BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka Pada Bab II ini akan dijelaskan mengenai kajian teori dan konsep-konsep yang relevan dengan variabel penelitian yang diteliti, yaitu: (1) Keterampilan menulis teks Negosiasi, (2) model Group Investigation (GI) dan model discovery learning, (3) penguasaan kosakata. 1. Keterampilan Menulis Teks Negosiasi a. Hakikat Menulis Menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang harus dikuasai oleh siswa, dalam subbab ini akan dibahas mengenai pengertian menulis, tahapan menulis, dan hambatan serta manfaat menulis. 1) Pengertian Menulis Salah satu keterampilan berbahasa yang harus dipelajari adalah menulis. Menulis merupakan suatu kegiatan memproduksi suatu catatan menggunakan aksara yang melalui serangkaian proses mulai dari isi tulisan dan pelibat wacana, hal ini sesuai dengan pendapat Maslakhah dalam Wiedarti (2005: 20) bahwa menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang bersifat ekspresif dan produktif. Dengan menulis seseorang dapat mengekspresikan apa yang ada di dalam dirinya dalam bentuk aksara, searah dengan pendapat di atas Alek & Achmad (2011: 106) juga menyatakan bahwa menulis merupakan suatu kegiatan untuk menciptakan suatu catatan atau informasi pada suatu media dengan menggunakan aksara. Berbeda dengan pendapat di atas, Murtono (2010: 27) menyatakan bahwa pengertian menulis hanya dikhususkan untuk penyampaian; ide, gagasan, pendapat, dan sebagainya yang berupa tulisan saja. Hal ini, sesuai dengan pendapat Mc Crimon (1976) (dikutip dari Slamet, 2007: 96) yang menyatakan menulis merupakan kegiatan menggali pikiran dan perasaan mengenai suatu subjek, memilih hal-hal yang akan ditulis, menentukan cara menuliskannya sehingga pembaca dapat memahaminya dengan mudah dan jelas. Senada dengan pendapat Marry S Lawrence (1972) menyatakan
13
14 bahwa menulis adalah mengomunikasikan apa dan bagaimana pikiran penulis (Slamet, 2007: 96). Pendapat lain disampaikan Nurgiantoro dalam Andayani (2009: 28)
bahwa
menulis
mengungkapkan
memiliki
gagasan
melalui
pengertian
sebagai
aktivitas
bahasa.
Aktivitas
pertama
menekankan unsur bahasa sedangkan yang kedua gagasan. Rukayah (2013: 6) menyatakan bahwa kemampuan menulis merupakan suatu kecakapan seseorang dalam menyampaikan pesan melalui lambanglambang grafik baik dalam bentuk formal maupun non-formal, sehingga pesan yang disampaikan dapat dimengerti maksud dan maknanya. Hal ini sejalan dengan pendapat Suparno dan M. Yunus (2003) yang mendefinisikan menulis sebagai suatu kegiatan penyampaian pesan (komunikasi) dengan menggunakan bahasa tulis sebagai alat medianya (Slamet, 2007: 96). Pada dasarnya, menulis bukan hanya melahirkan pikiran atau perasaan saja, melainkan juga merupakan pengungkapan ide, pengetahuan, ilmu, dan pengalaman hidup seseorang dalam bahasa tulis, menulis bukanlah suatu kegiatan yang sederhana dan tidak perlu dipelajari, tetapi justru harus dikuasai. 2) Tahap-tahap Menulis Menulis tidak hanya mencoret ataupun menggoreskan pena ke dalam kertas sehingga terbentuk suatu aksara, namun menulis merupakan suatu proses pengembangan ide-ide yang membutuhkan suatu keterampilan dalam menyampaikan bahasa lisan dalam bentuk lambang-lambang bahasa sehingga menjadi suatu tulisan yang memiliki pesan untuk para pembacanya, hal ini sejalan dengan pendapat Dalman (2014: 3) menulis merupakan suatu kegiatan komunikasi berupa penyampaian pesan (informasi) secara tertulis kepada pihak lain dengan menggunakan bahasa tulis sebagai alat atau medianya. Menulis merupakan suatu proses kreatif yang banyak melibatkan cara berpikir divergen (menyebar) daripada konvergen (memusat) (Supriadi, 1997 dikutip dari Dalman, 2014: 5).
15 Menulis juga dapat dikatakan sebagai suatu kegiatan dalam merangkai huruf menjadi kata, kata menjadi frasa, frasa menjadi klausa dan kalimat sehingga membentuk suatu paragraf, untuk menyampaikan pesan kepada orang lain, dengan membaca tulisan tersebut pembaca dapat mengerti informasi yang disampaikan. Sejalan dengan pemikiran tersebut Tarigan (2005) mengemukakan bahwa menulis ialah menurunkan atau melukiskan lambang-lambang grafis yang menghasilkan suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang sehingga orang lain dapat membaca lambang-lambang grafis tersebut dan dapat memahami bahasa dan grafis itu (Dalman, 2014: 4). Tulisan yang baik yaitu suatu hasil dari penyampaian ide dan gagasan dalam bentuk lambang bahasa yang hanya dengan membaca seseorang dapat mengerti maksud yang disampaikan penulis. Oleh sebab itu, menulis merupakan keterampilan yang harus dipelajari menurut
Syafi’e
(1993)
pembelajaran
menulis
mempunyai
kedudukan yang sangat strategis dalam pendidikan dan pengajaran. Keterampilan menulis harus dikuasai oleh anak sedini mungkin dalam kehidupannya di sekolah (dikutip dari Slamet, 2007: 95). Senada dengan pendapat Wiedarti (2005: 19) menulis merupakan keterampilan yang harus dipelajari dengan melewati serangkaian proses, mulai dari komunitas wacana keilmuwan tertentu yang mewarnai isi tulisan, termasuk jargon (field); pelibat wacana: pembaca dan penulis (tenor) dari saluran komunikasi (mode, gaya selingkung, termasuk di dalamnya). Menulis tidak hanya mengubah bahasa lisan dalam bentuk lambang-lambang bahasa saja, namun dalam kegiatan menulis terdapat serangkaian proses berupa tahap-tahap menulis seperti fase pramenulis, penulisan, dan pasca menulis. Seperti yang dijelaskan Slamet (2007: 97) menulis adalah serangkaian aktivitas (kegiatan) yang terjadi dan melibatkan beberapa fase (tahap), yaitu fase pramenulis (persiapan), penulisan (pengembangan isi karangan), dan pasca-penulisan (telaah dan revisi atau penyempurnaan tulisan),
16 sejalan dengan pendapat Slamet di atas tahap-tahap penulisan menurut pendapat Tomkins dalam Pujiono (2013: 5-6) dibagi menjadi tiga yaitu; Pertama, pramenulis adalah tahap persiapan. Hal-hal yang dilakukan pada tahap pramenulis adalah: (1) memilih topik, (2) mempertimbangkan tujuan, bentuk, dan pembaca,
serta (3)
mengidentifikasi dan menyusun ide-ide. Tahap pramenulis sangat penting dan menentukan dalam tahap-tahap menulis selanjutnya. Kedua, penulisan. Setelah karangan tersusun, penulis mulai melakukan kegiatan menulis. Penulis akan mengekspresikan ideidenya ke dalam tulisan. Ketiga, pasca-penulisan. Pasca-penulisan merupakan tahap penghalusan dan penyempurnaan tulisan kasar yang kita hasilkan. Kegiatan ini meliputi penyuntingan dan merevisi. penyuntingan adalah pemeriksaan dan perbaikan unsur mekanik karangan seperti ejaan, puntuasi, diksi, pengkalimatan, pengalineaan, gaya bahasa, dan konvensi penulisan lainnya. Adapun revisi lebih mengarah perbaikan dan pemeriksaan isi tulisan. Berdasarkan pendapat di atas Pujiono (2013: 6)
menyatakan penyuntingan
merupakan kegiatan merevisi dan perbaikan tulisan. Hal ini, sejalan dengan pendapat Dalman (2014: 15-19) yang membagi
tahap-tahap
menulis
menjadi:
Tahap
prapenulisan
(persiapan). Tahap ini merupakan tahap pertama, tahap persiapan atau prapenulisan adalah tahap menyiapkan diri, mengumpulkan informasi, merumuskan masalah, menentukan fokus, mengolah informasi, menarik tafsiran dan inferensi terhadap realitas yang dihadapi, berdiskusi, membaca, mengamati, dan kegiatan lain yang dapat memperkaya kognitif yang akan diproses selanjutnya, adapun langkah awal yang perlu dilakukan dalam tahap prapenulisan adalah (a) menentukan tema, selanjutnya (b) menentukan topik dan membatasi ruang lingkup topiknya, (c) menentukan maksud atau tujuan penulisan, (d) memerhatikan sasaran karangan (pembaca), (e) mengumpulkan informasi pendukung, langkah terakhir adalah (f)
17 mengorganisasikan ide dan informasi. Tahap penulisan. Pada tahap kedua ini langkah yang perlu dilakukan adalah mengembangkan butir demi butir ide yang terdapat dalam kerangka karangan, dengan memanfaatkan bahan atau informasi yang telah dipilih dan dikumpulkan. Adapun langkah awal yang perlu dilakukan adalah membuat
awal
karangan
yang
mengenalkan
dan
sekaligus
menggiring pembaca terhadap pokok tulisan. langkah selanjutnya adalah isi karangan yang menyajikan bahasa topik dan ide utama karangan. Langkah terakhir dalam tahap penulisan adalah akhir karangan yang berfungsi untuk mengembalikan pembaca pada ide-ide inti dan penekanan ide-ide penting, langkah ini berisi kesimpulan. Tahap pascapenulisan. Tahap ketiga ini merupakan tahap penghalusan dan penyempurnaan buram yang dihasilkan. Kegiatan dalam tahap ini terdiri atas penyuntingan dan perbaikan (revisi). Penyuntingan adalah pemeriksaan dan perbaikan unsur mekanik karangan. Menulis merupakan proses kreatif yang banyak melibatkan cara berpikir divergen (menyebar) daripada konvergen (memusat). Untuk memudahkan menulis menurut Andayani (2009: 29-30) harus memperhatikan
tahapan
penulisan
berikut:
Tahap
persiapan/prapenulisan, tahap ini meliputi: menyiapkan diri, mengumpulkan informasi, merumuskan masalah, menentukan fokus, mengolah informasi, menarik tafsiran dan refleksi terhadap realitas yang dihadapi-nya berdiskusi, membaca, mengamati. Tahap inkubasi, adalah ketika pembelajar memproses informasi yang dimilikinya sedemikian rupa sehingga mengantarkannya pada ditemukannya pemecahan masalah atau jalan keluar yang dicarinya. Tahap inspirasi (insight), yaitu gagasan seakan-akan tiba dan berloncatan pada pikiran kita. Verifikasi, pada tahap ini, apa yang dituliskan akan diperiksa kembali, diseleksi dan disusun sesuai fokus tulisan. Sejalan dengan pemikiran di atas Sabarti (1999:11) menambahkan proses
menulis menjadi tujuh langkah yaitu: Pemilihan dan
penetapan topik. Memilih dan menetapkan topik merupakan suatu
18 langkah awal yang penting, sebab tidak ada tulisan tanpa ada sesuatu yang hendak ditulis. Topik tulisan adalah gagasan yang hendak disampaikan dalam tulisan. Pengumpulan informasi dan data, hal ini perlu dilakukan agar tulisan tersebut menjadi tulisan yang berbobot dan meyakinkan. Informasi dan data yang dikumpulkan adalah informasi dan data yang relevan dengan topik atau pokok bahasan dan sesuai pula dengan tujuan penulisan. Penetapan tujuan, menetapkan tujuan penulisan adalah hal penting yang harus dilakukan sebelum menulis, karena tujuan berpengaruh dalam menetapkan bentuk, panjang tulisan, dan cara penyajian tulisan. Perancangan tulisan, merancang tulisan diartikan sebagai suatu kegiatan menilai kembali informasi dan data memilih subtopik yang perlu dimuat, melakukan pengelompokan topik-topik kecil ke dalam suatu kelompok yang lebih besar dan memilih suatu sistem notasi dan sistem penyajian secara tepat. Penulisan, dalam penulisan perlu dipilih organisasi dan sistem penyajian yang tepat, artinya tepat menurut jenis tulisan, tepat menurut tujuan atau sasaran tulisan. Penyuntingan atau revisi, dalam penyuntingan dilakukan kegiatan mengecek ketepatan angka-angka atau menghilangkan yang tidak perlu, menambahkan sesuatu yang tidak perlu, perbaikan kalimat ejaan, maupun kosakata yang kurang tepat sehingga menjadi tulisan yang baik. Penulisan naskah jadi, pada penulisan naskah jadi, masalah perwajahan harus mendapat perhatian yang sungguhsungguh karena kesempurnaan tulisan tidak hanya terbatas pada kesempurnaan isi dan ketepatan pemakaian perangkat kebahasaan tetapi juga masalah susunan. (Andayani, 2009: 30-31). Secara padat di dalam proses penulisan menurut Weaver (1990) terdiri atas lima tahap, yaitu (1) persiapan penulisan (rehearsing), (2) pembuatan draf (drafting), (3) perevisian (revising), (4) pengeditan (editing), dan (5) pemublikasian (publishing). Senada dengan pendapat Murray dalam Tompkins dan Hoskisson (1995) ada lima tahap atau kegiatan yang dilakukan pada proses
19 penulisan, yaitu (1) prapenulisan (prewiting), merupakan tahap persiapan. Pada tahap ini merupakan tahap awal dalam menulis yang mencangkup kegiatan menentukan dan membatasi topik tulisan, merumuskan tujuan, menentukan bentuk tulisan, dan menentukan pembaca yang akan ditujunya, memilih bahan, serta menentukan generalisasi dan cara-cara mengorganisasi ide untuk tulisannya. Tahap ini merupakan tahap yang amat penting dalam kegiatan menulis. (2) pembuatan draft (drafting), pada tahap ini diperlukan berbagai pengetahuan kebahasaan dan teknik penulisan. Pengetahuan kebahasaan
digunakan
untuk
pemilihan
kata,
gaya
bahasa,
pembentukan kalimat, sedangkan teknik penulisan untuk penyusunan paragraf dengan penyusunan karangan secara utuh. (3) perevisian (revising),
pada
tahap
merivisi
dilakukan
koreksi
terhadap
keseluruhan karangan. Koreksi dilakukan terhadap berbagai aspek, misalnya struktur karangan dan kebahasaan. Struktur karangan meliputi penataan ide pokok, dan ide penjelas, serta sistematika dan penalarannya. (4) pengeditan (editing), tahap ini bertujuan untuk membuat tulisan dapat dibaca secara optimal oleh pembacanya. Jika sebuah tulisan tidak dapat dibaca secara optimal oleh pembacanya. Jika tulisan tidak dapat dibaca berarti penulis telah melakukan hal yang sia-sia karena ungkapan perasaannya tidak dibaca orang (5) publikasian
(publishing/sharing),
publisikasi
mempunyai
dua
pengertian. Pengertian pertama, publikasi berarti menyampaikan karangan kepada publik dalam bentuk cetakan, sedangkan pengertian kedua menyampaikan dalam bentuk non-cetakan. (Slamet, 2007: 112115) 3) Hambatan dan Manfaat Menulis Memulai menulis bukanlah perkara mudah yang dapat diselesaikan dalam waktu sehari seperti keterampilan berbahasa yang lain, menulis memerlukan konsentrasi, waktu, dan minat yang tinggi, tentu seseorang akan mengalami beberapa kesulitan dan hambatan ketika mengulas ide gagasan dalam bentuk uraian tulisan. Hal ini
20 berdasar pada pendapat Chaedar Alwasilah dalam Rohmadi dan Nasucha (2010: 4) mengatakan kegiatan menulis merupakan keterampilan berbahasa yang paling sulit dikuasai oleh para siswa dan mahasiswa juga paling sulit diajarkan oleh para guru dan dosen diperguruan tinggi selama pembelajaran menulis diajar oleh guru atau dosen yang tidak berpengalaman. Adapun hambatan menulis siswa dipengaruhi oleh dua faktor antara lain faktor internal dan eksternal seperti pendapat Wardhana dan Ardianto dalam Kuncoro (2009: 6-7) yang mengatakan ada dua penyebab utama yang menjadi faktor penghambat kegiatan menulis. Faktor yang pertama adalah faktor internal, faktor yang berasal dari dalam diri individu. Faktor internal yang sering terjadi meliputi; (1) seorang individu belum memiliki kebiasaan membaca buku, membaca buku harus ditanamkan sedini mungkin karena dengan kebiasaan membaca akan berdampak pada kemajuan suatu bangsa, selain itu, kebiasaan membaca buku memiliki hubungan erat dengan kemampuan menulis karya ilmiah. (2) seorang individu belum memiliki kemampuan berbahasa yang baik, kemampuan berbahasa yang baik sangat diperlukan untuk dapat membuat sebuah karya tulis karena menulis adalah kegiatan berbahasa secara langsung; dan (3) belum ada minat atau keinginan menulis, banyak orang mengatakan belum ada waktu menulis padahal itu hanya menjadi alasan mereka untuk menutupi kemalasan diri seseorang. Kemudian yang kedua adalah faktor eksternal, merupakan faktor penghambat yang berasal dari luar pribadi setiap individu. Faktor eksternal yang menghambat seseorang untuk menulis adalah (1) sulitnya mendapat bahan acuan dan referensi untuk menulis, (2) sulit mencari topik atau tema untuk bahan tulisan, dan (3) kesulitan dalam menyusun kalimat baku. Mengesampingkan adanya hambatan dan kesulitan yang sering muncul ketika kegiatan menulis dilakukan, pada dasarnya menulis memiliki
banyak
manfaat,
seperti
meningkatkan
kreativitas,
mengembangkan diri, berbagi informasi yang bermanfaat dengan
21 orang lain, kemampuan menulis memungkinkan seseorang untuk mengomunikasikan isi jiwa, penghayatan, dan pengalamannya kepada berbagai pihak, terlepas dari ikatan kesamaan waktu dan tempat dengan pihak-pihak itu. Menulis memberikan peluang mendapatkan kesempatan kerja yang baik kepada sseseorang serta membuktikan
keberhasilan
dalam
pekerjaan
di
kehidupan
masyarakat (Widyamartaya & Sudiati, 2004: 2). Manfaat lain dari kegiatan menulis antara lain (1) membiasakan diri berpikir sistematis; pada waktu menulis, seorang penulis sekaligus berperan sebagai editor
akan melakukan pembacaan
(pemeriksaan) ulang sampai bahasa dan susunan subtansi karangan mudah dipahami oleh pembaca, sehingga dengan sering melakukan kegiatan menulis seseorang akan membiasakan diri berpikir sistematis. (2) menulis adalah membagikan keahlian; seorang ahli dapat memberikan atau mewariskan keahlian – pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skills) – serta sikap (atitude) dalam bentuk tulisan.
