! !
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Osteoarthritis lumbal adalah proses degenerasi tulang belakang pada daerah lumbal yang melibatkan three joint complex, yang ditandai dengan penyempitan diskus intervertebralis, terbentuknya osteofit dan degenerasi pada facet joint. Ketiga komponen ini saling mempengaruhi dan menimbulkan keluhan nyeri pinggang. Pada tahun 1982 Kirkaldy-Willis dan Parfan mengajukan 3 tanda klinis dan stadium biomekanik pada degenerasi tulang belakang yaitu: disc dysfunction, instability dan stability. Degenerasi tulang belakang meliputi disc degeneration (DD), facet joint osteoarthritis (OA Facet joint), perubahan komponen otot dan proses degenerasi pada ligamen (Fujiwara et al., 2000).
2.1 Anatomi Lumbal Regio lumbal adalah bagian bawah dari susunan tulang belakang yang terdiri dari 5 vertebral body yang mobile, 4 diskus intervertebralis, dengan 1 diskus pada thoracolumbar junction dan lumbosacral junction, dan pada penampang sagital regio ini berbentuk lordosis. Oleh karena posisinya paling banyak menahan beban mekanik (Urban, 2000; Bullough, 2004). Akibat dari bentuk dan strukturnya ini, secara biomekanik regio ini merupakan regio yang paling mudah dan cepat mengalami degenerasi.
9 !
10
!
Di antara dua vertebral body terdapat diskus intervertebralis yang terdiri dari dua regio utama dengan nukleus pulposus yang lembut di bagian tengahnya dan annulus fibrosus yang merupakan sebagai lapisan luar kolagen yang keras. Diskus intervertebralis merupakan sendi yang menghubungkan tulang-tulang vertebra pada tulang belakang (Bullough, 2004). Struktur diskus intervertebralis terdiri dari tiga daerah anatomi yang terintegrasi yaitu nukleus pulposus di bagian tengah yang banyak mengandung air dan berisi kolagen tipe II, anulus fibrosus di bagian tepi mengandung kolagen tipe I dan II serta dua end plate yang terdiri dari tulang rawan hyalin di bagian superior dan inferior (Martin, 2002). Kandungan air dan proteoglikan pada nukleus pulposus memungkinkan meneruskan gaya beban dari vertebra ke vertebra di bawahnya (compressive load), sedangkan gaya beban radial (tensile load) diabsorbsi oleh tegangan pada serabut annulus fibrosus (Melrose et al., 2008). Perubahan isi kolagen yang terdapat dalam diskus intervertebralis dapat berlangsung secara alami bersamaan dengan proses penuaan, proses ini disebut sebagai degenerasi diskus intervertebralis. Facet joint sebagai sendi diarthrodial merupakan salah satu sendi yang memegang peranan penting pada gerakan satu segmen tulang belakang. Load bearing pada facet joint akan mengalami perubahan pada degenerasi tulang belakang. Degenerasi pada facet joint ditandai dengan adanya degradasi kartilago berupa erosi fokal dan difus serta sklerosis dari tulang subkondral. Terbentuknya facet
hyperthrophy,
malalignment
apophyseal,
stenosis
dari
intervertebral central maupun lateral (Kalichman dan Hunter, 2007).
! !
foramen
11
!
Dua vertebral body yang dihubungkan oleh diskus intevertebralis, facet joint dan ligamen (kecuali pada segment C1-C2, tidak ada diskus intervertebralis) disebut sebagai suatu functional spine unit (FSU). Functional spine unit ini dikenal sebagai three joint complex yang terdiri dari diskus intervertebralis (suatu cartilagenous joint) dan dua facet joint (synovial joints), yang secara dinamis bersama-sama dalam suatu physiologics loads.
Gambar 2.1 Anatomi lumbal (Bohinski,!Ryan,!2013)!
Satu kesatuan functional spine unit ini, dalam pergerakannya juga merupakan satu kesatuan pergerakan sebagai satu segmen pergerakan. Oleh karena posisinya paling banyak menahan beban mekanik, maka pada penampang sagital alignment regio lumbal ini adalah lordosis. Sehingga akibat dari bentuk dan strukturnya ini, secara biomekanik regio ini merupakan regio yang mudah dan cepat mengalami degenerasi.
! !
12
!
2.2!Biomekanik, Fungsi Diskus dan Disc Dysfunction 2.2.1! Biomekanik Fungsi dari tulang belakang, secara umum dibagi menjadi 2 bagian penting dari masing-masing unit fungsional yaitu bagian anterior yang bersifat statik dan bagian posterior yang bersifat dinamik. Bagian anterior yang fleksibel sebagai pembawa beban dan pengabsorbsi getaran. Sedangkan bagian posterior yang terdiri dari 2 arcus vertebrae, 2 processus transversus, 1 processus spinosus dan 2 buah facet joint, berfungsi melindungi elemen neural berperan sebagai fulcrum dan mengarahkan pergerakan suatu unit fungsional. Elemen posterior ini akan membagi beban kompresif dan mempengaruhi pola pergerakan tulang belakang (Urban, 2000; Bullough, 2004). Gerakan vertikal facet joint memungkinkan gerakan fleksi ekstensi tulang belakang. Pada posisi netral, pergerakan lateral dan rotasi dapat dicegah dengan aposisi permukaan sendi, sedangkan pada posisi agak fleksi, permukaan facet joint akan bergeser sehingga memungkinkan pergerakan lateral dan rotasi. Pada posisi ekstensi permukaan sendi facet mengalami aproksimasi sehingga dapat mencegah pergerakan lateral dan miring. Pada saat postur diekstensikan, volume kanalis spinalis dan foraminal neural akan berkurang. Diskus intervertebralis adalah bagian dari sistem muskuloskeletal manusia yang paling sering dan terparah mengalami proses degenerasi; diduga karena sistem nutrisi yang mengandalkan difusi dari end plate (Grunhagen, 2006; Johnson, 2008; Junger, 2009). Di samping karena faktor nutrisinya, posisi lumbal merupakan daerah yang paling banyak menahan beban mekanik sehingga daerah
! !
13
!
ini merupakan daerah yang paling rentan dan paling mudah mengalami degenerasi. Setiap segmen pergerakan akan mewakili komponen pembentuk tulang belakang yang merupakan suatu functional spine unit. Pada pergerakan ini peran mekanik dari diskus intervertebralis menerima dan meneruskan gaya tekanan dari atas dan ke bawah serta mengadakan pergerakan untuk fleksi, ekstensi, lateral dan memutar aksial/rotasi, serta kompleks pergerakan kombinasi.
2.2.2! Fungsi diskus Diskus intervertebralis terdiri dari dua komponen utama yaitu nucleus pulposus mengandung banyak proteoglikan (50%) dengan konsistensi lunak di bagian tengah dan lapisan luarnya yang disebut annulus fibrosus mengandung proteoglikan 20%. Proteoglikan merupakan glikoprotein yang tersusun dari glycosaminoglycan (GAG), yang paling banyak adalah aggrecan. Aggrecan terbentuk dari rantai kondroitin-6 sulfat dan keratin sulfat yang terikat pada inti protein. Molekul aggrecan memiliki kemampuan mengikat air yang kuat karena sifat tekanan negatif dan hidrofilik alami. Sel nukleus pulposus memproduksi banyak proteoglikan dan aggrecan. Hal ini menyebabkan nukleus pulposus menarik air dan memberinya konsistensi kenyal sebagai bantalan. Sel annulus fibrosus juga memproduksi proteoglikan tapi lebih sedikit dibandingkan nukleus pulposus. Proteoglikan juga diperkirakan mempengaruhi permeabilitas jaringan dan kemampuan difusi pada diskus dan mempengaruhi homeostasis diskus (Slikker et al., 2012).
