BAB II INDEPENDENSI OTORITAS JASA KEUANGAN DAN BANK INDONESIA DALAM MENGATUR DAN MENGAWASI SISTEM PERBANKAN
A. Hakikat Independensi Makna independen tidak sama dengan pengertian netral. Independen bukan berarti netral, demikian pula netral bukanlah sifat dari independen. Kedua kata ini sesungguhnya berbeda satu sama lainnya namun di samping itu terdapat persamaannya yakni dalam hal arti sama-sama menyatakan sifat. Sifat independensi harus berpihak kepada kepentingan rakyat. Sedangkan sifat netral tidak memihak sama sekali. Berangkat dari pertanyaan mengapa independensi harus berpihak kepada kepentingan rakyat? Pertanyaan ini akan mengarahkan pemikiran terhadap teori konstitusi dan teori negara hukum versi negara kesejahteraan (walfare state) yang digunakan pada umumnya di negara-negara yang sedang berkembang khususnya negara-negara yang menganut sistim demokrasi. Pertanyaan di atas terkait dengan amanah dari beberapa undang-undang yang mengamanatkan independen kepada lembaga-lembaga pengawas seperti di bawah ini: 1. Independensi Bank Indonesia; 73 2. Independensi Otoritas Jasa Keuangan; 74 3. Independensi Lembaga Penjamin Simpanan; 75 73
Pasal 4 ayat 2 UU No.23 Tahun 1999 sebagaimana diubah melalui UU No.3 Tahun 2004 kemudian diubah melalui UU No.6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia. 74 Pasal 1 ayat 1 UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Universitas Sumatera Utara
4. Independensi Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi; 76 5. Independensi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan 77, dan lainlain. Amanat undang-undang kepada lembaga-lembaga tersebut untuk membentuk lembaga yang bersifat independen dapat dikaji berdasarkan teori konstitusi yang dihubungkan dengan stufenbau theory dari Hans Kelsen yang mengajarkan kemurnian perundang-undangan dalam konsep hukum positif. Hans Kelsen memurnikan perundang-undangan dalam teorinya Pure Theory of Law yang membatasi dengan jelas objek kognisinya. Hans Kelsen membatasi kemurnian perundang-undangan dengan disebutnya bahwa “Hukum adalah sebuah fenomena sosial, bisa diamati di dalam masyarakat, dan masyarakat sebagai objek penyelidikan sangat berbeda dari alam, karena masyarakat terdiri dari sebuah jaringan elemen yang sangat berbeda”. 78 Walaupun menurutnya ilmu hukum harus dibedakan dari alam setajam mungkin, namun kajiannya juga mengatakan hukum adalah sebuah fenomena sosial yang sesungguhnya gejala sosial itu tidak lain juga merupakan gejala alam. Gejala sosial yang diselidiki akan dibuat atau dibentuk ke dalam sebuah norma dasar yang tertinggi yaitu grundnorm atau disebut sebagai konstitusi yang jika
75 76
Pasal 2 ayat 3 UU No.24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Pasal Pasal 3 UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. 77
Pasal 1 angka 2 UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 78 Hans Kelsen, Pengantar Teori Hukum, diterjemahkan oleh Siwi Purwandari, (Bandung: Nusa Media, 2010), hal. 38.
Universitas Sumatera Utara
di Indonesia konstitusi itu seolah-olah dipersamakan dengan UUD 1945. 79 Benar atau tidak norma dasar yang dibentuk ke dalam UUD 1945 diambil atau digali dari gejalagejala sosial diserahkan kepada kemauan pembentuk norma atau pembentuk kebijakan. M. Solly Lubis, mengatakan dalam politik hukum sebagai abstraksi nilai merupakan politik hukum strategis untuk membentuk norma dasar. 80 Pembentuk norma dasar atau pada waktu the founding fahters membentuk UUD 1945 atau setiap kali dilakukan amandemen terhadap UUD 1945 tidak akan menghasilkan nilai yang berarti jika pembentuk norma tidak dibarengi dengan paradigma berfikir strategis berdasarkan kebijaksanaan (wisdom) dan kebijakan (policy). 81 Norma yang dibentuk dalam UUD 1945 menyangkut masalah keberpihakan independensi itu yang dapat dilihat pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menentukan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Berarti kedulatan dapat diartikan sebagai keputusan dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat.
