HUBUNGAN KEMATANGAN EMOSI SISWA DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA KELAS VIII DI SMP NEGERI IX KOTA GORONTALO Oleh : Alfon Tahir Rahama Jurusan Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Gorontalo Pembimbing I Pembimbing II
: Dra. Tuti Wantu M.Pd. Kons : Dra. Mardia Bin Smith S.Pd, M.Si ABSTRAK
Permasalahan yang menjadi fokus penelitian ini adalah hubungan emosi dengan prestasi belajar siswa, karena terdapat siswa yang memperoleh prestasi belajar yang rendah dan sebagian besar siswa menunjukan tingkah laku yang tidak wajar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kematangan emosi siswa dengan pretasi belajar siswa kelas VIII SMP NEGERI IX Kota Gorontalo. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai bulan Juli di SMP NEGERI IX Kota Gorontalo. Varibel pada penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu variabel X (kematangan emosi) dan variabel Y (prestasi belajar siswa). Variabel X (kematangan emosi) diteliti berdasarkan indikator-indikator yaitu kesanggupan siswa untuk mengendalikan perasaan dalam mengerjakan sesuatu atau berhadapan dengan orang lain, tidak mementingkan diri sendiri tetapi mempertimbangkan perasaan orang lain, menunjukan rasa empati terhadap orang lain, berpikir realistik, memahami diri sendiri, menampakan emosi di saat dan tempat yang tepat, dan variabel Y dilakukan dengan menganalisis dokumen (raport) siswa. Anggota populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas SMP Negeri IX Kota Gorontalo, tahun ajaran 2012/2013, sedangkan sampel dalam penelitian ini diambil sebanyak dua kelas (VIIIa dan VIIIb). Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket dan studi dokumen. Hasil pengujian persamaan regresi antara kedua variabel X dan Y berdasarkan analisis regresi linier diperoleh persamaan regresi Yˆ 18.72 0.46 Persamaan ini mengandung makna bahwa setiap terjadi perubahan peningkatan, apabila variabel X (kematangan emosi) meningkat 1 maka akan diikuti variabel Y (prestasi belajar siswa) naik 0.46 . Jadi semakin tinggi kematangan emosi maka akan semakin tinggi nilai prestasi belajar siswa. Analisis statistik korelasional antara variabel X dan Variabel Y diperoleh nilai rxy = 0.924 dan = 0.85. Uji signifikan koefisian korelasi diperoleh harga thitung = 16,52 atau harga thitung berada di luar daerah penerimaan H 0. Sehingga dapat disimpulkan bahwa H 0 ditolak dan menerima H1. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara kematangan emosi siswa dengan prestasi belajar siswa kelas VIII SMP IX Kota Gorontalo. Kata Kunci : Kematangan Emosi Siswa dan Prestasi Belajar Siswa.
1
Sebagai siswa yang belajar di sekolah, siswa memerlukan bantuan dari guru sehingga memiliki ilmu pengatahuan. Secara umum proses belajar yang dilakukan siswa di sekolah yaitu dengan maksud terjadinya suatu perubahan intelektual dan sikap pada diri siswa. Perubahan intelektual dan sikap ini seharusnya terjadi pada semua siswa dengan tingkat yang sama atau semua siswa memiliki prestasi yang baik, karena dalam
hal ini guru membantu/mengajar
