11
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Perilaku Pembelian Kompulsif Perilaku pembelian kompulsif merupakan komponen perilaku negatif konsumen. Mowen dan Minor (2002: 280) mendifinisikan perilaku pembelian kompulsif sebagai suatu pembelian yang tidak terencana dan konsumen terlibat dalam perilaku ini karena mereka sangat berhasrat untuk memperoleh perasaan atau kesenangan tertentu. Konsep dasar perilaku pembelian kompulsif adalah konsumsi yang berlebihan pada suatu barang (Stones IV, 2001 dalam Shoham dan Brencic, 2003). Pembelian kompulsif merupakan suatu perilaku pembelian yang tanpa direncanakan dan dilakukan secara berulang-ulang dan merupakan suatu perilaku yang negatif (O'Guinn dan Faber, 1992; Solomon, 2002 dalam Shoham dan Brencic, 2003). Banyak peneliti yang mengkategorikan perilaku pembelian kompulsif sebagai gangguan terhadap kontrol pembelian impulsif (Black, dkk., 1998; Christenson, dkk., 1992; Faber, 1992; McElroy dkk., 1991; O’Guinn dan Faber, 1989; Schlosser, dkk., 1994 dalam Yang, 2006). Pembelian impulsif adalah tidak direncanakan dan tidak diatur sebelum memasuki toko (Hawkin, dkk.,1998: 590). Ketika konsumen tidak terlibat akan suatu produk, mereka cenderung melakukan pengambilan keputusan pembelian di dalam toko, dimana tidak terdapat motivasi yang cukup untuk melakukan rencana pembelian (Assael, 2004: 103).
12
Pembelian impulsif terjadi ketika konsumen mengalami dorongan tibatiba, keinginan yang kuat untuk membeli sesuatu dengan segera (Engel, dkk., 1995: 159). Pembelian impulsif dapat dijelaskan sebagai dorongan untuk membeli sesuatu yang tiba-tiba, tanpa ada niat atau rencana, bertindak atas dorongan tanpa mempertimbangkan tujuan jangka panjang atau cita-cita. Konsumen yang memanfaatkan kognisi akan lebih cenderung untuk membuat pembelian dan keputusan
rasional juga melakukan pembelian dengan sedikit dorongan
sedangkan konsumen yang lebih emosional akan lebih cenderung melakukan pembelian impulsif . Menurut Rooks dalam Engle, dkk., (1995: 159) ciri pembelian impulsif yang dikemukan oleh adalah sebagai berikut: 1)
Keinginan mendadak dan spontan untuk bertindak disertai dengan urgensi
2)
Keadaan ketidakseimbangan psikologis di mana seseorang dapat berada di luar kendali
3)
Rendahnya evaluasi objektif, sementara pertimbangan emosional lebih dominan
4)
Kurang memperhatikan konsekuensi yang ditimbulkan Sementara itu jenis atau tipe pembelian impulsif dapat digolongkan dalam
beberapa bentuk. Blythe (1997) dalam Shoham dan Brencic (2003) menggolongkan jenis pembelian impulsif menjadi empat jenis, yaitu: 1)
Pure impulsive. Pembelian yang dilakukan murni tanpa rencana atau terkesan mendadak. Biasanya terjadi setelah melihat barang yang dipajang di toko dan muncul keinginan untuk membelinya saat itu juga.
13
2)
Reminder impulsive. Pembelian yang dilakukan tanpa rencana terjadi setelah diingatkan karena melihat iklan atau brosur yang ada di pusat perbelanjaan.
3)
Suggestion impulsive. Pembelian yang dilakukan tanpa rencana pada saat berbelanja di pusat perbelanjaan. Pembelian dilakukan pada saat di pusat perbelanjaan, setelah pembeli terpengaruh dan diyakinkan oleh tenaga sales atau teman yang ditemuinya pada saat berbelanja, yang menawarkan produknya dengan meyakinkan.