(3) menulis adalah aktivitas yang menyehatkan;
dengan menulis seseorang dapat mengekspresikan perasaan, jika seseorang bertipe introvert atau tertutup menulis sangat membantu dalam
menyampaikan
perasaan
sehingga
kegiatan
menulis
berpontensi untuk mencegah seseorang dari stress. (4) menulis menghindarkan kita dari aktivitas negatif; kegiatan menulis dapat menyita waktu seseorang sehingga dapat menghindarkan dari aktivitas yang negatif, (Leo, 2010: 2-3) Senada dengan pendapat Slamet (2007: 104) manfaat yang dapat dipetik dari menulis antara lain; (1) peningkatan kecerdasan, (2) pengembangan daya inisiatif dan kreativitas, (3) penumbuhan keberanian,
dan
(4)
pendorong
kemauan
dan
kemampuan
mengumpulkan informasi. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan menulis merupakan kegiatan yang melibatkan pikiran dan perasaan yang kemudian dituangkan dalam bentuk-
22 bentuk grafis pada sebuah media dengan penggunaan bahasa yang komunikatif, sehingga pembaca dapat mengerti dan memahami apa yang disampaikan. adapun dalam kegiatan menulis melibatkan tiga fase antara lain pramenulis, penulisan, pasca penulisan, dalam menyampaikan ide dan gagasan dalam bentuk tulisan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Kegiatan menulis memberikan banyak manfaat baik untuk penulis sendiri ataupun bagi orang lain. 4) Pengertian Keterampilan Menulis Kata keterampilan berasal dari kata terampil yang memiliki arti yang sama dengan kata cekatan, hal ini berdasar pada pendapat Soemarjadi, dkk (2001: 2) yang menyatakan kata keterampilan sama artinya dengan kecekatan. Terampil atau cekatan adalah kepandaian melakukan sesuatu pekerjaan dengan cepat dan benar. Keterampilan merupakan kemahiran yang tidak
hanya
berhubungan dengan gerakan otot saja namun juga berkaitan dengan kemahiran intelektual yang berhubungan dengan diri dan lingkungan yang dilakukan dalam bentuk representatif dalam menyelesaikan pekerjaan, hal ini berdasar pada pendapat Syah (2005: 121) yang menyatakan
istilah
keterampilan
merupakan
kegiatan
yang
berhubungan dengan urat syaraf dan otot-otot (neuromuscular) yang lazimnya tampak dalam kegiatan jasmaniah seperti menulis, mengetik, olahraga, dan sebagainya, akan tetapi keterampilan tidak hanya mencangkup gerakan motorik, namun keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan kesadaran yang tinggi. Dengan demikian, siswa melakukan gerakan motorik dengan koordinasi dan kesadaran yang rendah dapat dianggap kurang atau tidak terampil. Di samping itu, Reber (1998) dalam Syah (2005: 121) menyatakan keterampilan adalah kemampuan melakukan pola-pola tingkah laku yang komplek dan tersusun rapi secara mulus dan sesuai dengan keadaan untuk mencapai hasil tertentu. Keterampilan
23 bukan
hanya
meliputi
gerakan
motorik
melakan
juga
pengejawantahan fungsi mental yang bersifat kognitif. Keterampilan berkaitan erat dengan bahasa seseorang. Hal ini sesuai dengan pendapat Tarigan (2008: 1) yang menyatakan setiap keterampilan itu erat pula berhubungan dengan proses-proses yang mendasari bahasa. Semakin terampil seseorang berbahasa, semakin cerah dan jelas jalan pikirannya. Keterampilan hanya dapat diperoleh dan dikuasai dengan jalan praktik dan banyak pelatihan, melatih keterampilan berbahasa berarti pula melatih keterampilan berpikir. Keterampilan menulis merupakan salah satu keterampilan menulis yang bersifat produktif. Keterampilan menulis lebih rumit dibandingkan keterampilan berbahasa lainnya. Bahkan terkadang penutur asli suatu bahasa sulit mengalami komplikasi dalam situasi sulit. Pada dasarnya kemampuan ataupun keterampilan menulis dalam menyajikan pengalaman harus terstruktur, terorganisasi, dan terencana hal ini sesuai dengan pendapat Braine & Yoruzu (1998) yang menyatakan the writing skill is more complicated than that of of other language skills. Even sometimes a native speaker og english language may experience complication in a tricky situation. Basically the writing skill requires a well-stuctured way of the presentation of thoughts in an organized and planned way (Javed, Juan & Nazli, 2013: 130). Menurut Sujanto (1988: 60) keterampilan menulis merupakan sebuah proses pertumbuhan melalui proses pertumbuhan melalui banyak latihan. Menulis adalah salah satu dari keterampilan berbahasa yang harus dikuasai oleh siswa. Setiap siswa mempunyai kemampuan untuk mengekspresikan pikiran, perasaan, dan sikapnya dalam sebuah tulisan. Hal ini sesuai dengan pendapat Andayani (2009: 29) yang mengemukakan menulis karangan merupakan aktivitas melahirkan pikiran dan perasaan lewat tulisan dengan memperhatikan aspek-aspek kebahasaan yang baik dan benar
24 sehingga dapat dipahami oleh pembaca. Menulis adalah sebagai bentuk komunikasi tidak langsung yang bermediakan tulisan. Keterampilan menulis merupakan salah satu indikator mengukur kemampuan kognitif siswa dalam berbahasa karena untuk menilai kompetensi berbahasa, kemampuan mengingat, dan kemampuan berpikir, dalam hal ini keterampilan menulis dapat digunakan sebagai indikator keberhasilan dalam proses belajar, hal ini sesuai dengan pendapat Geiser & Studly (2001) the ability to write something in a productive way is an indicator of success during the learning process dan pendapat Benjamin & Cuan (2003) academic achievement is considered as a token of a good indicator in language learning process. Serta pendapat dari Kellong, Olive, & Pilot (2001) the productive writing skill is considered a cognitive challenge, because it helps to assess language competency, recalling capability and thinking ability. It demands to recall information from long-tern memory. Nickerson, Perkins, & Smith (1985) mengatakan the ability, of productive writing requires sound ability of thinking on comprehensible matters (Javed, Juan & Nazli, 2013: 131). Berbeda dengan pendapat di atas, keterampilan menulis menurut Alek & Achmad (2011: 106) merupakan pelatihan yang dilakukan secara bertahap dari berlatih mengembangkan gagasan menjadi kalimat
topik,
melengkapi
paragraf
dengan
kalimat
topik,
mengembangkan kalimat topik menjadi paragraf, menulis paragraf secara utuh, mengembangkan paragraf menjadi karangan yang lebih luas, kemudian karangan secara utuh. Musaba (2012: 24) menyatakan bahwa keterampilan menulis merupakan keterampilan berbahasa biasanya paling akhir dikuasai oleh seseorang. Keterampilan menulis bukan sekedar kemampuan menulis simbol-simbol grafis sehingga berbentuk kata, dan kata-kata disusun menjadi kalimat menurut peraturan tertentu, melainkan keterampilan menulis adalah kemampuan menuangkan buah pikiran ke dalam bahasa tulis melalui kalimat-kalimat yang dirangkai secara utuh,
25 lengkap,
dan
jelas
sehingga
buah
pikiran
tersebut
dapat
dikomunikasikan kepada pembaca dengan berhasil (Bryne, 1979) keterampilan menulis menuntut kemampuan mengunakan pola-pola bahasa secara tertulis untuk mengungkapkan suatu gagasan ini. Keterampilan menulis ini mencangkup berbagai kemampuan, misalnya kemampuan menggunakan unsur-unsur bahasa secara tepat, kemampuan mengorganisasikan wacana dalam bentuk karangan, kemampuan menggunakan gaya bahasa yang tepat, pilihan kata serta yang lainnya (Slamet, 2007: 106-107). Dari definisi di atas dapat dijelaskan bahwa keterampilan menulis
adalah
kecakapan
berbahasa
seseorang
dalam
menyampaikan ide/gagasan dengan melalui serangkaian proses sehingga menjadi tulisan yang bersifat ekspresif dan produktif. b. Pengertian Teks Negosiasi 1) Hakikat Negosiasi Negosiasi merupakan suatu kegiatan diskusi antara dua orang atau lebih dalam menyelesaikan suatu perselisihan dengan cara tawar-menawar sampai terdapat kesepakatan antara kedua belah pihak. Hal ini berdasar pada pendapat Lumumba (2013: 10) yang menyatakan Negosiasi adalah sebuah proses karena harus ada aktifitas di dalamnya. Proses yang dimaksud adalah proses yang kompleks, dalam proses tersebut harus terdapat dua pihak yang bernegosiasi apakah yang bersifat individual maupun kolektif. Selain itu, juga harus terdapat perbedaan yang mungkin bernuansa persaingan, konflik atau bahkan perang sebagai dasar untuk bernegosiasi. Karena kalau tidak terdapat perbedan maka tidak ada dasar untuk bernegosiasi. Pernyataan Lumumba di atas berdasar pada pendapat beberapa ahli antara lain; Collins Cobuild English Dictionary (Lumumba, 2013: 5-6) yang menyatakan negosiasi adalah diskusi formal antara pihak-pihak yang memiliki tujuan atau maksud yang berbeda terutama dalam bisnis politik, di mana mereka mencoba untuk mencapai sebuah kesepakatan.