79
Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 28 dan hal. 64-65. Istilah konstitusi berasal dari kata kerja constituer dalam Bahasa Perancis yang artinya membentuk kemudian konstitusi diartikan sebagai pembentukan. Dalam hal ini yang dibentuk adalah suatu negara maka konstitusi mengandung permulaan dari segala macam pokok mengenai sendi-sendi pertama untuk menegakkan bangunan dasar yang bernama negara. Istilah konstitusi sebenarnya tidak bisa digunakan untuk menunjukkan kepada satu pengertian saja, dalam praktik istilah konstitusi sering digunakan dalam beberapa pengertian. Negara Indonesia menggunakan istilah UUD demikian juga di Belanda menggunakan istilah Groundwet (UUD) atau constitutie. 80 M. Solly Lubis, “Politik Hukum”, Modul Perkuliahan Politik Hukum, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2006, hal. 7. Disebutnya dalam modul, abstraksi nilai tersebut akan dilaksanakan melalui derivasi nilai. 81 Ibid., hal. 7 dan hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
Abstraksi nilai sesungguhnya diambil, dicari, digali, diteliti, dianalisis, dalam naskah akademis (rancangan) untuk dapat atau tidak dapat dijadikan sebagai norma dasar. Gejala-gejala sosial tersebut tidak akan menjadi sebuah nilai dalam konsep hukum positif jika tidak diabstraksikan (dinormatifkan) ke dalam konstitusi atau UUD 1945. Berdasarkan stufenbau theory dari Hans Kelsen yang menempatkan konstitusi sebagai norma dasar (grundnorm atau basic norm) 82 tersebut dapat dipahami bahwa norma di dalam UUD 1945 sekaligus sebagai konstitusi mengandung sifat independen yakni menjamin kedaulatan berada di tangan rakyat. Hal ini berarti lembaga independen diakui kedudukannya secara konstitusional. Namun tidak cukup hanya sekedar menjamin adanya kedaulatan di tangan rakyat, tetapi kedaulatan rakyat itu harus diutamakan pada tahap implementatifnya. Paradigma berfikir selanjutnya pada teori negara hukum versi negara kesejahteraan (walfare state) yang digunakan pada umumnya di negara-negara yang sedang berkembang khususnya negara-negara yang menganut sistim demokrasi. Salah satu negara yang menjalankan teori kesejahteraan itu adalah negara Indonesia. Sejenak pemikiran diarahkan pada teori munculnya negara. Teori-teori yang ada akan berujung pada kebenaran yang abstrak, walaupun sesungguhnya tidak benar namun setidaknya kebenaran itu dapat dimengerti dan dipahami.
82
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legispridence), (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 63.
Universitas Sumatera Utara
Teori tentang negara yang mula-mula berkembang di benua Eropa adalah teori negara penjaga malam (nachtwachterstaats). Konsep dari teori negara penjaga malam didasarkan pada fungsi yang harus dijalankan oleh negara (penguasa) untuk menjaga ketertiban dan ketenteraman. Tugas utama negara adalah memeliharan ketertiban dan ketenteraman sedangkan urusan ekonomi dan kesejahteraan rakayt dianggap sebagai urusan masing-masing individu. Peran negara demikian dijalankan oleh negara agar masing-masing individu dapat melakukan aktivitasnya dengan aman dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Benar-benar dipisahkan antara tugas negara dan tugas rakyatnya. 83 Kemudian berkembang teori negara hukum formal atau teori negara hukum berdimensi kepastian hukum. Konsepnya tetap mempertahankan konsep negara penjaga malam tetapi dilengkapi dengan unsur lain yaitu campur tangan pemerintah secara terbatas dalam kehidupan individu dianggap perlu dalam rangka pemerataan pendapatan ekonomi, paling tidak kesejahteraan rakyat dapat diselenggarakan. 84 Kemudian muncul pula teori negara hukum materil atau negara hukum berdimensi pelayanan publik. Konsep negara dalam teori ini meninggalkan teori negara penjaga malam 85 dan memfokuskan konsepnya pada pelayanan publik yang
83
Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, (Jakarta: Erlangga, 2010), hal. 26. Lihat juga: E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Jakarta: Ichtiar, 1961), hal. 21. Teori negara penjaga malam (nachtwachterstaats) tumbuh dan berkembang di abad XVIII hingga pertengahan abad XIX yang terlalu menerjemahkan negara hanya bertindak sebagai penjaga malam atau negara hukum dalam arti sempit (rechtstaat in engere zin). 84 Hotma P. Sibuea, Ibid, hal. 29. 85 Miriam Budiardjo, Masalah Kenegaraan, (Jakarta: Gramedia, 1980) hal. 74. Teori welfare state menentang keras konsep nachtwachterstaats, yaitu pemerintah dalam arti luas diwajibkan
Universitas Sumatera Utara
maksimal baik dari sisi politis, sosial, budaya, dan ekonomi sehingga konsep yang dimilikinya sangat kompleks dan campur-campur. 86 Teori ini sesungguhnya mirip dengan teori negara hukum versi negara kesejahteraan (walfare state). Negara berfungsi menyelenggarakan kesejahateraan umum (welvaarsstaat atau verzorgingsstaat) sekaligus merupakan konsepsi negara hukum modern, menempatkan peranan negara pada posisi yang kuat dan besar. Tugas dan wewenang serta tanggung jawab pemerintah semakin berkembang dan bertambah luas baik secara kuantitatif maupun kualitatif. 87 Independensi
sesungguhnya
akan
berbeda-beda
legalitasnya
maupun
implementasinya bergantung pada teori apa yang dianut negara. Independensi akan berpihak kepada rakyat secara utuh jika diterapkan dengan konsep negara penjaga malam, tetapi independensi akan dibatasi jika diterapkan dengan konsep negara hukum formal (berdimensi kepastian hukum) atau negara hukum materil (negara kesejahteraan). Bagaimana kedaulatan rakyat itu dapat dijalankan oleh negara? Kedaulatan rakyat cenderung akan terasa sulit dijalankan dengan konsep negara hukum versi negara kesejahteraan (walfare state). Norma dasar juga menganut konsep walfare state yang terdapat dalam pembukaan alinea keempat UUD 1945, menentukan, “Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah dara Indonesia, bertanggung jawab penuh untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar sosial dan ekonomi dari setiap warga negara agar mencapai suatu standar hidup yang sejahtera atau setidak-tidaknya mencapai standar hidup yang minimal 86 Hotma P. Sibuea, Op. cit., hal. 37. 87 S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Cetakan Pertama, (Yogyakarta: Liberty, 1997), hal. 166-167.