4)
Planned impulsive. Pembelian yang dilakukan sebenarnya sudah direncanakan, tetapi karena barang yang dimaksud habis atau tidak sesuai dengan yang diinginkan, maka yang dilakukan adalah membeli jenis barang yang sama tetapi dengan merek atau ukuran yang berbeda. Menurut Rindfleisch et al., 1997; Roberts, 1998; Roberts, 2000; Dittmar,
2005a,
dalam Xu, 2008, terdapat beberapa faktor yang dapat mendorong
terjadinya pembelian impulsif dan kompulsif yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor eksternal mencakup karakteristik produk dan karakteristik pemasaran, sedangkan faktor internal mencakup karakteristik-karakteristik konsumen yang muncul sehubungan dengan pembelian yang dilakukan konsumen, yang didapat dijelaskan sebagai berikut: 1)
Karakteristik produk meliputi: a)
harga yang rendah
b)
adanya sedikit kebutuhan dengan produk tersebut
c)
siklus kehidupan produknya pendek
14
2)
d)
ukuranya kecil dan ringan
e)
mudah disimpan
Faktor marketing, diantaranya: a)
distribusi massa pada self servise terhadap pemasangan iklan besarbesaran dan material yang akan didiskon. Ketersediaan informasi seperti melalui pemasangan iklan, website, penjaga toko, adalah sumber utama informasi konsumen.
b)
posisi pajangan produk dan lokasi toko yang menonjol turut mempengaruhi pembelian impulsif. Selain itu, jumlah, lokasi dan jarak toko mempengaruhi jumlah kunjungan konsumen ke toko sebelum pembelian. Kunjungan ke toko membutuhkan energi, uang,waktu dan jarak kedekatan seringkali meningkatkan aspek ini dari pencarian dari luar.
3)
Karakteristik konsumen seperti: a)
kepribadian konsumen
b)
demografis meliputi usia, jenis kelamin, pendapatan, dan
sebagainya Perilaku impulsif yang dilakukan berkali-kali dan dalam jangka waktu yang lama menimbulkan suatu perilaku pembelian yang diberi nama perilaku pembelian kompulsif. Definisi pembelian kompulsif harus mencakup dua kriteria yaitu: (1) perilakunya harus berulang ulang, dan (2) perilakunya harus problematik untuk individu
(O’Guinn dan Faber, 1989 dalam Shoham dan
Brencic, 2003). Perilaku pembelian kompulsif sangat erat terkait dengan perilaku
15
obsesif pelanggan yang berorientasi pada pikiran mereka untuk mendapatkan produk atau jasa tertentu (Rajagopal, 2008). Compulsive buyer biasanya memiliki tingkat kepercayaan diri yang rendah, tingkat berhayal, depresi, kecemasan, dan obsesi yang tinggi. Studi tentang pembelian kompulsif merupakan studi yang penting karena perilaku tersebut dapat menyebabkan kekacauan pada individu dan atau orang disekitarnya. Bahkan dalam beberapa kasus ekstrim, pembeli kompulsif mampu menghabiskan uang lebih banyak dari yang mereka miliki, menghancurkan hidup mereka bahkan kehidupan keluarga (d’Astous, 1990; Faber dan O’Guinn, 1992; Rindfeisch, Borroughs dan Denton, 1997 dalam Kwak, dkk., 2003). Pembeli kompulsif dapat berasal dari semua golongan ekonomi. Seseorang yang kompulsif adalah seorang yang pemboros yang dicirikan sebagai seseorang yang menghabiskan uang dengan cepat, mengemudikan mobil mewah, rumah yang mahal walaupun uang yang dimiliki tidak dapat menutupi segala keinginannya. Bahkan mereka membentuk citra diri bahwa orang lain harus mengagumi mereka dengan segala yang dimilikinya. Untuk beberapa pelaku kompulsif, uang dan harta benda telah menggantikan keberadaan teman, keluarga bahkan tempat ibadah. Pusat perbelanjaan telah menjadi pengganti tempat ibadah dan berbelanja menjadi ritualnya (Boundy, 2000 dalam Yang, 2006). Menurut Dittmar, 2000 dalam Yang, 2006 menemukan bahwa konsumen yang kompulsif berbelanja diatas batas kemampuan yang termotivasi oleh tingginya keinginan mereka untuk memiliki harta benda dan menganggap bahwa
16
kepemilkan harta benda merupakan tolok ukur identitas diri, keberhasilan, dan kebahagiaan dalam hidup.