! !
14
!
Kandungan kolagen dari diskus intervertebralis terdiri dari kolagen tipe I dan tipe II, dengan nukleus pulposusnya hanya mengandung kolagen tipe II dan annulus fibrosus mengandung kolagen tipe I dan tipe II. Perubahan kandungan kolagen dalam diskus intervertebralis dapat terjadi secara alami karena penuaan maupun karena proses degenerasi. Fungsi utama kolagen adalah memberikan kekuatan pada diskus intervertebralis (Slikker et al., 2013). Ada 2 keseimbangan yang terdapat dalam diskus yaitu: 1.! Keseimbangan swelling pressure atau keseimbangan kimiawi, yaitu keseimbangan antara nukleus pulposus yang mengandung proteoglikan yang menyerap air dengan serat kolagen yang menolak penyerapan air. Adanya keseimbangan antara proteoglikan dengan serat kolagen. 2.! Keseimbangan mekanik Kesimbangan yang terjadi bila ada gaya/beban diberikan pada nukleus, maka gaya tersebut akan akan diteruskan ke anulus yang ada sekitarnya. Apabila keseimbangan kimiawi dan keseimbangan mekanik ini terganggu, maka akan terjadi kehilangan kemampuan diskus dalam mengatur kandungan air di dalam diskus, yang mengakibatkan terjadinya proses degenerasi pada diskus intervertebralis (Wong, 2007).
2.2.3! Disc dysfunction Lumbar disc degeneration (dysfunction) disebabkan oleh karena menurunnya komponen mekanis dan komponen kimiawi pada diskus. Hal ini disebabkan oleh
! !
15
!
karena proses penuaan dan diperberat oleh faktor lingkungan seperti trauma, aktifitas dengan high impact, jenis pekerjaan dan merokok. Pada tahun 1982 Kirkaldy-Willis dan Parfan mengajukan 3 tanda klinis dan stadium biomekanik pada degenerasi tulang belakang yaitu: disc dysfunction, instability dan stability. Degenerasi tulang belakang meliputi disc degeneration (DD), facet joint osteoarthritis (OA facet joint), perubahan komponen otot dan proses degenerasi pada ligamen (Fujiwara et al., 2000). Pada stadium I (disc dysfunction) diskus tidak mampu menanggung beban aksial, tinggi diskus juga berkurang, hal ini terjadi sebagai akibat dari berkurangnya kandungan air di nukleus pulposus, sehingga proteoglikannya juga berkurang. Pada stadium II (instability) terjadinya penyempitan ruang diskus akan mengakibatkan struktur ligamen menjadi lemah, terbentuknya vertebral osteofit dari periosteum junction antara tulang dan tulang rawan. Instability ini juga akan mempengaruhi stabilitas facet joint. Pada stadium III (stability), functional spine unit akan melakukan usaha-usaha stabilisasi dengan jalan menyempitnya diskus intervertebralis, fibrosis ligamen, terbentuknya osteofit, subluksasi facet joint dan fibrosis kapsul sendi (Wong, 2007). Proses degenerasi pada tulang belakang diduga diawali dengan adanya degenerasi diskus. Degenerasi diskus ini mengakibatkan ketidakstabilan segmental yang meningkatkan beban pada facet joint dan menyebabkan kerusakan pada tulang rawan sendi.
! !
16
!
2.3!Estrogen, Kartilago dan Osteoarthritis Peran estrogen pada osteoarthritis pertama kali diungkapkan 75 tahun yang lalu oleh Cecil dan Archer, yang menggambarkan arthritis pada menopause sebagai perkembangan cepat pada osteoarthritis tangan dan lutut yang terjadi setelah berhentinya menstruasi. Hal ini didukung data epidemiologis adanya hubungan penurunan estrogen dengan perkembangan osteoarthritis pada usia yang prevalensinya meningkat pada usia di atas 50 tahun (Richette et al., 2003). Studi prevalensi osteoarthritis pada wanita post menopause dengan dan tanpa hormone replacement therapy (HRT) menunjukkan bukti yang kuat adanya manfaat estrogen pada osteoarthritis. Identifikasi 2 reseptor estrogen ERα dan ERβ pada kondrosit membuktikan bahwa kartilago sensitif terhadap estrogen. Beberapa studi in vivo dan in vitro menunjukkan bahwa kondrosit merespon estrogen dan adanya mekanisme bahwa estrogen mempengaruhi metabolisme kondrosit (Richette et al., 2003). Reseptor estrogen merupakan protein nukleus yang termasuk dalam family reseptor steroid. Setelah aktivasi ligand, mereka berperan sebagai faktor transkripsi. Estradiol mengikat sitosol pada palindromic reseptor element (ERE) yang tampak pada gen promotor target, dengan demikian terjadi aktivasi dan inhibisi transaktivasi gen. Adanya variasi fungsional ERα dan ERβ membuat pembelahan gen alternatif, melibatkan koaktivator transkripsi (CBP, SRC-1 dan SMRT) dan kemampuan reseptor estrogen untuk membentuk heterodimer ERα dan ERβ menambahkan regulasi lebih lanjut. Efek estrogen non nuclear meningkatkan kompleksitas mekanisme kerjanya. Banyak ligand, termasuk
! !
17
!
estrogen fisiologis (17β estradiol) dan anti estrogen, memiliki afinitas yang mirip dengan kedua reseptor tersebut (Richette et al., 2003). Identifikasi dua reseptor pada sendi dan cartilage growth plate pada berbagai spesies termasuk manusia, memberikan bukti kuat bahwa kartilago bereaksi terhadap estrogen. Studi immunohistokimia mendeteksi ERβ pada kondrosit growth plate yang hipertropi pada manusia. Transkripsi dari kedua reseptor ini telah diidentifikasi pada kondrosit dari hip dan lutut dengan osteoarthritis, mendukung hipotesis bahwa kartilago pada osteoarthritis responsif terhadap estrogen (Richette et al., 2003). Pada studi in vivo pada binatang, injeksi estrogen intra artikular memiliki dosis dependen; dosis suprafisiologis 17β estradiol menginduksi osteoarthritis secara histologis, dimana jika menggunakan dosis rendah tidak berefek. Chandler dan Desa (1991) dalam studinya mengenai kartilago, menunjukkan menurunnya ketahanan terhadap kompresi setelah oovorectomy, kecuali saat HRT telah diberikan. Pada percobaan secara in vivo pada tikus dengan oovorectomy, penggantian estrogen mencegah kerusakan kartilago yang disebabkan interleukin1β (Richette et al., 2003). Efek berlawanan estrogen pada kartilago tergantung pada 2 faktor utama yaitu dosis estrogen dan usia pasien. Estradiol memiliki efek menguntungkan pada dosis fisiologis dan merugikan pada dosis yang lebih tinggi. Identifikasi reseptor estrogen α dan β pada kartilago normal dan osteoarthritis, dan efek 17β estradiol pada kartilago binatang secara in vivo dan in vitro menegaskan bahwa kartilago berespon terhadap estrogen. Respon ini sifatnya dose dependent; dosis fisiologis
! !
18
!
(seperti HRT) bersifat protektif dan dosis lebih tinggi sifatnya merugikan. Pada wanita post menopause, estrogen dapat menurunkan kecepatan remodelling tulang subkondral yang merupakan faktor kunci patofisiologi osteoarthritis. Selanjutnya ekspresi reseptor estrogen ditunjukkan pada sinoviosit, dimana merupakan target yang mungkin bagi estrogen untuk memberikan efek pada sendi.