Universitas Sumatera Utara
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta mewujudkan keadilan sosial …”. Tetapi pelaksanaan kedaulatan rakyat akan dibatasi oleh karena norma dasar juga mengatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menentukan, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Norma yang terkandung di sini membatasi kedaulatan rakyat dengan melegalisasi unsur pemerintah ke dalam lembaga independen yang diatur dalam berbagai undang-undang misalnya dalam UU OJK Kemenkeu sebagai koordinasi FKSSK. Karakteristik pengaturan lembaga independen dapat dilihat dari berbagai undang-undang yang ada (UU BI, UU OJK, UU LPS, UU KPK, UU PPTPPU), karakteristik itu diantaranya (dijelaskan selanjutnya pada sub bab B): 1. Pengaturan lembaga independen dibatasi oleh negara yang berarti tidak bersifat independen murni sebagaimana pada konsep negara penjaga malam. 2. Masuknya unsur pemerintah ke dalam forum lembaga independen. 3. Pengaturan lembaga pelaporan dan akuntabilitas dari lembaga independen dalam UU BI, UU OJK, UU LPS, UU KPK, UU PPTPPU, berbeda-beda dilaksanakan laporan lembaga independen tersebut, ada yang diatur bertanggung jawab kepada Presiden, kepada BPK, kepada DPR, dan kepada masyarakat luas.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Jimly Asshiddiqie welfare state dalam perundang-undangan untuk pertama kali dikenal dengan istilah “negara pengurus”. 88 Negara pengurus dalam konsep negara kesejahteraan berarti terdapat tanggung jawab negara untuk mengembangkan kebijakan (policy) negara di berbagai bidang kesejahteraan sebagai wujud pelaksanaan fungsi pelayanan umum (public service) melalui penyediaan intervensi-intervensi pemerintah. Karakter negara kesejahteraan (walfare state) menempatkan lembaga yang bertugas mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kedudukan unsur pemerintah tidak harus selalu dipandang bertentangan secara diametral dengan kedudukan rakyat seperti dalam negara hukum liberal dan negara hukum formal. Pandangan negara kesejahteraan terhadap pemerintah jauh lebih bersahabat daripada negara hukum formal. Pemerintah tidak dianggap sebagai lawan melainkan sebagai rekan kerja dalam mencapai tujuan kesejahteraan umum. 89 Namun kewenangan bertindak (disekresi) lembaga-lembaga pemerintah atas inisiatif sendiri dalam negara kesejahteraan menunjukkan suatu proses perubahan pola pikir tujuan negara hukum negara kesejahteraan, di mana tujuan utama negara hukum kesejahteraan adalah kemanfaatan (doelmatig) sedangkan tujuan negara
88
Jimly Asshiddiqie dalam Lintong O. Siahaan, Prospek PTUN Sebagai Penyelesaian Sengketa Admnistrasi di Indonesia, Cetakan Pertama, (Jakarta: Perum Percetakan Negara Republik Indonesia, 2005), hal. 18. 89 Hotma P. Sibuea, Op. cit., hal. 41.
Universitas Sumatera Utara
hukum formal adalah kepastian hukum (rechtmatig) yang berdasarkan asas legalitas. 90 Uraian di atas menunjukkan hakikat independensi yang sesungguhnya merupakan abstraksi dari nilai-nilai yang digali dari perkembangan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat suatu bangsa. Kemudian nilai-nilai tersebut dimurnikan (dibebaskan dari alam) sesuai dengan Pure Theory of Law dari Hans Kelsen untuk dibuat aturan hukumnya dalam bentuk perundang-undangan. Nilai-nilai tersebut adalah kedaulatan rakyat dalam pembentukan kebijakasanaan (wisdom) dan kebijakan (policy) bukan semata-mata karena kehendak penguasa atau pemerintah. Anehnya pengaturan lembaga yang independen di Indonesia tidak menunjukkan hakikat independensi yang sesungguhnya sebab lembaga independen yang diatur dalam undang-undang tertentu dikarenakan teori yang digunakan negara Indonesia adalah negara hukum materil atau negara hukum berdimensi pelayanan publik. Sehingga untuk melayani rakyatnya, pemerintah turut serta dalam menentukan kebijakasanaan (wisdom) dan kebijakan (policy) yang berorientasi pada kepentingan pemerintah dalam berbagai bidang khususnya dalam kegiatan ekonomi tidak diserahkan sepenuhnya kepada rakyat melainkan dilibatkannya partisipasi pemerintah. Seperti yang terdapat dalam pengaturan lembaga independen di dalam UU OJK yang melibatkan peran serta Kemenkeu (Koordinator FKSSK) sebagai wakilnya Pemerintah Republik Indonesia.
