BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan data-data yang diperoleh dari studi pustaka, ditemukan beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini. Beberapa hasil penelitian tersebut dipaparkan sebagai berikut. Dewi (2009) dalam tesis yang berjudul “Sapaan Bahasa Jepang : Bentuk, Fungsi dan Makna“. Teori yang digunakan adalah kaidah T-V Brown-Gilman (1960) dan kaidah T-Vn menurut Braun (1988). Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode pustaka, simak dan metode wawancara, sedangkan untuk teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan, penyimakan serta pencatatan. Metode
analisis data dilakukan sesuai dengan
masalah dan tujuan penelitian. Metode penyajian hasil analisis data yaitu dengan menggunakan metode informal dan formal. Dewi mengindentifikasi bentuk, fungsi dan makna sapaan bahasa Jepang yang mencakup pronomina persona, nama diri dan istilah kekerabatan. Hasil dari penelitian Dewi adalah pertama, bentuk T-V (kamu tunggal akrab dengan kamu jamak hormat) dalam unsur sapaan PP (pronominal persona), ND (nama diri), dan IK (istilah kekerabatan) ditemukan dalam sapaan bahasa Jepang. Kedua, fungsi T-V (kamu tunggal akrab dengan kamu jamak hormat) terdapat baik pada sapaan PP (pronomina persona), ND (nama diri), maupun IK (istilah kekerabatan). Ketiga, makna T-V (kamu
8
9
tunggal akrab dengan kamu jamak hormat) terdapat pada sapaan PP (pronomina persona), ND (nama diri), dan IK (istilah kekerabatan). Teori yang digunakan dalam penelitian Dewi dengan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah sama-sama menggunakan teori T-V Brown-Gilman (1960). Dewi meneliti tentang fungsi, bentuk dan makna sapaan Jepang yang meliputi PP (pronomina persona), ND (nama diri), dan IK (istilah kekerabatan), sedangkan penelitian ini, lebih mengkhusus meneliti tentang perbandingan sapaan pronomina persona bahasa Jepang, dari dua komik yang latar waktunya berbeda. Penelitian Dewi memberikan manfaat dalam penelitian ini. Qowim (2010) dalam skripsi yang berjudul “Sistem Sapaan pada Novel Gadis Tangsi Karya Suparto Brata”. Teori yang digunakan adalah teori sosiolingustik yang diterapkan oleh Bright (1971) dan dibantu oleh teori yang dikembangkan oleh Fishman (1972), Roger T. Bell (1976), dan Brown dan Gilman (1977). Sumber data yang digunakan adalah novel yang berjudul Gadis Tangsi karya Suparto Brata, karena banyak mengandung unsur sapaan. Metode dan teknik pengumpulan data menggunakan metode simak dibantu dengan teknik catat. Metode penganalisisan data menggunakan metode deskripsi. Metode penyajian hasil analisis menggunakan metode formal dan informal. Hasil penelitiannya adalah pemakaian bentuk sapaan tunggal bahasa Indonesia pada novel Gadis Tangsi terbagi atas sapaan orang pertama tunggal, sapaan orang kedua tunggal, dan sapaan orang ketiga tunggal. Sapaan orang pertama tunggal ditemukan sebanyak 1438 buah, sapaan orang kedua tunggal ditemukan sebanyak 1136 buah, sapaan orang ketiga tunggal ditemukan sebanyak 727 buah. Pemakaian bentuk
10
sapaan jamak bahasa Indonesia pada novel Gadis Tangsi terbagi atas sapaan orang pertama jamak, sapaan orang pertama jamak dan orang kedua ikut serta, sapaan orang kedua jamak, dan sapaan orang ketiga jamak. Sapaan orang pertama jamak ditemukan sebanyak 126 buah, sapaan orang pertama jamak dan orang kedua ikut serta ditemukan 270 buah, sapaan orang kedua jamak ditemukan sebanyak 123 buah, dan sapaan orang ketiga jamak ditemukan sebanyak 114 buah. Sapaan orang pertama tunggal ditemukan sebanyak 127 buah, sapaan orang kedua tunggal ditemukan sebanyak 767 buah, sapaan dan orang ketiga tunggal ditemukan sebanyak 483 buah. Pemakaian bentuk sapaan jamak bahasa Jawa pada novel Gadis Tangsi tidak ditemukan sama sekali. Perbandingan pemakaian bentuk