BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka Kajian terhadap mitos khususnya mitos perkawinan sumbang belum banyak dilakukan. Demikian juga halnya penelitian terhadap cerita rakyat Batak Toba, khususnya yang meneliti motif sumbang, baik yang dilakukan oleh peneliti dalam negeri maupun peneliti luar negeri. Yang bisa dicantumkan dalam bab ini adalah penelitian mitos dalam cerita rakyat suku Bayo oleh Ahimsa Putra, penelitian yang dilakukan M. Rafiek, yakni penelitian mitos dalam cerita rakyat di Kalimantan, penelitian Struktur Cerita Rakyat yang dilakukan
Razali Kasim, serta penelitian
Sumbang dalam cerita Rakyat di Indonesia yang dilakukan Will Derk. Sedangkan untuk pustaka teori adalah kumpulan teori dibawah judul Myth, A Symposium yang dikumpulkan oleh Thomas Sabeok, A Short History of Myth yang ditulis oleh Karen Amstrong dan Mythologies yang ditulis oleh Roland Barthes
2.1.1 Pustaka Teori 2.1.1.1 Myth, A Symposium oleh Thomas A. Sabeok Seperti judulnya buku Myth a Symposium ini merupakan kesimpulan pendapat beberapa ahli mengenai mitos. Boleh disimpulkan, buku ini seperti sebuah ruangan seminar di mana beberapa ahli mendiskusikan topik yang spesifik. Tulisan pertama dengan judul Myth, Symbolism and Truth ditulis oleh David Bidney. Dalam
bahagian ini digambarkan betapa persoalan mitos sudah menjadi
perhatian ahli filsafat barat sejak zaman Plato yang mencoba menerangkan hubungan
Universitas Sumatera Utara
pikiran, kebenaran filsafat dengan keyakinan tradisional dan agama. Pemikir Yunani kuno menganggap mitos sebagai allegori yang membuka kebenaran yang alamiah dan kebenaran moral. Dalam bagian ini penulis banyak membicarakan pemikir dari beberapa aliran yang memberikan pendapat tentang apakah mitos itu sebenarnya. Dari mulai penguasa Julian yang memberikan pendapat bahwa mitos adalah kebenaran yang agung dan merupakan misteri yang tersembunyi dari orang banyak dan hanya jelas bagi orang yang bijaksana, sampai dengan filsafat Neokantian yang menganggap mitos merupakan pikiran dalam bentuk yang bebas dari semangat manusia dan oleh karena itu tidak dapat direduksi menjadi kekuatan psikologis empiris yang menghasilkan produksi. Bidney menyimpulkan bahwa ahli filsafat, ahli teologi dan mahasiswa sastra yang secara umum berbicara tentang posisi mitos yang sangat penting dalam hubungannya dengan agama dan filsafat, serta antropolog dan sosiolog yang dengan sinis mengakui mitos karena fungsi sosialnya yang pragmatis, sebenarnya sedang melemahkan keyakinannya terhadap bidangnya dan memberi kontribusi secara tidak sengaja terhadap degradasi manusia dan kebudayaan yang sebenarnya sedang mereka dalami secara serius. Lebih jauh Bidney menyimpulkan bahwa mitos harus diperlakukan secara serius dan tepat untuk digunakan dalam mencari kebenaran dan perkembangan intalijensi manusia. Pemikiran yang normatif, saentifik dan kritis hanya memberikan alat mengkoreksi sendiri perlawanan terhadap diffusi mitos yang sebenarnya, yang hanya dapat dilakukan dalam kondisi dimana keyakinan sangat kuat dan tidak kompromi akan integritas akal dan kebenaran transkultural dari keberanian ilmu pengetahuan atau sains.
Universitas Sumatera Utara
Bagian kedua buku ini diberi judul The Eclips of Solar Mythology ditulis oleh Richard H. Dorson. Dalam bahagian ini dibahas mitos di sekitar matahari dan hubungan matahari dengan benda langit lainnya. Pokok pembicaraan dalam bahagian ini sebenarnya adalah melemahnya perhatian terhadap mitos disekitar benda langit dengan menekankan pembicaraan pada dua figur terkenal yaitu Max Muller dan Andrew Lang. Max Muller memulai karirnya dengan mempelajari karya-karya agung India yang membawa dia kearah pendalaman mitos, dimana dia memakai filologi dan ilmu bahasa seperti metapora dalam meneliti pengertian dibelakang mitos. Andrew Lang lebih tertarik kepada cerita rakyat dalam menyingkap keyakinan suku-suku primitif. Andrew Lang di awal karirnya sangat mengagumi Muller namun arah yang berbeda membuat pertentangan yang besar di antara mereka yang menurut penulis menjadi awal dari kesuraman penelitian disekitar benda langit, karena memfokuskan perhatian pada sastra agung Junani kuno. Bagian ketiga adalah tulisan Reidar TH. Christiansen dengan judul Myth, Metaphor and Simile. Bahagian
ini dimulai Christiansen dengan membicarakan
kecenderungan orang menggunakan istilah myth dan mythical dengan perasaan raguragu. Menurut penulis alasannya adalah penggunaan secara umum istilah tersebut telah berkembang dan akhirnya memberikan arti dari dua hal yang berbeda seperti halnya dengan legenda historis dan legenda yang bersifat mitos. Mengenai mitos,
Christiansen memberikan dua spesifikasi yang dia sebut
higher mythology dan lower mythology. Menurut penulis pembedaan ini sangat penting bahkan bila kita menggunakan folk belief atau untuk lebih rinci ancient folk belief.
Universitas Sumatera Utara
Higher mythology menurut penulis lebih kaya dan lebih berwarna. Dengan menggunakan istilah
lower mythology dan higher mythology kita menekankan
kelangsungan secara
fundamental atau menekankan kebersinambungan keyakinan
manusia sejalan dengan perubahan waktu atau periode. Lebih jauh penulis membicarakan hubungan mitos dan legenda yang menurut penulis akhirnya hanya meninggalkan nama figur tertentu dan tempat yang menjadi sumber mitos. Demikian juga halnya dengan cerita rakyat yang kemudian meninggalkan jejaknya pada penggunaan metafora dan simili yang diikuti teka teki atau riddle. Hubungan mitos dan metapora dalam teka-teki sudah menjadi objek penelitian dengan cara-cara yang umum yang kemudian dapat menolong untuk memahami mitos dan cara- cara berfikir manusia tradisional. Menurut Christiansen, teka-teki mungkin dianggap tidak sebenarnya menarik untuk diteliti walaupun
penting
tetapi
di kalangan masyarakat modern dan
primitif teka-teki mempunyai fungsi yang berbeda tetapi sebenarnya mempunya hubungan satu sama lain. Menjawab pertanyaan posisi metapora dalam mitos dan tekateki, penulis memberi kesimpulan bahwa teka teki tidak berasal dari mitos, melainkan keduanya muncul dari aktivitas puitis dari kreatifitas imaginasi manusia. Bahagian keempat dari buku ini adalah bahagian yang paling menarik dan penting bagi peneliti mitos. Claude Levi-Strauss memberi
judul tulisannya The
Struktural Study of Myth. Bahagian ini dibuka Levi Strauss dengan mengutip pernyataan Franz Boaz (1974:81) “It would seem that mythological worlds have been built up to shatter again, and that new world were built from the fragment“. (Kelihatannya dunia mitologi telah
Universitas Sumatera Utara
dibangun untuk hancur kembali dan sekarang dunia baru dibangun dari puing-puing tersebut). Dalam bahagian ini Strauss memberi alasan yang sangat logis mengenai mitos dengan memberikan graphis dan susunan logis, serta contoh. Contoh mitos dalam mitologi Yunani yakni mitos disekitar dewa Zeus kemudian dihubungkan dengan cerita Oedipus Rex. Demikian juga mitos di dalam suku Indian Pueblo. Yang menarik adalah formula yang dia berikan dihubungkan dengan teori Freud tentang dua trauma yang selalu terjadi dalam mitos disekitar munculnya neurosis, yakni problema kejiwaan. Strauss menyimpulkan pengulangan-pengulangan topik dalam cerita rakyat adalah cara untuk membuat struktur hubungan lebih jelas. Struktur sinkronis-diakronis dari mitos memberi peluang untuk menyusunnya menjadi urutan diakronis yang seharusnya dibaca secara sinkronis. Lapisan-lapisan mitos tidak sama satu sama lain karena tujuan mitos adalah menyediakan model yang dapat diterima akal dalam menyelesaikan pertentangan. Lapisan tersebut berkembang dan berbeda tipis satu sama lain. Mitos berkembang secara spiral sampai impuls spritual manusia letih. Mitos berkembang terus menerus tetapi strukturnya tidak berkembang. Menurut Strauss hal ini dimaksudkan untuk menolong memahami hubungan mitos dalam satu sisi dengan apa yang disebut lingua dan parole disisi lain. Cara ini merupakan cara yang umum dalam menerangkan perbedaan-perbedaan yang masuk akal antara apa yang disebut jiwa primitif (primitive mind) dengan pemikiran-pemikiran saentifik. Perbedaan ini sering menuju ke arah perbedaan-perbedaan kualitatif antara proses
Universitas Sumatera Utara
bekerja jiwa dari kedua kasus sambil berasumsi bahwa objek terhadap mana cara ini dipakai tetap sama. Bagian kelima ditulis oleh satu-satunya peneliti wanita yaitu Dorothy Eggan dengan judul The Personal Use of Myth in Dreams. Sebenarnya tulisan ini hanya berbicara di sekitar beberapa ilustrasi yang digunakan untuk menjawab hubungan hasil peneliti lain dalam membirakan topik ini yaitu penelitian Kluckhohn yang mengumpulkan mimpi-mimpi masyarakat suku Indian Hopi, dan menghubungkannya dengan konflik-konflik kejiwaan yang dialami mereka, seperti keinginan menjadi suku Hopi yang baik atau menjadi bahana yaitu julukan yang digunakan untuk orang kulit putih. Konflik ini akan muncul dalam mimpi mereka dalam bentuk ketidak mampuan menjadi pemburu. Hal lain adalah munculnya sosok dalam mimpi mereka yang mereka anggap sebagai sosok pengawal (guardian) mereka dalam kehidupan. Hubungan mimpi dan cerita rakyat memang tidak terlalu jelas di kalangan suku Hopi, tetapi Eggan menyimpulkan bahwa di kalangan suku yang lebih tua dan sama sekali belum mengalami akulturasi, hubungan ini sangat jelas terlihat. Lebih jauh penulis menyimpulkan bahwa sering sekali ahli antropologi menemukan bahwa lebih mudah mempelajari hal-hal yang berbau kebudayaan dan organisasi sosial dalam kumpulan yang kecil dan homogen daripada dalam komunitas yang besar dan menyebar. Sehingga, kadang-kadang dimungkinkan meneliti kedinamisan segmen atau bahagian seperti struktur kekerabatan atau bentuk cerita rakyat dengan mempelajari secara intensif cara yang membentuk kehidupan individual atau perseorangan. Sebagai penutup Eggan mengutip ucapan Heskovict yang menyatakan bahwa dalam hal fantasi yang tersosialisasi, cerita rakyat menunjukkan dirinya sebagai alat
Universitas Sumatera Utara
atau bentuk ekspressi diri pada tingkatan sadar dan bawah sadar yang memiliki banyak wajah atau multifaced. Bahagian keenam dari buku ini berjudul Myth and Ritual ditulis oleh Lord Raglan. Menurut Lord Raglan, membuktikan
suatu anggapan, bahwa sangat mudah untuk
teori-teori lama tentang mitos
yang
menyatakan
bahwa
mitos
hanyalah sejarah yang membingungkan atau ciptaan manusia primitif, adalah tidak benar. Untuk menjawab pertanyaan apakah mitos itu, cukup dengan menyatakan bahwa dalam pandangan banyak mahasiswa modern, mitos adalah narasi yang dihubungkan dengan upacara ritual. Hanya sedikit mahasiswa yang akan menolak hubungan ritual dan mitos dalam beberapa kasus. Namun yang mengherankan Raglan adalah keengganan untuk menerima prinsip-prinsip saentifik yang sederhana, seperti penyebab-penyebab yang menghasilkan efek yang sama, serta daftar panjang dari sebab-sebab, yaitu dari mulai spekulasi yang liar sampai perhatian yang serius terhadap kebenaran yang bersifat sejarah yang akan menghasilkan cerita-cerita yang cukup mirip untuk diklassifikasikan sebagai mitos. Bahagian selanjutnya adalah bahagian
ketujuh di bawah judul The Ritual
View of Myth and the Mythic yang ditulis oleh Stanley Edgar. Halyang berbeda dari penelitian sebelumnya Edgar membicarakan ritual dalam The Origin of Species yang membuka pintu kepada berbagai jenis studi genetis budaya. Di dalam bukunya yang berjudul The Descent of Man, menurut Edgar, Darwin sudah menunjukkan bahwa evolusi manusia disusun secara tidak jelas, namun
secara budaya berkembang
dengan cepat dan luas.
Universitas Sumatera Utara
Yang menarik dalam pembahasan Edgar dalam pendekatan
Darwin
buku ini adalah betapa
diikuti kemudian oleh ahli–ahli terkenal lainnya seperti
Taylor, Boaz bahkan Malinowski dan pengikutnya . Menurut Edgar pendekatan ritual terhadap mitologi atau bentuk yang lain yang didasarkan pada mitos tidak terbatas pada konsiderasi genetik saja. Pendekatan ritual berhubungan dengan tiga persolan yang saling berhubungan yakni jenis, struktur dan fungsi. Menurut Edgar mitos muncul dari ritual bukan sebaliknya. Yang diucapkan dalam ritual berkorelasi dengan tindakan-tindakan di dalam ritual tersebut. Menolak teori Darwin, Edgar mengatakan bahwa ritual
yang mendekati mitos atau setiap
bentuk yang didasarkan pada mitos tidak bisa membatasi dirinya pada pengertian genetik. Menurut Edgar pendekatan ritual terhadap masyarakat tradisional sangat berhasil. Sebelum tahun 1912 sudah banyak studi ritual di berbagai area biarpun pendekatan ini bukanlah pendekatan teoritis, tetapi hanya sebuah metode dalam studi terhadap hal-hal yang menonjol secara spesifik. Menurut Edgar ada dua pendekatan ritual yaitu euhemerist yang mengatakan bahwa mitos adalah didasarkan kepada figur- figur sejarah, sedangkan yang kedua adalah ide daripada para cognitivist yang mengatakan bahwa mitos berasal dari usaha pencarian- pencarian dari ilmu pengetahuan. Bahagian kedelapan ditulis oleh Wheel Wright dengan judul The Semantic Approach of’ Myth. Bahagian ini menghubungkan mitos dengan bahasa, dilihat dari fungsi bahasa bukan tata bahasa.
Universitas Sumatera Utara
Dalam bahagian ini Wright banyak memberikan defenisi mitos yang dapat digunakan untuk menghubungkan mitos dengan bahasa. Misalnya defenisi yang diberikan Alan W.Watts; ” Myth is to be defined as a complex of stories-some no doubt fact-and some fantasy-which, for
various
reasons,
human
regards
as
demonstration of the inner meaning of the universe and human life”. (1974:154) “Mitos dapat dijabarkan sebagai suatu kumpulan cerita, sebahagian fakta-sebahagian adalah fantasi yang untuk berbagai alasan dianggap sebagai perwajantahan makna dalam jagad raya dan hidup manusia”. Wright juga memberi pendapat bahwa pendapat Cassirer dan Langer mengenai mitos merupakan ‘pre-linguistic tendency of human envisagement’ (kecenderungan pra-linguistik dari persepsi manusia), dan dalam aspek utamanya mengandung hubungan khusus dengan bahasa. Eksplorasi hubungan ini merupakan cara yang paling berguna untuk menemukan bahwa alamiah mitos dan bahasa sebenarnya adalah sama. Menurut Wright sebelum mengeksplorsi hubungan yang mungkin antara pembentukan kalimat dikalangan suku primitif dan mitos, harus diteliti dulu bagaimana sebenarnya asal muasal adanya logika . Bahagian terahir dari buku ini yakni bahagian kesembilan dengan judul Myth and Folktales,
ditulis oleh Stith Thompson. Inti pembicaraan dalam bahagian ini
adalah bagaimana membedakan mitos dan cerita rakyat dan hubungan satu sama lainnya. Menurut Thompson untuk menjawab pertanyaan ini harus dimulai memberi jawaban atas pertanyaan apa yang dibicarakan orang ketika mereka mendiskusikan mitos. Banyak yang menjawab bahwa yang dibicarakan adalah cerita traditional. Tetapi pertanyaan selanjutnya adalah yang mana disebut mitos dan yang mana legenda.
Universitas Sumatera Utara
Thompson menyimpulkan bahwa sejauh ini setelah satu abad atau lebih lamanya hubungan
diskusi
dan
pembicaraan,
masih sedikit
berbagai jenis cerita rakyat antara
yang
diketahui mengenai
satu dengan yang lainnya. Bahwa
kadang- kadang adanya satu bentuk mengarah ke bentuk yang lain tidak bisa ditampik, tapi hal ini dianggap manifestasi lokal bukan
sebagai evolusi yang
mendunia. Menurut Thompson, hanya perhatian, minat yang besar serta teori yang betul-betul
benar
dan
sahih
yang akan memberi penjabaran yang tidak dapat
disepelekan atau dihindari. Menurut Thompson persoalan-persoalan yang dimunculkan oleh mitos sudah pasti tidak dapat diselesaikan oleh generasi sekarang. Tapi dapat dipastikan bahwa satu abad dari sekarang para mahasiswa akan masih menganalisis dan mencoba mendapat sintesa dari penemuan-penemuan mereka yang bersifat analitik, dan pada waktu itu jumlah ahli- ahli akan sudah cukup untuk meneliti bentuk dan gaya yang terdapat dalam cerita rakyat atau sastra lisan. Pada waktu itu, menurut Thompson a pertanyaan-pertanyaan
mengenai
apakah
kita
setuju mengenai adanya suatu
periode tertentu penulisan mitosakan terjawab serta pertanyaan tentang apakah kita setuju bahwa kekuatan yang mendorong penciptaan mitos masih aktif bilamana kondisinya tepat. Teori dapat dipastikan akan berkembang dan apa yang kita lakukan kelihatannya ketinggalan jaman, tetapi menarik melihat hal ini dari sudut pandang mereka dan melihat bagaimana teori dan ide yang kita buat muncul setelah satu abad. Thompson berusaha
memberikan satu defenisi setelah pembahasan yang
panjang mengenai cerita rakyat dari berbagai belahan dunia dan berusaha memberikan spesifikasi dari masing- masing cerita rakyat tersebut. Thompson mengatakan bahwa
Universitas Sumatera Utara
: ”....myth is to do with the god ”. Selanjutnya dia mengatakan bahwa mitos mempunyai sejarahnya seperti halnya setiap cerita rakyat mempunyai sejarahnya. Asal muasal mitos dan cerita rakyat akan tetap menjadi misteri seperti halnya asal muasal bahasa yang tetap menjadi misteri. Namun kemudian Thompson memberi argumentasi bahwa lebih mudah meminjam cerita atau legenda serta mitos daripada membentuk atau menciptakan. Dan kalau diperhatikan bahwa narrasi dari cerita suku primitif tidak terdapat dalam jumlah yang besar dan dari jumlah yang ada sebagian besar mempunyai persamaan dengan milik suku yang menjadi tetangganya. Dengan argumentasi ini Thomson sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan antaran cerita rakyat dan mitos. Dalam tulisan nya Thomson memberi catatan bahwa sangat disayangkan dia belum membaca tulisan dari Levi-Strauss namun dia berpendapat dalam meneliti mitos, motif merupakan elemen yang harus diberi perhatian yang lebih.
