BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Telaah yang dilaksanakan untuk memecahkan suatu masalah yang pada dasarkan bertumpu pada penelaahan kritis dan mendalam terhadap bahan-bahan pustaka yang relevan. Telaah pustaka biasanya dilakukan dengan cara mengumpulkan data atau informasi dari berbagai suatu sumber pustaka yang kemudian disajikan dengan cara baru dengan keperluan baru pula. Kajian pustaka memiliki peranan yang penting dalam suatu penelitian, karena berfungsi sebagai perbandingan yang digunakan untuk mendalami objek, dan mengetahui kedudukan atau relevansi penelitian yang dilakukan sekarang dengan hasil penelitian lainnya. Gay (dalam Tabroni, 2001:130), berpendapat bahwa kajian kepustakaan meliputi pengidentifikasi secara sistematis, penemuan dan analisis dokumen-dokumen yang membuat informasi yang berkaitan dengan masalah penelitian. Selain itu kajian pustaka dibuat dalam rangka untuk memperkaya pembendaharaan pemahaman pustaka yang dipakai sebagai kerangka dasar pergulatan pemikiran dalam sebuah penelitian (Putra, 2010 : 10). Kajian pustaka yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Kurniawan (2010), dalam penelitiannya yang berjudul "Tutur Boga Sanghara Bumi analisis struktur dan fungsi". Penelitian ini dapat menjadi kajian pustaka sebagai media informasi yang dapat menunjang dalam penelitian GPTL
8
ini. Sekripsi karya Kurniawan ini memiliki relevansi dengan penelitian GPTL karena sama-sama mengkaji tentang struktur dan fungsi. Dalam penelitiannya, Kurniawan membicarakan tentang struktur tutur, Upakara, dan Upacara yang terkandung dalam tutur Boga Sanghara Bumi. Dari segi fungsi dibicarakan tentang fungsi penuntun atau pedoman hidup umat Hindu, fungsi pendidikan dan fungsi informasi yang terkandung dalam tutur Boga Sanghara Bumi. Wiriawan (2011), dalam penelitianya berjudul Smarareka Analisis Struktur dan Fungsi. Penelitian struktur dalam Smarareka menguraikan tentang wariga, usadha, mantra, upacara yang meliputi, (1) upacara penanaman plasenta (ari - ari), (2) upacara kepus puser, (3) upacara ngotonin, upakara dan gaya bahasa. Analisis fungsi meliputi fungsi pendidikan, dan fungsi pengatur pranata sosial masyarakat Bali yang terdapat dalam tutur Smarareka. Penelitian Wiriawan digunakan sebagai acuan, karena penelitiannya sama-sama mengkaji struktur dan fungsi, hal tersebut memiliki relevansi dan menjadi sumber inspirasi dalam menguraikan fungsi yang terkandung dalam GPTL. Putra (2012), dalam buku yang berjudul "Parama Dharma Dharmayatra Dang Hyang Nirartha". Yang membahas tentang perjalanan Dharmayatra Dang Hyang Nirartha atau Dang Hyang Dwijendra dari pulau Jawa ke Bali dan Lombok. Dalam Dharmayatra ini Dang Hyang Dwijendra sangat berjasa bagi umat Hindu dan banyak tempat suci yang beliau dirikan. Adapun tempat suci yang berhubungan dengan Dharmayatra Dang Hyang Dwijendra yaitu Pura Purancak, Pura Rambut Siwi, Pura Mertasari, Pura Melanting Pohlaki, Pura Tamansari, Pura Pekendungan, Pura Tanah Lot, Pura Dalem Gandamayu dst. Buku ini dijadikan 9
acuan karena sama-sama membahas tentang Dharmayatra Dang Hyang Dwijendra. Namun dalam penelitian ini lebih mengkaji secara khusus mengenai Dharamyatra Dang Hyang Dwijendra di Pura Tanah Lot yang berupa geguritan. Objek yang telah dipaparkan di atas, merupakan hasil penelitian sebelumnya, yang dijadikan sebagai acuan serta sumber informasi dan inspirasi dalam mengkaji GPTL. Adanya acuan tersebut, dapat berfungsi sebagai rujukan maupun pengarah dalam melakukan kegiatan penelitian. 2.2
Konsep Konsep merupakan rancangan ide atau pengertian yang diabstrakan dari
