UNIVERSITAS INDONESIA
INDEPENDENSI OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGAWASAN KEGIATAN DI SEKTOR JASA KEUANGAN
TESIS
FIRMAN KUSBIANTO 1106030864
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS HUKUM PROGRAM PASCASARJANA HUKUM EKONOMI JAKARTA JANUARI 2013
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
INDEPENDENSI OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGAWASAN KEGIATAN DI SEKTOR JASA KEUANGAN
TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum
FIRMAN KUSBIANTO 1106030864
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS HUKUM PROGRAM PASCASARJANA HUKUM EKONOMI JAKARTA JANUARI 2013 ii
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
iii
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
iv
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
v
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
ABSTRAK
Nama
: Firman Kusbianto
Program Studi
: Hukum Ekonomi
Judul
:
Independensi
Otoritas
Jasa
Keuangan
Dalam
Pengawasan Kegiatan Sektor Jasa Keuangan
Tesis ini membahas secara komprehensif aspek yang bersifat esensial yaitu independensi, yang dimiliki suatu otoritas yang berwenang penuh atas pengaturan dan pengawasan sektor finansial di Indonesia, yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Alasan pentingnya independensi tersebut adalah agar OJK dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dalam melakukan pengawasan di sektor jasa keuangan secara optimal dan efektif. Independensi diperlukan agar OJK dapat melindungi diri khususnya dari intervensi industri jasa keuangan yang diawasinya maupun dari campur tangan politik. Hal tersebut dimaksudkan agar setiap regulasi dan pengawasan yang dilakukan OJK benar-benar bersifat objektif, tanpa dipengaruhi intervensi dari pihak manapun dan untuk mencegah potensi benturan kepentingan antara para pelaku yang saling berinteraksi di sektor jasa finansial. Sifat independen tersebut harus diwujudkan karena concern dan tujuan utama pembentukan OJK sebagai lembaga/otoritas pengatur dan pengawas adalah menyangkut kepercayaan masyarakat bagi sektor finansial dan pencapaian tujuan stabilitas keuangan
Kata kunci: Otoritas Jasa Keuangan, Pengawasan, Sektor Jasa Keuangan, Independensi
vi Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
ABSTRACT
Name
: Firman Kusbianto
Study Program
: Economic Law
Title
: The Independence of ―Otoritas Jasa Keuangan‖ in Supervision Activities of The Financial Services Sector
This thesis addresses comprehensively an essential aspect, independence, of a fully competent authority overseeing the regulation and supervision of the financial sector in Indonesia, namely the Financial Services Authority (otoritas jasa keuangan / OJK). The underlying reason of the importance of OJK‘s independence is for OJK to perform their duties and functions in supervising the financial services sector in Indonesia in the best possible and most effective manner. This element of independence is imperative for OJK to shield itself from third party intervention operating in the financial services industry to which it supervises, as well as from political interference. It is intended that every regulation issued and supervision carried out by OJK are truly objective, independent of intervention from any third party, and to prevent potential conflicts of interest between the actors that interact in the financial services sector. Such element of independence must be maintained to address the main concern and objective of OJK‘s establishment, as the regulatory and supervisory authority, which revolves around the public confidence in the financial sector and the achievement of financial stability.
Keywords : independence, Supervision, Financial Sector, Financial Service Authority
vii Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Hukum Jurusan Hukum Ekonomi pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:
1) Bapak Dr. Zulkarnain Sitompul, S.H., LL.M. selaku dosen pembimbing tesis yang telah memberikan masukkan, sehingga penulisan tesis ini selesai; 2) Ibu Prof. Dr.Rosa Agustina, S.H., M.H. dan Dr. Tri Hayati SH, MH selaku dosen penguji dalam sidang akhir penulis; 3) Seluruh dosen pengajar pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang telah mencurahkan ilmunya kepada penulis; 4) Seluruh
Staf
Sekretariat
Program
Pascasarjana
Fakultas
Hukum
Universitas Indonesia yang telah memberikan bantuannya kepada penulis baik selama masa kuliah maupun dalam penulisan tesis ini; 5) Orangtua tercinta, Bapak Didit Kusherman, S.H., M.M. dan Ibu Jetty Likur, S.E. yang tiada lelah selalu menginspirasi dan memberi semangat kepada penulis; 6) Saudara kandung dari penulis, Aditya Ikhsan dan Irfandi Budiman yang menemani penulis setiap saat dalam suka dan duka; 7) Rekan kerja penulis dari Kantor Hukum Irianto Subiakto & Partners, dan kepada Pak Irianto Subiakto, S.H., LL.M. yang telah memberikan izin dalam hari-hari kerja dan mendukung penulis menyelesaikan tesis; 8) Teman-teman dari Angkatan 2011 Hukum Ekonomi Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas yang menemani hari-hari penulis berkuliah di kampus salemba; viii Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
9) Sahabat-sahabat penulis dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia Program Sarjana Angkatan 2006, yang tiada henti membuat penulis tetap riang dan gembira dengan segala canda dan tawa dalam momen-momen persahabatan; 10) Alexis (ale), sahabat yang selalu menemani penulis berolahraga setiap hari dan membantu penulis menjaga kesehatannya; 11) Sara Bareilles dan Ingrid Michaelson, melalui karya lagu-lagunya yang indah telah membantu penulis untuk lebih fokus mengerjakan tesis; 12) Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah memberikan bantuan dalam penyelesaian studi pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu hukum.
Jakarta, 1 Januari 2013
Penulis Firman Kusbianto
ix Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL..........................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................... .
iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS…………………...
iv
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH …..
v
ABSTRAK .…………………………………… ……………..........
vi
KATA PENGANTAR…………………………………...................
viii
DAFTAR ISI …………………………………………………….....
x
Bab I. Pendahuluan.......................................................................
1
A. Latar Belakang…………………..………………………
1
B. Pokok Permasalahan.........................................................
13
C. Tujuan Penulisan..............................................................
14
1. Tujuan Umum............................................................
14
2. Tujuan Khusus...........................................................
14
3. Kerangka Teori...........................................................
15
D. Metode Penelitian............................................................
21
1. Tipologi Penelitian.....................................................
21
2. Jenis Data...................................................................
22
3. Metode Analisis Data.................................................
22
E. Sistematika Penulisan......................................................
23
Bab II. Independensi Otoritas Pengawas Jasa Keuangan.............
24
A. Otoritas Independen……………………………………..
24
B. Otoritas Independen dalam Pengawasan Kegiatan di Sektor Jasa Keuangan...................................................
31
C. Indikator dan Ukuran Independensi Otoritas Pengawas Jasa Keuangan …………………………….......
37
1. Fungsi Pengaturan/Regulatory Independence…………
37
2. Fungsi Pengawasan/Supervisory Independence……….
40
3. Aspek Kelembagaan/Institutional Independence……...
42
4. Aspek Anggaran/Budgetary Independence…………....
43
x Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
D. Independensi Otoritas Jasa Keuangan dari Intervensi Politik dan Industri Jasa Keuangan……………………………….
48
1. Independensi Otoritas Jasa Keuangan dari Intervensi Politik…………………………………
49
2. Independensi Otoritas Jasa Keuangan dari Intervensi Industri Jasa Keuangan……………….
50
E. Aspek Akuntabilitas dan Transparansi Otoritas Independen dalam Pengawasan Kegiatan Sektor Jasa Keuangan……..................................
55
1. Akuntabilitas………………………………………….
55
2. Transparansi……………………………….………….
63
Bab III. Status, Kedudukan dan Struktur Kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan……………………………………
66
A. Landasan Hukum Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan…
66
B. Status dan Kedudukan Otoritas Jasa Keuangan…………...
69
C. Struktur Kelembagaan dan Anggaran……………………..
70
1. Dewan Komisioner…………………………………….
70
2. Anggaran……………………………………………....
76
D. Tujuan……………………………………………………..
77
E. Fungsi, Tugas dan Kewenangan…………………………..
79
F. Hubungan Kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan dengan Lembaga Terkait di Bidang Jasa Keuangan………
81
G. Akuntabilitas dan Transparansi Otoritas Jasa Keuangan….
84
Bab IV. Independensi Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Pengawas Sektor Jasa Keuangan ………………................................
87
A. Independensi Otoritas Jasa Keuangan dari Aspek Fungsi Pengaturan/Regulatory Independence…….
87
1. Independensi OJK Terkait Fungsi Pengaturan Pengawasan di bidang Perbankan...............................
91
xi Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
2. Independensi OJK Terkait Tugas Menetapkan Dan Melaksanakan Kebijakan Kestabilan Sistem Keuangan……………………………………..
92
B. Independensi Otoritas Jasa Keuangan dari Aspek Fungsi Pengawasan/Supervisory Independenc.....
96
1. Independensi OJK Terkait Koordinasi Fungsi Pengawasan dengan Lembaga Lain........................................................
100
C. Independensi Otoritas Jasa Keuangan dari Aspek Kelembagaan/InstitutionalIndependence………..
105
1. Independensi OJK terkait Keanggotaan Dewan Komisioner Ex-Officio dari Bank Sentral dan Pemerintah.......................................
109
2. Independensi OJK Terkait Fungsi Penyidikan di Sektor Jasa Keuangan ............................................... D. Independensi Otoritas Jasa Keuangan dari
112
AspekAnggaran/Budgetary Independence……………....
114
E. Aspek Akuntabilitas dan Transparansi OJK……………
118
Bab V. Penutup......................................................................................