2.1.1.2 A Short History of Myth oleh Karen Amstrong Buku ini mengundang pujian dan komentar yang positif dari berbagai pihak. David Mitchel dari Sunday Herald mengatakan:” Visionary....a crisp and lucid exploration of myth-making” , sedangkan Dvid Flusteder dari Daily Telegraph mengatakan : “ Elegantly argued and consistently though-provoking” Amstrong membagi buku ini dalam tujuh bahagian. Bahagian pertama adalah uraian tentang apa sebenarnya mitos itu. Bahagian ke dua sampai ke tujuh adalah uraian mitos dalam beberapa era, dimulai dari periode Palaeolithic, yakni jaman batu yang merupakan era mitologi pemburu, diikuti uraian mitos pada priode Neolithic yakni jaman batu terahir yang merupakan era mitologi petani. Mitos pada
periode
Universitas Sumatera Utara
peradaban yang pertama yakni Early Civilisation terdapat pada bahagian ke empat buku tersebut yang diikuti uraian mitologi dari periode Axial. Kemudian bahagian ke enam mengenai mitos pada periode setelah periode Axial, dan bahagian terahir yakni bahagian ke tujuh mengenai mitos pada era transformasi Barat atau The Great Western Transformation. Bahagian pertama dari buku ini mempunyai nilai yang lebih karena berisikan uraian yang membantu untuk memahami mitos yang di terangkan pada periode-periode seperti disinggung di atas karena Amstrong berusaha lebih dulu mengambarkan ciriciri manusia sebelum dia memberi kesimpulan apa mitos itu sebenarnya. Bahagian pertama ini yang diberi judul What is a myth?, dibuka dengan pernyataan bahwa manusia itu dari dahulu kala adalah pencipta mitos. Peninggalanpeninggalan manusia purbakala menunjukkan keyakinan mereka akan dunia masa depan. Manusia purbakala sudah menyadari ke tidak abadian manusia itu sendiri dan kemudian menciptakan narasi yang memampukan mereka untuk menghadapinya. Amstrong mengatakan bahwa manusia itu adalah makluk pencari makna atau arti. Sesuatu yang tidak dimiliki oleh makluk lain seperti binatang. Manusia dengan mudah merasa sedih, karena itu mereka
menciptakan tulisan-tulisan
yang
memungkinkan manusia menempatkan hidupnya di dalam setting yang lebih besar, yang memberikan makna yang bertentangan dengan keadaan-keadaan yang menekan, dimana hidup mempunyai makna dan nilai. Satu karakteristik manusia yang menurut Amstrong merupakan karakteristik yang aneh, yaitu kemampuan untuk memiliki ide dan pengalaman yang tidak dapat diterangkan secara rasional. Manusia mempunya imajinasi, suatu kemampuan yang
Universitas Sumatera Utara
memungkinkan manusia memikirkan sesuatu yang tidak muncul seketika, sehingga ketika memikirkan sesuatu itu, objeknya tidak hadir. Menurut Amstrong, adalah imajinasi ini yang memampukan manusia untuk menghasilkan mitos. Pada masa sekarang, berpikir secara mitos dianggap sesuatu yang irrasional, pada hal menurut Amstrong, imajinasi itu lah yang memampukan para ilmuwan membawa pengetahuan kepada pencerahan dan menemukan tehnologi yang memberikan manusia itu banyak keefektifan. Imaginasi manusia memampukan manusia terbang ke luar angkasa dan berjalan di atas bulan yang sebelumya hanya terjadi dalam mitos. Menurut Amstrong ada lima hal yang harus diketahui mengenai mitos. Yang pertama adalah, mitos hampir selalu berakar pada kematian, kedua mitos tidak dapat dipisahkan dari ritual, ketiga mitos selalu mengingatkan keterbatasan hidup manusia. Mitos yang paling kuat adalah mitos yang memaksa manusia pergi ke suatu suasana di luar jangkauan pengalaman, pergi ke suatu tempat yang belum pernah dilihat, mitos adalah mengenai sesuatu yang tidak diketahui, dimana manusia itu tidak mempunyai ungkapan untuk hal tersebut. Mitos melihat ke kedalaman suatu kesunyian yang sangat. Hal ke empat yang harus dimengerti tentang mitos ialah, mitos bukanlah cerita yang diceritakan demi cerita itu sendiri, mitos menunjukkan bagaimana kita seharusnya bersikap. Yang ke lima menurut Amstrong, mitos adalah keyakinan tentang sesuatu yang tidak kelihatan yang kadang –kadang merupakan realitas yang lebih kuat.. Karena itu mitologi dibuat sedemikian rupa untuk menolong manusia itu sendiri menghadap problem, menolong manusia menemukan tempatnya dan orientasinya di atas jagad raya.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Amstrong mitos secara sederhana digunakan untuk menerangkan seuatu yang tidak benar. Sejak abad delapan belas manusia mengembangkan pandangan ilmuwan mengenai sejarah, memperhatikan kejadian-kejadian yang benarbenar terjadi. Tetapi setelah jaman sebelum modernisasi, ketika menulis tentang masa lalu, manusia lebih memberi perhatian kepada arti kejadian tersebut. Sebuah mitos adalah suatu kejadian yang dalam beberapa pengertian telah terjadi tetapi juga yang terjadi sepanjang waktu. Menurut Amstrong adalah suatu kesalahan untuk meremehkan mitos sebagai sesuatu cara berpikir yang rendah. Mitos sebagaimana novel adalah memciptakan keyakinan . Mitos adalah permainan yang mentranfigurasikan dunia tragis yang sudah terpecah-pecah dan menolong manusia melihat secercah kemungkinan-kemungkinan yang baru dengan bertanya;” Bagaimana kalau seandainya?’ suatu pertanyaan yang mendorong tercapainya penemuan-penemuan yang paling penting dalam filsafat, sains dan teknologi. Manusia adalah mahluk yang unik dalam kapasitasnya untuk bermain. Manusia dewasa menikmati bermain dengan berbagai kemungkinan. Dalam mitologi manusia memainkan hipotesa, membawanya ke dalam kehidupan dengan ritual dan tindakan, berkontemplasi dengan efek mitos dalam kehidupan dan menemukan bahwa manusia telah mencapai suatu pengertian tentang dunia yang penuh dengan teka teki. Berdasarkan uraian di atas Amstrong sampai pada kesimpulan mitos adalah benar karena mitos efektif bukan karena mitos memberi manusia informasi yang faktual. Bila seandainya mitos tidak memberikan pengertian tentang makna yang lebih dalam tentang hidup, maka mitos tersebut telah gagal. Suatu mitos yang sejati akan berhasil mendorong manusia merubah pikiran dan perasaan, memberikan harapan yang
Universitas Sumatera Utara
baru dan mendorong manusia untuk benar-benar hidup sepenuhnya. Mitologi akan akan mentransformasikan manusia bila manusia mengikuti petunjuknya. Mitos adalah pembimbing yang menyatakan apa yang harus dilakukan manusia itu untuk hidup lebih kaya. Bila manusia tidak menggunakannya dalam situasi mereka dan membuat mitos sebagai sesuatu realitas dalam hidup, mitos akan tinggal sebagai sesuatu yang tidak dapat dimengerti, membingungkan dan membosankan. Menurut Amstrong mitos adalah bentuk awal dari psikologi, yang membawa kepada pencerahan tentang cara kerja yang misterius dari kejiwaan, dengan ceriteraceritera tentang pahlawan, dewa-dewa dan monster, tentang bagaimana menyelesaikan problem dan krisis dari jiwa manusia. Ketika Freud dan Jung mulai menulis pencarian – pencarian manusia modern tentang jiwa, secara naluri mereka berpaling ke mitologi klasik untuk menerangkan pengertian mereka dan memberikan interpretasi yang baru tentang mitos. Lebih lanjut Amstrong menyimpulkan tidak ada versi tunggal tentang mitos. Karena keadaan manusia yang berubah, manusia perlu menceritakan kisah mereka secara berbeda untuk mengekpresikan
kebenaran-kebenaran yang tidak pernah
berubah.
2.1.1.3 Mythologies oleh Roland Barthes Buku ini terdiri dari dua bahagian. Bahagian pertama adalah kumpulan dari dua puluh delapan (28) essai yang diberi judul Mythologies, yang setiap essai diselesaikan penulis dalam satu bulan dari tahun 1954 sampai 1956. Tulisan – tulisan dalam bahagian ini berisikan hasil eksplorasi penulis atas sejumlah penomena sosial masa kini dalam usahanya membuat defenisi mitos kontemporer.
Universitas Sumatera Utara
Bahagian kedua, yang memberi pembahasan tentang bagaimana membaca dan memahami mitos diberi judul Myth Today. Dalam bahagian ini Roland Barthes mempertegas pemahamannya tentang apa sebenarnya mitos itu. Dari awal Roland Barthes menunjukkan keyakinannya yang dicantumkannya dalam pernyataannya pada pendahuluan buku tersebut: ”....myth is a language”, mitos adalah bahasa. Hal yang sama dipertegas pada paragrap pembuka bahagian ke dua buku tersebut dimana dengan tegas dia menyatakan: ”....myth is a type of speech....” Bahagian ke dua buku yang secara garis besar membicarakan mitos segai alat komunikasi berisikan beberapa tulisan yang diberi judul seperti Myth is a type of speech; Myth as a semiological system; The form and tthe concept; The signification; Myth as stolen language; The bourgeoisie as a joint-stock company; Myth is depoliticized speech; Myth on the left dan Myth on the Right. Tulisan pada bahagian ke dua yang sangat membantu penelitiaan mitos adalah tulisan yang pertama sampai ke empat. Roland Barthes adalah seorang ahli semiotika, meninggal pada tahun 1980. Pada awal pemikirannya Barthes mencoba melihat bahwa aspek sosial dan budaya tidak dalam kerangka sifat objek yang tidak bersifat essential tetapi dalam kerangka penandaan dan semiotika, serta mempelajari bagaimana tanda melakukan penandaan. Dalam bahagian tulisan yang diberi judul Myth is a type of speech Roland Barhes memberikan teori bahwa mitos adalah pesan dan bukan melakukan penandaan, gagasan atau konsep, dan bukan sebuah objek. Bagaimana kita menguraikan pesan tersebut adalah dengan mempelajari hasil dari wicara atau parole bukan bahasa. Membaca sebuah mitos adalah menerima pesannya sebagaimana apa adanya.
Universitas Sumatera Utara
“Myth is a type of speech”. Menurut Roland Barthes definisi mitos didasarkan pada gagasan bahasa yang bertanggung jawab. Oleh karena itu mitos sesuai dengan jagad raya. Wicaranya adalah meta bahasa yang selalu berada dalam keadaan kabur, terikat dengan asal muasal etis. Lebih jauh Barthes mengatakan bahwa mitos merupakan sistem komunikasi karena mitos merupakan sebuah pesan. Mitos yang merupakan modus penandaan merupakan bentuk wicara. Melalui wacana, mitos tidak dapat digambarkan melalui objek pesannya, melainkan melalui cara pesan itu disampaikan. Menurut Roland Barthes, mitos merupakan urutan ke dua dari sistim semiologis yang mana tanda berada pada urutan pertama dalam sistim tersebut yang merupakan kombinasi petanda dan penanda, menjadi penanda pada urutan kedua. Dalam membedakan sistem mitos dari hakekat bahasanya, Barthes menggambarkan penanda dalam mitos sebagai bentuk dan petanda sebagai konsep. Roland Barthes mempelopori apa yang disebut aliran semiotik konotatif. Makna konotasi yaitu arti pada bahasa sebagai model kedua yaitu tanda-tanda tanpa maksud langsung sebagai simptom yang diperoleh atas dasar ciri-ciri denotasi. Disamping sastra, paham ini dapat diterapkan dalam berbagai bidang. Barthes
mengatakan
bahwa
seluruh
tanda
dalam
sistem
denotatif
berfungsisebagai penanda pada sistem konotatif atau sistem mitos. Lebih jauh Barthes mengatakan bahwa jika dia bermaksud menguraikan mitos, maka terlebih dahulu dia harus dapat mengidentifikasikan konsep-konsepnya. Menurut Barthes hal ini dilakukan karena fungsi denotasi dan konotasi yang membentuk tanda-tanda harus dipahami orang. Barthes memberikan aspek pendekatan struktural atau semiotik terhadap analisis
Universitas Sumatera Utara
gejala sosial dan semiologi yang diilhami oleh De Saussure, dimana selalu ada kaitannya dengan aspek penanda semua benda. Semiologi sering dituduh menampilkan bahasa sebagai sebuah bidang lingua, sehingga Barthes memobilisasi semua sumber daya teori inguistik, kususnya bahasa sebagai sistem pembedaan untuk bisa mengenali bahasa. Barthes memberikan model sistematis dalam menganalisi makna tanda-tanda yang dibagi dalam dua tahap. Indikasi tahap pertama merupakan hubungan antara penanda dan petanda dalam sebuah tanda terhadap makna eksternal yang disebut denotasi, yakni makna paling nyata dari tanda. Signifikasi kedua disebut konotasi yang menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan peranan emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaan. Konotasi mempunyai makna yang subjektif, menurut Barthes paling tidak intersubjektif. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa denotasi adalah yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek dan konotasi akan membantu bagaimana menggambarkannya. Pada tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda berhubungan dengan isi. Dalam hal ini tanda bekerja melalui mitos dimana kebudayaan menjelaskan
atau
memberi pemahaman mengenai beberapa aspek tentang realitas. Dari sisi ini dapat dilihat bahwa mitos merupakan produk sosial yang mempunyai mutu dominan seperti hidup dan mati, manusia dan jagad raya. Roland Barthes mengatakan bahwa mitos memiliki karakter sadar diri, fungsi yang kaku dan sederhana sehingga mempengaruhi peristiwa intelektual secara terbuka dengan fondasi politis. Mitos bermain pada tingkat konotasi bahasa. De Seassura mengatakan bahwa makna adalah yang didenotasikan oleh tanda tetapi Barthes
Universitas Sumatera Utara
menambahkanpengertian ini menjadi makna pada tingkat konotasi. Bagi Barthes konotasi justru mendenotasikan suatu hal yang dinyatakan sebagai mitos, dan mitos mempunyai konotasi terhadap ideologi tertentu. Pendapat Barthes memungkinkan mengkaji ide secara sinkronis atau diakronis. Secara sinkronis makna terpadu rata pada titik sejenis dan seolah berhenti disitu. Karena itu pola-pola tersambung yang menyertai telaah lebih mungkin dilakukan. Secara diakronis analisis Barthes memungkinkan melihat kapan, dimana dan dalam lingkungan sebuah sistem bagaimana mitos digunakan. Menurut Roland Barthes, mitos didasarkan pada gagasan bahasa yang bertanggung jawab sehingga mitologi memostulatkan kebebasan bahasa yang artinya mitologi sesuai dengan aspek universal atau jagad raya.
2.1.1.4 Mitos dan Komunikasi oleh Umar Junus Buku ini berisikan beberapa bahagian yang membicarakan pengertian mitos secara umum dan pembahasan mitos yang terdapat dalam beberapa karya sastra Indonesia. Dalam bahagian
yang berjudul ‘Berhadapan dengan Mitos’ Umar Junus
mengatakan bahwa mitos tidak dibentuk melalui penyelidikan melainkan melalui anggapan atau observasi kasus yang digeneralisasikan, karena itu mitos lebih banyak hidup dalam masyarakat. Umar Junus berpendapat bahwa mitos dapat dihidupkan melalui karya sastra sehingga karya sastra dapat bertugas sebagai
alat yang membentuk
mitos. Lebih
jauh Umar Junus mengatakan bahwa mitos hanya dapat dilawan dengan dua cara yakni
Universitas Sumatera Utara
membentuk
mitos
yang
mendemitifikasikannya
dan mitos yang membuktikan
membuktikan bahwa suatu mitos tidak benar adanya. Dalam bahagian ini, Umar Junus juga memberi pendapat bahwa kutukan yang banyak terjadi dalam mitos bukanlah ditujukan untuk kepentingan pengutuk, melainkan untuk kepentingan suatu pembuktian. Dalam bahagian ‘Mitos dan Kontra Mitos’ Umar Junus mengatakan bahwa karya sastra, cerita novel, drama dan cerpen merupakan mitos yang bertugas untuk mengukuhkan sesuatu, yakni mitos pengukuhan atau myth of concern atau mitos yang merombak sesuatu yakni mitos pembebasan atau myth of freedom. Dalam menentukan apakah sebuah mitos adalah mitos pengakuan atau mitos pembebasan dilakukan dengan memberi perhatian terhdap semua unsur dari karya sastra tersebut, unsur internal dan eksternalnya seperti lingkungan sosial. Menurut
Umar Junus
kehidupan
manusia, yang
didalamnya
terdapat
hubungan atas manusia, dikuasai oleh mitos-mitos. Oleh karena itu, sikap manusia terhadap sesuatu ditentukan oleh mitos yang ada dalam diri manusia, dan mitos ini mempengaruhi manusia, untuk menyakininya atau membencinya. Dengan demikian mitos akan mempengaruhi manusia sehingga berprasangka terhadap sesuatu hal yang dinyatakan dalam mitos. Untuk dapat mengetahui kebenaran atau kesalahan mitos tersebut manusia harus berhubungan dengan hal tersebut. Hubungan
manusia
terhadap
sesuatu
hal
dapat
memperkuat
atau
meniadakan suatu mitos. Suatu mitos yang bertentangan dengan mitos yang lain dianggap kontramitos. Hal ini selalu terjadi karena bagaimanapun kokohnya suatu mitos dia akan selalu didampingi mitos lain yang merupakan kontramitos.
