BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Teori Keagenan (Agency Theory) Jensen dan Meckling (1976) menggambarkan hubungan agensi sebagai
suatu kontrak di bawah satu atau lebih prinsipal yang melibatkan agen untuk melaksanakan beberapa layanan bagi mereka dengan melakukan pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada agen. Baik agen maupun prinsipal diasumsikan sebagai orang ekonomi rasional dan semata-mata termotivasi oleh kepentingan pribadi. Shareholders atau prinsipal mendelegasikan pembuatan keputusan mengenai perusahaan kepada manager atau agen. Agen seringkali bertindak tidak sesuai dengan keinginan prinsipal yang disebabkan adanya kepentingan pribadi yang tidak sejalan dengan kepentingan prinsipal. Masalah keagenan dapat merugikan pemegang saham karena pemegang saham tidak terlibat langsung dalam pengelolaan perusahaan sehingga tidak memiliki akses yang memadai untuk mendapakan informasi yang dibutuhkan. Informasi sepenuhnya dibawah kendali manajer atau agen. Konflik kepentingan yang disebabkan oleh kemungkinan agen tidak selalu bertindak sesuai dengan keinginan prinsipal dapat mendorong timbulnya biaya keagenan (agency cost). Jensen dan Meckling (1976) menyatakan ada tiga jenis biaya keagenan yaitu: (1) pengeluaran untuk memantau kegiatan manajerial, seperti biaya audit; (2) pengeluaran untuk struktur organisasi dengan cara yang membatasi perilaku manajerial yang tidak diinginkan, seperti menunjuk anggota luar dewan direksi atau
restrukturisasi bisnis perusahaan unit dan hierarki manajemen, dan (3) biaya kesempatan yang dapat terjadi ketika pemegang saham dikenakan pembatasan, seperti persyaratan untuk suara pemegang saham pada permasalahan tertentu, membatasi kemampuan manajer untuk mengambil tindakan yang meningkatkan kekayaan pemegang saham. Dengan tidak adanya upaya pemegang saham untuk mengubah perilaku manajerial, biasanya akan ada kehilangan sebagian kekayaan pemegang saham karena tindakan manajerial yang tidak pantas. Disisi lain, biaya keagenan akan berlebihan jika pemegang saham berusaha untuk memastikan bahwa setiap tindakan manajerial sesuai dengan kepentingan pemegang saham. Manajemen memiliki motivasi atau kecenderungan untuk menunda atau menangguhkan informasi jika manajemen menangkap adanya sinyal buruk pada kondisi perusahaan dalam rangka untuk mencegah atau menghindari terjadinya respon negatif dari pemegang saham. 2.2
Audit Delay Lamanya waktu penyelesaian audit terhitung mulai dari tanggal penutupan
tahun buku sampai dengan tanggal diterbitkannya laporan audit disebut audit report lag atau audit delay. Menurut Dyer dan McHugh (1975, dalam Wiwik Utami, 2006)”Auditors report lag is the open interval of number of days from the year end to the date recorded as the opinion signature date in the auditor report”. Menurut Ashton, Willingham, dan Elliot (1987), Carslaw dan Kaplan (1991), “Audit delay is the length of time from a company’s fiscal year end to the date of the auditor’s report”. Menurut Lawrence dan Briyan (1988), Audit delay adalah
lamanya hari yang dibutuhkan auditor untuk menyelesaikan pekerjaan auditnya yang diukur dari tanggal penutupan tahun buku hingga tanggal diterbitkannya laporan keuangan auditan. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan rata-rata audit delay yang berbeda pada setiap Negara. Perbedaan ini dapat dimaklumi karena adanya peraturan dan kebijakan pasar modal yang berbeda antar Negara. Penelitian yang dilakukan di Indonesia menunjukkan rata-rata audit delay yang berbeda diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Meylisa (2000) sebesar 72,9 hari, Sistya Rachmawati (2008) sebesar 76 hari, Imam Subekti (2004) 98,3 hari. Hasil ini tergolong lebih panjang jika dibandingkan dengan hasil penelitian Ashton, Willingham, dan Elliot (1987) yang hanya sebesar 62,53 hari. Sedangkan hasil penelitian Ayoib dan Abidin (2008) di Malaysia menunjukkan rata-rata audit delay yang lebih panjang yaitu 114 hari. 2.3