semua siswa dengan cara yang sama dan secara bersama-sama. Namun yang terjadi di lapangan, terdapat perolehan prestasi belajar siswa yang berbeda-beda pada siswa kelas VIII SMP NEGERI IX Kota Gorontalo, ada siswa yang memperoleh prestasi belajar yang tinggi, dan ada juga yang mendapat prestasi belajar yang rendah. Perolehan prestasi belajar yang rendah tidak akan terjadi apabila siswa terlepas dari berbagai hambatan, dan gangguan baik berasal dari diri siswa (internal) atau dari luar siswa (eksternal). Namun, di sekolah SMP Negeri IX terdapat siswa yang mengalami hambatan, dan gangguan. Sehingga siswa mengalami kesulitan dalam belajar dan tidak dapat meraih prestasi belajar yang tinggi, bahkan hasil belajar siswa cenderung rendah. Intelegensi yang dimiliki siswa memang berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Namun perlu disadari bahwa EQ memegang peran lebih penting ketimbang IQ. “Sudah terbukti bahwa banyak orang dengan IQ yang tinggi justru mengalami kegagalan dalam pendidikan maupun dalam kerja. Mereka kalah dari orang-orang dengan IQ rata-rata saja, tetapi memiliki EQ yang tinggi. Menurut Goleman, sumbangan IQ dalam menentukan prestasi belajar/keberhasilan seseorang hanya sekitar 20-30% saja, selebihnya ditentukan oleh EQ yang tinggi, Goleman (dalam sarwono 2010:136).” Lebih lanjut, Djamarah
(2011:234) “berpendapat bahwa adalah suatu
pendapat yang keliru dengan mengatakan bahwa prestasi belajar siswa disebabkan rendahnya intelegensi,
karena dalam kenyataanya cukup banyak siswa yang
memiliki intelegensi yang tinggi, tetapi hasil belajarnya rendah, jauh dari yang diharapkan, dan masih banyak siswa dengan nilai prestasi belajar rata-rata normal,
2
tetapi meraih prestasi belajar yang tinggi. Oleh karena itu selain faktor intelegensi, faktor non intlegensi juga dapat diakui menjadi penyebab kesulitan siswa dalam belajar”. Sehingga dalam penelitian ini penulis menjadikan kematangan emosi siswa sebagai fokus penyebab siswa dapat meraih nilai prestasi belajar yang tinggi dan karena emosinya belum matang, siswa mendapat prestasi belajar yang rendah. Karena yang terjadi di sekolah SMP Negeri IX kota Gorontalo, sebagian besar siswa menunjukan tingkah laku yang tidak wajar terhadap diri sendiri dan teman, guru. Misalnya, siswa sering bolos sekolah, mengganggu teman saat belajar, menyakiti teman, berdusta pada guru, tidak mengerjakan PR, membantah guru. Serta, berdasarkan data pada raport siswa, diperoleh data prestasi belajar siswa dengan nilai rata-rata 66-68 sebanyak 4 orang, 70-78 sebanyak 23 orang, 80-88 sebanyak 13 orang. Berdasarkan uraian tersebut, judul yang diambil oleh peneliti dalam penelitian ini adalah “Hubungan Antara Kematangan Emosi dengan Prestasi Belajar Siswa Kelas VIII SMP NEGERI IX KOTA GORONTALO”. Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka ada beberapa masalah yang dapat diidentifikasi yaitu ; a. Terdapat siswa yang memiliki nilai prestasi yang rendah. b. Siswa menunjukan tingkah laku yang kurang wajar terhadap dirinya senidiri, teman, dan guru. Dari uraian latar belakang dan identifikasi masalah, maka permasalahan yang akan diteliti adalah “Apakah terdapat hubungan antara kematangan emosi dengan prestasi belajar siswa kelas VIII SMP NEGERI IX Kota Gorontalo”? Dalam penelitian ini, yang menjadi tujuan dari penelitian ialah untuk mengetahui hubungan antara kematangan emosi dengan prestasi belajar siswa kelas VIII SMP NEGERI IX Kota Gorontalo.