peristiwa konkrit atau gambaran mental dari objek, proses atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal lain (Depdikbud, 1995 : 519). Selain itu konsep merupakan unsur – unsur dari suatu pengertian, definisi, batasan secara singkat dari sekelompok fakta, gejala atau merupakan definisi dari apa yang perlu diamati dalam proses penelitian (Budiono, 2005: 284). Keberadaan konsep dapat lebih memperjelas dalam melakukan suatu penelitian dan dapat memberikan gambaran topik yang diteliti. 2.2.1 Geguritan Geguritan sebagai genre karya sastra Bali purwa atau tradisional, dapat dipahami secara lebih mendalam dengan meninjau bentuk dan isinya. Bentuk dianggap sebagai bagian dari tradisi penulisan karya sastra geguritan, karena apapun yang akan ditulis sebagai karya sastra geguritan, digubah ke dalam bentuk tembang macapat (pupuh). Sedangkan, isinya dapat berupa apa saja atau
10
bermacam - macam sesuai dengan kemauan, kemampuan dan pengetahuan dari pengarangnya. Untuk itulah, jenis-jenis geguritan dapat dilihat dari segi bentuk dan isinya. Dilihat dari segi bentuknya geguritan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu 1) geguritan yang hanya menggunakan satu jenis tembang macepat, 2) geguritan yang mempergunakan lebih dari satu tembang macapat (pupuh) tanpa ada pengulangan pupuh, dan 3) geguritan yang menggunakan lebih dari satu tembang macepat atau pupuh dengan adanya pengulangan pupuh di dalamnya (Ngurah Bagus, 1991:50). Geguritan dalam kamus bahasa Bali-Indonesia (2009 : 251) berarti saduran suatu cerita yang berbentuk tembang (pupuh). Geguritan berasal dari kata dasar gurit yang berarti gubah, karang, sadur atau gubahan. Kata gurit kemudian mengalami proses gramatikal, yaitu reduplikasi sebagian atau dwi purwa, serta afiksasi yaitu mendapat akhiran -an sehingga menjadi kata geguritan yang berarti hasil karangan. Suastika (1997 : 309-310), berpendapat bahwa geguritan berasal dari kata “gurit” yang dalam bahasa Jawa Kuna kata gurit berarti “tulis, gubah, karang” dan anggurit yang artinya menggubah puisi, menyurat puisi, mengawi. Jadi, geguritan dapat didefinisikan suatu karangan yang ditulis dengan menggunakan tembang/pupuh macapat untuk merangkai dan menjelaskan isi ceritanya. Karya sastra geguritan pada dasarnya mempunyai aturan – aturan atau konvensi tradisional yang mengikatnya, yaitu adanya pupuh, adanya pada lingsa, adanya guru wilang, dan guru dingdong. Pupuh juga disebut dengan tembang macepat atau disebut pula dengan sekar alit. Istilah tembang macepat diambil dari
11
bahasa Jawa yang memiliki suatu arti sistem untuk membaca syair tembang atas empat – empat suku kata. Selain Jawa dan Bali istilah macepat juga ada dan dipakai dalam sastra Sunda, sastra Madura dan sastra Sasak. Pada lingsa merupakan banyaknya baris dalam satu bait tembang, guru wilang adalah banyaknya suku kata dalam satu baris, dan guru dingdong merupakan vokal atau huruf hidup pada akhir suku kata tiap – tiap baris dalam satu bait tembang (Budiyasa, 1997: 3). Pada umumnya di Bali ada sepuluh pupuh yang lumrah dan sering digunakan dalam menulis karya sastra geguritan, yaitu pupuh durma, pupuh, dangdang, pupuh mijil, pupuh maskumambang, pupuh pangkur, pupuh pucung, pupuh ginada, pupuh, ginanti, pupuh semarandana, dan pupuh sinom. 2.2.2 Pura Tanah Lot Pura Tanah Lot berarti benteng (tempat suci Agama Hindu) yang berdiri di atas batu karang di tengah laut. Pura Tanah Lot tergolong pura umum ( Dang Kahyangan) yang dipuja oleh seluruh umat Hindu. Pura ini berfungsi sebagai tempat memuja Ida Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasinya serta leluhur, hal ini dibuktikan dari pelinggih inti di pura tersebut berupa Meru tumpang 5 dan Meru tumpang 3. Meru tumpang 5 yang menghadap ke barat berfungsi sebagai tempat pemujaan tuhan dan segala manifestasinya sedangkan Meru tumpang 3 yang menghadap ke selatan berfungsi sebagai tempat pemujaan kebesaran Dang Hyang Dwijendra (Dang Guru).
