BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian yang relevan sebelumnya Salah satu Penelitian yang relevan sebelumnya mengkaji tentang Upaya Badan Pertanahan Nasional (BPN) Dalam menyelesaikan masalah tanah, dapat dikemukakan sebagai berikut: Nuraeni (2007) melakukan penelitian dengan judul: Upaya Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam menyelesaikan masalah tanah Di Kota Gorontalo. Dalam penelitian ini yang dikaji adalah pertama, melakukan observasi tentang usaha-usaha yang dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Gorontalo dalam menangani permasalahan tanah. Kedua, mengkaji apakah permasalahan tanah yang ada di Kota Gorontalo dapat diselesaikan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Gorontalo. Hasil penelitian menunjukan pertama, cara atau sistem yang telah dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Gorontalo dalam menangani permasalahan tanah diantaranya melakukan sosialisasi tentang pentingnya pengetahuan tentang pertanahan seperti pentingnya memilki bukti atas tanah seperti kepemilikan sertifikat. Kedua, masih ada permasalahan tanah yang belum terselesaikan. Ini terjadi bukan kesalahan semata dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) tetapi juga dari pihak yang mempunyai masalah tanah tersebut.
2.2 Badan Pertanahan Nasional ( BPN ) Dalam Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2006 pasal 1, menyebutkan bahwa: Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah lembaga pemerintah non departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden dan mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional, dan sektoral. (BPN, 2006: 10). Dalam hal ini (A.P Parlindungan, 1991: 94) menyatakan bahwa: Pengukuran menurut peraturan pemerintah nomor 10 tahun 1961 dilakukan oleh kantor pendaftaran tanah (sekarang seksi pengukuran dan pendaftaran tanah dilingkungan kantor pertanahan kabupaten/kotamadya) secara drsa demi desa dengan memberi tanda batas. Selain itu juga (Boedi Harsono, 1983: 130-131) menyatakan: Jika hak tersebut belum didaftarkan pada kantor pendaftaran tanah maka pemegang hak yang bersangkutan wajib datang pada kantor pertanahan yang bersangkutan untuk mendaftarkannya dengan mempergunakan daftar isian yang contohnya akan ditetapkan tersendiri. Hak penggolongan menurut (R. Atang Ranoemihardja, 1982:16) adalah Hak atas tanah yang dikuasai negara dan hanya dapat diberikan kepada badan hukum pemerintah atau pemerintah daerah baik dipergunakan untuk usahanya sendiri maupun untuk kepentingan pihak ketiga. Dalam pasal 19 Undang-undang Pokok Agraria ditujukan kepada pemerintah untuk melaksanakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia, adalah merupakan kewajiban pemerintah sebagai penguasa tertinggi terhadap tanah (R. Soehadi 2002:53). Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyelenggarakan fungsi sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2006 pasal 6 adalah: 1.
Perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan.
2.
Perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan.
3.
Koordinasi kebijakan dalam rangka, perencanaan, dan program di bidang pertanahan.
4.
Pembinaan dan pelayanan adminitrasi umum di bidang pertanahan.
5.
Penyelenggaraan dan pelaksanaan survei, pengukuran, dan pemetaan di bidang pertanahan.
6.
Pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum.
7.
Pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah.
8.
Pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria, dan penataan wilayahwilayah khusus.
9.
Penyimpanan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik negara/daerah bekerjasama dengan departemen keuangan.
10.
Pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah.
11.
Kerjasama dengan lembaga-lembaga lain.
12.
Penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan, dan program di bidang pertanahan.
13.
Pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan.
14.
Pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara, dan konflik di bidang pertanahan.
15.
Pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan.
16.
Penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan.
17.
Pendidikan, latihan, dan pengembangan sumber daya manusia di bidang pertanahan.
18.
Pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan.
19.
Pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang pertanahan.
20.
Pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau badan hukum dengan tanah sesui dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
21.