124
A. Kesimpulan.......................................................................…..
124
B. Saran.................................................................................…..
126
Daftar Pustaka.......................................................................................
128
xii Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
1
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Suatu lembaga/institusi yang memiliki otoritas sebagai pengatur dan
pengawas sektor jasa finansial tentunya harus memiliki independensi didalam melaksanakan tugasnya. Hal ini disebabkan otoritas tersebut mempunyai fungsi mengawasi suatu sistem yang terdiri dari kegiatan dan transaksi jasa keuangan oleh entitas-entitas bisnis yang dapat berpotensi terjadinya benturan kepentingan serta berpotensi mempengaruhi ataupun dipengaruhi kepentingan pihak-pihak tertentu, termasuk juga dalam hal ini pihak pemerintah. Untuk itu, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, lembaga pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan harus independen atau bebas dari intervensi pihak-pihak berkepentingan, yang tentunya dalam koridor hukum yang juga menjamin bahwa independensi tersebut dapat dimintakan pertanggung-jawabannya. Penelitian ini akan mencoba melakukan pembahasan secara komprehensif terhadap aspek yang bersifat esensial yaitu independensi, yang dimiliki suatu otoritas yang berwenang penuh atas pengaturan dan pengawasan sektor finansial di Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat dengan OJK. Secara umum dapat dikatakan bahwa keberadaan suatu otoritas independen adalah salah satu faktor utama yang mempengaruhi keefektifan sistem pengawasan
di
sektor
jasa
keuangan.
Argumen
ini
terkait
dengan
fungsi/kemampuan otoritas tersebut untuk melindungi diri dari intervensi pasar keuangan yang diawasinya maupun dari campur tangan politik, yang mana hal ini diperlukan agar otoritas tersebut dapat mengembangkan fungsi dan tugasnya, mewujudkan transparansi dan pencapaian tujuan stabilitas keuangan. 1 Namun perlu juga diperhatikan, berkaitan dengan hal independensi ini, terdapat pertanyaan yang cukup menarik untuk diperdebatkan dan dikaji, yaitu apakah konsep suatu otoritas yang independen adalah selalu baik dan akan selalu efektif. Lebih lanjut, apakah sudah merupakan suatu keharusan bahwa otoritas finansial 1
Steven Seelig and Alicia Novoa, Governance Practices at Financial Regulatory and Supervisory Agencies. IMF Working Paper Monetary and Capital Markets Department WP/09/135, July 2009, page 10.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
2
tersebut mendapatkan independensi secara absolut/mutlak. Kenneth Kaoma Mwenda, dalam kajiannya menjelaskan bahwa di negara yang sedang berkembang dari ―command economy‖, dimana pasar keuangan beserta instrumennya masih terbilang lemah, adalah terkadang masih diperlukan campur tangan pemerintah dalam hal-hal yang bersifat strategis, misalnya pada saat munculnya ancaman yang berpotensi meruntuhkan suatu perusahaan yang cukup vital posisinya.2 Sebaliknya, di negara yang sudah cukup maju dan modern pasar beserta instrumennya, sektor finansial justru akan mendapatkan manfaat dari absennya intervensi pemerintah. Keberadaan infrastruktur yang kuat dan jaminan kerangka regulasi hukum, termasuk kultur bisnis yang sehat di mana hak-hak kontrakual pelaku usaha dapat ditegakkan dengan efektif, mengindikasikan intervensi negara melalui pemerintah tidaklah diperlukan agar pasar keuangan berfungsi secara efisien. Namun pada akhirnya diakui bahwa semakin banyak perkembangan bukti dan fakta yang menunjukkan bahwa otoritas yang independen di sektor keuangan, akan lebih mampu menghasilkan regulasi yang lebih efektif, membuat operasi di dalam pasar menjadi lebih efisien dan yang paling penting, menciptakan sistem dan fungsi pengawasan yang lebih baik dibanpdingkan pada saat berada di bawah lembaga pemerintahan/kementerian.3 Selanjutnya, terdapat dua alasan utama yang membuat kajian terkait independensi otoritas pengaturan dan pengawasan finansial menjadi penting. Pertama, di hampir semua krisis sistemik yang terjadi pada sektor finansial pada tahun 1990an, penyebabnya adalah dikarenakan kurangnya independensi otoritas pengawasan dari pengaruh politik yang mana telah dibuktikan menjadi faktor utama yang memperparah krisis ekonomi suatu negara. Korea saat krisis tahun 1997, merupakan salah satu contoh akibat dari tidak independennya pengawasan sektor finansial di negara tersebut, yang mana pengawasan bank khusus dan lembaga keuangan nonbank berada di bawah kewenangan langsung dari
2
Kenneth Kaoma Mwenda, Legal Aspects Of Financial Services Regulation And The Concept Of A Unified Regulator, The World Bank-Law, Justice, And development Series, 2006, page 31 3
Marc Quintyn and Michael W. Taylor, Should Financial Sector Regulators Be Independent?, IMF Economic issues no. 32, International Monetary Fund March 8, 2004, page 6
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
3
Kementrian Keuangan dan Ekonomi.4 Salah satu contoh lainnya, yaitu di Jepang, lemahnya independensi dalam fungsi pengawasan sektor finansial yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan, diyakini telah berkontribusi terhadap rapuhnya sektor finansial.5 Kekuasaan Kementerian Keuangan di Jepang saat itu (pada tahun 1995) sangat luas, yaitu terkait perencanaan keuangan, kekuasaan legislatif, inspeksi keuangan dan pemeriksaan/pengawasan lembaga keuangan, sehingga menyebabkan kerentanan terjadinya korupsi oleh pejabat kementerian dan untuk mengatasi masalah tersebut pada bulan Juni 1998, pemerintah Jepang mengeluarkan fungsi pengawas lembaga keuangan dari Kementerian dan dialihkan kepada Financial Supervisory Authority (FSA), lembaga independen yang memiliki wewenang untuk mengatur dan mengawasi lembaga keuangan seperti perbankan, pasar modal dan asuransi.6 Ruth De Krivoy dalam kajiannya mengenai krisis di Venezuela 1994, menjelaskan bahwa peraturan yang tidak efektif dan lemahnya pengawasan serta campur tangan politik sebagai faktor utama yang menyebabkan melemahnya bank dalam krisis. Dalam penelitiannya di masa krisis tersebut, ia berpendapat bahwa pembuat undang-undang harus memberikan pengaturan terhadap otoritas pengawas agar independen, dan memberinya dukungan politik yang cukup untuk memungkinkan mereka untuk melaksanakan tugas-tugas mereka.7 Alasan kedua, adalah terkait semakin populernya diskusi-diskusi tentang model ataupun tipe yang paling sesuai pada otoritas pengaturan dan pengawasan
4
Perlu diketahui, pengawasan nonbank yang dilakukan oleh suatu kementerian umumnya diakui lemah dan, selain itu, berpotensi menciptakan kondisi arbitrasi peraturan dan manajemen risiko yang lemah, khususnya terkait trust bisnis di bank komersial dan merchant bank, yang mana merupakan faktor yang berkontribusi pada krisis Asia di tahun 1997. Selain itu, lembaga pengawas juga memiliki kewenangan untuk memberi kemudahan-kemudahan dalam suatu aturan/regulasi, yang mengakibatkan semakin tidak efektifnya penegakan hukum. Lihat Lindgren, Carl-Johan, Tomas J.T. Balino, Charles Enoch, Anne-Marie Gulde, Marc Quintyn, and Leslie Teo, 1999, "Financial Sector Crisis and Restructuring: Lessons From Asia," International Monetary Fund Occasional Paper No. 188. 5
Peter Hatcher, The Ministry: How Japan's Most Powerful Institution Endangers World Markets (Boston: Harvard Business School Press), 1998. 6
Takeo Hoshi and Takatoshi Ito, Financial Regulation in Japan: A Fifth Year Review of the Financial Services Agency, 2002 Revised 2003, hal.1-2. 7
Ruth de Krivoy, Collapse: The Venezuelan Banking Crisis of 1994, (Washington, DC: Group of Thirty, 2000), p. 207
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
4
sektor finansial, termasuk juga struktur organisasinya. Hal ini juga tentunya merupakan
sebagai
reaksi
atas
meningkatnya
tren
dalam
mengintegrasikan/menyatukan sistem pengawasan di sektor finansial atau terpisah dari bank sentral.8 Lebih lanjut, diskusi ini akan menimbulkan perdebatan seberapa besarkah tingkatan independensi yang dibutuhkan untuk lembaga pengawasan baru yang terpisah dari bank sentral tersebut. Hal ini sebagai respon dari argumen bahwa jika pengawasan perbankan masih berada dalam kewenangan bank sentral, tentunya sudah mendapatkan legitimasi dan kredibilitas dari berbagai pihak terkait independensinya.9 Kemudian secara khusus ada dua perdebatan utama mengenai kajian independensi dari pengatur dan pengawas. Pertama, adalah perdebatan terkait seberapa jauh tingkat substansial/otonomi independensi yang dibutuhkan oleh otoritas pengatur dan pengawas untuk memenuhi mandat mereka dan membantu untuk mencapai dan menjaga stabilitas sektor keuangan. Independensi dalam hal ini misalnya independensi sebagai regulator/Regulatory Independence, adalah mengacu pada seberapa jauh tingkat kewenangan suatu otoritas untuk men‖setup‖
suatu
regulasi/aturan
terhadap
sektor
yang
diawasainya,
secara
otonom/mandiri, yang tentunya dalam batasan-batasan hokum yang berlaku. Kedua, adalah perdebatan terkait fungsi utama otoritas pengawas yang merupakan 8