Kebangkrutan
2.3.1
Pengertian Kebangkrutan Kebangkrutan adalah kesulitan keuangan yang sangat parah sehingga
perusahaan tidak mampu lagi menjalankan operasinya dengan baik. Sedangkan financial
distress
adalah
kesulitan
keuangan
yang mungkin
mengawali
kebangkrutan. Kebangkrutan juga sering disebut likuidasi perusahaan atau penutupan perusahaan atau insolvabilitas. Menurut Martin. et al, 1995, dalam Adnan (2003), kebangkrutan sebagai kegagalan di definisikan dalam beberapa arti:
a. Kegagalan ekonomi (economic failure), kegagalan dalam arti ekonomi biasanya berarti bahwa perusahaan kehilangan uang atau pendapatan perusahaan tidak dapat menutup biayanya sendiri. Ini berarti tingkat labanya lebih kecil dari biaya modal atau nilai sekarang dari arus kas perusahaan lebih kecil dari kewajiban. b. Kegagalan keuangan (financial failure), kegagalan keuangan bisa diartikan sebagai insolvensi yang membedakan antara dasar arus kas dan dasar saham. Insolvensi atas dasar arus kas ada dua bentuk, yaitu: 1) insolvensi teknis (technical insolvency), perusahaan dianggap gagal jika perusahaan tidak dapat memenuhi kewajiban pada saat jatuh tempo. Insolvensi teknis terjadi bila arus kas tidak cukup untuk memenuhi pembayaran bunga atau pembayaran kembali pokok pada tanggal tertentu. 2) Insolvensi dalam pengertian kebangkrutan, dalam pengertian ini kebangkrutan didefinisikan dalam ukuran sebagai kekayaan bersih negatif dalam neraca konvensional atau nilai sekarang dari arus kas yang diharapkan lebih kecil dari kewajiban.
2.3.2
Faktor-faktor Penyebab Kebangkrutan Menurut Janch & Glueck, (1995) dalam Muhammad Adnan dan Eka
Kurniasih (2000:139), secara garis besar, faktor-faktor penyebab kebangkrutan dibagi menjadi tiga, yaitu: a. Faktor Umum 1) Sektor Ekonomi Faktor-faktor kebangkrutan dari sektor ekonomi adalah gejala inflasi dan deflasi dalam harga barang dan jasa, kebijakan keuangan, dan suku bunga. 2) Sektor Sosial Faktor sosial yang sangat berpengaruh dalam perubahan gaya hidup masyarakat yang mempengaruhi produk dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan dan faktor lain yang juga berpengaruh adalah kerusuhan dan kekacauan yang terjadi di masyarakat. 3) Sektor Teknologi Penggunaan teknologi informasi juga menyebabkan biaya yang ditanggung
perusahaan
menjadi
membengkak
terutama
untuk
pemeliharaan dan implementasi. Pembengkakan terjadi jika penggunaan teknologi informasi tersebut kurang terencana oleh pihak manajemen. Sistemnya tidak terpadu dan para pengguna tidak profesional.
4) Sektor Pemerintah Kebijakan pemerintah tidak mencabut subsidi pada perusahaan dan industri, pengenaan tarif ekspor dan impor barang yang berubah, kebijakan undang-undang baru bagi perbankan atau tenaga kerja dan lain-lain. b. Faktor Eksternal Perusahaan 1) Sektor Pelanggan Perusahaan harus bisa mengidentifikasi sifat konsumen, karena berguna untuk menghindari kehilangan konsumen, juga untuk menciptakan peluang-peluang
menemukan
konsumen
baru
dan
menghindari
menurunnya hasil penjualan dan mencegah konsumen berpaling ke pesaing. 2) Sektor Pemasok Perusahaan pemasok harus tetap bekerjasama dengan baik karena kekuatan pemasok untuk menaikkan harga dan mengurangi keuntungan pembelinya tergantung seberapa jauh pemasok berhubungan dengan pedagang bebas. 3) Sektor Pesaing Perusahaan juga jangan melupakan pesaing karena apabila pesaing lebih diterima masyarakat, perusahaan tersebut akan kehilangan konsumen dan mengurangi pendapatan yang diterima.
c. Faktor Internal Perusahaan Faktor-faktor internal ini biasanya merupakan hasil dari keputusan dan kebijakan yang tidak tepat di masa lalu dan kegagalan manajemen untuk berbuat
sesuatu
pada
saat
yang
diperlukan.
