari derivat kolesterol mempunyai sifat khusus dengan struktur steroid empat cincin dengan nama sistematik (memakai sistem IUPAC) : (8R,9S,10R,13S,14S,17S) –17 – hydroxy – 10,13 – dimethyl – 1, 2, 6, 7, 8, 9, 11, 12, 14, 15, 16, 17 dodecahydrocyclopenta [a]phenanthren – 3 – one (Sherwood, 2007).
Gambar 2.5 Struktur testosteron (Sherwood, 2007) 2.3.2 Testosteron Pada Sirkulasi Terdapat tiga fraksi testosteron pada serum, yaitu 98% berikatan dengan protein plasma yaitu Sex Hormon Binding Globulin (SHBG) (50%) dan albumin (48%). 2 % sisanya tidak berikatan dalam plasma dan bebas untuk masuk dalam sel dan mempunyai efek metabolik (testosteron bebas atau free testosterone). SHBG disintesis di dalam hepar. Kadarnya dapat meningkat oleh pengaruh estrogen, tamoxifen, fenitoin, hormon tiroid, keadaan hipertiroidism ndan sirosis, sedangkan kadarnya menurun apabila terdapat pengaruh androgen eksogen, glukokortikoid, Growth Hormone (GH), keadaan hipotiroidism, akromegali, obesitas dan hiperinsulinemia (Braunstein, 2011; Pangkahila, 2011). Testosteron bebas mempunyai half life yang pendek, kira – kira 10 menit, dimetabolisme
dengan
cepat
oleh
hepar
menjadi
androsteron
dan
dehidroepiandrosteron dan secara serempak dikonjugasikan sebagai glukoronida dan sulfat, lalu diekskresikan baik ke usus dalam empedu atau ke dalam urine melalui ginjal (Jones, 2008). Testosteron bebas dan testosteron yang berikatan dengan albumin disebut bioavailable testosterone. Bioavailable testosterone diyakini akan lebih mudah masuk ke dalam sel – sel yang membutuhkan testosteron untuk melaksanakan
fungsi fisiologis karena ukuran dan afinitas spesifik bioavailable testosterone terhadap sel targetnya (Giton, 2006).
Gambar 2.6 Skematik Testosteron Total (Giton, 2006) Testis hanya mengsekresikan 25% estradiol. Estradiol terutama dihasilkan dari konversi perifer dari testosteron dan androstenedione. Dihidrotestosteron dan estradiol bukan hanya dihasilkan dari testis, tetapi juga dapat dihasilkan dari konversi di jaringan perifer dari androgen dan prekursor estrogen yang disekresi baik oleh testis maupun adrenal. Estrogen membantu mengatur sekresi Gonadotropin-Releasing Hormone (GnRH) dan LH. Konversi perifer dari testosteron oleh 5-alfa-reduktase menghasilkan DHT, suatu hormon androgen yang juga poten, bekerja pada jaringan spesifik. Kebanyakan testosteron yang tidak terikat pada jaringan, akan diubah terutama oleh hepar menjadi bermacammacam metabolit, seperti androsteron dan etiocholanolon, yang setelah berkonjungasi dengan glukoronid dan sulfat dikeluarkan melalui urin dalam bentuk 17-ketosteroid. Namun, hanya 20-30% dari 17-ketosteroid urin berasal dari metabolisme testosteron, sisanya berasal dari metabolisme steroid adrenal, sehingga hal ini tidak dapat dipakai untuk mengukur sekresi steroid dari testis (McCance dan Huether, 2006; Braunstein, 2011; Pangkahila, 2011).
Pada sel target androgen, testosteron secara enzimatik dikonversi menjadi DHT oleh isoenzim mikrosomal 5α-reduktase-2 pada pH ± 5,5, sedangkan isoenzim lain 5α-reduktase-1 bekerja pada kulit dengan sekitar pH 8,0, tetapi tidak aktif pada traktus urogenital. Setelah itu, DHT dan testosteron akan berikatan dengan reseptor protein spesifik di intraseluler. Gen yang mengkode protein ini berada pada kromosom X. Ketika testosteron atau DHT berikatan dengan reseptor, terjadi perubahan sehingga dapat terjadi translokasi ke dalam nukleus berikatan dengan importins (Rn). Di dalam nukleus, kompleks reseptor androgen berikatan dengan elemen respon androgen di DNA sehingga mengaktivasi proses transkripsi. Hasil ini kemudian disintesis oleh messenger RNA (mRNA), kemudian di transport ke sitoplasma, dimana terjadi sintesis protein baru dan terjadi respon androgen (Braunstein, 2011). 2.3.3 Sekresi Testosteron Hormon testosteron 95% dihasilkan oleh sel Leydig dalam testis dan 5% dihasilkan oleh zona retikularis kortex adrenal pada laki-laki. Testis juga mengsekresi sebagian kecil dari DHT yang merupakan androgen poten dan dehidroepiandrosteron (DHEA) yang merupakan androgen lemah. Kemudian secara serempak dikonfigurasikan sebagai glukoromida dan sulfat kemudian diekskresikan ke usus melalui empedu ataupun ke dalam urin melalui ginjal (Guyton dan Hall, 2005). Selain itu, sel Leydig juga mengsekresi sebagian kecil dari estradiol, estrone, pregnenolon, progesteron, 17α-hidroksipregnenolon, dan 17α-hidroksiprogesteron (Braunstein, 2011).
