BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian yang Relevan Sebelumnya Kajian tentang kemampuan siswa menceritakan tokoh idola dengan mengemukakan identitas dan keunggulan tokoh serta alasan mengidolakannya dengan pilihan kata yang sesuai di kelas VII SMP Negeri 13 Kota Gorontalo belum pernah diteliti oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Adapun penelitian yang relevan sebelumnya dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Iyam Djafar Abas pada tahun 2009 dan Nursyamsu Lamato pada tahun 2009 sebagai berikut. Iyam Djafar Abas (2009), dengan judul penelitiannya, yaitu “Penerapan Metode Modeling untuk Meningkatkan Kemampuan Bercerita dengan Urutan yang Baik pada Peserta Didik kelas VII A SMP Negeri 2 Mootilango”. Peneliti merumuskan permasalahan pada Bagaimanakah Meningkatkan Kemampuan Bercerita dengan Urutan yang Baik pada Peserta Didik kelas VIIA SMP Negeri 2 Mootilango. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan menggunakan metode modeling, kemampuan siswa meningkat dalam meningkatkan kemampuan bercerita dengan urutan yang baik. Dari penelitian di atas, jika dilihat terdapat persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini. Persamaannya dilihat dari segi materi. Dari segi materi sama-sama mengangkat judul yang berhubungan dengan kemampuan 1
berbicara. Sedangkan perbedaannya dilihat dari segi objek yang diteliti. Objek yang diteliti adalah siswa kelas VIIA SMP Negeri 2 Mootilango. Sedangkan penelitian ini mengambil lokasi di SMP Negeri 13 Kota Gorontalo. Nursyamsu Lamato (2009) dengan judul penelitiannya Kemampuan Peserta Didik SMA Negeri I Gorontalo kelas X Menceritakan Berbagai Pengalaman dengan Pilihan Kata dan Ekspresi yang Tepat. Peneliti merumuskan permasalahan pada Bagaimanakah Kemampuan Peserta Didik Menceritakan Berbagai Pengalaman dengan Pilihan Kata dan Ekspresi yang Tepat? Faktorfaktor Apakah yang Mempengaruhi Kemampuan Peserta Didik Menceritakan Berbagai Pengalaman dengan Pilihan Kata dan Ekspresi yang Tepat?. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan peserta didik dalam menceritakan pengalaman yang lebih menonjol adalah kemampuan dalam berekspersi. Dari penelitian di atas, jika dilihat terdapat persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini. Persamaannya, dilihat dari segi materi yakni tentang kemampuan berbicara. Sedangkan perbedaannya dilihat dari segi objek yang diteliti. Objek yang diteliti adalah siswa SMA Negeri I Gorontalo kelas X, sedangkan objek pada penelitian ini adalah siswa SMP Negeri 13 Kota Gorontalo kelas VII-5. 2.2 Hakekat Berbicara Berbicara merupakan salah satu bagian dari empat keterampilan berbahasa, yakni keterampilan mendengarkan (menyimak), membaca, menulis dan berbicara. Keempat keterampilan tersebut mempunyi hubungan yang saling berkaitan, antara keterampilan yang satu dengan keterampilan yang lain tidak dapat dipisahkan. Setiap hari manusia melakukan aktifitas berbicara baik dalam lingkungan rumah, 2
sekolah dan tempat yang biasa terjadinya aktifitas berbicara. Berbicara berarti menggunakan bahasa lisan secara aktif. Penggunaan bahasa lisan secara aktif dapat berwujud perintah, pertanyaan, penjelasan, pidato, dan berbicara di ruang sidang. Berbicara digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi satu dengan yang lainnya. Banyak pakar memberikan batasan tentang berbicara, diantaranya Burhanuddin (2011:20) mengemukakan bahwa berbicara adalah melahirkan pikiran dan perasaan yang teratur, dengan memakai bahasa lisan. Sejalan dengan Burhanuddin,
Tarigan
(2008:3)
mengemukakan
bahwa
berbicara
adalah