3
Kajian Teori Prestasi belajar adalah serangkaian kalimat yang terdiri dari dua kata, yaitu prestasi dan belajar, dimana kedua kata tersebut saling berkaitan dan mempunyai pengertian yang berbeda. Oleh sebab itu, sebelum mengulas lebih dalam tentang prestasi belajar, terlebih dahulu kita telusuri kata tersebut satu persatu untuk mengetahui apa pengertian prestasi belajar itu. James O. Whittaker (dalam Djamarah 2011 : 12), merumuskan belajar sebagai proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman. Sedangkan pendapat Cronbach (dalam Djamarah 2011 : 13), adalah learning is shown by change in behavior as a result of experience. Belajar sebagai suatu aktivitas yang ditunjukan oleh perubahan tingkah laku sebagai hasil pengalaman. Lebih Lanjut Howard L . Kingskey (dalam Djamarah 2011 : 13), mengatakan bahwa learning is the proses by which behavior (in the boarder sense) I originated or change through practice or training. Belajar adalah proses dimana tingkah laku (dalam arti luas) ditimbulkan atau diubah melalui praktek atau latihan. Slameto (dalam Djamarah 2011 : 12), juga merumuskan pengertian tetang belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan siswa untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman siswa itu sendiri dalam interaksi dengan lingkunganya. Istilah prestasi berasal dari bahasa Belanda “prestatie”, dalam bahasa indonesia
menjadi
prestasi,
yang
berarti
hasil
dari
usaha.
Menurut
Syah,(2010:141) prestasi adalah tingkat keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan yang ditetapkan dalam sebuah program. Sedangkan prestasi belajar adalah “tingkat keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam sebuah program”, Syah (2010: 144-145), (http ://eprints.uny.ac.id/8883/3/BAB 2084024244022.pdf).
Poerwanto (2004:2) memberikan pengertian “prestasi belajar, yaitu hasil yang dicapai oleh siswa dalam usaha belajar sebagaimana yang dinyatakan dalam raport. Dijelaskan pula bahwa prestasi belajar adalah suatu bukti keberhasilan
4
belajar atau kemampuan siswa dalam melakukan kegiatan sesuai bobot yang dicapainya”. Adapun
menurut
Nasution
(2006:17)
prestasi
belajar
adalah
“kesempurnaan yang dicapai siswa dalam berpikir, merasa, dan berbuat. Prestasi belajar dikatakan sempurna apabila siswa memenuhi tiga aspek yakni: kognitif, affektif, dan psikomotor, sebaliknya dikatakan prestasi belajar kurang memuaskan jika siswa belum mampu memenuhi target dalam ketiga kriteria tersebut”. Faktor Mempengaruhi Prestasi Belajar Prestasi belajar yang memuaskan dapat diraih oleh setiap siswa jika mereka dapat belajar secara wajar, terhindar dari berbagai ancaman, hambatan, dan gangguan. Namun sayangnya ancaman, hambatan, dan gangguan dialami oleh siswa tertentu. Sehingga siswa mengalami kesulitan dalam belajar. Syah (dalam Djamarah 2011: 235-246) menurutnya faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar ialah yang berasal dari dalam diri siswa meliputi gangguan atau kekurangmampuan psiko-fisik siswa yaitu sebagai berikut. a. Faktor internal siswa 1) Bersifat kognitif (ranah cipta), antara lain seperti rendahnya kapasitas intelektual/intelegensi siswa. 2) Bersifat afektif (ranah rasa), antara lain seperti labilnya emosi dan sikap siswa. 3) Bersifat psikomotor (ranah karsa) antara lain seperti terganggunya alat-alat indra penglihatan dan pendengaran (mata dan telinga). b. Faktor eksternal 1) Lingkungan keluarga, contohnya; ketidakharmonisan hubungan antara ayah dengan ibu, dan rendahnya kehidupan ekonomi keluarga. 2) Lingkungan
perkampungan/masyarakat,
contohnya:
wilayah
perkampungan kumuh (slum area) dan teman-teman sepermainan (peer group). 3) Lingkugan sekolah, contohnya; kondisi dan letak gedung sekolah yang buruk seperti dekat pasar, kondisi guru serta alat-alat belajar yang
5
berkualitas rendah. Pengertian kematangan emosi Anderson (dalam Mappiare, 1982), mengatakan bahwa seseorang yang matang secara emosional sanggup mengendalikan perasaan dan tidak dapat dikuasai perasaan dalam mengerjakan sesuatu atau berhadapan dengan orang lain, tidak mementingkan diri sendiri tetapi mempertimbangkan perasaan orang lain. http://kampiunpsikologi.wordpress.com/2008/11/19/pengertian-kematangan-emosi/..