Wikipedia, the free encyclopedia
26 (Lumumba, 2013: 6) yang mengungkapkan negosiasi adalah proses di
mana
pihak-pihak
yang
berkepentingan
menyelesaikan
perselisihan, setuju terhadap tindakan, menawarkan manfaat baik yang bersifat individual atau kolektif dan berusaha mencapai penyelesaian untuk kepentingan bersama. Negosiasi adalah bentuk interaksi sosial saat pihak-pihak yang terlibat
berusaha
mencapai
tujuannya
yang
berbeda
dan
bertentangan, sehingga terapai suatu kesepakatan melalui diskusi formal (Oxford dictionary dalam Lumumba, 2013: 7). Pada prinsipnya negosiasi berlangsung dalam nuansa perbedaan dan persamaan, sebagai hasilnya kadangkala gagal dan kadangkala sukses. Tujuan dari dilakukannya negosiasi menurut Lumumba (2013: 10) adalah untuk mencapai kesepakatan. Kesepakatan ini hanya dapat dicapai melalui usaha dan kiat-kiat tertentu oleh negosiator yang mumpuni, Lumumba (2013: 9) juga menyatakan bahwa hakekat melakukan negosiasi adalah untuk menghasilkan win-win solution melalui saling pemahaman dari kedua belah pihak yang bernegosiasi, di mana di antara keduanya memperoleh apa yang diinginkan masing-masing, serta di antara mereka tidak ada yang dirugikan. Negosiasi bukanlah sebuah proses yang disediakan hanya untuk diplomat yang ahli, penjual barang ternama, atau pengacara yang bekerja untuk sebuah pendekatan yang ternegosiasi, ini adalah sesuatu yang setiap orang lakukan, hampir setiap hari (Lewicki, Barry, & Saunders, 2012: 3). Seperti memutuskan di mana akan makan, anak-anak yang memutuskan untuk melihat film apa, dll. Definisi negosiasi secara singkat menurut Pruit dalam Lewicki, Barry, & Saunders (2012: 3) adalah bentuk pengambilan keputusan di mana dua pihak atau lebih berbicara satu sama lain dalam upaya untuk menyelesaikan kepentingan perdebatan mereka. Lewicki, Barry, & Saunders (2012: 7) mengatakan negosiasi adalah salah satu dari beberapa mekanisme di mana orang dapat menyelesaikan
27 konflik. Situasi negosiasi pada dasarnya memiliki karakteristik yang sama, apakah negosiasi perdamaian antara negara-negara perang, negosiasi bisnis antara pembeli dan penjual atau buruh dan manajemen, atau tamu yang marah mencoba untuk mengetahui bagaimana mendapatkan air panas untuk mandi sebelum wawancara penting. Karakteristik negosiasi menurut Lewicky, 1992; Rubin & Brown, 1975) dalam Lewicki, Barry, & Saunders (2012: 7-8) antara lain; (1) dalam bernegosiasi terdapat dua atau lebih pihak, (2) terdapat konflik kebutuhan dan keinginan antara dua pihak atau lebih yang akan dibahas, (3) para pihak bernegosiasi dengan pilihan! (4) ketika bernegosiasi, kita mengharapkan proses “memberi dan menerima” yang mendasar untuk definisi sendiri. (5) para pihak lebih suka benegosiasi dan mencari kesepakatan daripada melawan secara terbuka satu sisi mendominasi dan sisi lain menyerah, memutuskan kontak secara tetap, atau membawa perselisihan mereka otoritas yng lebih tinggi untuk mengatasinya. Negosiasi adalah sebuah komunikasi di mana pihak-pihak mencari kesepakatan untuk mengadakan pertukaran di antara mereka. Namun pendapat tersebut kurang disetujui Brian Lomas. Lomas (2008: 1) berpendapat bahwa tidak setiap negosiasi menghasilkan sebuah kesepakatan pertukaran – ada kemungkinan pihak-pihak yang terlibat memutuskan untuk menghentikan diskusi. Jadi, negosiasi menurut Lomas adalah sebuah komunikasi yang menghasilkan pertukaran antara dua pihak atau lebih. Tiada hari dalam kehidupan kita yang berlalu tanpa negosiasi menurut Lomas (2008: 2) beberapa contoh negosiasi bisnis yang pernah
dilakukan;
(1)
menetapkan/menyepakati
target-target
dan/atau upah dan manfaat-manfaat; (2) mengupayakan kerjasama dari pihak-pihak lain di dalam organisasi; (3) membentuk kemitraan dengan organisasi-organisasi, serikat pekerja, dan pemerintah; (4) mempengaruhi orang-orang untuk membuat prioritas sesuai dengan
28 keinginan
dan
kebutuhan;(5)
mengupayakan
pendelegasian
pekerjaan pada seseorang; (6) mengadakan transaksi dengan para pemasok eksternal, pemberi jasa dan pelanggan mengenai waktu, harga,
kualitas,
syarat,
dan
ketentuan,
dan
lain-lain;(7)
menyelesaikan sengketa dengan para pelanggan, pemasok, atau secara internal. Menurut Lomas (2008: 2) dalam kehidupan pribadi kita bernegosiasi ketika (1) membeli atau menjual rumah, mobil, atau apa pun yang menyangkut barang milik pribadi; (2) membentuk atau mengakhiri sebuah hubungan; (3) membagi tanggung jawab atau tugas di antara teman-teman atau keluarga; (4) membujuk orang lain untuk melakukan tindakan tertentu; (5) memutuskan tujuan bepergian. Walgito
(2008:
159-160)
berpendapat
agar
mencapai
penyelesaian konflik yang memuaskan, selain harus melibatkan kedua belah pihak yang berkonflik, kita pun harus dapat memenuhi atau memuaskan keduanya hal ini disebut win win solution. Sebaliknya
jika
sifat
kompetetif
yang
dipentingkan,
maka
pemecahan konflik hanya memenuhi kepentingan salah satu pihak dan disebut win lose solution. Namun, konflik dapat berakhir kalahkalah, sehingga tidak memenuhi keinginan satu pihak pun. Selain pengertian di atas Lumumba (2013: 11) membagi proses negosiasi menjadi dua tahapan, yakni: informal dan formal. Pada kedua fase ini para pihak yang terlibat dalam negosiasi dapat melakukan
langkah-langkah
persiapan,
yakni:
Pertama,
mengidentifikasi elemen-elemen kunci dari negosiasi, berupa daftar persiapan sebagai kerangka kerja yang akan digunakan selama proses negosiasi, sekaligus sebagai kesempatan untuk belajar dan berimprovisasi. Kedua, perencanaan yang di dalamnya mencangkup waktu dan tempat serta status negosiator yang akan menempati tempat duduk di meja perundingan. Selain itu, pengaturan
29 “lingkungan” negosiasi yang dapat menciptakan atmosfer demi menunjang sebuah kesepakatan. Hal ini sering terjadi dengan faktor “lingkungan” yang meliputi: waktu, tempat, keadaan sekitar, dapat mendukung atau merusak negosiasi, karena partisipan lebih dominan menghabiskan sejumlah waktu dalam lingkungan tersebut. Berbeda dengan pendapat Lumumba, tahapan negosiasi menurut Lomas (2008: 79-86) antara lain sebagai berikut: (1) Membuka sebuah negosiasi Secara singkat, nyatakan subyek yang akan anda negosiasikan tanpa memberikan indikasi mengenai hasil yang diharapkan; (2) Temukan kebutuhan-kebutuhan, ajukan pertanyaan secara berurutan; pembuka, spesifik, shecking, ringkasan, dan kemudian penutup; berikanlah sedikit informasi, mintalah beberapa sebagai balasan; mendengar secara cermat jawaban-jawaban yang muncul; (3) Jelajahi kebutuhan dan keinginan, menentukan prioritas relatif mengenai kebutuhan, keinginan, dan kriteria sukses dari pihak-pihak lain; (4) Memperdagangkan, jangan pernah memberikan sesuatu secasa gratis (sekalipun bagi anda hal itu tidak bernilai). Segala sesuatu seharusnya ‘diperdagangkan’; (5) Menutup deal, jika segala sesuatu telah diperdagangkan secara sukses, maka kita harus menutup deal; (6) Cantumkan dalam tulisan, secara ideal, setiap pihak akan menuliskan kesepakatan dan kemudian meng-crosscheknya sebelum negosiasi berakhir. Secara umum Pragolapati (2011: 9) menyatakan negosiasi adalah sebuah proses bahwa dua atau lebih orang atau kelompok bersama-sama memberikan perhatian pada minat untuk mendapatkan sebuah
kesepakatan
yang
akan
saling
menguntungkan
(menguntungkan kedua belah pihak). Pragolapati juga menjelaskan bahwa negosiasi merupakan cara yang lebih baik dalam mencari solusi dibanding dengan sebuah pengadilan atau kekerasan, untuk mendapatkan solusi terbaik, negosiasi dilakukan dengan menjalin hubungan yang baik dan profesional.
30 Menurut Cohen (1986: 14) negosiasi adalah penggunaan informasi dan kekuatan untuk mempengaruhi sikap dalam suatu jaringan ketegangan. Perdapat tersebut sejalan dengan Prasetyono (2008: 38) Negosiasi adalah proses atau upaya menggunakan informasi dan kekuatan untuk mempengaruhi tingkah laku ke dalam suatu jaringan yang penuh dengan tekanan. Jadi sadar tidak sadar dalam kenyataannya kita akan selalu bernegosiasi setiap waktu, baik pada pekerjaan atau di dalam kehidupan pribadi. 2) Hakikat Teks Negosiasi Pendapat-pendapat di atas merupakan pengertian secara umum mengenai negosiasi. Berbeda dengan negosiasi pada umumnya, pengertian teks
negosiasi sangat terbatas. Teks
merupakan
pemahaman seseorang tentang bahasa yang disampaikan dengan bahasa lisan atau tulis berupa rentetan kata-kata dan kalimat-kalimat yang di dalam rentetan tersebut terdapat makna-makna yang dapat menyampaikan pesan dari penulis kepada pembaca. Hal ini berdasar pada Rohmadi & Nasucha (2010: 11) yang berpendapat teks merupakan bahasa tulis berupa rentetan kata-kata dan kalimatkalimat, tetapi sebenarnya yang penting dicermati adalah teks itu terdiri atas makna-makna, sehingga dapat disimpulkan bahwa teks itu sangat berkaitan dengan kegiatan menulis. Sedangkan Halliday dan Ruqaiyah (1992) menyebutkan bahwa teks merupakan jalan menuju pemahaman tentang bahasa. Menurutnya teks merupakan bahasa yang berfungsi atau bahasa yang sedang melaksanakan tugas tertentu dalam konteks situasi. Semua contoh bahasa hidup yang mengambil bagian tertentu dalam konteks situasi disebut teks (Mahsun, 2014: 1). Mahsun (2014: 1) mendefinisikan teks merupakan satuan bahasa yang digunakan sebagai ungkapan suatu kegiatan sosial baik secara lisan maupun tulis dengan struktur berpikir yang lengkap, dengan demikian pencirian teks dapat berupa bahasa yang dituturkan ataupun dituliskan, atau juga bentuk-bentuk sarana lain yang
31 digunakan untuk menyatakan apa saja yang dipikirkan baik secara verbal maupun nonverbal. Mahsun (2014: 8-22) mengemukakan jenis teks berdasarkan genre-nya, yaitu (1) teks sastra/penceritaan, beberapa teks yang termasuk dalam genre teks sastra adalah (a) teks cerita ulang, teks ini memiliki tujuan sosial menceritakan kembali tentang peristiwa pada masa lalu agar tercipta semacam hiburan atau pembelajaran dari pengalaman pada masa lalu bagi pembaca atau pendengarnya; (b) tesk anekdot, memiliki tujuan sosial yang sama dengan teks cerita ulang, hanya saja peristiwa yang ditampilkan membuat partisipan yang mengalaminya merasa jengkel atau konyol (Wiratno, 2014 dalam Mahsun, 2014: 25); (c) teks ekseplum, teks ini memiliki tujuan sosial menilai perilaku atau karakter dalam cerita; (d) teks nartif, model penceritaan pada teks ini, antara masalah dengan pemecahan masalah tidak menyatu dalam satu struktur teks yang berbeda. (2) teks faktual, untuk teks genre faktual dikemukakan dua buah teks, yaitu (a) teks deskripsi, tipe teks yang memiliki tujuan sosial untuk menggambarkan sesuatu objek/benda secara individual berdasarkan ciri fisiknya. (b) teks prosedur/arahan, memiliki tujuan sosial mengarahkan atau mengajarkan tentang langkah-langkah yang telah ditentukan. (3) teks tanggapan, untuk teks genre tanggapan dikemukakan dua buah teks, yaitu; (a) teks eksposisi, teks ini berisi gagasan atau usulan sesuatu yang bersifat pribadi. Itu sebabnya, teks ini sering juga disebut sebagai teks argumentasi sati sisi (Wiratno, 2014 dalam Mahsun, 2014: 31); (b) teks eksplanasi memiliki fungsi sosial menjelaskan atau menganalisis proses muncul atau terjadinya sesuatu. Teks negosiasi termasuk dalam genre teks tanggapan dengan tujuan sosial mengasosiasikan hubungan, informasi barang dan layanan dengan struktur teks negosiasi mencangkup orientasi, pengajuan, penawaran, persetujuan, dan penutup (dikutip dari Mahsun, 2014: 8-22).