Gambar 2.2 Osteoartritis lumbal (Bohinski,!Ryan,!2013)! ! 2.4!Biomarker COMP Cartilage Oligomeric Matrix Protein (COMP) yang disebut juga thrombospondin 5 adalah suatu homopentamer glikoprotein non kolagen dari matiks ekstraseluler, merupakan anggota family trombospondin dengan berat molekul 524 kDa (Tseng dkk, 2009). Cartilage oligomeric matrix protein terutama diproduksi oleh kartilago sendi. Selain oleh fibroblas dalam synovium, tendon, ligamen, meniskus, otot polos pembuluh darah dan corpus vitreus bola mata. Cartilage oligomeric matrix protein tersusun oleh 5 sub unit yang identik, masing – masing dengan domain EGF like dan calcium bending thrombospondin
! !
19
!
like (Mobasheri dan Henrotin, 2008). Domain karboksiterminal globular dari COMP terikat pada kolagen tipe I, II dan IX. Pada ujung aminoterminal, lima untai molekul bersama–sama membentuk suatu domain coiled yang berperan dalam penyimpanan dan pendistribusian molekul signaling sel yang hidrofobik, seperti vitamin D (Jordan, 2004). Sebagai biomarker konsentrasi COMP pada cairan sinovial ataupun dalam serum dapat digunakan sebagai indikator awal adanya kelainan pada pemeriksaan radiologis (Dragomir et al, 2002; Sharif et al, 2004). Demikian pula COMP sangat sensitif untuk mendeteksi dini terjadinya prematur OA pada penderita yang secara genetik menderita OA (Bleasel et al, 1999; William et al, 2006). Sampai saat ini fungsi COMP belum diketahui dengan pasti. Namun demikian COMP dinyatakan berperan pada osifikasi endokondral, pembentukan dan stabilisasi matriks ekstrasel melalui interaksi dengan fibril kolagen dan fibronektin. Di samping itu, cartilage oligomeric matrix protein juga menjadi mediator interaksi antara kondrosit dan matriks ekstrasel tulang rawan melalui interaksi dengan reseptor–reseptor integrin di permukaan sel (Mobasheri dan Henrotin, 2008). Cartilage oligomeric matrix protein (COMP) juga berperan sebagai katalis dalam fibrilogenesis kolagen tipe I dan II (Hallasz et al, 2007). Oleh karena COMP berikatan dengan agreccan, diduga COMP berperan juga sebagai
mediator
interaksi
berbagai
molekul
matriks
ekstrasel
dalam
mengorganisasikan matriks tulang rawan untuk mempertahankan fungsinya sebagai penyangga beban (Chen et al, 2007).
! !
20
!
Cartilage oligomeric matrix protein (COMP) dapat mempertahankan integritas struktural dari kartilago melalui interaksi dengan berbagai protein matriks ekstraseluler. Melalui interaksi dengan integrin, COMP dapat membantu dalam perlekatan dari kondrosit kepada cell culture dishes. Cartilage oligomeric matrix protein ini dapat menghambat proliferasi sel serta juga meningkatkan chondrogenesis. Selanjutnya, dengan meningkatkan survival protein, COMP bisa melindungi kondrosit dari kematian sel. Cartilage oligomeric matrix protein mempunyai tempat berikatan yang unik untuk vitamin D, yang mengindikasikan kemungkinan juga berperan dalam penyimpanan dan penghantaran cell-signaling molecules. ! 2.5! Sitokin Degenerasi tulang belakang pada daerah lumbal yang melibatkan three joint complex, selalu diawali dengan degenerasi pada diskus intervertebralis, yang ditandai dengan penyempitan diskus intervertebralis, terbentuknya osteofit dan degenerasi pada facet joint. Ketiga komponen ini saling mempengaruhi dan menimbulkan keluhan nyeri pinggang. Berbagai faktor diduga menjadi penyebab terjadinya nyeri pinggang antara lain: beban mekanik, usia, hormonal dan terjadinya proses inflamasi. Pada reaksi inflamasi banyak substansi berupa hormon dan faktor pertumbuhan yang dilepaskan oleh limfosit T dan B maupun oleh sel–sel lain yang berfungsi sebagai sinyal interseluler yang mengatur aktifitas sel yang terlibat dalam respon imun dan respon inflamasi baik lokal maupun sistemik terhadap
! !
21
!
rangsangan dari luar. Substansi ini secara umum disebut sitokin. Substansi yang dilepaskan oleh limfosit disebut limfokin sedangkan yang dilepaskan oleh monosit disebut monokin. Sitokin ini berperan dalam pengendalian hemopoesis dan limfopoesis dan juga berfungsi dalam mengendalikan respon imun dan reaksi inflamasi dengan cara mengatur pertumbuhan, serta mobilitas dan diferensiasi leukosit maupun sel– sel lain. Pada reaksi inflamasi, sitokin yang berperan menstimuli terjadinya inflamasi pada sendi dikenal sebagai sitokin pro inflamasi misalnya TNF-α dan IL-6. Sedangkan sitokin yang berperan sebagai faktor penghambat sintesis disebut sitokin anti inflamasi misalnya IL-10.
2.5.1 Sifat umum sitokin Sitokin adalah polipeptida yang diproduksi sebagai respon terhadap mikroba dan antigen lain yang memperantarai dan mengatur reaksi imunologi dan reaksi inflamasi (Abbas et al, 2007). Setiap jenis sitokin mempunyai struktur yang berbeda satu dengan yang lainnya, walaupun demikian ada beberapa sifat umum yang dimiliki bersama yaitu: (Abbas et al, 2007; Oppenheim et al, 1991) 1.! Sekresi sitokin terjadi singkat dan tidak pernah disimpan sebagai molekul yang preformed dan sintesisnya biasanya diawali dengan transkripsi gen yang terjadi akibat stimulasi. Segera setelah disintesis sitokin dengan cepat disekresikan dan menghasilkan aktivitas yang diperlukan. 2.! Aktivitas sitokin seringkali pleiotropic dan redundant. Pleiotropic berarti kemampuan satu jenis sitokin untuk merangsang berbagai jenis sel yang
! !
22
!
berbeda. Sedangkan redundant berarti banyak sitokin yang menghasilkan efek fungsional yang sama. 3.! Sitokin sering mempengaruhi sintesis dan aktivitas sitokin lainnya. 4.! Aktivitas sitokin dapat lokal maupun sistemik. Sebagian besar sitokin bereaksi dekat dengan tempatnya diproduksi, bila dalam sel yang memproduksinya disebut autocrine reaction, bila bereaksi pada sel yang berdekatan disebut paracrine reaction, dan bila diproduksi dalam jumlah yang banyak, masuk kedalam sirkulasi dan bekerja sistemik disebut endocrine reaction. 5.! Sitokin merupakan mediator respon imun yang sangat poten dan mampu berinteraksi dengan reseptor pada permukaan sel. 6.! Sinyal eksternal mengatur ekspresi reseptor sitokin, sehingga juga mengatur respon sel terhadap sitokin. 7.! Respon selular terhadap sebagian besar sitokin terdiri atas perubahan ekspresi gen pada sel sasaran yang berakibat ekspresi fungsi baru atau proliferasi sel sasaran. 8.! Respon seluler terhadap sitokin diatur secara ketat dan ada mekanisme umpan balik untuk menghambat dan menekan respon imun tersebut. Sitokin merupakan messenger kimia atau perantara dalam komunikasi interseluler yang sangat poten, aktif pada kadar yang sangat rendah (10-10 – 10-15 mol/L dapat merangsang sel sasaran) (Karnen, 2000). Seperti halnya hormon polipeptida, sitokin mengawali aksinya dengan berikatan dengan reseptor sitokin pada membran sel sasaran dengan afinitas yang sangat tinggi.