Fungsi lain di bidang pertanahan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Kantor Pertanahan Kota Gorontalo). Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, Kantor Pertanahan dipimpin
oleh seorang kepala dan terdiri dari deputi-deputi dalam pelaksanaan teknis, termasuk deputi bidang pengkajian dan penanganan sengketa dan konflik pertanahan yang merupakan unsur pelaksana sebagian tugas dan fungsi Kantor Pertanahan di bidang pengkajian dan penanganan sengketa dan konflik pertanahan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala Kantor Pertanahan dan mempunyai tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang pengkajian dan penanganan sengketa dan konflik pertanahan. Dalam melaksanakan tugasnya, deputi bidang pengkajian dan penanganan sengketa dan konflik pertanahan menyelenggarakan fungsi sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2006 pada pasal 23 yaitu sebagai berikut: 1.
Perumusan kebijakan teknis di bidang pengkajian dan penanganan sengketa dan konflik pertanahan.
2.
Pengkajian pemetaan secara sistematis berbagai masalah, sengketa, dan konflik pertanahan.
3.
Penanganan masalah, sengketa, dan konflik pertanahan secara hukum dan non hukum.
4.
Penanganan perkara pertanahan.
5.
Pelaksanaan alternatif penyelesaian masalah, sengketa, dan konflik pertanahan melalui bentuk mediasi, fasilitasi, dan lainnya.
6.
Pelaksanaan putusan-putusan lembaga peradilan yang berkaitan dengan pertanahan.
7.
Penyiapan pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Kantor Pertanahan Kota Gorontalo).
2.3 Sengketa Tanah 2.3.1
Pengertian sengketa Menurut keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional (PMNA/KBPN)
Nomor 9 tahun 1999, sengketa tanah merupakan konflik antara dua pihak atau lebih yang mempunyai kepentingan berbeda terhadap satu atau beberapa objek hak atas tanah. Secara umum, meningkatnya kasus sengketa tanah terjadi karena adanya ketidakpastian hukum yang timbul karena perangkat peraturan perundangundangan yang secara operasional dibidang pertanahan tidak mampu mendukung pelaksanannya. Dalam hal ini (E.Utrecht, 1996:224) menyatakan bahwa: Fakta tentang adanya hubungan antara manusia dengan tanah, dapat dipandang sebagai fakta hukum, yaitu fakta atau kenyataan yang diatur dan diberi akibat oleh hukum.
Dalam era reformasi sekarang ini, masih merupakan komponen yang sangat penting dalam menunjang berbagai usaha untuk memajukan pembangunan. Dengan adanya kebutuhan-kebutuhan akan pertanahan, maka pemerintah selaku pengelola negara tentunya sangat berperan dalam menangani permasalahanpermasalahan tentang pertanahan itu sendiri, sehingga dengan demikian dapat muncul kehidupan yang damai dan sejahtera. Adanya berbagai macam permasalahan yang timbul di lingkungan masyarakat tentang pertanahan, maka pemerintah selaku pengelola negara harus dapat menangani masalah sengketa tanah. Dalam hal ini (Budi Harsono, 1983: 29) menyatakan bahwa: Hubungan antara hak menguasai negara dengan hak-hak orang perseorangan atau badan hukum bahwa kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan suatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyainya untuk menggunakan haknya, yang