keterampilan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan. Demikian juga Muhammad (2005:8) mengemukakan bahwa kemampuan berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau mengucapkan kata-kata untuk mengekespresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berbicara adalah berkata, bercakap melahirkan pendapat. Jadi berbicara merupakan salah satu ragam bahasa. Dari tiga pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa kemampuan berbicara adalah kemampuan seseorang menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan dengan menggunakan bahasa lisan. Berbicara bukan hanya sekadar pengucapan bunyi-bunyi atau kata-kata. Berbicara adalah suatu alat untuk mengomunikasikan gagasan-gagasan yang disusun serta dikembangkan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sang pendengar atau penyimak. Memiliki kemampuan berbicara tidak semudah yang dibayangkan orang. Banyak orang menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan, namun mereka sering kurang terampil menyajikannya secara lisan (langsung). Di pandang 3
dari segi bahasa, menyimak dan berbicara dikategorikan sebagai keterampilan berbahasa lisan. Dari segi komunikasi, menyimak dan berbicara diklasifikasikan sebagai komunikasi lisan. Melalui berbicara orang menyampaikan informasi melalui ujaran kepada orang lain. Melalui menyimak orang menerima informasi dari orang lain. Kegiatan berbicara selalu diikuti kegiatan menyimak atau kegiatan menyimak pasti ada di dalam kegiatan berbicara. Keduanya fungsional bagi komunikasi lisan dan tak terpisahkan. Ibarat mata uang, sisi muka ditempati kegiatan berbicara sedang sisi belakang ditempati kegiatan mendengarkan. Sebagaimana mata uang tidak akan laku bila kedua sisinya tidak terisi, maka komunikasi lisan pun tak akan berjalan bila kedua kegiatan tidak saling melengkapi. Pembicara yang baik selalu berusaha agar penyimaknya mudah menanggapi isi pembicaraannya. 2.3 Jenis-Jenis Berbicara Kegiatan berbicara yang bersifat informal banyak dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Kegiatan ini dianggap perlu bagi manusia dan perlu dipelajari. Pada kurikulum pengajaran bahasa di sekolah, yakni penekanan dan penggalakan kegiatan bercerita yang bersifat informal. Kegiatan berbicara informal menurut Logan dalam Tarigan (1997: 48) antara lain tukar pengalaman, percakapan, menyampaikan berita, menyampaikan pengalaman, bertelepon, memberi petunjuk. Di samping kegiatan bercerita informal, kita temui pula kegiatan berbicara yang yang bersifat formal meliputi ceramah, perencanaan dan penilaian, interview, prosedur parlementer, berita. Sejalan dengan pendapat tersebut di atas berdasarkan tujuan penceritaannya, Tarigan (1997: 49) 4
mengklasifikasikan bercerita menjadi lima jenis yaitu; berbicara menghibur, berbicara menginformasikan, berbicara menstimulasi, berbicara meyakinkan dan berbicra menggerakkan. Berbicara menghibur biasanya bersuasana santai, rileks, dan kocak. Soal pesan bukanlah tujuan utama. Namun tidak berarti bahwa berbicara menghibur tidak dapat membawakan pesan. Berbicara menginformasikan bersuasana serius, tertib, dan hening. Soal pesan merupakan pusat perhatian, baik pencerita maupun pendengar. Berbicara menstimulasi juga berusaha serius, kadang-kadang terasa kaku. Pencerita berkedudukan lebih tinggi dari pendengarnya. Status tersebut dapat disebabkan oleh wibawa, pengetahuan, pengalaman, jabatan, atau fungsinya yang memang melebihi pendengarnya. Berbicara meyakinkan adalah pencerita berusaha menggugah sikap pendengarnya dari tidak setuju menjadi setuju, dari tidak simpati menjadi
simpati,
dari
tidak
membantu
menjadi
membantu.