Faktor-faktor
yang
menyebabkan kebangkrutan secara internal adalah (Harnanto,1984:484) 1) Terlalu besarnya kredit yang diberikan kepada debitur atau pelanggan. Kebangkrutan bisa terjadi karena terlalu besarnya jumlah kredit yang diberikan kepada para debitur atau pelanggan yang pada akhirnya tidak bisa dibayar oleh para pelanggan pada waktunya. 2) Manajemen yang tidak efisien. Banyaknya perusahaan gagal untuk mencapai tujuannya karena kurang adanya kemampuan, ketrampilan, pengalaman, sikap adaptif dan inisiatif dari manajemen. Ketidak efisienan manajemen tercermin pada ketidakmampuan manajemen dalam menghadapi situasi yang terjadi diantaranya: a. Hasil penjualan yang tidak memadai. b. Kesalahan dalam penetapan harga jual. c. Struktur biaya yang tidak efisien. d. Tingkat investasi dalam aktiva tetap dan persediaan yang melampaui batas. e. Kekurangan modal kerja. f. Ketidakseimbangan dalam struktur permodalan. g. Sistem dan prosedur akuntansi kurang memadai.
h. Sistem informasi yang kurang mendukung. 3) Penyalahgunaan wewenang banyak dilakukan oleh karyawan maupun manajer puncak, hal ini akan sangat merugikan dan menimbulkan dampak pada kinerja perusahaan. 2.4
Model Prediksi Kebangkrutan
2.4.1
Model Zmijewski Zmijewski (1984) menggunakan analisis rasio yang mengukur kinerja
leverage dan likuiditas suatu perusahaan untuk model prediksinya. Zmijewski menggunakan probit analisis yang diterapkan pada 40 perusahaan yang telah bangkrut dan 800 perusahaan yang masih bertahan saat itu. Model yang berhasil dikembangkan yaitu: X = -4,3 -4,5X1 + 5,7X2 – 0,004X3 Keterangan: X1 = ROA (return on asset) X2 = Leverage (debt ratio) X3 = Likuiditas (current ratio) 2.4.2
Model Fulmer Fulmer (1984) menggunakan analisa step-wise multiple discriminant untuk
mengevaluasi 40 rasio keuangan yang diaplikasikan pada sampel 60 perusahaan, 30 gagal dan 30 sukses dengan rata-rata ukuran asset perusahaan adalah $455.000. Fulmer melaporkan 98% akurat pada perusahaan satu tahun sebelum gagal dan 81% akurat lebih dari satu tahun sebelum kebangkrutan.
Model Fulmer adalah: H = 5,528V1 + 0,212V2 + 0,073V3 + 1,270V4 – 0,120V5 + 2,335V6 + 0,575V7 + 1,083V8 + 0,894V9 -6,075 Keterangan: V1 = Retained Earning / Total Assets V2 = Sales / Total Assets V3 = EBT / Equity V4 = Cash Flow / Total Debt V5 = Debt / Total Assets V6 = Current Liabilities / Total Assets V7 = Log Tangible / Total Assets V8 = Working Capital / Total Debt V9 = Log EBIT / Interest Jika H < 0, perusahaan diklasifikasikan “gagal”. 2.4.3
Sistem Blasztk Sistem Blasztk hanya digunakan untuk metode prediksi kegagalan bisnis
dimana tidak dikembangkan menggunakan analisa multiple discriminant. Sistem ini dikembangkan oleh William Blasztk (1984). Esensi sistem ini adalah menghitung rasio keuangan perusahaan yang dievaluasi, dibobot kemudian dibandingkan dengan rasio rata-rata perusahaan pada industri yang sama.
