BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian yang Relevan Disadari bahwa penelitian ini bukanlah kajian pertama yang mengangkat mantra sebagai objek kajiannya. Telah banyak penelitian yang relevan, baik dilihat dari sudut pandang mistik atau objek kajiannya yaitu sastra lisan mantra. Berikut ini adalah uraian singkat hasil penelitian yang relevan yang pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Ramli A Bangga, yang mengangkat judul “Nilai Mistik dalam Novel Harry Potter dan Batu Bertuah Karya J.K Rowling (Suatu Tinjauan Berdasarkan Pendekatan Struktural Dilihat dari Segi Latar,Tokoh dan Penokohan)” Pada tahun 2005. Penelitian ini menyimpulkan bahwa nilai mistik yang terdapat dalam latar antara lain latar tempat mengisyaratkan kepada kita bahwa di dunia ini kita hidup berdampingan dengan dunia yang tak bisa disentuh oleh indra dan pemahaman pikiran serta logika manusia biasa yang tidak memiliki iman untuk itu. Latar waktu menggambarkan bahwa terdapat waktu-waktu tertentu bagi suatu kekuatan untuk bisa muncul secara maksimal ke permukaan, pada saat itulah ia dengan kekuatannya itu mampu berbuat apa saja. Latar sosial menandakan bahwa tidak semua orang bisa memperoleh kekuatan gaib tanpa didukung oleh lingkungan sekitar.salah satunya adalah faktor keturunan. Latar benda menggambarkan bahwa di dunia ini terdapat benda-benda yang dianggap sakti dan bertuah. Dengan benda sakti itu, bisa membuat pemiliknya bisa terlindung dari bahaya, terbang, menghilang, bahkan untuk melihat masa depan. Nilai mistik yang terdapat pada tokoh dan penokohan antara lain nilai mistik yang dikaji dari segi tokoh dan penokohan memberikan gambaran yang jelas kepada kita bahwa kekuatan sihir yang tak ada
batasnya bisa membuat orang-orang yang memilikinya mampu berbuat hal-hal yang tidak mungkin dan ganjil bagi yang tidak percaya dan berakal sehat. Wa Ode Hastati, yang mengangkat judul skripsinya “Analisis Fungsi Mantra Kafoila dalam Masyarakat Muna”. pada tahun 2004. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fungsi dari mantra kafoila yang terdapat pada masyarakat Muna. Metode yang digunakan pada penelitian ini ialah metode deskriptif. Metode deskriptif yaitu metode yang digunakan untuk menggambarkan apa adanya sesuai dengan objek yang di teliti. Hasil penelitian ini menemukan bahwa mantra Kafoila ini adalah untuk menghilangkan, mencegah, atau mengusir bahaya yang datang baik dari dalam ataupun dari luar yang dapat membahayakan/merugikan manusia. Mantra Kafoila dalam masyarakat Muna terdiri atas beberapa jenis yaitu kafoilano ghuse, sitani, kabuna, kawea, lakua-kua, ladula, mantiana, jini. Sastra lisan Kafoila ini berbentuk sajak tetapi tidak terikat sebagaimana puisi lama yang harus terikat dengan jumlah baris tiap bait, terdiri atas beberapa bait dan mempunyai rima. Moh. Karmin Baruadi, pada tahun 2004 yang mengangkat judul penelitian “Telaah Semiotik Puisi Gorontalo Bernilai Magis” penelitian ini menyimpulkan bentuk dan gambaran puisi lisan Gorontalo yang bernilai magis atas 3 bentuk. Puisi magis yang dipakai dalam upacara-upacara mengambil kayu di hutan disebut Bungga, puisi magis yang dipakai dan ditujukan untuk meminta pertolongan kepada roh-roh halus, disampaikan dalam keadaan tidak sadar (kesurupan) disebut Bonito, puisi magis Wumbungo yaitu jenis puisi yang disampaikan orang dalam keadaan sadar ditujukan kepada roh-roh halus untuk mengobati suatu penyakit. Berdasarkan uraian penelitian di atas, penelitian yang diteliti oleh Ramli A Bangga berobjek pada novel “Harry Potter dan Batu Bertuah karya J.K Rowling”, sedangkan penelitian ini berobjek pada mantra lapali lo wawalo dalam ritual mohunemo. Relevansi antara penelitian ini dan penelitian yang telah dilakukan oleh Ramli A Bangga ialah sama-
sama melihat mistik yang terdapat pada karya sastra. Kajian kedua ialah “Analisis Fungsi Mantra Kafoila dalam Masyarakat Muna”, kesamaanya terdapat pada objek yaitu sastra lisan mantra, namun perbedaannya dengan penelitian ini adalah kajiannya
yang berbeda.