Universitas Sumatera Utara
Dalam bahagian ‘Mitos dan Realitas’ Umar Junus membicarakan kadar kerealitasan dan kerasionalan karya sastra. Menurut Umar Junus karya sastra dari masa lampau dianggap sesuatu yang penuh dengan hal-hal yang tidak masuk akal. Namun bagi Umar Junus hal-hal tersebut merupakan sesuatu yang realistis dan rasional bagi masyarakat di mana karya itu tercipta, karena masyarakat tersebut dikuasai hubungan sebab akibat biarpun berbeda dengan apa yang ada pada masyarakat modern. Sehingga bagi masyarakatnya suatu mitos adalah realitas dan masyarakat di masa lampau melihat mitos itu tidak dari segi rasional atau tidak, tetapi dilihat dari segi yang mengatakan tidak adanya karya sastra yang sepenuhnya realitas atau sepenuhnya imajinasi. Semua kajian pustaka yang dibahas diatas menambah pemahaman akan keberadaan mitos, kedudukannya dalam sastra, teori dan langkah langkah yang akan digunakan dalam penelitian selanjutnya.
2.1.2 Pustaka Terapan 2.1.2.1 Pitoto’ Si Muhamma’ 0leh Heddy Shri Ahimsa Putra Cerita Pitoto Si Muhamma’ adalah cerira rakyat suku Bajo. Menurut Ahimsa Putra cerita ini adalah milik suku Bajo yang mempunyai hubungan dekat dengan masyrakat Sulawesi Selatan, terutama suku Bugis Makassar. Cerita Pitoto Si Muhamma’ berkisah tentang dua orang pemuda yang memperebutkan seorang gadis. Muhamma’ dari kampung Tengah dan Manjakari dari kampung Toroh merupakan pemuda jagoan dan masing adalah
Daeng
mereka masing-
putra juragan. Si gadis yakni Hajira yang sebenarnya adalah sepupu
Universitas Sumatera Utara
dari Muhamma’adalah putri seorang punggawa. Hajira selalu sakit-sakitan sehingga ibunya bernajar bila putrinya sembuh akan dibawa ke sumur Toraja. Daeng Manjakari adalah seorang jagoan yang sngat senang mengikuti pertandingan bola semparaga. Suatu hari dia pamit kepada ibunya untuk mengikuti pertandingan semparaga. Si Muhamma’ pada waktu yang sama ingin menonton pertandingan semparaga. Ketika dia sampai di tempat pertandingan, tidak disangkasangka raga atau bolanya terlempar tepat dihadapan Muhamma’ yang langsung menendangnya. Pemain Bugis Makassar yakni Daeng Manjakari dan teman-temannya tidak menyukai hal ini karena bagi mereka Muhamma’ adalah orang asing. Ibu Hajira sangat tertarik dengan Daeng Manjakari karena dia sangat sopan. Suatu hari dia meminta Daeng Manjakari mengantarkan Hajira ke sumur Toraja. Hal ini menimbulkan kecemburuan Muhamma’ karena dia merasa lebih berhak untuk mengantarkan Hajira sehingga timbul perkelahian yang kemudian dimenangkan Muhamma’ yang berhasil menewaskan Daeng Manjakari. Namun setelah Hajira menjatuhkan pilihan kepada Muhamma’,justru Muhamma’ meninggalkan dia dan menghilang dari kampung tersebut. Ahimsa Putra menngunakan strukturalisme Levi Strauss,yakni opposisi binari untuk membedah cerita tersebut serta memberi tafsiran setelah membagi dalam beberapa episode serta memfokuskan penelitian pada miteme dan ceritemenya. Ahimsa Putra berhasi menarik makna bahwa mitos Pitoto Si Muhamma’ merupakan usaha simbolisasi dari orang Bajo untuk memahami kontrakdisi empiris sebagai masyarakat yang hidup di laut dengan mengumpulkan hasil laut namun mereka masih tergantung dari hasi bumi di daratan. Untuk hidup di laut mereka bukan hanya membutuhkan bantuan dari kerabat tetapi juga dari mereka yang bukan kerabat yang berada di darat.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian Ahimsa Putra ini sangat membantu penulis dalam memahami teori Strukturalisme Levi Strauss dan bagaimana mengaplikasikannya juga dalam menafsirka setiap episode cerita.
2.1.2.2 Hikayat Raja Banjar oleh M.Rafiek M. Rafiek (2010:71) meneliti mitos dibawah judul Hikayat Raja Bnjar: Kajian Jenis, Makna dan Fungsi Mitos Raja. Penelitian dilakukan dengan menitikberatkan pada telaah sastra dengan pendekatan struktural-hermeneutika. Menurut Rafiek, konsep strukturalisme Levi-Strauss membantu memudahkan memahami dan menganalisis cerytheme (tindakan) dalam naskah yang memuat mytheme (peristiwa) tertentu. Kesulitan yang didapati
ada
dalam
pengkotak-kotakan cerytheme berdasarkan
mytheme sehingga dianjurkan untuk membaca teks berulang-ulang. Dalam penelitian ini Rafiek menyimpulkan bahwa mitos raja dalam Hikayat Raja Banjar mendapat pengaruh dari kisah Nabi dan Rasul dalam agama Islam, kisah Sunan Giri dan mitologi Junani. Rafiek menemukan dua jenis, empat fungsi dan tiga makna mitos yang terdapat pada Hikayat Raja Banjar. Dua jenis mitos yang ditemukan adalah mitos yang sesuai dengan fakta sejarah dan yang tidak sesuai dengan fakta sejarah. Empat makna yang ditemukan adalah makna religious, makna filosofis makna estetis makna magis dan makna etis. Sedangkan fungsi mitos yang ditemukan adalah fungsi integratif mitos raja, fungsi politis mitos raja, fungsi ideologis mitos raja, fungsi legitimasi, fungsi mistis dan fungsi yudikasi. Penelitian ini menjadi sangat bermanfaat karena memberikan gambaran tentang penelitian mitos di Indonesia secara umum sebagai reprensentasi budaya. Penelitian
Universitas Sumatera Utara
ini juga sangat membantu dalam penerapan teori dan langkah langkah yang harus dilakukan terutama dalam menemukan jenis mitos.
2.1.2.3
Struktur Satra Lisan Batak Toba oleh Drs Razali Kasim M.A Razali Kasim meneliti struktur Sastra Lisan Batak Toba (2000:66) dengan
memusatkan perhatian pada empat cerita yaitu Suhutan Nan Jomba Ilik, Datu Dalu dan Tao Sipinggan, Sombaon Sipitung dan Ratu Jolma. Salah satu dari keempat cerita rakyat di atas mempunyai motif sumbang yakni Suhutan Nan Jomba Ilik. Dalam menganalisis keempat cerita di atas, Razali Kasim menerapkan teori Strukturalisme yang dikemukakan oleh Roland Barthes yang memberi pandangan bahwa karya sastra terbentuk dari berbagai tanda, karena itu karya sastra dapat dipilih berdasarkan kode (codes) yang tidak bersifat mutlak (arbitrary) dan bergantung pada pemahaman dan
sudut kepentingan. Lima kode yang diberikan Barthes adalah (1)
kode teka-teki (code of puzzles); (2) kode tindakan (code of action); (3) kode kultural (cultural code); (4) kode konotatif (conotative code); dan (5) kode simbolis (symbolic code). Sebagai kesimpulan dari analisis hasil penelitian adalah, bahwa tidak semua cerita rakyat di atas mengandung semua kode yang diberikan oleh Barthes, tapi semua cerita rakyat di atas memiliki kode kebudayaan dan kode perlambangan Penelitian ini sangat membantu dalam proses memberi makna pada setiap tanda berdasarkan prinsipprinsip yang diberikan Roland Barthes.
Universitas Sumatera Utara
2.1.2.4 Sumbang, Incest in de Indonesische Mythologie oleh Well Derk Buku ini merupakan hasi penelitian untuk tesis. Dari judul dapat kita lihat bahwa buku ini ditulis dalam bahasa Belanda. Derk mengambil duapuluh (20) cerita rakyat dari Indonesia untuk menjadi objek penelitian. Keduapuluh cerita rakyat itu diambil dari Aceh, Sumatera, dalam hal ini Cerita rakyat Batak Toba dan Nias, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi dan Kalimantan. Umumnya teks yang dicantumkan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan yang lain seperti cerita rakyat Batak Toba diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Dalam melakukan penelitian, penulis menerapkan teori Strukturalisme LeviStraus yaitu opposisi binari dan teori Psikoanalis dari Freud. Well Derk memusatkan perhatian pada motif, mediator dan ada tidaknya sikap mendua terhadap hubungan sumbang yang terdapat dalam cerita rakyat tersebut. Kesimpulan yang diambil penulis antara lain adalah, bahwa ada sikap yang mendua terhadap hubungan sumbang, terutama dalam cerita rakyat Batak. Perkawinan sepupu menurut penulis adalah usaha kompromi antara perkawinan sumbang dan perkawinan luar (luar klan). Seperti halnya dalam beberapa cerita rakyat di tempat lain seperti cerita rakyat Junani kuno dan Mesir, anjing mendapat peran dalam beberapa cerita rakyat di Indonesia yang mempunyai motif sumbang seperti mitologi terciptanya gunung Tangkuban Perahu. Dalam mitos sumbang yang terdapat dalam cerita rakyat Batak Toba seperti Tongkat Panaluan anjing juga mendapat peran. Kesimpulan yang lain adalah hubungan anak kembar dengan sumbang. Dalam beberapa suku di Indonesia ada anggapan bahwa
kembar sepasang
laki-laki
Universitas Sumatera Utara
perempuan sudah melakukan hubungan sumbang atau incest sejak dalam kandungan. Oleh karena itu kembar seperti ini tidak dihargai. Terdapat juga penemuan mengenai sikap masyarakat di Jawa terhadap gerhana matahari, yang merupakan sesuatu yang memalukan karena gerhana
merupakan
hubungan sumbang antara matahari dan bulan sehingga ketika ada gerhana, masyarakat bersembunyi karena malu.
2.1.2.5 Calling A Rainy Day; A Rain Ritual and Incest Myth oleh Rita Smith Kipp Tulisan
ini
merupakan
paper yang dipresentasikan
dalam
pertemuan
masyarakat antropologi yaitu Central States Anthropological Society di Milwaukee, Wisconsin dan sedang dalam penulisan menjadi buku ketika paper ini ditulis. Dalam paper ini Ritha Smith membahas satu cerita rakyat dari Tanah Karo yaitu yang berjudul Tole Mama.Menurut penulis kata sumbang tidak hanya digunakan untuk perkawinan sedarah, tetapi digunakan juga untuk jenis hubungan lain antara pribadi-pribadi yang dianggap tidal layak dan harus dilarang, seperti berbicara dengan mertua. Cerita Tole Mama adalah cerita seorang anak gadis yang melakukan hubungan terlarang dengan pamannya yaitu saudara ibunya. Akhirnya pasangan ini melarikan diri dengan terbang ke angkasa dan berobah menjadi pelangi. Dari penelitian yang dilakukan didapati bahwa kekeringan dan musim kemarau merupakan hukuman terhadap
hubungan sumbang dan harus disucikan (purify)
kembali dengan upacara ritual memanggil hujan. Cerita rakyat yang mempunyai motif sumbang menurut penulis bukan hanya mengenai hubungan sumbang itu sendiri dan hukuman yang harus ditanggung
Universitas Sumatera Utara
pelakunya, tetapi mitos sumbang mencakup konsep yang lebih luas, perilaku yang terlalu dekat dalam hubungan yang spesifik, hubungan kekerabatan, harapan-harapan dalam perkawinan, dan pengasuhan anak. Mitos sumbang memberi gambaran tentang proses alamiah, hubungan sex, melahirkan anak, pengasuhan anak dan kemudian mentransformasikan fakta-fakta alam ini ke dalam fakta-fakta sosial. Hubungannya dengan ritual adalah bahwa ritual bukan hanya usaha meluruskan pandangan terhadap fakta alam tetapi juga usaha memperbaiki tatanan sosial dari hubungan antar manusia yang sepantasnya.
2.1.2.6 Parodi Mitos Tradisional Burisrawa Yang Ditulis Oleh Riantiarno oleh Reny Widjajanti Soedjono Azwar. Penelitian yang dilakukan Reny Widjajanti ini merupakan penelitian disertasi. Secara garis besar Reny Widjajanti mencoba melihat bentuk penulisan drama Konglomerat Burisrawa yang merupakan parodi dari mitos tradisional Sumbadra Larung. Sumbadra Larung berkisah tentang kesetiaan Sumbadra terhadap suaminya Arjuna. Kesetiaannya di uji melalui perbincangan Sumbadra dengan istri Arjuna yang lain seperti Srikandi dan Larasati dan penolakannya terhadap rayuan Burisrawa yang merupakan suatu cobaan utama. Sumbadra berhasil mempertahankan kesetiaannya yang ditunjukkan
pada ahir cerita ketika Sumbadra tewas bunuh diri
dengan
menusukkan tusuk kondenya ke dadanya. Di dalam Konglomerat Burisrawa digunakan setting dan karakter dari masa kontemporer dimana Burisrawa digambarkan sebagai seorang putra pengusaha besar yang terkenal. Kekayaan
Burisrawa sangat besar yakni memiliki perusahaan dan
Universitas Sumatera Utara
pabrik. Dalam pandangannya semua bisa di atur dengan uang , bahkan dalam hal cinta dia memakai bahasa dagang dengan menjanjikan akan memberikan saham . Burisrawa merasa mampu membeli segalanya termasuk cinta Sumbadra. Sumbadra dalam drama ini mempertahankan pendapatnya mengenai cinta dan kesetiaan. Cinta dalam drama ini menggambarkan cinta sesuai dengan jamannya yang dipengaruhi materi. Reny Widjajanti mencoba menemukan seberapa dekat drama ini dengan sumbernya dengan melakukan studi yang teliti terhadap penyimpangan dari mitos tradisional. Reny Widjajanti juga mencoba membahas kedekatan drama ini dengan masyarakat lingkungan atau menurut istilah Reny Widjajanti, ‘satire jamannya’. Sehingga dapat dikatakan bahwa sebenarnya penelitian ini mencoba menemukan pelanggaran konvensi mitos tradisional. Dengan tujuan seperti diatas, Reny Widjajanti harus menukik lebih dalam untuk menemukan makna dan fungsi mitos dalam Konglomerat Burisrawa dan dalam Sumbadra Larung. Untuk pencarian makna dan fungsi ini Widjajanti menggunakan Teori Viala yang didasarkan pada teori Todorov mengenai tiga aspek sastra yakni aspek sintaksis, aspek semantik dan aspek pragmatik dan teori Anne Ubesvield yang didasarkan pada teori Greimas untuk menganlisis sintaksis. Disamping teori diatas Renny Widjajanti menggunakan beberapa teori yang berhubungan dengan drama seperti teori Marco de Marinis mengenai aspek drama dan teori dari Sapardi Joko Damono mengenai unsur drama. Kesimpulan yang didapati Renny Widjajanti adalah bahwa drama Konglomerat Buris Rawa yang merupakan adaptasi dari wayang tradisional merupakan parodi yang mengandung satire atas kemewahan konglomerat jaman orde baru. Untuk
Universitas Sumatera Utara
menyampaikan hal itu Riantiarno melakukan penyimpangan konvensi wayang, penyimpangan alur dan tokoh. Penelitian
ini
membantu
penulis
untuk
lebih
faham
memilih
dan
mengaplikasikan teori secara tepat untuk peelitian mitos tertentu.
2.2 Konsep 2.2.1 Sastra Batak Secara umum, bentuk sastra Batak yang lebih dikenal adalah umpama atau umpasa karena kedua bentuk sastra ini selalu digunakan dalam upacara adat masyarakat Batak. Dimana ada upacara adat, disana akan terdengar umpama atau umpasa. Kadang-kadang dalam pergaulan sehari-hari umpama dan umpasa sering dibacakan dalam percakapan. Sebenarnya masyarakat Batak sudah lama mempunyai tulisan sendiri, namun masyarakat Batak lebih mengenal seni sastra yang sifatnya lisan yang bernilai tinggi untuk dipelajari. Sastra lisan tersebut meliputi cerita rakyat seperti turi-turian, sastra yang bersifat agama, dan pantun yang lebih dikenal dengan umpama atau umpasa dan andung-andung. Cerita rakyat atau turi-turian terdiri dari cerita binatang, pelipur lara, nasehat dan keyakinan. Terdapat juga mitos yang menggambarkan keyakinan mereka, sesuai dengan pemahaman mereka, yaitu alam pemikiran primitif mereka mengenai penciptaan, terjadinya bumi dan segala isinya, mengenai debata mula jadi nabolon yang menjadi keyakinan mereka sebagai yang maha kuasa yang menciptakan bumi dan manusia terdapat dalam sastra lisan seperti cerita rakyat Si Boru Deak Parujar.
Universitas Sumatera Utara
Turi-turian megandung pelukisan tingkah laku manusia kehidupan masyarakat, tentang watak manusia seperti cerita orang yang bodoh, pemalas yang berfungsi memberi ajaran dan nasehat. Turi-turian
merupakan sastra Batak yang sering
dilisankan kepada anak-anak menjelang tidur atau ketika sedang berkumpul di malam hari di tengah halaman dibawah terang bulan. Turi-turian dalam bentuk cerita dongeng tentang bintang merupakan alat pendidikan mental. Salah satu turi-turian yang sering di tuturkan adalah cerita Si Jonaha. Namun terdapat juga cerita yang mengandung sejarah seperti tarombo yang berisikan silsilah kekerabatan, cerita tentang alam dan tentang kehidupan. Sastra yang bersifat agama terdapat pada mantera dan bait sajak yang dihapal oleh datu (magician) yang diangap mempunyai hubungan dengan pencipta.
