BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1
Landasan Teori dan Konsep
2.1.1 Teori motivasi X dan Y McGregor McGregor mengemukakan dua pandangan mengenai manusia yaitu teori X (negatif) dan teori Y (positif) (Robbins, 2008:225). Individu yang bertipe X memiliki locus of control eksternal dimana mereka pada dasarnya tidak menyukai pekerjaan, berusaha menghindarinya dan menghindari tanggung jawab, sehingga mereka harus dipaksa atau diancam dengan hukuman untuk mencapai tujuan. Individu yang bertipe Y memiliki locus of control internal dimana mereka menyukai pekerjaan, mampu mengendalikan diri untuk mencapai tujuan, bertanggung jawab dan mampu membuat keputusan inovatif (Robin dan Judge 2007). Seorang auditor yang termasuk dalam tipe X jika mendapat tugas audit yang kompleks dapat membuat judgment yang tidak tepat. Auditor tidak dapat melaksanakan tanggung jawabnya sebagai auditor, auditor juga lebih suka menaruh keamanan diatas semua faktor yang dikaitkan dengan kerja, sehingga ketika mendapat menghadapi tugas yang kompleks maka mereka akan cenderung mencari jalan yang aman dan bahkan berperilaku disfungsional dalam membuat judgment, sedangkan auditor yang termasuk dalam tipe Y dapat bertanggung jawab atas tugasnya dan tetap bersikap profesional dalam menjalankan tugas sebagai auditor. Auditor tidak akan terpengaruh meskipun ia menghadapi tugas
11
audit yang kompleks, sehingga dapat membuat judgment yang lebih baik dan tepat (Irwanti, 2011). Seorang auditor pada dasarnya termasuk dalam tipe Y dimana auditor dapat bertanggungjawab terhadap tugasnya sebagai auditor. Dalam melaksanakan tugas pemeriksaan seorang auditor harus mematuhi standar auditing, dimana dalam standar tersebut disebutkan bahwa auditor harus mempertahankan independensi dan tanggung jawabnya dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan. Auditor tidak boleh terpengaruh oleh gangguan yang dapat merusak tanggung jawabnya, baik gangguan pribadi, ekstern dan organisasi (Praditaningrum, 2012).
2.1.2 Teori kognitif Psikologi kognitif menjelaskan bahwa perilaku manusia tidak ditentukan oleh stimulus yang berada diluar dirinya, melainkan oleh faktor yang ada pada dirinya sendiri. Faktor internal tersebut berupa kemampuan untuk mengenal dunia luar dan dengan pengenalan itu manusia mampu memberikan respon terhadap stimulus. Berdasarkan pada hal tersebut, teori kognitif memandang belajar sebagai proses pemfungsian unsur-unsur kognisi terutama pikiran untuk mengenal dan memahami stimulus yang datang dari luar. Teori kognitif menjelaskan bahwa perubahan persepsi dan pemahaman setiap orang terjadi setelah memiliki pengalaman dan pengetahuan dalam dirinya (Praditaningrum, 2012). Teori kognitif memandang belajar sebagai proses yang memberi fungsi unsur-unsur kognisi terutama pikiran untuk mengenal dan memahami stimulus yang datang dari luar. Menurut Piaget ada tiga prinsip utama
12
pembelajaran bagi manusia,
yaitu: belajar aktif (pengembangan unsur
pengetahuan, kemampuan dan inisiatif dari individu), belajar melalui interaksi sosial (pengembangan kognitif mengarah pada banyak pandangan) dan belajar melalui pengalaman sendiri (Winarto 2011). Aplikasi teori kognitif dapat digunakan untuk mengkaji bagaimana auditor mengambil suatu pertimbangan berdasarkan pengalaman dan keahliannya dalam melaksanakan tugas audit. Setiap kali auditor melakukan audit maka auditor akan belajar dari pengalaman sebelumnya, memahami serta meningkatkan kecermatan dalam pelaksanaan audit. Auditor akan mengintegrasikan pengalaman auditnya dengan pengetahuan yang telah dimilikinya (Praditaningrum, 2012). Proses memahami dan belajar inilah yang menjadi proses peningkatan keahlian auditor, seperti bertambahnya pengetahuan audit, meningkatnya kemampuan auditor dan meningkatnya kepercayaan auditor dalam membuat judgment audit.