Menurut Cole (1983), seseorang yang emosinya matang memiliki sejumlah kemampuan utama yang harus dipenuhi yaitu : “kemampuan untuk mengungkapkan dan menerima emosi, menunjukan kesetiaan, menghargai orang lain secara realitas, menilai harapan dan inspirasi, menunjukkan rasa empati terhadap orang lain, mengurangi pertimbangan-pertimbangan yang bersifat emosional, serta toleransi dan menghormati orang lain. (http://kampiunpsikologi. wordpress. com/2008/11/19/ pengertian-kematangan-emosi/).
Asmiyati,2001(http://kampiunpsikologi.wordpress.com/2008/11/19/pengertiankematangan-emosi/.) “mengemukakan bahwa kematangan emosi adalah suatu
kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosi pada diri individu. Individu yang telah mencapai kematangan emosi ditandai oleh adanya kemampuan dalam mengontrol emosi, berfikir realistik, memahami diri sendiri dan menampakkan emosi disaat dan tempat yang tepat. Reaksi yang diberikan individu terhadap setiap emosi dapat memuaskan dirinya sendiri dan dapat diterima oleh lingkungannya.” Selain itu, Chaplin (2000:165) mendefinisikan kematangan emosi adalah suatu keadaan atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosional yang pantas bagi anak-anak. Walgito (2002:42) menyatakan bahwa seseorang telah mencapai kematangan emosi bisa dapat mengendalikan emosinya dan diharapkan individu berpikir secara matang, melihat persoalan subyektif. Karakteristik Perkembangan Emosi Remaja Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak kemasa dewasa. Menurut Ali dan Asrori (2012: 67) “Pada masa ini, remaja mengalami perkembangan mencapai kematangan fisik, mental, sosional, dan emosional.
6
Umumnya, masa ini berlangsung sekitar umur 13 tahun sampai umur 18 tahun, yaitu anak duduk dibangku sekolah menengah. Masa ini biasanya dirasakan sebagai masa sulit, baik bagi remaja sendiri maupun bagi keluarga, atau lingkunganya. Conny Semiawan (1989)
(dalam Ali dan Asrori 2012: 67)
mengibaratkan : “terlalu besar untuk serbet, terlalu kecil untuk taplak meja” karena sudah bukan anak-anak lagi, tetapi juga belum dewasa. Masa remaja biasanya memiliki energi yang besar, emosi berkobar-kobar, sedangkan pengendalian diri belum sempurna. Remaja juga sering mengalami perasaan tidak aman tidak tenang, dan khawatir kesepian. Secara garis besar, Ali dan Asrori (2012:68) membagi masa remaja ke dalam empat periode, yaitu periode praremaja, remaja awal, remaja tengah, dan remaja akhir. Adapun karakteristik untuk setiap periode adalah berikut ini. a. Periode Praremaja. Selam periode ini terjadi gejala-gejala yang hampir sama antara remaja pria maupun remaja wanita. Perubahan fisik belum tampak jelas, tetapi pada remaja putri biasanya memperlihatkan penambahan berat badan yang cepat sehingga mereka merasa gemuk. Gerakan-gerakan meraka mulai mejadi kaku. Perubahan ini disertai sifat kepekaan terhadap rangsangan dari luar dan respon mereka biasanya berlebihan sehingga mereka mudah tersinggung dan cengeng, tetapi juga cepat merasa senang atau bahkan meledak-ledak. b. Periode Remaja awal Selama periode ini perkembangan fisiknya yang semakin tampak adalah perubahan fungsi alat kelamin. Karena perubahan alat kelamin semakin nyata, remaja seringkali mengalami kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan itu. Akibatnya, tidak jarang mereka cenderung menyendiri sehingga merasa terasing, kurang perhatian dari orang lain, atau bahkan merasa tidak ada orang yang memperdulikanya. Kontrol terhadap dirinya bertambah sulit dan meraka cepat marah dengan cara-cara yang kurang wajar untuk menyakinkan dunia sekitarnya. Perilaku seperti ini sesungguhnya terjadi karena adanya kecemasan terhadap dirinya sendiri sehingga muncul dalam reaksi yang kadangkadang tidak wajar.