Pelepasan testosteron mempunyai ritme sirkadian dengan levelnya pada sirkulasi mencapai puncaknya dalam darah pada pagi hari (08.00 – 10.00) dan terendah pada malam hari (18.00 – 20.00) (Kapoor et al., 2005). Testosteron terutama disekresikan oleh testis. Kecepatan sekresi testosteron 4 – 9 mg/hari (13,9 – 31,2 nmol/hari) dengan kadar testosteron serum berkisar antara 300 – 1000 ng/dL (rata – rata 611±186 ng/dL), testosteron bebas 50-210 pg/ml (1,7 – 7,28 pmol/L) (Guyton dan Hall, 2005). 2.3.4 Sintesis Testosteron LH merangsang sel Leydig melalui peningkatan pembentukan cyclic Adenosin Mono Phosphat (cAMP). cAMP meningkatkan pembentukan kolesterol dan ester – ester kolestrol. Sintesis ini dimulai dengan pengangkutan kolesterol ke membran interna mitokondria oleh protein pengangkut
Steroidogenic Acute
Regulatory Protein (StAR). Setelah berada pada posisi yang tepat, kolesterol akan bereaksi dengan enzim pemutus rantai samping P450scc
dan menjadi
pregnenolon. Konversi pregnenolon menjadi testosteron dapat terjadi dalam 2 lintasan, yaitu (Sherwood, 2007): -
lintasan progesteron atau lintasan ∆4 (jalur ini dapat dilihat pada sisi kanan gambar 2.2).
-
lintasan dehidroepiandosteron atau lintasan ∆5 (dapat diliat pada sisi sebelah kiri gambar 2.2).
Gambar 2.7 Jalur Biosintesis Testosteron (Brinkman, 2009) 2.3.5 Kontrol Fungsi Testosteron Regulasi dari produksi androgen dan spermatogenesis diatur oleh sistem kompleks mekanisme umpan balik, dimana terlibat sistem saraf pusat ekstrahipothalamus, hipothalamus, hipofise anterior, testis, dan androgensenstive ends organs. Terlibatnya sistem saraf pusat ekstrahipothalamus dapat berupa stres fisiologik dan psikologis. Dalam hipothalamus, neurotransmiter akan meregulasi sintesis dan pelepasan pulsasi GnRH, yang dilakukan setiap 3 jam masuk dalam vena portal hipofise. Setelah mencapai hipofise anterior, maka GnRH akan merangsang sekresi LH dan FSH. LH mempengaruhi sel Leydig yang berikatan dengan reseptor spesifik membran dan menyebabkan sekresi testosteron. Sebagai inhibisi, peningkatan kadar androgen akan menghambat sekresi LH dari hipofise anterior melalui efek langsung pada hipofise dan hipothalamus. Hipothalamus dan hipofise mempunyai reseptor androgen dan estrogen. Efek inhibisi terutama yang diperantarai oleh estradiol yang dihasilkan dari aromatisasi testosteron. FSH
berikatan dengan reseptor spesifik pada sel-sel Sertoli di tubulus seminiferus dan merangsang pembentukan Androgen Binding Protein (ABP). FSH mempengaruhi tubulus seminiferus sel Sertoli untuk merangsang terjadinya spermatogenesis. Sekresi FSH dihambat oleh inhibin yang dihasilkan oleh sel Sertoli. Begitu juga yang terjadi pada LH, sekresi LH akan dihambat oleh inhibin yang dihasilkan oleh sel Leydig (McCance dan Huether, 2006; Pangkahila, 2011). Fungsi testis dikontrol oleh 2 hormon gonadotropik yang disekresikan oleh hipofisis anterior yaitu: LH dan FSH. Kedua hormon ini bekerja pada bagian testis yang berbeda. LH bekerja pada sel Leydig (intersisial) untuk mensekresi testosteron sedangkan FSH bekerja pada tubulus seminiferus sel Sertoli yang berpengaruh terhadap spermatogenesis (Sherwood, 2011). 2.3.6 Pengukuran Hormon Steroid pada Laki-laki Semua pengukuran steroid gonadal harus dilakukan dengan pemeriksaan khusus. Pada individu normal, terjadi peningkatan serum testosteron pada pagi hari, karena itu sebaiknya pengambilan sampel darah sebaiknya dilakukan tiga kali dengan interval 20 – 40 menit pada pagi hari. Pada laki-laki, produksi hormon seks tergantung dari variasi diurnal (Hess et al., 2003; Braunstein, 2011; Pangkahila, 2011; Sherwood, 2013). Kadar testosteron puncak terlihat pada pagi hari, sekitar 20-30% lebih tinggi kadarnya dari pada malam hari (Kumar, 2013). Pengukuran immunoassays testosteron dan estrogen mengukur konsentrasi kadar total serum. Metode yang dipercaya adalah dengan immunoassays spesifik diikuti ekstraksi dari serum atau