2.2 Faktor Situasional Faktor situasional adalah faktor-faktor eksternal yang berasal dari lingkungan berbelanja ketika konsumen tertarik akan rangsangan visual tertentu (produk atau promosi) yang menciptakan pembelian yang tidak direncanakan. Saat itu konsumen mungkin merasa perlu tiba-tiba untuk membeli produk tertentu yang telah menarik perhatiannya (Youn, 2000 dalam Mihic dan Kursan, 2010). Pengaruh situasional merupakan kondisi sementara atau setting yang terjadi pada lingkungan pada lingkungan dan tempat yang spesifik (Assael: 2004, 122). Belk mengidentifikasi lima karakteristik pembelian dan konsumsi situasional yang mempengaruhi pembelian konsumen yaitu (Belk dalam Sutisna, 2001: 159): (1) Lingkungan fisik (Physical Surrounding) yaitu aspek-aspek lingkungan fisik dan ruang yang nyata yang mencangkup aktivitas konsumen seperti warna, suara, cahaya, cuaca dan pengaturan ruangan. (2) Lingkungan sosial (Social Surrounding) yaitu pengaruh orang lain terhadap aktivitas konsumen, individu yang hadir selama proses konsumsi, yang meliputi faktor-faktor seperti: kehadiran orang lain, karakteristik orang-orang yang hadir pada situasi tersebut, peranan nyata orang-orang yang hadir, dan interaksi interpersonal (3) Definisi tugas (Task Definition) yaitu alasan kebutuhan konsumen untuk membeli atau mengkonsumsi barang atau jasa. Dengan kata lain dapat
17
juga dikatakan bahwa hal ini merupakan maksud atau prasyarat untuk memilih, berbelanja atau mendapatkan informasi mengenai pembelian umum atau spesifik. (4) Waktu (Time) adalah situasi yang dapat dispesifikasikan kedalam unit waktu dari situasi, misal kejadian tertentu ketika perilaku pembelian terjadi (hari, bulan, musim). Waktu juga dapat diukur secara relatif pada kejadian di masa lalu atau di masa mendatang, misal waktu ketika pembelian terakhir (5) Pernyataan anteseden (Antecendent state) merupakan perasaan (mood) sementara, seperti rasa cemas atau gembira atau kondisi yang dibawa konsumen ke dalam situasi, seperti kondisi pada saat memegang uang tunai. Keterbatasan pilihan konsumen dalam pengambilan keputusan untuk pembelian dan pengkonsumsian suatu produk akan dipengaruhi oleh faktor-faktor situasi. Beberapa tipe situasi yang mempengaruhi keputusan konsumen menurut Assael (2004, 122) dibedakan dalam 3 jenis yaitu: (1) Situasi konsumsi merupakan salah satu situasi yang mana konsumen menggunakan merek atau kelompok produk tertentu. Pemasar harus mengidentifikasikan situasi konsumsi yang relevan terhadap kategori produk (2) Situasi pembelian merupakan situasi yang mempengaruhi keputusan konsumen. Situasi ini dapat dipengaruhi oleh strategi pemasaran dengan mendesain lingkungan di dalam toko. Situasi ini dibagi menjadi tiga
18
bagian, yaitu: pertama, situasi di lingkungan toko berkaitan dengan tata letak barang di rak, suasana ramai di dalam toko, ketersediaan produk, perubahan harga, dan pelayanan pramuniaga. Kedua, situasi pembelian yang berkaitan dengan tujuan. Situasi ini menyangkut tujuan konsumen dalam berbelanja barang-barang yang akan dikonsumsi, misal konsumen membeli barang untuk hadiah atau dirinya sendiri, berbelanja bersama keluarga dan teman atau berbelanja sendiri. Ketiga, situasi pembelian berkaitan dengan mood, misal perasaan gembira atau sedih. Situasi ini sulit diantisipasi oleh pemasar. (3) Situasi
komunikasi
merupakan
setting
dimana
konsumen
tidak
menyembunyikan informasi terhadap orang lain. Situasi ini berkaitan dengan perspektif waktu, ditunjukkan oleh aktivitas yang dilakukan oleh konsumen. Situasi ini dapat terjadi dari orang ke orang atau impersonal misalnya dari iklan atau informasi di dalam toko. Situasi merupakan keseluruhan faktor pada suatu waktu dan tempat tertentu dari pengamatan yang tidak berasal dari pengetahuan personal (intraindividu) dan atribut rangsangan (pilihan alternatif), serta mempunyai pengaruh yang terlihat dan sistematis terhadap perilaku saat ini.
2.3 Materialisme Salah satu komponen konsep diri yang penting adalah hubungan seseorang dengan dunia material. Peneliti melihat perbedaan individu berkaitan dengan bagaimana konsumen menilai kepemilikan mereka. Tendensi untuk mencapai
19
kebahagiaan melalui kepemilikan benda tertentu disebut materialisme (Mowen dan Minor, 2002: 280). Para peneliti menemukkan ciri orang yang dapat di kategorikan materialistik yaitu: (1) Orang yang mengutamakan menghargai dan memamerkan kepemilikan, (2) umumnya mereka egois dan terpusat pada diri sendiri, (3) mereka mencari gaya hidup yang penuh dengan kepemilikan, contohnya: mereka menginginkan untuk mempunyai tidak hanya ”sesuatu”, tetapi lebih dari sebuah gaya hidup yang biasa dan sederhana, (4) yang mereka miliki sekarang tidak dapat memberikan kepuasan yaitu seseorang yang selalu mengharapkan kepemilikan yang lebih tinggi agar mendapatkan kebahagian yang lebih besar (Schiffman dan Kanuk, 2007: 129). Konsumen dengan nilai materialistik yang tinggi sangat didorong untuk mengkonsumsi lebih banyak dari konsumen lainnya (Wong, 1997 dalam Phau, 2009). Dalam kamus bahasa Inggris Oxford, materialisme didefinisikan sebagai sebuah pengabdian untuk keinginan dan kebutuhan material dan mengabaikan hal-hal rohani, sebuah cara hidup, pendapat, atau kecenderungan didasarkan sepenuhnya pada kepentingan materi. Beragam definisi materialisme yang dikemukakan oleh beberapa peneliti seperti pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Definisi Materialisme menurut Beberapa Peneliti No
1
Definisi Materialisme Bagaimana konsumen memberikan perhatian pada kepemilikan duniawi yang dianggap sebagai hal penting dalam kehidupan
Sumber
Mowen dan Minor, 2002: 280
20
Orientasi yang menganggap barangbarang materi dan uang sebagai hal yang penting untuk kebahagiaan baik secara pribadi maupun sosial
Ward dan Wackman, 1971 dalam Yang, 2006
Materi dianggap sebagai nilai kehidupan yang penting
Richins dan Dawson 1992, Kasser dan Ryan 1993; Mick 1996 dalam Choi, dkk., 2007
4
Materi merupakan sumber kepuasan dan ketidakpuasan
Belk, 1984; Mowen dan Minor, 2002: 280 dalam Hung, dkk., 2007
5
Seorang konsumen menempatkan kepemilikan duniawi untuk mencapai kebahagiaan dalam hidup sehingga kepemilikan duniawi sebagi sebuah tujuan hidup
Belk (1985) dalam Sangkhawasi dan Johri (2007)
2
3
6
Seperangkat keyakinan yang terpusat akan pentingnya harta dalam hidup seseorang Materialisme mengacu pada
Richins dan Dawson 1992 dalam Xu, 2008 orientasi
konsumsi
berbasis
pencapaian kebahagiaan (Inglehart, 1981 dalam Hung, dkk, 2007). Pada suatu kondisi, harta diasumsikan menjadi posisi sentral dalam kehidupan seorang,
dan
merupakan
sumber
kepuasan
dan
ketidakpuasan
(Belk, 1984 dalam Hung, dkk, 2007). Menurut Richin dan Dawson (1994 dalam Schiffman dan Kanuk, 2007:192), materialisme dibagi menjadi tiga dimensi yaitu: Dimensi pentingnya harta dalam hidup seseorang (acquisition centrallity) bertujuan untuk mengukur derajat keyakinan seseorang yang menganggap bahwa harta dan kepemilikan sangat penting dalam kehidupan seseorang. Dimensi kepemilikian merupakan ukuran kesuksesan hidup (possession defined success) untuk mengukur keyakinan seseorang tentang kesuksesan berdasarkan pada
21
jumlah dan kualitas kepemilikanya, sedangkan dimensi kepemilikan dan harta benda merupakan sumber kebahagian (acquisition as the pursuit of happiness) untuk mengukur keyakinan apakah seseorang memandang kepemilikan dan harta merupakan hal yang penting untuk kesejahteraan dan kebahagiaan dalam hidup. Skala materialisme Richin dan Dawson ini telah diadopsi oleh beberapa peneliti sebelumnya seperti Wong (1997), Mick (1997), Evrardand Boff (1998), Burroughs dan Rindfleisch (2002), Shrum, Burroughs dan Rindfleisch (2003) dan telah diaplikasikan dibeberapa negara seperti Selandia Baru (Watson, 1998), Brazil, (Evard dan Boff, 1998), China (Eastman et al., 1997; Sirgy et al., 1998; Zhou, Xue, dan Zhou, 2002), Mexico (Eastman et al., 1997), Turkey, Canada, dan Australia (Sirgy et al., 1998). Materialisme secara positif berpengaruh terhadap perilaku pembelian kompulsif (Roberts, 2001; Dittmar, 2005 dalam Xu, 2008). Konsep nilai materialisme dan pembelian kompulsif
perlu dipelajari karena menimbulkan
berbagai konsekuensi negatif terhadap kesejahteraan psikologis (well-being) individu seperti: menurunnya tingkat kepuasan hidup (Richins dan Dawson, 1992 dalam Burroughs dan Rindfleisch, 2002), menurunnya tingkat kebahagiaan (Belk,1985 dalam Burroughs dalam Rindfleisch, 2002), serta meningkatnya tingkat depresi (Kasser dan Ryan, 1993 dalam Burroughs dan Rindfleisch, 2002). Berbagai konsekuensi negatif tersebut tentunya tidak berkesesuaian dengan tujuan awal dari individu dalam mengejar materi yakni sebagai cara untuk menunjukkan keberhasilan mereka dalam hidup, mencari kebahagiaan dan meraih apa yang disebut sebagai "good life". Materialisme juga dapat mempengaruhi perilaku
22
konsumsi konsumen, penggunaan kartu kredit dan berhutang. Seseorang dengan derajat materalisme yang tinggi akan diikuti pula oleh pengeluaran dan keinginan berhutang yang tinggi (Watson, 1998 dalam Yang, 2006) Beberapa penelitian sebelumnya menemukan bahwa seseorang yang materialistis cenderung untuk menjadi pembeli yang kompulsif (Dittmar, 1996; Mowen dan Spears, 1999;O’Guinn dan Faber, 1989; Yurchisin dan Johnson, 2004 dalam Johnson dan Attman, 2009). Sebagai tambahan, para peneliti juga menemukan bahwa seseorang yang materialis memiliki keterlibatan yang tinggi pada produk pakaian (Browne dan Kaldenberg, 1997; Yurchisin dan Johnson, 2004 dalam Johnson dan Attman, 2009). Oleh karenanya, sangatlah beralasan bahwa seseorang dengan nilai materialistik yang tinggi akan memiliki tingkat pembelian kompulsif pakaian yang tinggi. Konsumen dengan tendensi materialistik yang kuat akan menggunakan fashion untuk membuat suatu kesan, hal ini akan lebih mengarah pada keterlibatan yang lebih tinggi. Semakin seseorang menganggap suatu kepemilikan sebagai suatu yang berharga maka orang tersebut semakin materialistik, demikian juga sebaliknya (Browne dan Kaldenberg, 1997 dalam O’Cass, 2004).