32 Negosiasi adalah bentuk interaksi sosial yang berfungsi untuk mencapai kesepakatan di antara pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang berbeda. Dalam negosiasi, pihak-pihak tersebut berusaha menyelesaikan perbedaan itu dengan berdialog. Negosiasi memiliki tujuan yaitu untuk mengurangi perbedaan posisi setiap pihak, mereka mencari cara untuk menemukan butir-butir yang sama sehingga akhirnya kesepakatan dapat dibuat dan diterima bersama. Sebelum negosiasi dilakukan, perlu ditetapkan terlebih dahulu orang-orang yang menjadi wakil dari setiap pihak dikutip dari buku siswa (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014: 122). Agar negosiasi berjalan lancar, perlu dilakukan beberapa serangkaian tindakan, antara lain; (a) mengajak untuk membuat kesepakatan,
(b)
memberikan
alasan
mengapa
harus
ada
kesepakatan, (c) membandingkan beberapa pilihan, (d) memperjelas dan menguji pandangan yang dikemukakan, (e) mengevaluasi kekuatan dan komitmen bersama, dan (f) menetapkan dan menegaskan kembali tujuan negosiasi (Kemendikbud, 2014: 122) Bernegosiasi tidak hanya melakukan beberapa tindakan seperti di atas, namun selama melakukan negosiasi hendaknya menghindari hal-hal yang dapat merugikan kedua belah pihak. Untuk itu, komunikasi dalam negosiasi dilakukan dengan cara yang santun. Cara
tersebut
dapat
ditempuh
dengan:
(a)
menyesuaikan
pembicaraan ke arah tujuan praktis, (b) mengkomodasi butir-butir perbedaan dari kedua belah pihak, (c) mengajukan pandangan baru dan mengabaikan pandangan yang sudah ada tanpa memalukan kedua belah pihak, (d) mengalokasikan tugas dan tanggung jawab masing-masing, dan (e) menprioritaskan dan mengelompokkan saran atau pendapat dari kedua belah pihak (Kemendikbud, 2014: 123) Keterampilan menulis teks negosiasi tidak hanya paham mengenai pengertian, tindakan, dan cara melakukan negosiasi saja, namun harus memperhatikan struktur teks negosiasi berdasarkan jenis dari negosiasi yang dilakukan. Adapun struktur teks negosiasi
33 terdiri dari dua, yaitu struktur umum dan struktur komplek. Hal ini didukung oleh pendapat Shalima, dkk (2014: 36-47) menyatakan bahwa struktur umum teks negosiasi meliputi tiga hal yang membentuknya, yakni pembukaan, isi, dan penutup. Pembuka berisi tentang salam, perkenalan diri (bila perlu), dan menyampaikan maksud yang ingin disampaikan dalam negosiasi secara garis besar. Isi merupakan pokok-pokok yang ingin disampaikan dalam rundingan negosiasi. Penutup berisi keputusan atau kesepakatan dan juga salam penutup. Struktur komplek ini biasanya untuk negosiasi penjual dan pembeli. Orientasi berupa salam, maksud, dan tujuan mengadakan jual beli. Permintaan disampaikan pembeli kepada penjual. Pemenuhan merupakan kesepakatan atas produk sesuai dengan kriteria pembeli atau tidak. Penawaran adalah negosiasi tentang nilai barang, membuat kesepakatan yang sama antara penawaran penjual dan pembeli. Persetujuan adalah kesepakatan yang dicapai penjual dan pembeli. Pembelian merupakan kegiatan di mana barang yang ada pada penjual menjadi hal milik pembeli dengan menukar nilai tertentu. Penutup biasanya berupa ucapan terima kasih dan pesan kepuasan. Berbeda dengan pendapat di atas Soebandi (2014: 168-169) mengatakan bahwa struktur dari teks negosisi antara lain; (1) percakapan. Teks negosiasi disusun dalam pola percakapan atau dialog, baik dalam bentuk drama ataupun paragraf. Pada bentuk drama, antara pembicara (pelaku) dan kalimat dialognya dipisahkan dengan tanda titik dua, sedangkan pada bentuk paragraf kalimat dialog diapit dengan tanda kutip sebagai ciri kalimat langsung. (2) pelaku. Dalam sebuah negosiasi, dipastikan ada pelaku atau negosiator,
baik
perseorangan
maupun
kelompok,
yang
berkepentingan menyelesaikan masalah. Setiap pelaku memiliki tujuan utama yang sama, tetapi memiliki pandangan yang berbeda. (3) ragam percakapan. Pada teks negosiasi, banyak digunakan gaya
34 percakapan,
yaitu
bahasa
percakapan
sehari-hari,
termasuk
penggunaan kalimat minor (bentuk sapaan, dan kata seru) selain itu, banyak juga digunakan kata yang menyatakan penolakan dan persetujuan. Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan teks negosiasi merupakan suatu teks yang di dalamnya terdapat bentuk interaksi sosial yang bertujuan untuk mengasosiasikan hubungan dalam bentuk interaksi sosial antara dua orang atau lebih untuk mencapai suatu kesepakatan bersama di mana kesepakatan tersebut adalah
kesepakatan
terbaik
untuk
kedua
belah
pihak
(menguntungkan kedua belah pihak). Struktur teks negosiasi berbeda-beda, tergantung pada jenis dari negosiasi tersebut, ada negosiasi sederhana dan ada negosiasi komplek. c. Pedoman Penilaian Menulis Teks Negosiasi Setiap kegiatan yang dilakukan memerlukan sejumlah asas yang dapat dijadikan pedoman. Demikian pula dengan aktivitas menulis. The Liang Gie (2002) mengemukakan enam asas menulis yang disebut dengan asas mengarang berikut. (1) Kejelasan (clarity), setiap karangan harus jelas, tulisan harus mencerminkan gagasan yang dapat dibaca dan dimengerti oleh pembacanya. Di samping itu, tulisan yang jelas berarti tidak disalahtafsirkan oleh pembacanya. Kejelasan berarti tidak samarsamar, tidak kabur sehingga setiap butir ide yang diungkapkan tampak nyata oleh pembaca. (2) Keringkasan (conciseness), suatu tulisan tidak boleh ada penghamburan
kata, tidak terdapat butir ide yang
dikemukakan berulang-ulang, gagasan tidak disampaikan dalam kalimat yang terlalu panjang. (3) Ketepatan (correctness), suatu tulisan harus dapat menyampaikan butir-butir gagasan kepada pembaca dengan kecocokan sepenuhnya seperti yang dimakasud penulisnya. (4) Kesatupaduan (unity), segala hal yang disajikan dalam tulisan tersebut memuat satu gagasan pokok atau sering disebut tema. Tulisan yang tersusun atas alenia-alenia tidak boleh ada uraian yang menyimpang serta tidak ada ide yang lepas dari gagasan pokok tersebut. (5) Pertautan
35 (coherence),
kalimat
satu
dengan
kalimat
yang
lain
harus
berkesinambungan. (6) Penegasan (emphasis), tulisan perlu ada penekanan atau penonjolan tertentu. Hal ini diperlukan agar pembaca mendapat kesan yang kuat terhadap suatu tulisan (Andayani, 2009: 3234). Selaras dengan pendapat di atas Menurut David P. Haris dikutip dari Slamet (2007: 108) proses menulis sekurang-kurangnya mencangkup lima unsur yakni (1) isi karangan, merupakan gagasan yang dikemukakan; (2) bentuk karangan, adalah susunan atau penyajian isi karangan; (3) tata bahasa, merupakan kaidah-kaidah bahasa termasuk di dalamnya pola-pola kalimat; (4) gaya, adalah pilihan struktur dan kosakata untuk memberi nada tertentu terhadap karangan itu, (5) ejaan dan tanda baca, adalah penggunaan tata cara penulisan lambang-lambang bahasa tertulis. Dalman (2014: 100-102) mengemukakan kriteria karangan yang baik setidak-tidaknya berhubungan dengan: (1) Tema, adalah hal yang mendasari karangan/tulisan untuk membuat karangan yang baik diperlukan tema atau topik. Keberhasilan mengarang dipengaruhi oleh tepat atau tidaknya tema/topik yang dipilih. (2) Ketepatan isi dalam paragraf, paragraf harus memiliki ide pokok, oleh karena itu paragraf yang baik harus memenuhi tiga syarat sebagai berikut; kesatuan (semua kalimat yang membina paragraf harus secara bersama-sama menyatakan suatu hal atau tema tertentu; dan kepaduan (kekompakan hubungan antarkalimat yang satu dengan yang lain dan membentuk paragraf); serta perkembangan (penyusunan atau perincian ide yang membina karangan). (3) Kesesuaian isi dengan judul, judul sebuah karangan akan menggambarkan isi secara keseluruhan. (4) Ketepatan susunan kalimat, struktur sebuah kalimat sangat penting, hal ini dimaksudkan untuk memudahkan pembaca menangkap ide pokok dalam paragaraf. Berikut pada ketepatan hubungan antara kalimat yang satu dengan kalimat yang lain akan menentukan kejelasan kalimat. (5) Ketepatan penggunaan ejaan, memegang peranan penting penting, tercakup dalam penggunaan
36 ejaan adalah penulisan huruf kapital, penulisan kata, dan pemakaian tanda baca. Penilaian terhadap hasil karangan menulis teks negosiasi siswa sebaiknya tidak hanya dilihat dari asas-asas yang telah dijelaskan di atas saja, namun juga
menggunakan rubrik penilaian yang mencangkup
komponen isi dan bahasa masing-masing dengan subkomponennya (Nurgiyantoro: 2011: 439). Tes kemampuan menulis yang paling sering diberikan kepada peserta didik adalah dengan menyediakan tema atau sejumlah tema, dan ada kalanya sudah berupa judul-judul yang harus dipilih salah satu di antaranya. Jika yang disediakan berupa tema, peserta didik
diberi
kebebasan
untuk menjuduli
karanganya
sepanjang
mencerminkan tema yang di maksud. Jenis karangan yang ditulis dapat berupa fiksi (karya kreatif) ataupun nonfiksi, karangan bukan cerita (Nurgiyantoro, 2011: 437 - 438). Nurgiyantoro (2011: 439 - 440) mengemukakan bahwa kita dapat mengembangkan sendiri rubrik penilaian yang memberi bobot secara proposional terhadap tiap komponen berdasarkan pentingnya komponenkomponen itu dalam mendukung ekstensi sebuah karya tulis. Singkatnya, komponen yang lebih penting diberi skor yang lebih tinggi, sedang yang kurang penting skor lebih rendah. Dengan skala 1 – 100. Berdasarkan konsep teori dari beberapa ahli di atas dapat disimpulkan keterampilan menulis teks negosiasi adalah kemahiran seseorang dalam menyampaikan ide, gagasan, dan pendapat mengenai interaksi sosial antara dua orang atau lebih untuk mencapai suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan, dalam sebuah media dengan aksara yang membentuk suatu karangan yang baik sehingga seorang dapat memahami maksud dari seseorang melalui membaca. 2. Hakikat Model Group Investigation (GI) dan Model Discovery Learning Pembelajaran yang menyenangkan merupakan salah satu faktor penting yang dalam menumbuhkan semangat, minat, dan motivasi siswa dalam mengikuti pelajaran. Oleh sebab itu, seorang pendidik perlu melakukan
37 perencanaan serangkaian pembelajaran yang dapat menarik perhatian siswa, salah satunya adalah penggunaan model pembelajaran yang dapat efisien dan efektif untuk siswa. Joyce & Well berpendapat bahwa model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana
pembelajaran
jangka
panjang),
merancang
bahan-bahan
pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain. Model pembelajaran dapat dijadikan pola pilihan, artinya para guru boleh memilih model pembelajaran yang sesuai dan efisien untuk mencapai tujuan pendidikannya (dikutip dari Rusman, 2012: 133). Mill dalam Suprijono (2011: 45) berpendapat bahwa model adalah representasi akurat sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan model itu. Sedangkan menurut Suprijono (2011: 45) model merupakan interprestasi terhadap hasil observasi dan pengukuran yang diperoleh dari beberapa sistem. Menurut Arends dalam Suprijono (202: 46) model pembelajaran mengacu pada pendekatan yang akan digunakan, termasuk di dalamnya tujuan-tujuan pembelajaran,
tahap-tahap
pembelajaran,
dan
dalam
pengelolaan
kegiatan kelas.
pembelajaran,
Model
lingkungan
pembelajaran
dapat
didefinisikan sebagai kerangka konseptual yang melukiskan prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Penelitian ini fokus pada model Group Investigation dan discovery learning sebagai model dalam kelas kontrol. a. Hakikat Model Group Investigation (GI) Model group investigation dalam pandangan Tsoi, Goh, dan Chia (2001) secara filosofis beranjak dari paradima konstruktivis, di mana terdapat suatu situasi yang di dalamnya siswa-siswa berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dengan berbagai informasi dan melakukan pekerjaan secara kolaboratif untuk menginvestigasi suatu masalah, merencanakan, mempresentasikan, serta mengevaluasi kegiatan mereka (dikutip dari Aunurrahman, 2012: 151). Model pembelajaran kooperatif Group Investigation (GI) dirancang oleh Herbet Thelen, selanjutnya diperluas dan diperbaiki oleh Sharan dan
38 kawan-kawannya dari Universitas
Tel Aviv (Mahendra, 2013: 43).
Model GI sering dipandang sebagai metode yang paling kompleks dan paling sulit untuk dilaksanakan dalam pembelajaran kooperatif (Sugiyanto, 2009: 46). Model ini menuntut siswa untuk kemampuan yang baik dalam berkomunikasi maupun keterampilan proses memiliki kelompok (group process skills). Model pembelajaran
Group
Investigation (GI) menurut Mahendra (2013: 44) merupakan jenis pembelajaran kooperatif untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Model pembelajaran ini merupakan model pembelajaran yang melibatkan siswa sejak perencanaan, baik dalam menentukan topik maupun cara untuk mempelajari melalui investigasi. Model ini cocok untuk digunakan untuk proyek yang terintegrasi dalam memecahkan suatu masalah. Model pembelajaran GI, siswa merencanakan sendiri topik yang akan diselidiki dari tema umum yang diberikan oleh guru dan selanjutnya menentukan sendiri cara melakukan penyelidikannya. Komunikasi dan kerjasama yang baik antar-anggota kelompok sangat dipentingkan. Peranan guru adalah sebagai narasumber dan fasilitator. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Group Investigation (GI) adalah suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri. Seperti pendapat di atas Huda (2013: 292) mengatakan bahwa model group investigation yang pertama kali dikembangkan oleh Sharan dan Sharan (1976). Menurut Huda group investigation merupakan salah satu model komplek dalam pembelajaran kelompok yang mengharuskan siswa untuk menggunakan skill berpikir level tinggi, dalam GI guru bertugas untuk menginisiasi pembelajaran dengan menyediakan pilihan dan kontrol terhadap para siswa untuk memilih strategi penelitian yang akan mereka gunakan. Hal ini sejalan dengan pendapat Kurniasih & Sani (2015: 71) yang menyatakan model pembelajaran group investigation adalah salah satu bentuk model pembelajaran kooperatif yang memiliki
39 titik tekan pada partisipasi dan aktivitas siswa untuk mencari sendiri materi atau segala sesuatu mengenai materi pelajaran yang akan dipelajari. Model ini harus melibatkan siswa mulai dari perencanaan, baik dalam menentukan topik maupun cara untuk mempelajarinya melalui investigasi. Para guru yang menggunakan model GI umumnya membagi kelas menjadi beberapa kelompok yang beranggotakan 4 hingga 5 siswa dengan karakteristik yang heterogen.Deskripsi mengenai langkahlangkah model GI menurut Sugiyanto, 2009: 47-48) sebagai berikut: (1) seleksi topik. Para siswa memilih berbagai subtopik dalam suatu masalah umum yang biasanya digambarkan lebih dahulu oleh guru. Para siswa diorganisasikan menjadi kelompok-kelompok yang berorientasi pada tugas (task oriented group) yang beranggotakan 2 hingga 6 orang. Komposisi kelompok bersifat heterogen baik dalam jenis kelamin, etnik, maupun kemampuan akademik. (2) merencanakan kerjasama. Para siswa dan guru merencanakan berbagai prosedur belajar khusus tugas, dan tujuan umum yang konsisten dengan berbagai topik dan subtopik yang telah dipilih seperti langkah di atas. (3) implementasi. Para siswa melaksanakan rencana yang telah dirumuskan pada langkah sebelumnya. Pembelajaran harus melibatkan berbagai aktivitas dan keterampilan dengan variasi yang luas dan mendorong para siswa untuk menggunakan berbagai sumber baik yang terdapat di dalam maupun di luar sekolah. Guru secara terus-menerus mengikuti kemajuan tiap kelompok dan memberikan bantuan jika diperlukan. (4) analisis dan sintesis. Para siswa menganalisis dan mensintesiskan berbagai informasi yang diperoleh pada langkah sebelumnya dan merencanakan peringkasan dalam suatu penyajian yang menarik di depan kelas. (5) penyajian hasil akhir. Semua kelompok menyajikan presentasi yang menarik dari berbagai topik yang telah dipelajari agar semua siswa telibat dan mencapai prespektif yang luas mengenai topik tersebut. Presentasi kelompok dikoordinasikan guru. (6) evaluasi selanjutnya. Guru beserta para siswa melakukan evaluasi
40 mengenai konstribusi tiap kelompok terhadap pekerjaan kelas sebagai suatu keseluruhan. Evaluasi dapat mencangkup tiap siswa secara individual atau kelompok atau keduanya. Langkah-langkah pembelajaran Group Investigation (GI) menurut Suprijono (2012: 93) dibagi menjadi 5 tahap yaitu: (1) pembelajaran dimulai dengan pembagian kelompok. (2) guru beserta peserta didik memilih topik-topik tertentu dengan permasalahan-permasalahan yang dapat dikembangkan dari topik-topik itu. (3) sesudah topik beserta permasalahannya disepakati, peserta didik beserta guru menetukan metode penelitian yang dikembangkan untuk memecahkan masalah. (4) langkah selanjutnya adalah presentasi hasil oleh masing-masing kelompok, (5) di akhir pembelajaran dilakukan evaluasi. Sementara itu, Aqib (2014: 26) membagi langkah-langkah model Group Investigation (GI) menjadi 8 langkah antara lain sebagai berikut: (1) guru membagi siswa dalam beberapa kelompok heterogen, (2) guru menjelaskan maksud pembelajaran dan tugas kelompok, (3) guru memanggil ketua-ketua untuk satu materi tugas sehingga satu kelompok mendapat tugas satu materi/tugas yang berbeda dari kelompok lain, (4) masing-masing kelompok membahas materi yang sudah ada secara kooperatif berisi penemuan, (5) setelah selesai diskusi, lewat juru bicara, ketua menyampaikan hasil pembahasan kelompok, (6) guru memberikan penjelasan singkat sekaligus memberi kesimpulan, (7) evaluasi, (8) penutup. Menurut Daryanto & Rahardjo (2012: 237-238) langkah-langkah implementasi model pembelajaran Group Investigation (GI) antara lain sebagai berikut, Tahap pertama, sebagai tahap penyajian materi menggunakan strategi atau pendekatan “pembentukan konsep dari taba”. Tahap kedua, merupakan gabungan dari tahap analogi langsung atas materi yang sedang dibahas. Setelah itu diikuti dengan melakukan pembandingkan
terhadap
analogi-analogi
dengan
tujuan
untuk
mengidentifikasi dan menjelaskan kesamaan dan kaitan antara aspekaspek
yang
dibahas.