7
c. Periode Remaja tengah Melihat fenomena yang sering terjadi dalam masyarakat yang seringkali menunjukan adanya kontradiksi dengan nilai-nilai moral yang mereka ketahui, tidak jarang remaja mulai meragukan tentang apa yang disebut baik atau buruk. Akibatnya remaja seringkali ingin membentuk nilai-nilai mereka sendiri yang mereka anggap benar, dan pantas untuk dikembangkan dikalangan mereka sendiri. Lebih-lebih jika orang tua atau orang dewasa disekitarnya memaksakan nilainilainya agar dipatuhi oleh remaja tanpa disertai dengan alasan yang masuk akal menurut mereka. d. Periode Remaja akhir Selam periode ini remaja mulai memandang dirinya sebagai orang dewasa dan mulai mampu menunjukan pemikiran, sikap, perilaku yang semakin dewasa. Oleh sebab itu, orang tua dan masyarakat mulai memberikan kepercayaan yang selayaknya kepada mereka. Interaksi dengan orang tua juga menjadi lebih bagus dan lancar karena mereka sudah memiliki kebebasan penuh serta emosinya pun mulai stabil. Pilihan arah hidup sudah semakin jelas dan mampu mengambil pilihan dan keputusan tentang arah hidupnya secara lebih bijaksana meskipun belum bisa secara penuh. Mereka juga mulai memilih cara-cara hidup yang dapat dipertanggung jawabkan terhadap dirinya sendiri, orang tua, dan masyarakat”. Ciri – Ciri Kematangan Emosi Menurut pendapat Walgito (2002:45) ada beberapa ciri kematangan emosi yaitu sebagai berikut : a. Dapat menerima baik keadaan dirinya maupun keadaan orang lain seperti adanya, sesuai dengan keadaan obyektifnya. Hal ini disebabkan karena seseorang yang lebih matang emosinya dapat berpikir secara lebih baik, dan berpikir secara obyektif. b. Tidak bersifat implusif, akan merespon stimulus dengan cara berpikir baik, dapat mengatur pikiranya untuk memberikan tangggapan terhadapa stimulus yang mengenainya. c. Dapat mengontrol emosi dan mengekspresikan emosinya dengan baik.
8
d. Bersifat sabar, penuh pengertian, dan pada umumnya mempunyai toleransi yang baik. e. Mempunyai tanggung jawab yang baik, dapat berdiri sendiri, tidak mudah mengalami frustasi dan akan menghadapi masalah dengan penuh pengertian. Faktor-Faktor Mempengaruhi Emosi Remaja Menurut
Ali
dan
Asrori
(2012:69-72).
Sejumlah
faktor
yang
mempengaruhi emosi remaja adalah sebagai berikut. a. Perubahan jasmani Perubahan jasmani yang ditunjukan dengan adanya pertumbuhan yang sangat cepat dari anggota tubuh. Pada taraf permulaan pertumbuhan ini hanya terbatas pada bagian-bagian tertentu saja yang mengakibatkan postur tubuh menjadi tidak seimbang. Ketidakseimbangan tubuh ini sering mempunyai akibat yang tak terduga pada perkembangan emosi remaja. Tidak setiap remaja menerima perubahan kondisi tubuh seperti itu, lebih-lebih jika perubahan tersebut menyangkut perubahan kulit yang menjadi kasar dan penuh jerawat. Hormonhormon tertentu mulai berfungsi sejalan dengan perkembangan alat kelaminnya sehingga dapat menyebabkan rangsangan di dalam tubuh remaja dan sering kali menimbulkan masalah dalam perkembangan emosinya. b. Perubahan pola interaksi dengan orang tua Pola asuh orang tua terhadap anak, termasuk remaja, sangat bervariasi. Ada yang pola asuhnya menurut apa yang dianggap terbaik oleh dirinya sendiri saja (orang tua) sehingga ada yang bersifat otoriter, memanjakan anak, acuh ak acuh, tetapi ada juga yang dengan penuh cinta kasih. Perbedaan pola asuh orang tua seperti ini dapat berpengaruh terhadap perbedaan perkembangan emosi remaja. Cara memberikan hukuman misalnya, kalau dulu anak dipukul karena nakal, pada masa remaja cara macam itu justru dapat menimbulkan ketegangan yang lebih berat antara ramaja dengan orang tuanya. Dalam konterks ini Gardner,1992 (dalam Ali dan Asrori 2012: 69-72) mengibaratkan dengan kalimat Too Big to Spank yang maknanya bahwa remaja itu sudah terlalu besar untuk dipukul.