2.4.4
CA-Score Model ini dikembangkan oleh Jean Legault dari Universitas Quebec
Montreal Canada, menggunakan analisa step-wise multiple discriminan. Dimana 30 rasio keuangan dianalisa pada 173 sampel perusahaan bisnis manufaktur yang memiliki penjualan tahunan pada kisaran antara $1-20 juta. Model sebagai berikut: CA-Score = 4,5913 (shareholders investment(1) / total assets(1)) + 4,5080 (earnings before taxes and extraordinary items + financial expenses(1) / total assets(1)) + 0,3936 (sales(2) / total assets(2)) – 2,7616 Keterangan: 1) Gambaran periode sebelumnya 2) Gambaran dari dua periode sebelumnya CA-Score < -0,3, perusahaan diklasifikasikan “gagal”. 2.4.5
Model Springate Model Springate dikembangkan oleh Gordon Springate (1978) mengikuti
prosedur yang digunakan oleh Altman (1968). Springate menggunakan empat dari 19 rasio keuangan dan menggunakan analisis multi diskriminan dengan menggunakan 40 perusahaan sebagai sampelnya. Model ini dapat digunakan untuk memprediksi kebangkrutan dengan tingkat keakuratan 92,5%. Model yang berhasil dikembangkan oleh Springate adalah:
S = 1,03A + 3,07B + 0,66C + 0,4D Keterangan: A = working capital / total assets B = net profit before interest and taxes / total assets C = net profit before taxes / total assets D = sales / total assets 2.4.6
Model Altman Model prediksi kebangkrutan secara umum dikenal sebagai pengukuran atas
kesulitan keuangan. Altman (1968) berpendapat bahwa pengukuran rasio profitabilitas, likuiditas, dan solvency merupakan rasio yang paling signifikan dari beberapa
rasio
keuangan
untuk
memprediksi
kebangkrutan
perusahaan.
Berdasarkan hal tersebut, Altman (1968) mengembangkan model prediksi kebangkrutan dengan menggunakan metode Multiple Discriminant Analysis pada lima jenis rasio keuangan yaitu working capital to total assets, retained earning to total assets, earning before interest and taxes to total assets, market value of equity to book value of total debts, dan sales to total assets. Model ini dikenal dengan ZScore Altman, Z-Score adalah skor yang ditentukan dari hitungan standar kali nisbah-nisbah keuangan yang menunjukkan tingkat kemungkinan kebangkrutan perusahaan (Supardi, 2003:73) http://elib_unikom.ac.id/download.php?id=145485, formulanya adalah sebagai berikut:
Z-Score = 1,2T1 + 1,4T2 + 3,3T3 + 0,6T4 + 0,999T5 Keterangan: T1 =
working capital / total assets
T2 =
retained earnings / total assets
T3 =
earnings before interest and taxes / total assets
T4 =
market capitalization / book value of debt
T5 =
sales / total assets Model yang dikembangkan oleh Altman ini mengalami suatu revisi. Revisi
yang dilakukan oleh Altman merupakan penyesuaian yang dilakukan agar model prediksi kebangkrutan ini tidak hanya untuk perusahaan manufaktur yang go public melainkan juga dapat diaplikasikan untuk perusahaan-perusahaan di sektor swasta (Syamsul Hadi dan Atika Anggraeni, 2008). Model tersebut mengalami perubahan pada satu variabel yaitu T4 dimana sebelumnya kapitalisasi pasar dirubah menjadi nilai buku modal, sehingga model revisinya menjadi sebagai berikut: Z-Score = 0,717T1 + 0,847T2 + 3,107T3 + 0,420T4 + 0,998T5 Keterangan: T1 =
working capital / total assets
T2 =
retained earnings / total assets
T3 =
earnings before interest and taxes / total assets
T4 =
book value of equity / book value of debt
T5 =
sales / total assets
a. Modal Kerja/Total Aktiva (T1) Modal kerja yang dimaksud dalam T1 adalah selisih antara aktiva lancar dengan hutang lancar, sedangkan Total Aktiva adalah merupakan keseluruhan aktiva yang dimiliki perusahaan terdiri dari aktiva lancar, aktiva tetap dan aktiva lain-lain. Rasio T1 pada dasarnya merupakan salah satu rasio likuiditas yang mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek. Hasil rasio tersebut negatif apabila aktiva lancar lebih kecil dari kewajiban lancar. b. Laba Ditahan/Total Aktiva (T2) Laba ditahan merupakan jumlah atau bagian dari laba yang tidak dibagikan dalam bentuk dividen selama periode tertentu. Laba ditahan biasanya digunakan untuk perluasan usaha. Rasio ini mengukur akumulasi laba selama perusahaan beroperasi. Umur perusahaan berpengaruh terhadap rasio tersebut karena semakin lama perusahaan beroperasi memungkinkan untuk memperlancar akumulasi laba ditahan. c. Laba Sebelum Bunga dan Pajak/Total Aktiva (T3) Laba sebelum bunga dan pajak merupakan laba yang dihasilkan oleh perusahaan yang diperoleh dari laba kotor dikurangi total biaya yang digunakan oleh perusahaan namun belum dikurangi dengan beban bunga dan
pajak.