Kegiatan
penjelasan
perbedaan
bertujuan
41 mengembangkan kemampuan peserta didik dalam memperoleh kejelasan tentang perbedaan-perbedaan yang ada dalam objek
yang sedang
dibahas. Untuk mencapai tujuan tersebut, pengajar perlu memberi dorongan dan memfasilitasi peserta didik untuk kegiatan tersebut. Tahap ketiga, sebagai tahap pengajuan analogi personal peserta didik diminta mengajukan pengenalan diri seumpama ia (peserta didik) sebagai sesuatu objek sesuai materi yang sedang dibahas. Karena itu dalam tahap ini, peserta didik tidak boleh dibatasi kesempatannya untuk berekspresi dan mengemukakan gagasannya. Peran serta aktif pengajar sebagai fasilisator sangat dibutuhkan. Tahap keempat, disebut sebagai tahap eksplorasi peserta didik diminta menguraikan atau menjelaskan kembali materi yang sedang dibahas dengan menggunakan bahasanya sendiri. Untuk itu, agar peserta didik mampu melakukan tugas tersebut maka pengajar perlu memfasilitasi peserta didiknya dengan teknik curah pendapat dan hasil pekerjaan peserta didik didiskusikan dengan teman-temannya. Tahap kelima, disebut sebagai tahap pengajuan analogi langsung (yang lainnya) terhadap materi yang sedang dibahas. Peserta didik diharapkan dapat mengajukan analogi langsung yang telah dikuasainya dan mampu menjelaskan persamaan atau perbedaannya. Di sini, yang dipentingkan adalah argumentasi, mengapa suatu objek tertentu dianalogikan dengan meteri yang sedang dibahas. Sementara itu, langkah-langkah
pelaksanaan
model
Group
Investigation menurut Zingaro dalam Maman (2012: 112) adalah (1) seleksi topik, pada langkah ini para siswa memilih berbagai subtopik dalam suatu wilayah masalah umum yang biasanya digambarkan lebih dahulu oleh guru. Para siswa selanjutnya diorganisasikan menjadi kelompok-kelompok yang berorientasi pada tugas (task oriented groups) yang beranggotakan 2 hingga 6 orang. Komposisi kelompok heterogen baik dalam jenis kelamin, etnik maupun kemampuan akademik; (2) merencanakan kerja sama, pada langkah kedua ini para siswa beserta guru merencanakan berbagai prosedur belajar khusus, tugas dan tujuan
42 umum yang konsisten dengan berbagai topik dan subtopik yang telah dipilih dari langkah pertama di atas; (3) implementasi, pada langah ketiga, para siswa melaksanakan rencana yang telah dirumuskan pada langkah kedua. Pembelajaran harus melibatkan berbagai aktivitas dan keterampilan dengan variasi yang luas dan mendorong para siswa untuk menggunakan berbagai sumber baik yang terdapat di dalam maupun di luar sekolah. Guru secara terus-menerus mengikuti kemajuan tiap kelompok dan memberikan bantuan jika diperlukan; (4) analisis dan sintesis, para siswa menganalisis dan mensintesis berbagai informasi yang diperoleh pada langkah ketiga dan merencanakan agar dapat diringkaskan dalam suatu penyajian yang menarik di depan kelas; (5) penyajian hasil akhir, semua kelompok menyajikan suatu presentasi yang menarik dari berbagai topik yang telah dipelajari agar semua siswa dalam kelas saling terlibat dan mencapai suatu perspektif yang luas mengenai topik tersebut. Presentasi kelompok dikoordinasi oleh guru; dan (6) evaluasi Guru beserta siswa melakukan evaluasi mengenai kontribusi tiap kelompok terhadap pekerjaan kelas sebagai suatu keseluruhan. Evaluasi dapat mencakup tiap siswa secara individu atau kelompok, atau keduanya. Sama halnya dengan beberapa pendapat di atas Slavin dalam Mahendra (2013: 44) memaparkan bahwa model group investigation memiliki enam tahapan pembelajaran yaitu sebagai berikut: (1) grouping, (2) planning, (3) investigating, (4) organizing, (5) presenting¸(6) evaluating. Berbeda dengan beberapa pendapat di atas Rusman (2012: 223) menyatakan langkah-langkah model pembelajaran group investigation hanya melalui 3 langkah yaitu membagi siswa ke dalam kelompok kecil yang terdiri 5 siswa, lalu memberikan pertanyaan terbuka yang bersifat analitis, kemudian mengajak setiap siswa untuk berpartisipasi dalam menjawab pertanyaan kelompoknya secara bergiliran searah jarum jam dalam kurun waktu yang disepakati.
43 Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran
group
investigation
merupakan
salah satu
model
pembelajaran kooperatif yang menitik-beratkan pada keaktifan siswa. Dengan langkah-langkah pembelajaran pembagian siswa terlebih dahulu, pemberian materi, diskusi kelompok, presentasi di depan kelas, dan evaluasi. Model Group Investigation (GI) digunakan untuk melatih berbagai kemampuan siswa antara lain: sintesis, analitis, dan mengumpulkan informasi/data untuk memecahkan suatu permasalahan (Arnyana dalam Mahendra, 2013: 44). Model pembelajaran GI dapat digunakan untuk melatih kecakapan berpikir tingkat tinggi siswa (Slavi dalam Ibrahim dalam Mahendra, 2013: 44). Adapun kelebihan dari model pembelajaran group investigation menurut Arnyana dalam Mahendra (2013: 44) yaitu: (1) siswa menjadi mandiri dalam mencari informasi tentang materi yang akan dipelajari, (2) siswa mempunyai jiwa kooperatif yang tinggi, (3) siswa memiliki kemahiran dalam berkomunikasi dengan intelektual pembelajaran dalam mensintesis dan menganalisis, (4) meningkatkan kemampuan siswa dalam berdiskusi. Sementara itu Kurniasih & Sani (2015: 73) menyebutkan beberapa kelebihan model group investigation antara lain sebagai berikut: (1) model pembelajaran group investigation memiliki dampak positif dalam meningkatkan prestasi belajar siswa, (2) penerapan model ini mempunyai pengaruh positif, yaitu dapat meningkatkan motivasi belajar siswa, (4) pembelajaran yang dilakukan membuat suasana saling bekerjasama dan berinteraksi antar siswa dalam kelompok tanpa memandang latar belakang, (5) model ini juga melatih siswa untuk memiliki kemampuan yang baik dalam berkomunikasi dan mengemukakan pendapatnya, (6) memotivasi dan mendorong siswa agar aktif dalam proses belajar mulai dari tahap pertama sampai tahap akhir pembelajaran. Manfaat atau kelebihan dari penggunaan model Group Investigation (GI) menurut Daryanto & Rahardjo (2012: 239) sebagai berikut; (1)
44 Model pembelajaran ini mudah diterapkan atau diadopsi pengajar karena tahap-tahap
pembelajaran
yang
ada
dalam
pembelajaran
ini
menggunakan analogi-analogi yang sesungguhnya, pengajar telah terbiasa menggunakannya ketika menjelaskan suatu materi pembelajaran yang dirasa sulit dikuasai peserta didik. (2) dengan demikian, pengajar tidak terlalu asing terhadap model pembelajaran tersebut, (3) model pembelajaran ini tidak mempersyaratkan adanya penyediaan prasarana atau
fasilitas
pembelajaran
yang
relatif
kompleks,
(4)
model
pembelajaran ini hanya memerlukan media pembelajaran sederhana, terutama akan dipakai untuk memfasilitasi peserta didik dalam memahami materi yang sedang dibahas atau melihat kaitan dan perbedaan antara meteri yang sedang dibahas dengan objek yang dianalogikan. Sementara itu, Shoimin (2014: 81-82) membagi kelebihan model pembelajaran group investigation menjadi 3 kelompok antara lain. (1) Secara pribadi; dalam proses belajarnya dapat bekerja secara bebas, memberi semangat untuk berinisiatif, kreatif, dan aktif, rasa percaya diri dapat lebih meningkat, dapat belajar untuk memecahkan dan menangani suatu masalah, mengembangkan antusiasme dan rasa pada fisik. (2) Secara sosial; meningkatkan belajar bekerja sama, belajar berkomunikasi baik dengan teman sendiri maupun guru, belajar berkomunikasi yang baik secara sistematis, meningkatkan partisipasi dalam membuat suatu keputusan. (3) Secara akademis; siswa terlatih untuk mempertanggungjawabkan
jawaban
yang
diberikan,
bekerja
secara
sistematis,
mengembangkan dan melatih keterampilan fisik dalam berbagai bidang, merencanakan
dan
mengorganisasikan
pekerjaannya,
mengecek
kebenaran jawaban yang mereka buat, selalu berpikir tentang cara atau strategi yang digunakan sehingga didapat suatu kesimpulan yang berlaku umum. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan kelebihan dari penggunaan model group investigation yaitu dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa, serta melatih siswa untuk bekerjasama
45 dengan kelompok dalam hal ini penggunaan model GI sangat berguna bagi pembelajaran bahas Indonesia. Selain kelebihan-kelebihan dari
model
pembelajaran
group
investigation juga mempunyai kekurangan. Menurut Setiawan dalam Shoimin (2014: 82) kekurangan dari model GI antara lain; (1) sedikitnya materi yang disampaikan pada suatu kali pertemuan. (2) sulitnya memberikan penilaian secara personal. (3) tidak semua topik cocok dengan model pembelajaran group investigation. Model ini cocok untuk diterapkan pada suatu topik yang menuntut siswa untuk memahami suatu bahasa dari pengalaman yang dialami sendiri. (4) diskusi kelompok biasanya berjalan kurang efektif. (5) siswa yang tidak tuntas memahami materi prasyarat akan mengalami kesulitan saat menggunakan model ini. Langkah-langkah penggunaan model group investigation dalam pembelajaran menulis teks negosiasi yaitu sebagai berikut; (1) guru membuat berbagai tema/topik mengenai teks negosiasi, setelah itu guru membagi siswa menjadi 6 kelompok di mana dalam satu kelompok terdapat 6 siswa beserta menentukan ketua kelompok, kemudian ketua kelompok memilih salah satu tema yang telah dibuat oleh guru; (2) setelah itu guru menjelaskan mengenai prosedur dan tujuan dari pembelajaran, siswa membuat hipotesis dari pertanyaan yang telah guru sajikan dalam teks; (3) siswa menginvestigasi, mencari informasi dari berbagai
media
mengenai
topik
yang
telah
dipilihnya
secara
berkelompok serta untuk membuktikan hipotesis yang telah mereka buat; (4) setelah mengumpulkan berbagai informasi siswa menganalisis dan mensintesis berbagai informasi tersebut dan merencanakan agar dapat diringkas dalam penyajian yang menarik dalam di depan kelas; (5) langkah selanjutnya semua topik dan hasil pembuktian hipotesis dipresentasikan di depan kelas, setelah semua kelompok menyajikan hasil dari diskusi langkah selanjutnya, (6) guru beserta siswa melakukan evaluasi mengenai konstribusi tiap kelompok terhadap pekerjaan kelas secara keseluruhan, evaluasi ini dapat mencangkup tiap siswa secara individu ataupun kelompok.