90
Ibid., hal. 68.
Universitas Sumatera Utara
B. Independensi Bank Indonesia UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia mengamanatkan kepada Bank Indonesia berkedudukan sebagai lembaga independen. Amanat tersebut tampak pada bagian konsideran huruf d undang-undang ini, lembaga Bank Sentral yang independen dalam konsideran tersebut bertujuan untuk menjamin keberhasilan dalam memelihara stabilitas nilai rupiah. Selanjutnya perintah undang-undang yang mengamanatkan Bank Indonesia sebagai lembaga independen dengan tegas ditentukan pada Pasal 4 ayat (2) UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Secara yuridis pembuat UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menetapkan sebagai lembaga independen di Pasal 4 undang-undang ini merupakan norma status (kedudukan). Sebagaimana telah dijelaskan pada sub bab sebelum ini bahwa independen sesungguhnya bukan menunjukkan status maupun kedudukan tetapi independen sesungguhnya lebih mengarah pada pengertian sifat. Perubahan dari sifat menjadi norma status (kedudukan) diukur dari pandangan hukum positivistik. Umumnya semua undang-undang yang mengatur lembaga independen, menempatkannya sebagai norma status (kedudukan) bukan sebagai sifat. Esensi hukum dalam pandangan positivistik sebenarnya ingin melihat persoalan hukum yang ada (is) dan hukum yang seharusnya (ought). Hukum yang seharusnya (ought) mengacu pada apa yang mungkin terjadi sebagai suatu kemungkinan (probabilitas) fisik. Analisis ini melibatkan pengkonsentrasian pada kajian undang-
Universitas Sumatera Utara
undang sebagai keberadaannya (as it is) yakni undang-undang yang diberlakukan oleh negara. 91 Pengaturan lembaga independen dalam Pasal 4 ayat (2) UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia tersebut adalah, “Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-undang ini”. Perintah undang-undang dengan tegas menyatakan “….bebas dari campur tangan Pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya…” yang berarti pengaturan secara legalitas formil mengenai independensi Bank Indonesia tidak bisa ditafsirkan lain sebab telah dibatasi secara limitatif. Bismar Nasution mengatakan, ”Independensi tidak berarti bank sentral bebas menjalankan kebijakan moneter yang mereka inginkan”. 92 Independen sering terkait dengan prinsip politik yang dianut suatu pemerintah, secara historical maupun tradisional, terutama terletak pada masalah keuangan pemerintah. 93 Ketrekaitan itu dapat dilihat dari sisi pengaturan normanya maupun dari sisi teori maupun konsep negara hukum yang dianut suatu negara. Misalnya di negara liberal (Amerika Serikat) memberikan status independen kepada Federal Reserve (FDR ) atau Bank Sentral Amerika terutama untuk tujuan agar FDR
91
Achmad Ali, Op. cit., hal. 63. Bismar Nasution, “Implementasi Pasal 34 Undang-Undang Tentang Bank Indonesia dan Dampaknya Pada Peranan dan Fungsi Bank Indonesia Di Bidang Moneter, Sistem Pembayaran dan Stabilitas Keuangan”, Artikel yang ditulis di dalam Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 8, Nomor 3, September 2010, hal. 12. 93 Nindyo Pramono, “Implikasi Landasan Hukum Independensi dan Posisi Dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian Tujuan dan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral RI”, Artikel yang ditulis di dalam Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 8, Nomor 3, September 2010, hal. 2. 92
Universitas Sumatera Utara
itu sendiri untuk mengatur kebijakan moneter Amerika Serikat secara bebas dari political presures. 94 Sedangkan pengaturannya di Indonesia dibatasi. Pembatasan independensi Bank Indonesia tampak secara eksplisit norma yang terkandung di dalam Bab VII mengenai hubungannya dengan pemerintah. Misalnya norma yang terkandung dalam Pasal 52 dan Pasal 53 UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Pasal 52 UU BI menentukan, “Bank Indonesia bertindak sebagai pemegang kas Pemerintah”. Berarti sebagai lembaga pemegang kas pemerintah, Bank Indonesia masih merupakan bagian dari eksekutif. 