Berbicara
menggerakkan merupakan kelanjutan pidato membangkitkan semangat, pencerita dalam bercerita menggerakkan haruslah orang yang berwibawa, tokoh idola, atau panutan masyarakat. 2.4 Keefektifan Berbicara Seorang pencerita yang baik harus mampu memberikan kesan bahwa ia menguasai masalah yang dibicarakan. Penguasaan topik yang baik akan menumbuhkan keberanian dan kelancaran. Selain menguasai topik, seorang pencerita harus berbicara (mengucapkan bunyi-bunyi bahasa) dengan jelas dan tepat. Pengucapan bunyi bahasa yang kurang tepat dapat mengalihkan perhatian pendengar. Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan seseorang untuk dapat 5
menjadi pencerita yang baik. Faktor-faktor tersebut adalah faktor kebahasaan dan faktor nonkebahasaan. 2.4.1
Faktor Kebahasaan Faktor kebahasaan meliputi (a) Ketepatan ucapan, seorang pencerita harus
membiasakan diri mengucapkan bunyi-bunyi bahasa secara tepat. Pengucapan bunyi-bunyi bahasa yang kurang tepat dapat mengalihkan perhatian pendengar. Hal ini akan mengganggu keefektivan berbicara. Pengucapan bunyi-bunyi bahasa yang kurang tepat atau cacat akan menimbulkan kebosanan, kurang menyenangkan, kurang menarik, atau setidaknya dapat mengalihkan perhatian pendengar. Pengucapan bunyi-bunyi bahasa dianggap cacat kalau menyimpang terlalu jauh dari pembicaraan dan dianggap aneh. (b) Penempatan tekanan, nada, sendi, dan durasi yang sesuai, kesesuaian tekanan, nada, sendi, dan durasi merupakan daya tarik tersendiri dalam bercerita, bahkan kadang-kadang merupakan faktor penentu. Walaupun masalah yang dibicarakan kurang menarik, dengan adanya penempatan tekanan, nada, sendi, dan durasi yang sesuai akan menyebabkan masalahnya menjadi menarik. Sebaliknya, jika penyampaiannya datar saja, maka dapat dipastikan akan menimbulkan kejemuan dan keefektifan tentu berkurang. Penempatan tekanan pada kata atau suku kata yang kurang sesuai akan mengakibatkan kejanggalan. Kejanggalan ini akan mengakibatkan perhatian pendengar akan beralih pada cara bercerita yang lain, sehingga pokok penceritaan atau pokok pesan yang disampaikan kurang diperhatikan. Akibatnya, keefektifan komunikasi akan
6
terganggu (c) Pilihan Kata (Diksi), pilihan kata hendaknya tepat, jelas, dan bervariasi. Jelas maksudnya mudah dimengerti oleh pendengar yang menjadi sasaran. Pendengar akan lebih terangsang dan akan lebih paham kalau kata-kata yang digunakan sudah dikenal pendengar. Dalam setiap penceritaan pemakaian kata-kata populer tentu akan lebih efektif daripada kata-kata yang muluk-muluk dan kata-kata yang berasal dari bahasa asing. Kata-kata yang belum dikenal memang mengakibatkan rasa ingin tahu, namun akan menghambat kelancaran komunikasi. Hendaknya pencerita menyadari siapa pendengarnya, apa pokok penceritaannya, dan menyesuaikan pilihan katanya dengan pokok penceritaan dan pendengarnya. Pendengar akan lebih tertarik dan senang mendengarkan kalau pencerita bercerita dengan jelas dalam bahasa yang dikuasainya (d) Ketepatan Sasaran Penceritaan, hal ini menyangkut pemakaian kalimat. Pencerita yang menggunakan
kalimat
efektif
akan
memudahkan
pendengar
menangkap