Penelitian yang dilakukan oleh Wa Ode Hastati mengkaji fungsi mantra sedangkan penelitian ini mengkaji nilai mistik dalam mantra lapali lo wawalo dalam ritual mohunemo. Kajian ketiga ialah “Telaah Semiotik Puisi Gorontalo Bernilai Magis”, relevansinya ialah melihat objek yang sama yaitu sastra daerah Gorontalo spesifiknya pada sastra lisan bernilai magis, akan tetapi perbedaanya terdapat pada konteks sastra lisan tersebut, apabila penelitian yang dilakukan Moh. Karmin Baruadi genre sastra lisan Gorontalo secara umum, sebaliknya penelitian ini melihat sastra lisan dikhususkan pada mantra yang digunakan dalam ritual yaitu ritual mohunemo.
2.2 Hakikat Nilai Kata value, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi nilai, berasal dari bahasa Latin valare atau bahasa Prancis kuno valoir. Sebatas arti denotatifnya, valare, valoir, value, atau nilai dapat dimaknai sebagai harga. Namun, ketika kata tersebut sudah dihubungkan dengan suatu objek atau dipersepsi dari suatu sudut pandang tertentu, harga yang terkandung di dalamnya memiliki tafsiran yang bermacam-macam. Ada harga menurut ilmu ekonomi, psikologi, sosiologi, antropologi, politk maupun agama. Perbedaan tafsiran tentang harga suatu nilai lahir bukan hanya disebabkan oleh perbedaan minat manusia terhadap hal yang material atau terhadap kajian-kajian ilmiah, tetapi lebih dari itu, harga suatu nilai perlu diartikulasikan untuk menyadari dan memanfaatkan makna-makna kehidupan. Nilai seperti yang telah dirumuskan oleh Kluckhohon (Mulyana, 2004: 10) nilai sebagai konsepsi (tersirat atau tersurat, yang sifatnya membedakan individu atau ciri-ciri kelompok) dari apa yang diinginkan, yang mempengaruhi pilihan terhadap cara, tujuan antara
dan tujuan akhir tindakan. Bebarapa definisi tentang nilai yang ada di atas penulis merumuskan bahwa nilai ialah tolak ukur dari suatu objek yang bersifat relative antara individu yang satu dengan individu yang lain. Akan tetapi nilai yang mengarah pada penelitian ini ialah nilai yang terkandung dalam karya sastra. Nilai dalam karya sastra berperan dalam suasana apresiasi atau penilaian dan akibatnya sering akan dinilai secara berbeda oleh berbagai orang (Atma jaya, 2005:140). Berbagai bentuk nilai yang terwujud dalam karya sastra misalnya nilai hedonik, nilai artistik, nilai budaya, nilai estetis, nilai agama, nilai mistik, nilai didaktis dan masih banyak lagi tergantung dari sudut pandang mana invidu melihat. Jika dilihat dari sudut pandang penulis terhadap objek penelitian yang ditemukan adalah nilai kebaikan karena dilihat dari tujuan mantra lapali lo wawalo dalam ritual mohunemo yaitu untuk mendatangkan kesembuhan kapada orang yang sakit. Akan tetapi terkesan adanya relativitas nilai kebaikan tergantung dari sisi mana dilakukan kebaikan( Suparlan, 2007:137). Menyembuhkan orang yang sakit ialah kebaikan namun proses penyembuhan bertolak belakang dengan syariat Islam (syirik) karena meminta penyembuhan bukan pada Allah sang maha kuasa namun meminta kesembuhan kepada setan, hal inilah disebut nilai kebaikan adalah suatu relativitas tergantung dari sudut pandang mana melihatnya.