95 Bahkan Pasal 53 UU BI, menentukan “Bank Indonesia untuk dan atas nama Pemerintah dapat menerima pinjaman luar negeri, menatausahakan, serta menyelesaikan tagihan dan kewajiban keuangan Pemerintah terhadap pihak luar negeri”. Berdasarkan ketentuan ini, hubungan Bank Indonesia dengan pemerintah tidak ubahnya hubungan antara ketua dan bendahara dalam sebuah organisasi. Tidak mungkin pemerintah tidak bisa mengintervensi kebijakan Bank Indonesia jika pinjaman luar negeri untuk dan atas nama pemerintah itu sendiri, tetapi setidaknya intervensi itu dipastikan ada. Penutup artikel Nindyo Pramono di dalam Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, mengatakan: 96 Dengan mendasarkan pada UUBI sebagaimana beberapa kaedahnya telah di bahas dalam uraian di atas, implikasi terhadap independensi dan posisi dalam sistem ketatanegaraan bagi pencapaian tujuan dan pelaksanaan tugas BI 94
Ibid. Ibid., hal. 1. 96 Ibid., hal. 8. Kualifikasi akademis penulis adalah: Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH, LLM. 95
Universitas Sumatera Utara
sebagai Bank Sentral RI, ternyata masih menyisakan perbedaan pemahaman diantara sebagian kalangan pemerhati BI sebagai Lembaga Negara yang independen. Secara kaedah pengaturan independensi BI sebagai Bank Sentral sebenarnya sudah cukup tegas, sebagaimana dapat dilihat pada ketentuan Pasal 8 UU BI. Namun demikian kenyataan menunjukkan bahwa independensi tersebut masih sering tidak dapat diimplementasikan secara benar di dalam praktek karena adanya intervensi baik dari Pemerintah maupun pressure politik. Pembatasan itu adalah bebas dari campur tangan pemerintah dan atau pihakpihak lain. Bebas dari campur tangan pemerintah dan atau pihak-pihak lain diperjelas dalam penjelasan Pasal 4 ayat (2) UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, dijelaskan bahwa Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang independen di bidang tugasnya berada di luar pemerintahan dan lembaga lain. Bebas dari campur tangan pemerintah dan atau pihak-pihak lain bukan berarti pemerintah dan atau pihak lain tersebut bebas mengintervensi kebijakan Bank Indonesia tetapi norma bebas diartikan berada di luar pemerintahan dan lembaga lain. Pembatasan itu ternyata diatur pengecualiannya dalam Pasal 4 ayat (2) UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, sehingga lembaga independen tersebut tidak murni dibebaskan dari unsur pemerintahan. Pengaturan tersebut tampak dari, “…kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini”. Setidaknya dapat dikatakan pengaturan pembatasan status (kedudukan) lembaga independen dalam UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, memiliki karakter: 1. Diatur secara legalitas di Pasal 4 ayat (2) UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;
Universitas Sumatera Utara
2. Tetapi pengaturannya dibatasi atau dikecualikan dari kemurnian sifat independen; 3. Pengaturannya dalam bentuk status (kedudukan) lembaga independen; dan 4. Pengaturan lembaga independen umumnya menyangkut aspek ekonomi. Berdasarkan karakter di atas, dapat dianalisis dari sudut pandang teori negara hukum materil atau negara kesejahteraan (walfare state) yang menghendaki masuknya unsur pemerintah dalam mengatur aspek ekonomi rakyat. Sehingga pembatasan atau pengecualian itu membuat Bank Indonesia tidak bisa menjalankan independensinya secara murni. Apalagi konsep yang digunakan negara hukum materil atau negara kesejahteraan (walfare state) menganut kebebasan bertindak (disekresi) dari lembaga-lembaga pemerintah yang ada atas inisiatif sendiri dalam rangka menuju tujuan negara kesejahteraan yaitu kemanfaatan (doelmatig) dengan dengan menganut asas legalitas untuk membenarkan tindakan diskresi itu. 97 Mengenai pengaturan tentang lembaga pelaporan dan akuntabilitas atau pertanggungjawaban dari lembaga independen. Sebagaimana telah disinggung di atas, secara umum karakteristik pengaturan norma pelaporan dan akuntabilitas lembaga independen di dalam UU BI, UU OJK, UU LPS, UU KPK, dan UU PPTPPU, berbeda-beda diantaranya laporan pertanggungjawaban lembaga independen ada yang diatur bertanggung jawab kepada Presiden, kepada BPK, kepada DPR, dan ada pula yang diumumkan kepada masyarakat luas.