akan menimbulkan masalah sengketa tanah di masyarakat. Pada era pembangunan ini, arti penting tanah Disamping itu juga (Soni Harsono, 1990: 8) selaku kepala Badan Pertanahan Nasional menyatakan bahwa: Kita sadari bersama bahwa tanah sudah tidak sekedar masalah agraria yang selama ini lazimnya lebih diidentikan dengan pertanian, akan tetapi mempunyai cakupan yang lebih luas, meliputi dimensi ekonomi, dimensi sosial budaya, dimensi politik, bahkan dimensi pertahanan keamanan. Sebagai wadah sumber kekayaan alam yang terdapat di darat, harus dapat dipahami bahwa tanah ialah wujud konkret dari salah satu modal dasar pembangunan yang tercantum dalam Garis-garis Besar Haluan Negara. Dalam pernyataan lain (R.Soehadi, 2002: 14) bahwa: Jumlah luas tanah yang dapat dikuasai oleh manusia sangat terbatas sekali, sedangkan jumlah manusia yang berhajat terhadap tanah senantiasa bertambah. Selain bertambah banyak jumlah manusia yang memerlukan
tanah untuk tempat perumahan, juga kemajuan dan perkembangan ekonomi, sosial budaya dan teknologi menghendaki pula kesediannya tanah yang banyak untuk perkebunan, peternakan, pabrik-pabrik perkantoran, tempat hiburan dan jalan-jalan untuk perhubungan. Berhubung bertamabah lama dirasakan seolah olah tanah menjadi sempit, menjadi sedikit, sedangkan permintaan menjadi bertambah, maka tidak heran kalau tanah menjadi meningkat, tidak seimbangnya antara persediaan tanah itu, telah menimbulkan berbagai persoalan yang banyak segi-seginya. Sementara
yang terjadi dimasyarakat mengenai masalah tentang
sengketatanah ini terus berlanjut terus menerus. Sesuai dengan asas-asas yang terdapat dalam hubungan antara manusia dan tanah dengan realitanaya dalam hal ini kita ingat kepada kesimpulan ahli yang telah kita ketahui bahwa dalam soal tanah baik teori maupun peraturan hukum tanah, mempunyai kedudukan yang aposteriori, artinya harus berdasarkan realita yang terdapat didalam masyarakat (Notonagoro, 1984:120). 2.3.2
Beberapa faktor penyebab sengketa tanah Faktor-faktor penyebab terjadinya sengketa tanah, yaitu sebagai berikut:
1.
Persediaan tanah relatif
terbatas, sementara pertumbuhan penduduk
meningkat. 2.
Tanah terlantar dan resesi ekonomi.
3.
Ketimpangan
struktur
penguasaan,
pemilikan,
pembangunan,
dan
pemanfaatan tanah. 4.
Pluralisme hukum tanah dimasa kolonial.
5.
Persepsi dan kesadaran “hukum” masyarakat terhadap
penguasaan dan
pemilikan tanah. 6.
Inkonsistensi kebijakan pemerintah dalam penyelesaian masalah.
7.
Reformasi.
8.
Kelalaian petugas dalam proses pemberian dan pendaftaran hak atas tanah.
9.
Sistem peradilan.
10.
Lemahnya sistem administrasi pertanahan.
11.
Tidak terurusnya tanah-tanah aset instansi pemerintah. (Kantor Pertanahan Kota Gorontalo).
2.3.3
Upaya menghindari sengketa Adapun upaya yang ditempuh untuk menghindari terjadinya sengketa
tanah, yaitu sebagai berikut: 1.
Pemegang hak atas tanah mengusahakan tanahnya secara aktif.
2.
Penguasaan tanah disesuaikan dengan kemampuan untuk memanfaatkan atau mengusahakan tanahnya secara seimbang.
3.
Menata dan memelihara tanah dengan baik.
4.
Dibentuk suatu peradilan khusus yang menangani sengketa pertanahan. (Kantor Pertanahan Kota Gorontalo).