penceritaannya. Seorang pencerita harus mampu menyusun kalimat efektif, kalimat yang mengenai sasaran, sehingga mampu menimbulkan pengaruh, meninggalkan kesan atau menimbulkan akibat. Kalimat yang efektif mempunyai ciri-ciri keutuhan, perpautan, pemusatan, perhatian, dan kehematan. Ciri keutuhan akan terlihat jika setiap kata betul-betul merupakan bagian yang padu dari sebuah kalimat. Keutuhan kalimat akan rusak karena ketiadaan subjek atau adanya kerancuan. Perpautan bertalian dengan hubungan antara unsur-unsur kalimat, misalnya antara kata dengan kata, frase dengan frase dalam sebuah kalimat. Hubungan itu harus logis dan jelas. Pemusatan perhatian pada bagian yang terpenting dalam kalimat dapat 7
dicapai dengan menempatkan bagian tersebut pada awal atau akhir kalimat, sehingga bagian ini mendapat tekanan waktu bercerita. Selain itu, kalimat efektif juga harus hemat dalam pemakaian kata, sehingga tidak ada kata-kata yang mubazir. 2.4.2. Faktor Nonkebahasaan Faktor Nonkebahasaan meliputi (a) Sikap yang wajar, tenang dan tidak kaku, penceritaan yang tidak tenang, lesu dan kaku tentulah akan memberikan kesan pertama yang kurang menarik. Dari sikap yang wajar saja sebenarnya pencerita sudah dapat menunjukkan otoritas dan integritas dirinya. Sikap ini sangat banyak ditentukan oleh situasi, tempat dan penguasaan materi. Penguasaan materi yang baik setidaknya akan menghilangkan kegugupan. Namun, sikap ini memerlukan latihan. Kalau sudah terbiasa, lama-kelamaan rasa gugup akan hilang dan akan timbul sikap tenang dan wajar (b) Pandangan harus diarahkan kepada lawan bicara, pandangan pencerita hendaknya diarahkan kepada semua pendengar. Pandangan yang hanya tertuju pada satu arah akan menyebabkan pendengar merasa kurang diperhatikan. Banyak pencerita ketika bercerita tidak memperhatikan pendengar, tetapi melihat ke atas, ke samping atau menunduk. Akibatnya, perhatian pendengar berkurang. Hendaknya diusahakan supaya pendengar merasa terlibat dan diperhatikan (c) Gerak-gerik dan Mimik yang Tepat, gerak-gerik dan mimik yang tepat dapat pula menunjang keefektivan bercerita. Hal-hal penting selain mendapatkan tekanan, biasanya juga dibantu dengan gerak tangan atau mimik. Hal ini dapat menghidupkan komunikasi, artinya tidak kaku. Tetapi, gerak-gerik yang berlebihan akan menggangu keefektivan bercerita. 8
Mungkin perhatian pendengar akan terarah pada gerak-gerik dan mimik yang berlebihan ini, sehingga pesan kurang dipahami (d) Kenyaringan Suara, tingkat kenyaringan ini tentu disesuaikan dengan situasi, tempat, jumlah pendengar, dan akustik. Yang perlu diperhatikan adalah jangan berteriak. Kita atur kenyaringan suara kita supaya dapat didengar oleh pendengar dengan jelas (e) Kelancaran, seorang pencerita yang lancar bercerita akan memudahkan pendengar menangkap isi penceritaannya. Seringkali pencerita bercerita terputus-putus, bahkan antara bagian-bagian yang terputus itu diselipkan bunyi-bunyi tertentu yang mengganggu penangkapan pendengar, misalnya menyelipkan bunyi ee, oo, aa, dan sebagainya. Sebaliknya, pencerita yang terlalu cepat bercerita juga akan menyulitkan pendengar menangkap pokok penceritaannya (f) Penguasaan Topik, penceritaan formal selalu menuntut persiapan. Tujuannya tidak lain supaya topik yang dipilih betul-betul dikuasai. Penguasaan topik yang baik akan menumbuhkan keberanian dan kelancaran. Jadi, penguasaan topik ini sangat penting,bahkan merupakan faktor utama dalam bercerita. 2.5 Tokoh Idola Tokoh adalah individu yang mengalami berbagai peristiwa di dalam cerita atau sinetron. Tokoh berarti orang yang terkemuka, sedangkan idola adalah orang yang menjadi pujaan (Sapari, 2008 : 119). Untuk itu, tokoh idola adalah orang yang sangat dikagumi, disenangi, dan dipuja. Tokoh tersebut bisa siapa saja dan dari kalangan apa saja. Seperti, sastrawan, ilmuan, politikus, olahragawan, pemimpin agama ataupun artis. Selain Sapari, (Nurhadi, dkk, 2004 : 202) mengemukakan bahwa tokoh idola adalah tokoh idola adalah tokoh yang dikagumi, mungkin ia 9