gas chromatography (GC) atau dengan liquid chromatography (LC) digabung dengan spektroskopi (Braunstein, 2011). Tabel 2.2 Kadar Hormon Normal pada Laki-laki Dewasa (Braunstein, 2011) Hormon Testosteron, total Testosteron, free Dihidrostenedione Androstenedione Estradiol Estrone
Batas Normal 260 – 1000 ng/dL 50 – 210 pg/mL 27 – 75 ng/dL 50 – 250 ng/dL 10 – 50 pg/mL 15 – 65 pg/mL
Nilai normal kadar hormon tetosteron total pada laki-laki berviariasi antara 241 – 827 ng/dl, yang diukur pada pagi hari. Apabila terjadi penurunan dibawah 500 ng/dl sudah menimbulkan gejala defisiensi. Pada anak-anak, baik anak lakilaki maupun anak permpuan kadar testosteron berkisar antara 5 ng/dl, yang akan meningkat sesuai dengan umurnya. Anak perempuan bila mencapai usia 10 – 15, kadar testosteronya dapat mencapai kira-kira 15 – 35 ng/dl. Pada saat anak perempuan berusia mencapai 17 tahun meningkat sedikit menjadi 20 – 38 ng/dl, dan pada awal usia 20 tahun normal kadar testosteron total terendah antara 6 – 24 ng/dl dan batas tertinggi 47 – 86 ng/dl (Braunstein, 2011). 2.3.7 Efek dan Fungsi Testosteron Hormon testosteron merupakan hormon androgen utama di dalam sirkulasi darah. Testosteron penting dalam kehidupan seksual dan reproduksi serta pertumbuhan dan perkembangan normal organ kelamin dan reproduksi baik pria maupun wanita, selain fungsinya yang berpengaruh besar terhadap kehidupan seksual juga memiliki efek biologik yang penting diantaranya pada metabolisme,
integritas tulang, otot, sistem kardiovaskular dan otak. Pada keadaan berkurangnya hormon testosteron berpengaruh terhadap berkurangnya sensitivitas insulin, kelemahan otot, gangguan metabolisme karbohidrat, gangguan fungsi kognitif, berkurangnya dorongan motivasi, lelah dan letargi, peningkatan lemak tubuh serta penurunan dorongan dan kemampuan seksual (Pangkahila, 2011). Fungsi fisiologis testosteron di dalam tubuh dipengaruhi oleh beberapa hal (Morgentaler, 2009) : 1) Sekresi primer dari testis. 2) Peningkatan SHBG seperti keadaan patologis : sirosis hepatis, tirotoksikosis, pemberian preparat estrogen dan anti konvulsan. 3) Aktivitas enzim aromatase yang akan mengubah testosteron menjadi estradiol. 4) Jumlah reseptor CAG repeats yang berfungsi normal. Secara sistematis fungsi testosteron diantaranya adalah : 1) Efek pada sistem reproduksi pada saat sebelum lahir. -
Sebelum lahir, sekresi testosteron pada janin akan mengakibatkan penurunan testis ke dalam skrotum, maskulinisasi sistem reproduksi, dan genitalia eksternal.
-
Pada saat janin, testosteron yang berasal dari plasenta menginisiasi pembentukan duktus Wolffian dan membentuk organ genitalia interna pria (epididimis, vas deferens dan vesikula seminalis).
-
Testosteron diubah menjadi dehidrotestosteron sehingga menstimulasi pembentukan genitalia eksterna seperti skrotum dan penis. Selain itu
pembentukan kelenjar prostat juga dipengaruhi oleh hormon testosteron (Gilbert, 2000; Guyton dan Hall, 2010). 2) Efek pada jaringan seks spesifik setelah lahir. -
Masa pubertas adalah masa dimana terjadi maturasi dari sistem reproduktif yang sebelumnya non fungsional untuk mencapai puncaknya dan mempunyai kemampuan untuk bereproduksi.
-
Biasanya dimulai pada usia 10 – 14 tahun. Pada masa puber, terjadi peningkatan sekresi GnRH oleh hipotalamus. Dengan ini terjadi peningkatan sekresi FSH dan LH oleh hipofisis. Testis membesar dan LH menstimulasi sel Leydig memproduksi testosteron dan sel Sertoli dalam menjaga spermatogenesis (Solfikitis et al., 2008).
-
Testosteron inilah yang bertanggung jawab untuk pertumbuhan dan perkembangan seluruh sistem reproduksi pria. Di bawah pengaruh sekresi testosteron, terjadi pembesaran testis dan dimulailah produksi sperma untuk pertama kalinya, terjadi pembesaran glandula seksual aksesoris dan pembesaran penis serta skrotum.