Datu
seperti ini sangat dihormati karena dapat menghafal mantera-mantera dalam melakukan pegobatan.
Doa
yang
dipanjatkan datu yang disebut tonggo-tonggo merupakan
bentuk sastra yang sudah dikenal sejak dahulu kala. Dalam bukunya yang berjudul The Structure of Batak Belief yang merupakan hasil desertasinya, Ph.O.L.Tobing (1963:93) mengutip bahagian dari Tonggo-tongo atau doa seperti di bawah ini: Hutonggo, hupio, hupangalu-alui ompunami, sumangot ni Ompu Boru, sumangot ni ompunami, sumangot ni Ompu Doli, sumangot ruma-ruma ni jumaida silaon, na maniti na manggabe di hasuhuton on. Ho do na hundul di raga-raga na bolak, manguntean di pamoltok ni ruma, na martagaung di tali siariman; na marhalinuhon di guri-guri sijonggi; na mangan di pinggan limar, na marsiruho di pinggan pasu; na manggagat di bulung motung, minum bagot raja ni tuak, aek raja ni tapian; pardemban na lompu-lompu junjungon, parpiring tinikil-tinikilan; na martali-talion bonang sitiga jalan,parrudang ragi-ragian; parmanuk sombaturun, parpidong marhatahata. Ompu raja mula-mula, ompu raja mula adong, mula ni sosungguon. Indangmu na jumadihon bohi; gabungan meal-meal, na jumadihon pamatang; na patingko-tingko ulu, mula ni simanjujung na pajambe-jambe obuk, mula ni siporhoton. Raja Intan sumormin na gabe simalolong, landismaria mula ni igung, sibolbohas raja osang, handang diri mula ni pipi, raja marhilap mula ni tangan, raja gumbok nabolon mula ni pusupusu, raja urundirea na jumadi ate-ate. Raja imbang mula ni pogu, pedang
Universitas Sumatera Utara
mangaris raja ni pia, raja alim mula ni limpa, nandaruruam mula ni si ubeon; raja ulion partambang bitis, na jumadi pat, jumadihon simanjojak, jojak ma anak tubu, jojak ma boru tubu. Bintang na rumiris, ombun nasumorop, anak pe riris,boru pe torop. (Kupanggil, kuundang tempat mengadu, roh nenek moyang kami, roh nenek moyang perempuan, roh nenek moyang kami roh nenek moyang laki-laki, roh rumah pencipta, yang menentukan yang memberkati pesta ini. Kau yang duduk di tempat pemujaan yang luas, yang bersemayam di bawah tiang rumah, yang menggantung di tali siariman, yang membayang di tempayan sijonggi; yang makan di piring limar, berkumur di piring pasu; yang memamah di daun motung, minum nira raja tuak, air raja mata air; yang makan sirih yang lebar, yang memiliki piring yang tahan uji, yang berikat tiga helai, yang berselendangkan selendang bermotif; yang memiliki ayam yang hinggap di ketinggian, yang memiliki burung pandai berbicara. Moyang yang menjadi awal, moyang dari mula penciptaan, awal dari yang sesungguhnya. Indangmu yang menjadikan wajah; yang menjadikan tubuh; yang menjadikan kepala bulat, awal dari kepala yang ditumbuhi rambut, awal dari sangul. Raja Intan bercahaya yang jadi mata, landismaria awal dari hidung, sibobolhas awal dari dagu, pagar awal dari pipi, raja melambai awal tangan, raja urundirea yang menjadikan jantung. Raja imbang awal dari empedu, pedang mangaris awal ginjal, raja alim awal dari limpa, mandururuan awal perut, raja ulion awal betis yang jadi kaki, menjadikan kaki, mapan anak yang lahir, mapan putri yang lahir. Bintang yang bertaburan, awan yang menyebar, putra pun berbaris, putri pun banyak) Tonggo-tonggo atau doa yang lain yang tercantum dalam buku tersebut diatas ditujukan kepada Pane Na Bolon (Tambunan, 1982:73). Hujou hutonggo, hupangalu-alui, sahala ni Daompung, Boru saniang naga, Saniang naga tunggal, Saniang naga di jae, Sainang naga di julu, partintin na rumiris, parsanggul na lumobi, parbunga-bunga nas tutup ni odap. Naga na marjullak goar ni mualmi, si raja mangarabuk goar ni sampuranmi, si si raja mumbak-umbak goar ni umbakmi, si raja mompas-ompas goar ni pasirmi, si boru menak-enak di bagasan aekmi. Hamu panguhatan arian, pangalapan bodari, tangkas hamu huboto marruma gorga, parsopo ni ambaruran jala parruma ijuk, na mian di tonga-tonga ni lautan. Disi ma hamu marmula poda dohot marmula hata jumurju ari na tolu pulu, bulan na sampulu dua, panggorda na ualu, parmanis na lima dohot Ompunta Pane na bolon sinuru ni Ompunta Tuan Mula Jadi. Tumpa k ma hami horas, maduma jala gabe. (Kupangil, kuundang engkau tempat mengadu, kemuliaan dari nenek boru Saneang Naga yang bercincin banyak, yang sanggulnya tebal, dan yang dipenuhi bunga. Mata airmu bernama naga yang bergejolak, air terjunmu bernama raja mangarubuk, ombakmu bernama raja mumbak-umbak,
Universitas Sumatera Utara
pasirmu bernama raja mompas-ompas dan di dalam airmu berada boru menak-enak. Kamu yang diambil di siang hari dan diambil di malam hari, jelas aku ketahui memiliki rumah yang diukiri, pemilik rumah moyang, dewi Saneang Naga, Saneang Naga tunggal, Saneang Naga di hulu, Saneang Naga di muara ijuk, yang berada di tengah lautan. Disanalah engkau mengajarkan nasehat pertamakali dan memulai kata menghitung hari yang tigapuluh, bulan yang dua belas, bermata-angin yang delapan, parmanis yang lima dengan moyang kita panen yang besar yang disuruh mahapencipta. Berkatilah kami biar selamat, makmur dan berketurunan)
Bentuk sastra Batak yang lain adalah pantun. Di antara pantun-pantun itu seperti yang terdapat di bawah ini, merupakan pantun nasehat Silaklak ni dandorung Tu dangka ni sila-sila Ndang iba jumonok-jonok Tu naso oroan niba
Kulit kayu Dandorung Pada cabang dari Sila-sila Jangan dekat-dekat Dengan yang bukan tunangan kita
Dua baris pertama merupakan sampiran dan dua baris terahir adalah isi yang merupakan nasehat bahwa laki-laki hendaknya jangan dekat-dekat dengan perempuan yang bukan tunangan atau isterinya. Contoh yang lain adalah seperti pantun dibawah ini (Tambunan, 1982:73).. Pat ni Lote ma tu Pat ni satua Mago ma pangose
Universitas Sumatera Utara
Horas ma na niula
Kaki burung puyuh Kaki dari gereja Binasalah yang ingkar janji Selamatlah yang dikerjakan
Dua baris pertama merupakan sampiran dan dua baris terakhir merupakan isi yang menasihatkan untuk tidak mengingkari janji karena akan membawa akibat yang tidak baik dan yang setia pada janji akan memperoleh kemakmuran. Pantun ini menasehatkan supaya setiap orang
jangan memungkiri janjinya. Demikian juga
pantun dibawah ini Pauk-pauk hu dalani ma Pago-pago tarugi Na tading huulahi Na salah hupauli
Cangkul bergigi tiga Pancang serabut ijuk Yang tertinggal kuulangi Yang salah kuperbaiki
Dua baris terahir yang merupakan isi mengandung nasehat untuk selalu menyelesaikan dan menyempurnakan pekerjaan.
Universitas Sumatera Utara
Dalam sastra Batak ada yang disebut andung-andung. Andung-andung adalah rangkaian
kalimat yang disenandungkan ketika menangisi kematian orang baik
keluarga dan kerabat. Andung-andung mengandung kisah kehidupan dari yang meninggal. Lebih sering mengenai hal-hal yang baik mengenai orang tersebut semasa hidupnya. Andung-andung juga mengekspresikan perasaan-perasaan mereka yang ditinggalkan, yang disusun dengan kata-kata yang penuh gaya bahasa sehingga yang mendengar atau para pelawat biasanya terpengaruh dan ikut menangisi yang meninggal (Tambunan, 1982:75).. Menurut Bisuk Siahaan dalam bukunya Kehidupan Di Balik Tembok Bambu(1982:82) dimasa silam terdapat orang-orang yang mempunyai keahlian mangandung atau bersenandung sambil
menangis sehingga merupakan profesi
dimana mereka dapat dipanggil dan diberi upah untuk menangisi seseorang yang meninggal yang semasa hidupnya adalah orang yang mempunyai status tinggi. Pada umumnya mereka adalah perempuan yang sudah berusia lanjut. Nalom Siahaan dalam Tambunan (1982:73). Damang i amang siadopan i Sulu-sulu diaari golap i Huat-huat di ari parudan i Sisongsong dua ribu i Siambat dua ratus i, (dan seterusnya) Ayahanda, suami Obor di hari yang gelap
Universitas Sumatera Utara
Bilah pijar di hari hujan Yang menghambat dua ribu Yang menghempang dua ratus Bentuk sastra Batak yang lain adalah torsa-torsa (ridle) atau teka-teki yang disebut juga huling-hulingan atau hutinsa yang dahulu sering dilisankan oleh mudamudi namun dilakukan oleh orang tua juga ketika memberi nasehat atau pengajaran tentang alam dan pengetahuan akan kehidupan (Tambunan, 1982:75).. Torsa-torsa atau huling-hulingan terdiri dari satu atau dua baris seperti dibawah ini. Gantung mok-mok. Aha mai? Tergantung, gemuk. Apakah itu?
Gantung marniang. Ahamai? Tergantung, kurus. Apakah itu?
Pir dauk-dauk. Molo diboto ho di ho deba. Aha ma i? Bulung ni si hapodea Keras tapi kendur, Kalau kau tahu untukmu sebahagian Daun Sihapodea
Universitas Sumatera Utara
Turi-turian merupakan jenis sastra Batak yang dahulu disampaikan orang tua secara oral (lisan) kepada anak-anak di malam hari di tengah halaman di bawah terangbulan. Turi-turian bisa cerita dongeng tentang binatang yang selalu merupakan alat pendidikan moral seperti cerita Si Jonaha. Namun sebahagian mengandung sejarah atau mitologi penciptaan seperti terciptanya manusia dan terjadinya danau Toba (Tambunan, 1982:72).. Umpasa adalah bentuk sastra Batak yang dilisankan pada acara adat atau pesta adat perkawinan, acara adat pada kemalangan seperti kematian dan pesta adat yang lain. Umpasa adalah sejenis pantun yang berisikan dua, tiga atau empat baris. Baris pertama dan atau baris kedua adalah sampiran sedangkan baris ketiga dan atau keempat adalah isi (Tambunan, 1982:77). .
Umpasa mengandung ungkapan yang puitis yang mengandung makna yang
khusus dan dalam tentang hidup, merupakan nasehat atau ungkapan-unkapan yang memohon berkah (Tambunan, 1982:73).. Mangula ma pangula, dipasae duhut-duhut Molo burju marhula-hula, dipadao mara marsundut-sundut. Bekerjalah pekerja, menyelesaikan rumput Kalau baik berbesan, akan jauh bahaya turun temurun
Asing dalan tu mual, asing dalan tu onan Asi ma roha ni Tuhan, sai dilehon ma hangoluan Ditambai nang angkaka pangomoan. Lain jalan ke sumur, lain jalan ke pekan
Universitas Sumatera Utara
Tuhan maha pengasih, akan memberikan kehidupan Dan peruntungan akan dilimpahkan
Gadu-gadu ni Silindung, tu gadu-gadu ni Sipoholon Sai tubu ma anakmuna sampulu pitu dohot borumuna sampul Onom Pematang di Silindung ke pematang di Sipoholon Lahirlah anakmu tujuh belas dan putrimu enam belas
Ruma ijuk tu ruma gorga Sai tubu ma anakmuna na bisuk dohot borumuna na lambok marroha. Rumah ijuk ke rumah ber- ukir Lahirlah putra kalian yang bijak dan putri yang yang lembut
Rimbur ni Pangkat ma tu jimbur ni hotang Tusi hamu mangalakka, sai tusi ma dapotan. Capung dari Pakat ke capung rotan Kemana kalian melangkah, disitu kalian akan memperoleh peruntungan
Martahuak ma manuk di bungkulan ni ruma Horas ma hula-hulana, songon i nang angka boruna. Berkokok ayam di bubungan rumah Selamatlah besan, demikian juga putrinya
Universitas Sumatera Utara
Ogung na mabola dipaboa soarana Angka boru na malo marroha pintor di pahombar do tu hula-hulana. Gong yang pecah ditandai oleh suaranya, Anak perempuan yang bijak akan mendekati hula- hulanya
Aek ni Ampuli di dolok ni Tampongan Sai sahat ma angka na uli, jala tamba angka passamotan. Air Ampuli di ketinggian Tampongan Semoga yang baik akan tiba dan pendapatan akan bertambah.
Simbora ma pulguk, pulguk di lage-lage Sai mora ma hita luhut, huhut horas jala gabe. Perak yang teronggok, teronggok ditikar Semoga kita semua akan menjadi kaya serta selamat dan berketurunan.
Turtu ni anduhur, tio ninna lote Hata na nauli dohot pasu-pasu pinasahatmu Sai saut ma tutu, unang muba unang mose. Suara tekukur,suara Lote jernih Ucapan yang indah dan berkat yang kalian sampaikan Semoga akan terjadi dan tidak akan berubah.
Andor hadukka patogu-togu lombu
Universitas Sumatera Utara
Sai sarimatua ma hamu sahat tu na patogu-togu pahompu. Daun ubi jalar ditarik-tarik lembu Semoga panjang umur di iringi cucu-cucu
Sahat-sahat ni solu, sahat ma tu bontean Sae leleng ma hita mangolu sahat tu panggabean. Sampai lah sampan sampai ke Bontean Semoga kita lama hidup dan beranak berketurunan
Hariara mandung-dung, pilo-pilo na maragar Sai tanding ma na lungun, ro ma na jagar Beringin yang teduh pada pohon enau Tinggallah yang menyedihkan, datang lah yang baik.
Hotang pinabebe-bebe, bonang pinapulos-pulos. Sotung pola mandele rohamuna,ai godang do tudos-tudos. Rotan yang diputar-putar benang yang digulung gulung Jangan hatimu putus asa karena banyak orang yang mengalami yang sama
Bona ni arirang, peak di tinga onan Dagingmu so marsirang, tondimu pe marsigom-goman. Batang pinang terletak di tengah pekan Badan yang bercerai roh tetap saling mengayomi
Universitas Sumatera Utara
Anian ma pagabe tumundalhon sitodoan Arimu ma gabe molo marsipaolo-oloan. Ani adalah mistar memunggungi selendang Hari-hari akan makmur kalau masih saling seia sekata
Sinuan bulu sibaen na las Tabahen uhum mambahen na horas. Ditanam bambu membuat hangat Kita ciptakan hukum untuk membuat selamat
Sai tubu ma hariara jonok tu jambatan Sai tubu ma angka anakmuna, sude gabe marjabatan. Semoga tumbuh baringin dekat jembatan Semoga lahirlah anak-anak kalian yang semua punya jabatan
Eme ni simbolon parasaran ni siborok Sai horas-horas ma hita on laos Debata ma na marorot. Padi simbolon jadi sarang berudu Selamat lah kita semua dan Allah yang merawat
Sititi ma sigompa, golang-golang ma pangarahutna Tung so sadia pe nuaeng tarpatupa, sai anggiat ma godang pinasuna. Sititi adalah sigompa, gelang pengikatnya
Universitas Sumatera Utara
Sedikit yang bisa disajikan banyak berkatnya Pinasa Siantar godang rambu-rambuna, Tung so sadia hatangki, sai godang ma pinasuna. Nangka dari Siantar banyak serabutnya Sedikit yang bisa saya katakan banyak berkatnya
Tuat si puti, nangkok si deak Ia i na ummuli, ima tapareak. Turun si Putih, Naik si Deak Yang bagus itulah yang kita tunggu.
2.2.2 Mitos Di dalam A Handbook to Literature, Hammon (1993:339) mengatakan bahwa mitos adalah : “An anonymous story that present supernatural episodes as a means of interpreting natural events. Myth makes concrete and particular a special perception of human beings or a cosmic” “Cerita anonim yang menggambarkan kejadian-kejadian supernatural sebagai suatu alat untuk menginterpretasikan peristiwa-peristiwa alam. Mitos menjadikan suatu presepsi khusus dari manusia dan kosmos menjadi kongkrit dan tertentu”. Menurut Ratna (2004:66) mitos adalah cerita anonim yang berakar dalam kebudayaan primitif, yang pada awalnya mitos diartikan sebagai imajinasi yang sederhana dan primitif untuk menyusun suatu cerita sehingga dalam pengertian modern mitos adalah struktur cerita itu sendiri. Mengenai mitos Malinowski dalam Sabeok (1974:128) mengatakan:
Universitas Sumatera Utara
“Myth studied alive, is not symbolic but a direct expression of its subject matter....Myth fulfills in primitif culture, an indispensable functions; it expresses enhances and codifies belief; it safe guards and enforces morality, it vouches for the efficiency and contains practical rules for the quidance of man”. (Mitos yang terus hidup bukanlah sesuatu yang bersifat simbol, tetapi merupakan ekspresi tegas dari persoalan intinya.....Mitos dalam kebudayaan primitif memenuhi fungsi yang penting; mitos mengekspresikan, membangun dan membentuk keyakinan; melindungi dan menekankan moral; menjamin efisiensi dan mengandung hukumhukum praktis yang menjadi petunjuk bagi manusia”.) “Myth is thus a vital ingredient of human civilization; it is not an idle tale, but a hard–worked active force; it is not an intelectual explanation or an artistic imagery, but a pragmatic charter of primitive faith and moral wisdom” (Mitos merupakan unsur yang penting dari peradaban; bukan hikayat yang asal jadi; tetapi merupakan kekuatan yang aktif dan bermakna; bukan juga penjelasan intelektual atau imaji yang artistik, tetapi suatu pernyataan pragmatis dari keyakinan dan kebiksanaan moral dari keyakinan primitif )
Lebih jauh dalam buku yang berjudul Malinonowski and the Work of Myth seperti dikutip oleh Stronski, Malinowski mengatakan : “Myth is not just the name of any story. The term myth singles out a class of the story, just as the term ’art’ or ‘literatura‘ do the same for their referent. Thus using the word myth is a way evaluating stories, or of discribing them a special or importand stories” 1992 : 270). (Mitos bukanlah nama cerita. Istilah mitos menggambarkan tingkatan cerita, sama seperti istilah ‘art’ dan ‘litteratura’ melakukan hal yang sama untuk apa yang dimaksud. Sehingga menggunakan kata mitos merupakan suatu cara mengevaluasi atau menerangkan bahwa cerita tersebut adalah ceritera yang spesial dan penting). “Myth are narratives which occur within a society, a culture; they cannot therefore fully be appreciated unless we have access to that livng culture which gives them birth and which they are current “ (1992 :28). (Mitos merupakan narasi yang terdapat pada suatu masyarakat, suatu kebudayaan; oleh karena itu tidak dapat secara penuh dimaknai kecuali
Universitas Sumatera Utara
kita mempunyai akses kedalam budaya dimana dia diciptakan dan dimana mereka ada).