! !
23
!
2.5.2 Fungsi Sitokin Berdasarkan aktivitas biologik yang utama, sitokin dapat diklasifikasikan dalam 3 kelompok fungsional: (Abbas et al, 2007) 1.! Mediator dan regulator imunitas bawaan. Kelompok sitokin ini terutama diproduksi oleh fagosit mononuklear sebagai respon terhadap agen infeksi. Sebagian besar sitokin kelompok ini bekerja pada sel endotel dan leukosit untuk merangsang reaksi inflamasi dini dan sebagian lagi untuk mengontrol respon ini. 2.! Mediator dan regulator imunitas didapat. Diproduksi terutama oleh limfosit T sebagai respon terhadap pengenalan spesifik antigen asing, berfungsi terutama untuk mengatur pertumbuhan dan diferensiasi berbagai populasi limfosit. Di samping itu juga berfungsi merekrut, mengaktivasi dan mengatur sel – sel efektor spesifik seperti fagosit mononuklear, neutrophil dan eosinophil untuk mengeliminasi antigen pada fase respon imun didapat. 3.! Stimulator hemopoesis. Sitokin ini diproduksi oleh sel – sel stroma dalam sumsum tulang, leukosit dan sel – sel lain dan merangsang pertumbuhan dan diferensiasi leukosit imatur. Banyak sitokin yang telah teridentifikasi, baik struktur molekul maupun fungsinya, beberapa di antaranya merupakan mediator utama yang meningkatkan reaksi imunologik yang melibatkan makrofag, limfosit dan sel-sel lain. Sehingga berfungsi sebagai imunoregulator spesifik maupun non spesifik. Mediator-
! !
24
!
mediator tersebut ternyata mempunyai sifat biokimia dan sifat biologik serta fungsi yang serupa dan kemudian diberi nama Interleukin yang berarti adanya komunikasi antar sel. Sampai saat ini telah ditemukan berbagai jenis interleukin yaitu IL-1 hingga IL-35.
2.5.3! Sitokin IL-6 Interleukin-6 dahulu dikenal dengan sebagai IFN-β2, hepatocyte stimulating factor dan plasmacytoma growth factor merupakan sitokin yang berfungsi pada imunitas bawaan maupun didapat. Interleukin-6 dibentuk oleh banyak sel dan mempengaruhi banyak sasaran. Sumber utama dari IL-6 adalah makrofag dan limfosit di daerah inflamasi. Interleukin-6 dapat juga diproduksi oleh sel tulang di bawah pengaruh hormon osteotropik (PTH, 1,25-dihidroksi vitamin D3) dan Interleukin-1 (Feyen et al. dalam Mundy, 1995). Selain berperan dalam proses imunologi dan inflamasi, IL-6 juga berperan penting dalam metabolisme tulang melalui induksi osteoklastogenesis dan merangsang aktifitas osteoklas (Keller, 1996). Interleukin-6 meningkatkan pembentukan sel osteoklas, terutama apabila kadar hormon estrogen menurun (Roitt et al., 1998). Interleukin-6 menstimulasi pembentukan prekursor osteoklas dari unit pembentuk koloni granulosit makrofag dan meningkatkan jumlah osteoklas in vivo, yang menyebabkan peningkatan resorpsi tulang, yang berkontribusi pada perubahan spondiloarthrosis dan degenerasi diskus intervertebralis (Holm et al., 2012). Demikian pula Keller, Harman dan Ershler (2002) menemukan peningkatan IL-6 pada penuaan dan penderita menopause. Sehingga diduga bahwa IL-6 merupakan salah satu sitokin
! !
25
!
yang memegang peranan penting dalam proses penyerapan tulang, melalui pengaruh aktivitas sel osteoklas, termasuk pada tulang subkondral.
2.5.4!
Sitokin IL-10
Interleukin-10 yang sebelumnya dikenal sebagai cytokine synthesis inhibitory factor dikenal juga sebagai anti inflamasi dan sitokin imunosupresif. Interleukin10 dapat diproduksi selain dari sel T regulator, dengan sejumlah besar sel-sel lain termasuk makrofag. Interleukin-10 sangat ampuh dalam menekan makrofag untuk melepaskan TNF-α. Meningkatnya kadar IL-10 didahului oleh meningkatnya sitokin pro inflamasi (TNF-α, IL-1, IL-6 dan GM-CSF). Sitokin IL-10 merupakan komponen dari T helper (Th) yang berfungsi untuk menentukan bagian spesifik dari sel Th: Th0, Th1 dan Th2. Bagian-bagian ini telah dapat dibedakan dengan jelas pada tikus dimana IL-10 disintesis oleh Th2. Prekursor dari IL-10 memproduksi IL-2, IFN-γ, IL-4 dan IL-10. Penelitian yang dilakukan pada manusia menunjukkan bahwa kadar IL-10 yang tinggi bekerja antagonis terhadap respon inflamasi. Fungsi dari sel T diregulasi oleh IL-10. Efek dari IL-10 adalah melemahkan respon selular dari Th1 dan memperkuat respon humoral dari Th2. Interleukin-10 menghambat IFN-γ yang diproduksi oleh sel Th1. Efek inhibisi ini terjadi secara tidak langsung dan merupakan hasil dari beberapa mekanisme tertentu. Yang pertama yaitu bahwa IL-10 menghambat ekspresi dari HLA-DR pada antigen presenting cell (APC), sehingga menghalangi aktivasi dari sel T yang dimediasi oleh antigen. Interleukin-10 juga menghambat ekspresi dari ICAM-1, CD8 dan CD86 pada
! !
26
!
permukaan APC, sehingga menurunkan aktifitas ko-stimulator. Mekanisme lainnya yaitu IL-10 menghambat IL-12 yang dikendalikan oleh respon selular dari Th1 dengan cara menurunkan transkripsi subunit p40 dari reseptor IL-12 (Clair, 1999). Interleukin-10 juga berperan meningkatkan sel Th2 yang memediasi imunitas humoral dengan menstimulasi pertumbuhan dan diferensiasi dari sel B. Dalam kultur yang diteliti, sel B diaktivasi oleh IL-10 dan kemudian berdiferensiasi menjadi sel yang mensekresi antibodi dan berubah menjadi IgA, IgG1 dan IgE. Interleukin-10 juga memperkuat produksi dari IgG4. Lama hidup dari sel B dapat diperpanjang oleh IL-10 melalui induksi protein bcl (Clair, 1999). Ada dua fungsi utama IL-10 adalah menghambat produksi beberapa jenis sitokin (TNF, IL-1, chemokine dan IL-12) dan menghambat fungsi makrofag dan sel dendritik dalam membantu aktivasi sel T, sehingga bersifat immunosupresi. Hambatan fungsi makrofag terjadi karena IL -10 menekan ekspresi molekul MHC kelas II pada makrofag, dan mengurangi ekspresi ko-stimulator (a.l. B7-1 dan B72). Dampak akhir dari aktifitas IL-10 adalah hambatan reaksi inflamasi non spesifik maupun spesifik yang diperantarai sel T, karena itu IL-10 juga disebut cytokine synthesis inhibitory factor dan sitokin anti inflamasi (Kresno, 2001). Sel nukleus pulposus yang diturunkan secara spontan memproduksi dan menghasilkan IL-6 dan IL-10, tapi tidak pada TNF-α ke dalam media kultur. Stimulasi lipopolisakarida pro inflamasi meningkatkan IL-6 75 kali lipat dan meningkatkan IL-10 150 kali lipat, tapi tidak ada TNF-α terdeteksi setelah stimulasi, meskipun beberapa sitokin lain (IL-1, GM CSF) diinduksi (Holm et al., 2012).