12
2.2.3 Geguritan Pura Tanah Lot Geguritan Pura Tanah Lot merupakan karya sastra tradisional Bali yang berbentuk karya sastra sejarah. Geguritan ini terdiri dari 10 jenis pupuh yaitu: Maskumambang, Pucung, Ginanti, Mijil, Ginada, Durma, Semarandana, Pngkur, Sinom dan Dangdang Gula. Selain itu geguritan ini diawali dengan pupuh Dangdang Gula atau Sinom, dan sebagai penutup menggunakan pupuh Durma. Geguritan Pura Tanah Lot menceritakan perjalanan Dharmayatra Dang Hyang Dwijendra untuk menjadikan pulau Bali sebagai pusat Agama dengan budaya Hindu. Di Bali Agama dan budaya Hindu dipertahankan dari ancaman kepunahan, dari proses islamisasi yang terjadi di Nusantara. 2.3 Landasan Teori Teori (soekanto, 1987 : 22) berfungsi sebagai suatu sarana untuk memecahkan permasalahan dalam melakukan penelitian. Suatu teori pada hakekatnya merupakan hubungan antara dua fakta atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Ratna juga menyebutkan bahwa suatu objek akan melahirkan teori, sebaliknya teori memberikan berbagai kemudahan untuk memahami objek. Apabila tidak terjadi keseimbangan antara teori dengan objek, maka yang dimodifikasi adalah teori, bukan objek. Teori tidak bersifat statis, tetapi dinamis (Ratna, 2004 : 94). Sesuai dengan objek penelitian yaitu Geguritan Pura Tanah Lot (GPTL) yang diteliti berdasarkan struktur dan fungsinya, maka digunakan dua teori secara umum. Teori struktural adalah teori pertama yang digunakan. Struktur diartikan
13
pada pokoknya memiliki arti bahwa, suatu karya sastra atau peristiwa-peristiwa di dalam masyarakat menjadi suatu keseluruhan karena relasi timbal balik antara bagian-bagiannya dan antar keseluruhan. Hubungan itu tidak hanya bersifat positif, seperti kemiripan dan keselarasan, melainkan juga bersifat negatif, seperti pertentangan dan konflik (Luxemburg, 1984 : 36). Analisis struktur merupakan suatu langkah atau alat dalam proses pemberian makna dalam kajian ilmiah. Langkah tersebut tidak boleh dihilangkan, dilampaui atau ditiadakan. Teori struktural dimaksudkan untuk meninjau karya sastra sebagai kesatuan yang bulat, secara utuh. Setiap karya sastra terdiri dari bagian-bagian yang memainkan peranan penting dan sebaliknya bagian-bagian itu mendapat makna sepenuhnya dari keseluruhannya (Teeuw, 1984 : 154). Unsur yang tampak berdasarkan hasil dari pengkajian struktur beraneka ragam, serta terkait dengan yang terdapat dalam suatu karya sastra. Setelah pada tahapan struktur selesai dikaji, dilanjutkan pada tahap fungsi. Fungsi memegang peranan yang sangat penting dalam struktural. Itu artinya, unsur-unsur sebagai ciri khas teori tersebut dapat secara maksimal semata-mata dengan fungsi, yaitu dalam rangka menunjukkan antar hubungan unsur-unsur yang terlibat (Ratna, 2004 : 76). Menurut Endraswara, fungsi berarti hubungan aktif antara objek dengan tujuan dipakainya objek tersebut (Endraswara, 2008 : 71). Fungsi sebuah teks adalah keseluruhan sifat-sifat yang bersama-sama menuju tujuan yang sama serta dampaknya. Sastra hendaknya mencerminkan kenyataan, juga turut membangun masyarakat dan hendaknya dapat berperan sebagai guru. Karya sastra menjalankan fungsi didaktik, hendaknya tidak hanya membuka mata 14
seseorang dan menunjukan kekurangan-kekurangan di dalam tata masyarakat, tetapi juga menunjukan jalan keluar (Luxsemburg, 1984 : 94). Karya sastra diberi fungsi dalam rangkaian suatu cerita sebagai keseluruhan dan keutuhan karya sastra tersebut menjadi jelas (Sutrisno, Sulastin. 1983 :36). Menurut Austin Warren (1993 : 79-81) dalam teori kesusastraan menyatakan bahwa karya sastra itu dapat dianalisis dari unsur-unsur instrinsik dan ekstrinsik. Unsur instrinsik melihat elemen-elemen dalam yang terkandung dalam karya sastra ini, dalam rangka melihat fungsi-fungsi karya sastra sebagai salah satu produk kemasyarakatan. Austin Warren mencermati karya sastra itu memiliki fungsi-fungsi
kemasyarakatan.
Dalam
konteks
penelitian
ini,
fungsi
kemasyarakatan dari GPTL sebagaimana diungkapkan oleh Austin Warren dampak yang diterangkan dari teks ke konteks kehidupan. Dampak keberadaan pura secara historis disamping menjelaskan sejarah keberadaan pura, tetapi dalam sejarah pura itu yang terkait dengan kehidupan masyarakat memberikan dampak ekonomi dan pariwisata. Berkaitan dengan hal tersebut, GPTL mempunyai fungsi dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali, terlebih di dalam kehidupan beragama. Fungsi tersebut dapat menjadi suatu pedoman di dalam menjalankan dan mempertahankan agama Hindu agar tidak terpengaruh oleh agama lain.
15