adalah orang tua kalian, saudara yang sukses dalam usahanya, artis, pemain sepak bola, guru, penyiar tv, bahkan mungkin ia sahabat kalian. Berdasarkan penjelasan dari beberapa pakar di atas, peneliti menyimpulkan bahwa tokoh idola adalah orang yang dikagumi, dan disenangi baik dalam kalangan guru, olahragawan, politikus, sastrawan dan mungkin sahabat kita sendiri. Tentu semua orang mempunyai tokoh idolanya. Ada tokoh idola yang berupa kartun animasi, khayalan anak, atau realitas dalam kehidupan kita sebenarnya. Tokoh idola itu dapat kita gunakan untuk menambah motivasi diri menjadi lebih baik. Tentu saja tokoh idola yang dapat memberi motivasi bagi kita adalah tokoh idola yang positif, bukan tokoh idola negatif yang identik dengan drugs, alkohol, free sex, dan segala perilaku menyimpang yang ada di masyarakat. Dengan mengetahui hal tersebut, kita harus menyaring terlebih dahulu siapa saja yang dapat kita idolakan untuk menjadi tokoh idola. Tidak asal mengidolakan seseorang tanpa mengetahui kelebihan yang dimilikinya. Tentu, kelebihan itu harus dapat memberi motivasi bagi diri kita untuk menjadi lebih baik. Untuk mempelajari lebih lanjut tentang penceritaan tokoh idola, kita terlebih dahulu harus mengetahui apa yang dinamakan idola. Pada saat menceritakan tokoh idola, biasanya kita akan mengungkapkan
kelebihan-kelebihan
yang
dimiliki
oleh
tokoh
tersebut,
perilakunya, ajaran-ajarannya, maupun kelebihan pribadinya. Dalam menceritakan sosok tokoh idola, kita terlebih dahulu harus (1) mengetahui identitas tokoh yang kita idolakan (2) mengetahui keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh tokoh tersebut (3) memberikan alasan yang logis mengidolakan tokoh tersebut.
10
2.6 Pilihan Kata (Diksi) Manusia berbicara di depan umum, menggunakan kata-kata yang sesuai dengan pembicaraan. Oleh sebab itu, dalam menggunakan kata-kata yang tepat pastinya dengan memilih kata atau diksi. Menurut Arifin (2009 : 28) bahwa diksi adalah pilihan kata. Pilihan kata merupakan satu unsur sangat penting, baik dalam dunia karang-mengarang maupun dalam dunia tutur setiap hari. Menurut Harimurti dalam Pateda (2008:130) bahwa diksi adalah pilihan dalam berbicara di depan umum dalam karang mengarang. Diksi sangat diperlukan dalam berbicara atau dalam karang mengarang. Seperti dalam berbicara di sidang-sidang dan saat menulis karya ilmiah, Kata-kata yang digunakan pun harus yang bersifat ilmiah. Agar gagasan atau pendapat yang disampaikan mendapat rangsangan balik dari pendengar atau pembaca. Berbeda dengan kata-kata yang disampaikan pada saat berkampanye di depan masyarakat. Kata-kata yang harus digunakan adalah kata-kata yang mudah ditelaah oleh daya fikir masyarakat. Karena, dalam sekelompok masyarakat ada yang status pendidikannya di bawah atau orang awam, sehingga kalau menggunakan kata-kata yang bersifat ilmiah, maka masyrakat tidak bisa menelaah kata-kata tersebut. Selanjutnya dalam Bahasa Indonesia, kata diksi berasal dari kata dictionary ( Bahasa Inggris yang kata dasarnya diction) berarti perihal pemilihan kata. Diksi juga merupakan pemilihan kata bermakna tepat dan selaras (cocok penggunaannya) untuk mengungkapkan gagasan dengan pokok pembicaraan, peristiwa dan khalayak pembaca. Pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin 11