2.1.3 Pengertian auditing Agoes (2012:4) menyatakan auditing adalah suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis oleh pihak yang independen terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut. Jusup (2014:10), Pengauditan adalah suatu proses sistematis untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti yang berhubungan dengan asersi tentang tindakan-tindakan dan kejadian-kejadian ekonomi secara obyektif untuk
13
menentukan tingkat kepatuhan antara asersi tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan
dan
mengkomunikasikan
hasilnya
kepada
pihak-pihak
yang
berkepentingan. Menurut Jusup (2014:14) pada umumnya pengauditan dikelompokkan menjadi tiga golongan sebagai berikut. 1) Audit Laporan Keuangan Audit laporan keuangan adalah jenis laporan audit yang digunakan untuk menentukan apakah laporan keuangan sebagai informasi kuantitatif yang telah ditetapkan sesuai dengan kriteria tertentu yang telah diterapkan. 2) Audit Kepatuhan Audit kepatuhan adalah jenis audit yang digunakan untuk menentukan apakah pihak yang diaudit telah mengikuti aturan yang telah diberikan oleh pihak yang berwenang didalam pelaksanaannya. 3) Audit Operasional Audit operasional adalah jenis audit yang digunakan untuk mengkaji setiap bagian dari prosedur dan metode yang telah dijalankan oleh suatu organisasi dengan tujuan untuk mengevaluasi efektivitas dan efisiensi dari penerapan prosedur tersebut.
2.1.4 Pengertian auditor Jusup (2014:24) menyatakan bahwa sebutan auditor digunakan bagi orang yang melakukan salah satu tahapan dalam suatu audit. Jusup (2014:16) membedakan auditor menjadi tiga jenis, yaitu.
14
1) Auditor Independen (Akuntan Publik) Tanggungjawab utama auditor independen atau lebih umum disebut akuntan publik adalah melakukan fungsi pengauditan atas laporan keuangan yang diterbitkan entitas. Menurut Undang-undang No 5 tahun 2011, akuntan publik adalah akuntan yang telah memperoleh izin dari Menteri Keuangan untuk memberikan jasa akuntan publik di Indonesia. Bidang jasa akuntan publik dibagi menjadi dua jenis yakni jasa atestasi dan jasa non-atetasi. Jasa atestasi yang diberikan oleh akuntan publik meliputi: jasa audit umum atas laporan keuangan, jasa pemeriksaan atas laporan keuangan prospektif, jasa pemeriksaan atas pelaporan informasi keuangan proforma, jasa review atas laporan keuangan dan jasa atestasi lainnya sebagaimana tercantum dalam Standar Profesional Akuntan Publik. Jasa non-atestasi yang diberikan oleh akuntan publik yakni mencakup jasa yang berkaitan dengan akuntansi, keuangan, manajemen, kompilasi, perpajakan dan konsultasi sesuai dengan kompetensi Akuntan Publik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Auditor independen, sesuai sebutannya, harus independen terhadap klien pada saat melaksanakan audit maupun saat pelaporan hasil audit. 2) Auditor Pemerintah Auditor pemerintah adalah auditor yang bertugas melakukan audit atas keuangan negara pada instansi-instansi pemerintah. Pasal 23 ayat 5 Undangundang Dasar 1945 mengatur tentang pemeriksaan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan oleh suatu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hasil audit yang dilakukan oleh BPK disampaikan kepada Dewan Perwakilan
15
Rakyat sebagai alat kontrol atas pelaksanaan keuangan negara. Selain BPK, auditor pemerintah di Indonesia juga mengenal adanya Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang merupakan internal auditor pemerintah yang independen terhadap jajaran organisasi pemerintahan. 3) Auditor Internal Auditor internal adalah auditor yang bekerja dalam suatu perusahaan yang tugas pokoknya adalah menentukan apakah kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh manajemen puncak telah dipatuhi, menentukan baik atau tidaknya penjagaan terhadap kekayaan organisasi, menentukan efisiensi dan efektivitas prosedur kegiatan organisasi, serta menentukan keandalan informasi yang dihasilkan oleh berbagai bagian organisasi. Umumnya pemakai jasa auditor intern adalah Dewan Komisaris atau Direktur Utama perusahaan.