46 b. Hakikat Model Discovery Learning Discovery learning atau yang dikenal dengan belajar penemuan dikemukakan oleh seorang ahli yang bernama Jerome Bruner. Bruner menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian sesuai dengan pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik (Trianto, 2011: 38), seperti halnya pendapat Trianto, menurut Joolingen discovery learning adalah suatu tipe pembelajaran di mana siswa membangun pengetahuan mereka sendiri dengan mengadakan suatu percobaan dan menemukan sebuah prinsip dari hasil percobaan tersebut (dalam Purwanto, 2012: 28). Matson dalam Matthews menyatakan pengajaran penyelidikan dan penemuan ilmu pengetahuan adalah suatu proses bertanya sifat dan struktur alam semesta. Pembelajaran penyelidikan dan penemuan menuntut siswa untuk menemukan untuk mengambil contoh dari kehidupan sehari-hari untuk mengusulkan hipotesis, menguji mereka seperti ilmuwan, dan sementara itu untuk memperoleh tingkat lanjutan keterampilan kognitif. Discovery learning (belajar penemuan) adalah model yang mendorong siswa untuk sampai pada suatu kesimpulan berdasarkan kegiatan dan pengamatan mereka sendiri, adapun kutipan teori tersebut sebagai berikut. “According to Matson (2006), inquiry and discovery based science teaching is the process of inquiring the nature and structure of the universe. Inquiry and discovery based learning requires students to take examples from daily life, to propose hypotheses, test them like scientists, and meanwhile, to gain advanced level cognitive skills (Matthews, 2002). Discovery learning is a method that encourages students to arrive at a conclusion based upon their own activities and observations. Inclusion of activities based on discovery learning in science teaching in Turkey is important for meaningful and lifelong learning”. (dalam Balim, 2009: 3) Rahman & Maarif (2014: 40) model pembelajaran discovery merupakan
salah
satu
model
pengajaran
yang
progresif
serta
menitikberatkan kepada aktivitas siswa dalam proses belajar. Amin menegaskan bahwa suatu kegiatan“discovery atau penemuan” ialah suatu kegiatan atau pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa sehingga
47 siswa dapat menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip melalui proses mentalnya sendiri. Dalam hal ini, penemuan terjadi apabila siswa dalam proses mentalnya seperti mengamati, menggolongkan, membuat dugaan, mengukur, menjelaskan, menarik kesimpulan dan sebagainya untuk menemukan beberapa konsep dan prinsip (dalam Rahman & Maarif, 2014: 40). Sementara Purwanto (2012: 27) mengatakan model pembelajaran discovery merupakan kegiatan pembelajaran yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menemukan sesuatu (benda, manusia, atau peristiwa) secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri. Discovery learning adalah proses belajar yang di dalamnya tidak disajikan suatu konsep dalam bentuk jadi (final), namun peserta didik dituntut untuk mengorganisasi sendiri cara belajarnya dalam menemukan konsep. Discovery learning adalah memahami konsep, arti, dan hubungan melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan. Discovery terjadi apabila individu terlibat, terutama dalam penggunaan proses mental untuk menemukan beberapa konsep dan prinsip. Discovery dilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi, penentuan, dan inferi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Suprihatiningrum (2013: 242) bahwa melalui pembelajaran penemuan, diharapkan
siswa
terlibat
dalam
penyelidikan
suatu
hubungan,
mengumpulkan data, dan menggunakannya untuk menemukan hukum atau prinsip yang berlaku pada kejadian tersebut. Hosnan (2014: 282) berpendapat model pembelajaran discovery learning adalah salah satu model untuk mengembangkan cara belajar siswa aktif dengan menemukan sendiri, menyelidiki sendiri, maka hasil yang diperoleh akan setia dan tahan lama dalam ingatan, tidak akan mudah dilupakan oleh siswa. Menurut Ballew salah satu tujuan pembelajaran discovery learning adalah agar siswa memiliki kemampuan berpikir kritis. Hal ini
48 disebabkan siswa melakukan aktivitas mental sebelum materi yang dipelajari
dapat
dipahami.
Aktivitas
mental
tersebut
misalnya
menganalisis, mengklasifikasi, membuat dugaan, menarik kesimpulan, menggeneralisasi, dan memanipulasi informasi (dalam Pratiwi, 2014: 4). Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran discovery learning merupakan suatu model pembelajaran yang mendorong siswa untuk aktif dalam mencari, menemukan, menganalisis suatu pengetahuan (materi pelajaran),dan memecahkan masalah dalam pembelajaran di kelas sehingga pengetahuan yang didapat lebih bermakna dan bertahan lama dalam ingatan siswa, karena dengan menemukan
dan
menyelesaikan
masalah
yang
dihadapi
dalam
pembelajaran membuat siswa memahami kesalahan dan mengerti cara mengatasi masalah tersebut, sehingga siswa tidak mudah melupakan materi yang telah ditemukan, dipecahkan, dan diselidiki sendiri. Pembelajaran yang menggunakan discovery learning
dapat
meningkatkan keterampilan berpikir siswa karena siswa dilatih untuk mengamati, menanya, mencoba, menalar, dan mengomunikasikan melalui sintaksnya seperti pada tahap stimulation siswa diajak untuk mengamati dan menanya, tahap problem statement siswa diajak untuk menanya dan mengumpulkan informasi, tahap data collection siswa diajak untuk mencoba dan mengamati, tahap data processing siswa diajak untuk menalar dan menanya, dan tahap terakhir verification siswa diajak untuk menalar, dan mengomunikasikan. Langkah-langkah penerapan model discovery learning menurut Scuhman dalam Suryosubroto dalam Rahman & Maarif (2014: 41) meliputi; (1) identifikasi kebutuhan siswa; (2) seleksi pendahuluan terhadap prinsip-prinsip, pengertian, konsep, dan analogi yang akan dipelajari; (3) seleksi bahan, dan problema serta tugas-tugas; (4) membantu memperjelas problema yang akan dipelajari dan peranan masing-masing siswa; (5) mempersiapkan setting kelas dan alat-alat yang diperlukan; (6) mencek pemahaman siswa terhadap masalah yang akan dipecahkan dan tugas-tugas siswa; (7) memberikan kesempatan kepada
49 siswa untuk melakukan penemuan; (8) membantu siswa dengan informasi, data, jika diperlukan oleh siswa; (9) memimpin analisis sendiri dengan pertanyaan yang mengarahkan dan mengidentifikasi proses; (10) merangsang terjadinya interaksi antar-siswa dengan siswa; (11) memuji dan membesarkan siswa yang bergiat dalam proses penemuan; (12) membantu siswa merumuskan prinsip-prinsip dan analogi atas hasil penemuannya. Bruner dalam Dewi (2013: 13) membagi langkah-langkah model discovery learning menjadi 6 tahap, antara lain (1) Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan) Pertama-tama pada tahap ini pelajar dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan membantu siswa dalam mengeksplorasi bahan. (2) Problem statement (pernyataan/identifikasi masalah), memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi dan menganalisa permasalahan yang mereka hadapi, merupakan teknik yang berguna membangun siswa agar mereka terbiasa untuk menemukan suatu masalah. (3) Data collectioon (pengumpulan data), anak didik diberi kesempatan untuk mengumpulkan (collection) berbagai informasi yang relevan, membaca litelatur, mengamati objek, wawancara dengan narasumber, melakukan uji coba sendiri, dan sebagainya. (4) Data processing (pengolahan data), data processing merupakan kegiatan mengolah data dan informasi yang telah diperoleh para siswa baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya lalu ditafsirkan. Data processing disebut juga dengan pengkodean coding kategorisasi
yang
berfungsi
sebagai
pembentukan
konsep
dan
generalisasi. (5) Verification (pembuktian), pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing. (6) Generalization (menarik
50 kesimpulan/generalisasi), tahap generalization/ menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum yang berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama, dengan memerhatikan hasil verifikasi atau tahap di mana berdasarkan hasil verifikasi
tadi, anak didik belajar menarik
kesimpulan atau
generalisasi tertentu. Berdasarkan pendapat ahli di atas langkah-langkah pembelajaran model
discovery
learning
dapat
disimpulkan
sebagai
berikut;
menentukan tujuan pembelajaran, melakukan identifikasi karakteristik peserta didik (kemampuan awal, minat, gaya belajar, dan sebagainya, memilih materi pelajaran, menentukan topik-topik yang harus dipelajari peserta
didik secara
induktif
(dari contoh-contoh
generalisasi),
mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi, tugas, dan sebagainya untuk dipelajari peserta didik, mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang konkret menjadi abstrak, dan melakukan penilaian proses
dan hasil belajar
peserta didik. Penggunaan model discovery learning dalam pembelajaran bahasa memiliki beberapa kelebihan seperti siswa yang aktif, tidak mudah melupakan materi pelajaran, pembelajaran yang menyenangkan, siswa dapat memecahkan masalah yang dihadapi, siswa dapat mengembangkan sendiri pengetahuan yang telah dimiliki secara ilmiah, dsb. Suryosubroto dalam Rahman & Maarif (2014: 41) mengemukakan bahwa salah satu metode mengajar yang akhir-akhir ini banyak digunakan di sekolah-sekolah yang sudah maju adalah model discovery. Hal ini disebabkan karena model pembelajaran memiliki beberapa kelebihan antara lain; (1) merupakan suatu cara untuk mengembangkan cara belajar siswa aktif; (2) dengan menemukan sendiri, menyelidiki sendiri, maka hasil yang diperoleh akan setia dan tahan lama dalam ingatan, tak mudah dilupakan anak; (3) pengertian yang ditemukan sendiri merupakan pengertian yang betul-betul dikuasai dan mudah digunakan atau ditransfer dalam situasi lain; (4) dengan menggunakan
51 strategi discovery anak belajar menguasai salah satu metode ilmiah yang akan dapat dikembangkan sendiri; (5) dengan model ini juga, anak belajar berpikir analisis dan mencoba memecahkan problema yang dihadapi sendiri, kebiasaan ini akan ditransfer dalam kehidupan bermasyarakat. Sementara itu Roestiyah dalam Dewi (2013: 16) mengemukakan kelebihan penggunaan model discovery learning sebagai berikut; (1) model
ini
mampu
membantu
siswa
untuk
mengembangkan,
memperbanyak kesiapan serta penguasaan keterampilan dalam proses kognitif/pengenalan siswa. (2) siswa memperoleh pengetahuan yang bersifat sangat pribadi/individual sehingga dapat kokoh/mendalam tertinggal
dalam
jiwa
siswa
tersebut.(3)
dapat
membangkitkan
kegairahan belajar para siswa. (4) mampu memberikan kesempatan pada siswa untuk berkembang dan maju sesuai dengan kemampuan masingmasing. (5) mampu mengarahkan cara siswa belajar, sehingga memiliki motivasi yang kuat untuk belajar lebih giat. (6) membantu siswa untuk memperkuat dan menambah kepercayaan pada diri sendiri dengan proses penemuan sendiri. (7) model ini berpusat pada siswa, tidak pada guru. Guru hanya sebagai teman belajar saja, membantu bila diperlukan. Selain dari kelebihan di atas model discovery learning ini memiliki kelemahan, Roestiyah dalam Dewi (2013: 16) menyatakan beberapa kelemahan dari model discovery learning antara lain sebagai berikut; (1) siswa harus memiliki kesiapan dan kematangan mental untuk cara belajar ini. Siswa harus berani dan berkeinginan untuk mengetahui keadaan sekitarnya dengan baik. (2) bila kelas telalu besar penggunaan model ini akan kurang berhasil. (3) bagi guru dan siswa yang sudah biasa dengan perencanaan dan pengajaran tradisional mungkin akan sempat kecewa karena bila diganti dengan model ini. (4) dengan model ini ada yang berpendapat bahwa proses mental ini terlalu mementingkan proses pengertian saja, kurang memperhatikan perkembangan/pembentukan sikap dan keterampilan bagi siswa. (5) idak memberikan kesempatan berpikir secara kreatif.