-
Setelah masa pubertas, sekresi testosteron dan spermatogenesis terjadi secara terus – menerus seumur hidup seorang pria, meskipun produksinya akan berkurang secara bertahap. Penurunan sekresi testosteron pada pria dewasa dimulai sejak memasuki usia 40 tahun yang sebelumnya telah mengalami perkembangan normal. Perubahan aktivitas dari poros hipotalamus hipofisis gonadal pada pria terjadi lebih lambat.
-
Seiring dengan penuaan, kadar serum total dan free testosterone tampak menurun. Kadar free testosterone juga menurun sehubungan dengan peningkatan SHBG. Sehingga untuk mengatasi hal ini dikembangkanlah terapi sulih testosteron. Hipogonadisme mempengaruhi sekitar 40% dari pria berusia 45 tahun atau lebih tua, meskipun kurang dari 5% dari orang – orang yang benar – benar didiagnosis dan diobati untuk kondisi tersebut. Meskipun terdapat beberapa kontroversi, terapi sulih testosteron telah ditetapkan sebagai pengobatan utama yang aman dan efektif untuk hipogonadisme (Bebb, 2011).
3) Efek yang berkaitan dengan reproduksi -
Testosteron mengatur perkembangan libido dan mempertahankan libido pada seorang pria dewasa.Tetapi pada manusia libido juga dipengaruhi oleh interaksi sosial dan faktor emosional.
-
Testosteron juga berfungsi sebagai umpan balik negatif untuk mengontrol produksi hormon gonadotropin dari hipofisis anterior.
4) Efek pada perkembangan seksual sekunder Perkembangan dan pemeliharaan seksual sekunder pria bergantung pada testosteron, hal ini termasuk pada: -
pertumbuhan rambut (contoh: janggut, rambut dada).
-
suara yang lebih rendah akibat dari pembesaran laring dan penebalan pita suara, kulit yang lebih tebal.
-
konfigurasi tubuh pria, contohnya: bahu yang lebar, tangan yang besar, dan kaki yang lebih berotot sebagai akibat dari penyimpanan protein.
5) Efek non reproduksi Testosteron juga mempunyai efek anabolik protein dan pertumbuhan tulang yang akan mengarah pada pembentukan fisik pria yang lebih berotot dan pertumbuhan yang cepat selama masa puber. Testosteron juga menstimulasi sekresi pada kelenjar minyak. Pada hewan testosteron akan mengakibatkan terjadinya perilaku agresif. 2.3.8 Hubungan Testosteron dan NO Pada Disfungsi Ereksi Mekanisme kerja dari testosteron terhadap fungsi ereksi pada studi yang dilakukan pada tikus adalah melalui stimulasi sintesis NO dan sebagai vasodilator pada penis (Isidori, 2014). Relaksasi dari jaringan erektil pada korpus kavernosum memerlukan NO dari neuron Non Adrenergic Non Cholinergic (NANC) dan sel endotel. Testosteron mempengaruhi fungsi endotel dengan adanya reseptor androgen dan enzim – enzim metabolisme testosteron pada sel endotel, antara lain 5alfa – reduktase yang mengkatalisis perubahan testosteron menjadi dihidrotestosteron dan aromatase yang mengkatalisis perubahan testosteron menjadi estradiol. Estradiol akan berikatan dengan Estrogen Receptor (ER) pada sel endotel. Neuron NANC dan sel endotel melepaskan NO, yang pada gilirannya meningkatkan kadar cyclic Guanosine Mono Phosphate (cGMP). Kadar cGMP yang berlimpah menyebabkan relaksasi otot polos arteri dan kavernosa, serta meningkatkan aliran darah penis. Ketika tekanan intrakavernosa meningkat, venula subtunika penis terkompresi, sehingga membatasi aliran balik vena dari penis. Kombinasi peningkatan aliran arteri dan penurunan aliran balik vena mengakibatkan ereksi.
Proses ini dibalikkan oleh aktivitas type 5 Phosphodiesterase (PDE5), yang memecah cGMP, menyebabkan penghentian ereksi (Sakka dan Yassin, 2010).
Gambar 2.8 Mekanisme Testosteron pada Ereksi Penis (Isidori, 2014)
2.4 Terapi Sulih Testosteron (Testosterone Replacement Therapy) 2.4.1 Definisi Terapi Sulih Testosteron Indikasi terapi sulih testosteron pada pria adalah keadaan hipogonadisme yang menunjukkan sindrom klinis yang kompleks yaitu adanya gejala – gejala hipogonadisme dan level testosteron yang rendah. Beberapa pilihan baru dalam terapi sulih testosteron telah tersedia sejak pertengahan tahun 1990. Ambang batas level testosteron yang menimbulkan gejala – gejala hipogonad bervariasi tergantung jenis gejala dan individu (Arver dan Mueller, 2008). Formulasi optimal dari testosteron adalah formula yang mampu menormalisasi level testosteron yang beredar dan juga menimbulkan level yang fisiologis dari metabolit aktifnya yaitu: estradiol dan DHT. Jenis – jenis ester yang
telah digunakan adalah propionat, fenilpropionat isokaproat, enanthat, dekanoat, undekanoat (Arver dan Mueller, 2008). Pengobatan terapi sulih untuk hipogonadisme dapat diberikan melalui beberapa sediaan preparat, antara lain : injeksi testosteron ester, testosteron transdermal (gel atau patch), atau testosteron oral dalam bentuk testosteron undekanoat. Semua sediaan preparat tersebut diberikan dalam dosis yang tepat sehingga memungkinkan pasien memperoleh manfaat dan memiliki berbagai pilihan untuk dipergunakan (Bebb, 2011). Beberapa
jenis
sediaan
preparat
pemberian
testosteron
yang
direkomendasikan untuk terapi penggantian / sulih testosteron adalah sebagai berikut : 1. Gel
: 5 sampai 10 gram gel testosteron diterapkan setiap hari.