Selama bertahun-tahun, di banyak negara, kewenangan pengaturan dan pengawasan lembaga-lembaga keuangan berada pada lembaga-lembaga khusus yang memiliki tanggung jawab yang berbeda dan terpisah pada sektor perbankan, sekuritas, dan/atau asuransi. Akan tetapi, ada kecenderungan dari beberapa negara untuk merestrukturisasi fungsi pengawasan keuangan dalam beberapa tahun terakhir, dan khususnya lembaga pengawasan terpadu yaitu, satu lembaga yang mengawasi dua atau lebih bidang sektor keuangan. Setelah terjadi krisis moneter sekitar tahun 1990-an, sejumlah negara telah mengintegrasikan fungsi pengawasan menjadi pengawas tunggal. Lihat, Kenneth K Mwenda, and Alex Fleming, International developments in the organizational structure of financial services supervision. A paper presented at a seminar hosted by the World Bank Financial Sector Vice-Presidency on September 20th, 2001 (World Bank: Washington DC). Diunduh dari situs www.worldbank.org 9
Di bidang kebijakan moneter, pendelegasian dalam pelaksanaan dan implementasi untuk mengatur instrumen moneter kepada independensi bank sentral secara luas telah menjadi kesepahaman berbagai pihak. Lihat Phoebus Athanassiou, Financial Sector Supervisors‘ Accountability: A European Perspective, Legal Working Paper Series European Central Bank, No 12 / August 2011 page 5. Adapun perlu diketahui bahwa konsep formal indepedensi, pada awalnya dikembangkan dalam kajian literatur terhadap bank sentral, yang mana secara esensial independensi bank sentral terdiri dari 2 element, yaitu political independence dan economic independence. Lihat Fabrizio Gilardi and Martino Maggetti, ―The independence of regulatory authorities‖, published in Levi-Faur, David (ed.) (2010), Handbook of Regulation, Cheltenham, Edward Elgar.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
5
pelengkap untuk independensi bank sentral dalam rangka mencapai dan mempertahankan tujuan stabilitas moneter dan keuangan. Fungsi independensi otoritas pengawas finansial juga bisa dianalogikan atau dipersamakan dengan pentingnya independensi dari bank sentral dalam mencapai tujuannya yaitu kestabilan sistem moneter. Marc Quintin dan M Taylor dalam kajiannya mengatakan bahwa independensi dari kedua lembaga (otoritas jasa keuangan dan bank sentral) akan saling memperkuat satu sama lain dalam mencapai keseluruhan tujuan stabilitas keuangan.10 Adapun institusi yang independen memiliki dua aspek, yaitu—independen dari campur tangan politik dan independen dari industri finansial yang diawasi itu sendiri. Dalam mengkaji independensi otoritas pengatur dan pengawas yang bebas dari campur tangan politik, perlu dibedakan makna antara independensi tujuan (yang mengacu pada tujuan dibentuknya institusi pengawas oleh legislator) dan independensi instrumen (yang mengacu pada perumusan aktual dan pelaksanaan praktek pengawasan dan peraturan yang diserahkan kepada kebijaksanaan pejabat pelaksana otoritas pengawas).11 Peran yang tepat bagi para politisi/legislator dalam hal ini adalah untuk mengatur dan menentukan tujuan peraturan dan pengawasan, namun otoritas regulator harus diberikan otonomi untuk menentukan bagaimana mereka harus mencapai tujuannya. Sedangkan dalam aspek independensi dari industri finansial, seperti halnya tekanan yang bersifat politis, suatu kelompok industri juga dapat memainkan peran dalam melemahkan keefektifan suatu regulasi. Stigler (1971), melalui suatu artikel yang memberikan analogi tentang ―principal-agent‖12, menjelaskan bahwa birokrasi lebih sering mementingkan kepentingan dari suatu kelompok industri yang teroganisir dibandingkan delegasi politik ataupun kepentingan masyarakat. Sehingga pada akhirnya otoritas pengawas sering membuat suatu peraturan yang diformulasikan dengan tujuan meminimalisi beban industri, yang pada akhirnya akan 10
Marc Quintyn and Michael W. Taylor, Regulatory and Supervisory Independence and Financial Stability, IMF Working Paper WP/02/46. 11
Stanley Fischer, 1995, Central Bank Independence Revisited, American Economic Review, Papers and Proocedings, May Vol 85, page 201-205,. 12
George J.Stigler, 1971. The Theory of Economic Regulation. Bell Journal of Economics and Management Science, Vol 6 No.2.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
6
mengorbankan
kepentingan
masyarakat/konsumen.
Mencapai
kedua
tipe
independensi tersebut, baik dari aspek politik maupun industri adalah suatu hal yang bersifat esensial. Selanjutnya beralih ke pembahasan dalam tataran global, aspek independensi dari lembaga pengatur dan pengawasan sector jasa keuangan telah menjadi prinsip utama yang dikemukakan oleh organisasi-organisasi internasional yang bertugas membuat standar internasional di masing-masing industri jasa keuangan, seperti Basel Core Principle13 di bidang perbankan dan International Organization of Securities Commissions(IOSCO) Objective and Principle14 untuk bidang pasar modal. Pada umumnya organisasi pembuat standar internasional (standar setter) tersebut menyatakan perlunya secara operasional lembaga pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan memiliki independensi. Oleh karena itu, independensi harus dijadikan salah satu asas pokok di dalam pembentukan otoritas pelaksana fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan sehingga tujuan untuk menciptakan suatu kegiatan dan transaksi ekonomi dalam sistem keuangan yang efisien, transparan dan akuntabel dapat dicapai. Dalam penyelenggaraan
penelitian jasa
hubungan/keterkaitan
ini,
pengkajian
keuangan antara
tentu
stabilitas
pengaturan juga
sistem
tidak
dan akan
keuangan
pengawasan lepas
dengan
dari sistem
perekonomian secara luas15. Sistem keuangan pada hakekatnya merupakan suatu 13
Basel Committeeon Banking Supervision, Consultative Document Core Principles for Effective Banking Supervision Issued, Bank for International Settlements 2011. The Core Principles No. 2 is Independence, accountability, resourcing and legal protection forsupervisors: The supervisor possesses operational independence, transparent processes, sound governance and adequate resources, and is accountable for the discharge of its duties.The legal framework for banking supervision includes legal protection for the supervisor. 14
Objective and Principle of International Organization of Securities Commissions (IOSCO), Financial Regulation and Supervision, June 2010, mensyaratkan dengan tegas perlunya independensi lembaga pengawas Pasar Modal. Dalam teks aslinya di point Principles Relating to the Regulator menyatakan bahwa,―The Regulator should be operationally independent and accountable in the exercise of its functions and powers‖. Diunduh dari http://www.iosco.org/library/pubdocs/pdf/IOSCOPD323.pdf 15
Crockett, A, dalam ―Why Financial Stability a Goal of Public Policy‖ (1997) menyatakan sejak beberapa tahun terakhir, istilah financial stability mengacu kepada kestabilan institusi keuangan dan kestabilan pasar-pasar yang tergabung dalam pasar keuangan. Bandingkan dengan Marcflame, Gubernur Reserve Bank Australia dalam ―Financial Stability‖. (1990) yang mengemukakan bahwa ―financial stability is avoidance of crisis‖, artinya stabilitas keuangan adalah upaya untuk menghindari terjadinya krisis. Jadi secara umum, stabilitas sistem keuangan adalah ketahanan sistem keuangan terhadap guncangan perekonomian, sehingga fungsi
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
7
sub-sistem dari sektor perekonomian di suatu negara yang bersifat sangat vital seiring dengan perannya dalam menyediakan fasilitas jasa-jasa keuangan di masyarakat. Peranan penting sistem keuangan dapat dijelaskan terkait fungsi intermediasi lembaga-lembaga keuangan dalam menghimpun dana dari pihak yang memiliki kelebihan dana dan menyalurkannya ke pihak yang membutuhkan dana agar terjadi keseimbangan antar sektor perekonomian dan memastikan roda perekonomian tetap berputar. Di satu sisi walaupun peranan lembaga keuangan sangat besar mendorong pertumbuhan ekonomi secara nasional, tetapi di sisi lain justru keberadaan lembaga keuangan tersebut dapat menjadi ancaman yang sangat serius terhadap perekonomian. Kegagalan atau kecurangan yang dilakukan satu lembaga keuangan saja, misalnya satu perusahaan perbankan, satu perusahaan sekuritas atau satu perusahaan asuransi yang mengalami masalah akan dapat berdampak sistimik terhadap lembaga keuangan lainnya. Hal ini tidak lain karena dewasa ini sistem keuangan telah berkembang secara struktural, kompleks, terintegrasi dan terkait erat satu sama lain dari segi dimensi industri maupun secara geographis.16 Pada era globalisasi sekarang ini, tingginya tingkat persaingan antar lembaga keuangan dan kemajuan yang sangat pesat di bidang teknologi informasi mendorong institusi keuangan untuk terus melakukan inovasi-inovasi produk.17 intermediasi, sistem pembayaran dan penyebaran risiko tetap berjalan dengan semestinya. Lihat Prof. DR. Anwar Nasution, ―Stabilitas Sistem Keuangan : Urgensi, Impllkasi Hukum, Dan Agenda Kedepan‖, Disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional - Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Rl. tanggal 14-18 Juli 2003 di Denpasar. 16