sapaan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa pada novel Gadis Tangsi diketahui sebanyak 3934 atau 74% (sapaan bahasa Indonesia) dan 1377 atau 26% (sapaan bahasa Jawa). Penelitian Qowim dengan penelitian ini sama-sama menggunakan teori sosiolinguistik kajian Brown dan Gilman. Qowim meneliti tentang sistem sapaan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa, sedangkan penelitian ini meneliti tentang perbandingan sapaan bahasa Jepang dari dua komik yang memiliki latar waktu yang berbeda. Penelitian ini mengkhusus untuk meneliti sapaan pronomina persona bahasa Jepang dari kedua komik tersebut. Objek kajian Qowim berbeda dengan penelitian ini, tetapi menjadi acuan untuk penelitian ini. Antara (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Perbandingan Bentuk Ragam Hormat Jepang (Keigo) dan Bali (Basa Alus)”. Antara membandingkan bentuk ragam bahasa hormat Jepang dengan bahasa Bali. Landasan teori yang
11
digunakan adalah keigo. Metode dan teknik pengumpulan data menggunakan metode simak yang dilanjutkan dengan teknik catat, lalu diklasifikasikan. Metode dan teknik penganalisisan data menggunakan metode padan translasional, dengan teknik hubung banding menyamakan dan teknik hubung banding membedakan. Metode dan teknik penyajian hasil analisis data menggunakan metode informal, dan didukung teknik induktif. Hasil penelitiannya adalah keigo dan basa alus sama-sama memiliki ragam bahasa hormat
meninggikan lawan bicara,
merendahkan lawan bicara, dan mengandung nilai rasa di tengah-tengah, tidak meninggikan atau merendahkan. Perbedaan yang diperoleh adalah dalam pembentukan keigo terdapat keterlibatan perubahan unsur-unsur leksikal dan gramatikal dan bentuk keigo sangat sistematis karena dalam pembentukan keigo terdapat pola-pola tertentu, sedangkan bentuk basa alus sangat rumit karena tidak adanya pola gramatikal dalam pembentukannya. Penelitian Antara tidak berkaitan dengan sapaan, namun dalam penelitian ini membahas tentang sapaan yang berkaitan dengan penggunaan keigo. Penelitian Antara menjadi acuan dalam penelitian ini. Elitasari (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Penggunaan Keigo Oleh Pramuwisata Berbahasa Jepang di Denpasar”. Sumber data berupa pemberian kuesioner atau angket kepada pramuwisata berbahasa Jepang mengenai keigo yang disebarkan 30% dari jumlah pramuwisata di tiap-tiap agent travel. Metode dan teknik pengumpulan data yaitu metode kuesioner. Metode dan teknik penganalisisan data, menggunakan metode deskriptif yang bersifat kualitatif. Metode dan teknik penyajian hasil analisis data, menggunakan metode informal
12
dan formal. Hasil penelitian
menyatakan bahwa pramuwisata yang belum
mengetahui tentang penggunaan keigo secara tepat. Pramuwisata sering kali dihadapkan pada penggunaan bentuk sonkeigo dan kenjougo yaitu, salah mengekspresikan kenjougo dan sonkeigo dan juga sebaliknya. Penelitian Elitasari tidak membahas tentang sapaan, namun dalam penelitian ini membahas tentang sapaan yang berkaitan dengan penggunaan keigo. Penelitian Elitasari memberikan manfaat untuk penelitian ini. Yulianthi (2011) dalam skripsi berjudul “Bentuk Sapaan Bahasa Bali pada Keluarga Wangsa Brahmana di Kabupaten Gianyar”. Dalam penelitian Yulianthi meneliti tentang bentuk sapaan bahasa Bali pada keluarga wangsa brahmana di kabupaten Gianyar. Sumber datanya adalah penutur asli bahasa Bali yang berasal dari keluarga wangsa Brahmana yang memenuhi kriteria sebagai informan dan berdomisili di Kabupaten Gianyar. Teori yang digunakan adalah teori sosiolinguistik sebagaimana yang dikembangkan oleh Bright (1971) dan Fishman (1972) yang sesuai dengan konsep dari Brown dan Gillman (1977) dalam kaitannya dengan fenomena tutur sapa. Metode dan teknik penyediaan data menggunakan metode simak, dilanjutkan dengan teknik dasar sadap dan teknik lanjutan meliputi teknik simak libat cakap, serta didukung dengan pemberian kuesioner yang berstruktur. Metode dan teknik analisis data menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif didukung dengan teknik penyajian statistik. Metode dan teknik penyajian hasil analisis, dengan menggunakan metode informal, dengan teknik induktif-deduktif dan deduktif-induktif. Hasil analisisnya adalah bentuk sapaan yang sering muncul dalam menyapa kakek dan nenek oleh penyapa laki-