Rasio
ini
mengukur
kemampuan
menghasilkan laba dari aktiva yang digunakan.
perusahaan
dalam
d. Nilai Pasar Modal Sendiri/Nilai Buku Hutang (T4) Modal yang dimaksud adalah gabungan nilai pasar dari modal dan saham, sedangkan hutang mencakup hutang lancar dan hutang jangka panjang. Rasio ini mengukur kemampuan perusahaan dalam memberikan jaminan kepada setiap hutangnya melalui modalnya sendiri. e. Penjualan/Total Aktiva (T5) Rasio ini merupakan rasio yang mendeteksi kemampuan dana perusahaan yang tertanam dalam keseluruhan aktiva berputar dalam 1 periode. Rasio ini dapat pula dikatakan sebagai rasio yang mengukur kemampuan modal yang diinvestasikan oleh perusahan untuk menghasilkan pendapatan. Dari hasil analisa Model Altman, akan diperoleh nilai Z-Score yang dibagi dalam tiga tingkatan atau kategori, yaitu sebagai berikut: Tabel 2.4 Titik Cut-Off Model Altman Kategori Sehat jika Z > Bangkrut jika Z < Daerah Rawan (Grey area) jika Z Sumber: Altman (1968)
Nilai 2,90 1,23 1,23 – 2,90
2.5
Regulasi Pelaporan Keuangan di Indonesia Akuntansi merupakan suatu area aktivitas ekonomi dengan tingkat regulasi
yang sangat tinggi (Scott, 2000). Pemerintah secara langsung terlibat dalam regulasi melalui hukum atau undang-undang. Terdapat tiga alasan yang diperlukan regulasi, yaitu kegagalan pasar, keinginan untuk melindungi kepentingan pemegang saham dan meningkatkan kredibilitas laporan keuangan. Regulasi dimaksudkan untuk meningkatkan kredibilitas laporan keuangan sehingga dapat meningkatkan kepercayaan publik (Cooper & Kim, 1983). Sedangkan Wolk dan Tearney (2000) menyatakan bahwa regulasi diperlukan karena kegagalan dalam pelaporan keuangan dan auditing. Bagi perusahaan publik di Indonesia penyampaian laporan keuangan diatur oleh pemerintah (Kementerian Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal) dengan mengeluarkan regulasi, seperti undang-undang dan sejumlah peraturan pasar modal. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal dinyatakan secara jelas bahwa semua perusahaan publik yang terdaftar di pasar modal wajib menyampaikan laporan keuangan secara berkala dan laporan insidental lainnya kepada Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dan mengumumkannya kepada masyarakat. Pada tahun 1996, Bapapem mengeluarkan Keputusan Ketua Bapepam Nomor: KEP-80/PM/1996, yang mewajibkan bagi setiap emiten dan perusahaan publik untuk menyampaikan laporan keuangan tahunan perusahaan dan laporan auditor independennya kepada Bapepam selambatlambatnya pada akhir bulan keempat setelah tanggal laporan keuangan tahunan perusahaan.