2.4 Hak-hak Tanah berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 2.4.1 Hak atas tanah yang yang diatur oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Wewenang yang dipunyai oleh negara yang berpangkal pada hak menguasai negara, dijelaskan oleh pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, bahwa: a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa. c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa (Harsono, 1983: 6) Pada dasarnya, yang menjadi dasar hukum ketentuan hak-hak atas tanah diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 pasal 4 ayat 1 sebagai berikut: Atas dasar hak menguasai dari negara atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas bumi. Yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan permukaan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum. Lembaga-lembaga hukum dan hubungan-hubungan hukum konkret, tersebut disebut hak dan macam-macamnya diatur oleh hukum yang bersangkutan masing-masing berisikan serangkaian dan wewenangwewenang, laranagan-larangan dan kewajiban-kewajiban dari yang mempunyai hak itu mengenai benda yang dalam hukum tanah. Benda itu adalah tanah (Boedi Harsono, 1975: 6). Hak atas dasar tanah bersumber dari hak mengusai dari negara atas tanah dapat diberikan kepada perseorangan, baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing yang sekolompok orang secara bersama-sama dan badan hukum, baik badan hukum privat maupun badan hukum politik. Hak atas tanah yang dimaksud dalam pasal 4 di atas ditentukan dalam pasal 6 ayat 1 sebagai berikut: a. Hak milik
Dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960, pengertian hak milik seperti yang dirumuskan didalam pasal 20 yang disebutkan dalam ayat (1), hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuhi, yang dapat dipunyai orang atas tanah, (2) hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Pada dasarnya badan hukum itu tidak dimungkinkan untuk mempunyai hak milik atas tanah. Hal ini dikecualikan oleh Undang-undang serta peraturan lainnya, seperti dalam Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 1963, bahwa badanbadan hukum yang dapat diberikan hak milik adalah: a.
Bank-bank yang didirikan oleh negara.
b.
Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan berdasarkan Undang-undang Nomor 79 tahun 1958.
c.
Badan-badan keagamaan yang oleh Menteri Pertanian/agraria setelah Menteri Agama.
d.
Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/agraria setelah mendengar dari menteri sosial. Hak pakai ini memiliki batasa-batasan pengguna hak pakai. Secara tegas,
hak-hak pakai hanya dapat diberikan kepada: 1. Warga negara Indonesia. 2. Orang-orang yang berkedudukan di Indonesia. 3. Badan-badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. 4. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
b. Hak guna usaha Menurut pasal 28 ayat (1) Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960, yang dimaksud dengan: Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam psal 29, guna perusahaan, perikanan, atau peternakan. c. Hak guna bangunan Pasal 35 Undang-Undang Pokok Agraria ( UUPA ) Nomor 5 tahun 1960 memberikan pengertian hak guna bangunan, yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 20 tahun. d. Hak pakai Menurut pasal 41 ayat (1)
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
Nomor 5 tahun 1960, bahwa: yang dimaksud dengan hak pakai adalah hal untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang kepada dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengelolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jira dan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960. e. Hak sewa untuk bangunan
Menurut pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960, menyebutkan bahwa: Seseorang atau usaha badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa. Hak sewa untuk bangunan adalah hak yang dimiliki seseorang atau badan hukum untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah hak milik orang lain dengan membayar sejumlah uang sewa tertentu yang disepakati oleh pemilik tanah dengan pemegang sewa untuk bangunan. f. Hak atas tanah yang bersifat sementara Hak atas tanah bersifat sementara disebutkan dalam pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960, dimana disebutkan macam-macam hak dalam pasal 53 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960 yang meliputi hak gadai (gadai tanah), hak usaha bagi hasil, menumpang, dan hak sewa tanah pertanian. 2.4.2 Kepastian hukum hak atas tanah Salah satu aspek yang penting dari tujuan hukum adalah kepastian hukum itu sendiri, artinya hukum berkehendak untuk menciptakan kepastian dalam hubungan antar orang dalam masyarakat dengan demikian individu dalam masyarakat dapat mengetahui dengan jelas akibat hukum dari suatu perbuatan atau hal-hal yang harus dipenuhi dalam melaksanakan suatu tindakan. Tanah merupakan kebutuhan dasar dalam pelaksanaan kegiatan produktif manusia, baik sebagai wadah untuk tempat tinggal maupun faktor produksi oleh
karena itu jelaslah bahwa pencatatan yang sistematis dari tanah dan hak atas tanah merupakan hal yang sangat penting bagi administrasi negara maupun bagi perencanaan dan pengembangan penggunaan tanah itu sendiri, serta bagi kepastian hukum dalam peralihan, pemindahan atau pembebanan hak atas tanah. Hal ini terutama nampak nyata di negara-negara yang sedang berkembang, dimana pertumbuhan penduduk yang sangat pesat telah menimbulkan distorsi yang semkin besar sehingga terjadi urbanisasi yang deras menyebabkan pertumbuhan pendududuk yang tak terkendali di perkotaan dan di bidang hukum pertanahan ternyata tidak di ikuti dengan pembuatan catatan yang teliti mengenai transaksi dengan objek berupa tanah yang berakibat ketidakpastian hukum. Pendaftaran tanah yang baik adalah sangat menguntungkan bagi masyarakat. Keuntungan dari terlaksananya pendaftaran tanah yang baik adalah: a.