9
a. Perubahan interaksi dengan teman sebaya Remaja seringkali membangun interaksi sesama teman sebayanya secara khas dengan cara berkumpul untuk melakukan aktivitas bersama dengan membentuk semacam geng. Interaksi antara anggota dalam suatu kelompok geng biasanya sangat intens serta memiliki kohesivitas dan solidaritas yang sangat tinggi. Pembentukan kelompok dalam bentuk geng seperti ini sebaiknya diusahakan terjadi pada masa remaja awal saja karena biasanya bertujuan positif, yaitu untuk memenuhi minat mereka bersama. Usahakan dapat menghindarkan pembentukan kelompok secara geng itu ketika sudah memasuki masa remaja tengah atau remaja akhir. Pada masa ini para anggota biasanya membutuhkan teman-teman untuk melawan otoritas atau melakukan perbuatan yang tidak baik atau bahkan kejahatan bersama-sama. Faktor yang sering menimbulkan masalah emosi pada masa ini adalah hubungan cinta dengan teman lawan jenis. Pada masa remaja tengah, biasanya remaja benar-benar mulai jatuh cinta dengan teman lawan jenisnya. Gejala ini sebenarnya sehat bagi remaja, tetapi tidak jarang juga menimbulkan konflik atau gangguan emosi pada remaja jika tidak diikuti dengan bimbingan dari orang tua. Oleh sebab itu, tidak jarang orang tua justru merasa gembira atau bahkan cemas ketika anak remajanya jatuh cinta. Gangguan emosional yang mendalam dapat terjadi ketika cinta remaja tidak terjawab atau karena pemutusan hubungan dari satu pihak sehingga dapat menimbulkan kecemasan bagi orang tua dan bagi remaja itu sendiri. b. Perubahan pandangan dari luar Faktor penting yang dapat mempengaruhi perkembangan emosi remaja selain perubahan-perubahan yang terjadi dalam diri remaja itu sendiri adalah pandangan dari dunia luar dirinya. Ada sejumlah perubahan pandangan luar yang dapat menyebabkan konflik-konflik emosional dalam diri remaja yaitu sebagai berikut. 1) Sikap dunia luar terhadap remaja sering tidak konsisten. Kadang-kadang mereka dianggap sudah dewasa, tetapi mereka tidak mendapat kebebasan penuh atau peran yang wajar sebagaimana orang dewasa. Seringkali mereka
10
masih dianggap anak kecil sehingga menimbulkan kejengkelan pada diri remaja. Kejengkelan yang mendalam dapat berubah menjadi tingkah laku emosional. 2) Dunia luar atau masyarakat masih menerapkan nilai-nilai yang berbeda untuk remaja laki-laki dan perempuan. Kalau remaja laki-laki memiliki banyak teman perempuan, mereka mendapatkan predikat popular dan mendatangkan kebanggaan. Sebaliknya, apabila remaja putri mempunyai banyak teman lakilaki sering dianggap tidak baik atau bahkan mendapat predikat yang kurang baik. Penerapan nilai yang berbeda ini jika tidak disertai dengan pemberian pengertian secara bijaksana dapat menyebabkan remaja bertingkah laku emosional. 3) Seringkali kekosongan remaja dimanfaatkan oleh pihak luar yang tidak bertanggung jawab, yaitu dengan cara melibatkan remaja tersebut ke dalam kegiatan-kegiatan yang merusak dirinya dan melanggar nilai-nilai moral. Misalnya, penyalahgunaan obat terlarang, minim -minuman keras, serta tindak kriminal dan kekerasan. c. Perubahan interaksi dengan sekolah Pada masa anak-anak, sebelum menginjak masa remaja, sekolah merupakan tempat pendidikan yang di idealkan oleh siswa. Para guru merupakan tokoh yang sangat penting dalam kehidupan mereka karena selain tokoh intelektual, guru juga merupakan