! !
27
!
Proses inflamasi yang terjadi pada osteoarthritis lumbal adalah proses inflamasi kronik yang melibatkan peran sitokin, baik sitokin pro inflamasi seperti TNF-α, dan IL-6, maupun sitokin anti inflamasi seperti IL-1ra atau IL-10. Dengan demikian tampaknya sitokin bekerja dengan berinteraksi secara kompleks.
2.6 Inflamasi dan Respon Nyeri Degenerasi tulang belakang pada daerah lumbal yang melibatkan three joint complex, tidak terlepas kaitannya dengan biomekanik terutama dalam physiologic load. Pada proses degenerasi diskus akan terjadi penurunan jumlah cairan pada nukleus pulposus yang memicu terjadinya robekan pada annulus fibrosus. Robekan pada annulus fibrosus memicu pertumbuhan pembuluh darah baru dan nociceptor pada bagian luar dan dalam annulus. Stimulasi dari nociceptor dan stimulasi sitokin inflamasi akan menyebabkan hiperalgesia yang sering terjadi pada nyeri pinggang bawah. Mediator inflamasi memicu adanya nyeri melalui jalur biokimia. Adapun mediator yang terlibat antara lain IFN-γ, IL-1β, dan TNF-α. Produksi IL-6 juga meningkat secara signifikan oleh stimulasi dengan TNF-α. Pada kartilago sendi manusia, IL-6 menghambat sintesis proteoglikan, yang secara normal menjaga hidrasi nukleus pulposus dan mencegah pertumbuhan dari pembuluh darah (Dugan, 2013).
! !
28
!
Gambar 2.3 Peran Sitokin pada Respon Nyeri. Keratinosit dan fibroblast dalam kulit membuat, menyimpan dan melepaskan bentuk prekursor dari IL-1 (pro IL-1). Kerusakan kulit membuat sel mast yang berada dalam kulit akan bergabung dengan sel mast yang lainnya melakukan migrasi ke area trauma. Sel mast ini melepaskan TNF, IL-1, IL-6 dan chymase. Chymase berperan utk membelah dan mengaktifkan pro IL-1 menjadi aktif. IL-1 berikatan dengan saraf perifer terminal, menyebabkan aktivasi neural dan lepasnya Substance P. Aktivasi neural ini berikutnya akan menyebabkan aktivasi CNS, menyebabkan hiperalgesia dan respon nyeri lainnya. Substance P yang dilepaskan dari saraf terminal ke kulit akan menginisiasi positive feedback loop, dimana Substance P akan menstimulasi sel mast dan makrofag untuk melepaskan lebih banyak lagi IL-1, TNF, IL-6 dan chymase (Watkin, 1995). Peran imunitas dalam osteoarthritis jauh lebih kompleks daripada hanya sel mast. Substance P juga mempromosikan kemotaksis dari sel imun ke dalam sendi, mengaktifkan neutrophil, sinoviosit dan makrofag, menstimulasi proliferasi limfosit, menginduksi lepasnya sitokin proinflamasi dan menstimulasi fagositosis. Sitokin TNF, IL-1 dan IL-6 diproduksi oleh makrofag, sinoviosit, sel mast, endotel, fibroblast dan kondrosit dalam sendi. Sitokin pro inflamasi ini menstimulasi kondrosit, osteoklas, osteoblast, fibroblast, dan sinoviosit. Hal ini
! !
29
!
yang menyebabkan pertumbuhan berlebihan dari sinovium dan proliferasi fibroblast, produksi berlebihan dari enzim yang mendegradasi jaringan penghubung yang berasal dari sinoviosit, fibroblast dan kondrosit, produksi berlebihan dari prostaglandin oleh fibroblast dan resorbsi berlebihan dari kalsium oleh sel tulang (Watkins, 1995). Degenerasi diskus intervertebralis akan mengakibatkan perubahan yang signifikan pada diskus dimana akan terjadi penurunan jumlah cairan pada nukleus pulposus yang memicu terjadinya robekan pada annulus fibrosus. Robekan pada annulus fibrosus memicu pertumbuhan pembuluh darah baru dan nociceptor pada bagian luar dan dalam annulus. Stimulasi dari nociceptor dan stimulasi sitokin inflamasi akan menyebabkan hiperalgesia yang sering terjadi pada nyeri pinggang bawah (Nilesh B.P., 2010). Sistem saraf untuk nosisepsi akan memberitahu otak terhadap rangsangan sensorik yang berbahaya dan tidak berbahaya secara terpisah. Berdasarkan serabut sarafnya, klasifikasi nociceptor ada 2 tipe yaitu serabut C (C fiber) dengan diameter lebih kecil, yang merupakan saraf tanpa myelin yang menginduksikan impuls saraf secara perlahan dan serabut Aδ (Aδ fiber) dengan diameter lebih besar, bermyelin yang menghantarkan impuls saraf lebih cepat. Sensasi nyeri ada 2 kategori yaitu epritic (di awal cepat dan tajam), dan protopathic (lambat, tumpul dan bertahan lama). Impuls cepat pada konduksi cepat dari serabut Aδ menghasilkan sensasi nyeri tajam dan cepat, sedangkan nosiseptor serabut C yang lambat menghasilkan sensasi nyeri yang tertunda dan tumpul. Aktivasi perifer dari nociceptor (transduksi) dimodulasi oleh sejumlah zat kimia, yang dihasilkan atau
! !
30
!
dilepaskan ketika ada kerusakan sel (Tabel 2.1). Stimulasi yang berulang akan menyebabkan sensitisasi dari serabut saraf perifer yang menyebabkan menurunnya ambang batas rasa sakit dan nyeri spontan (Nilesh B.P., 2010). Pelepasan substasi kimia secara lokal seperti substance–P menyebabkan vasodilatasi dan edema serta melepaskan histamin dari sel mast, yang menyebabkan meningkatnya vasodilatasi. Kompleks sinyal kimia ini melindungi darah yang rusak dengan menghasilkan suatu keadaan yang membuat area tersebut jauh dari stimulus mekanis atau lainnya.
Tabel 2.1 Substansi kimia yang dilepaskan pada stimulus kerusakan jaringan Substansi
Sumber Sel yang rusak Trombosit Plasma Sel Mast Sel yang rusak Sel yang rusak Afferen primer saraf
Kalium Serotonin Bradikinin Histamin Prostaglandin Leukotrin Substance- P
Dorongan penyembuhan serta proteksi terhadap infeksi dibantu oleh peningkatan aliran darah dan inflamasi yang merupakan fungsi protektif dari nyeri (Nilesh B.P., 2010).
! !
31
!
Gambar 2.4. Beberapa substansi kimia yang dilepaskan pada kerusakan jaringan yang menstimulasi nociceptor (Nilesh B.P., 2010). Menurut Nilesh B.P. (2010), sensasi rasa nyeri dapat timbul karena adanya: 1)! Peradangan saraf, misalnya neuritis temporal. 2)! Cedera pada saraf dan ujung saraf dengan pembentukan bekas luka, misalnya kerusakan bedah atau prolaps diskus. 3)! Invasi ke saraf oleh kanker, misalnya, plexopathy brakialis. 4)! Cidera pada struktur di sumsum tulang belakang, thalamus, atau daerah kortikal yang memproses informasi nyeri, yang dapat menyebabkan rasa sakit keras; deafferentation, misalnya, trauma tulang belakang. 5)! Aktivitas abnormal di sirkuit saraf yang dirasakan sebagai nyeri, misalnya, nyeri phantom dengan reorganisasi kortikal.