2.1.5 Profesi akuntan publik Profesi akuntan adalah semua bidang pekerjaan yang mempergunakan keahlian di bidang akuntansi, termasuk bidang pekerjaan akuntan publik, akuntan intern yang bekerja pada perusahaan industri, keuangan atau dagang, akuntan yang bekerja di pemerintah dan akuntan sebagai pendidik (Halim, 2008:14). Di Indonesia, menurut Undang-undang No.5 tahun 2011 dijelaskan bahwa akuntan publik adalah akuntan yang telah memperoleh izin dari Menteri Keuangan untuk memberikan jasa akuntan publik di Indonesia. Bidang jasa akuntan publik yaitu:
16
1) Jasa Atestasi Jasa atestasi adalah suatu pernyataan pendapat atau pertimbangan seseorang independen dan kompeten mengenai kesesuaian dalam segala hal yang signifikan, asersi suatu entitas dengan kriteria yang telah disiapkan. 2) Jasa Non Atestasi Jasa non atestasi adalah jasa yang dihasilkan oleh akuntan publik yang didalamnya tidak memberikan suatu pendapat, keyakinan negatif ringkasan temuan, atau bentuk lain keyakinan.
2.1.6 Kompleksitas tugas Auditor selalu dihadapkan dengan tugas-tugas yang kompleks, banyak, berbeda-beda dan saling terkait satu dengan lainnya. Kompleksitas tugas merupakan tugas yang tidak terstruktur, sulit untuk dipahami dan ambigu (Puspitasari, 2010). Kompleksitas audit juga didasarkan pada persepsi individu tentang kesulitan suatu tugas audit. Persepsi ini menimbulkan kemungkinan bahwa suatu tugas audit sulit bagi seseorang, namun mungkin juga mudah bagi orang lain (Restu dan Indriantoro, 2000). Lebih lanjut, Restu dan Indriantoro (2000) menyatakan bahwa kompleksitas muncul dari ambiguitas dan struktur yang lemah, baik dalam tugas-tugas utama maupun tugas-tugas lain. Sanusi (2007) menyatakan argumen yang sama, bahwa kompleksitas tugas merupakan tugas yang tidak terstruktur, membingungkan dan sulit. Pada tugas-tugas yang membingungkan (ambigous) dan tidak terstruktur, alternatif-alternatif yang ada tidak dapat diidentifikasi, sehingga data tidak dapat
17
diperoleh dan outputnya tidak dapat diprediksi. Chung dan Monroe (2001) mengemukakan bahwa kompleksitas tugas dalam pengauditan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu: 1) banyaknya informasi yang tidak relevan dalam artian informasi tersebut tidak konsisten dengan kejadian yang akan diprediksikan. 2) adanya ambiguitas yang tinggi, yaitu beragamnya outcome (hasil) yang diharapkan oleh klien dari kegiatan pengauditan. Pengujian terhadap kompleksitas tugas dalam audit bersifat penting karena kecenderungan tugas melakukan audit adalah tugas yang banyak menghadapi persoalan kompleks (Irwanti, 2011). Kompleksitas tugas dapat membuat seorang auditor menjadi tidak konsistensi dan tidak akuntanbilitas. Adanya kompleksitas tugas yang tinggi dapat merusak judgment yang dibuat auditor.
2.1.7 Orientasi tujuan Orientasi tujuan merupakan suatu preferensi tujuan dalam pencapaian situasi, telah menjadi salah satu topik yang paling penting dalam pendidikan, psikologis dan literatur penelitian organisasi (Payne et al. 2007). Orientasi tujuan merupakan suatu mental framework bagaimana individu menginterpretasi dan merespon situasi atau kejadian yang dihadapinya (Dweck and Legget, 1988) dan perbedaan individu yang berguna untuk membangun pemahaman terhadap pembelajaran, pelatihan dan hasil kinerja (Zweig dan Webster, 2004). Pada penelitian terbaru (Porath dan Bateman, 2006) telah difokuskan pada tiga dimensi dispositional orientasi tujuan: pembelajaran (learning), pendekatan-
18
kinerja
(performance-approach)
dan
penghindaran-kinerja
(performance-
avoidance). Menurut Trianevant (2014) individu dengan orientasi tujuan pembelajaran fokus pada pengembangan kompetensi mereka dengan mengakuisisi keterampilan baru, menguasai situasi baru dan belajar dari pengalaman sedangkan yang berhubungan dengan kinerja, individu dengan orientasi kinerja fokus pada mendemonstrasikan kemampuan normatif dan penilaian yang baik dari orang lain, dan individu dengan orientasi tujuan penghindaran fokus pada menghindari situasi yang mungkin menunjukkan kekurangan dari kompetensi yang mereka miliki dan penilian negatif dari orang lain. Salah satu temuan penelitian yang konsisten dalam literatur motivasional adalah bahwa tantangan tujuan (challenging goals) yang lebih besar menghasilkan kinerja yang lebih tinggi dibanding tujuan yang mudah atau tujuan yang dilakukan dengan terbaik (Locke dan Latham, 1990).