tokoh otoritas bagi para siswa. Oleh karena itu, tidak jarang siswa lebih percaya, lebih patuh, bahkan ada yang takut kepada gurunya dari pada orang tuanya. Posisi guru semacam ini sangat strategis apabila digunakan untuk perkembangan emosi siswa melalui penyampaian materi-materi yang positif dan konstruktif. Namun demikian, tidak jarang terjadi bahwa figur sebagai tokoh tersebut, guru memberikan ancaman-ancaman tertentu kepada para siswa. Peristiwa semacam ini sering tidak disadari oleh para guru bahwa ancaman-ancaman itu sebanarnya dapat menambah permusuhan saja dari siswa. Cara-cara seperti ini akan memberikan stimulus negatif bagi emosi siswa. Hasil Penelitian
11
Berdasarkan
analisis
regresi
diperoleh
Yˆ 18.72 0.46 .Hasil
ini
mengandung makna bahwa terjadi perubahan peningkatan pada variabel X, maka akan di ikuti oleh perubahan penurunan rata-rata sebesar 0.46 pada variabel Y. Hal ini berarti jika terjadi perubahan pada variabel kematangan emosi, maka diikuti perubahan pada variabel prestasi belajar. Berdasarkan perhitungan korelasi antara variabel kematangan emosi (X) dan prestasi belajar siswa (Y) diperoleh koefisien r = 0,924 dan
= 0,85. Uji
signifikan koefisien korelasi memperoleh hasil perhitungan diperoleh harga t hitung sebesar 16.52. Sedangkan dari daftar distribusi t pada taraf nyata 5% diperoleh t (0,95)(38)= 1,68. Ternyata harga t hitung lebih besar dari t daftar, atau harga bahwa
berada di luar daerah penerimaan ditolak dan menerima
, sehingga dapat disimpulkan
. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
koefisien korelasi signifikan. Hasil perhitungan ini menunjukan bahwa hipotesis yang berbunyi hubungan antara kematangan emosi dengan prestasi belajar siswa kelas VIII di SMP Negeri IX Kota Gorontalo dapat diterima. Pembahasan Intelegensi yang dimiliki siswa memang berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Namun perlu disadari bahwa EQ memegang peran lebih penting ketimbang IQ. “Sudah terbukti bahwa banyak orang dengan IQ yang tinggi justru mengalami kegagalan dalam pendidikan maupun dalam kerja. Mereka kalah dari orang-orang dengan IQ rata-rata saja, tetapi memiliki EQ yang tinggi. Menurut Goleman, sumbangan IQ dalam menentukan prestasi belajar/keberhasilan seseorang hanya sekitar 20-30% saja, selebihnya ditentukan oleh EQ yang tinggi, Goleman (dalam sarwono 2010:136).” Lebih lanjut, Djamarah
(2011:234) “berpendapat bahwa adalah suatu
pendapat yang keliru dengan mengatakan bahwa prestasi belajar siswa disebabkan rendahnya intelegensi. Karena dalam kenyataanya cukup banyak
12
siswa yang memiliki intelegensi yang tinggi, tetapi hasil belajarnya rendah, jauh dari yang diharapkan. Dan masih banyak siswa dengan intelegensi yang rata-rata normal, tetapi meraih prestasi belajar yang tinggi. Oleh karena itu selain faktor intelegensi, faktor non intlegensi juga dapat diakui menjadi penyebab kesulitan siswa dalam belajar.” Prestasi belajar yang memuaskan dapat diraih oleh setiap siswa jika mereka dapat belajar secara wajar, terhindar dari berbagai ancaman, hambatan, dan gangguan baik yang berasal dari dalam diri siswa (internal) maupun dari luar siswa (eksternal). Syah (dalam Djamarah 2011: 235-246) Menurutnya faktor-faktor menjadi penyebab siswa tidak dapat meraih prestasi belajar yang baik dikarenakan faktor internal dan eksternal siswa seperti: kognitif (ranah cipta), afektif (ranah rasa), psikomotor