Hal ini sangat erat kaitannya dengan isu transformasi di sector jasa keuangan modern. H. Onno Ruding menangkap gejala terjadinya transformasi pada industri jasa keuangan modern yang dimulai pada tahun 1990-an. Salah satu aspek yang beliau anggap penting dalam mendorong terjadinya transformasi tersebut, yaitu Trend Konsolidasi di bidang jasa keuangan. Setidaknya ada 5 motif yang menyebabkan para pemain industri jasa keuangan melakukan konsolidasi yaitu: Kebutuhan modal dasar yang besar, Pertumbuhan pengguna jasa keuangan, Pengembangan infrastruktur perusahaan, Peningkatan kualitas, dan faktor efektifitas. Adapun motif khusunsya yaitu akan semakin variatif produk dan jasa keuangan yang dapat ditawarkan ke konsumen, serta alasan diversifikasi usaha agar tidak terjadi penumpukan resiko. Lihat H Onno Ruding, ―The transformation of the financial services industry‖, Occasional Paper No 2, Financial Stability Institute, March 2002. 17
Produk-produk yang dihasilkan lembaga-lembaga keuangan saat ini sudah sedemikian menyatunya sehinga sulit menentukan apakah suatu produk keuangan tertentu dihasilkan oleh industri perbankan atau produk perusahaan sekuritas atau industry asuransi. Hal ini sering dikenal dengan istilah Produk hybrid yaitu produk yang merupakan perpaduan antara produk perbankan, asuransi atau pasar modal. Contoh produk hybrid yang baru dikenal di Indonesia yaitu
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
8
Namun di lain sisi hal ini terkadang melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku dikarenakan desakan kompetisi bisnis yang semakin ketat. Pelanggaran potensial yang sering terjadi dalam hal ini seperti misalnya laporan yang tidak transparan, insider trading, dan pencucian uang. Di samping itu, masih banyak permasalahan lain sebagai akibat dari aktifitas yang bersifat lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang antara lain meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, perkembangan jaringan konglomerasi dalam kepemilikan industri jasa keuangan, serta makin maraknya praktik-praktik arbitrase peraturan (regulatory arbitrage) oleh entitas bisnis jasa keuangan.18 Belajar dari pengalaman Indonesia sebelumnya, khususnya pada saat stabilitas keuangan terguncang, tentunya permasalahan-permasalahan tersebut haruslah mendapat perhatian yang lebih serius dalam menghadapinya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, agar kegiatan di dalam sektor jasa keuangan dapat terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, haruslah juga diikuti dengan suatu sistem pengaturan dan pengawasan 19 yang baik dan taat hukum. Di Indonesia, setelah disahkan dan diundangkan pada tanggal 22 November 2011, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK), akan terjadi transformasi yang menyeluruh dan sistematis dalam sistem pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan, yaitu pengalihan fungsi pengaturan dan pengawasan tersebut kepada Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya akan disingkat dengan OJK), sebuah lembaga independen
bancassurance yang memiliki dua pengertian yaitu: Pertama, a bank that can offer banking, insurance lending and investmen produk to customer. Kedua, a French term referring to the selling of insurance throught a bank's established distribution channel. Lihat Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, LLM, ―Pasal 34 Undang-Undang Tentang Bank Indonesia dan Dampaknya Pada Peranan dan Fungsi Bank Indonesia Di Bidang Moneter, Sistem Pembayaran dan Stabilitas Keuangan‖, Buletin Hukum Perbankan Dan Kebanksentralan, Volume 8, Nomor 3, September 2010, hal. 14. 18
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK), Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253, Penjelasan Umum Paragraf 3 dan 4. 19
Secara teoritis, sasaran pokok dari pengaturan dan pengawasan sektor finansial adalah untuk mendorong keamanan dan kesehatan lembaga-lembaga keuangan melalui evaluasi dan pemantauan yang berkesinambungan termasuk penilaian terhadap manajemen risiko, kondisi keuangan dan kepatuhan terhadap undang-undang dan regulasi. Lihat Sukarela Batunangar, Jaring Pengaman Keuangan: Kajian Literatur dan Praktiknya di Indonesia, (Jakarta: Buletin Hukum Perbankan dan Kesentralan Volume 4 Nomor 3, Desember 2006), hal. 2.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
9
yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang untuk melakukan pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan terhadap industri jasa keuangan di Indonesia. Dengan demikian seluruh kegiatan jasa keuangan sektor perbankan, pasar modal, asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya ada dalam kewenangan OJK.20 Banyak yang menilai bahwa, secara kelembagaan, institusi OJK merupakan suatu lembaga ―superbody‖. Selain karena tugas dan wewenangnya yang sangat luas, sifat ―superbody‖ OJK tercermin pada jumlah lembaga jasa keuangan yang bakal diawasinya, yakni sekitar 2.608 lembaga jasa keuangan dan 642 mutual funds. Selain itu, OJK nantinya akan mengelola dana yang terbilang besar yakni sekitar Rp 7.500 triliun atau setara dengan produk domestik bruto (PDB) Indonesia.21 Hal ini tentu bukanlah hal yang mudah dilakukan apalagi untuk sebuah lembaga yang masih ―hijau‖ dan secara empiris konsep lembaga sejenis OJK masih belum terbukti keberhasilannya di Negara-negara maju sekalipun.22 Sejalan dari fungsi dan kewenangannya yang bersifat ―superbody‖ tersebut, penulis menilai OJK sebagai lembaga pengawas baru yang akan mempunyai tugas dan beban strategis kelembagaan yang berat, jelas perlu memiliki sifat independensi yang tinggi. Hal tersebut dimaksudkan agar setiap regulasi dan pengawasan yang dilakukan OJK benar-benar bersifat objektif, tanpa dipengaruhi intervensi dari pihak manapun dan untuk mencegah benturan kepentingan antara berbagai faktor yang berinteraksi di pasar. Sifat independen tersebut harus diwujudkan karena concern dan tujuan utama pembentukan OJK sebagai lembaga/otoritas pengatur dan pengawas adalah menyangkut kepercayaan masyarakat bagi sektor finansial.23 20
Pasal 1 UU OJK
21
Guntur Subagja, Berharap pada Lembaga ‗Super‘, http://www.investor.co.id/home/berharap-pada-lembaga-super/25318, Rabu, 30 November 2011 22
Bank Indonesia, Era Baru Transformasi Bank Sentral, (Jakarta: Media Indonesia Publishing), 2010, hal 199. 23
Peran pengaturan dan Pengawasan yang dilakukan oleh OJK harus diarahkan untuk menciptakan efisiensi, persaingan yang sehat, perlindungan konsumen, serta mekanisme pasar yang sehat. Untuk itu, pengaturan dan pengawasan harus didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan dan tranparansi yang harus diterapkan sedemikian rupa untuk menciptakan suatu aktifitas dan transaksi ekonomi yang teratur, efisien dan produktif, dan menjamin adanya perlindungan nasabah dan masyarakat. Lihat Tim Panitia Antar Departemen Rancangan Undang-Undang Tentang
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
10
Adapun aspek independensi OJK dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yaitu dalam UU OJK tercantum dengan jelas dan tegas, yaitu OJK dibentuk dan dilandasi dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, yang meliputi independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, transparansi dan kewajaran (fairness)24. Kemudian, secara kelembagaan OJK berada di luar Pemerintah, yang dimaknai bahwa OJK tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah 25. Di Pasal 2 ayat (2) UU OJK juga menegaskan bahwa OJK merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU OJK. Asas independensi secara lebih tegas dituangkan dalam Penjelasan Umum UU OJK yang menyatakan bahwa OJK melaksanakan tugas dan wewenangnya berlandaskan antara lain asas independensi yaitu independen dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.26 Dalam kenyataanya, walaupun telah dinyatakan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan, independensi OJK sendiri masih diragukan dan diperdebatkan oleh para pengamat ekonomi.27 Isu utama independensi OJK tersebut adalah misalnya terkait dengan pimpinan/dewan komisioner ojk baik dari segi komposisi maupun proses pemilihannya. Dari segi proses pemilihan, seleksi tersebut dilakukan oleh panitia seleksi yang berasal antara lain dari unsur Pemerintah
maupun
unsur
Bank
Indonesia28,
sehingga
menimbulkan
Otoritas Jasa Keuangan, Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), 2010, hal 5. 24
PenjelasanUmum Paragraf 9 UU OJK
25
Penjelasan Umum Paragraf 10 UU OJK
26
Penjelasan Umum Paragraf 14 UU OJK
27
Pengamat Ekonomi Ichsanuddin Noorsy dan Umar Juoro (Center Indonesia for Development and Studies) berpendapat, poin krusial dari terpilihnya para Dewan Komisioner OJK adalah independensi dari institusi pengawasan keuangan itu sendiri. Pasalnya, mayoritas orang yang terpilih di OJK berasal dari BI dan Kementerian Keuangan. Kondisi ini membuat OJK independensinya kurang, dan apalagi nantinya sifat keputusannya bersifat kolegial. Lihat Latief ―Independensi OJK Dipertanyakan‖, Kompas.com, Kamis, 26 Juli 2012, http://nasional.kompas.com/read/2012/07/26/04354490/Independensi.OJK.Dipertanyakan, 28