13
laki muda, yaitu kakiang dan niang 94,5%. Bentuk sapaan yang dipakai untuk menyapa kakek oleh penyapa perempuan muda yaitu kakiang sebanyak 86%. Bentuk sapaan yang dipakai untuk menyapa ayah kandung oleh penyapa laki-laki tua, aji sebanyak 83,6%. Bentuk sapaan yang dipakai untuk menyapa ayah kandung oleh penyapa perempuan tua yaitu aji 96%. Bentuk sapaan yang dipakai untuk menyapa laki-laki seusia kakek oleh penyapa laki-laki muda yaitu kakiang 92,7%. Bentuk sapaan yang dipakai untuk menyapa laki-laki seusia nenek oleh penyapa perempuan muda yaitu niang sebanyak 94%. Bentuk sapaan yang dipakai untuk menyapa laki-laki seusia orang tua oleh penyapa laki-laki tua yaitu aji sebanyak 81,8%. Bentuk sapaan yang dipakai untuk menyapa laki-laki seusia orang tua oleh penyapa perempuan tua yaitu aji sebanyak 82%. Sistem sapaan dengan istilah kekerabatan yang ditemukan di keluarga wangsa Brahmana di Gianyar, terdiri dari : aji, ratu, bapa, bapak, papa, wa, om, beli, wi, tante, biang, meme, bibi, mama, ibu, mbok, kakiang dan niang. Serta ditemukan pula sistem sapaan dengan penyebutan nama diri, sistem sapaan dengan urutan kelahiran, serta sistem sapaan dengan kata ganti yang terdiri dari : gus, dayu, gek, dan yugek. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan bentuk sapaan antara lain: faktor intralingual dan ekstralingual. Penelitian Yulianthi dengan penelitian ini sama-sama menggunakan kajian sosiolinguistik yang berkaitan dengan teori Brown-Gilman (1970). Penelitian ini meneliti tentang perbandingan sapaan bahasa Jepang dari dua komik yang memiliki latar waktu yang berbeda, serta penelitian ini lebih mengkhusus untuk meneliti sapaan pronomina persona bahasa Jepang. Penelitian Yulianthi mengkaji
14
tentang sapaan bahasa Bali, sedangkan penelitian ini meneliti tentang sapaan bahasa Jepang. Penelitian Yulianthi memberikan konstribusi untuk penelitian ini.
2.2 Konsep Beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 2.2.1 Kata Sapaan Kata sapaan merupakan kata-kata yang digunakan untuk menyapa seseorang. Ishigurokei menyatakan :
〝人称表現(term/form of address) というのは、人間を呼ぶときに使う言葉 のことです″ (日本語は空気が決める, 2013: 152). ‘Yang dimaksud dengan ungkapan sapaan (term/form of address) adalah kata-kata yang digunakan ketika memanggil orang’ Ungkapan sapaan merupakan ungkapan yang berupa kata yang digunakan untuk menyapa atau menegur seseorang. Sama halnya dengan bahasa Indonesia, kata sapaan merupakan kata-kata yang digunakan untuk menyapa orang. Kata-kata sapaan tersebut ada berbagai macam sesuai dengan unsur-unsur sapaan, seperti pronomina persona, istilah kekerabatan, nama diri, gelar, nomina agentif dan bentuk deiktis (Kridalaksana, 1974:17—18) 2.2.2 Pronomina persona Pronomina persona adalah unsur sistem sapaan yang dipakai sebagai bentuk sapaan untuk sapaan kata ganti orang pertama, orang kedua, orang ketiga seperti, saya, kamu, dia (Kridalaksana, 1974;17-18, Braun, 1988;7-8). Penggunaan sapaan untuk kata ganti orang pertama, kedua maupun ketiga dalam bahasa Jepang ada berbagai macam tergantung dari tingkat kesopanan dan pembicara. Salah satu
15