Sehubungan dengan penelitian ini yaitu berobjek pada sastra daerah yang
spesifiknya mantra lapali lo wawalo dalam ritual mohunemo mengerucut pada nilai mistik yang ada dalam mantra lapali lo wawalo dalam ritual mohunemo, hal ini mendasari bahwa persoalan mantra tak lepas dari pengetahuan mistik atau pengetahuan diluar logis dan rasio atau diluar kemampuan pemikiran manusia normal.
2.3 Hakikat Mistik Kata mistik pada mulanya berasal dari agama yang dianut oleh masyarakat yunani. Kemudian kata itu masuk dalam khasanah kepustakaan Eropa, sedangkan dalam bahasa
Arab, Turki, dan Persia, kata mistik itu merupakan bahasa yang utama dalam islam yang berkaitan dengan istilah Sufi (Nicholson 2000:2), hal ini disebabkan merupakan produk sampingan dari ilmu Tasawuf. Sebagian besar tipe mistik hampir memiliki kesamaan, namun pada dasarnya masingmasing tetap memiliki ciri khusus. Ciri khusus ini dipengaruhi oleh lingkungan yang ada. Kekhususan mistik dalam agama Nasrani misalnya, hanya dapat dipahami dengan sempurna apabila kita tahu dengan jelas seperti apa agama Nasrani itu. Demikian pula halnya dengan mistik dalam islam yang hanya bisa dipahami apabila kita tahu betul seluk beluk ajaran agama Islam. Lebih tegas lagi dikatakan bahwa pengalaman mistik berakar dari agama; ini merupakan terminal yang menghubungakan semua ajaran agama (Sunarman, 1999: 87). Bahkan salah satu pendekatan untuk mendiskreditkan agama oleh kaum ilmuan yang lebih mengedepankan akal adalah menyerang akarnya dengan merendahkan pengalaman mistik, jantung dari semua agama. Salah seorang perintis sains modern, Roger Bacon, adalah seorang ahli tentang mistik sekaligus ilmuan. Ia berteori bahwa semua pengetahuan yang bersifat eksperimental, tetapi eksperimen itu ada dua macam, yakni yang dilakukan di alam eksternal dan eksperimen yang dilakukan di dalam diri sendiri melalui disiplin spiritual yang berujung pertemuan dengan Allah. Pada kenyataannya cara-cara yang ditempuh kaum mistik mempunyai persamaan dengan kaum ilmuan. Para ilmuan menetapkan suatu hipotesis dari data yang dimilikinya dan kemudian mengujinya. Dalam memperlakukan hipotesis itu, para ilmuan perlu memiliki semacam “imam” dalam hiptesis tersebut,sekurang-kurangnya sejauh kelayakannya untuk diuji. Kaum mistik pun menggunakan metode empirik, dan ia harus mulai dari sederetan hipotesis dan prosedur eksperimental untuk menguji kinerja untuk hukum-hukum spiritual di dalam dirinya sendiri. Ini berarti bahwa karena ada hukum-hukum yang mengendalikan
pengetahuan kita mengenai dunia luar, ternyata ada hukum-hukum yang berlaku bagi dunia dalam manusia yang tidak terpengaruh oleh orang/adat. Mistisisme adalah aliran dalam kesusastraan yang mengacu pada pemikiran mistik,yaitu pemikiran yang berdasarkan kepercayaan kepada Zat Tuhan Yang Maha Esa,yang meliputi segala hal di alam ini. Karya sastra yang beraliran mistisisme ini memperlihatkan karya yang mencari penyatuan diri dengan Zat Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Tuhan Semesta Alam. Dalam karya sastra khususnya mantra memang tidak dapat dilepaskan dari unsur kemistikan. Hal tersebut dikarenakan mantra yang biasanya diggunakan pada prosesi-prosesi adat yang berbau gaib, dimana hal-hal yang diyakini terkadang bertolak belakang dengan akal manusia. Dimana keyakinannya bahwa mempercayai adannya kekuatan diluar jangkauan pemikiran manusia. Dalam ilmu filsafat pengetahuan terbagi atas tiga jenis yaitu pengetahuan sains, pengetahuan filsafat, dan pengetahuan mistik. Pengetahuan sain adalah pengetahuan yang logis-empiris tentang objek yang empiris. Pengetahuan filsafat adalah pengetahuan logis (dan hanya logis) tentang objek yang