Panitia Seleksi dibentuk dengan Keputusan Presiden, beranggotakan 9 (sembilan) orang yang terdiri atas unsur Pemerintah, Bank Indonesia, dan masyarakat. Lihat Pasal 11 ayat (2) dan (3) UU OJK.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
11
kekhawatiran bahwa anggota dewan komisioner OJK yang terpilih nantinya merupakan hasil negosiasi politik yang akan membawa kepentingan tertentu. Selain itu, terkait dengan komposisi Dewan Komisioner OJK tersebut menjadi dipertanyakan karena terdapat unsur ex-officio29 yang berasal dari Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan dalam susunan Dewan Komisioner OJK30, sehingga hal ini tentu akan mengakibatkan OJK tidak terbebas sepenuhnya dari pengaruh maupun intervensi lembaga lain, khususnya dalam hal ini Bank Indonesia maupun Pemerintah.31 Kemudian isu yang menarik selanjutnya untuk dikaji yang masih dalam koridor pembahasan terkait aspek independensi OJK adalah masalah anggaran operasional OJK. Hal ini dikarenakan masih banyak kalangan khususnya dari industri perbankan itu sendiri, menilai anggaran OJK yang dipungut dari lembagalembaga keuangan diawasainya adalah tidak sesuai dan akan membebani masyarakat.32 Sebelumnya, Himpunan Bank-Bank Milik Negara (HIMBARA) juga menolak pembayaran iuran untuk kinerja Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dengan alasan pungutan itu bisa mengganggu independensi dan objektivitas OJK dalam mengaudit lembaga perbankan, dan oleh sebab itu sebaiknya anggaran OJK diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).33 Memang dalam UU OJK sendiri diatur bahwa, anggaran OJK dapat bersumber dari APBN
29
Ex-officio adalah jabatan seseorang pada lembaga tertentu karena tugas dan kewenangannya pada lembaga lain (Pasal 1 angka 20 UU OJK). Di dalam struktur Dewan Komisioner OJK, pejabat ex officionya adalah Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati sebagai ex officio dari pemerintah dan Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah sebagai ex officio dari BI. 30
Dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya, OJK dipimpin oleh Dewan Komisioner yang terdiri atas 9 (sembilan) anggota Komisioner yang terdiri atas 7 (tujuh) anggota yang dipilih oleh DPR berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh Presiden, dan 2 (dua) anggota ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia dan pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan. Lihat Pasal 10 UU OJK 31
Dalam penjelasan umum UU OJK, dijelaskan bahwa keberadaan ex-officio dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan sektor jasa keuangan. 32
Fitri Novia Heriani, Perbankan Masih Keberatan Soal Iuran OJK, Hukum Online.com, 29 Mei 2012 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4fc4b6962c107/perbankan-masihkeberatan-soal-iuran-ojk 33
Ester Meryana, Himbara Keberatan Pungutan OJK, Kompas.com, 29 Mei 2012, http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/05/29/19042581/Himbara.Keberatan.Pungutan.OJK
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
12
dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.34 Namun di sisi lain perlu dicermati bahwa, apabila anggaran OJK sepenuhnya dibebankan dari APBN, maka dapat dikatakan pula bahwa OJK merupakan bagian dari pemerintahan karena pada hakekatnya APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara.35 Atas hal tersebut, OJK dikhawatirkan juga akan rentan terhadap tekanan politik dari Pemerintah mengingat kegiatan OJK dibiayai oleh APBN tersebut.36 Dengan demikian, dikhawatirkan OJK akan kehilangan kemandiriannya sebagai suatu insitusi dan tentu akan menggangu pelaksanaan Independensi dari OJK. Dalam penelitian ini, terdapat empat dimensi/instrumen untuk mengukur independensi suatu otoritas pengatur dan pengatur kegiatan dalam penyelengaraan jasa keuangan, yaitu aspek fungsi pengaturan, aspek fungsi pengawasan, aspek kelembagaan, dan aspek keuangan atau anggaran. Aspek fungsi pengaturan, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya adalah aspek yang menjelaskan level/tingkatan otonomi dari institusi regulator dalam membuat ―aturan main‖ di sektor jasa keuangan. Aspek fungsi pengawasan, yaitu terkait fungsi pengawasan suatu otoritas dalam penyelenggaraan sektor finansial, yang dapat dikatakan sebagai elemen yang sangat penting dan krusial. Hal ini dikarenakan sektor finansial merupakan sektor yang berhubungan langsung dengan masyarakat luas, yang mana merupakan hakikat dan prinsip dari lembaga finansial sebagai intermediasi. Aspek kelembagaan, pembahasan terkait status dari otoritas 34
Pasal 34 ayat (2) UU OJK
35
Sesuai dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UUKN), APBN merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan Negara yang disetujui oleh DPR. APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan Negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara dengan berpedoman kepada rencana kerja Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara. Lihat Pasal 12 UU tentang Keuangan Negara 36
Hal ini senada dengan Ketua Tim Penyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) OJK Ahmad Fuad Rachmany yang menyatakan ―Ada dua alasan lembaga itu tak menggunakan anggaran negara.‖ Pertama, menjaga independensi OJK, belajar dari pengalaman beberapa lembaga negara yang mengalami ancaman pengurangan anggaran operasional karena bertindak tidak sesuai harapan pemegang otoritas anggaran. Kedua, menghilangkan beban pajak masyarakat yang sama sekali tidak menikmati hasil industri keuangan. Fuad Rahmany,Operasional OJK Tidak Gunakan APBN, Hukum Online.com, 05 July 2010, http://beta.hukumonline.com/berita/baca/lt4c31b77d51cac/operasional-ojk-tidak-gunakan-apbn
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
13
pengawasan yang berada di luar cabang eksekutif maupun legislatif dari pemerintahan. Dan terakhir, aspek anggaran, yang menjelaskan bahwa otoritas pengawas seharusnya tidak boleh mendapat tekanan politis dalam hal penganggaran. Analisis pengukuran independensi inilah yang menarik perhatian penulis untuk diajukan sebagai materi utama penelitian tesis ini, agar selanjutnya didapatkan pemahaman yang lebih mendalam terhadap OJK khususnya aspek independensinya dalam penyelenggaraan sistem pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di sektor jasa keuangan.
B.
Pokok Permasalahan Penelitian selalu dimulai dengan problem atau seperangkat isu yang
disebut sebagai ―forshadowed problems‖, dimana problem ini menggelitik keingintahuan peneliti dan ―mengganggunya‖ dengan berbagai pertanyaan.37 Selain itu tujuan dibuatnya pertanyaan penelitian adalah untuk menjelaskan, memahami, mendalami suatu proses dan menggambarkan pengalaman.38 Adapun rumusan permasalahan dalam penelitian adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah status, kedudukan dan struktur kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan? 2. Mengapa Otoritas Jasa Keuangan harus memiliki independensi dalam menjalankan fungsinya sebagai pengawas sektor jasa keuangan? 3. Bagaimanakah penilaian independensi Otoritas Jasa Keuangan dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan di indonesia?
37
Hammersley, Martyn & Paul Atkinson. 1997.Ethnography. Principle in Practice. 2nd edition. New York: Routledge dalam Sulistyowati Irianto & Shidarta, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009, hal 301. 38
John W Creswell, Research Design, Qualitative and Quantitative Approaches, London: Sage Publication, 1994 dalam Sulistyowati Irianto & Shidarta, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009, hal 303.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
14
C.
Tujuan Penulisan Tujuan penelitian ini terdiri dari tujuan penelitian secara umum dan tujuan
khusus, adapun tujuan tersebut yaitu: 1. Tujuan Umum Adapun tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk memberikan pemahaman secara umum tentang prinsip-prinsip dan teori indenpendensial suatu otoritas yang berwenang penuh dalam penyelenggaraan sistem pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan, khususnya dalam hal ini adalah terkait aspek hukum independensi Otoritas Jasa Keuangan di Indonesia. 2.
Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mengetahui status, kedudukan dan struktur kelembagaan otoritas jasa keuangan otoritas sebagai pengatur dan pengawas kegiatan di sektor jasa keuangan berdasarkan peraturan perundang-undangan di indonesia. 2. Mengetahui prinsip dan teori independensi dari otoritas pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan 3. Mengetahui analisa pengukuran aspek independensi dari otoritas jasa keuangan dalam menjalankan fungsinya sebagai pengatur dan pengawas kegiatan di sektor jasa keuangan berdasarkan peraturan perundang-undangan di indonesia
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
15
D.