Sejak tanggal 30 September 2003, Bapepam semakin memperketat peraturan dengan dikeluarkannya Peraturan Bapepam Nomor X.K.2, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor: KEP-36/PM/2003 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Keuangan Berkala. Peraturan Bapepam Nomor X.K.2 ini menyatakan bahwa laporan keuangan tahunan harus disertai dengan laporan akuntan dengan pendapat yang lazim dan disampaikan kepada Bapepam selambatlambatnya pada akhir bulan ketiga setelah tanggal laporan keuangan tahunan. Pada tanggal 7 Desember 2006, untuk meningkatkan kualitas keterbukaan informasi kepada publik, diberlakukan Peraturan Bapepam dan Lembaga Keuangan (LK) Nomor X.K.6, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: KEP134/BL/2006 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Tahunan bagi Emiten atau Perusahaan Publik. Peraturan Bapepam dan LK Nomor X.K.6 ini menyatakan bahwa dalam hal penyampaian laporan tahunan dimaksud, melewati batas waktu penyampaian laporan keuangan tahunan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bapepam Nomor X.K.2 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Keuangan Berkala, maka hal tersebut diperhitungkan sebagai keterlambatan penyampaian laporan keuangan tahunan. Tuntutan akan kepatuhan terhadap ketepatwaktuan dalam penyampaian laporan keuangan perusahaan publik di Indonesia telah diatur dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal perihal kewajiban penyampaian laporan keuangan berkala.
Berdasarkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 1 paragraf 38, suatu perusahaan sebaiknya mengeluarkan laporan keuangannya paling lama 4 (empat) bulan setelah tanggal neraca (SAK, 2007:1,7), akan tetapi bagi perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dituntut untuk memenuhi peraturan berdasarkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) Nomor 36/PM/2003, tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Keuangan Berkala dengan Nomor Peraturan X.K.2, dimana perusahaan harus menyampaikan laporan keuangan tahunan selambat-lambatnya pada akhir bulan ketiga setelah tanggal laporan keuangan tahunan. Perusahaan yang tidak melaksanakan kewajiban dalam menyampaikan laporan keuangan akan dikenakan sanksi administratif berupa denda berdasarkan ketentuan pasal 63 huruf e Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal. 2.6
Kajian Empiris Penelitian Sebelumnya Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi audit delay telah
banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya, antara lain adalah: (Dyer dan Mchugh ,1975); Courtis (1976), (Davies dan Whittred, 1980); Garsomble (1981), Asthon et al. (1987), (Carslaw dan Kaplan, 1991); sedangkan penelitian di Indonesia dilakukan, antara lain oleh: (Meylisa dan Trisnawati, 2010); (Lianto dan Kusuma, 2010); Sistya Rachmawati (2008), Imam Subekti dkk (2004), Wiwik Utami (2008), (Utari Hilmi dan Syaiful Ali, 2008).
Dalam hal pelaporan laba/rugi perusahaan, Asthon et al. (1987), (Carslaw dan Kaplan, 1991), menemukan bahwa terdapat hubungan negatif antara laba/rugi dengan audit delay. Ini berarti bahwa perusahaan yang mengumumkan kerugian cenderung mengalami audit delay yang lebih panjang. (Carslaw dan Kaplan, 1991) menyatakan bahwa perusahaan yang melaporkan kerugian akan meminta auditor untuk menunda memulai auditnya dari biasanya. Sebaliknya, perusahaan yang melaporkan laba akan meminta auditor untuk segera menyelesaikan auditnya agar dapat segera menyampaikan berita baik kepada publik. Hasil penelitian Whittred (1980), membuktikan bahwa audit delay yang lebih panjang dialami oleh perusahaan yang menerima qualified opinion. Fenomena ini terjadi karena proses pemberian pendapat dengan kualifikasi tersebut melibatkan negosiasi dengan klien, konsultasi dengan partner audit yang lebih senior atau staf teknis lainnya dan perluasan lingkup audit. (Carslaw dan Kaplan, 1991) juga menemukan bahwa laporan keuangan yang mendapat pendapat selain unqualified opinion, akuntan publik harus mempertimbangkan banyak hal dan diharapkan memperoleh bukti yang memadai dalam mendukung pendapatnya. Proses pertimbangan yang dilakukan akuntan publik ini berkenaan dengan informasi yang tidak baik yang akan dipublikasikan kepada publik. Hasil penelitian yang sama juga didapatkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Wiwik Utami (2008), dimana opini audit mempengaruhi audit delay.