contoh untuk kata ganti orang pertama ‘saya’ yang dalam bahasa Jepang disebut dengan watashi, untuk contoh kata ganti orang pertama lainnya adalah ‘aku’ disebut dengan boku, atashi, ore dan lain-lain. 2.2.3 Tingkat Berbahasa (Keigo) Seiji (2007: 14) dalam bukunya yang berjudul Keigo no Tsukaikata menyatakan bahwa keigo adalah ungkapan untuk menyampaikan pikiran si pembicara kepada lawan bicara sambil mempertimbangkan dan mengerti bagaimana posisi lawan bicara. Keigo adalah salah satu alat ukur untuk mengukur kemampuan komunikasi seseorang. Seiji juga menyatakan keigo sudah cukup dirasakan hanya dengan menghaluskan satu kata terakhir. Secara umum keigo dibagi menjadi tiga jenis, tetapi Seiji membagi keigo menjadi lima jenis yaitu sonkeigo, kenjougo I, kenjougo II, teineigo dan bikago. Berikut ini adalah penjelasan secara singkat lima jenis keigo menurut Seiji : 1. Sonkeigo Sonkeigo yaitu bahasa hormat yang menunjukkan tindakan lawan bicara dan rasa hormat yang disampaikan langsung meninggikan pihak lawan bicara. 2. Kenjougo I Kenjougo I yaitu bahasa hormat yang menunjukkan tindakan diri sendiri dan secara tidak langsung meninggikan pihak lawan bicara.
3. Kenjougo II
16
Kenjougo II yaitu bahasa hormat yang menunjukkan tindakan diri sendiri dengan cara merendahkan diri atau menunjukkan kerendahan hati, sehingga memberi kesan hormat yang diungkapkan langsung kepada lawan bicara. 4. Teineigo Teineigo adalah bahasa hormat yang hanya diekspresikan kepada lawan bicara dengan cara mengubah penggunaan kata-kata dengan penyampaian yang lebih hormat dan sopan. 5. Bikago Bikago merupakan penggunaan kata-kata yang sopan atau kata-kata untuk memperindah
suatu
bahasa
agar
lebih
enak
didengar
dengan
mempertimbangkan situasi pembicara dan perasaan pendengar atau lawan bicara.
2.3 Landasan Teori Untuk meneliti bentuk, fungsi dan makna sapaan pronomina persona bahasa Jepang, digunakan teori T-V Brown-Gilman (1960). 2.3.1 Kaidah T-V Brown-Gilman (1960) Sosiolinguistik adalah ilmu yang meneliti dua aspek hubungan timbal-balik antara bahasa dengan perilaku organisasi sosial. Sosiolingistik adalah pendekatan terhadap penelitian bahasa yang memusatkan perhatiannya kepada bahasa yang dipakai dalam masyarakat bahasa (speech community), dengan tujuan untuk menghasilkan suatu teori bahasa yang mantap untuk membenarkan, memerikan, dan menjelaskan data tersebut (Jendra, 1991; 6).
17
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori T-V Brown-Gilman (1960). Teori T-V Brown-Gilman adalah teori tentang pemaknaan dalam dua dikotomi, yang disebut makna solidaritas (the solidarity semantics) dan makna kekuasaan (the power semantic). Dua makna ini berasal dari realisasi pemakaian dyad (pasangan) dua varian pronomina persona kedua, bahasa Latin, tu ‘kamu tunggal akrab (familiar)’ dan vos ‘kamu jamak hormat (polite)’. Varian pronomina persona kedua tu ‘kamu tunggal akrab (familiar)’ disebut pronomina persona T (simbol T berasal dari huruf pertama pada tu), sedangkan varian pronomina persona kedua vos ‘kamu jamak hormat’ disebut pronomina persona V (simbol V berasal dari huruf pertama pada vos). Pronomina T-V terwakili dalam bahasa Eropa lainnya, seperti pada dyad pronominal persona kedua bahasa Perancis, tu ‘kamu tunggal akrab’ dan sie ‘kamu jamak hormat’, bahasa Spanyol tu ‘kamu tunggal akrab’ – usted ‘kamu jamak hormat’. Makna solidaritas adalah makna yang dihasilkan oleh adanya norma hubungan resiprokal, inferior saling menyatakan T atau superior saling menyatakan V, karena adanya persamaan status dan persamaan lainnya, seperti persamaan kekuasaan, persamaan pendirian. Makna kekuasaan adalah yang dihasilkan oleh adanya norma hubungan nonresiprokal superior menyatakan T dan menerima V dari inferior, karena adanya perbedaan status, dan perbedaan lainnya seperti perbedaan kekuasaan, ketidaksamaan pendirian. Gagasan Brown-Gilman tentang dua pemaknaan ini direalisasikan melalui pemakaian dyad (pasangan) bentuk T dan V yang dapat ditafsirkan terabstraksi dalam kaidah T-V .