97
Hotma P. Sibuea, Op. cit., hal. 68.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai bahan perbandingan untuk itu dapat dilihat pengaturan lembaga independen di dalam UU BI, UU LPS, UU KPK, dan UU PPTPPU. Pengaturan pelaporan dan akuntabilitas lembaga independen di Pasal 58 UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia: 1. Bank Indonesia wajib menyampaikan informasi kepada masyarakat secara terbuka melalui media massa pada setiap awal tahun anggaran yang memuat: a. Evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan moneter pada tahun sebelumnya; b. Rencana kebijakan moneter dan penetapan sasaran-sasaran moneter untuk tahun yang akan datang dengan mempertimbangkan sasaran laju inflasi serta perkembangan kondisi ekonomi dan keuangan. 2. Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan juga secara tertulis kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. 3. Bank Indonesia wajib menyampaikan laporan perkembangan pelaksanaan tugas dan wewenangnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat setiap 3 (tiga) bulan. 4. Dengan tidak mengurangi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia wajib menyampaikan penjelasan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenangnya apabila diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Kemudian Pasal 61 ayat (2) UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, menentukan, “Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selesai disusun, Bank Indonesia wajib menyampaikan laporan tersebut kepada Badan Pemeriksa Keuangan untuk dimulai pemeriksaan”. Pengaturan norma pelaporan dan akuntabilitas dari lembaga independen menurut amanat Pasal 58 dan Pasal 61 UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia di atas, harus melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada: 1. Masyarakat secara terbuka melalui media massa pada setiap awal tahun anggaran; 2. Presiden; dan
Universitas Sumatera Utara
3. Dewan Perwakilan Rakyat. 4. Badan Pemeriksa Keuangan. Pengaturan pelaporan dan akuntabilitas lembaga independen di Pasal 87 UU No.24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan ( UU LPS) menentukan: “Dewan Komisioner menyampaikan Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan yang telah disetujui, serta evaluasi pelaksanaan anggaran tahun berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1) dan ayat (2) kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat”. Kemudian di Pasal 88 UU LPS, ditetapkan: 1. LPS wajib menyusun laporan tahunan untuk setiap tahun yang berakhir pada tanggal 31 Desember. 2. Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari laporan kegiatan kerja dan laporan keuangan. 3. Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. 4. Hasil audit laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret tahun berikutnya. 5. Bentuk dan susunan laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Dewan Komisioner. Pengaturan norma pelaporan dan akuntabailitas kinerja lembaga independen menurut amanat Pasal 87 UU LPS tersebut di atas, hanya dilaporkan kepada dua lembaga yaitu: Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Lembaga independen tidak diperintahkan untuk menyampaikan laporannya kepada BPK menurut Pasal 88 UU LPS BPK. Lembaga independen menurut Pasal 89 ayat (2) UU LPS hanya menyampaikan laporan keuangannya kepada masyarakat luas setelah dilakukan audit oleh BPK. Sehingga selain kepada Presiden dan DPR, lembaga independen (dalam
Universitas Sumatera Utara
hal ini LPS) juga menyampaikan laporan keuangan kepada masyarakat secara terbuka sekurang-kurangnya 2 (dua) surat kabar harian yang memiliki peredaran luas. Kemudian untuk lembaga independen (dalam hal ini KPK) yang menurut Pasal 15 ayat (2) UU No.30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), mengamanatkan kepada KPK untuk wajib, ”Menyusun laporan tahunan dan menyampaikannya kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan”. Terakhir adalah pengaturan norma pelaporan dan akuntabilitas lembaga independen (dalam hal ini PPATK) di Pasal 37 ayat (2) UU No.8 Tahun 2011 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PPTPPU), mengamanatkan kepada KPK untuk bertanggung jawab kepada Presiden. PPATK sebagai lembaga independen menurut Pasal 47 UU PPTPPU diperintahkan untuk membuat dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenangnya secara berkala setiap 6 (enam) bulan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. UU
PPTPPU
tidak
mengandung
norma
perintah
kepada
PPATK
untuk
menyampaikan laporan kinerjanya kepada BPK maupun kepada masyarakat secara terbuka. Pengaturan norma pelaporan dan akuntabilitas lembaga-lembaga independen yang diatur dalam UU BI, UU LPS, UU KPK, dan UU PPTPPU tampak bebeda-beda dalam menempatkan status lembaga independen. Teori sebelumnya yang diketahui bahwa independen secara filosofis mengandung pengertian sifat yang memihak kepada rakyat secara utuh, sedangkan secara yuridis norma pengaturan lembaga
Universitas Sumatera Utara
independen diatur dalam bentuk status (kedudukan) dan tetap memihak kepada rakyat tetapi pengaturannya dibatasi (dikecualikan) dalam konsep negara kesejahteraan (walfare state). Pengaturan norma pelaporan dan akuntabilitas lembaga independen Bank Indonesia dianalisis secara kualitatif yang didasarkan pada paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang ada sebelumnya. 98 Analisis secara kualitatif mengenai norma pengaturan lembaga independen khususnya lembaga independen Bank Indonesia di dalam UU BI sesungguhnya menganut model pengaturan lembaga independen yang dibatasi. Walaupun norma pengaturan lembaga independen bagi Bank Indonesia statusnya diakui dalam norma dasar UUD 1945 (konstitusi). 99 Bahkan dari sisi kelembagaan independensi Bank Indonesia, status dan kedudukan kelembagannya berbeda dalam sistim dan struktur ketatanegaraan Indonesia, di mana kedudukan Bank Indonesia tidak sejajar dengan Presiden, DPR, BPK, maupun MA yang merupakan Lembaga Tinggi Negara. 100 Namun sesungguhnya independensi Bank Indonesia dibatasi menurut UU BI. Pembatasan independensi itu akan semakin diperbesar setelah berlakunya UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK). UU OJK mengurangi 98