Karena itu Mlinowski menghimbau untuk meneliti mitos untuk melihat ”contex of living, faith, social organization...morals....and custom.”(konteks hidup, keyakinan, organisasi sosial, moral dan adat istiadat) Mitos menurut Malinowski lahir dari ’innermost and emotional reaction to the most formidable and haunting idea”.perasaan paling dalam dan reaksi emosional terhadap ide-ide yang menghantui dan menakutkan) Filsafat Neo Kantian menganggap mitos sebagai bentuk pikiran yang bebas dari semangat manusia dan oleh karena itu tidak dapat direduksi menjadi drama tentang kekuatan psikologis empiris yang menghasilkan produksi. Cassirer dalam Sabeok (1974:7) memberikan pendapat mengenai mitos sebagai kesatuan dari bentuk struktural yang spesifik dari semangat. Menurut Max Muller dalam Smith (1979:8), mitos
adalah
ekspressi
pertama dari
proses spiritual dari pembebasan yang
dipengaruhi dalam suatu perkembangan pandangan dunia mistis dan magis sampai dengan pandangan agama. Mitos adalah langkah pertama dari dialektik perbudakan, dari pembebasan dimana pengalaman dan semangat manusia berhadapan dengan dunia pencitraan diri sendiri . Ricoeur (dalam Rafiek, 2010:54) memberi pengertian mitos sebagai tipe yang spesifik dari symbol yang dijabarkan dalam bentuk cerita, dan dituturkan berulangulang dalam ruang dan waktu. Mitos
berkenan dengan asal-usul, menghasilkan
ketegangan antara ekteoritas mitos, seperti penciptaan dan kejadian tragis dan menyedihkan, menempatkan asal-usul mendahului keberadaan manusia. Basirun
Universitas Sumatera Utara
didalam Rafiek (2010:56) memberi empat fungsi mitos didalam cerita rakyat yaitu: (a) sebagai system proyeksi angan-angan suatu kolektif, (b) sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga kebudayaan, (c) sebagai alat pendidikan dan (d) sebagai alat pendidikan dan pengawasan, agar norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya. Secara sederhana mitos adalah cerita anonim yang menggambarkan kejadiankejadian supernatural sebagai suatu alat untuk menginterpretasikan peristiwa-peristiwa alam yang membuat persepsi khusus dari manusia dan kosmos menjadi kongkrit dan tertentu. Mitos merupakan unsur penting dari peradaban ,bukan hikayat yang asal jadi, bukan penjelasan intelektual atau imaji yang artistik tetapi merupakan kekuatan yang bermakna, suatu pernyataan pragmatis dari keyakinan dan kebijaksanaan moral dari keyakinanmanusia primitif
yang mengekspresikan, membangun dan membentuk
keyakinan;melindungi dan menekankan moral; menjamin efisiensi dan mengandung hukum praktis yang menjadi petunjuk bagi manusia. Mitos merupakan narasi yang terdapat pada suatu masyarakat, suatu kebudayaan yang hanya dapat dimaknai secara penuh bila mempunyai akses kedalam budaya dimana dia diciptakan.
2.2.3 Sumbang Sumbang adalah aktivitas seksual antara dua orang yang mempunyai hubungan dekat. Di dalam kamus Webster sumbang dikatakan sebagai: “Sexual activity between people who are very closely related in a family for example a brother and sister as a father and daughter” (Aktivitas seksual antara orang yang mempunyai hubungan dekat dalam keluarga misalnya antara abang dan adik dan ayah dan anak perempuannya”)
Universitas Sumatera Utara
Dalam masyarakat Batak perkawinan sumbang tidak terbatas hanya pekawinan sedarah. Perkawinan antara pasangan dari marga yang sama juga dianggap sumbang, demikian juga dua saudara, abang adik yang mengawini dua perempuan kakak beradik dianggap juga sumbang (Vergowen1964:162-165). Lebih jauh dalam masyarakat Batak Toba dapat dilihat bahwa seorang laki-laki tidak diijinkan menikah dengan putri namboru, yakni adik ayahnya dan sepupunya dari pihak ibu. Secara sederhana konsep sumbang dalam penelitian ini adalah perkawinan sedarah, semarga dan perkawinan seorang laki-laki dengan adik istri saudaranya.
2.2.4 Folklore atau cerita Rakyat Basirun dalam Rafiek membagi Folklore dalam tiga bahagian yaitu : 1. Folklore lisan atau verbal folklore Bentuk folklore lisan murni lisan. Yang termasuk dalam Folklore lisan antara lain : a. Bahasa rakyat (logat), julukan, pangkat tradisional dan titik kebangsawan b. Ungkapan tradisional seperti pribahasa, pepatah dan pameo c. Pertanyaan tradisional seperti teka-teki d. Puisi rakyat seperti pantun, gurindam, dan syair e. Cerita prosa rakyat seperti mitos, lengenda dan dongeng 2. Folklore sebahagian lisan (partly verbal folklore) Bentuk Folklore sebahagian lisan merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan seperti kepercayaan, permainan rakyat, tari rakyat adat-istiadat, upacara, pesta rakyat dan lain-lain
Universitas Sumatera Utara
3. Folklore bukan lisan Bentuk Folklore bukan lisan diajarkan secara lisan. Bentuk ini dibagi dalam dua kelompok : a. Material, seperti arsitektur rakyat, kerajinan rakyat, pakaian danperhiasan tubuh adat, makanan dan minum-minuman serta adat tradisional b. Folklore bukan lisan non material termasuk gerak isyarat tradisional, bunyi isyarat untuk komunikasi dan musik rakyat
Di dalam bukunya Teori Sastra : Kajian Teori dan Praktek memberikan pengertian
cerita
rakyat
antara
lain adalah
pewarisannya dilakukan secara lisan. Cerita rakyat
Rafiak
penyebarannya dan
bersifat tradisional diantara
komunitas tertentu. Cerita rakyat ada dalam versi berbeda yang diakibatkan oleh penyebarannya dari mulut ke mulut, cerita rakyat bersifat anonim dan mempunyai bentuk berpola. Lebih lanjut Rafiek menyatakan bahwa cerita rakyat mempunyai kegunaan dan fungsi dalam kehidupan bersama suatu kolektif. Cerita rakyat bersifat pralogis yaitu sesuai dengan logika umum dan merupakan milik bersama dari kolektif tertentu dan bersifat polos dan lugu. Dananjaya (1986:20) memberi ciri-ciri cerita rakyat sebagai berikut : a. Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan yaitu disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut dari satu generasi ke generasi berikutnya b. Cerita rakyat bersifat tradisional, yaitu disebarkan dalam bentuk relatif atau dalam bentuk standar. Disebarkan diantara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua generasi)
Universitas Sumatera Utara
c. Cerita rakyat ada dalam versi atau varian yang berbeda. Hal ini adalah akibat penyebarannya dari mulut ke mulut, sehingga mudah mengalami perubahan, biarpun perubahan ini biasanya hanya bagian
luar,
sedangkan
bentuk
dasarnya dapat tetap bertahan. d. Cerita rakyat bersifat anonim e. Cerita rakyat biasanya mempunyai bentuk berpola dan menggunakan katakata klise dan ungkapan tradisional, ulangan-ulangan dan kalimat serta kata pembuka dan penutup yang baku f. Cerita rakyat mempunyai fungsi dalam kehidupan bersama suatu terpendam g. Cerita rakyat menjadi milik bersama dari kolektif tertentu. Hal karena pencipta pertama tidak dikenal lagi sehingga setiap anggota kolektif merasa menjadi pemilikny h. Cerita rakyat bersifat spontan dan lugu. Ini diakibatkan sifat cerita rakyat yang merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya.
Cerita perkawinan sumbang dapat dikatakan adalah mitos karena mempunyai sifat pengulangan atau repetitive dari motifnya. Repetisi atau repetition menjadi suatu karakter dari mitos. Dalam cerita Batak Toba motif ini diulang-ulang dalam banyak cerita rakyat yang sebahagian menjadi objek penelitian selanjutnya. Hal lain yang mendukung sumbang adalah mitos karena cerita tersebut di dukung dan diyakini masyarakat Batak Toba. Fakta bahwa ada peninggalan cerita sumbang yang dapat dianggap sebagai bukti bahwa cerita itu benar-benar terjadi, memperkuat sumbang dalam cerita rakyat adalah mitos.
Universitas Sumatera Utara
Dundes memberian daftar hal-hal yang termasuk cerita rakyar antara lain myth, legend, folktales, jokes, proberbs, riddles, chants, charms, blessing, insult, retorts, taunts, teases, toast, tongue twisters, greeting, leavetaking, formula (1965:108) Mitos atau cerita yang menjadi objek penelitian selanjutnya menjadi bahagian dari cerita rakyat karena pengarang tidak dikenal atau anonimus, disampaikan secara turun-temurun dan secara lisan dan mengandung sifat atau karakter cerita rakyat yang lain .
2.2.5 Struktur Struktur adalah cara dimana bahagian dihubungkan, diatur dan diorganiser satu sama lain dalam suatu pengaturan yang tertentu. Dalam A Handbook to Literature dikatakan: “Structure is the planned framework of a piece of literature, sometime referred to as structural features. The term usually is applied to the general plan or outline. In a narrative the plot itself is the structural element”(Hammon,1993 :499 ). (Struktur adalah kerangka suatu karya sastra yang direncanakan, kadangkadang dihubungkan dengan ciri-ciri yang bersifat struktural. Istilah ini biasanya diaplikasikan pada rencana umum atau garis besar. Dalam sebuah karya naratif, plot itu sendiri merupakan elemen yang bersifat struktural ) Michael Lane
dalam
bukunya
Structuralism,
A
Reader (1970:29)
mengatakan: ”A structure is a set of any element between which or between certain. Selanjutnya dia mengatakan, ”....The structuralism is a method whose primary intention is to permit the investigator to go beyond a pure discription of what is percieves or experiance in the direction of the quality of rationality which underlies the social phenomena in which he is concerned”. (Strukturalisme adalah suatu metode yang tujuan utamanya adalah memberi peluang kepada peneliti untuk berusaha lebih dari sekedar meneliti diskripsi sederhana dari apa yang dipersepsikan atau dialami dalam suatu
Universitas Sumatera Utara
arah kualitas rasionalitas yang mendasari penomena sosial dimana dia sangat perduli).
2.2.6 Makna Makna adalah pemahaman yang baik tentang sesuatu.
Dalam karya sastra
Richard dalam Hammon (1993:309) membedakan empat aspek makna yakni: sense, the denotative massage that one is trying to communicate; (2) feeling, none attitute toward the sense; (3) tone, one’s attitute toward the audience; and (4) intention, the effect one consciously or unconciously intends through what is said,how one feels about it, and the attitute one takes toward the audience. (1) makna, pesan denotatif yang hendak disampaikan oleh seseorang; (2) perasaan, yakni sikap seseorang terhadap pesan konotatif; (3) nada, yakni sikap seseorang terhadap pendengar atau pembaca dan (4) tujuan, yakni akibat yang sadar atau tidak sadar diinginkan melalui apa yang dikatakan, bagaimana perasaan seseorang tentang hal tersebut, dan sikap seseorang terhadap pendengar atau pembaca.
Dengan kata lain “meaning can be seen as of two kinds, denotation and conotation” (terdapat dua jenis makna, makna denotasi dan makna konotasi), untuk karya sastra terdapat juga empat makna yang mungkin timbul yakni “the literal, the allegorical, the tropological or moral and the analogical or spritual. (harafiah, allegoris, tropologis atau moral dan makna analogis). Mengenai makna Levi Strauss ( 1978:12) mengatakan : ”Absolutely impossible to conceive of meaning without order. There is something very curious in semantic, that the word meaning is probably , in the whole language the word meaning of which is the most difficult to find.What does to mean to mean. It seem to me that the only answer we can give is that to mean is mean the ability of any kind of data to be translated in different language. I do not mean a different language like French or German, but different words on a different level” (Adalah betul - betul tidak mungkin untuk mengerti makna tanpa keteraturan. Ada sesuatu hal yang membingungkan di dalam semantik, bahwa kata meaning mungkin di dalam seluruh bahasa sulit didapati
Universitas Sumatera Utara
artinya. Apakah arti meaning. Untuk saya jawaban satu-satunya yang dapat kita berikan adalah to mean artinya adalah kemampuan setiap jenis data untuk diterjemahkan kedalam bahasa yang berbeda. Yang saya maksud bukan bahasa yang berbeda seperti bahasa Jerman dan Perancis, tetapi kata-kata yang berbeda pada tingkatan yang berbeda. Pengertian makna dalam pembahasan mitos adalah kemampuan setiap jenis data untuk diterjemahkan kedalam bahasa yang berbeda dan secara menyeluruh memberikan totalitas makna.
2.2.7 Fungsi Mircea Eliade dalam Susanto (1987:92) mengatakan bahwa fungsi mitos yang
paling utama adalah menentukan contoh atau model bagi semua tindakan
manusia, baik dalam upacara-upacara maupun dalam kegiatan sehari-hari yang bermakna seperti pekerjaan, pendidikan seksualitas, makan, dan sebagainya. Lebih
lanjut
Mircea
dalam Susanto (1987:92) mengatakan bahwa mitos
berfungsi membentuk suatu pengetahuan esoteris, pengetahuan yang hanya dikenal oleh orang-orang tertentu. Mitos juga berfungsi sebagai sarana penyembuhan. Durkheim dalam Brown (1965:179) memberikan defenisi fungsi sebagai: ”....the corresfondence between it and the needs of the social organism. Sedangkan Proff (1975:21) mengatakan bahwa fungsi: ”....is understood as an act of character defined from the point of view of its significance for the course of action” Malinowski mengatakan bahwa fungsi dari unsur kebudayan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan naluri manusia dan kebudayaan itu sendiri. Menurut Malinowski (1974:87) seperti penganut fungsionalime yang lain mitos berfungsi sebagai :
Universitas Sumatera Utara
“....a warrant, a charter, and even a practical guide to the activities with wich it is connected. Mitos merupakan” active parts of culture like commands, deeds, or guarantees, certifying that some sort of social arrangement is legitimate; mitos merupakan” backbone of primitive culture” (bahagian kebudayaan yang aktif seperti perintah, kesepakatan, atau jaminan yang meyatakan bahwa beberapa jenis
tatanan sosial adalah
masuk akal; mitos merupakan tulang punggung budaya primitif).
Fungsi mitos adalah bagaimana mitos sebagai bahagian dari kebudayaan memenuhi kebutuhan manusia primitif Batak Toba.
2.2.8 Nilai Budaya dan Kearifan Lokal Kebudayaan adalah seluruh sistem dan hasil kerja manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia itu sendiri dengan belajar. Hal ini berarti bahwa seluruh tindak tanduk manusia adaah kebudayaan, karena sedikit sekali aktivitas manusia dalam rangka kehidupan manusia tersebut yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar yaitu naluri. Menurut Talcot Parson dalam Harahap(1987:24), yakni Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak ada tiga wujud kebudayaan yaitu: Ideas, Activities, Artifacts. Idea merupakan wujud kebudayaan sebagai suatu daerah dimana gagasan, norma dan peraturan berada. Activities adalah wujud kebudayaan yang merupakan lingkungan kegiatan serta tindakan berpola manusia berada. Sedangkan artifacts adalah wujud kebudayaan sebagai benda hasil kerja manusia. Kuncaraningrat dalam Harahap memberikan tujuh
unsur kebudayaan yang
dikatagorikan sebagai unsur kebudayaan universal yakni: Bahasa, Sistim pengetahuan,
Universitas Sumatera Utara
Organisasi sosial, Sistim peralatan hidup dan teknologi, Sistim mata pencaharian, Sistim religi danKesenian Pada tahap yang lebih tinggi, menurut Ignas Kleden dalam Harahap (1987:26), kebudayaan dikatakan sebagai sistem kognitif kerangka pengetahuan dan kegiatan yang memberikan pedoman bagi orientasi sikap dan masyarakat yang hidup dalam kebudayaan itu. Nilai budaya adalah nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat, lingkup organisasi,
hubungan masyarakat yang mengakar pada suatu
kebiasaan, kepercayaan (belief), simbol-simbol dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan perilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi atau apa yang sedang terjadi. Nilai nilai budaya akan tampak pada simbolsimbol, slogan, moto, visi misi atau segala sesuatu yang nampak sebagai acuan pokok, moto suatu lingkungan yakni : 1. Simbol-simbol, slogan atau lainya yang kasat mata 2. Sikap, tingkah laku, gerak gerik yang muncul akibat slogan, moto 3. Kepercayaan yang tertanam yang mengakar dan menjadi kerangka acuan dalam bertindak dan berperilaku.