52 Langkah-langkah penggunaan model discovery learning dalam pembelajaran keterampilan menulis teks negosiasi yaitu sebagai berikut. (1) siswa dibagi menjadi 6 kelompok yang terdiri 6 siswa dalam satu kelompok, (2) siswa diberikan soal-soal mengenai teks negosiasi, tanpa dijelaskan terlebih dahulu siswa menjawab soal tersebut dengan hipotesis mereka, (3) setelah itu siswa mengidentifikasi dan menganalisa permasalahan yang mereka hadapi, (4) dengan cara mencari sebanyak mungkin informasi dari internet ataupun buku, (4) tahap selanjutnya siswa mengolah data yang berasal dari informasi yang mereka kumpulkan, (5) setelah itu bersama kelompok siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang telah mereka tetapkan kemudian dihubungkan dengan pengolahan data, (6) tahap selanjutnya adalah menarik kesimpulan dari hasil diskusi kemudian mempresentasikan hasil dari kesimpulan tersebut. c. Perbedaan Model Group Investigation dan Discovery Learning Model group investigation lebih menekankan kerjasama siswa dalam menyelesaikan permasalahan yang diberikan guru, secara berkelompok dengan menukar pengalaman masing-masing siswa, dengan belajar secara berkelompok kecil interaksi di antara sesama anggota akan lebih intensif dibandingkan belajar dalam jumlah yang terlalu besar misalnya satu kelas. Jouce, Weil dan Calhoun (2000) dikutip dari Aunurrahman (2012: 153) mengatakan dengan jumlah kelompok yang tidak terlalu besar, akan
lebih
mudah
mengatur
kegiatan,
termasuk
dalam
menyepakati waktu untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan kelompok. Di samping pentingnya perolehan pengetahuan dan pengalaman menurutnya ada nilai-nilai penting yang menyertai tugas-tugas ini, yaitu melalui kelompok kerjasama ini peserta didik akan belajar bagaimana bekerja dengan teman lain atau seluruh siswa di kelas dalam berbagai variasi tugas. Adapun ciri esensial group investigation menurut Killen (1998) sebagai pendekatan pembelajaran adalah: (1) para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil dan memiliki independensi terhadap guru; (2)
53 kegiatan-kegiatan siswa terfokus pada upaya menjawab pertanyaanpertanyaan yang telah dirumuskan; (3) kegiatan belajar siswa akan selalu mempersyaratkan
mereka
untuk
mengumpulkan
sejumlah
data,
menganalisisnya dan mencapai beberapa kesimpulan; (4) siswa akan menggunakan pendekatan yang beragam di dalam belajar; (5) hasil-hasil dari penelitian siswa dipertukarkan di antara seluruh siswa (dikutip dari Aunurrahman, 2012:152-153). Menurut Joyce dan Weil (2000) group investigation memiliki kelebihan komprehensivitas, di mana model ini memadukan penelitian akademik, integrasi sosial, dan proses belajar sosial. Model ini juga dapat dipergunakan dalam segala areal subyek, dengan seluruh tingkatan usia. Penerapan model GI dalam proses pembelajaran memberikan dampak instruksional dan dampak pengiring, yaitu berupa terwujudnya proses efektivitas kelompok, mengembangkan wawasan dan pengetahuan serta dapat menumbuhkan disiplin dalam inquiry kolaboratif. Penerapan model GI juga memiliki dampak nurturant terutama berupa kebebasan sebagai pelajaran menumbuhkan harga diri serta mengembangkan kehangatan dan affilisiasi (dikutip dari Aunurrahman, 2012: 153-154). Group investigation merupakan suatu model pembelajaran yang efektif dalam menyampaikan ilmu pengetahuan akademik sekaligus sebagai proses sosial. Model ini juga akan mampu menumbuhkan kehangatan hubungan antar pribadi, kepercayaan, rasa hormat terhadap aturan dan kebijakan. Kemandirian dalam belajar serta hormat terhadap harkat dan martabat orang lain, dan yang lebih penting adalah model GI dapat dipergunakan pada seluruh areal subyek yang mencangkup semua anak pada segala tingkatan usia dan peristiwa sebagai model sosial inti untuk semua sekolah. Oleh karena itu, penerapan model ini untuk proses pembelajaran bagi siswa diyakini penting untuk dilakukan serta akan memberikan manfaaat langsung bagi siswa dalam menggali pengalaman belajar mereka. Model discovery learning merupakan suatu pembelajaran yang lebih menekankan pada pengalaman langsung. Model ini lebih mengutamakan
54 proses daripada hasil besar. Bagi peserta didik di tingkat lembaga pendidikan menengah ke bawah, pembelajaran ini masih memerlukan bimbingan pendidik baik dalam proses maupun analisis (Sujarwo, 2011: 73). Sejalan dengan itu, penerapan pembelajaran discovery learning suatu alternatif yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan belajar peserta didik, sehingga dapat mengoptimalkan kemampuan penalaran, dan keterampilannya sendiri yang belum sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya dalam proses pembelajaran yang dipilih oleh pendidik dan memotivasi belajar peserta didik. proses pembelajaran diupayakan pada kegiatan belajar yang lebih bermakna melalui diskusi, bekerja kelompok, dan memecahkan masalah serta menyimpulkannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembelajaran discovery learning merupakan prosedur pembelajaran yang mementingkan pembelajaran individual (Sujarwo, 2011: 74). Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran discovery learning menurut Sujarwo (2011: 76) antara lain: (1) peserta didik memerlukan tambahan bimbingan penemuan sama sekali baru bagi mereka. Kondisi demikian ditekankan pada upaya bagaimana agar peserta didik tidak sangat tergantung pada pendidik; (2) gunakan pertanyaan dan pengarahan yang baik bila menemukan perkiraan yang salah; (3) verbalisasi diserahkan pada peserta didik; (4) sering model ini dihubungkan dengan lembar kerja; (5) merencanakan pelajaran dengan penemuan harus memiliki tujuan yang jelas dan perlu dipikirkan sejauh mana bimbingan dapat diberikan kepada pendidik; (6) merencanakan materi pelatihan sesudah penemuan. Berdasarkan pemikiran di atas dapat disimpulkan perbedaan model group investigation dan discovery learning adalah pembelajaran dengan model discovery learning lebih menekankan pada kerja kelompok dalam menginvestigasi suatu permasalahan, sedangkan pembelajaran discovery learning lebih menekankan pada penemuan peserta didik secara individual dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Dalam hal ini
55 model group investigation lebih condong pada interaksi sosial sedangkan model discovery learning lebih menekankan pada mental peserta didik. 3. Hakikat Penguasaan Kosakata a. Hakikat Kata Kegiatan menulis tidak akan pernah lepas dari rentetan kata-kata yang disampaikan dalam bentuk tulisan. Kata merupakan satuan bahasa yang lebih konkret yang secara hierarkis terdapat di atas morfem, hal ini berdasar pada pendapat Kridalaksana (2005: 38) mengatakan secara empiris morfem baru dapat diperoleh bila telah diketahui satuan yang lebih konkret yang secara hierarkis terdapat di atasnya, yaitu kata. Sejalan dengan pendapat Kridalaksana, Rahardi (2009: 12) menegaskan bahwa kata menunjuk pada satuan bahasa terkecil yang dapat dilafalkan secara bebas. Kata dapat berdiri sendiri sebagai sebuah entitas kebahasaan dan dapat memiliki makna yang jelas, baik kata itu merupakan kata dasar maupun sebagai kata jadian atau kata bentukan. Sama halnya pendapat ahli di atas, kata menurut Pujiono (2013: 9) adalah satuan terkecil dari kalimat yang dapat berdiri dan mempunyai makna. kata terbentuk dari gabungan huruf atau morfem yang sudah mempunyai makna. Kata merupakan suatu unit dalam bahasa yang memiliki stabilitas intern dan mobilitas posisional, yang berarti ia memiliki komposisi tertentu (entah fonologis entah morfologis) dan secara relatif memiliki distribusi bebas (Keraf, 2007: 21). Chaer (2009: 37-38) membagi kata menjadi dua status, seperti pada kutipan berikut secara gramatikal kata mempunyai dua status. Sebagai satuan terbesar dalam tataran morfologi, dan sebagai satuan terkecil dalam tataran sintaksis. Sebagai satuan terbesar dalam tataran morfologi, kata dibentuk dari bentuk dasar (yang dapat berupa morfem dasar terikat maupun bebas, atau gabungan morfem) melalui proses morfologi afiksasi, reduplikasi, atau komposisi. Sebagai satuan tekecil sintaksis kata, khususnya yang termasuk kelas terbuka (nomina, verba, dan adjektiva) dapat mengisi fungsi-fungsi sintaksis. Sedangkan kata-kata
56 dari kelas tertutup (numeralia, preposisi, konjungsi) hanya menjadi bagian dari frase yang mengisi fungsi-fungsi sintaksis itu. Sebuah kata akan kelihatan jati dirinya, juga makna dan maksudnya, hanya apabila kata itu digunakan dalam konteks fungsional di dalam entitas kebahasaan yang lebih tinggi. Maka kemudian Ramlan menyebutkan bahwa berdasarkan ciri-ciri fungsionalnya, kata di dalam bahasa Indonesia itu dapat dibedakan menjadi 12 macam, yakni (1) kata verbal, (2) kata nominal, (3) kata keterangan, (4) kata tambah, (5) kata bilangan, (6) kata penyukat, (7) kata sandang, (8) kata tanya, (9) kata suruh, (10) kata penghubung, (11) kata depan, dan (12) kata seruan. Sekali lagi harus ditegaskan bahwa memaknai sebuah kata itu harus selalu dihubungkan dengan fungsinya di dalam satuan kebahasaan yang lebih besar, entah itu frasa, klausa, maupun kalimat (Ramlan dalam Rahardi, 2009: 13). Sukmawati (2014: 168) mengatakan kata adalah suatu ujaran yang mempunyai pengenalan intuitif bentuk lisan maupun dalam bentuk bahasa tulis, hal ini sejalan dengan pendapat Crystal dalam Ba’dulu kata adalah satuan yang dapat didefinisikan secara fisik yang dijumpai dalam rentang tulisan (dikutip dari Sukmawati, 2014: 168). Pendapat Sukmawati di atas searah dengan Samsiyah, dkk (2013: 31) juga mengemukakan bahwa kata adalah unsur bahasa yang diucapkan atau ditulis yang merupakan perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran yang digunakan dalam bahasa. Pateda berpendapat bahwa wujud kata yang menjadi dasar pembicaraan kosakata adalah (1) bentuk, (2) bentuk berimbuhan atau bentuk turunan, (3) bentuk berulang atau reduplikasi, (4) bentuk majemuk atau komposisi, (5) bentuk terikat konteks, (6) bentuk paduan leksem (dalam Syamsiah, 2013: 31). Chaer dalam Syamsiyah (2013: 31) mengemukakan menurut tata bahasawan tradisional klasifikasi kata menggunakan kriteria makna dan kriteria fungsi. Kriteria makna digunakan untuk mengidentifikasi kelas verba, nomina, dan adjektiva, sedangkan kriteria fungsi digunakan untuk
57 mengidentifikasi preposisi, konjungsi, adverbia, pronomina, dan lainlain. melalui beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan kata merupakan unsur bahasa terkecil yang diucapkan atau dituliskan dalam bentuk bebas yang merupakan perwujudan pikiran yang dapat digunakan untuk berbahasa (berkomunikasi). b. Hakikat Kosakata Kosakata merupakan perbendaharaan kata yang paling dasar untuk mengapresiasikan pikiran manusia. sebelum manusia memahami mengenai membaca, menyimak, berbicara, mendengar, seseorang harus mengerti tentang konsep suatu kosakata. Kosakata juga berhubungan erat dengan cara berbahasa seseorang, semakin banyak kosakata yang dimiliki seseorang maka semakin baik pula keterampilan berbahasanya (Tarigan, 2011). Pendapat di atas sesuai dengan Nurgiyantoro (2010: 338)
yang
mengungkapkan bahwa kosakata adalah perbendaharaan kata, atau kata saja, juga: leksikon, kekayaan kata yang dimiliki oleh (terdapat dalam) suatu bahasa. Soedjito (2009: 24) mendefinisikan kosakata sebagai semua kata yang terdapat dalam semua bahasa, kekayaan kata yang dimiliki oleh seorang pembicara atau penulis, daftar kata yang disusun seperti kamus serta penjelasan secara singkat dan praktis. Hal ini searah dengan pendapat Wijayanti, dkk (2014: 76) yang menerangkan bahwa penulis harus memiliki kekayaan kosakata agar dapat menulis dengan baik dan menarik. Seperti kata Moeliono dalam Suhardiyanto yang dipetik dari Winarto dkk dan tercantum dalam Wijayanti, dkk (2014: 76) kosakata dapat diperkaya dengan (1) pemakaian kata umum dan kamus sinonim, (2) penggunaan kata baru dalam bahasa lisan dan bahasa tulis, (3) pengetahuan mengenai aneka ragam tulisan, dan (4) pemahaman denotasi, konotasi, dan kata umum. Semetara itu Diamond & Gutlohn yang dikutip oleh Nurbaya (2011: 202) mengatakan bahwa kosakata adalah pemahaman seseorang tentang sejumlah kosakata beserta maknanya. Sedangkan Muffin dalam Nurbaya (2011: 202) menguraikan tentang kosakata bersifat multi-definisi yang
58 terkait dengan hal-hal, yaitu (1) semua kata dalam suatu bahasa, (2) sejumlah kata yang digunakan, dipahami pada perintah dari seseorang atau kelompok, (3) daftar kata atau frase, biasanya diatur secara berurutan menurut abjad dan didefinisikan atau diterjemahkan, dan (4) alat untuk mengekspresikan lakon. Pemerian kosakata yang lebih spesifik diungkapkan oleh Collins dalam
Nurbaya
(2011:
202)
yang
dikutip
dari
www.thefeedictionary.com/vocabulary Collins mendefinisikan kosakata lebih rinci yakni: (1) all the words that a person knows, (2) all the words contained in a language, (3) the specialist terms used in a given subject, (4) a list of words in another language with their translations, (5) a range of symbols or techniques as used in any of the art of crafts. Berbeda mendefinisikan
dengan
pendapat
kosakata
atau
di butir
atas
Ermitati
leksikal
(2014:
merupakan
156) tempat
penyimpanan konteks masa lalu sehingga tak ada makna yang bebas konteks. Hal ini, searah dengan pendapat Sukmawati (2014: 168) yang mengatakan kosakata sebagai perbendaharaan kata suatu bahasa mengandung dua aspek, yaitu aspek bentuk dan aspek isi atau makna (berkaitan dengan konteks). Bentuk atau ekspresi adalah segi yang dapat diserap oleh pancaindera, yaitu dengan mendengar atau melihat, sedangkan isi atau makna adalah segi yang menimbulkan reaksi dalam pikiran pendengar atau pembaca karena rangsangan aspek bentuk tersebut. Dari pendapat beberapa ahli di atas dapat disimpulkan kosakata adalah pembendaharaan komponen dasar suatu bahasa sebelum seseorang memahami keterampilan berbahasa yang digunakan untuk menyampaikan ide, gagasan baik diucapkan maupun dituliskan. Kosakata memiliki hubungan erat dengan keterampilan menulis oleh sebab itu pembendaharaan kosakata sangat diperlukan, untuk itu memperluas kosakata sangat diperlukan, adapun cara memperluas kosakata seseorang dapat dilakukan dengan beberapa hal berikut ini: (1)
59 Proses belajar; perluasaan kosakata melalui proses belajar dapat dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan. Melalui pelajaran bahasa dan mata pelajaran lainnya yang memperkenalkan istilah-istilah baru sehingga pembendaharaan kosakata siswa meningkat, (2) Konteks; yang dimaksud konteks adalah lingkungan yang dimasuki sebuah kata. Dan sesungguhnya, dalam banyak hal kosakata diperluas melalui sebuah konteks, baik lisan maupun tertulis. (3) Kamus, kamus sinonim, dan tesaurus; kamus memegang peranan yang sangat penting, karena kamus dapat membenarkan atau memperbaiki kosakata baru yang didapat seseorang. Kamus menyuguhkan sebuah daftar kata, masing-masing dengan batasan pengertian yang sedang berlaku atau yang tidak belaku lagi, pengertian yang umum dan khusus, bentuk turunannya, memberi sugesti bagaimana hubungannya dengan sebuah kalimat, dan sering pula mencantumkan konotasinya. Sebuah kamus sinonim bermanfaat sebagai sebuah pelengkap bagi kamus biasa. Kamus sinonim dapat membedakan kontasi-konotasi, yaitu sugesti-sugesti yang ditimbulkan oleh kata-kata yang tampaknya mempunyai arti yang sama, tetapi tidak dapat saling melengkapi. Tesaurus adalah sebuah khasanah kata untuk keperluan sendiri. buku yang disusun menurut sebuah sistem tertentu, terdiri dari gagasan-gagasan yang mempunyai pertalian timbal-balik, sehingga setiap pemakai dapat memilih istilah atau kata yang ada di dalamnya. (4) Menganalisa kata; analisa terhadap bagian-bagian kata yang selalu muncul dalam bentuk-bentuk gabungan, sehingga dengan mengingat dasar katanya, maka semua kata yang mempergunakan dasar tadi, dapat diduga maknanya secara tepat. Bagian-bagian kata yang sering muncul dalam bentuk gabungan itu dapat berupa akar kata dan dapat berupa imbuhan-imbuhan prefiks (Keraf, 2007: 67-72). c. Hakikat Penguasaan Kosakata Elviza & Noveria (2013) berpendapat bahwa penguasaan kosakata adalah
kegiatan
menguasai
atau
kemampuan
memahami
dan
menggunakan kata-kata yang terdapat dalam suatu bahasa, baik bahasa lisan ataupun tulisan.