Bismar Nasution, ”Metode....” Op. cit., hal. 2. Bismar Nasution, “Implementasi Pasal 34 Undang-Undang....”, Op. cit., hal. 11. 100 Ec Abdul Mongid, “Bank Indonesia: Independensi, Pengawasan Bank dan Stabilitas Sistem Keuangan”, Artikel yang ditulis dalam Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 8, Nomor 3, September 2010, hal. hal. 23. 99
Universitas Sumatera Utara
kewenangan BI sehingga BI hanya berfungsi dari aspek moneter dan dikhawatirkan walaupun Bank Indonesia tetap menjalankan tugas dan wewenangnya yang ditentukan dalam UU BI tetapi independensinya tidak akan evektif dijalankan oleh Bank Indonesia setelah dimulainya rezim OJK. Kendatipun UU BI secara legalitas mengamanatkan kepada Bank Indonesia sebagai lembaga yang independen, tetapi akan menimbulkan persoalan yang mungkin akan timbul pada tahap implementatif adalah sejauh mana independensi itu akan diaktualisasikan untuk berpihak kepada rakyat. Sesungguhnya bergantung pada kemauan politik (political will) pemerintah dan moral hazar. Kewenangan diskresi lembaga-lembaga pemerintah dapat menimbulkan efek negatif terhadap lembagalembaga independen dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Setidaknya menurut Ec Abdul Mongid, diaturnya lembaga-lembaga independen dapat membatasi kewenangan diskresi. 101 Independensi secara legal saja tidak cukup, perlu ada kewenangan lain untuk mengatasi tekanan ataupun intervensi itu. Harus ada perangkat lain yang berfungsi mendukung peran independensi Bank Indonesia. Perangkat lain itu bukan dalam bentuk lembaga dan bukan pula sejenis OJK melainkan independensi yang dilaksanakan secara aktual. Secara legal independensi merupakan jaminan konsitusional tentang fungsi Bank Indonesia dalam hubungannya dengan pemerintah. Secara aktual, independensi dimaksudkan sebagai lembaga yang otonom dalam hubungannya dengan pemerintah. 101
Ibid., hal. 24.
Universitas Sumatera Utara
Cukierman, Kiguel and Liviatan menggunakan istilah yang serupa yaitu independensi de jure dan de facto. Independensi de jure merupakan independensi dari sisi legalitas dalam undang undang dan ini digunakan sebagai proksi (gambaran atau perkiraan) untuk independensi de facto. 102
C. Independensi Otoritas Jasa Keuangan Sebelum UU OJK diundangkan, ketika masih dalam proses RUU Bismar Nasution memprediksi (predictability) pada bagian penutup artikelnya di Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, mengatakan: 103 Amanat Pasal 34 UU BI bila dilaksanakan akan mengakibatkan tidak efektifnya Bank Indonesia dalam menciptakan stabilitas nilai rupiah sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 7 UU BI. Tujuan BI sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 7 tersebut, hanya dapat dilaksanakan secara efektif apabila Bank Indonesia berwenang menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi bank sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 8 UU BI. Beroperasinya lembaga OJK dikhawatirkan akan mengakibatkan tidak efektifnya Bank Indonesia menciptakan stabilitas nilai rupiah. Kekhawatiran itu juga telah diprediksi oleh Ec. Abdul Mongid yang sebelum UU OJK diundangkan, mengatakan: 104 Rencana pengalihan kewenangan dalam pengawasan bank menunjukan adanya upaya mengurangi kewenangan BI sehingga BI hanya berfungsi dari aspek moneter. Masalahnya adalah kalau kewenangan dalam mengawasi bank dicabut, maka secara otomatis kemampuan BI dalam menjalankan tugas 102
Ibid., hal. 6. Ibid., hal. 15. 104 Ibid., hal. 23. 103
Universitas Sumatera Utara
moneternya terganggu karena bank merupakan lembaga keuangan yang sangat dominan dalam transmisi kebijakan moneter. Menyikapi kedua pandangan di atas, salah satu masalah dalam kekhawatiran itu dapat ditinjau dari sisi penentuan status suatu lembaga. Status BI pada Pasal 4 ayat (2) UU BI menentukan lembaga ini independen, bebas dari campur tangan pemerintah dan pihak lainnya. Sementara status OJK yang ditentukan dalam Pasal 1 angka 1 jo Pasal 2 ayat (2) UU OJK hanya menentukan independen, bebas dari campur tangan pihak lain yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam UU OJK. UU OJK tidak menentukan bebas dari campur tangan pemerintah, melainkan hanya menentukan bebas dari campur tangan pihak lain seperti di atas. Norma secara yuridis sebenarnya sudah tampak dari pengertian independensi OJK tidak menentukan campur tangan pemerintah. Ketentuan ini sangat berbeda dengan independensi BI yang menentukan unsur pemerintah. Jika dianalisis Independensi OJK secara yuridis tampaknya sulit diwujudkan terutama menyangkut ketentuan Pasal 1 huruf i UU OJK yang menentukan seorang anggota Ex officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan. Unsur Ex officio Pasal 1 huruf i UU OJK ini sebenarnya merupakan unsur pemerintah atau sebagai wakil pemerintah. Masuknya unsur pemerintah tidak bisa dipastikan di dalam lembaga OJK tidak mungkin tidak ada campur tangan pemerintah. Unsur perwakilan pemerintah di dalam lembaga OJK akan membuat lembaga OJK tidak murni sebagai lembaga yang
Universitas Sumatera Utara
independen. Perbandingan masuknya unsur pemerintah kepada lembaga pengawasan jasa keuangan di berbagai negara diuraikan dalam Bab III Sub A Tesis ini. Norma selanjutnya mengenai bebas dari campur tangan pihak lain. Pihak lain yang dimaksud semua instansi DK OJK baik dari perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga keuangan lainnya. Semua instansi DK OJK tersebut mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam UU OJK. Tetapi unsur Ex Officio dari BI tidak menjadi persoalan dalam rangka melaksanakan independensi justru masuknya unsur Ex Officio dari BI untuk mempertahankan independensi BI sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU BI. Sulitnya mewujudkan independensi OJK tampak dari pengaturan yang menentukan unsur Ex Officio OJK karena konsekuensi unsur Ex Officio terdapat kecenderungan bahwa anggota DK OJK dari instansi tertentu terpengaruh oleh kebijakan instansinya. 105 Keberadaan Ex Officio dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan sektor jasa keuangan, tetapi setidaknya dengan unsur Ex Officio OJK khususnya dari Kemenkeu dapat memberikan campur tangan instansi asalnya di luar lembaga OJK itu sendiri.