Ada sembilan nilai budaya Batak yang menyangkut kehidupan orang Batak menurut Harahap (1987,111). Kesembilan nilai budaya tersebut adalah: 1. Kekerabatan
: yang mencakup hubungan primordial suku
2. Religi
: yang mencakup kehidupan keagamaan
3. Hagabeon
: banyak keturunan dan umur panjang
4. Hasangapon
: kemuliaan, kewibawaan, kharisma suatu nilai
Universitas Sumatera Utara
utama yang memberi dorongan kuat untu meraih kejayaan 5. Hamoraon
: kaya raya, salah satu nilai budaya yang mendasari, mendorong mencari harta benda
6. Hamajuon
: kemajuan
7. Hukum
: aturan atau batasan-batasan
8. Pengayoman
: pemberian kesejahteraan
9.
: pertentangan dalam kekerabatan, karena faktor
Konflik
ekonomi dan dalam meraih hasil budaya
Kearifan Lokal adalah gagasan-gagasan atau nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Kearifan Lokal merupakan energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan dalam suasana damai. Menurut Robert Sibarani (2012:112): “Kearifan lokal adalah kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat“. Lebih lanjut dikatakannya bahwa ”Kearifan lokal adalah nilai budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan secara arif dan bijaksana”.
2.3 Landasan Teori Di
dalam
bukunya
Structuralism
in
Literature
(1977:8-9)
Scoles
mengatakan:”....two bodies of works upon which each kind of criticism might
Universitas Sumatera Utara
legitimately operate. The hermeneutic would treats’ living’ land strcturalits treat (dua bahagian struktur dimana setiap kritik dapat digunakan secara resmi).
Lebih lanjut
distant in time or space...” dia mengatakan bahwa hal ini bukan berarti bahwa strukturalisme dan hermeneutika adalah “.... in a relation of opposition, dividing the world into objectbelonging exclusively to each group, but in relation of complementarity, capable of profitably approahing the same work and disengaging from it complimentary signification.Thus literary criticism should not refuse to learn what structuralism can tell it,even about the works that seems nearest to us, precicely by distancing the objectively and examining their fungtioning. “....dalam suatu hubungan yang berlawanan membagi dunia atas objek yang secara eksklusif menjadi milik setiap kelompok, tetapi dalam hubungan yang saling melengkapi, mampu secara menguntungkan mendekati karya yang sama, dan membebasakan dari sana siknifikasi yang penuh penghargaan. Sehingga kritik sastra seharusnya tidak ditolak untuk mempelajari apa yang dapat diberikan strukturalisme,bahkan mengenai karya-karya yang kelihatannya paling dekat dengan kita, secara tepat dengan memberi jarak secara obkjektif dan mengamati bagaimana mereka berfungsi. Hal inilah alasan dipilihnya strukturalisme dan hermeneutika sebagai alat untuk menguraikan mitos sumbang dalam ke enam cerita. Strukturalisme Levy Strauss menjadi pilihan untuk diaplikasikan, namun dibawah ini sengaja teori strukturalisme ini di terangkan lebih luas secara historis karena sebenarnya mereka saling berhubungan dimulai dengan structuralisme yang dikemukakan De Sausure sampai dengan penafsiran semiotik seperti yang dikemukakan C.E Pierce, menjadi pilihan setelah pembahasan singkat hermeneutika itu sendiri.
2.3.1 Strukturalisme Sebagai
suatu
pendekatan, strukturalisme mencakup segala bidang yang
menyangkut fenomena sosial kemanusiaan, tercakup di dalamnya ilmu-ilmu sosial murni (antropologi, sosiologi, politik, ekonomi, dan psikologi),
ilmu-ilmu
Universitas Sumatera Utara
kemanusiaan (sastra, sejarah, dan linguistik), dan seni rupa.
Luasnya cakupan
pendekatan itu didasarkan pada keyakinan kaum strukturalis bahwa segala manifestasi kegiatan sosial adalah struktur. Ciri utama dasar telaah strukturalisme adalah perhatianya yang besar terhadap keutuhan
dan
totalitas.
Yang
menjadi
dasar
telaah
strukturalisme
bukanlah bahagian-bahagian totalitas itu, tetapi jaringan hubungan yang ada antara bahagian-bahagian itu, yang menyatukannya menjadi totalitas. Kaum strukturalis tidak menelaah struktur pada permukaannya, tetapi struktur di balik kenyataan empiris. Analisis yang dilakukan pun menyangkut struktur yang sinkronis, bukan diakronis. Teks
sastra
dapat
dianalisis
dari struktur dalam maupun dari segi
eksternalnya seperti lingkungan sosial ekonomi, politik yang menghasilkannya, apa yang disebut
strukturalisme historis. Strukturalisme historis merupakan pendekatan
yang menganggap teks yang dianalisis itu spesifik dari segi historis. Pendekatan ini menjadi sangat penting artinya karena menempatkan karya sastra sebagai data dasar penelitian, sebagai suatu makna yang belapis-lapis yang merupakan suatu totalitas yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Teori struktural yang digunakan dalam pembahasan adalah teori struktural
naratif dan teori strukturalisme dari Levi Strauss. Teori
struktural narratif yakni model narration, yaitu tingkat jalinan plot dalam cerita untuk melakukan analisis data. Dundes dalam Endarswara ( 2009: 112) mengatakan cerita rakyat memiliki struktur yang saling terkait satu sama lain dan unsur cerita yang paling utama adalah motif sehingga cerita dapat dipotong menjadi beberapa bahagian dan bahagian itu disebut motifem. Bahagian ini akan membentuk struktur yang teratur. Endarswara
(2009:112)
mengatakan
cerita rakyat dapat dipotong-potong
menjadi beberapa bahagian. Hal pemotongan ini dapat dibenarkan pada analisis
Universitas Sumatera Utara
stuktural. Setiap bahagian disebut motifem. Cerita terdiri dari sederet motifem namun unsur-unsur motifem itu tidak terpisah melainkan mengarah kepada keutuhan makna. Hasil analisis struktur seperti ini digunakan untuk mencari apakah ada motifem yang spesifik. Hasil analisis struktur 1. Membuat tipologi cerita rakyat. 2 mencari apakah ada motifem yang spesifik 3. Mencari atau mengetahui sejauh mana suatu cerita yang berasal dari suatu daerah tertentu diubah dan digubah mencadi cerita baru di daerah lain. Endasrwara (2009:120) dan
Dundes (1965: 31) mengatakan yang termasuk
folklore adalah mitos, legenda, dongeng, lelucon, peribahasa, tekateki, dan sebagainya. Strukturalisme
dari Levi Strauss termasuk strukturalisme fungsional.
Strukturalisme fungsional berkembang pada sekitar tahun 1960 sebagai usaha untuk menerapkan metode dan kemampuan memahami pada kesusasteraan biarpun usaha ini sudah dirintis Ferdinand De Saussure pada tahun 1916 dengan diterbitkannya bukunya yang berjudul Course in General Linguistic Strukturalisme fungsional ini lahir oleh adanya kesadaran
akan keberadaan
elemen-elemen yang mendominasi tindakan komunikasi. Strukturalisme fungsional ini juga lahir karena adanya kesadaran bahwa tidak ada yang mempunyai fungsi estetik tanpa terlepas dari tempat, waktu atau orang yang menilai dan tidak ada yang mempunyai fungsi tersebut dalam kondisi yang tepat. Strukturalisme berurusan dengan struktur, meneliti peraturan umum yang mendasari cara kerja. Strukturalisme mereduksi fenomena individual menjadi sekedar contoh dari peraturan- peraturan, dengan mengeluarkan isi cerita dan berkonsentrasi pada bentuk, hubungan antara item dalm cerita seperti paralelisme, pertentangan, pembalikan dan keselarasan.
Universitas Sumatera Utara
Strukturalisme tidak memperdulikan aspek kultural dari karya, tidak perduli dengan apa yang disebut akal sehat, menolak makna yang jelas serta mengisolasi struktur-struktur yang mendalam dari cerita sehingga isi tertentu dari cerita dapat diganti karena isi narasi adalah strukturnya. Strukturalisme
fungsional sebaliknya
secara umum merupakan usaha
menerapkan teori linguistik pada objek dan aktivitas selain bahasa itu sendiri seperti mitos, kekerabatan sebuah suku dan lain-lain dan menganggapnya sebagai sistem tanda. Sehingga strukturalisme fungsional memberikan perhatian yang besar pada aspek kultural dari suatu karya, mempertimbangkan akal sehat dan makna yang jelas serta struktur yang mendalam dari cerita. Strukturalisme fungsional ini juga lahir karena adanya kesadaran bahwa tidak ada yang mempunyai fungsi estetik tanpa terlepas dari tempat, waktu atau orang yang menilai dan tidak ada yang mempunyai fungsi tersebut dalam kondisi yang tepat. Strukturalime berurusan dengan strukturnya, meneliti peraturan umum yang mendasari cara kerjanya. Teori ini mereduksi fenomena individual menjadi sekedar contoh
dari
peraturan, mengeluarkan isi cerita dan berkonsentrasi pada bentuk,
hubungan antara item dalam cerita seperti paralelisme, pertentangan, pembalikan dan keselarasan. Strukturalisme
fungsional sebaliknya
secara
umum
merupakan
usaha
menerapkan teori linguistik pada objek dan aktivitas selain bahasa itu sendiri seperti, mitos, kekerabatan sebuah suku dan lain-lain dengan menganggap mereka sebagai sistem tanda. Menurut Eagleton (2006: 192 ) analisis strukturalisme fungsional mencoba memisahkan perangkat aturan, yang mengkombinasikan tanda-tanda menjadi sebuah
Universitas Sumatera Utara
makna yang mendasari sistem.
Analisis ini tidak terlalu menghiraukan apa
sebenarnya yang dikatakan oleh tanda namun memberi perhatian yang besar
pada
hubungan bahagian internal satu sama lain. Strukturalisme fungsional merupakan suatu usaha untuk memikirkan ulang segala hal secara keseluruhan dengan kaidah linguistik sehingga sastra akan dianggap sebagai struktur fungsional dengan menciptakan sistematisasi linguistik dimana penanda dan petanda diatur oleh suatu perangkat hubungan yang kompleks.
Tanda-tanda ini harus dipelajari tersendiri
bukan sebagai cerminan realitas eksternal Fersinand De Saussure, Roman Jacobson,
Claude Levi-Strauss dianggap
sebagai penggagas strukturalisme fungsional karena mencoba memahami rangkayan tanda dan fenomena kebudayaan dengan menerapkan strukturalisme bahasa atau linguistik mengenai relasi dan tanda. Levi Strauss sangat dipengaruhi oleh Ferdinand de Saussure. Menurut Eagleton (2006:192) dan Scholes dalam bukunya yang berjuduk Structuralism in Literature (1974:13-22) ada lima pandangan Saussure yang merupakan dasar strukturalisme yaitu (1) petanda atau signified, dan penanda atau signifier. Setiap tanda harus dilihat dari sebuah penanda, citra-bunyi atau persamaannya dan sebuah petanda yaitu konsep atau makna dibelakang tanda atau yang dikandung tanda; ( 2) bentuk atau form dan isi atau content, bentuk besifat tetap sedangkan isi berubah-ubah; (3) bahasa atau langue dan tuturan atau parole. berubah
Bahasa atau parole bersifat stabil sedangkan tuturan selalu
dan berbeda, tergantung kepada orangnya; (4) hubungan sinkronis atau
sincronic dan diakronis atau diacronic. Bahasa yang dipelajari secara sinkronis yakni bahasa yang diperlakukan atau didekati sebagai suatu sistem yang statis, lengkap pada suatu waktu tertentu dan bahasa yang dipelajari secara diakronis adalah bahasa yang
Universitas Sumatera Utara
didekati dalam perkembangan sejarahnya yang mengalami perkembangan atau perubahan; (5) sintakmatis atau Hubungan sintakmatis sebuah
syntacmatic dan paradikmatis atau paradigmatic. kata atau tanda adalah hubungan yang dimilikinya
dengan kata
yang berada di depannya atau di belakangnya, sedangkan hubungan
paradikmatis
sebuah kata adalah hubungan-hubungan yang sangat penting yang
dimilikinya di luar hubungan sintakmatik Menurut Saussure dalam bukunya General Linguistic (1966-116- 118) tidak ada ide sebelum kata, hal ini berarti pikiran terlepas dari perwujudan dalam kata. Alasannya adalah kalau kata bukan nama, apa ciri yang penting dari kata sehingga kata mempunyai makna. Saussure memberikan dua macam pembedaan yakni penanda atau signified dan petanda atau signifier dan pembeda yang kedua adalah bentuk atau form dan isi atau content. Dua pembeda tersebut saling menyilang sehingga kata mempunyai empat aspek yaitu bentuk dan isi dari penanda dan bentuk dan isi dari petanda. Saussure mangatakan bahwa setiap tanda kebahasaan menyatukan konsep dan suara (sound and image). Bahasa menyatukan benda, sesuatu dengan sebuah nama. Suara yang muncul dari yang diucapkan mengandung penanda yaitu signifier, konsep atau signified. Pemisahan, distinct concept and distinct sound
akan
menghancurkan kata. Bila petanda harus dirobah penanda juga harus dirobah. Menurut Saussure bahasa seperti kertas dengan dua sisi yaitu pikiran dan suara. Saussure memandang bahasa sebagai satu sistem tanda yang harus dipelajari secara sinkronis yang artinya bahasa dipelajari sebagai suatu sistem yang lengkap pada waktu tertentu, bukan pada perkembangan sejarahnya yaitu diakronis. Tiap tanda terdiri dari sebuah penanda yang berupa bunyi atau gambar dan sebuah petanda
Universitas Sumatera Utara
yaitu konsep atau makna. Dalam linguistik yang ada hanya perbedaan, sedangkan makna tidak terkandung secara misterius tetapi bersifat fungsional, yang merupakan konsikuensi dari perbedaannya dengan tanda-tanda yang lain. Elemen dasar dari struktur linguistik adalah tanda.” A linguistic system is not a simply a name for a thing, but a complex whole which links a sound image and concept”.( Sebuah sistem linguistik buka hanya sebuah nama untuk satu benda, tetapi suatu kesatuan yang kompleks yang menghubungkan gambaran suara dan konsep) Tanda kebahasaan atau linguistic sign menurut Saussure merupakan entitas yang arbitrair. Hubungan antara elemen penanda dan petanda adalah semena-mena, artinya tidak ada hubungan yang alami dari penanda dan petanda, sehingga tidak ada konsep dalam memberi nama sesuatu. Setiap bahasa mengartikulasikan, menyatakan ide tentang realitas dengan cara yang berbeda. Bahasa tidak besifat nomenklatur ( sistem menamai) Tanda bukanlah konsep yang sudah ada, melainkan konsep yang dapat berubah. Yang menentukan bahwa penanda adalah penanda dan petanda adalah petanda adalah relasi atau hubungan karena keduanya bersifat arbiter, keduanya bersifat relasional. Menurut Seassure, linguistik mempunyai aspek langue dan parole. Aspek langue
merupakan
aspek
sosial
bahasa. Langue
memungkinkan komunikasi
simbolik antara manusia karena langue dimiliki bersama. Karena itu langue mempunyai kompetensi yaitu fenomena kolektif. Parole yang merupakan wujud aktualisasi dari langue dalam rupa lisan atau tulisan adalah tuturan yang kita wujudkan ketika kita menggunakan bahasa. Tuturan bersifat individual yang menunjukkan kebebasan pribadi yang kemudian dapat
Universitas Sumatera Utara
berfungsi membedakan orang per orang. Tuturan adalah sisi empirik dan konkrit dari bahasa dan merupakan struktur yang tidak kelihatan. Menurut berubah atau
Saussure (1966:80)
seperti
diterangkan di muka, tanda selalu
arbiter. Karena itu tanda bahasa tunduk pada proses sejarah atau
contingent result’ dari perobahan-perobahan. Kombinasi
penanda dan petanda
merupakan ‘contingent result’ dari proses pengalaman analisis historis bahasa. Tidak ada inti yang harus bertahan yang entitasnya bersifat rasional dalam relasinya dengan tanda yang lain. Bahasa menurut Seassure adalah “....a system of a pure value which are determined by nothing except by the momentary arrangement of its term ” . Artinya bahasa merupakan entitas historis. Fokus kajian bahasa adalah pada relasi yang ada dalam keadan sinkronis-diakronis dan sejarah tidak relevant untuk analisis bahasa. Inilah yang dikenal dengan dengan relasi sintakmatis dan paradikmatis. Pada difrensiasi
sinkronis-diakronis
yang disinggung di depan, dalam
hubungan yang diberikan bahasa, tiap kata di dalam mempunyai hubungan assosiatif atau paradigmatis dan hubungan sintagmatis dalam rangkaian bunyi maupun kata sebagai konsep. Hubungan sintagmatis sebuah kata adalah hubungan yang dimiliki, dengan kata yang lain yang mungkin berada di depan atau di belakang. Sedangkan hubungan paradigmatis adalah hubungan assosiatif, hubungan pengertian antara satu kata dan tuturan dengan kata lain di luarnya. Kata yang ada dalam satu rantai, kalau berbeda makna memiliki persentuhan makna atau kesamaan arti atau kesamaan fungsi tertentu, maka kata-kata dalam rantai tersebut dapat saling menggantikan.
Universitas Sumatera Utara
Hubungan sintagmatis sangat penting bagi kata. Kata akan kehilangan relasi sintakmatisnya atau akan mempunyai sintagmatis yang baru dan akan kehilangan identitas formalnya, ditentukan oleh hubungan sintagmatisnya. “In the syntagmatic a term accurances its value only because it stand in opposition to everything that precides or follow it or both. Sedangkan hubungan paradigmatis adalah hubungan yang penting yang dimiliki di luar hubungan sintagmatis, yang memisahkan
berbagai perbedaan yang penting fungsinya bagi
pendefenisian kata tersebut. Relasi meupakan aspek yang sangat penting karena kalau satu kata kehilangan sebahagian relasi tersebut atau mendapat relasi non sintagmatis yang benar, kata tersebut akan
kehilangan
identitas
formalnya yang lama. Sedangkan hubungan
pradigmatis kata sama dengan hubungan yang dimiliki dengan kata lain yang dapat menggantikannya dalam satu hubungan tanpa membuat kata tersebut secara sintagmatis tidak dapat diterima atau tidak bermakna. “Language is a system of interdependent terms in which the value of each terms resulted solely from the symultaneus precense of others.. ... and the system is a ...complex mechanism that can be grasped only through reflection, the very one who use it clearly are ignorant of it. (1966 :83) (Bahasa adalah suatu sistem dari kata dimana satu sama lain saling tergantung satu sama lain....dan sistim tersebut merupakan mekanisme yang kompleks yang hanya dapat dimengerti lewat pantulan, dimana setiap orang yang menggunakannya jelas tidak memperhatikannya).