disampaikan dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok pendengar. Pilihan kata hendaknya tepat, jelas dan bervariasi. Jelas maksudnya mudah dimengerti oleh pendengar yang menjadi sasaran. Pendengar akan lebih terangsang dan akan lebih paham, kalau kata-kata yang digunakan kata-kata yang sudah dikenal oleh pendengar. Misalnya, kata-kata popular tentu akan lebih efektit daripada kata-kata muluk-muluk, dan kata yang berasal dari bahasa asing. Katakata yang belum dikenal memang membangkitkan rasa ingin tahu, namun akan menghambat kelancaran komunikasi. Selain itu hendaknya dipilih kata-kata yang konkret sehinga mudah dipahami pendengar. Kata-kata konkret yang menunjukan aktivitas akan lebih mudah dipahami pembaca. Namun, pilihan kata itu tentu harus kita sesuaikan dengan pokok pembicaraan dan dengan siapa kita berbicara (pendengar). Kalau si pembicara memaksakan diri memilih kata-kata yang tidak dipahaminya dengan maksud supaya lebih mengesankan, malah akibatnya sebaliknya. Timbul kesan seolah-olah dibuat-buat dan berlebihan. Demikian juga sebaliknya, karena pembicara ingin turun ke kalangan pendengarnya, maka ia mengunakan bahasa yang populer atau kata-kata yang tidak baku. Tetapi akibatnya kedengaranya juga murah dan tidak wajar. Dalam hal ini hendaknya pembicara menyadari siapa pendengarnya dan apa pokok pembicaraan dan pendengarnya. Pendengar akan lebih tertarik dan senang mendengarkan kalau pembicara berbicara dengan jelas dalam bahasa yang dikuasainya, dalam arti yang betul-betul menjadi miliknya, baik sebagai perorangan maupun sebagai pembicara. Selain itu, pilihan kata juga disesuaikan dengan pokok pembicaraan. Kalau pokok 12
pembicaraan kita masalah ilmiah, tentu pemakaian istilah tidak dapat kita hindari dan pendengar pun akan dapat memahaminya karena pendengarnya juga orangorang tertentu. Tentu dalam situasi ini kita tidak berbicara secara santai mengenai masalah-masalah yang rumit dan serius, dan sebaliknya berbicara secara serius mengenai hal-hal yang santai.
13
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif adalah metode yang menyajikan atau menggambarkan keadaaan yang sebenarnya yang terjadi di lapangan secara objektif tentang kemampuan siswa menceritakan tokoh idola dengan mengemukakan identitas dan keunggulan tokoh, serta alasan mengidolakannya dengan dengan pilihan kata yang sesuai di kelas VII SMP Negeri 13 Kota Gorontalo. Metode deskriptif adalah metode untuk mengumpulkan, mengolah dan menganalisis data seefektif mungkin agar dapat memberikan hasil yang diinginkan sesuai dengan tujuan penelitian. Metode deskriptif menurut Sudjana (2004:52) bertujuan untuk mendeskripsikan atau menjelaskan peristiwa dan kejadian yang ada sekarang. 3.2 Populasi dan Sampel 3.2.1 Populasi Arikunto (2010:173) mengemukakan bahwa populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Sejalan dengan Arikunto, Setyosari (2012:189) mengemukakan bahwa istilah populasi merujuk pada keseluruhan kelompok dari mana sampelsampel diambil. Berdasarkan pernyataan tersebut, maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kelas VII SMP Negeri 13 Kota Gorontalo.