2.4
Penggunaan Kartu Kredit Dewasa ini kartu kredit sudah menjadi media pembayaran lazim terutama
di kota-kota besar, bahkan pola hidup konsumtif mendorong orang untuk memiliki lebih dari satu kartu kredit dari pihak penerbit kartu kredit yang berbeda.
23
Kecenderungan pola hidup yang semakin konsumtif ini dibungkus rasa bangga apabila memiliki kartu kredit. Kartu kredit adalah alat pembayaran dengan menggunakan kartu (APMK) yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaraan atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, dalam hal ini termasuk transaksi pembelanjaan dan/ atau untuk melakukan penarikan tunai dimana kewajiban pemegang kartu kredit dipenuhi terlebih dahulu oleh aquiser atau pihak penerbit dan pemegang kartu kredit berkewajiban untuk melakukan pembayaran pada waktu yang disepakati (Santosa, 2009: 5) dan tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia 11/ 11 /PBI/2009 dalam http://www.bi.go.id). Kartu kredit merupakan salah satu alat pembayaran dengan cara kredit, dimana konsumen dapat berbelanja meskipun pada saat itu tidak mempunyai uang. Prinsipnya, konsumen berbelanja dengan cara utang. Lebih dari itu, konsumen diperkenankan membayar utang itu dengan mencicil sejumlah minimum tertentu dari total transaksi. Jumlah pembayaran minimum itu biasanya sebesar 10 sampai 20 persen dari saldo tagihan. Tetapi, konsekuensinya terhadap sisa kredit yang belum dilunasi akan dikenakan bunga yang besarnya tergantung pada penerbit kartu (issuer). Kepemilikan dan penggunaan kartu kredit menyebabkan peralihan penggunaan uang tunai bahkan kartu kredit menyebabkan peningkatan perilaku pembelian kompulsif (Roberts dan Jones, 2001). Menurut Park dan Burn (2004) penelitian mengenai kartu kredit relatif cukup sedikit, beberapa peneliti yang meneliti mengenai pengunaan kartu kredit misalnya Feinberg (1986), Pinto dan
24
Parente (2000); Roberts dan Jones (2001); Till dan Hand (2003). Peningkatan dramatis dari pemakaian kartu kredit oleh konsumen beberapa tahun belakangan ini telah mempercepat perubahan status konsumen menjadi masyarakat konsumtif. Hal ini berkaitan dengan strategi pemasaran dan pengembangan pasar yang agresif oleh perusahaan-perusahaan penerbit kartu kredit. Kenyamanan dalam menggunakan kartu kredit, meningkatkan jumlah pengguna kartu kredit untuk berbelanja. Kemudahan bertransaksi dengan menggunakan kartu kredit yang dapat memberikan keleluasaan secara finansial kepada konsumen dalam berbelanja memberikan kontribusi positif dalam meningkatkan perilaku belanja kompulsif. Konsumen menjadi lebih sering berbelanja dengan menggunakan fasilitas kartu kredit yang mereka miliki.