60 Djiwandono mengemukakan bahwa penguasaan kosakata dapat dibedakan dalam penguasaan yang aktif produktif dan penguasaan yang pasif reseptif. Selanjutnya dijelaskan bahwa kosakata yang merupakan bagian dari penguasaan aktif produktif sering dikenal dengan kosakata aktif, yaitu kosakata yang dapat digunakan seorang pemakai bahasa secara wajar dan tanpa banyak kesulitan dalam mengungkapkan dirinya. Selanjutnya kosakata yang merupakan bagian dari penguasaan pasif reseptif atau kosakata pasif adalah seorang pemakai bahasa lain, tanpa mampu menggunakannya sendiri secara wajar dalam ungkapanungkapannya (dalam Syamsiyah, 2013: 32). Nurbaya (2011: 201) berpendapat bahwa penguasaan kosakata dapat mempengaruhi berbahasa yang lain seperti membaca, sehingga kemampuan memahami makna kata menjadi prasyarat untuk menguasai aspek keterampilan berbahasa yang lain. penguasaan kosakata dalam suatu bahasa oleh seseorang juga menjadi kunci untuk memahami informasi memiliki hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi. d. Pengukuran Penguasaan Kosakata Penguasaan kosakata dapat dibedakan ke dalam penguasaan yang bersifat reseptif dan produktif, yaitu kemampuan untuk memahami dan mempergunakan kosakata. Kemampuan memahami kosakata (juga: struktur) terlihat dalam kegiatan membaca dan menyimak, sedang kemampuan mempergunakan kosakata tampak dalam kegiatan menulis dan berbicara. Oleh karena itu, tes kemampuan kosakata biasanya langsung dikaitkan dengan kemampuan reseptif atau produktif bahasa secara keseluruhan (Nurgiyantoro, 2011: 338). Tes kosakata adalah tes yang dimaksudkan mengukur kompetensi peserta didik terhadap kosakata dalam bahasa tertentu baik yang bersifat reseptif maupun produktif. Jika tidak dikaitkan dengan ada tidaknya keterlibatan aspek-aspek kebahasaan yang lain dan sekaligus dikaitkan dengan fungsi komunikatif bahasa, tes kosakata dapat dibedakan menjadi tes diskret, integratif, pragmatik atau otentik (Nurgiantoro, 2013: 342).
61 Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa penguasaan kosakata adalah kemampuan seseorang dalam memahami (reseptif) dan mempergunakan (penguasaan produktif) suatu kekayaan kata yang dimiliki suatu bahasa untuk berkomunikasi dan menyampaikan ide, pendapat, dan perasaan kepada orang lain. selain itu penguasaan kosakata seseorang mempengaruhi kemampuan berbahasa hal ini sama dengan penguasaan kosakata mempengaruhi hasil tulisan seseorang. Berkaitan dengan kajian teori di atas, telah ada penelitian terdahulu yang mengujicobakan keterampilan menulis siswa, penggunaan model Group Investigation (GI) dan penguasaan kosakata. Di mana ada perbedaan dan persamaan antara penelitian sebelumnya dengan penelitian ini. Penelitianpenelitian tersebut adalah sebagai berikut: Artikel ilmiah dari jurnal internasional Journal of Education and Practice yang ditulis oleh Pitoyo; Waluyo; Suwandi; Andayani (2014) yang berjudul “The Effect of Group Investigation Learning Model, Accelerated Learning Team and Role Playing on Elementary School Students’ Writing Skills Viewed from Cognitive Style”. Menerangkan bahwa Group Investigation (GI) mempunyai pengaruh terhadap keterampilan menulis. Keterampilan menulis siswa yang menggunakan pembelajaran GI lebih baik daripada model lainnya, berikut ini kutipan dari artikel tersebut “The test results showed that the Indonesian writing skills of group of students who take Investigations Group learning model is better than Indonesian writing skills of students who follow the group learning model of Accelerated Learning Team and Role Playing”. Relevansi antara Penelitian dari Pitoyo dkk, dengan penelitian ini adalah penggunaan model GI, dalam penelitian Pitoyo dkk telah dijelaskan bahwa dengan menggunakan model GI hasil menulis siswa menjadi lebih baik daripada menggunakan model lain seperti role playinng. Hanya saja penelitian yang dilakukan oleh Pitoyo dkk, membandingkan model pembelajaran GI dengan dua model lai yaitu accelerated learning dan role playing, sedangkan dalam penelitian ini hanya membandingkan model GI dengan satu model pembelajaran yaitu discovery learning.
62 Selain penelitian di atas, Tesis
dari Sri Sutarni (2014) yang berjudul
“Pengaruh Metode Kooperatif Group Investigation (GI) dan Penguasaan Struktur Kalimat terhadap Keterampilan Menulis Argumentasi (Eksperimen di SMA Negeri Kabupaten Sragen” juga menunjukkan bahwa terdapat pengaruh antara penggunaan model Group Investigation dengan keterampilan menulis siswa. Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Sri Sutarni dengan penelitian ini adalah sama-sama menggunakan variabel bebas model Group Investigation. Sedangkan perbedaan dari penelitian Sri Surtani dengan penelitian ini adalah variabel bebas X2 yaitu penguasaan struktur kalimat sedangkan variabel X2 dalam penelitian ini adalah penguasaan kosakata, selain variabel X2 varibel terikat dalam penelitian ini memiliki persamaan yaitu sama-sama keterampilan menulis, hanya saja dalam penelitian Sri Surtani mengambil materi dari KTSP yaitu menulis argumentasi sedangkan kelebihan penelitian ini adalah materi yang di ambil dari Kurikulum 2013 yaitu teks negosaisi. Penelitian yang relevan selanjutnya yaitu artikel dari jurnal Lingua yang ditulis oleh Joko Sukoyo (2013) yang berjudul ”Hubungan Penguasaan Kosakata dan Minat Membaca dengan Kemampuan Menulis Eksposisi Mahasiswa Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Unnes”. Jurnal ini menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara penguasaan kosakata dan kemampuan menulis. Dalam jurnal ini dijelaskan bahwa mahasiswa yang mempunyai penguasaan kosakata tinggi hasil menulisnya pun bagus, sedangkan mahasiswa yang memiliki penguasaan kosakata rendah kemampuan menulisnya pun rendah. Sehingga artikel penelitian dari Joko Sukoyo memiliki relevansi dengan penelitian samasama menggunaan variabel bebas penguasaan kosakata dan keterampilan menulis, sedangkan kekurangannya dari penelitian ini adalah jenis penelitian, artikel jurnal Joko Sukoyo ini menggunakan penelitian kuantitatif korelasi yaitu mencari hubungan variabel X dengan variabel Y sedangkan penelitian ini jenis penelitian kuantitatif eksperimen yang mencari pengaruh dari variabel X terhadap variabel Y.
63
B. Kerangka Berpikir Berdasarkan kajian teori di atas, dapat disusun kerangka berpikir guna memperoleh jawaban sementara atas permasalahan yang timbul. Rendahnya kualitas pendidikan merupakan suatu permasalahan yang menonjol dalam bidang pendidikan. Oleh sebab itu, pemerintah menyelenggarakan pembaharuan kurikulum guna menyempurnakan kualitas pendidikan. Kurikulum ini merupakan pembaharuan dari kurikulum KTSP yaitu kurikulum 2013, di mana dalam kurikulum menuntut siswa untuk aktif dalam pembelajaran. Model pembelajaran Group Investigation (GI)
merupakan
model
pembelajaran yang sesuai dalam mencapai proses pembelajaran yang bermakna. Perpaduan dari kemampuan dalam diri siswa seperti penguasaan kosakata dan model pembelajaran yang efektif sebagai faktor dari luar yang mendukung siswa akan membantu siswa dalam menyelesaikan permasalahan, kemudian secara proaktif dan terampil siswa mampu membuat sebuah produk berupa tulisan. 1. Perbedaan Keterampilan Menulis Teks Negosiasi antara Siswa yang Diajar dengan Model Pembelajaran Group Investigation dan Siswa yang Diajar dengan Model Pembelajaran Discovery Learning Teks negosiasi merupakan materi baru dalam kurikulum 2013 untuk siswa kelas X SMA/SMK, karena materi baru dalam pembelajaran memerlukan model pembelajaran yang lebih efektif di mana suatu pembelajaran siswa lebih aktif dibandingkan guru. Penggunaan metode lama yang konvensional tanpa penggunaan model pembelajaran membuat siswa kurang mampu mengeluarkan pendapat, ide dan gagasannya, karena pembelajaran semata-mata hanya berpacu pada guru, seolah-olah gurulah yang berkuasa dalam kelas tersebut, hal ini akan membuat siswa pasif dalam kegiatan berbahasa baik secara lisan maupun tulisan.
64 Oleh sebab itu, dengan menggunakan model group investigation yang lebih inovatif, siswa dapat aktif dalam menyampaikan pendapatnya, lebih kritis dan mampu melakukan kerjasama baik, serta mampu menuangkan ideidenya dalam bentuk tulisan. Pembelajaran dengan model
group
investigation ini menekankan pada kerjasama kelompok dalam memecahkan suatu masalah yang dihadapi, pertama-tama guru menjelaskan maksud pembelajaran, setelah itu perwakilan dari kelompok maju ke depan kelas untuk menjelaskan materi yang telah mereka diskusikan, sehingga pembelajaran dengan GI selain melatih kerjasama siswa juga melatih keberanian dan keterampilan siswa dalam menyampaikan pendapat. Penerimaan informasi pada awal pembelajaran dari guru akan menghindarkan siswa dari kebingungan. Pada pembelajaran dengan model discovery learning, pembelajaran ditekankan pada proses penemuan informasi, penemuan informasi terjadi saat siswa berusaha memecahkan permasalahan yang diberikan guru setelah siswa menemukan jawaban siswa melakukan generalisasi. Pembelajaran ini melatih siswa untuk berpikir analisis dan mampu menyelesaikan permasalahannya sendiri.
Model
pembelajaran
ini
dapat
membantu
siswa
dalam
mengembangkan proses berpikir analitis, namun model discovery learning akan menimbulkan kebingungan pada siswa karena guru tidak menjelaskan terlebih dahulu, hal ini akan menyebabkan beberapa siswa salah persepsi dan menimbulkan pemahaman yang kurang terhadap materi pembelajaran. Berdasarkan pemikiran di atas diduga keterampilan menulis teks negosiasi siswa yang diajar dengan model pembelajaran group investigation lebih baik hasilnya dibandingkan siswa yang diajar dengan model pembelajaran discovery learning. 2. Perbedaan Keterampilan Menulis Teks Negosiasi Siswa yang Memiliki Penguasaan Kosakata Tinggi dan Penguasaan Kosakata Rendah Menuangkan pendapat, ide, dan gagasan melalui kegiatan menulis tentu tidak akan pernah lepas dari kosakata, oleh sebab itu penguasaan kosakata sangat berpengaruh pada hasil dari menulis siswa. Menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang menuntut seseorang untuk dapat menghasilkan suatu karya sebagai ungkapan ide dan
65 gagasannya dalam bentuk tulisan, sementara itu dalam menulis tentu penguasaan kosakata akan memiliki pengaruh besar terhadap hasil tulisan tersebut. Tinggi rendahnya penguasaan kosakata seseorang mempengaruhi hasil dari keterampilan menulis. Siswa yang memiliki penguasaan kosakata tinggi kemungkinan akan menghasilkan tulisan yang lebih baik, sedangkan siswa yang memiliki penguasaan kosakata rendah kemungkinan hasil tulisannya pun akan kurang. Oleh sebab itu, tinggi rendahnya penguasaan kosakata seseorang mempengaruhi hasil dari keterampilan menulis, sebagai penunjang keteraturan, keberagaman, dan daya tarik dari sebuah tulisan penguasaan kosakata siswa berpengaruh terhadap keterampilan menulis teks negosiasi. Berdasarkan hal tersebut diduga keterampilan menulis teks negosiasi siswa yang memiliki penguasaan kosakata tinggi lebih baik hasilnya daripada siswa yang memiliki penguasaan kosakata rendah. 3. Interaksi Model Group Investigation dan Penguasaan Kosakata terhadap Keterampilan Menulis Teks Negosiasi Penggunaan model group investigation dalam pembelajaran siswa akan lebih memiliki berbagai wawasan karena siswa akan lebih aktif menggali materi pembelajaran, selain itu dalam model group investigation siswa akan belajar kelompok sehingga saling berbagi pendapat dan pengalaman bersama teman satu kelompoknya, hal ini akan melatih siswa untuk menyampaikan pendapatnya dan lebih memiliki keterampilan menulis teks negosiasi. Selain pengalaman dan wawasan dari pengguanaan model group investigation, penguasaan kosakata yang baik akan mempermudah seseorang dalam menuangkan ide atau gagasannya dalam sebuah tulisan, tanpa harus khawatir kehabisan kata-kata dan berhenti di tengah jalan ketika menulis karena kurangnya penguasaan kosakata. Dengan demikian diprediksi terdapat interaksi antara penggunaan model group investigation dalam pembelajaran dengan siswa yang memiliki penguasaan kosakata tingi dalam mempengaruhi keterampilan menulis teks negosiasi terhadap siswa. Berikut ini skema kerangka berpikir yang menjelaskan bagaimana pengaruh variabel bebas (model group investigation dan penguasaan
66 kosakata) terhadap variabel terikat (keterampilan menulis teks negosiasi) dalam konteks penelitian eksperimen.
Keterampilan Menulis Teks Negosiasi Group Investigaton 3a (GI)
3b
Discovery Learning
Model Pembelajaran
Tinggi 2a 1a
2b Rendah 1b
Penguasaan Kosakata Tinggi
Rendah
Keterangan: 1a.Siswa yang diajar dengan model Group Investigation (GI), diduga memiliki kemampuan menulis teks negosiasi tinggi Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir 1b.Siswa yang diajar dengan model discovery learning, diduga memiliki kemampuan menulis teks negosiasi rendah 2a.Penguasaan kosakata siswa tinggi, diduga memiliki kemampuan menulis teks negosiasi tinggi 2b.Penguasaan kosakata siswa rendah, diduga memiliki kemampuan menulis teks negosiasi rendah 3a.Siswa yang diajar dengan model Group Investigation (GI) dan penguasaan kosakata tinggi, diduga memiliki kemampuan menulis tinggi 3b.Siswa yang diajar dengan model discovery learning dan penguasaan kosakata rendah, diduga memiliki kemampuan menulis rendah. C. Hipotesis Penelitian Berdasarkan landasan teori yang telah dipaparkan dan kerangka berpikir di atas, dapat dirumuskan hipotesis penelitian ini sebagai berikut: 1. Keterampilan menulis teks negosiasi siswa yang diajar dengan menggunakan model Group Investigation (GI) lebih baik hasilnya daripada siswa yang diajar dengan menggunakan model Discovery Learning. 2. Keterampilan menulis teks negosiasi siswa yang memiliki penguasaan kosakata tinggi hasilnya lebih baik daripada siswa yang memiliki penguasaan kosakata rendah.
67 3. Ada interaksi antara penggunaan model pembelajaran Group Investigation (GI) dan penguasaan kosakata terhadap keterampilan menulis teks negosiasi siswa.