Memberikan rasa aman kepada pemegang hak atas tanah dan adanya kepastian hukum.
b.
Berkurangnya sengketa tanah sehingga terdapat penghematan biaya dalam pengurusannya.
c.
Mudah, murah dan kepastian atas suatu transaksi mengenai tanah.
d.
Meningkatkan investasi dengan mengadakan tanah sebagai jumlah guna memperoleh hasil kredit jangka panjang. Pada umumnya lembaga perbankan menuntut adanya hak yang sah atas suatu jaminan sebelum kredit diberikan.
e.
Hasil pendaftaran tanah yang berupa data-data yuridis dan data-data fisik selain memberikan kepastian hukum, juga dapat digunakan sebagai instrumen untuk penetapan dan pengenaan pajak. Adanya perubahan perkembangan sosial dalam masyarakat yang
berkembang memerlukan langkah-langkah penyesuaian dan penyempurnaan berbagai produk hukum di bidang pertanahan. Dalam rangka memberikan jaminan kepastian kepada para pemegang hak atas tanah, penyelenggaraan pendaftaran tanah memerlukan dukungan dari berbagai kalangan lapisan masyarakat dan khususnya dukungan dari para pemegang hak atas tanah. 2.4.3
Kekuatan pembuktian sertifikat tanah Dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada para pemegang hak
atas tanah dan hak milik atas rumah susun, maka dalam pasal 32 ayat (1) UndangUndang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1950 telah diatur mengenai pengertian bahwa sertifikat tanah berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Sertifikat tanah merupakan surat tanda bukti yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yiridis yang tercantum didalamnya harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam melakukan perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam berperkara dipengadilan. Sudah barang tentu data fisik dan data yuridis yang sudah tercantum dalam sertifikat tanah harus sesuai dengan data yang tercantum dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan, karena data-data itu diambil dari sertifikat tanah merupakan salinan atas data yang termuat dalam surat ukur dan buku tanah mempunyai sifat terbuka. Untuk umum sehingga pihak yang berkepentingan dapat mencocokan
data dalam sertifikat dengan yang ada dalam surat ukur dan buku yang disajikan pada kantor pertanahan. Sertifikat sebagai akta autentik mempunyai kekuatan atau daya bukti seperti berikut: 1. Kekuatan buku lahir Kekutan buku lahir dari sertifikat hak milik atas tanah sebagai akta . Hal ini berarti bahwa suatu akta yang lahirnya sebagai data akta autentik serta mempunyai syarat-syarat yang telah ditentukan terhadap kekuatan pembuktian kekutan buku lahir. 2. Kekutan pembuktian formal Kekuatan pembuktian formal dari suatu sertifikat hak milik atas tanah sebagai akta autentik membuktikan kebenaran dari apa yang dilihat, didengar, ataupun dilakukannya. Dalam hl ini yang telah pasti ialah tentang tanggal, tempat, serta keaslian tanda tangan. 3. Kekuatan pembuktian materil Kekuatan pembuktian materil sertifikat hak atas tanah sebagai akta autentik, penilaiannya diserahkan kepada hakim. Dengan demikian, kekuatan pembuktian sertifikat hak milik atas tanah sebagai akta autentik mempunyai kekuatan istimewa dalam hal pembuktian. Oleh karena itu, siapa saja yang mempersoalkan ketidakabsahannya, maka pihak itulah yang harus membuktikan di pengadilan tentang ketidakabsahan sertifikat hak milik atas tanah tersebut.