2. Tablet : 40 mg testosteron undekanoat diminum dua kali sehari dengan makanan (Bebb, 2011). 3. Injeksi 1000 mg testosteron undekanoat intramuskular yang diberikan pada minggu ke 0 , 6 , 18 , 30 dan 42 dapat meningkatkan komponen kesehatan mental dan kualitas hidup pada pria hipogonad, khususnya vitalitas (mencerminkan tingkat energi ), fungsi sosial dan peran fungsi fisik. Meskipun skor komposit kesehatan fisik tidak menunjukkan peningkatan signifikan secara statistik, akan tetapi ada kecenderungan peningkatan yang ditunjukkan pada minggu ke 30, hingga minggu ke 48 menunjukkan peningkatan yang berkelanjutan dalam kekuatan fisik (Tong et al.,2012).
2.4.2
Testosteron Undekanoat
Gambar 2.9 Rumus Bangun Testosteron Undekanoat (Ilyas, 2008) Rumus molekul
: C30H48O3
Bobot molekul
: 456,70
Testosteron undekanoat (TU) dengan nama kimia 17 hydroxyl 4 androsten 3 one 17 undekanoat adalah suatu hormon yang bersifat hidrofobik karena mempunyai nilai log (P) sebesar 7,24. TU merupakan suatu bentuk ester dari testosteron alami. Bentuk aktif testosteron dihasilkan dari hidrolisis esternya. Efek utama dari testosteron hasil hidrolisis TU tersebut terjadi setelah adanya ikatan testosteron terhadap reseptor spesifiknya yang membentuk kompleks homon – reseptor. Komplek hormon reseptor tersebut masuk ke dalam inti sel dimana ia akan memodulasi transkripsi gen – gen tertentu setelah terikat dengan DNA. Formulasi untuk TU saat ini berupa larutan dalam minyak castor. Sediaan dengan pembawa minyak mempunyai kelemahan yaitu mudah tengik, viskositas sediaannya menjadi tinggi (Ilyas, 2008). Testosteron undekanoat (TU) yang dikembangkan untuk kontrasepsi pria digunakan dalam bentuk liquid (injeksi) dan bentuk bubuk yang dibungkus
dengan kapsul. Tujuan utama dari pemberian TU adalah mempertahankan tingginya tingkat serum testosteron jangka panjang pada pria yang ikut dalam kontrasepsi pria. Hal ini bertujuan untuk menekan spermatogenesis sehingga terjadi azoospermia atau oligozoospermia berat yang berlangsung lebih lama namun bersifat aman, efektif, reversibel, dan aseptibel. Konsentrasi testosteron serum stabil dalam rentang fisiologi minggu pertama setelah pemberian pertama kali. Kandungan testosteron melebihi rentang fisiologis dari testosteron enantat dan sipionat. Pola metabolisme TU mengikuti pola testosteron yang menghasilkan dihidrotestosteron (DHT) dan estradiol. Pemberian TU dapat meningkatkan konsentrasi testosteron plasma dan menurunkan konsentrasi gonadotropin (Ilyas, 2008). Testosteron undekanoat (TU) merupakan suatu alifatik, ester asam lemak testosteron yang sebagian diabsorpsi lewat usus dan melalui sistem limfatikus setelah pemberian secara oral (Ilyas, 2008). TU juga memiliki efek samping yaitu efek ringan pada penggunaan oral, seperti adakalanya mual, tetapi juga dapat menimbulkan efek serius di antaranya (Tjay , 2002) : 1) Efek virilisasi pada wanita, dengan gejala seperti acne, tumbuhnya rambut di muka, suara menjadi rendah dan gangguan haid. 2) Menekan spermatogenesis dan degenerasi tubulus seminiferus. Bila digunakan dalam waktu lama akan menyebabkan azoospermia. 3) Efek feminisasi (gynecomastia) terutama pada anak – anak. 4) Edema dan naiknya berat badan akibat retensi garam dan air, khususnya pada dosis tinggi.
5) Hiperplasia prostat. -
Pada pria usia lanjut, testosteron dapat merangsang pembesaran prostat karena hiperplasia, hal ini menyebabkan obstruksi.
6) Gangguan pertumbuhan. -
Hati – hati memberikan testosteron pada anak prapubertas, sebab dapat terjadi pubertas prekoks. Testosteron mempercepat pernutupan epifisis sehingga mungkin anak tidak akan mencapai tinggi badan yang seharusnya.