2.1.8 Self-efficacy Auditor juga harus memiliki kemampuan diri dalam pengambilan audit judgment dalam hal ini ialah self-efficacy. Self-efficacy diturunkan dari teori kognitif sosial. Bandura (1993) menyatakan bahwa self-efficacy adalah kepercayaan seseorang bahwa dia dapat menjalankan sebuah tugas pada sebuah tingkat tertentu, yang memengaruhi aktivitas pribadi terhadap pencapaian tujuan. Sementara itu Trianevant (2014) menyatakan self-efficacy merupakan keyakinan atau kepercayaan individu mengenai kemampuan dirinya untuk mengorganisasi,
19
melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, menghasilkan sesuatu dan mengimplementasikan tindakan untuk menampilkan kecapakan tertentu. Bandura (1997) mengemukakan bahwa self-efficacy individu dapat dilihat dari tiga dimensi dan indikator. 1) Tingkat (Level) Self-efficacy individu dalam mengerjakan suatu tugas berbeda dalam tingkat kesulitan tugas. Individu memiliki self-efficacy yang tinggi pada tugas yang mudah dan sederhana, atau juga pada tugas-tugas yang rumit dan membutuhkan kompetensi yang tinggi. Individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi cenderung memilih tugas yang tingkat kesukarannya sesuai dengan kemampuannya. 2) Keluasan (Generality) Dimensi ini berkaitan dengan penguasaan individu terhadap bidang atau tugas pekerjaan. Individu dapat menyatakan dirinya memiliki self-efficacy pada aktivitas yang luas, atau terbatas pada fungsi domain tertentu saja. Individu dengan self-efficacy yang tinggi akan mampu menguasai beberapa bidang sekaligus untuk menyelesaikan suatu tugas. Individu yang memiliki selfefficacy yang rendah hanya menguasai sedikit bidang yang diperlukan dalam menyelesaikan tugas. 3) Kekuatan (Strenght) Dimensi yang ketiga ini lebih menekankan pada tingkat kekuatan atau kemantapan individu terhadap keyakinannya. Self-efficacy menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan individu akan memberikan hasil yang sesuai
20
dengan yang diharapkan individu. Self-efficacy menjadi dasar darinya melakukan usaha yang keras, bahkan ketika menemui hambatan sekalipun.
2.1.9 Audit judgment Audit judgment merupakan aktivitas utama dalam melaksanakan pekerjaan audit.
Wedemeyer
(2010)
menggunakan
istilah
audit
judgment
untuk
menggambarkan setiap keputusan atau evaluasi yang dibuat oleh auditor, yang memengaruhi atau mengatur proses dan hasil audit laporan keuangan. Sementara itu audit judgment merupakan suatu pertimbangan pribadi atau cara pandang auditor dalam menanggapi informasi yang memengaruhi dokumentasi bukti serta pembuatan keputusan pendapat auditor atas laporan keuangan suatu entitas (Praditaningrum, 2012). Berdasarkan ISA 200, profesional judgment merupakan penerapan pengalaman dan pengetahuan yang relevan, dalam konteks auditing accounting dan standar etika, dalam mencapai keputusan yang tepat dalam situasi atau keadaan selama berlangsungnya penugasan audit. Audit judgment akan melekat pada setiap tahap dalam proses audit laporan keuangan, yaitu penerimaan perikatan audit, perencanaan audit, pelaksanaan pengujian audit dan pelaporan audit (Nugraha, 2014). Hubungan judgment didasari oleh dua konsep yaitu konsep materialitas dan resiko. Auditor dalam menentukan seberapa besar tingkat materialitas atas laporan keuangan yang diaudit membutuhkan judgment yang tepat karena materialitas sulit diukur dan ditentukan. Tidak ada aturan maupun standar mengenai pengukuran suatu materialitas sehingga besarnya tingkat materialitas tergantung
21
pada pertimbangan auditor. Begitu juga dengan risiko audit yang diambil auditor membutuhkan pertimbangan atau judgment yang tepat menyangkut seberapa besar risiko salah saji material yang dapat terjadi setelah laporan keuangan diaudit. Keputusan untuk menentukan seberapa besar tingkat materialitas dan tinggi rendahnya risiko audit merupakan tanggung jawab besar bagi seorang auditor dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan pertimbangan atau judgment atas suatu informasi dan bukti-bukti yang ada (Febrianti, 2014). Pertimbangan-pertimbangan tersebut tidak hanya berpengaruh pada jenis opini yang diberikan auditor, tetapi juga berpengaruh dalam hal efisiensi pelaksanaan tugas audit (Jamilah,dkk. 2007).