Kerangka Teori Berbicara mengenai otoritas regulator (ataupun supervisor) independen,
adalah bukanlah yang mudah dalam hal memberikan definisi secara umum, hal ini dikarenakan
terkait
desain
institusi,
fungsi,
status,
kewenangan
yang
didelegasikan serta juga aspek pengawasan institusi, yang bervariasi di beberapa negara, bahkan di satu negara dalam ranah/domain yang berbeda. Namun demikian, otoritas regulator yang independen dapat diklasifikasi menjadi dua kelompok utama, yaitu institusi yang meregulasi penyelenggaraan suatu pasar ekonomi dengan berprinsip utama pada teori pasar, dan institusi pembuat regulasi dengan tujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat (publik).39 Pada institusi yang pertama, kewenagan untuk meregulasi timbul dalam suatu kepentingan untuk mencegah ―unfair competition‖, mengontrol harga, dan terkadang institusi ini pun mengatur aspek ―sosial‖ atau aspek distributif dari suatu pasar ekonomi. Contoh institusi ini adalah Lembaga Pengawas Persaingan Usaha, Lembaga Pengatur Finansial dan sebagainya. Di sisi lain, institusi yang kedua, mempunyai tanggung jawab untuk mengedepankan tujuan ―kepentingan publik‖ di luar kompetisi pasar. Tugas institusi ini antara lain seperti, membuat suatu standar, mencegah peredaran barang yang tidak resmi, masalah keselamatan (seperti isu pekerjaan atau makanan), dan aspek keadilan rasial-gender. Contohnya adalah Lembaga Pengawas Makanan dan Obat-Obatan. Menurut penelitian oleh Thacther, institusi yang bertipe market regulation agencies lebih berkembang secara luas dibandingkan institusi public interest regulators, dan menikmati kewenangan dan independensi yang lebih tegas dan kuat dari pemerintah. Di dalam penelitian ini, Insitusi Regulator Independen secara khusus didefinisikan sebagai institusi yang memiliki tugas dan kewenangannya yang mandiri di ranah hukum publik, yang mana juga mempunyai struktur organisasi yang terpisah dari kementrian atau pemerintah. Dan oleh sebab itu, institusi yang merupakan suatu unit organisasi dari kementerian, organ langsung dari pemerintahan
ataupun
suatu
unit
birokrasi
kepemerintahan,
tidaklah
39
Mark Thatcher, 2002. ―Delegation to Independent Regulatory Agencies: Pressures,Functions and Contextual Mediation.‖ West European Politics, vol. 25(1), page 125147.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
16
diperhitungkan sebagai Institusi Regulator Independen dalam penelitan ini, dikarenakan
institusi
tersebut
pada
hakekatnya
menjalankan
kekuasaan
pemerintah/eksekutif. Secara teoritis, tesis ini menggunakan pendekatan kerangka konsep hukum yang
dikembangkan
oleh
Montesquiue,
yaitu
teori
pemisahan
kekuasaan/separation of powers. Menurut Montesquieu, kekuasaan negara dibagi dalam tiga kekuasaan. Tiap-tiap kekuasaan mempunyai kewenangan sendiri, kekuasaan yang satu terpisah dengan yang lainnya dan kekuasaan tersebut tidak berada dalam satu tangan yang sama.40 Ajaran pemisahan kekuasaan (Montequieu), menurut Bagir Manan, berintikan pada independensi masingmasing alat kelengkapan negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif). Montequieu berpendapat, setiap percampuran kekuasaan (di satu tangan) antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif (seluruh atau dua diantaranya), dipastikan akan menimbulkan kekuasaan atau pemerintahan yang sewenang-wenang dan untuk mencegahnya, badan (alat kelengkapan) organisasi negara harus dipisahkan satu sama lain.41 Teori
separation
of
powers
Montesquieu
kemudian
mengalami
perkembangan dan kritikan. Menurut Mac Iver dan H.J. Laski pemisahan kekuasaan secara mutlak dari kekuasaan negara seperti yang digambarkan oleh Montesquieu tidak mungkin dilakukan.42 Pemisahan kegiatan legislatif, eksekutif, dan yudikatif tidak dapat dipisahkan secara tajam yang satu dengan yang lainnya. Menurut E. Utrecht, pemisahan mutlak yang dikemukakan oleh Montesquieu mengakibatkan adanya badan kenegaraan yang tidak dapat ditempatkan di bawah
40
Sebagaimana dinyatakan oleh Montesquieu berikut, When the legislative and executive powers are united in the same person, or in the same magistrate, there can be no liberty; because apprehensions may arise; lest the same monarch or senate should enact tyranical laws, to execute them in tyranical manner. (Apabila kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif menyatu dalam satu tangan, maka tidak ada kebebasan; karena timbul keprihatinan, kalau raja atau majelis mengundangkan hukum-hukum zalim, untuk dilaksanakan dengan cara yang zalim). Lihat Montesquieu, De L`Esprit Des Lois, (Paris: G.Truc ed. 1949), hlm. 162. 41
Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), (Yogyakarta: FH UII Press, 2005), hlm. 120-121 42
―The absolute separation of powers prescribed by Motesquieu is obviously impossible‖ dalam Robert M. Maclver, The Modern State, (Oxford: Oxford University Press, 1950), hlm. 371; Harold J Laski, A Grammar of Politics, (London: George Allen and Unwir LTD, 1960), hlm. 2.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
17
pengawasan suatu badan kenegaraan lainnya. Ketiadaan pengawasan ini mengakibatkan terbukanya kemungkinan suatu badan kenegaraan melampaui batas kekuasaannya.43 Menurut Miriam Budiardjo, hal itu terjadi karena pada abad ke-20 negara mengalami perkembangan sehingga kehidupan ekonomi dan sosial menjadi sangat kompleks serta badan eksekutif mengatur hampir seluruh kehidupan masyarakat. Hal ini mengakibatkan teori trias politica tidak dapat dipertahankan lagi.44 Selain itu, dewasa ini hampir semua negara modern mempunyai tujuan untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya yang berkonsep negara kesejahteraan (Welfare State). Untuk mencapai tujuan tersebut negara dituntut menjalankan fungsi secara tepat, cepat dan komprehensif dari semua lembaga negara yang ada. Dengan kata lain, persoalan yang dihadapi oleh negara semakin kompleks dan rumit sehingga penanganannya tidak dapat dimonopoli dan diselesaikan secara otonom oleh lembaga negara tertentu saja, melainkan perlu adanya kerja sama antar lembaga negara yang ada. Oleh karena itu, pemisahan kekuasaan secara mutlak ke dalam tiga cabang kekuasaan sudah tidak relevan lagi dalam perkembangan teori hukum tata negara.45 Dalam pada itu, menurut Jimly Asshiddiqie perkembangan kelembagaan negara secara teori dan pemikiran berkembang sangat pesat. Jimly Asshiddiqie berpendapat keadaan dan kebutuhan yang nyata, baik karena faktor-faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya di tengah dinamika gelombang pengaruh globalisme versus lokalisme yang semakin komplek mengakibatkan variasi struktur dan fungsi organisasi dan institusiinstitusi kenegaraan semakin berkembang.46 Selain pemikiran tersebut perkembangan fungsi-fungsi kekuasaan negara juga dipengaruhi oleh terjadinya transisi demokrasi, yang mengakibatkan 43
E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, cet. 4., (1960), hlm 17-
44
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, cet. 22, (Jakarta: PT. Gramedia, 2001),
24. hlm. 155 45
Pemisahan kekuasaan secara tajam tidak begitu diperlukan lagi, karena yang memerintah dalam negara bukan lagi raja-raja yang absolut seperti dulu. Lihat Andi Mustari Pide, Pengantar Hukum Tata Negara, cet. 1, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), hlm. 54 46
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 1.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
18
terjadinya berbagai kesulitan ekonomi, dikarenakan terjadinya aneka perubahan sosial dan ekonomi. Negara yang mengalami perubahan sosial dan ekonomi memaksa banyak negara melakukan eksperimentasi kelembagaan (institutional experimentation) yang memiliki tujuan untuk menerapkan prinsip efesiensi sebanyak mungkin sehingga pelayanan umum (public services) dapat benar-benar terjamin efektif. Sebagai tuntutan perkembangan yang semakin kompleks dan rumit,
organisasi-organisasi
kekuasaan
yang
birokratis,
sentralistis
dan
terkonsentrasi tidak dapat lagi diandalkan. Salah satu akibatnya ialah fungsifungsi kekuasaan yang biasanya melekat pada fungsi lembaga eksekutif, legislatif dan bahkan yudisial, dialihkan menjadi fungsi organ tersendiri yang bersifat independen.47 Sehingga, dimungkinkan adanya suatu organ negara yang mempunyai fungsi campuran, masing-masing bersifat independen (independent bodies) atau quasi independen. Beberapa ahli yang mengelompokkan lembaga independen ini dalam domain atau ranah kekuasaan eksekutif atau mengelompokkannya secara tersendiri sebagai the fourth branch of the government atau oleh para ahli ketatanegaraan di Belanda disebut dengan De Vierde Macht.48 Tidak hanya di Belanda, di Amerika Serikat juga muncul kekuasaan lain disamping kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kekuasaan tersebut adalah independent agencies. Kekusaan independen ini muncul dilatarbelakangi oleh pertumbuhan yang luar biasa pada lembaga-lembaga pemerintahan dengan kekuasaan regulasi
47
Dalam rangka membatasi kekuasaan itu, di zaman sekarang berkembang pula adanya pengaturan kelembagaan pemerintah yang bersifat independen, seperti bank sentral, organisasi tentara dan kejaksaan. Independensi lembaga atau organ-organ tersebut dianggap penting untuk menjamin demokrasi. Lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 156 48