(ranah
karsa),
lingkungan
keluarga,
lingkungan
perkampungan/masyarakat, lingkugan sekolah. Namun yang penelitian ini lebih difokuskan pada faktor internal siswa (affektif). Kesimpulan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan antara variabel X kematangan emosi dengan variabel Y prestasi belajar siswa adalah sebesar 0,924 dengan r2 = 0,85. Ini berarti bahwa 0,85 atau (85%) variasi yang terjadi pada prestasi belajar dipengaruhi oleh kematangan emosi, sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor lain yang tidak terdesain oleh peneliti. Berdasarkan hasil analisis dan pengujian hipotesis yang telah dilakukan dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis penelitian yaitu ““terdapat hubungan antara kematangan emosi dengan prestasi belajar siswa di SMP Negeri IX Kota Gorontalo, dapat diterima. Saran Dengan memperhatikan hasil pembahasan dan kesimpulan, maka perlu dikemukakan beberapa saran sebagai berikut.
13
a. Sebaiknya siswa tidak memperlihatkan bentuk emosi yang negatif terhadap dirinya, teman dan guru. b. Agar kiranya orang tua, untuk lebih memperhatikan keadaan pribadi dan sosial siswa, serta membimbing siswa agar tidak bertingkah laku yang kurang wajar terhadap dirinya dan orang lain. c. Agar kiranya guru-guru sekolah untuk lebih memperhatikan kondisi setiap siswa dan membantu siswa dalam mengatasi masalah yang sedang dialami oleh siswa, serta tidak mengebelakangkan pengaruh emosi siswa dalam proses belajar-mengajar. d. Disarankan hendaknya pihak sekolah memperhatikan kondisi psikologi siswa
khususnya masalah kematangan emosi siswa, untuk memacu prestasinya, sehingga menghasilkan lulusan berkualitas baik dalam aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
14
DAFTAR PUSTAKA Ali, M., asrori, M. 2012. Psikologi Remaja. Jakarta : Bumi Aksara. Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Satuan Pendekatan Praktek. Jakarta: PT Rineka Cipta. Chaplin, J.P. 2002. Kamus Psikologi. Jakarta : Raja Grafinda Persada. Djamarah, B, S. 2011. Psikologi Belajar. Jakarta : Rineka Cipta. Goleman, D. 2004. Emotional Intelligence. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Goleman , D. 2002. Emotional Intelligence. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Hartono, B., Sunarto, H. 2008. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta : Rineka Cipta. Hutomo. M.A.2005. kamus lengkap bahasa Indonesia. Surabaya : Mitra Pelajar. Nasution. 2006. Berbagai Pendekatan Dalam Proses Belajar Dan Mengajar. Jakarta : Bumi SAksara. Poerwanto Ng 2004. Prinsip-Prinsip Dan Tehnik Evaluasi Pengajaran. Bandung: Remaja Rosda Karya. Riduwan. 2005. Belajar Muda Penelitian Untuk Guru, Karyawan, dan Peneliti Pemula. Bandung : PT Alfabeta. Sarwono W. S. 2010. Pengantar Psikologi Umum. Jakarta : Rajawali Pers. Sudjana. 2005. Metode Statistika. Bandung : Tarsito. Walgito, Bimo. 2002. Bimbingan Dan Konseling Perkawinan. Yogyakarta : PT. CV Andi Offset. Yusuf, S. 2008. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : Remaja Rosdakarya. Syah Muhibbin 2010. Prestasi belajar : http ://eprints.uny.ac.id/8883/3/BAB 2084024244022.pdf. diakses tanggal 6 juni 2013, pukul 14.44 http://kampiunpsikologi.wordpress.com/2008/11/19/pengertian-kematangan-emosi/.
diakses tanggal 6 mei 2013 pukul 20.22.
15