! !
32
!
Gambar 2.5. Jalur nyeri dari perifer menuju ke otak (Mello dan Dickenson, 2008).
Pada jalur nyeri perifer ke otak, serabut aferen primer (serabut Ab-, Ad-, dan C-) mengirimkan impuls dari perifer, melalui dorsal root ganglion (DRG) dan ke kornu dorsal sumsum tulang belakang. Nosiseptif Spesifik (NS) sel terutama ditemukan di kornu dorsal superfisial (Lamina I-II), sedangkan yang kebanyakan wide dynamic ranges (WDRs) terletak lebih dalam (lamina V). Proyeksi neuron dari lamina I menginervasi daerah seperti daerah parabrachial (PB) dan
! !
33
!
periaqueductal gray matter (PAG) dan jalur tersebut dipengaruhi oleh daerah limbik. Dari jalur sini turun (panah kuning) dari inti batang otak seperti medula ventromedial rostral (RVM) diaktifkan dan memodulasi pengolahan pada tulang belakang. Neuron lamina V terutama memproyeksi ke thalamus (traktus spinotalamikus), dan dari sini berbagai daerah korteks yang membentuk matriks nyeri (primer dan sekunder somatosensori, insular, anterior cingulate, dan korteks prefrontal) diaktifkan (Mello dan Dickenson, 2008). Setelah cedera saraf atau inflamasi kronis, sel imun (makrofag dan limfosit T) migrasi dari pembuluh darah ke jaringan inflamasi dari proses ekstravasasi dan kemotaksis yang dikontrol oleh kemokin (Gambar 2.6). Sel imun mengeluarkan sitokin pro inflamasi (TNF-α), interleukin-1 (IL-1) dan interleukin-6 (IL-6) dan kemokin yang menginisiasi dan menjaga pesan berbahaya (noxious). Selanjutnya, peptide opioid (lingkaran hijau) yang dihasilkan dari sel imun yang teraktivasi memberi efek antinosiseptif, melalui aktivasi dari reseptor peripheral, yang disintesis (seperti reseptor kemokin) pada ganglion akar dorsal (Parsadaniantz et al, 2015).
! !
34
!
Gambar 2.6. Potensi crosstalk antara reseptor kemokin dan reseptor opioid di jalur nociceptive (Parsadaniantz et al, 2015)
Pada ganglion akar dorsal, reseptor kemokin dan reseptor opioid coexpressed pada subpopulasi neuron sensori. Saat nyeri, kemokin disekresi oleh terminal aferen utama, dan dalam aksi ini sebuah otokrin atau parakrin menginduksi keluarnya calcitonin gene-related peptide (CGRP), Substance-P (SP) dan glutamate (Glu). Kemokin yang dilepaskan juga berpartisipasi dalam aktivasi neuran lini kedua pada medulla spinalis dorsal. Sebagai tambahan, interneuron yang teraktivasi mengeluarkan opioid endogen, yang kemudian memediasi analgesia dengan menghambat pelepasan SP, CGRP dan Glu dari terminal aferen utama, dan dengan hiperpolarisasi (melalui efflux K+) dari neuron lini kedua. Pesan berbahaya yang naik kemudian diintegrasi di daerah otak bagian ! !
35
!
atas (thalamus, korteks cingulate anterior, basal ganglia dan amygdale). Sebagai gantinya, aktivitas yang terkoordinasi dari struktur sentral memodulasi sinyal nociceptive pada neuron aferen primer lini kedua yang bersinapsis melalui pelepasan opioid endogen dari proyeksi analgesik desenden dari periaqueductual grey (PAG) dan rostral ventromedial medulla (RVM) menuju cornu dorsal spinalis serta memodulasi transient receptor potential subfamily V member I (TRPV) (Parsadaniantz et al, 2015). Cedera pada diskus intervertebralis dapat menginduksi sel diskus memproduksi mediator inflamasi: IL-1β, dan TNF-α. Interleukin-1β adalah sitokin utama yang bertanggung jawab memperluas respon inflamasi dari diskus, dan telah ditunjukkan bahwa peningkatan dari level IL-1β meningkat sesuai dengan keparahan degenerasi diskus. Selain itu IL-1β juga menginduksi Nitrit Oksida (NO), Interleukin-6 (IL-6) dan Prostaglandin E2 (PGF2) yang nantinya akan mempercepat kaskade inflamasi (Gambar 2.3).
↗!IL-6
Cedera diskus
↗!IL/1β!
↗!TNFα !
↗!NGF ↗!BNP
↗ MMP dan ADAMTs
↗ Aktivasi makrofag
!
↗ VEGF ↗ BNP
Neuralisasi diskus
Proteoglikan
Vaskularisasi diskus
Gambar 2.7. Respon inflamasi terhadap degenerasi diskus (Dugan, 2013)
! !
36
!
Penilaian terhadap nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai instrumen. Secara tradisional, terdapat 3 metode yang digunakan dalam pengukuran intensitas nyeri yaitu visual analogue scales (VASs), verbal rating scales (VRSs) dan numerical rating scales (NRSs). Untuk mempermudah penilaian dan mengevaluasi pengalaman nyeri secara individu, maka digunakan VAS yang dimodifikasi dengan graphic rating scale sesuai dengan gambar 2.8 (Mannion et al, 2007; Frey-Law et al, 2013). Menurut Bijur et al (2001), penggunaan VAS untuk menilai nyeri akut memiliki reliabilitas dan validitas yang tinggi dengan skor interclass correlation coefficients (ICCs) 0,97 (95% CI=0,96 – 0,98). Selain itu, Hawker et al (2011) pada studinya tentang pengukuran nyeri menunjukkan reliabilitas test-retest yang tinggi (r=0,94, p <0,001), validitas yang tinggi dengan korelasi 0,99. Di samping itu, penggunaan VAS pada penyakit degenerasi sendi menunjukkan sensitivitas terhadap perubahan nyeri (p= 0,001). Hal ini mengindikasikan penggunaan VAS sebagai alat ukur nyeri akut yang cukup baik terutama pada nyeri degeneratif sendi. Skala penilaian nyeri yang berdasarkan keluhan pasien yang dikonversikan ke dalam suatu garis ambang nyeri sepanjang 100 mm dengan rentang nilai 0 – 10. Skala analog visual (VAS) terdiri dari garis, sepanjang 100 mm, yang ujungnya diberi label sebagai ekstrem (tidak ada rasa sakit dan sakit yang berat). Pasien diminta untuk memberi tanda pada garis yang menunjukkan intensitas nyeri mereka (pada saat ini, selama seminggu terakhir, atau lebih dari masa 2 minggu lalu, dll). Jarak antara yang ditandai dan asalnya diukur untuk
! !