Dengan meneliti hukum tatanegara negara Belanda, Crince le Roy menyimpulkan terdapat kekuasaan lain di samping tiga kekuasaan menurut Montesquieu. Kekuasaan tersebut diberi istilah De Vierde Macht. Akan tetapi, kekuasaan ke-empat tersebut bukan hanya pegawai negeri, dalam suatu negara munculnya kekuaaan lainnya berkaitan dengan kenyataan dalam masyaratakat suatu negera. Crince le Roy menyebutkan kekuasaan lainnya yakni komisi-komisi Independen, pers, aparat kepegawaian, kekuasaan-kekuasaan pengawasan, komisi- komisi pelayaan masyarakat, rakyat yang memiliki hak pilih, kelompok- kelompok penekan dan partaipartai politik. Lihat Crince le Roy, Kekuasaan ke-empat Pengenalan Ulang, diterjemahkan oleh Soehardjo, (Semarang: 1981), hlm. 21
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
19
yang luas di AS terjadi pada abad ke-20.49 Pertumbuhan ini telah menimbulkan banyak masalah kebijakan dan koordinasi di pemerintahan. Perkembangan ini pada akhirnya mendorong terbentuknya lembaga-lembaga independen yang juga dikenal sebagai ―The Fourth Branch of The Government‖, bertindak tanpa tanggung-jawab dan tidak dikoordinir oleh Presiden. Keberadaan dan status dari lembaga-lembaga independen dengan kekuasaan regulasi yang luas akan sangat dapat digabungkan dengan prinsip-prinsip pemisahan cabang-cabang kekuasaan negara. Selain itu, dalam hal lembaga-lembaga independen, dibentuk setiap kekuasaan harus mampu melaksanakan sistem checks and balances dari kekuasaan lainnya dalam mengontrol tindakan lembaga. Dan oleh sebab itu kekuasaan lembaga independen memainkan satu peranan penting dalam sistem checks and balances antara tiga cabang kekuasaan asli. Selain itu juga dalam tesis ini, teori hukum yang dipergunakan untuk menganalisis aspek independensi dari otoritas regulator adalah principal-Agent Theory50. Menurut teori ini, alasan dasar pendelegasian kewenangan dari suatu principal kepada agent adalah bersifat fungsional, seperti misalnya pendelegasian dari pemegang saham kepada manajemen, negara kepada organisasi internasional, atau legislatif kepada institusi regulator. Hal ini dilakukan karena diyakini pendelegasian tersebut dapat memberikan hasil yang lebih baik dalam jangka 49
Keberadaan independent agencies di AS sebenarnya telah ada di AS lebih dari seratus tahun. Misalnya, Komisi Perdagangan Internasional (ICC), yang mempunyai tugas untuk meregulasi perkereta-apian, didirikan tahun 1887. Komisi Perdagangan Federal (FTC) dibentuk tahun 1914 dan mengikuti model ICC karena kekuasaan dan kewenangan yang independent seperti ICC. Akan tetapi, pada awal abad ke-duapuluh perkebangannya semakin meningkat. Lihat Saskia Lavrijssen, An Analysis of The Constitutional Position of The US Independent Agemcies, (1 Januari 2008), terdapat di situs
Kajian awal dari pendekatan teori principal-agent dapat ditemukan dalam tulisan Berle and Means (1932), yang meneliti proses pendelegasian dalam level sebuah perusahaan. Mereka mengkaji bagaimana pemegang saham suatu perusahaan memberikan delegasi kepada pihak di luar manajemen perusahaan dan bagaimana pemisahan kepemilikan dalam kontrol perusahaan menghasilkan pengaruh dari pendelegasian tersebut. Selain itu, mereka menemukan terkait bahwa perbedaan dalam pembentukan institusi dapat memberikan hasil yang efisien. Lihat A. Berle and G. Means, 1932. The Modern Corporation and Private Property. New York: Macmillan. Setelah Berle dan Means, Stephen Ross merupakan pemikir pertama dalam memberikan kajian tentang urgensi principal-agent theory, karena ia menjelaskan hubungan antara principal dan agents sebagai hubungan di antara dua pihak atau lebih, satu sebagai agents bertindak dan sebagai perwakilan pihak yang lain, yang mana disebut sebagai principal, di dalam suatu domain/ranah khusus dari situasi pemecahan masalah. Lihat Stephen Ross, 1973. ―The Economic Theory of Agency: The Principal‘s Problem.‖American Economic Review, vol. 63(2), pp.134.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
20
panjang.51 Pendekatan teori principal-agent mengasumsikan bahwa pejabat terpilih (legislator) mendelegasikan beberapa kekuasaan mereka kepada suatu institusi regulator untuk membuat kebijakan publik, hal ini didasarkan dari anggapan bahwa akan didapat benefit yang lebih besar daripada cost yang dikeluarkan untuk pendelegasian tersebut.52 Delegasi ini dilakukan karena juga diyakini bahwa institusi tersebut dapat menjalankan fungsi yang berguna bagi pejabat terpilih (legislator) dalam berurusan dengan berbagai tekanan dan masalah.53 Maka oleh sebab itu, pembentukan dan desain institusi regulator dipandang hanya terkait masalah institusional, yaitu pejabat terpilih (principal) mendelegasikan wewenang kepada institusi regulator (agent) dan mereka memilih institusi dalam bentuk formal (secara khusus terdapat unsur didelegasikannya kekuasaan dan juga kontrol pengawasan dari pemberi pihak delegasi) yang meminimalkan institusi itu mengalami kerugian yang timbul dari suatu kelalaian. Dapat disimpulkan bahwa secara umum, model principal-agents memberikan analisis terhadap hubungan antara principal (pemberi delegasi) dan agents (penerima delegasi), alasan dan tujuan dari delegasi, mengkaji jumlah diskresi yang harus diberikan kepada agent dan juga sama halnya terhadap mekanisme kontrol pengawasan yang dibatasi kepada agent oleh principal yang bertujuan untuk mendapatkan manfaat yang diharapkan pendelegasian.
51
Mark A. Pollack, 1997, ―Delegation, Agency, and Agenda Setting in the EuropeanCommunity‖, International Organization, vol. 51(1), pp. 99-134. 52
Penting untuk dicatat bahwa suatu pendelegasian mengakibatkan manfaat dan juga biaya bagi pihak yang memberikan delegasi. Kerugian yang timbul dari hal ini sering disebut dengan istilah ‗agency costs‘ or ‗agency losses‘ yang mana disebabkan oleh pengaturan agents yang bertindak atas pihak principal, dan oleh sebab itu mekanisme control terhadap agents dimaksudkan untuk menimilasir hal tersebut. Lihat Jonas Tallberg, 2002. ―Delegation to Supranational Institutions: Why, How, and with What Consequences?‖ West European Politics, vol. 25(1), pp. 23-46 53
G. Majone, 1999. ―The Regulatory State and Its Legitimacy Problems‖ West European Politics, vol. 22(1), pp. 1-24.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
21
E.
Metode Penelitian Penelitian adalah suatu usaha pencarian jawaban yang benar, sebuah kata
istilah dalam bahasa Indonesia yang dipakai sebagai kata terjemahan apa yang di dalam Inggris disebut Research.54 Bermakna sebagai pencarian, penelitian adalah suatu kegiatan bersengaja dan bertujuan serta pula berprosedur alias bermetode.55 Metode Penelitian pada hakikatnya memberikan pedoman, cara-cara mempelajari, menganalisa dan memahami kejadian-kejadian dalam penelitian.56 Penelitian yang dilakukan oleh penulis merupakan penelitian hukum karena didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. 57 Lebih lanjut, penelitian hukum dalam tesis ini merupakan penelitian hukum
yang
bertipe non doktrinal, yaitu penelitian berupa studi-studi empiris untuk menemukan teori-teori mengenai proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum di dalam masyarakat.58 Dan kajian ilmu hukum yang digunakan penulis adalah kajian ilmu hukum normatif59, dikarenakan bahan penelitian yang digunakan penulis adalah bahan-bahan kepustakaan ilmu hukum. 1) Tipologi Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yaitu memberikan gambaran secara umum yang dapat ditangkap oleh panca indera atau menggambarkan secara tepat sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi suatu gejala.60 54
Sulistyowati Irianto & Shidarta, Metode Penelitian Hukum ―konstelasi dan Refleksi‖, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2009), hal. 96 55
Ibid.
56
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3 (Jakarta: Penerbit UI-Pres, 1986), hal.6. 57
Ibid, hal. 43
58
Sutandyo Wignjosoebroto, tth,‖, Apakah Sesungguhnya Penelitian itu?‖, Kertas Kerja, (Surabaya : Univ. Airlangga, 1986), hlm. 2 59
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Rajawali Press, 1990), hal. 15 60
Sri Mamudji et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, ( Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 4.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
22
Kaitannya dengan penelitian ini, gambaran secara umum adalah mengenai bagaimana aspek hukum independensi Otoritas Jasa Keuangan dalam penyelenggaraan sistem pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di sektor jasa keuangan. Selain itu, penelitian ini juga termasuk penelitian murni yaitu penelitian ini bertujuan mengembangkan pengetahuan.61 2) Jenis Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier sebagai berikut.62 a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan
mengikat
berupa
peraturan
perundang-undangan
Indonesia, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan. b. Bahan hukum sekunder, yatu bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa, memahami, dan menjelaskan bahan hukum primer, yang antara lain adalah teori para sarjana, buku, penelusuran internet, artikel ilmiah, jurnal, tesis, surat kabar, dan makalah. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder, misalnya kamus. 3) Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan adalah kualitatif yaitu mendalami makna dibalik realitas atau tindakan atau data yang diperoleh dan yang diteliti atau dipelajari sebagai objek penelitian yang utuh.63 Dalam penelitian ini apa yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dipelajari secara lebih mendalam khususnya mengenai aspek hukum independensi otoritas jasa keuangan
61
Ibid., hal. 5.
62
Soerjono Soekanto, Op. Cit., hal. 32.
63
Sri Mamudji et.al., Op. Cit., hal. 67.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
23
dalam penyelenggaraan sistem pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di sektor jasa keuangan. F.