18
Pada dasarnya kaidah T-V secara implisit merupakan kajian teoretis terhadap bentuk-fungsi-makna dua varian pronomina T-V. Gagasan Brown-Gilman (1960) yang berkaitan dengan kaidah T-V ini pada garis besarnya dapat dipahami sebagai berikut 1. Kaidah T-V adalah abstraksi dari bentuk-fungsi-makna T-V dalam pronomina persona. Kaidah T-V terdiri dari kaidah bentuk T-V, fungsi TV, dan makna T-V sebagai berikut: a) Bentuk T-V adalah bentuk yang dihasilkan kategori bentuk pronominal persona kedua tunggal dan pronomina kedua jamak. Bentuk T adalah bentuk pronomina tunggal, seperti tu ‘kamu tunggal’, sedangkan bentuk V adalah kategori bentuk pronomina jamak seperti vos ‘kamu jamak’. b) Fungsi T-V adalah fungsi pada pemakaian kategori bentuk pronominal akrab-hormat, seperti pada pronomina persona kedua tu ‘kamu tunggal akrab (familiar)’ dan vos ‘kamu jamak hormat (polite)’, yang menyatakan aspek-aspek sosial (dan lainnya seperti usia, jenis kelamin, kekayaan, profesi, kelahiran), hubungan personal yang bersifat resiprokal-nonresiprokal, simetris-asimetris. Fungsi T adalah pemakaian kategori pronomina tu ‘kamu tunggal akrab (familiar)’ yang mengungkapkan persamaan status dan dalam hubungan yang resiprokal atau simetris. Fungsi V adalah pemakaian kategori pronominal vos ‘kamu jamak hormat (polite)’
19
yang mengungkapkan perbedaan status dan dalam hubungan yang non-resiprokal atau asimetris. c) Makna T-V adalah makna solidaritas dan kekuasaan. Makna T atau makna solidaritas dihasilkan oleh adanya pemakaian dyad (pasangan) pronomina T atau V, sedangkan makna V atau makna kekuasaan direalisasikan dari pemakaian
dyad (pasangan)
pronomina T dan V. 2. Dalam kaidah makna T-V dihasilkan makna solidaritas dan kekuasaan, yang memiliki pola kaidah sebagai berikut. a) Kaidah makna T berasal dari kaidah T+T dan kaidah V+V, atau dapat dikatakan seperti berikut: Kaidah T+T: makna T atau Kaidah V+V: makna T Kaidah makna T ini menghasilkan makna solidaritas. b) Kaidah makna V berasal dari kaidah T+V atau dapat diuraikan sebagai berikut: Kaidah T + V = V; makna V. Kaidah makna V ini menghasilkan makna kekuasaan 3. Dalam perkembangannya, kaidah T-V lebih mengarah pada realisasi kaidah makna T daripada kaidah makna V. Artinya makna T atau solidaritas lebih menonjol daripada makna V atau penghormatan. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
20
a) Kecenderungan makna T atau solidaritas lebih dominan tampak pada adanya frekuensi yang cukup tinggi pemakaian dyad (pasangan) bentuk T-T (tu-tu) pada kelas menengah-bawah atau VV (vos-vos) pada kelas atas. b) Kecenderungan makna T atau ‘solidaritas’ lebih dominan karena adanya pengembangan asas saling (mutualy) untuk meminimalisasi perbedaan status. Hal ini terlihat pada pemakaian varian bentuk pronomina persona kedua tu oleh seorang anak kepada orang tua menggantikan vos ‘kamu jamak hormat (polite)’ yang biasanya dipakai untuk sapaan penutur yang berstatus lebih tinggi. Dengan kata lain, dyad (pasangan) varian bentuk pronomina persona kedua tu-tu resiprokal atau simetris mulai dipakai antar orang tua dan anak.