Sebuah cerita atau mitos seperti bahasa memiliki poros sintakmatis dan poros paradigmatis yang dapat di susun dengan menemukan bahagian paling kecil dari narrasi yaitu miteme dan ceriteme yakni kumpulan peristiwa atau bahagian yang bersamasama membentuk serta menampilkan berbagai tokoh dalam gerak. Sehingga hubunga
Universitas Sumatera Utara
paradigmatis dalam cerita yakni hubungan suatu miteme dengan miteme diluarnya, sedangkan hubungan sintagmatik adalah hubungan miteme dengan miteme yang di depannya atau di belakangnya. Sebagai rangkaian tanda dan simbol, fenomena kebudayaan dapat ditanggapi dengan cara seperti yang diberikan Saussure diatas. Makna yang ditampilkan dari berbagai fenomena budaya dapat menjadi lebih kaya dan utuh. Mitos sebagai bahagian kebudayaan dan alat komunikasi dapat ditanggapi juga dengan cara pendekatan terhadap bahasa seperti digambarkan diatas yakni dengan menentukan poros sintagmatis dan paradikmatis. Teori strukturalisme Levi-Strauss berdiri di atas teori semiotik atau semiologi Saussure . Analisis Strauss menjadi awal dari strukturalisme modern dan mitos yang menjadi awal analisis terhadap narasi menjadi analisis yang dirintis oleh Levi-Strauss. Strukturalisme Levi Strauss menganggap teks narratif misalnya mitos sejajar atau mirip dengan kalimat berdasarkan dua hal yakni pertama teks tersebut adalah kesatuan yang bermakna (meaningful whole) yang dapat dianggap mewujudkan atau mengekspresikan keadaan pemikiran seorang pengarang seperti halnya sebuah kalimat yamg menunjukkan atau megejawantahkan pemikiran pembicara. Kedua, teks tersebut memberikan bukti bahwa mitos diartikulasikan dari bahagian-bahagian, sebagaimana kalimat diartikulasikan oleh kata-kata yang membentuk kalimat. Levi-Strauss memberi perhatian terhadap mitos yang terkandung dalam setiap dongeng baik secara utuh maupun fragmentaris dan
memandang mitos berbeda
disebakan variasi sejumlah tema dasar. Menurut Levi Strauss, dibalik keragaman mitos terdapat struktur universal yang konstan sehingga mitos manapun dapat direduksi
Universitas Sumatera Utara
menjadi struktur. Karena itu, menurut Strauss mitos merupakan jenis bahasa yang dapat dipecahkan menjadi unit individual atau mythemes. Strauss dapat menunjukkan
bahwa masyarakat primitif mempunyai pola
berpikir yang bersifat kompleks. Fenomena antropologis yang lain seperti halnya kinship atau kekerabatan dapat dipelajari maknanya bila diletakkan di dalam relasi struktural. Sehingga sumbang atau perkawinan terlarang yang hampir selalu ditemukan dalam setiap suku bangsa tidak dapat begitu saja dikatakan berasal dari kodrat biologis, melainkan adalah representasi sebuah sistem penandaan atau kebudayaan. Penelitian Strauss yang dilakukannya dengan serius dan tajam mengenai masyarakat primitif membuka dimensi baru dalam pemahaman budaya secara umum. Salah satu dari kesimpulan yang dia berikan adalah bahwa mitos hampir selalu mengulang tema yang sama yang berhubungan dengan pencarian asal usul dan eksistensi manusia. Strukturalisme Strauss memungkinkan mengenali kondisi-kondisi yang memungkinkan produksi dan transformasi mitos dengan memberikan perhatian terhadap mitos yang terkandung dalam setiap dongeng baik secara utuh ataupun fragmentaris. Mengenai langkah–langkah struktural, Levi-Strauss dalam bukunya The Structural Study Of Myth (1974:76) mengatakan: “.... the only method we can suggest at this stage is to proceed tentatively, by trial and error, using as a check the principles which serve as a basis for any kind of structural analysis; unity of solution, and ability to construct the whole from a fragment, as well as a further stages from the previous one” (Dalam tahap ini metode yang dapat kami berikan untuk sementara adalah melanjutkan dengan uji coba, untuk menguji prinsip yang dapat dianggap sebagai dasar setiap analisis struktural yakni ketepatan urayan,
Universitas Sumatera Utara
keutuhan solusi atau pemecahan dan kemampuan menyusun kembali kesatuan berdasarkan fragment atau pecahan, demikian juga halnya tahapan yang lebih jauh dari sebelumnya).
Langkah kerja Levi-Strauss( dalam Rafiek,2010:76 dan Ahimsa Putra 2012 :208) dimulai dengan membaca keseluruhan cerita serta kemudian membaginya dalam beberapa episode. Langkah selanjutnya adalah mencari diskripsi setiap episode tentang tindakan atau peristiwa yaitu mytheme dan cerytheme yang dialami tokohtokoh. Selanjutnya adalah memperhatikan adanya relasi, yakni hubungan–hubungan tertentu antara elemen dalam satu cerita. Cerytheme disusun
secara diakronis dan
sinkronis mengkuti sumbu sintagmatik dan paradigmatik dengan elemen yang lain. Langkah selanjutnya adalah menarik hubungan atau relasi antar elemen dalam satu cerita secara keseluruhan dan langkah terakhir adalah menarik kesimpulan. Membongkar mitos dengan memilahnya menjadi poros sintagmatis yaitu urutan cerita secara horizontal dan poros paradigmatis secara vertikal dimaksudkan untuk mengungkap arti sebuah mitos dengan mengenali kondisi yang memungkinkan produksi dan transformasi mitos. Dalam tulisannya yang berjudul The Structural Study of Myth, Levi-Strauss (1974:86)menyatakan: “ (1) If there is a meaning to be found in mythology, this cannot be made in the Isolated elment which enter into the composition of myth, but only in the way those elements are combined. (2) Although belong to the same catagory as language, being, as a matter of fact, only part of it. language in myth unveils spcific properties. (3) Those properties are only to be found above the ordinary linguistics level; that is the exhibit more complex feature beside those are to be found in any kind of linguistic expressio”. (1).Seandainya ada makna untuk ditemukan dalam mitologi, hai ini tidak didapati dalam elemen-elemen yang terpisah yang dimasukkan
Universitas Sumatera Utara
komposisi mitos, tetapi hanya dengan cara dimana elemen-elemen dikombinasikan. (2). Biarpun dapat dikatagorikan sebagai bahasa, dalam kenyataannya hanya sebahagian dari bahasa mitos yang membukakan properti yang spesifik. (3). Properti-properti tersebut hanya dapat ditemukan dengan cara-cara di atas tingkat linguistik, yakni propertiproperti tersebut menunjukkan gambaran yang lebih kompleks dari gambaran yang ditemukan dalam ekspressi linguistik.
Dalam bukunya yang berjudul Strukturalisme Levi-Straus, Ahimsa Putra (2011:92) menyatakan bahwa strukturalisme Levi-Strauss cocok dan dapat diterapkan dalam menganalisis mitos. Analisis struktural mengambarkan struktur-stuktur tertentu yang jelas tidak mungkin dilihat kalau tidak menganalisisnya secara struktural. Struktur membantu memahami suatu karya sastra karena dengan pembahasan struktur, analisis lebih konstektual karena menghasilkan makna-makna baru di balik karya yang dianalisis.
2.3.2 Teori Hermeneutika Mitos dapat diuraikan bila didekati secara holistik yakni secara menyeluruh. Teori yang mengamati secara holistik adalah teori Hermeneutika (Junus, 1981:10). Sedangkan pengertian hermeneutika itu sendiri adalah menafsirkan. Dalam
bukunya
Metodologi
Penelitian
Sastra
Endarswara
(2006:43)
memberikan pengertian hermeneutika sebagai tafsir, dan studi sastra mengenal hermeneutika sebagai tafsir sastra. Selanjutnya Ricoeur dalam Endaswara (2006:43) mengatakan bahwa hermeneutika berusaha memahami makna sastra yang ada dibalik struktur. Kata Hermeunetika asalnya dibatasi hanya pada penafsiran Kitab Suci pada abad ke XIX yang memperluas pengakuan dengan mencakup penafsiran tekstual secara
Universitas Sumatera Utara
keseluruhan. Filsafat Heidegger menjadi penafsiran tekstual secara keseluruhan yang kemudian diteruskan oleh Hans G.Godamer. Dalam bukunya yang berjudul Truth and Method (Eagleton,2006:93) Gadamer mengatakan masalah yang ditemukan ketika membicarakan teori sastra adalah tidak pernah ditemukan kesimpulan seberapa jauh karya sastra relevan dengan makna atau dapatkah karya sastra dimaknai oleh pembaca yang secara budaya dan historis asing dengan karya sastra itu, kemudian apakah dimungkinkan memaknai objek dan apakah pemahaman objek berhubungan dengan situasi historis. Pertanyaan-pertanyaan di ataslah yang mendasari teori hermeneutika. Gadamer dalam Eagleton (2006-96) mengatakan bahwa makna karya sastra tidak pernah terkuras oleh maksud pengarang dan makna-makna baru muncul ketika karya berpindah antara konteks budaya dan histories. Hal ini diterima oleh Hirsh, namun dia menyebutnya sebagai signifikansi. Menurut Gadamer semua penafsiran terhadap sebuah karya yang ditulis dimasa lalu terdiri dari dialog antara masa lalu dan masa sekarang. Apa yang dikatakan karya itu pada gilirannya tergantung dari jenis pertanyaan yang
dapat diajukan kepada karya sastra tersebut dari sudut pandang
pembaca. Kemampuan memahami sejarah yang disampaikan sebuah karya, tergantung kepada kemampuan kita merekonstruksi pertanyaan di mana karya itu menjadi jawaban. Menurut Gadamer dalam Eagleton (2006:98), karya adalah dialog dengan sejarahnya sendiri. Sejarah percakapan yang merupakan diri kita, dan Hermeneutika menganggap sejarah sebagai dialog hidup antara masa lalu, masa kini dan masa depan. Tetapi hermenutika tidak menerima masalah ideologi karena sejarah manusia yang tanpa akhir, seringkali hanya merupakan monolog dari golongan yang berkuasa ke
Universitas Sumatera Utara
golongan lemah. Metode hermeneutika mencoba menyesuaikan setiap elemen dalam teks menjadi suatu keseluruhan yang lengkap dalam sebuah proses yang bisa dikenal sebagai lingkaran hermeneutika yaitu ciri-ciri individual yang dapat dimengerti berdasarkan keseluruhan konteks dan keseluruhan konteks dapat dimengerti melalui ciri-ciri individual. Perkembangan hermeneutika menurut Eagleton (2006:100-101)dikenal sebagai estetika resepsi atau teori resepsi. Teori ini tidak berkonsentrasi secara eksklusif pada masa lalu. Teori resepsi meneliti pesan pembaca dalam kesusasteraan baru dan merupakan suatu hal yang baru dan menarik. Dilanjutkan dengan tindakan atau kegiatan. Tindakan harus dijabarkan dalam tingkat pemahaman. Penjelasan diarahkan pada tujuan akhir, maksud dan ruang lingkup tindakan. Selanjutnya adalah proses pengalaman yaitu kecenderungan yang dicetuskan atau sebagai ungkapan non verbal, dengan memperhitungkan bahwa hal-hal tersebut merupakan salah satu bentuk atau jenis pengalaman. Lebih lanjut Gadamer dalam Eagleton (2006:1005) mengatakan bahwa masalah ini hanya akan dapat dimengerti dengan melihat atau lewat masa lalu yang kemudian keduanya membentuk suatu ketersinambungan yang hidup. Karena masa lalu selalu dimengerti secara parsial oleh sudut pandang dari masa sekarang, maka perstiwa pemahaman hanya dapat dilakukan bila wilayah makna historis dan asumsi bersatu dengan kondisi dan situasi tempat karya itu berada. Mungkin kita akan bersentuhan dengan peninggalan yang asing bagi masa sekarang, tetapi akan memberi pemahaman yang utuh akan masa sekarang. Teori ini akan diterapkan dalam pembahasan setiap episode menghubungkan makna historis yang bersatu dengan asumsi
mitos dengan
dengan kondisi dan
Universitas Sumatera Utara
situasi tempat karya itu berada, dalam hal ini situasi dan kondisi masyarakat Batak Toba diwaktu dan ditempat dimana karya itu berada. Menurut Hammon ( 2000: 192):“Episode is an incident presented as one continuous action. Though having an unity within itself, the episode in any composition is usually accompanied by other episode woven together to create a total work“. Episode adalah suatu kejadian yang dipresentasikan sebagai suatu kegiatan yang berkelanjutan. Biarpun memiliki kesatuan di dalam dirinya, episode dalam sitiap komposisis biasanya disertai oleh episode yang dirangkaiaka bersama sama untukmenciptakan karia yang total). Lebih lanjut Hammon mengatakan: ”More narrowly, the term is sometimes used for an incident injected into a piece of fiction simply to illuminate character or to create background whithout advancing the action” ( lebih sempit lagi istilah episode digunakan sebuah kejadiaan yang dimasukkan ke dalam suatu karya hanya untuk menonjolkanpelaku atau menciptakan latar belakang tanpa mengembangkan kegiatan) Hal ini dilakukan dengan memahami sudut pandang para pelaku dalam mitos, memahami makna dan kegiatan para pelaku yang berhubungan dengan peristiwa secara historis serta memahami
peristiwa berdasarkan gagasan yang berlaku pada saat
sekarang dimana analisis akan dihubungkan dengan realitas sosial.
2.3.3 Interpretasi Semiotik C.S. Pierce C.S. Pierce filsuf Amerika dalam Hawkes (1977:127) membedakan adanya tiga jenis tanda dasar yakni resentment or sign (tanda itu sendiri),
object (hal yang
ditandai), dan ground (sebuah tanda baru yang terjadi di dalam benak penerima tanda. Lebih lanjut Pierce mengatakan kaitan representasi (yang menghadirkan berada
Universitas Sumatera Utara
diantara tanda dan yang ditandai (interpretasi yang
ada dibenak penerima berada
diantara kedua tanda tersebut). Interpretant
Representament
Object
Figura 1: Interpretasi Semiotik Pierce
Representment
: bentuk yang mengatakan makna
Interpretant
: makna
Object
: Sesuatu yang berada diluar tanda yang merupakan acuan
Berdasarkan hubungan antara tanda dengan yang ditandakan didapatlah tiga jenis tanda ( Hawkwes 1977:127) yakni: “Icon something which function as a sign by means of features of itself which resemble its object; the index, something which function as a sign by virtue of some sort of factual or casual connection with its object; and the symbol something which function as a sign because of some rule of conventional or habitual association between its self and its object. Icon merupakan tanda yang secara inheren memiliki kesamaan dengan arti yang ditunjuk, index merupakan tanda yang memiliki hubungan kausal dengan yang ditandakan, berkesinambungan dan simbol adalah tanda yang memiliki hubungan makna yang bersifat arbitrer berdasarkan kesepakatan yakni sesuai dengan lingkungan sosial tertentu.
Universitas Sumatera Utara
Simbol sering berbeda di anatara wilayah pemilik folklor. Dua jenis tanda yang pertama yakni ikon dan indeks merupakan tanda yang dapat menggugah emosi dan pengalaman langsung dari hal-hal yang ditandai, sedangkan symbol merupakan spritual pengalaman dari hal-hal yang ditandai. Dengan pendekatan ini penelitian dapat diarahkan pada hubungan teks dan pembaca. Teks sastra menjadi alat komunikasi antara pengarang dan pembaca. Dengan urayan diatas dapatlah penelitian diarahkan pada hubungan teks dan pembaca dalam hal ini penelitian diarahkan kepada pembacaan hermeneutika yang merupakan penafsiran atas totalitas karya sastra. Tanda mitos sebagai satu jenis cerita rakyat menurut Endarswara (2009:124) memuat hubungan representasi objek. Interpretasi terdiri dari tiga hal yaitu ikon yang merupakan hubungan persamaan antara tanda dan referen didalamnya ada keterkaitan yang berupa persamaan bentuk. Kedua indeks adalah tanda yang meliputi hubungan kausal yang berkesinambungan bersifat arbriter, yakni
dan yang ketiga adalah simbol yakni tanda yang
berdasarkan kesepakatan.
Simbol sering berbeda diantara
wilayah pemegang mitos. Ikon dan Indeks merupakan tanda yang dapat menggugah emosi dan pengalaman langsung dari hal-hal yang ditandai. Peneliti dengan sendirinya akan bangkit emosinya ketika mengamati fenomena sedangkan simbol merupakan pengalaman pikiran, pengetahuan dan memerlukan tafsiran. Mempelajari
tanda
mitos
sebagai
satu
jenis
cerita
rakyat
harus
memahamibentuk yang tercitra dalam kognisi seseorang serta makna atau isi, yakni yang dipahami oleh manusia pemakai tanda. De Seassure
menggunakan istilah
significant signifier untuk segi bentuk suatu tanda dan signified untuk segi makna. Dengan demikian De seassure dan para pengikutnya seperti Rolan Barthes melihat
Universitas Sumatera Utara
tanda sebagai sesuatu yang menstruktur dimana proses pemaknaan adalah berupa kaitan antara penanda dan petanda, dan kaitan ini merupakan kaitan yang terstruktur yang terdapat dalam kognisi manusia. Penelitian akan terkait
dengan interpretasi yakni hermeneutika
pemaknaan terhadap fenomena. Cerita rakyat memiliki fenomena
mitos
yaitu yang
memiliki makna tertentu yang akan terwujud jika telah ditafsirkan Fenomena dibalik mitos memberikan makna yang tepat. Hermeneutika artinya menafsirkan. Endarswara dalam bukunya
Metodologi Penelitian Sastra (2008:43-44)
mengatakan teks dalam penafsiran sendiri sudah jelas .Menurut pandangan ini , maka syarat-syarat dan susunan teks membuka kesempatan bagi seorang pembaca yang kompeten untuk menemukan arti yang tepat. Dalam hal ini diperlukan aspek penghayatan teks dalam penafsiran sehingga penafsiran tidak terasa dangkal. Untuk itu langkah – lamgkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah: (1) menentukan arti langsung yang primer, (2) bila perlu menjelaskan arti-arti yang implisit, (3) menentukan tema, (4) memperjelas arti simbolik dalam teks. Hal inilah yang dilakukan dalam bahagian tafsir teks selanjutnya.