7) Hiperkalsemia. -
Hiperkalsemia dapat muncul pada wanita penderita karsinoma payudara yang diobati dengan testosteron. TU berinteraksi obat antara lain :
1) Insulin 2) Propranolol 3) Kortikosteroid: Pemakaian bersamaan testosteron dengan ACTH atau kortikosteroid dapat meningkatkan pembentukan edema, sehingga obat ini harus diberikan dengan hati – hati terutama pada pasien dengan penyakit jantung, ginjal atau hati. 4) Antikoagulan: Dosis dari antikoagulan mungkin memerlukan pengurangan untuk mempertahankan terapi yang memuaskan hypoprothrombinemia. 5) Siklosporin:
Terapi
penggantian
testosteron
dapat
siklosporin dan meningkatkan risiko nefrotoksisitas.
mempotensiasi
2.5 L – Arginin 2.5.1 Deskripsi L – Arginin Asam amino merupakan unit monomer untuk membangun rantai polipeptida protein. Sebagian besar protein mengandung asam amino L – α yang sama dalam proporsi yang bervariasi. Asam amino L – α merupakan asam amino dengan konfigurasi absolut L – gliseraldehid, dimana gugus amino dan karbohidrat melekat pada atom karbon yang sama dan mempunyai aktivitas optis (kesanggupan memutar bidang cahaya yang terpolarisasi) ke kiri / levorotaric (Srivastava et al., 2006). Dalam bentuk protein, asam amino akan mendasari berbagai fungsi antara lain, struktural, hormonal dan katalitik yang esensial bagi kehidupan. Asam amino dan derivatnya turut serta dalam berbagai macam fungsi intraseluler seperti transmisi syaraf (neurotransmitter), pengaturan pertumbuhan sel dan biosintesis porfirin, purin, pirimidin serta ureum. Dalam peptida yang berbobot molekul rendah juga berfungsi sebagai prekursor hormon (Srivastava et al., 2006). Berdasarkan kepentingan nutrisi, asam amino dapat dibedakan menjadi asam amino esensial dan non esensial. Asam amino esensial adalah asam amino yang tidak dapat disintesis tubuh oleh karena itu harus dipenuhi dari diet. Sedangkan asam amino non esensial dibedakan menjadi dua berdasarkan sintesisnya dalam tubuh, yaitu (Srivastava et al., 2006) : 1) Asam amino yang disintesis dari pemindahan nitrogen ke kerangka karbon yang berasal dari siklus TCA (Tri Carboxylic Acid) atau dari glikolisis glukosa.
2) Asam amino yang disintesis dari asam amino yang lain. Kelompok ini sangat tergantung pada ketersediaan asam amino spesifik. Dengan demikian sangat mungkin menjadi esensial jika diet sebagai sumber asam amino berkurang atau terbatas, misalnya dalam keadaan infeksi, trauma, luka bakar atau dalam keadaan katabolik lainnya. Arginin termasuk asam amino non esensial yang kelompok kedua atau kadang disebut asam amino semi esensial dengan rumus kimia C6H1402N4 .
Gambar 2.10 Struktur Kimia L – Arginin (Srivastava et al., 2006) Arginin merupakan asam amino semi esensial yang artinya tubuh dapat memproduksi asam amino ini dalam jumlah kecil, sehingga asupan dari luar masih diperlukan. L – Arginin (2-amino-5-guanidinovaleric acid) merupakan asam amino dasar yang terdapat dalam cairan fisiologis tubuh. L – Arginin banyak terdapat dalam seafood, semangka, kacang – kacangan, daging, konsentrat proteinasi dan isolasi protein kedelai, namun rendah dalam susu mamalia (Wu et al., 2009). 2.5.2 Metabolisme L – Arginin
Gambar 2.11 Metabolisme L – Arginin (Maurice, 2015)
Tahap akhir hidrolisis protein menjadi dipeptida dan asam amino serta absorbsinya berlangsung di jejunum dan ileum. Selanjutnya dipeptida dan tripeptida akan ditranspor ke dalam sel dengan proses transport aktif seperti transpor glukosa. Di dalam tubuh, arginin memiliki peranan penting dalam metabolisme nitrogen sebagai perantara dalam siklus urea dan diperlukan dalam detoksifikasi amonia. Di dalam sitoplasma, arginin dihidrolisis oleh arginase menjadi urea dan ornitin. Ornitin ditranspor ke dalam mitokondria oleh ornitin carbamoyltransferase dan bersama karbomil fosfat (amonia) akan membentuk sitrulin. Kemudian sitrulin disintesis oleh arginosuccinate synthase menjadi arginosuccinate. Dan oleh arginosuccinate lysase diubah kembali menjadi arginin (Maurice, 2015). Disamping berfungsi dalam sintesis protein dan perantara siklus urea, arginine merupakan substrat pembentukan NO dan sintesis fosfokreatin, juga sebagai prekursor glutamat, prolin dan putresin melalui pembentukan ornitin. Ornitin digunakan dalam pembentukan poliamin yang diperlukan dalam proliferasi sel. Arginin dapat pula bertindak sebagai produk perantara berbagai proses metabolik (Maurice, 2015). L – Arginin merupakan salah satu substansi yang meregulasi sintesis NO, produksi antibodi dan perkembangan sel B, ekspresi reseptor sel T yang menyebabkan L – Arginin penting dalam sistem kekebalan bawaan (innate immune system) dan sistem kekebalan dapatan (adaptive immune system). L – Arginin merupakan prekursor dalam sintesis NO yang dilakukan oleh Nitric Oxide Synthase (NOS). NO merupakan molekul pengirim sinyal terhadap setiap jenis sel
yang meregulasi jalur metabolisme, sehingga perlu dilakukan penelitian terhadap nutrisi arginine. Kekurangan L – Arginin dalam diet akan menyebabkan gangguan sistesis NO (Wu et al., 2009). Dalam keadaan katabolik, kebutuhan arginin menjadi esensial. Hal ini dapat terjadi pada kondisi dimana laju degradasi arginin meningkat, intake yang kurang, gangguan absorbsi di usus serta sintesis sitrulin di usus yang menurun. Dalam kondisi normal, kebutuhan arginin pada orang dewasa dapat dipenuhi secara endogen tetapi dalam keadaan stress dan sakit khususnya penyakit – penyakit kritis dan sepsis maka kebutuhan arginin harus dipenuhi dari luar (Maurice, 2015).