abstrak logis. Kata logis disini dapat dalam arti rasional dapat juga dalam arti supra-rasional. Pengetahuan mistik adalah pengetahuan supra-rasional. Mistik adalah pengetahuan yang tidak rasional, ini pengertian yang umum. Adapun pengertian mistik bila dikaitkan dengan agama ialah pengetahuan (ajaran atau keyakinan) tentang Tuhan yang diperoleh melalui meditasi atau latihan spiritual, bebas dari ketergantungan pada indra dan rasio (Ahmad Tafsir, 112:2010). Pengetahuan mistik adalah pengetahuan yang tidak dapat dipahami rasio, maksudnya hubungan sebab akibat yang terjadi tidak dapat dipahami rasio. Dilihat dari segi sifatnya mistik dibagi pada jenis yaitu mistik biasa dan mistik magis. Mistik biasa adalah mistik tanpa kekuatan tertentu. Dalam islam mistik yang ini adalah tasahuf atau ajaran oleh kaum sufi. Mistik magis ialah mistik yang mengandung kekuatan tertentu dan biasanya untuk mencapai tujuan tertentu. Mistik magis ini dapat dibagi menjadi menjadi dua yaitu mistik
magis putih dan mistik magis hitam. Mistik magis putih dalam islam contohnya mukjizat, karamah, ilmu hikmah, sedangkan mistik magis hitam contohnya ialah santet dan jenisnya yang menginduk ke sihir bahkan merujuk pada suatu perilaku syirik (Ahmad Tafsir, 114:2010). Skalipun mantra lapali lo wawalo dalam ritual mohunemo memang bertolak belakang dengan syariat islam akan tetapi tujuan ialah memberi kesembuhan yang berarti terdapat nilai kebaikan walaupun dilihat dari sudut pandang ke Islaman memang bertolak belakang.
2.4 Hakikat Mantra Mantra terdapat di dalam kesusatraan daerah di seluruh Indonesia . Mantra berhubungan dengan sikap religius manusia. Untuk memohon sesuatu dari Tuhan diperlukan kata-kata pilihan yang berkekuatan gaib, yang oleh penciptanya dipandang mempermudah kontak dengan Tuhan. Dengan cara demikian, apa yang diminta (dimohon) oleh pengucap mantra itu dapat dipenuhi oleh Tuhan. Karena sifat sakralnya, mantra seringkali tidak boleh diucapkan oleh sembarang orang. Hanya pawang yang berhak dan dianggap pantas mengucapkan mantra itu. Pengucapannya pun harus disertai dengan upacara ritual, misalnya asap dupa, duduk bersila, gerak tengah, ekspresi wajah, dan sebagainya. Hanya dengan dan di dalam suasana seperti itulah mantra tersebut berkekuatan gaib. Ada pula, mantra yang harus diucapkan secara keras dan ada juga yang harus berbisik-bisik. Pawing jualah yang mengerti bagaimana mendatangkan kekuatan gaib melalui mantra itu. Dari uraian di atas nyatalah bahwa sebuah mantra mempunyai kekuatan bukan hanya dari struktur kata-katanya, namun terlebih dari struktur batinya. Karena sifat mantra yang sacral, mantra tidak mudah dapat ditemukan. Hanya orang-orang tertentu yang dipandang berhak mewarisi kepandaian bermantralah yang dapat memiliki dan menggunakan mantra biasanya dikategorikan sebagai “orang tua”. Jika ada kenduri, maka upacara penyembelihan
ayam, upacara pembongkaran nasi tumpeng dan upacara pembongkaran “ingkung” (daging ayam utuh untuk kenduri) juga harus disertai mantra agar niat si penyelenggara kenduri dapat tercapai. Demikian juga dalam upacara permulaan memetik padi; ada “orang tua” yang ditugasi untuk membaca mantra agar Dewi Sri turun dan memberikan kemakmuran karena padi yang dituai mempunyai bulir-bulir yang subur. Hampir di semua daerah di seluruh Indonesia terdapat mantra.mantra tidak hanya untuk keperluan baik, namun sering kali juga untuk keperluan yang dipandang kurang atau tidak baik. Mantra-mantra itu misalnya (yang baik) : mantra menuai padi, mengusir tikus, mengusir penjahat, meminta hujan, meminta jodoh, dan sebagainya; (yang kurang/tidak baik) ; mantra pengasihan, pencuri, pemikat, dan sebagainya.