2.3.4 Teori Sosiologi Sastra Teori sosiologi sastra sudah dikemukakan sejak sebelum Masehi, diantaranya oleh filsuf Yunani, Plato, yang mengatakan bahwa segala yang ada di dunia
ini
sebenarnya merupakan tiruan dari kenyataan tertinggi yang ada di dunia gagasan. Dalam teori tersebut secara tidak langsung Plato mengatakan bahwa faktor lingkungan, cuaca, geografi, iklim dan watak
manusia mempangaruhi perkembangan sastra.
Setelah Plato kemudian muncul seorang kritikus Jerman, Johan Gottfried van Herder
Universitas Sumatera Utara
yang mengatakan bahwa setiap karya sastra berakar pada suatu lingkungan sosial dan geografis tertentu seperti iklim, lanskap, ras, adat istiadat dan kondisi lingkungan. Pada perkembangannya pendekatan sosial terhadap sastra terbagi dua, pertama yaitu aliran positifisme yang berusaha untuk menghubungkan sastra dan sosial melalui faktor iklim, geografi dan ras. Pandangan positivisme ini jelas hanya menjadikan sastra sebagai bahan telaah saja. Aliran yang kedua adalah aliran yang menolak pandangan tersebut.
Dalam
pandangan
ini
sastra
dinilai
bukan
sekedar
pencerminan
masyarakatnya. Sastra merupakan usaha manusia untuk menemukan makna dunia yang semakin kosong dari nilai-nilai sosial. Secara sosiologis, sastra adalah cara dan sikap untuk menghadapi keadaan yang dialami manusia demi kesejahteraan manusia itu sendiri sesuai dengan norma yang berlaku. Ada dua istilah yang perlu dijelaskan untuk memberikan pengertian yang jelas mengenai istilah sosiologi dan sastra. Sorikin ( dalam Sukanto, 1983:15) mengatakan bahwa sosiologi adalah telaah atau studi yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara berbagai gejala sosial dan gejala non sosial serta mempelajari ciriciri umum semua jenis gejala sosial. Hal ini akan menarik perhatian kita kepada hubungan manusia di dalam suatu kelompok sosial serta lingkungannya, baik yang bersifat budaya atau bukan budaya. Dengan mempelajari gejala budaya tersebut kita mendapat pengertian tentang bagaimana manusia berdaptasi dengan lingkungannya, mekanisme
sosial
Damono1984:4)
dan
proses
pembudayaannya.
Hyppolyte
Taine
(dalam
meletakkan dasar-dasar teori sosiologi sastra dengan menyatakan
bahwa karya sastra adalah refleksi kondisi masyarakat. Oleh sebab itu, telaah sosiologi
Universitas Sumatera Utara
suatu karya sastra akan mencakup tiga hal yaitu konteks sosiologi pengarang, kondisi masyarakat yang digambarkan dan nilai sosial yang tergambar. Grebstein (dalam Damono,1984:5) menyatakan bahwa karya sastra tidak dapat dipahami secara utuh apabila dipisahkan dari lingkungan, kebudayaan atau peradaban yang menghasilkannya karena karya sastra merupakan hasil pengaruh timbal balik dari faktor-faktor sosial dan kultural. Setiap karya sastra yang dapat bertahan lama, pada hakikatnya adalah suatu
moral, dalam hubungannya dengan kebudayaan yang
menghasilkannya maupun dengan perseorangan. Moral dalam hal ini berarti bahwa ia terlibat dengan kehidupan dan memberikan penilaian terhadap kehidupan itu sendiri. Karena itu sastra adalah eksperimen moral. Lebih jauh Grebstein mengatakan bahwa sastra dapat didekati dari dua arah yakni sastra sebagai kekuatan material dan yang kedua sastra sebagai kecenderungan spritual maupun kultural yang bersifat kolektif. Oleh karena itu, bentuk dan isi sastra mencerminkan perkembangan sosiologis dan perubahan watak kultural. Sosiologi sastra dikaitkan dengan peta budaya yang mengelilingi cerita rakyat atau mitos. Menurut Endarswara (2006:80
) ada
beberapa llangkah yang harus
dilakukan dalam aplikasi sosiologi sastra yakni: (1) perspektif teks sastra yakni teks sastra diteliti sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya, dimana teks dipotong-potong dan makna sosiologisnys diterangkan, (2)persfektif biografis yaitu persfektif yang menganalisis kehidupann pengarang ,dan latar belakang sosiologisnya dan (3) yaitu persfektif reseptif yaitu tentang bagaimana penerimaan masyarakat terhadap teks.
Hal
ini
dilakukan
dengan
memperhatikan
temuan
analisis
dengan
perkembangan sosiologis dan perubahan watak kultural masyarakat Batak Toba yang ditemukan dalam fakta di lapangan.
Universitas Sumatera Utara
2.3.5 Teori Fungsionalisme. Berdasarkan sejarah ada dua aliran fungsionalisme yakni yang diajukan Radcliffe- Brown dan yang diajukan Bronislaw Malinowski. Keduanya memandang masyarakat manusia sebagi sesuatu yang secara keseluruhan saling beintegrasi dan berfungsi. Pandangan ini didasarkan pada analogi organis biologi. Malinowski melihat kondisi manusia di dalam mana terdapat suatu susunan kebutuhan mendasar biologis yang harus dipenuh,i seperti lapar dan haus, yang disebut primary drive. Dorongan- dorongan ini dikonversikan didalam konteks budaya kedalam secondary drive. Dan secondary drive ini lah yang menentukan bagaimana kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut dipenuhi misalnya kalau lapar makanan apa yang harus dimakan dan makanan mana yang harus dihindari (Alland 1981:270). Malinowski dalam Alland(1981:271) melihat institusi budaya sebagai suatu mekanisme untuk memuaskan keinginan-keinginan tersebut. Dia melihat budaya sebagai suatu susunan yang dapat membuat proses adaptasi manusia itu dimungkinkan. Brown juga mempunyai pandangan yang sama dan dia menekankan bahwa fungsi institusi atau lembaga hanya dapat dipahami secara menyeluruh
pada titik waktu
tertentu. Fungsi dari unsur-unsur kebudayan adalah untuk memilih keutuhan dan sistematika struktur sosial. Menurut Malinowski (1974:187) fungsionalisme berarti, bagaimana melihat masyarakat lebih dari sekedar a part dan mengundang perhatian terhadap bagaimana budaya masyarakat , sebagai an indipendent organic whole. Fungsinalisme mengundang perhatian untuk mempelajari cara –cara kebudayaan atau masyarakat koherens, hangs together, work-how its functions.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Malinowski (dalam Turner 2010:86)) kebutuhan struktural sosial atau kebutuhan instrumetal muncul setelah manusia mampu mengorganiser diri mereka dalam memenuhi kebutuhan biologisnya. Bagi Malinowski konsep lembaga sangat penting karena merupakan organisasi aktivitas manusia yang mengungkapkan struktur yang jelas. Lembaga reproduksi yaitu ikatan darah yang ditetapkan oleh suatu kontrak legal perkawinan dan diperlukan oleh prinsip keturunanyang ditetapkan khusus pada garis silsilah merupakan lembaga universal yang menempati urutan pertama dari tujuh dalam daftar jenis kelembagaan oleh Malinowski. Lembaga ini mencakup keluarga, ikatan masa pacaran, ikatan dan batasan perkawinan, kelompok keuarga jauh, kelompok keluarga yang disatukan berdasarkan prinsip keturunan, klan dan sistim klan. Lembaga yang lain adalah lembaga teritorial, lembaga fisiologis, lembaga perkumpulan sukarela, lembaga pekerjaan dan profesional, lembaga peringkat dan status serta lembaga komprehensif berdasarkan komunitas budaya atau politik. Malinowskidalam Tunner (1977:94) juga memberikan empat kebutuhan ‘instrumental dasar’ yang harus dipenuhi lembaga sosial agar strukturnya tetap jelas yakni kebutuhan instrumental ekonomi, pendidikan, kontrol sosial dan organisasi politik.
Instrumental
ekonomi
adalah
instrumental
yang
memproduksi,
menggunakan,mempertahankan dan mengganti peranti budaya dan barang konsumsi. Instrumental pendidikan adalah sumber daya manusia yang mempertahankan lembaga yang harus selalu diperbaharui, dibentuk, dilatih dan dilengkapi dengan pengetahuan penuh tentang tradisi suku. Instrumental
kontrol sosial mengatur perilaku
manusia,terkait dengan peraturan teknis, adat-istiadat hukum atau moral yang harus dikodifikasi agar bisa berjalan dan ditetapkan sangsinya. Sedangkan instrumental yang terahir adalah organisasi politik yang merupakan otoritas dalam masing-masing
Universitas Sumatera Utara
lembaga yang harus ditetapkan, dilengkapi dengan kekuasaan dan diberi alat yang kuat untuk melaksanakan peraturan-peraturan. Proof dalam Hawkes (1977 : 68) dan Endaswara (2006:125) dalam kerangka analisis stuktural mengatakan:”.... fungtion is understood as an act of character, defined from point of viwes its significance for the course of the action, dalam konteks ini fungsi merupakan bentuk ketergantungan secara utuh pada sistem budaya. Kebudayaan memiliki fungsi bagi pemenuhan kebutuhan naluri manusia.
Fungsi
cerita rakyat menurut Bascom dalam Dundes (1965: 28) tidak dapat dilepaskan dari kebudayan secara luas dan juga dengan konteksnya. Cerita rakyat menjadi milik siapa hanya dapat diketahui dari atau melalui pengetahuan yang mendalam dari kebudayaan orang yang memilikinya. Bascom dalam Dundes (1985:285) mengatakan bahwa pemilik cerita rakyat tidak menganggap penting asal usul atau sumber cerita rakyat melainkan fungsi dari cerita itu yang lebih menarik. Bascom memberikaan empat fungsi (1965: 279-298) cerita rakyat yakni: (1)
cermin atau proyeksi angan-angan pemiliknya
(2)
alat pengesahan pranata pranata dan lembaga kebudayaan
(3)
alat pendidikan
(4)
alat penekanan atau pemaksa berlakunya tata nilai masarakat dan pengendali perilaku masyrakat.
Dalam bukunya (1965: 280) Dundes memberikan
fungsi mitos yang bersifat
umum yakni : 1. alat pendidikan 2. alat peningkat perasaan solidaritas kelompok
Universitas Sumatera Utara
3. pengunggul dan pencela orang lain 4. pelipur lara 5. kritik masyarakat.
Bacom dalam Endaswara (2006:129) mengatakan bahwa fungsi cerita rakyat dapat dimengerti sepenuhnya hanya melalui pengetahuan yang mendalam mengenai kebudayaan orang yang memilikinya. Apakah mitos masih berfungsi adalah dengan membandingkan kedua alatar belakang karya tersebut yakni latar belakang masyarakat primitif dan masa sekarang . Bila mitos masih berfungsi di dalam dua kolektif tersebut maka dapatlah dikatakan bahwa mitos tersebut masih berfungsi.
2.4 Kerangka Penerapan Teori. Analisis struktur narratif digunakan untuk menemukan struktur mitos sumbang dalam keenam cerita rayat Batak Toba. Dalam analisis ini digunakan juga teori Hermeneutika dari Habermas untuk memberikan
pemahaman yang lebih lengkap
untuk memberikan penjelasan yang diarahkan pada tujuan ahir. Dalam analisis selanjutnya, teori yang paling utama digunakan adalah teori Strukturalisme Levi-Strauss yang akan digunakan untuk menemukan makna karena fungsi akan bisa ditemukan setelah menemukan makna. Namun seperti dipahami bahwa teori ini dipengaruhi strukturalisme fungsional terutama teori yang dikemukakan oleh Jacobson, De Saussure, serta Pierce. Sehingga memahami teori- teori tersebut akan menambah pemahaman dalam mengaplikasikan teori Levi-Strauss, khususnya dalam pemahaman makna serta Hemmeneutika yang dipengaruhi teori interpretasi semiotik Pierce mengenai tanda.
Universitas Sumatera Utara
Teori Hermeneutika akan sangat membantu untuk menganalisis mitos secara holistik yaitu memaknai struktur untuk menemukan struktur konsep mitos menjadi signified. Sosiologi sastra akan membantu untuk melihat hubungan mitos dengn fakta sosial yakni fakta sosial penulis dan pembaca serta fakta sosial yang terdapat pada mitos yang akan mengarahkan kepada penemuan fungsi sesuai dengan faham fungsionalime. Sesuai dengan uraian di atas,
bahwa untuk menemukan dan memahami
berbagai pesan yang terkandung dalam mitos, struktur dan makna berbagai elemen yang ada dalam mitos lebih dulu harus ditemukan dengan menggunakan teori srukturalisme dan tafsir hermeneutika. Karena itu disusunlah langkah langkah kegiatan sebagai berikut. Untuk menemukan
struktur mitos digunakan teori strukturalisme. Setelah
menemukan dan dapat menggambarkan strukturnya dalam hal ini menggunakan pendekatan struktur narrasi yakni strukur plot seperti sudah diterangkan di depan dengan membagi strukturnya atas motifem. Kegiatan selanjutnya adalah menemukan makna dengan menggunakan teori strukturalisme Levi- Strauss dengan menggunakan susunan miteme yang disusun dalam poros sintakmatik dan paradikmatik. Untuk mendapat diskripsi menyeluruh digunakan teori yang berusaha memaknai struktur yakni teori C.S. Fierce dan konsep atau pemikiran dluar struktur dan makna. Sosiologi sastra
memberi perhatian kepada asal atau sumber mitos yang
membantu menemukan hubungan mitos dengan latar belakang peristiwa atau sejarah
Universitas Sumatera Utara
dan juga untuk mengetahui kepada siapa mitos ditujukan yang akan membantu menemukan fungsinya sesuai paham fungsionalisme. Seandainya penulis dikenal, penelitian akan dipusatkan pada penulis, bukan tafsiran pembaca. Karena cerita rakyat adalah anonim, penelitian akan dipusatkan kepada komunitas di mana cerita rakyat atau mitos tersebut lahir. Untuk tujuan ini teori Hermeneutika digunakan. Keterkaitan mitos dengan masyarakat di mana mitos masih berkembang dan diyakini akan dapat digambarkan dengan teori sosiologi sastra begitu juga dengan fungsinya. Sedangkan kearifan lokal dapat membantu menjawab apakah mitos masih perlu dilestarikan untuk melindungi budaya dan tatanan masyarakat, terutama dalam hal ini tatanan dalam masyarakat Batak Toba. Untuk lebih jelas, tahapan-tahapan penerapan tori-teori tersebut diatas digambarkan dalam grafis di bawah ini :
Universitas Sumatera Utara
Strukturalisme: Narrasi Plot
Strukturalisme Levi - Strauss Semiotik Pierce
NASKAH
Hermeneutik Gadamer
Sosiologi Sastra
Struktur Sumbang
Makna Fungsionalisme
Fungsi
Figura 2 : Penerapan Teori
Strukturalisme berurusan dengan struktur. Strukturalisme meneliti konvensikonvensi umum yang mendasari cara kerja, dan berkonsentrasi pada bentuk serta hubungan antara bahagian dalam cerita.
Strukturalisme digunakan untuk melihat
struktur yang mendalam dari cerita sehingga isi cerita dapat diganti karena isi narrasi
Universitas Sumatera Utara
adalah strukturnya. Strukturalisme
juga digunakan untuk melihat jaringan antara
bahagian-bahagian cerita yang penyatuannya akan
memberikan pengerian yang
totalitas. Teori strukturalisme digunakan untuk membagi cerita rakyat dalam episode untuk bisa memukan makna hermeneutika. Strukturalisme digunakan untuk melihat miteme dan ceritema untuk dapat menemukan makna setelah cerita dibagi dalam episode. Cerita dibagi berdasarkan hubungan sintakmatik dan paradigmatik. Setelah makna diketahui jenis mitos akan diketahui dengan penerapan teori hermeneutika. Strukturalisme fungsional yakni strukturalisme Levi-Strauss membantu menemukan fungsi dengan penerapan sosiologi sastra. Strukturalisme
Levi-Strauss mengkombinasikan
tanda–tanda
menjadi
sebuah makna yang mendasari sitem dan menghubungkan temuan pada realitas sosial. Perhatian difokuskan pada miteme dan ceriteme dan menyusunnya mengikuti sumbu sintagmatis dan paradigmatis dengan elemen yang lain. Hubungan relasi didalam cerita disimpulkan sebagai bangunan makna. Teori Hermeneutika
digunakan untuk memaknai cerita internal dengan
kesimpulan refrensial atau kontekstual di mana cerita berada dan menarik sebuah makna umum yang memposisikan makna internal sebagai bahagian dari makna umum. Teori Sosiologi sastra digunakan untuk melihat sikap dalam hal ini masyarakat Batak Toba dalam menghadapi keadaan yang dialami. Teori ini digunakan untuk melihat pengaruh timbal balik antara gejala sosial yang akan mengarahkan penelitian ke arah hubungan manusia dalam hal ini masyarakat Batak dalam kelompok sosial serta lingkungan budaya dan non budaya. Teori ini digunakan juga untuk melihat keterkaitan
Universitas Sumatera Utara
mitos dengan masyarakat dan melihat apakah mitos tersebut masih berfungsi. Teori Fungsionalisme digunakan untuk menemukan fungsi dari mitos perkawinan sumbang. Penerapan teori
Kearifan Lokal digunakan untuk mencoba melihat apakah mitos
tersebut masih perlu untuk dilestarikan. Teori Kearifan Lokal membantu untuk menemukan kontribusi mitos terhadap kesejahteraan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara