BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka Telaah yang dilakukan untuk memecahkan suatu masalah pada dasarnya bertumpu pada penelahaan kritis dan mendalam terhadap bahan-bahan pustaka yang relevan. Kajian pustaka juga berfungsi untuk mengetahui kedudukan penelitian disamping penelitian lain yang relevan. Dalam penelitian ini penulis mengkaji novel Ratna Tribanowati.
Permasalahan yang dibahas adalah pengkajian terhadap
strukturnya dengan teori struktural serta membedah citra wanita penyihir yang terdapat didalamnya menggunakan teori feminis. Berikut ini akan dipaparkan penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian: 1. Putu Sutrisnayanti (2011) dalam skripsinya yang berjudul Citra Wanita Dalam Geguritan Dreman. Teori yang digunakan dalam skripsinya adalah teori struktural dan teori feminisme. Metode yang digunakan yaitu metode simak, metode deskriptif analitik, dan metode informal. Skripsi ini mendeskripsikan tentang citra wanita yang terkandung dalam geguritan Dreman berdasarkan aspek fisis dan psikologis, serta citra sosial wanita berdasarkan aspek keluarga dan masyarakat. Penelitian ini mendeskripsikan citra wanita dari dua sisi, yakni berdasarkan citra diri wanita dan citra sosial wanita. Pencitraan wanita dalam penelitian tersebut lebih banyak mendeskripsikan tentang sikap-sikap dan peranan seorang istri dalam keluarga. Pencitraan terhadap wanita pada penelitian tersebut dikaitkan dengan keberadaan
7
wanita di tengah masyarakat. Dalam kaitannya, penelitian yang dilakukan oleh Sutrisnayanti hampir sama dengan apa yang dilakukan dalam penelitian ini, tetapi perbedaanya adalah penulis mendalami karya sastra dengan suatu teori kritik sastra feminis dan melihat sejauh mana ideologi gender mewarnai suatu karya sastra. Selain itu, penulis menggunakan karya sastra Bali modern berupa novel dalam penelitian ini. 2. I Made Titib (1998) dalam buku berjudul Citra Wanita dalam Kekawin Ramayana (CerminMasyarakat Hindu tentang Wanita). Buku tersebut menguraikan tentang penggambaran sosok wanita dalam Kakawin Ramayana, yakni sosok wanita yang dipandang patut diteladani dan sosok wanita yang tidak patut ditiru. Analisis citra wanita
dalam
buku
tersebut
dipaparkan
dalam
tiga
pembahasan,
yaitu
pengelompokan tipe wanita, potensi dan status wanita, serta peranan wanita. Bukubuku tersebut mengulas tentang pandangan Hindu tersebut terhadap wanita berdasarkan tokoh-tokoh wanita yang terdapat dalam Kakawin Ramayana. Dalam penelitian ini, perjuangan perempuan atau golongan feminis untuk memperoleh kesetaraan di dalam keluarga dan masyarakat sehingga buku ini dapat menjadi refrensi penelitian. 3. Sancaya, dkk (1996) dalam penelitian yang berjudul Citra Wanita dalam Sastra Bali Tradisional dan Modern: Sebuah Tinjauan Berdasarkan Kritik Sastra Feminis. Teori yang digunakan dalam penelitiannya yaitu teori femisnisme dan kritik sastra feminis. Metode yang digunakan
yaitu metode
kualitatif. Penelitian ini,
mendeskripsikan tentang penelitian mengenai citra wanita dalam karya sastra Bali tradisional dan modern yang dilakukan berdasrkan pendekatan kritik sastra feminis. 8
Citra wanita dalam karya sastra Bali tradisional dilukiskan dalam citra wanita yang menggambarkan inferioritas wanita dalam konteks budaya Bali yang bersifat patrileneal, sedangkan dalam karya sastra Bali modern wanita digambarkan dalam berbagai citra (wanita yang menderita, wanita yang agresif, wanita sebagai obyek seks, dan wanita sebagai korban arogansi). Penelitian ini memaparkan inferioritas wanita dalam karya sastra Bali tradisional maupun modern.dalam hal ini berkaitan, penelitian yang dilakukan Windhu Sancaya hampir sama dengan apa yang dilakukan dalam penelitian ini, tetapi bedanya adalah penulis mendalami karya sastra modern berupa novel saja. Penelitian Windhu Sancaya memberikan refrensi terhadap penelitian ini. 4. I Dewa Gede Windhu Sancaya (1985) dalam skripsinya yang berjudul Analisis Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang Karya Jelantik Santha Berdasarkan Pendekatan Sosiologi Sastra: Dalam Perbandingan. Teori yang digunakan dalam skripsinya yaitu teori struktural dan teori sosiokultural. Metode yang digunakan yaitu metode kualitatif. Penelitian ini mengkaji aspek-aspek sosial masyarakat dalam novel TLASK. Aspek-aspek sosialnya meliputi system nilai budaya Bali, nilai agama, nilai religious, nilai magis, nilai intelektual, nilai etika, nilai moral, nilai manusiawi, dan nilai sosial. Penelitian Windhu ini berkaitan dengan penelitian yang dilakukan, karena mengangkat karya sastra Bali modern berupa novel, walaupun teori yang digunakan berbeda, tetapi penelitian Windhu memberikan refrensi terhadap penelitian ini dalam hal struktur novel.
9
Hasil-hasil penelitian yang telah dipaparkan di atas memiliki perbedaan yang dilakukan, namun penelitian-penelitian tersebut membantu dalam menganalisis struktur naratif novel seperti yang terkandung di dalam penelitian Windhu. Penelitian Putu Sutrisnayanti, I Made Titib, serta Sancaya dkk memberikan refrensi dalam menganalisis citra wanita yang digambarkan dalam berbagai citra yang umumnya menggambarkan inferioritas wanita dalam konteks kebudayaan Bali yang bersifat patrilinial. Citra wanita tersebut adalah wanita sebagai tukang sihir. Penelitian yang dilakukan ini mengkaji novel Ratna Tribanowati dengan analisis struktur meliputi alur, tokoh dan penokohan, latar, tema, dan amanat; kemudian dalam analisis citra wanita penyihir meliputi citra wanita penyihir dalam sastra Bali, wanita penyihir dalam sastra Bali, dan wanita penyihir dalam novel Ratna Tribanowati; setelah itu dilanjutkan dengan ideologi gender dalam novel Ratna Tribanowati meliputi ideologi gender dalam karya sastra, ideologi gender dalam karya sastra bali, dan ideologi gender dalam novel Ratna Tribanowati..
2.2 Konsep Konsep merupakan unsur-unsur pokok atau gagasan pemikiran suatu pengertian, definisi, batasan secara singkat dari sekelolmpok fakta, gejala atau merupakan definisi yang perlu diamati dalam proses penelitian. Dalam penelitian ini menggunakan dua konsep. Keduanya dipaparkan sebagai berikut : 2.2.1 Struktur
10
Karya sastra merupakan sebuah struktur yang unsur-unsurnya atau bagianbagiannya saling berjalinan erat. Dalam struktur itu, unsur-unsur atau bagian-bagian karya sastra sebagai bagian struktur tidak mempunyai makna sendiri. Maknanya ditentukan oleh hubungannya dengan unsure-unsur atau bagian-bagian lainnya dengan keseluruhannya (Hawkes, 1978:17--18). Makna unsur-unsur karya sastra itu hanya dapat dipahami dan dinilai sepenuhnya atas dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur itu dalam keseluruhan karya sastra anatara unsur karya sastra itu ada koherensi atau pertautan erat, unsur-unsur itu tidak otonom, tetapi merupakan bagian dari situasi yang rumit, dari hubungannya dengan bagian lain unsur-unsur itu mendapat maknanya (Culler 1975:49). Analisis struktural sulit dihindari sebab analisis demikian itu baru memungkinkan tercapainya pemahaman yang optimal (Teeuw, 1983:61).
2.2.2 Citra Wanita Penyihir Citra (image) merupakan sebuah gambaran pengalaman indera yang diungkapkan lewat kata-kata, gambaran berbagai pengalaman sensoris yang dibangkitkan oleh kata-kata (Nurgiyantoro, 2010:304). Kata citra dalam Kamus Istilah Sastra (1990:25--26) memiliki pengertian kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah fakta, frasa, atau kalimat yang menjadi unsur dasar yang khas dalam karya sastra prosa dan puisi. Mulyono Gandadi Putra (dalam Munandar 1985:1) mengatakan bahwa pembahasan mengenai wanita bisa didasarkan pada berbagai sudut pandang. Hal ini menyebabkan boleh jadi orang membahas 11
wanita dari sudut ciri-cirinya, perannya, sifatnya, dan lain-lain. Sugihastuti (2003:121) mengatakan bahwa citra wanita adalah gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi wanita. Titib berpendapat bahwa citra wanita adalah penggambaran sosok seorang wanita, apakah wanita tersebut adalah wanita ideal yang patut diteladani oleh masyarakat atau wanita yang reputasinya jelek karena perilaku yang tidak sesuai dengan ajaran agama, moralitas, dan kesusilaan. Sedangkan sihir merupakan suatu ilmu yang diciptakan oleh Tuhan dan ada di dunia. Kekuatan sihir dapat digunakan dengan menghafalkan suatu mantra. Jadi, citra wanita penyihir merupakan gambaran tentang wanita yang mempelajari suatu ilmu dengan menghafalkan mantra untuk menyakiti seseorang serta memiliki reputasi yang buruk karena tidak sesuai dengan ajaran agama.
2.2.3 Ideologi Gender Ideologi merupakan suatu sistem keyakinan yang digunakan orang untuk menerangkan, menjelaskan, dan membenarkan tingkah lakunya serta menafsirkan dan menilai tingkah laku orang lain (Saptiawan dan Sugihastuti, 2007:49). Kata Ideologi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2012:173) adalah kumpulan konsep bersisitem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup. Sedangkan gender merupakan elaborasi sosial dari sifat biologis. Gender membangun sifat biologis; dari yang tadinya bersifat alami, kemudian melebih-lebihkannya, dan pada akhirnya menempatkannya pada posisi yang sama sekali tidak relavan (Saptiawan dan Sugihastuti, 2007:5). Jadi, ideologi 12
gender merupakan seperangkat keyakinan yang mengatur partisipasi orang-orang dalam orde gender. Ideologi gender mengatur perbedaan sifat laki-laki dan perempuan, keadilan, sifat alamiah, asal-muasal, dan berbagai aspek orde gender. Ideologi mengatur apakah perbedaan bersifat fundamental ataukah harus dilestarikan, dan bisakah atau haruskah dipertahankan tanpa kesetaraan .
2.3 Landasan Teori Penelitian sastra seharusnya bertolak dari interprestasi dan analisis karya sastra itu sendiri (Wellek dan Warren, 1989 : 157). Pendekatan yang bertolak dari dalam karya sastra itu disebut pendekatan objektif. Analisis struktural adalah bagian yang terpenting dalam merebut makna di dalam karya sastra itu sendiri. Penelitian struktural dipandang lebih objektif karena hanya berdasarkan sastra itu sendiri. Peneliti strukturalis biasanya mengandalkan pendekatan egosentrik yaitu pendekatan penelitian yang berpusat pada teks sastra itu sendiri. Penekanan strukturalis adalah memandang karya sastra sebagai teks mandiri. Penelitian dilakukan secara objektif yaitu menekankan aspek intrinsik karya sastra (Endraswara, 2003: 25). Aspek intrinsik dari karya sastra itu sendiri antara lain tema, alur, penokohan, latar dan sudut pandang. Aspek intrinsik inilah yang turut membangun sebuah karya sastra.
13
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan analisis struktural adalah penguraian karya sastra atas bagian-bagian atau norma-normanya, atau atas unsurunsur yang membangunya. Dengan pendekatan tersebut karya sastra yang komplek dan rumit dapat dipahami. Dengan demikian, dimungkinkan orang untuk memberikan penilaian terhadapnya. Karya sastra mempunyai sebuah sistem yang terdiri atas berbagai unsur pembangunya. Untuk mengetahui unsur yang ada dalam karya sastra itu sangat tepat jika penelaahan teks sastra diawali dengan pendekatan struktural. Strukturalisme sering digunakan oleh peneliti untuk menganalisis seluruh karya sastra dimana kita harus memperhatikan unsur-unsur yang terkandung dalam karya sastra tersebut. Struktur yang membangun sebuah karya sastra sebagai unsur estetika dalam analisis struktur dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi, mengkaji, mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 2000: 37). Mulanya proses identifikasi terhadap plot, tokoh, penokohan, latar dan sudut pandang. Tahap selanjutnya penjelasan terhadap fungsi masing-masing unsur dalam menunjang makna keseluruhannya serta hubungan antar unsur intrinsik. Namun, penelitian ini menekankan pada dua unsur pembentuk karya sastra yang bersifat intrinsik. Unsur intrinsik tersebut adalah alur atau plot dan tokoh. Tetapi, tidak sampai pada fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik. Dipilihnya kedua unsur tersebut karena keduanya merupakan unsur isi dari sebuah karya sastra yang dapat membangun sebuah cerita yang menarik. Sehubungan dengan pemaparan
14
di atas, diharapkan dengan menganalisis kedua unsur tersebut dapat membantu mengungkapkan unsur pembangun cerita dalam penelitian novel ini.
Pendekatan feminisme dalam kajian sastra sering dikenal dengan kritik sastra feminisme. Feminis menurut Nyoman Kutha Ratna (2005: 226) berasal dari kata femme yang berarti perempuan. Sugihastuti (2002:18) berpendapat bahwa feminisme adalah gerakan persamaan antara laki-laki dan perempuan di segala bidang baik politik, ekonomi, pendidikan, sosial dan kegiatan terorganisasi yang mempertahankan hak-hak serta kepentingan perempuan. Feminisme juga menurut Sugihastuti merupakan kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, baik di tempat kerja dan rumah tangga.
Feminisme berbeda dengan emansipasi, Sofia dan Sugihastuti (dalam Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, 2007: 95) menjelaskan bahwa emansipasi lebih menekankan pada partisipasi perempuan dalam pembangunan tanpa mempersoalkan hak serta kepentingan mereka yang dinilai tidak adil, sedangkan feminisme memandang perempuan memiliki aktivitas dan inisiatif sendiri untuk mempergukan hak dan kepentingan tersebut dalam berbagai gerakan.
Sholwalter (dalam Sugihastuti dan Suharto, 2005: 18) menyatakan bahwa dalam ilmu sastra, feminisme ini berhubungan dengan konsep kritik sastra feminis, yaitu studi sastra yang mengarahkan fokus analisisnya pada perempuan. Jika selama ini dianggap dengan sendirinya bahwa yang mewakili pembaca dan pencipta dalam sastra Barat
15
ialah laki-laki, kritik sastra feminis menunjukkan bahwa perempuan membawa persepsi dan harapan ke dalam pengalaman sastranya.
Feminisme merupakan kajian sosial yang melibatkan kelompok-kelompok perempuan yang tertindas, utamanya tertindas oleh budaya partiarkhi. Feminisme berupa gerakan kaum perempuan untuk memperoleh otonomi atau kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri. Berupa gerakan emansipasi perempuan, yaitu proses pelepasan diri dan kedudukan sosial ekonomi yang rendah, yang mengekang untuk maju.
Feminisme bukan merupakan upaya pemberontakan terhadap laki-laki, bukan upaya melawan pranata sosial, budaya seperti perkawinan, rumah tangga, maupun bidang publik. Kaum perempuan pada intinya tidak mau dinomorduakan, tidak mau dimarginalkan.
Sasaran penting dalam analisis feminis menurut Suwardi Endaswara (2008: 146) adalah sedapat mungkin berhubungan dengan: (1) mengungkap karyakarya penulis wanita masa lalu dan masa kini; (2) mengungkap berbagai tekanan pada tokoh wanita dalam karya sastra yang ditulis oleh pengarang pria; (3) mengungkap ideologi pengarang wanita dan pria, bagaimana mereka memandang diri sendiri dalam kehidupan nyata; (4) mengkaji aspek ginokritik, memahami proses kreatif kaum feminis; dan (5) mengungkap aspek psikoanalisa feminis, mengapa wanita lebih suka hal yang halus, emosional, penuh kasih dan lain sebagainya.
16
Selanjutnya muncullah istilah reading as a woman, membaca sebagai perempuan, yang dicetuskan oleh Culler, maksudnya adalah membaca dengan kesadaran membungkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang patriarkhat (Sugihastuti dan Suharto, 2605: 19).
Membaca sebagai perempuan berhubungan dengan faktor sosial budaya pembacanya. Dalam hal ini sikap baca menjadi faktor penting. Peran pembaca dengan sendirinya tidak dapat dilepaskan dari sikap bacanya. Citra perempuan dalam karya itu mendapat makna/terkonkretkan sesuai dengan keseluruhan sistem komunikfsi ‘sastra, yaitu pengarang, teks, dan pembaca.
Reading as women menurut Suwardi Endaswara (2008: 147) adalah membaca sebagai perempuan. Peneliti dalam memahami karya sastra harus menggunakan kesadaran khusus, yaitu kesadaran bahwa jenis kelamin banyak berhubungan dengan masalah kenyakinan, ideologi, dan wawasan hidup. Kesadaran khusus membaca sebagai perempuan merupakan hal yang penting dalam kritik sastra feminisme.
Analisis novel dengan kritik sastra feminis berhubungan dengan konsep membaca sebagai perempuan, karena selama ini seolah-olah karya sastra ditujukan kepada pembaca laki-laki, dengan kritik ini muncullah pembaharuan adanya pengakuan akan adanya pembaca perempuan. Hal ini dapat dikatakan untuk mengurangi prasangka gender dalam sastra.
17
Kritik sastra feminis menurut Yoder (dalarn Sugihastuti dan Suharto, 2002: 5) diibaratkan quilt yang dijahit dan dibentuk dari potongan kain persegi pada bagian bawah dilapisi dengan kain lembut. Metafora ini mengibaratkan bahwa kritik sastra feminis diibaratkan sebagai alas yang kuat untuk menyatukan pendirian bahwa seorang perempuan dapat sadar membaca karya sastra sebagai perempuan.
Djajanegara berpendapat kritik ini melibatkan perempuan, khususnya feminis, sebagai pembaca. Yang menjadi pusat perhatian pembaca adalah penggambaran perempuan serta stereotipe perempuan dalam suatu karya sastra (dalam http: jurnalhumaniora. ugm. ac. id).
Kritik sastra feminis adalah studi sastra yang mengarahkan fokus analisisnya pada perempuan. Djananegara berpendapat bahwa kajian feminisme adalah salah satu kajian sastra yang mendasarkan pada pandangan feminisme yang menginginkan adanya keadilan dalam memandang eksistensi perempuan (Wiyatmi, 2006: 113).
Faham feminisme lahir dan mulai berkobar pada sekitar akhir 1960-an di Barat, dengan beberapa faktor penting yang mempengaruhinya. Gerakan ini mempenganihi banyak segi kehidupan dan mempengaruhi setiap aspek kehidupan perempuan (Sugihastuti dan Suharto, 2005: 6).
Feminisme lahir dengan tujuan mencari keseimbangan antara laki-laki dengan perempuan. Feminisme merupakan gerakan perempuan untuk menolak sesuatu yang
18
dimarginalisasikan, direndahkan, dinomorduakan, dan disubordinasikan oleh kebudayaan, sosial, balk dalam bidang publik maupun bidang domestik. Dengan lahirnya gerakan feminisme ini, masyarakat mulai terbuka dan sadar akan kedudukan perempuan yang inferior.
Gerakan feminisme barat yang diwarnai oleh tuntutan kebebasan dan persamaan hak agar pars perempuan dapat menyarnai laki-laki dalam bidang sosial, ekonomi, pendidikan, dan kekuasaan politik. Mini telah banyak perempuan yang masuk kedunia maskulin dan berkiprah bersama-sama laid-laid. Sehingga banyak orang awam melabel feminisme dengan negatif. Kata feminis selalu dilekatkan dengan berbagai stereotipe negatif, misalnya perempuan yang dominan; menuntut, galak, mencari masalah, berpenampilan buruk, tidak menyukai laid-laki, lesbian, perawan tua (lajang), sesat, sekuler, dan sebagainya. Label negatif ini tidak hanya diberikan oleh laki-laki, namun juga kaum perempuan sendiri.
Hal itu sependapat dengan Mansour Fakih (2007: 78) pada umumnya orang berperasan bahwa feminisme adalah gerakan pemberontakan terhadap kaum laki-laki, upaya melawan pranata yang ada, misalnya institusi rumah tangga, perkawinan, maupun usaha pemberontakan perempuan untuk mengingkari apa yang disebut kodrat. Dengan kesalahpahatnan seperti itu maka feminisme kurang mendapat tempat di kalangan kaum wanita sendiri, bahkan secara umum ditolak oleh masyarakat. Tujuan inti pendekatan feminisme menurut Djajanegara adalah meningkatkan
19
kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta derajat laki-laki. Perjuangan untuk meneapai tujuan ini menecakup beberapa cara, termasuk melalui bidang sastra.
Karya sastra yang bernuasa feminis menurut Suwardi Endaswara (2008: 146) dengan sendirinya akan bergerak pada emansipasi, kegiatan akhir. dari perjuangan feminis adalah persamaan derajat, yang hendak mendudukkan perempuan tidak sebagai objek. Maka kajian feminis sastra tetap memperhatikan masalah gender. Feminisme adalah sebuah pahan yang berusaha memahami ketertindasan terhadap perempuan, dan mencari upaya bagaimana mengatasi ketertindasan itu. Oleh karena itu, seorang feminis adalah seseorang yang berusaha memahami posisi terhadap perempuan dan berupaya mengatasinya.
Dalam kritik sastra feminis menurut Sugihastuti dan Suharto (2005: 23) bahwa konsep-konsep gender digunakan sebagai dasar analisis. Ada lima konsep analisis gender. Pertama, perbedaan gender ialah perbedaan dari atribut-atribut sosial, karakteristik, perilaku, penampilan, cara berpakaian, peranan. Kedua, kesenjangan gender ialah perbedaan dalam hak berpolitik, memberikan suara, bersikap antara lakilaki dan perempuan. Ketiga, genderzation ialah pengacauan konsep pada upaya menempatkan jenis kelarnin pada pusat perhatian identitas diri dan pandangan dari dan terhadap orang lain. Keempat, identitas gender ialah gambaran tentang jenis kelaxn.in yang seharusnya dimiliki dan ditampilkan oleh tokoh yang bersangkutan.
20
Kelima, gender role ialah peranan perempuan atau laki yang diaplikasikan secara nyata.
Jadi, teori yang digunakan dalam menganalisis novel ini adalah teori struktural dan teori feminis. Teori struktural berfungsi untuk menganalisis seluruh karya sastra dimana kita harus memperhatikan unsur-unsur yang terkandung dalam karya sastra tersebut. Sedangkan, teori feminisme dan pendekatan kritik sastra feminis berfungsi menelusuri bagaimana perempuan direpresentasikan, bagaimana teks terwujud dengan relasi gender dan perbedaan sosial. Selain itu, kritik sastra feminis membicarakan bagaimana perempuan dilukiskan dan bagaimana potensi yang dimiliki perempuan di tengah kekuasaan partriarkhi dalam karya sastra.
21