2.6 Hubungan Testosteron dan L – Arginin dengan NO Syarat terjadinya efek dari hormon testosteron pada organ sasaran adalah keberadaan serta berfungsinya Androgen Receptor (AR) serta efektor intrasel. Gen AR sendiri merupakan gen yang berperan penting dalam proses pembentukan dan perkembangan fenotip pria melalui kerjanya dalam memperantarai efek biologis dari hormon androgen. Hormon androgen sendiri merupakan suatu hormon yang amat terlibat dalam proses normal perkembangan genital eksternal maupun internal pria selama periode embriogenesis melalui kerja hormon testosteron dan 5α – dihidrotestosteron (DHT) (Leung et al., 2007). Secara sitogenetika gen AR terletak pada kromosom Xq11-12. Gen AR memiliki 8 buah ekson dengan 2757 pasangan basa open reading frame, dimana
jumlah pasangan basa ini bervariasi, tergantung pada jumlah CAG repeat yang terletak pada ekson pertama (Rajender et al., 2007). Protein yang dihasilkan oleh gen AR termasuk kedalam keluarga Steroid Receptor (SR), yang mana merupakan bagian dari kelompok Nuclear Receptor (NR) superfamily. Kelompok NR superfamily sendiri termasuk merupakan salah satu kelompok gen pengatur transkripsi (transcriptional regulator) terbesar yang nantinya akan menghasilkan protein yang berfungsi sebagai faktor transkripsi yang dipercayai berperan penting dalam banyak proses seperti homeostasis, reproduksi, perkembangan dan metabolisme. Protein – protein semacam ini nantinya akan berikatan dengan DNA dan kemudian mengatur transkripsi gen. Adapun AR merupakan salah satu protein yang berkerja sebagai faktor transkripsi (Heinlen et al., 2002). Ada beberapa karakteristik yang membuat gen AR unik, diantaranya adalah terdapatnya 2 regio polimorfisme yang sama-sama terletak pada ekson pertama. Dua regio polimorfisme ini pun sama-sama merupakan polimorfisme trinucleotide repeat, yaitu CAG repeat yang mengkode pembentukan asam amino poliglutamin dan GGN repeat yang mengkode pembentukan poliglisin. Kedua area ini terletak cukup berdekatan, dimana hanya dipisahkan oleh 248 asam amino dari suatu urutan yang tidak polimorfik (Rajender et al., 2007). Seperti gen – gen lainnnya yang termasuk kedalam kelompol NR superfamily, secara struktural gen AR terbagi menjadi empat regio seperti yang tergambar pada gambar 3, yaitu N-Terminal Domain (NTD), DNA Binding Domain (DBD), regio Hinge dan Ligand Binding Domain (LBD). Dari keempat
regio tersebut NTD merupakan regio yang paling banyak berperan dalam aktivitas transkripsi dan merupakan regio terbesar dari protein AR yang terbentang dari pb 1-537. NTD atau yang juga biasa disebut sebagai transactivating domain adalah suatu regio yang berperan dalam perekrutan protein-protein lain yang dapat mempengaruhi aktivitas transkripsi dari protein AR (Nenonnen, 2011). Seperti pada protein kecil kemungkinan terjadinya kerusakan di DNA menjadi suatu reaksi berantai, biasanya kerusakan terjadi bila ada lesi pada susunan molekul, apabila tidak dapat diatasi, dan terjadi sebelum replikasi maka akan terjadi mutasi. Radikal oksigen dapat menyerang DNA jika terbentuk disekitar DNA seperti pada radiasi biologis. Radikal bebas dapat menimbulkan berbagai perubahan pada DNA yang antara lain berupa : hidroksilasi basa timin dan sitosin, pembukaan inti purin dan pirimidin serta terputusnya rantai fosfodiester DNA. Bila kerusakan tak terlalu parah, maka masih bisa diperbaiki oleh sistem perbaikan DNA (DNA repair system ). Namun apabila kerusakan terlalu parah, misalnya rantai DNA terputus – putus di berbagai tempat, maka kerusakan tersebut tak dapat diperbaiki dan replikasi sel akan terganggu. Susahnya, perbaikan DNA ini sering justru menimbulkan mutasi, karena dalam memperbaiki DNA tersebut sistem perbaikan DNA cenderung membuat kesalahan (error prone) dan apabila mutasi ini mengenai gen – gen tertentu yang disebut onkogen, maka mutasi tersebut dapat menimbulkan kanker (Rajender et al., 2007). Pada pembuluh darah, dalam keadaan normal NO dihasilkan oleh endothelial Nitric Oxide Synthase (eNOS), tetapi jika terjadi peradangan NOS