Hasil penelitian Asthon et al. 1987 menemukan bahwa audit delay akan lebih pendek bagi perusahaan yang diaudit oleh KAP yang tergolong besar. Hal yang sama juga ditemukan dalam penelitian Meylisa Januar Iskandar dan Estralita Trisnawati (2010) dan penelitian Sistya Rachmawati (2008), dimana Ukuran Kantor Akuntan Publik berpengaruh terhadap audit delay. Schwartz dan Soo (1986), berpendapat bahwa perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan akan mengalami audit delay yang lebih panjang jika dibandingkan dengan perusahaan yang tidak mengalami kesulitan keuangan. Hal ini kemudian dikembangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Lai dan M.C.Cheuk (2005), Walker dan David Hay (2008), dengan menggunakan beberapa variabel penelitian yang salah satunya mengukur kondisi keuangan perusahaan dengan menggunakan model prediksi kebangkrutan Zmijewski. Ringkasan penelitian-penelitian sebelumnya yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini, ditunjukkan pada Tabel 2.6
Tabel 2.6 Penelitian-Penelitian Sebelumnya No (1) 1
2
3
Peneliti dan Judul Penelitian (2) Meylisa Januar Iskandar dan Estralita Trisnawati,2010, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Audit Delay Pada Perusahaan Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia
Novice Lianto dan Budi Hartono Kusuma,2010, Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Audit Delay
Variabel (3) Independen: Total Aset, Klasifikasi Industri, Laba atau Rugi Tahun Berjalan, Opini Audit, Ukuran Kantor Akuntan, Debt Proportion Dependen: Audit Delay
Independen: Profitabilitas, Solvabilitas, Ukuran Perusahaan, Umur Perusahaan, Jenis Industri Dependen: Audit Delay Sistya Independen: Rachmawati,2008, Faktor Internal: Pengaruh Faktor Profitabilitas, Internal dan Solvabilitas, Eksternal Internal Perusahaan Auditor dan Terhadap Audit Size Delay dan Perusahaan Timeliness Faktor Eksternal: Ukuran KAP
Alat Analisis (4) Regresi Berganda
Hasil
Regresi Berganda
Regresi Berganda
(5) Rata-rata audit delay sebesar 72,9442 dengan standar deviasi sebesar 19,80303. Total aset, opini audit, debt proportion tidak berpengaruh terhadap audit delay Klasifikasi Industri, laba atau rugi tahun berjalan, ukuran KAP berpengaruh terhadap audit delay Profitabilitas, Solvabilitas, Umur Perusahaan berpengaruh pada audit delay Ukuran Perusahaan, Jenis Industri tidak berpengaruh pada audit delay Rata-rata audit delay di Indonesia adalah 76 hari dengan standar deviasi 16 hari Faktor internal yang mempengaruhi audit delay adalah size perusahaan dan faktor eksternal adalah ukuran
Dependen: Audit Delay dan Timeliness
4
5
Imam Subekti dkk, 2004, Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Audit Delay di Indonesia
Independen: Ukuran Perusahaan, Jenis Industri, Opini, Profitabilitas, Auditor Dependen: Audit Delay
Regresi Berganda
Mohamad Nor et al. 2010, Corporate Governance And Audit Delay In Malaysia
Independen: Board Size, Board Independence, CEO duality and Audit committee size, Independence, Expertise and Diligence, Proxy by frequency of meetings Dependen: Audit Lag
Regresi Berganda
kantor akuntan publik. Faktor internal yang mempengaruhi timeliness adalah size perusahaan, solvabilitas dan faktor eksternal adalah ukuran kantor akuntan publik. Rata-rata audit delay di Indonesia tahun 2001 adalah 98,38 hari dengan standar deviasi 32,16 hari. Variabel profitabilitas, total aktiva perusahaan, jenis industri, opini dan ukuran auditor atau kantor akuntan publik mempengaruhi audit delay. Minimum audit delay adalah 19 hari dan maksimum adalah 332 hari Terbukti bahwa perusahaan dengan lebih banyak anggota dalam komite audit dan frekuensi pertemuan komite audit lebih sering menghasilkan laporan audit yang tepat waktu
6
Monirul Alam and Peter J. Taylor, 1998, An Examination of Audit Delay: Evidence from Pakistan
Independen: Size of the Company, Debt Equity Ratio, Profitability, Subsidiaries of Multinational Companies, Audit Firm Size Dependen: Audit Delay
Regresi Berganda
7
Ayoib Che Ahmad dan Shamharir Abidin, 2008, Audit Delay of Listed Companies: A Case of Malaysia
Independen: Industry Clasification, Total Assets, Number of Subsidiaries, Total of Inventory and Receivables dividend by Total Assets, Leverage, Solvability, Ratio Director Shareholding, Company Auditor, Financial Year Date, Auditor Opinion, Change Auditor Dependen: Audit Delay
Regresi Berganda
Companies audit fee, log of assets, profitability, subsidiaries of multinational companies, audit fee and international link of the audit firm berhubungan negatif dengan Audit Delay Debt to Equity Ratio berhubungan positif dengan Audit Delay
Rata-rata audit delay 114 hari dengan minimum delay 20 hari Total Aset, Rasio Kepemilikan Manajer, Subsidiaries Company, dan Solvabilitas berpengaruh signifikan terhadap audit delay.