2.2
Hipotesis Penelitian
2.2.1 Kompleksitas tugas memoderasi pengaruh orientasi tujuan dan selfefficacy pada audit judgment.
Auditor selalu dihadapkan dengan tugas-tugas yang banyak, berbeda-beda, dan saling terkait satu sama lainnya. Tingkat kesulitan tugas dan struktur tugas merupakan dua aspek penyusun dalam kompleksitas tugas dan dalam kaitannya tingkat sulitnya tugas selalu dihubungkan dengan banyaknya informasi tentang tugas tersebut, sementara struktur adalah terkait dengan kejelasan informasi Jamilah, dkk (2007). Berdasarkan teori motivasi X dan Y, apabila dihadapkan pada suatu tugas dengan kompleksitas yang tinggi auditor akan cenderung termasuk dalam tipe X. Auditor tersebut akan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugasnya, akibatnya auditor tidak mampu mengintegrasikan informasi menjadi suatu
22
judgment yang baik. Penelitian sebelumnya oleh Sugiarto (2009) dan Tielman (2011) menyatakan kompleksitas tugas berpengaruh secara negatif terhadap audit judgment. Hal tersebut dikarenakan jika kesulitan tugas lebih besar daripada kemampuan individu, akan memicu adanya kekhawatiran akan terjadi kegagalan didalam penyelesaian tugas. Di dalam penelitian ini, kompleksitas tugas diposisikan sebagai variabel moderating yang dapat memoderasi pengaruh antara orientasi tujuan dan self-efficacy pada audit judgment. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sanusi (2007) juga menyatakan variabel interaksi antara kompleksitas tugas dan orientasi tujuan berpengaruh terhadap kinerja audit judgment dan Iskandar (2011) menyatakan self-efficacy dalam kinerja penilaian audit judgment dimoderasi oleh pengaruh kompleksitas tugas. Orientasi tujuan merupakan suatu mental framework bagaimana individu menginterpretasi dan merespon situasi atau kejadian yang dihadapinya (Dweck and Legget, 1988). Hasil penelitian yang dilakukan Trianevant (2014) dan Pertiwi,dkk. (2015) menunjukkan hasil bahwa orientasi tujuan berpengaruh positif terhadap audit judgment. Orientasi tujuan yang tinggi berfokus pada pengembangan kompetensi mereka dengan mengakuisisi keterampilan baru, menguasai situasi baru dan belajar dari pengalaman yang digunakan dalam menentukan suatu judgment, sebaliknya menurut penelitian dilakukan oleh Nadhiroh (2010) orientasi tujuan pembelajaran tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja auditor dalam pembuatan audit judgment. Auditor juga harus memiliki kemampuan diri dalam pengambilan audit judgment yang dalam hal ini ialah self-efficacy. Self-efficacy merupakan persepsi
23
tentang kemampuan individu untuk mengorganisasi dan mengimplementasikan tindakan untuk menampilkan kecakapan tertentu (Bandura, 1993). Penelitian yang dilakukan oleh Wijaya (2012) menyatakan self-efficacy berpengaruh positif terhadap audit judgment. Seorang individu dengan memiliki self-efficacy yang tinggi akan senantiasa lebih cenderung untuk mempertimbangkan, mengevaluasi, dan menggabungkan kemampuan yang diketahuinya sebelum pada akhirnya dia menentukan suatu pilihan (Wijayantini,dkk. 2014) sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Nadhiroh (2010) menunjukkan hasil yang berbeda bahwa selfefficacy tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja auditor dalam pembuatan audit judgment. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H1 : Kompleksitas tugas mampu memoderasi pengaruh orientasi tujuan dan selfefficacy pada audit judgment.
24