juga terdapat pada makrofag dan sel otot polos yang kemudian menghasilkan NO. -
Sedangkan O2 dan H2O2 dapat dihasilkan oleh semua sel pembuluh darah (Droge, 2002). L – Arginin merupakan prekursor dalam sintesis NO yang dilakukan oleh Nitric Oxide Synthase (NOS). Mekanisme fisiologis ereksi pada penis diawali dengan adanya stimulasi seksual yang akan melibatkan pelepasan suatu senyawa NO, dari bagian penis yang disebut korpus kavernosum. NO akan mengaktifkan enzim guanylyl cyclase yang menyebabkan peningkatan senyawa cGMP, selanjutnya
menyebabkan
pelebaran
pembuluh
darah
disekitar
korpus
kavernosum, sehingga darah mengalir ke penis dan menyebabkan pembesaran penis (ereksi). Senyawa cGMP diuraikan atau didegradasi oleh enzim yang bernama Phospho Di Esterase – 5 (PDE5) yang menyebabkan penis kembali pada ukuran semula (relaksasi penis) (Susanto, 2011).
Gambar 2.12 Hubungan Testosteron dan L – Arginin dengan NO (Srivastava et al., 2006)
2.7 Orchidectomy Sterilisasi merupakan tindakan pembedahan untuk mengangkat atau menghilangkan testis (jantan) atau ovarium (betina). Pada hewan jantan dinamakan kastrasi / orchidectomy, sedangkan pada hewan betina dinamakan Ovario Hysterectomy (OH). Sterilisasi pada hewan jantan ataupun betina berguna untuk mengendalikan (mengontrol) populasi hewan dengan mencegah kesuburan (Isidori et al., 2014). Keuntungan orchidectomy adalah menyebabkan penurunan kadar hormon testosteron pada hewan jantan sangat bermanfaat untuk (Isidori et al., 2014) : -
Menghilangkan libido. Hewan menjadi lebih tenang (tidak gelisah) sehingga tidak terjadi perkelahian selama musim kawin.
-
Mengurangi resiko penyakit yang berhubungan dengan hormon androgen seperti gangguan prostate, tumor serta perianal hernia.
-
Menghindari sifat abnormal yang diturunkan dari induk ke anak.
-
Menghindari gangguan testis, epididimis, tumor scrotum, trauma dan abses.
-
Dapat mengurangi gangguan endokrin.
Metode orchidectomy dibagi menjadi dua macam yaitu : 1. Metode terbuka -
Sayatan dilakukan sampai tunika vaginalis communis, sehingga testis dan epididimis tidak lagi terbungkus.
2. Metode tertutup -
Sayatan hanya sampai pada tunika dartos, sehingga testis masih terbungkus oleh tunika vaginalis communis. Peningkatan dan penyayatan pada funiculus spermaticus. Hewan yang akan dikebiri harus dalam keadaan sehat. Dengan hilangnya testis akibat dari orchidectomy maka sel Leydig tidak
dapat memproduksi hormon testosteron secara optimal. Berkurangnya kadar testosteron menyebabkan neuron NANC dan sel endotel pun tidak dapat memproduksi NO. Defisiensi testosteron mempengaruhi fungsi endotel dengan Androgen Receptor (AR) diantaranya enzim metabolisme testosteron pada sel endotel, antara lain 5alfa – reduktase tidak dapat mengkatalisis testosteron menjadi dihidrotestosteron dan aromatase tidak dapat mengkatalisis testosteron menjadi estradiol. Sehingga estradiol tidak akan berikatan dengan Estrogen Receptor (ER) pada sel endotel. Serta neuron NANC dan sel endotel tidak dapat melepaskan NO yang akan meningkatkan kadar cyclic Guanosine Mono Phosphate (cGMP) dan tidak menyebabkan relaksasi otot polos arteri dan kavernosa, serta tidak meningkatkan aliran darah penis. Dengan demikian menjadi tidak berfungsinya NO sebagai vasodilator melalui efek langsung terhadap otot polos korpus kavernosum. Hal ini menyebabkan keadaan disfungsi ereksi (Isidori et al., 2014).