37
!
memperoleh skor pasien. Kadang-kadang istilah deskriptif seperti ringan, sedang dan berat, atau nomor juga disediakan sepanjang skala, seperti yang ditunjukkan di bawah ini, dan skala tersebut kemudian disebut graphic rating scale (Mannion et al, 2007; Hawker et al, 2011). Penilaian nyeri menggunakan VAS dikerjakan oleh responden langsung. Responden diperintahkan untuk meletakkan sebuah garis tegak lurus dengan garis VAS pada titik intensitas nyeri yang mereka rasakan. Skor nyeri ditentukan dengan pengukuran jarak (mm) pada garis sepanjang 10 cm antara titik tanpa nyeri (no pain) ke titik intensitas nyeri yang responden rasakan. Skor kemudian diinterpretasikan menjadi no pain (0-4 mm), mild pain (5-44 mm), moderate pain (45-74 mm) dan severe pain (75-100 mm) (Hawker et al, 2011). Menurut Boonstra et al (2014), nilai skor VAS dapat digambarkan pada pasien dengan keluhan nyeri muskuloskeletal sebagai nyeri yang ringan (mild), sedang (moderate) dan berat (severe). Studi tersebut menemukan beberapa cut-off point skor VAS yang berkorespondensi dengan derajat nyeri dan dianalisis dengan multivariate analysis of variance (MANOVA). Skor VAS < 3,4 berkorespondensi dengan nyeri ringan (mild), skor VAS 3,5 – 6,4 berkorespondensi dengan nyeri sedang (moderate) dan skor VAS > 6,5 berkorespondensi dengan nyeri berat (severe). Frey-Law et al (2013) melakukan studi tentang skema rating nyeri dengan menilai VAS pada beberapa kategori severitas nyeri, dan kondisi nyerinya. Pada studi kohort tersebut disebutkan bahwa nyeri ringan (mild) memiliki percentile range 5th-95th sebesar 1,1 – 5,0 dan >5,0 untuk kategori sedang (moderate) dan
! !
38
!
berat (severe). Untuk kategori kondisi, nyeri otot memiliki rating nyeri ringan, sedangkan nyeri pada persendian memiliki rating nyeri yang lebih tinggi mulai dari sedang sampai berat. Hal ini menunjukkan bahwa nyeri pada sendi memiliki kategori kondisi nyeri yang bervariasi dengan nilai VAS > 5,0.
Gambar 2.8 Visual Analogue Scale (Mannion et al, 2007)
2.7 Hubungan Inflamasi, Defisiensi Estrogen dengan OA Lumbal Simtomatik Inflamasi kronik dapat bermula dari inflamasi akut bila agen perusak menetap, tetapi yang lebih sering terjadi adalah bahwa respon inflamasi itu merupakan respon inflamasi kronik sejak awal. Berbeda dengan perubahan atau kerusakan vaskuler luas dan infiltrasi neutrofil yang tampak pada inflamasi akut, inflamasi kronik menunjukkan ciri-ciri infiltrasi jaringan dengan sel-sel monokuler seperti makrofag, limfosit dan sel plasma disertai dengan destruksi jaringan. Makrofag merupakan pemain kunci dari respons inflamasi kronik. Hal ini disebabkan oleh banyaknya produk bioaktif atau mediator yang dilepaskannya. Mediator-mediator ini merupakan bagian dari sistem pertahanan tubuh yang sangat kuat terhadap invasi benda asing dan kerusakan jaringan. Yang merugikan
! !
39
!
adalah bahwa aktivasi makrofag secara terus menerus dapat berakibat kerusakan jaringan berkelanjutan (Kresno, 2001). Mekanisme yang mengatur transisi rekrutmen neutrofil ke rekrutmen monosit selama transformasi dari inflamasi akut ke inflamasi kronik belum diketahui. Ada kemungkinan bahwa IL-6 dan reseptor IL-6 terlarut (sIL-6R) memegang peran penting pada transisi ini (Gabay, 2006). Osteoarthritis lumbal adalah terjadinya degenerasi tulang rawan yang melibatkan three joint complex lumbal yang ditandai dengan penyempitan diskus intervertebralis, terbentuknya vertebral osteofit dan terjadinya osteoarthritis pada facet joint. Ketiga kondisi patologis ini dapat terjadi oleh karena beban stress mekanik oleh karena peningkatan berat badan, bertambahnya usia yang akan mengakibatkan makin tipisnya kartilago, maupun oleh karena terjadinya proses inflamasi. Cedera pada diskus seperti robekan pada annulus fibrosus, mengubah karakteristik histologis dari diskus. Studi histologis dari pasien dengan nyeri diskogenik menunjukkan jaringan granulasi bervaskular di sepanjang robekan annular. Jaringan bervaskular ini meluas dari bagian luar annulus, melalui bagian dalam annulus sampai ke nukleus pulposus. Jaringan granulasi yang baru mengandung peningkatan jumlah dari Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), Fibroblast Growth Factor (FGF) dan Transforming Growth Factor 1β (TGF-1β) jika dibandingkan dengan diskus yang tidak cidera. Vaskularisasi yang baru dari diskus membiarkan penghantaran dari makrofag dan sel mast sebagai sitokin inflamasi tambahan. Selain untuk aktifitas katabolik primer, makrofag juga menginduksi peningkatan ekspresi dari sitokin inflamasi terutama IL-6 dan IL-8.
! !
40
!
Sebuah jalur yang rumit menghubungkan sitokin-sitokin ini mencapai puncak progresi dari respon inflamasi dan katabolik di dalam diskus tersebut (Dugan, 2013). Ada kesepakatan bahwa estrogen tidak dapat bekerja pada jaringan target kecuali terikat pada protein spesifik, reseptor estrogen, yang sudah dikenal dalam 2 bentuk yang telah di-kloning, alpha (ERα) dan beta (ERβ). ER-α diisolasi pada 1986 dan ER-β 10 tahun kemudian pada prostat tikus. Identifikasi pada kedua reseptor ini membuat perubahan radikal pada konsep mekanisme estrogen. Reseptor estrogen merupakan protein nukleus yang termasuk dalam family reseptor steroid. Setelah aktivasi ligand, mereka berperan sebagai faktor transkripsi. Estradiol mengikat sitosol palindromic estrogen reseptor element (ERE) yang tampak pada gen promotor target, dengan demikian terjadi aktivasi atau inhibisi transaktivasi gen. Tempat ikatan lain yang telah diidentifikasi, misalnya AP-1. Adanya variasi fungsional ERα dan ERβ membuat pembelahan gen alternatif, melibatkan koaktivator transkripsi (CBP, SRC-1, dan SMRT) dan kemampuan reseptor estrogen untuk membentuk heterodimer ERα dan ERβ menambahkan regulasi lebih lanjut. Efek estrogen non nuklear meningkatkan kompleksitas mekanisme kerjanya. Banyak ligand, termasuk estrogen fisiologis (17-β estradiol) dan anti estrogen memiliki afinitas yang mirip dengan kedua reseptor (Richette et al., 2003). Identifikasi dua reseptor pada sendi dan cartilage growth plate pada berbagai spesies termasuk manusia, memberikan bukti kuat bahwa kartilago bereaksi terhadap estrogen. Beberapa studi menunjukkan bahwa ER-α diekspresikan pada
! !
41
!
sendi dan cartilage growth plate pada manusia dan spesies lain. Studi immunohistokimia mendeteksi ER-β pada kondrosit growth plate yang hipertrofi pada manusia. Estrogen bekerja melalui reseptor yang ditemukan pada kartilago, tulang, jaringan sinovial dan ligamen yang semuanya berpengaruh pada osteoarthritis. Beberapa studi melaporkan hubungan osteoarthritis dengan polymorphism pada ER-α dan ER-β. Serum estradiol yang rendah terkait dengan osteoarthritis. Apabila diambil secara bersamaan maka temuan ini menjelaskan peran estrogen dengan osteoarthritis (Richette et al., 2003). Mekanisme
tepat
menjelaskan
bagaimana
estrogen
berefek
dalam
osteoarthritis belum dapat diketahui. Di luar dari efek langsung estrogen pada kartilago, sepertinya efek estrogen pada tulang juga terkait. Estrogen diketahui berefek mengatur keseimbangan antara pembentukan tulang dan resorpsi. Perubahan tulang subkondral telah dilaporkan pada pasien dengan osteoarthritis dan model binatang dengan osteoarthritis. Telah banyak dibahas dalam studi bahwa perubahan tulang subkondral adalah etiologi penting osteoarthritis. Perubahan pada remodelling tulang subkondral dan struktur tulang sekitarnya menyebabkan perubahan pada distribusi beban. Hal ini pada akhirnya menyebabkan percepatan kerusakan kartilago. Sehingga dikatakan perubahan pada struktur tulang yang terkait penurunan estrogen berperan dalam perkembangan osteoarthritis (Sniekers et al., 2010). Kerusakan tulang rawan menyebabkan mediator kimiawi memicu adanya nyeri melalui jalur biokimia. Adapun mediator yang terlibat antara lain IFN-γ, IL1β dan TNF-α. Mediator tersebut ditemukan pada keluhan nyeri punggung bawah
! !