105
Oka Mahendra, ”Beberapa Catatan Terhadap RUU Otoritas Jasa Keuangan”, Artikel dalam Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 8, Nomor 3, September 2010, hal. 40.
Universitas Sumatera Utara
Secara kelembagaan, OJK berada di luar Pemerintah, yang dimaknai bahwa OJK tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Dalam pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sektor perbankan tidak perlu memasukkan unsur Ex Officio OJK dari Kemenkeu karena bertentangan dengan hakikat independen yang sesungguhnya. Pencapaian tujuan lembaga publik mutlak diperlukan independensi, tetapi norma pengaturan independensi tidak menjadi ukuran keberhasilan dalam mencapai tujuan jika independensi digerakkan oleh unsur politis apalagi model pengaturan independensi OJK menyertakan unsur Ex Officio OJK dari Kemenkeu. Kepincangan independensi OJK juga tampak dari norma pengaturan pendanaan OJK yang bersumber dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Sebagaimana norma ini ditentukan dalam Pasal 34 ayat (2) UU OJK, berikut, “Anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan”. Dengan ketentuan ini OJK sebagai lembaga independen dalam memenuhi hidupnya seakan meminta kepada pihak lain yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Terkait dengan pengaturan pendanaan OJK yang bersumber dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan, Pengamat Ekonomi dari Unika Atmajaya, A. Prasetyantoko dan politisi Anggota Komisi XI DPR RI, M. Firdaus juga mengungkapkan pandangan yang sama bahwa pungutan seperti ini akan
Universitas Sumatera Utara
berdampak pada wibawa dan independensi OJK itu sendiri. 106 Jika anggaran OJK hanya bersumber dari APBN mungkin independensi tidak sulit untuk diterapkan, bagaimana mungkin OJK bisa independen jika ada pihak lain yang memberikan iuran kepada OJK. Dinilai pengenaan iuran dari pihak lain tersebut bisa melalaikan independensi OJK dalam melakukan fungsi dan tugasnya. OJK merumuskan jumlah iuran untuk Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, Asuransi Jiwa, Asuransi Umum, Reasuransi, Dana Pensiun Lembaga Keuangan, Dana Pensiun Pemberi Kerja, Lembaga Pembiayaan (Perusahaan Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, dan Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur serta Lembaga Jasa Keuangan lainnya). Sedangkan Lembaga Jasa Keuangan lainnya yaitu Pegadaian, Perusahaan Penjaminan, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, dan Perusahaan Pembiayaan Sekunder Perumahaan. Semuanya, akan dikenakan besaran sebesar 0,03% sampai dengan 0,06% dari aset yang dimiliki setelah diaudit untuk periode 2013-2015. Dampak dari pungutan iuran seperti ini kemungkinan perbankan nasional menurut Sigit Pramono justru semakin tidak efisien setelah di bawah naungan OJK. Sementara itu, Direktur Utama Bank Mandiri, Zulkifli Zaini menilai bahwa jumlah iuran OJK sebesar 0,03% hingga 0,06%, jalas sangat memberatkan industri perbankan. 107
106
http://www.infobanknews.com/2012/11/misteri-besaran-iuran-ojk-dan-pengaruhnyaterhadap-independensi/, diakses tanggal 27 Desember 2012. Artikel Ditulis Angga Bratadharma di Infobanknews.com, dengan judul “Misteri Besaran Iuran OJK dan Pengaruhnya Terhadap Independensi”. 107 http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/369488-perbanas-kritik-iuran-pengawasanperbankan-di-ojk, diakses tanggal 27 Desember 2012. Artikel ditulis oleh Antique dan Nina Rahayu
Universitas Sumatera Utara