14
3.2.2 Sampel Arikunto (2010:174) mengemukakan bahwa sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Punaji (2012:189) mengemukakan bahwa sampel merupakan sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Berdasarkan pernyataan tersebut, maka yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII5 SMP Negeri 13 Kota Gorontalo. Arikunto (1998:120) menyarankan bila jumlah populasi kurang dari 100 sebaiknya diambil keseluruhannya. Dengan demikian, penelitian ini merupakan penelitian sampel. 3.3 Sumber Data Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah sujek dari mana data diperoleh (Arikunto, 2010:172). Berdasarkan pernyataan ini, maka yang menjadi sumber data adalah Guru Bahasa Indonesia dan siswa kelas VII-5 SMP Negeri 13 Kota Gorontalo yang berjumlah 25 orang yang terdiri dari 13 orang lakilaki dan 12 orang perempuan. 3.4 Teknik Penelitian 3.4.1 Teknik Pengumpulan Data Untuk memperoleh data, penulis menggunakan teknik sebagai berikut. 1). Observasi Observasi adalah peninjauan lokasi, artinya sebelum mengambil data dari siswa, peneliti menghubungi pihak sekolah untuk meminta izin melakukan penelitian.
15
2). Pengamatan Langsung Penelitian
ini
termasuk
penelitian
lapangan.
Data-datanya
pun
dikumpulkan berdasarkan hasil pengamatan langsung dari lokasi penelitian yakni di SMP Negeri 13 Kota Gorontalo. Pengamatan langsung digunakan untuk mengamati secara langsung siswa dalam menceritakan tokoh idola. Dengan adanya pengamtan langsung ini, peneliti dapat mengidentifikasi kesalahan-kesalahan siswa dalam berbicara yakni menceritakan tokoh idola. 3). Rekaman Teknik ini digunakan untuk merekam kegiatan siswa dalam berbicara terutama kegiatan siswa menceritakan tokoh idola. Peneliti merekam siswa kelas VII-5 SMP Negeri 13 Gorontalo dalam menceritakan tokoh idola dengan menggunakan
alat
bantu
perekam
berupa
Handphone
(HP)
untuk
mengumpulkan data. 3.4.2 Teknik Analisis Data Data yang dianalisis adalah data rekaman, dan setelah data diperoleh, selanjutnya data tersebut dianalisis dengan langkah sebagai berikut. 1) Data rekaman ditranskripsikan atau dipindahkan dari bentuk lisan ke bentuk tulisan. 2) Setelah data ditranskripsikan kemudian diklasifikasikan berdasarkan masalah yang diteliti.
16
3) Data yang sudah ditranskripsikan kemudian diklasifikasikan berdasarkan kategori sangat baik, baik, cukup, kurang dan kurang sekali, berdasarkan Penafsiran Acuan Patokan (PAP). 4) Menetapkan skor Hasil siswa dalam menceritakan tokoh idola diberi skor sesuai dengan persentase berdasarkan Penafsiran Acuan Patokan (PAP). Dalam hal ini siswa dianggap mampu jika mencapai minimal pada taraf 70% (Suyoto, dkk, 1997:921). Adapun Penafsiran Acuan Patokan (PAP) adalah Sebagai berikut : Tabel 1 Penafsiran Acuan Patokan (PAP) PERSENTASE PENAFSIRAN 90%-100%
Sangat Baik
80%-89%
Baik
70%-79%
Cukup
60%-69%
Kurang
Kurang dari 60%
Kurang Sekali
Penafsiran di atas didasarkan pada skor perolehan pada hasil pembelajaran siswa. Adapun rumus yang digunakan untuk mengetahui kemampuan siswa adalah sebagai berikut : Tingkat kemampuan =
Jumlah skor benar x 100 % Jumlah skor ideal
17
5) Menyimpulkan hasil analisis data. Setelah data selesai dianalisis dan diberi skor berdasarkan Penafsiran Acuan Patokan (PAP), kemudian disimpulkan berdasarkan hasil analisis data tersebut.
18