42
!
walaupun
dalam
pemeriksaan
radiologi
ditemukan
sedikit
kelainan.
Keseimbangan homeostatik terganggu secara signifikan oleh IL-1β sehingga jalur inhibitor dari IL-1β diharapkan untuk menghasilkan penekanan pada proses inflamasi (Dugan, 2013). Inflamasi akan menyebabkan degradasi proteoglikan dan juga kandungan air yang berkontribusi terhadap berkurangnya tinggi diskus dan kemampuan untuk mengabsorpsi tekanan. Ketika diskus intervertebralis mengabsorpsi tekanan kompresif, facet joint juga memiliki peranan penting untuk menahan beban. Beban berlebih secara kronis pada sendi facet dapat menyebabkan osteoarthritis dan osteofit dengan merusak kartilago sendi. Rangkaian ini menyebabkan peningkatan tekanan pada sendi facet yang memiliki efek pada kaskade inflamasi mengubah kartilago hyalin yang halus menjadi fibrocartilage. Fibrocartilage yang dihasilkan tidak memiliki kapasitas mekanik yang sama dan lebih sering mengalami degenerasi dengan tekanan (Dugan, 2013). Sitokin pro inflamasi IL-6 meningkatkan pembentukan sel osteoklas, terutama apabila kadar hormon estrogen menurun. Interleukin-6 menstimulasi pembentukan prekursor osteoklas dari unit pembentuk koloni granulosit makrofag dan meningkatkan jumlah osteoklas, yang menyebabkan peningkatan resorpsi tulang, yang berkontribusi pada perubahan spondiloarthrosis dan degenerasi diskus intervertebralis. Pada proses menua dan menopause ditemukan peningkatan IL-6. Sehingga diduga bahwa IL-6 merupakan salah satu sitokin yang memegang peranan penting dalam proses penyerapan tulang, melalui pengaruh aktivitas sel osteoklas, termasuk pada tulang subkondral. Produksi IL-6 juga meningkat secara
! !
43
!
signifikan oleh stimulasi dengan TNF-α. Pada kartilago sendi manusia, IL-6 menghambat sintesis proteoglikan, yang secara normal menjaga hidrasi nukleus pulposus dan mencegah pertumbuhan dari pembuluh darah. Dengan demikian akan terjadi peningkatan TNF-α dan IL-6 pada osteoarthritis lumbal. Peningkatan TNF-α dan IL-6 akan direspon oleh sitokin anti inflamasi. Interleukin-10 sangat ampuh dalam menekan makrofag untuk melepaskan TNF-α. Rendahnya IL-10 dapat sebagai indikator gagalnya IL-10 menekan produksi TNFα dan IL-6.
2.8 Hubungan COMP Serum dengan OA Lumbal Simtomatik Osteoarthritis selalu ditandai dengan destruksi kartilago dan perubahan pada tulang subkondral. Demikian pula halnya pada osteoarthritis lumbal yang melibatkan three joint complex, dimana akan terjadi destruksi kartilago pada facet joint dan tulang subkondral. Penentuan beratnya kerusakan sendi secara anatomi sangat penting untuk menentukan pemilihan terapi, sehingga kemampuan mengidentifkasi penderita dengan risiko tinggi terjadinya destruksi yang progresif sangat dibutuhkan. !!!!!!!!!Kerusakan tulang rawan dapat disebabkan oleh faktor mekanik dimana akan terjadi pelepasan antigen oleh tulang rawan sendi. Keadaan ini akan menstimulasi sistem imun, sehingga terjadi reaksi immunologis yang menyebabkan pelepasan mediator inflamasi dan protease yang bersifat destruktif yang akan memperberat kerusakan tulang rawan (Yuan et al, 2003). Kerusakan tulang rawan ini ditandai dengan meningkatnya COMP. Sebagai indikator diagnosis, COMP berkorelasi
! !
44
!
dengan keparahan penyakit. Hal ini dibuktikan dengan terdeteksinya COMP 10 kali lebih tinggi dalam cairan sinovial penderita dengan osteoarthritis. Cartilage Oligomeric Matrix Protein (COMP) meningkat secara signifikan ditemukan pada kerusakan awal dari hip joint (Wolheim et al, 1977) dan pada OA knee (Clarck et al, 1999). Demikian juga perubahan celah sendi lebih dari 3 tahun berkorelasi positif dengan tingkat serum COMP pada awal (p < 0,01) serta di akhir penelitian (p < 0,001) saat dijumlahkan untuk kedua lutut (Villim et al, 2001). Di samping oleh karena faktor mekanik, bertambahnya usia akan mengakibatkan makin tipisnya kartilago. Dilaporkan adanya korelasi tingkat COMP dengan usia, synovitis dan interaksi dari synovitis dan keparahan osteoarthritis (Villim et al, 2001). Hubungan antara COMP dan usia pasien rheumatoid arthritis dinyatakan bermakna dengan p < 0,05. Sedangkan pada pasien OA tidak ada korelasi yang ditemukan antara tingkat COMP dan lamanya penyakit yang dideritanya (Wislowska and Jablonska, 2005). Cartilage Oligomeric Matrix Protein (COMP) yang merupakan protein noncollagen pertama kali diisolasi dari kartilago extracellular matrix dan merupakan prognostic marker dari perjalanan osteoarthritis. Konsentrasi COMP dapat memprediksi beratnya kerusakan pada sendi besar, di samping itu juga dapat memprediksi menyempitnya celah sendi (Conrozier et al, 1998). Degradasi kartilago mengakibatkan terjadinya peningkatan kadar COMP dalam cairan sinovium dan dalam serum. Produksi degradasi kartilago ini akan difagositosis oleh sinovium dan menstimulasi proses inflamasi. Sel – sel sinovium
! !
45
!
akan teraktivasi dan memproduksi berbagai mediator katabolik dan pro inflamasi serta enzim proteolitik yang akan menyebabkan terjadinya kerusakan kartilago. Goode AP et al pada riset terbarunya menemukan hasil yang menarik mengenai hubungan menyempitnya diskus intervertebralis, cartilage oligomeric matrix protein (COMP) dan nyeri pinggang bawah. Di antara penderita nyeri pinggang bawah (n= 265) didapatkan hubungan positif kuat antara COMP dan penyempitan diskus intervetebralis (OR =1.82; 95% CI 1.02.3.27) yang tidak ditemukan pada pasien tanpa nyeri pinggang bawah (OR= 0.65; 95% CI 0.351.20). Oleh karena itu sangat mungkin peningkatan kadar COMP mencerminkan proses degenerasi diskus intervertebralis yang ditandai dengan penyempitan diskus intervertebralis dan gejala – gejala yang berkaitan dengan proses degenerasi ini (Goode et al., 2012)
! !