Berikut ini beberapa contoh mantra: 1) Mantra dari Jawa Sang ireng jeneng muksa pengreksane, Sang ening mati jati rasane, Lakune ora katon pangrasane manusa, Bismillahirrahmanirahim, Car mancur cahyaning Allah, Sungsum balung rasaning pangeran, Getih daging rasaning pangeran, Kulit wulu rasaning pangeran Iya ingsun mencuring Allah jatining manusia, Nek putih rasaning nyawa Badan Allah sak kelebut putih, Iya ingsun negara sampurna. 2) Mantra Menuai Padi dari Minangkawabau “hai si lansari -bagindo sari si lansari -sari bagadun engkau banamo -banyak namo si lansari -ka aku tunai urang kinari -pai baramah urang sungkarak -pai mandulang hai si lansari -bagindo sari marilah kita -pulang ke rumah serta dengan raja -raja engkau yang berbaju -hadun tumadun.
3) Mantra dari Riau Kandung semangat Aku tahu asal kau jadi Adam dan hawa menjadikan engkau Asal engkau menjadi tanah-tanah ibu engkau. Air asal urat engkau Api asal darah engkau Angin asal nafas engkau Darah merah dari ibu Darah merah dari ibu Sembilan hari di kandungan bapak Sembilan bulan di kandungan ibu Bismillahirrahmanirrahim Wal akhirah dendam bunda Engkau duduk emban temiang Engkau duduk teruyoh-uyoh Engkau berdiri tergoyong-goyong Hi roh nikmat Pangggilan aku nur Muhammad Tumbuk padi ngidang antah Ngidang kepada niru Berdebak hati berlinang darah padaku. Berkat aku memakai doa kandung semangat Kusemangat engkau…………………………. Insane anggota tujuh tapak berimbun. Dari contoh-contoh mantra tersebut, dapat dirangkum beberapa ciri-ciri pokok dari mantra, yakni : (1) pemilihan kata sangat saksama; (2) bunyi-bunyi diusahakan berulangulang dengan maksud memperkuat daya sugesti kata; (3) banyak dipergunakan kata-kata yang kurang umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari dengan maksud memperkuat daya sugesti kata; dan (4) jika dibaca secara keras mantra menimbulkan efek bunyi yang bersifat magis; bunyi tersbut diperkuat oleh irama dan metrum yang biasanya hanya dipahami secara sempurna oleh pawang ahli yang membaca mantra secara keras (Waluyo:1987:7). Dalam bentuk ucapan, magis atau magi tersusun dalam bentuk kata-kata yang mengandung puisi dan karena disampaikan secara lisan maka disebut puisi lisan. Kata-kata magis yang diucapkan ini disebut mantra. Kata dalam mantra ini diyakini mengandung
hikmat dan kekuatan gaib menurut Badudu (dalam Baruadi, 2004:38).kata-kata ini hanya diucapkan oleh orang-orang tertentu seperti dukun atau pawang, tidak setiap orang mampu mengucapkannya karena kesalahan dalam mengucapkan menurut kepercayaan dapat mendatangkan bahaya atau malapetaka. Berdasarkan hasil telaah, bentuk dan gambaran puisi lisan Gorontalo yang bernilai magis dapat dikategorikan sebagai berikut. a) Puisi magis yang dipakai dalam upacara-upacara mengambil kayu di hutan disebut Bungga. b) Puisi magis yang dipakai dan ditujukan untuk meminta pertolongan kepada roh-roh halus, disampaikan dalam keadaan tidak sadar (kesurupan) disebut Bunito. c) Puisi magis puisi yang disampaikan orang dalam keadaan sadar ditujukan kepada roh-roh halus untuk mengobati sesuatu pengyakit disebut Wumbungo. Mantra lapali lo wawalo dalam ritual mohunemo termasuk pada persepektif yang ketiga yaitu puisi lisan Wumbungo. Sebagaimana puisi magis pada umumnya ketiga jenis puisi di atas hanya dituturkan oleh orang-orang tertentu, tidak sembarang orang mampu menuturkannya. Orang yang menuturkan puisi lisan magis ini bagi masyarakat Gorontalo disebut Talenga bagi puisi bungga dan wombua untuk Bunito dan Wumbungo, sama dengan pawang dalam sastra Indonesia. Dari definisi mantra di atas dapat disimpulkan bahwa mantra ialah bacaaan yang dapat menimbulkan kekuatan dengan tujuan tertentu. Dalam penelitian ini mantra yang dimaksud ialah mantra lapali lo wawalo dalam ritual mohunemo.