8
Wiwik Utami, 2008, Analisis Determinan Audit Delay Kajian Empiris di Bursa Efek Jakarta
Independen: Ukuran Perusahaan, Jenis Industri, Lamanya perusahaan menjadi klien sebuah kantor akuntan public, Jenis Opini yang diberikan oleh Akuntan Publik, Laba/Rugi, Rasio Hutang terhadap Ekuitas, Reputasi Auditor Dependen: Audit Delay
9
Utari Hilmi dan Syaiful Ali,2008, Analisis FaktorFaktor yang Mempengaruhi Ketepatan Waktu Penyampaian Laporan Keuangan (Studi Empiris pada PerusahaanPerusahaan yang Terdaftar di BEJ Periode 20042006)
Independen: Profitabilitas, Leverage keuangan, Likuiditas, Ukuran Perusahaan, Kepemilikan Publik, Reputasi Kantor Akuntan Publik (KAP), Opini Auditor Dependen: Audit Delay
Regresi Berganda
Secara simultan jenis opini auditor, laba/rugi emiten, lamanya emiten menjadi klien KAP, ukuran perusahaan, reputasi auditor, rasio hutang terhadap ekuitas dan jenis industry berpengaruh terhadap audit delay. Secara empiris determinan audit delay meliputi faktor (a) lamanya emiten menjadi klien sebuah kantor akuntan publik, (b) emiten mengalami kerugian dalam tahun berjalan, dan (c) laporan keuangan emiten mendapat opini selain unqualified dari akuntan publik. Regresi Variabel Logistik profitabilitas, (logistic likuiditas, regression) kepemilikan publik, dan reputasi kantor akuntan publik berpengaruh terhadap ketepatan waktu penyampaian laporan keuangan Variabel leverage keuangan, ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadp ketepatan waktu penyampaian LK
10
11
Lai dan M.C.Cheuk, 2005, Audit Delay, Audit Partner Rotation and Audit Firm Rotation: Evidence from Australia
Walker dan David Hay, 2008, An Empirical Investigation of The Audir Report Lag: The Effect of Non-Audit Services
Independen: Audit Partner Rotation, Audit Firm Rotation, Total Assets, Loss, Subsidiaries, Industry Clasification, Audit Opinion, Probability of Bankcuptcy, End of Report, Auditor, Stucture Audit Firm, Provision audit service Dependen: Audit Delay Explanatory V: Non-Audit Service Fee Control Variable: Audit Fee, Company Size, Overseas Ownership, Fiancial Condition, Industri, Likuidity, Loss, Financial YearEnd, Auditor Size, Audit Opinion Type, IFRS Early Adopter Dependen: Audit Report Lag
Rata-rata audit delay adalah 73 hari Audit Partner Rotation dan Audit Firm Rotation tidak berpengaruh signifikan terhadap audit delay Ada dua jenis lags yang tersedia di Australia: (1) Preliminary Lags dan (2) Earnings Announcement Lags.
Adanya hubungan positif antara nonaudit service dalam tahun berjalan dengan audit delay