2.5 Mantra Lapali Lo Wawalo dalam ritual mohunemo Masyarakat di daerah Gorontalo mempercayai akan adanya setan penghuni rumah atau Wawalo yang mendiami setiap rumah yang mereka huni. Menurut narasumber bahwa masyarakat Gorontalo zaman dahulu bahkan sampai sekarang mempercayai akan adanya wawalo atau setan penghuni rumah. Wawalo tersebut bukan buatan manusia atau pun
peliharaan melainkan bawaan dari rumah yang dihuni oleh manusia. Pada masyarakat Gorontalo mereka mempercayai bahwa ada beberapa perilaku dari manusia yang tidak disukai wawalo maka akibatnya manusia akan diganggu kesehatannya. Adapun perilaku yang tidak disukai wawalo ini ialah: a) Ribut dan membunyi-bunyikan benda yang bisa menimbulkan suara bising. b) Membersihkan langit-langit rumah tanpa menyalakan lampu. c) Makan di dalam kamar. d) Memakan nasi kuning. e) Membawa makanan yang dibungkus daun pisang di dalam rumah. f) Makan di atas tempat tidur. Menurut kepercayaan masyarakat Gorontalo, wawalo atau setan penghuni rumah dibagi atas beberapa macam diantaranya adalah : a) Wawalo lo bulilango atau setan penghuni cermin. b) Wawalo lo dingingo atau setan penghuni tembok. c) Wawalo lo polombolo atau setan penghuni atap. Selain jenis-jenis wawalo, masyarakat Gorontalo juga mempercayai bahwa wawalo atau setan rumah mempunyai perilaku yang berbeda untuk mengganggu manusia ketika manusia tersebut melanggar perilaku yang tidak disukai wawalo. Adapun keahlian yang miliki wawalo ialah, ada wawalo yang bisa mengakibatkan lumpuh seumur hidup, ada yang bisa mengakibatkan manusia tuli, mengakibatkan sakit kepala yang tak tertahankan, ada yang bisa mengakibatkan bibir menjadi miring seperti penyakit syaraf, bahkan ada yang sampai mengakibatkan kematian. Tetapi masyarakat Gorontalo khususnya para dukun mempunyai mantra dan kiat-kiat yang mereka tempuh untuk menghindari akan gangguan dari si wawalo walaupun secara logika hal tersebut tidak dapat diterima dengan akal sehat, akan tetapi
mantra dan kiat-kiat yang mereka tempuh agar supaya terhindar dari gangguan wawalo terbukti mampu untuk mengobati penyakit yang diakibatkan oleh wawalo tersebut. Selain mantra atau lapali lo wawalo ada juga syarat yang harus dipenuhi dalam proses pengobatan dari penyakit yang diakibatkan oleh gangguan dari wawalo, syaratnya tersebut berbeda-beda tergantung sakit yang diderita. Pada proses pengobatan syarat yang harus dipenuhi oleh dukun ialah: a) Ketika si penderita mengalami sakit kepala yang terasa ditusuk-tusuk paku, si dukun atau pawang menyediakan iliale atau dedaunan yang biasa ditanam di depan rumah, polohungo atau kemuning, kembang mayang, kemudian ketiga bahan
tersebut
dicelupkan di air sembari membaca mantra lapali lo wawalo kemudian ketiga bahan yang sudah dicelupkan di air dan dibacai mantra dipukulkan pada si penderita sampai si penderita basah kuyup. b) Berbeda lagi dengan penderita yang mengalami sakit telinga, si dukun harus menyediakan pala, hungo lawa (cengkeh), dan malita lo jawa (merica) kemudian si dukun mengunyah ketiga bahan tersebut dan ditiupkan di telinga si penderita sembari membaca mantra atau lapali lo wawalo. c) Apabila si penderita adalah anak-anak si dukun harus menyediakan kayu manis kemudian dibakar sambil membaca mantra. Selain dari ketiga penyakit di atas si dukun cukup menyediakan air putih dan membaca mantra dalam pengobatan dari penyakit yang diakibatkan oleh wawalo kemudian di mandikan pada si penderita. Prosesi pengobatan di atas dikenal dengan ritual mohunemo atau ritual pengobatan yang diyakini mampu mengobati penyakit yang disebabkan oleh wawalo. Selain persyaratan di atas ada juga persyaratan lain yang biasa disediakan masyarakat zaman dulu ketika akan naik rumah baru, hal tersebut tidak lepas dengan kepercayaan mereka akan keberadaan setan penghuni rumah atau wawalo yang bertujuan untuk menghindar akan gangguan dari Wawalo
bahkan mereka percaya apabila sesajian itu tidak disediakan pasti setan rumah atau wawalo akan mengganggu ketentraman dari penghuni rumah. Sesajian yang disediakan berasal dari hasil kebun dan dimasak tanpa di bumbui atau tawar. Adapun sesajian yang harus disediakan adalah : a) Atetela yilahe (ketela rebus), kasubi yilahe (singkong rebus), bese yilahe (talas rebus) b) Duwiwi yilalango (bebek danau bakar) c) Lambi butota yilahe (pisang merah rebus), lambi batayo moidu yilahe (pisang sepatu hijau rebus), lambi batayo pusi’o yilahe (pisang sepatu putih yang di rebus) d) Dumbaya yilalango (ikan betok bakar), ikan saribu yilalango (ikan gurame bakar), dan tola yilalango (ikan gabus bakar), otili yilalango (ikan segili bakar) e) Bongo (kelapa) Kemudian sesajian di atas dihidangkan dalam satu tapisan beras atau sisiru dan diletakan di atap rumah dengan harapan terhindar dari gangguan Wawalo. Tetapi ketika hal tersebut tidak dilakukan maka mereka meyakini bahwa Wawalo pasti akan mengganggu si penghuni rumah dalam bentuk penyakit.
2.6 Teori Semiotik Semiotik berasal dari kata Yunani, semeion yang berarti tanda. Semiotik adalah model penelitian sastra dengan memperhatikan tanda-tanda. Tanda tersebut dianggap mewakili sesuatu objek secara representatif. Dari uraian demikian, tampak bahwa penelitian semiotik adalah studi tentang tanda. Karya sastra akan dibahas sebagai tanda-tanda. Tentu saja tandatanda tersebut telah ditata oleh pengarang sehingga ada sistem, konvens, dan aturan-aturan tertentu yang perlu dimengerti oleh peneliti. Tanpa memperhatikan hal-hal yang terkait dengan tanda, maka pemaknaan karya sastra tidaklah lengkap. Makna karya sastra tidak akan tercapai secara optimal jika tidak dikaitkan dengan wacana tanda. .Aliran simbolik biasanya
berupa karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan menggunakan symbol tertentu. Symbol-simbol itu diabstraksikan agar pembaca semakin tertarik dan penasaran. Simbol yang biasa digunakan adalah benda-benda dan mahluk diluar manusia. Pemakaian tokoh-tokoh
binatang
atau
tumbuhan
yang
dapat
berbicara
seperti
manusia
(Endraswara:2003:34). Menurut Pierce ada tiga jenis tanda berdasarkan hubungan antar tanda dengan yang ditandakan, yaitu : (1) ikon, yaitu tanda yang secara inheren memiliki kesamaan dengan arti yang ditunjuk. Misalkan foto dengan orang yang difoto. (2) indeks, yaitu tanda yang mengandung hubungan kausal dengan yang apa ditandakan. Misalkan, asap menandakan adanya api. (3) symbol, yaitu tanda yang memiliki hubungan makna dengan yang ditandakan bersifat arbriter, sesuai dengan konfensi suatu lingkungan social tertentu. Misalnya bendera putih menyimbolkan ada kamatian. Dalam analisis semiotik pierce menawarkan system tanda yang harus diungkap, yaitu tanda itu sendiri, hal yang ditandai, dan sebuah tanda baru yang terjadi di dalam batin penerima tanda. Dalam objek penelitian ini lebih mengacu pada teori semiotik pierce. Hal tersebut dikarenakan objek mantra banyak terdapat simbol-simbol yang memiliki hubungan makna dengan lingkungan sosial. Dilihat dari Perspektif yang diutarakan pierce penulis lebih mengarah pada perspektif yang ketiga yaitu symbol, hal tersebut dikarenakan mantra lapali lo wawalo dalam ritual mohunemo terdapat simbol-simbol yang berisi tentang fikiran dan perasaan. penelitian ini bertujuan menginterpretasi nilai-nilai mistik pada mantra lapali lo wawalo dalam ritual mohunemo dilihat dari makna simbol-simbol yang ada.
2.7 Teori Simbol Simbol dalam bahasa Indonesia pada umunya disamakan dengan lambang. Dalam sastra, sistem simbol yang paling penting adalah bahasa. Sesuai dengan hakikatnya, tanda bahasa dikaitkan dengan denotatum atas dasar perjanjian. Dalam triadik Pierce, misalnya,
simbol dibedakan dengan indeks dan ikon, dengan pertimbangan bahwa symbol lebih arbitrer dibandingkan dengan kedua unsur yang lain. Tanda bahasa dalam sastra sangat banyak. Simbol dapat dianalisis melalui suku kata, kata, kalimat, alinea, bab dan seterusnya, bahkan juga melalui tanda baca dan huruf, sebagaimana ditemukan dalam analisis gaya bahasa (Ratna, 2004:116). Aliran simbolik biasanya dianut oleh pengarang yang telah mapan dan mengendap daya imajinasinya. Melalui simbol-simbol tersebut, pengarang lebih bebas mengekspresikan isi hatinya. Karena
itu, tugas peneliti pada karya-karya yang beraliran simbolik
membutuhkan kecermatan yang luar biasa. Di antara langkah yang seharusnya ditempuh oleh peneliti sastra simbolik, yakni (1) memilih karya-karya yang memuat simbol, misalkan saja kancil kepengin mabur, hikayat pelanduk jenaka, dan sebagainya; (2) membaca cermat karya simbolik tersebut, kemudian memasukkan data-data yang memuat simbol; (3) simbol-simbol tersebut di kategorikan sehingga satu dengan yang lain mudah dimengerti; (4) penafsiran makna simbol-simbol yang ada dalam karya sastra tersebut. Makna sebaiknya selalu dikembalikan kedalam konteks struktur dan konteks zaman; (5) temukan implikasi dan relevansi simbol-simbol tersebut dengan era yang sedang berjalan(Endraswara, 2003:35). Simbol pada penelitian ini ialah simbol yang terdapat didalam mantra lapali lo wawalo dalam ritual mohunemo. Berpijak pada apa yang dikatakan Ratna ialah semiotika berfungsi untuk mengungkapkan secara ilmiah keseluruhan tanda dalam kehidupan manusia, baik tanda verbal maupun nonverbal (Ratna 2010:105), demikian pula dengan simbol yang terdapat pada mantra lapali lo wawalo dalam ritual mohunemo, ada simbol verbal dan simbol nonverbal. Simbol verbal ialah mantra lapali lo wawalo sedangan simbol nonverbal ialah sesaji yang disediakan pad prosesi ritual mohunemo. Berangkat dari tujuan penelitian yaitu mendeskripsikan nilai- nilai mistik pada mantra lapali lo wawalo dalam ritual mohunemo, akan tetapi sebelum mendeskripsikannya mula-
mula mengklasifikasikan dan menginterpretasi makna simbol verbal dan nonverbal terlebih dahulu. Menurut Pierce simbol, yaitu tanda yang memiliki hubungan makna dengan yang ditandakan bersifat arbriter, sesuai dengan konfensi suatu lingkungan sosial tertentu. Hal tersebut berarti bentuk interpretasi terhadap simbol diberikan sepenuhya kepada peneliti disesuaikan dengan konteks social karya sastra. Hasil dari interpretasi simbol itulah yang menjadi dasar pendeskripsian nilai-nilai mistik pada mantra lapali lo wawalo dalam ritual mohunemo.