Sistematika Penulisan Dalam Bab I, yaitu Bab Pendahuluan penelitian, akan dipaparkan
mengenai latar belakang dipilihnya topik penelitian tesis ini. Lebih lanjut, yaitu aspek-aspek dari Independensi Lembaga Pengatur dan Pengawas Jasa Keuangan atau Otoritas Jasa Keuangan yang menarik untuk dikaji lebih mendalam. Selain itu dalam bab ini juga akan dijelaskan terkait teori hukum yang digunakan penulis dalam melakukan penelitian ini, juga metode penelitiannya. Kemudian di dalam Bab II, yaitu Bab Teori Penelitian, penulis akan menjabarkan Teori dan Prinsip Independensial Otoritas Pengatur dan Pengawas Jasa Keuangan dari referensi-referensi yang telah penulis kaji. Dari referensi dan literatur ilmiah ini, penulis kemudian mendapatkan dimensi dan prinsip independensial suatu lembaga/otoritas pengatur dan pengawas jasa keuangan. Kemudian juga, tentu aspek Independensi tidak akan lengkap dengan isu yang cukup menjadi perdebatan di kalangan akademis maupun praktisi yaitu aspek Independensi dari Intervensi Politik dan Industri Jasa Keuangan. Dalam Bab III, akan dibahas mengenai bagian isi dari penelitian, yaitu Status, Kedudukan dan Struktur Kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan. Penting untuk dibahas secara mendetil khususnya dari peraturan perundang-undangan berlaku terkait Landasan Hukum Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan. Status dan Kedudukan Otoritas Jasa Keuangan dalam struktur ketatanegaraan dan juga tidak kalah pentingnya adalah Hubungan Kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan dengan Lembaga Terkait di Bidang Jasa Keuangan. Dalam Bab IV, yaitu Bab Analisa Penelitian, penulis akan memberikan analisa dari fakta-fakta dan teori yang telah penulis paparkan di bab-bab sebelumnya. Maka dalam bab ini dapat dikatakan merupakan inti dari pemikiran penulis atas AspekIndependesi Otoritas Jasa Keuangan dalam Penyelenggaraan Sistem Pengaturan Dan Pengawasan Terhadap Kegiatan di Sektor Jasa Keuangan Indonesia Dalam Bab V, yaitu Bab Penutup, akan berisi kesimpulan dan saran dari penulisan tesis ini.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
24
BAB II INDEPENDENSI OTORITAS PENGATUR DAN PENGAWAS KEGIATAN DI SEKTOR JASA KEUANGAN
A. Otoritas Independen Untuk memulai bab ini, perlu terlebih dahulu dipahami berbagai definisi Independen dari sumber-sumber referensi yang penulis teliti. Istilah Independen dalam bahasa inggris ditulis dengan kata independent yang mempunyai pengertian yaitu not governed by another, not requiring or relying on something or somebody else, not easily influenced.64 Kemudian independen dalam Black‘s Law Dictionary diartikan sebagai suatu kondisi yang terbebas dari ketergantungan, terbebas dari kontrol modifikasi atau pembatasan dari pihak lain. 65 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Independen adalah mandiri yang mempunyai pengertian bebas dari ketergantungan pada orang lain.66 Jadi secara umum, independensi dapat didefinisikan sebagai kebebasan dari pengaruh instruksi/pengarahan, atau kontrol dari pihak/pihak-pihak lain. Menurut literatur-literatur hukum yang berkembang dewasa ini, secara umum dalam mendefinisikan Otoritas Independen, dapat menggunakan salah satu ciri yang penting, yaitu suatu lembaga yang dipimpin oleh seseorang yang tidak dapat diberhentikan langsung (bahkan oleh Presiden sekalipun) dan hanya dapat diberhentikan oleh suatu alasan yang valid dan substansial/good cause67. Senada 64
Webster‘s Vest Pocket Dictionary, Merriam Webster Inc, Publisher Springfield, Massachussets, USA, 1989. 65
―Independent : not dependent, not subject to control, restriction, modification or limitation from a given outside source‖. Henry Campbell Black, M.A, Black‘s Law Dictionary, Sixth Edition, (St. Paul Minn, West Publishing Co, USA), 1997, hlm. 472. 66
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, dikutip darihttp://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/ 67
Jacob E. Gersen, Designing Agencies, in Research Handbook On PublicChoice And Public Law, (Daniel A. Farber & Joseph O‘Connell eds.), 2010, page 333, 347 (―Independence is a legal term of art in public law, referring to agencies headed by officials that thePresident may not remove without cause‖). Lihat juga Marshall J. Breger & Gary J. Edles,Established byPractice: The Theory and Operation of Independent Federal Agencies, 52 Administrative Law Review, 2000, page 1111,1138 (―The critical element of independence is the protection— conferred explicitly by statute or reasonably implied—against removal except ‗for cause.‘‖). Lihat juga Lisa Schultz Bressman & Robert B. Thompson, The Future of Agency Independence, 63 Vanderbilt Law Review, 2010, page 599, 610 (―What gives agencies their independence or what
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
25
dengan definisi tersebut, William F. Fox Jr., juga menyatakan bahwa suatu otoritas adalah independen bila dinyatakan secara tegas oleh kongres dalam undang-undang otoritas yang bersangkutan atau, bila Presiden dibatasi untuk tidak secara bebas memutuskan (discretionary decision) pemberhentian sang pimpinan otoritas.68 Pakar ketatanegaraan Indonesia, Jimly Asshiddiqie memberikan pengertian Otoritas Independen atau -dalam bahasanya- yaitu ―Komisi Negara Independen‖ sebagai suatu organ negara (state organs) yang diidealkan independen dan karenanya berada di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif, namun justru mempunyai fungsi campur dari ketiganya.69 William F. Funk dan Richard H. Seamon menambahkan bahwa sifat independen dari otoritas tercermin dari: (1) kepemimpinan yang kolektif, bukan seorang pimpinan; (2) kepemimpinan tidak dikuasai/mayoritas berasal dari partai politik tertentu; dan (3) masa jabatan para pemimpin komisi tidak habis secara bersamaan, tetapi bergantian (staggered terms).70 Dalam kajian para ahli dan akademis di Amerika (khususnya di bidang hukumadministrasi negara), sering mendefinisikan otoritas independen dengan pengertian, yaitu suatu lembaga pemerintahan yang -tidak dibentuk oleh rakyat dan tidak juga dijalankan oleh pejabat yang terpilih-, yang mana lembaga ini menjalankan otoritas sebagai regulator kebijakan-kebijakan di bidang-bidang khusus71. Di luar Amerika, kriteria untuk menentukan suatu lembaga independen adalah semakin bervariasi, misalnya di negara-negara Eropa yang mempunyai karakter otoritas independen sebagai suatu lembaga yang mempunyai posisi di otherwise distinguishes them from their executive-branch counterparts [is that] the President lacks authority to remove their heads from office except for cause.‖). 68
William F. Fox Jr, Understanding Administrative Law (Danvers: Lexis Publishing), 2000, hal. 56. 69
Jimly Asshidiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUd 1945, makalah dalam seminar pembangunan hukum nasional VIII, Denpasar 14-18 Juli 2003. 70
William F. Funk dan Richard H.Seamon, Administrative Law: Examples & Explanations, (New York, Aspen. Publishers, Inc) 2001, page 23-34. 71
Mark Thatcher & Alec Stone Sweet,Theory and Practice of Delegation to NonMajoritarian Institutions, 25 West European Politic, 2002, page 1, 2 (―an independent agency is a government body ―neither directly elected by the people, nor directly managed by elected officials.‖)
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
26
luar struktur hieraki dari kekuasaan eksekutif.
72
Atas dasar bebarapa alasan-
alasan tersebut, kajian dan studi akademis telah mengalami pergeseran dari single criteria dalam menentukan independensi, menjadi analisis-analisis yang lebih komprehensif dan mendalam pada kondisi-kondisi kelembagaan suatu otoritas independen tersebut.73 Namun dalam tingkatan yang paling minim, suatu otoritas dapat dikatakan independen secara formal, ketika otoritas tersebut dapat menjalankan kewenangannya tanpa kontrol/pengarahan dari pejabat pemerintah terpilih seperti presiden, kementerian atau perdana menteri.74 Dengan demikian, dapat juga disimpulkan bahwa otoritas independen adalah suatu entitas administratif yang beroperasi di luar hierarki dari badan kepemerintahan pusat. Telah dijelaskan bahwa sifat dan karakteristik dari otoritas independen akan berbeda-beda di setiap negara atau dapat juga dikatakan bahwa setiap negara mempunyai legal definition dan doktrin sendiri atas otoritas independen dan penyebutan istilah otoritas independen sangat bervariasi seperti misalnya, ‗autonomous regulatory agencies‘, ‗semi-independentregulators‘, ‗independent regulatory agencies‘, ‗impartial regulatory agencies‘‗independent regulatory commission‘dan sebagainya.75 Namun demikian, secara umum dapat ditemukan persamaaan ciri yang signifikan diantara otoritas independens tersebut. Pertama, mereka memiliki fungsi dan kewenangan sebagai regulator di bidang-bidang
72
Martin Shapiro, A Comparison Of U.S. And European Independent Agencies, Comparative Administrative Law, (Susan Rose--‐Ackerman And Peter L. Lindseth, eds), 2010, page 293, 279 (―To operationalize Agency independence, Jurisdictions around the world have followed different approaches. While U.S. Law has Focused on the Appointment and removal process for agency heads, European countries have emphasized the position of these agencies outside the traditional executive body hierarchy―). 73
Fabrizio Gilardi,The Formal Independence of Regulators: A Comparison of 17 Countries and 7 Sectors, 11 Swiss Political Science Review, 2005, page 140 (―[I]t can be considered that formal independence depends on the status of the head of the regulator and of its management board, on the relationship with government and parliament, on financial autonomy, andon the extent of regulatory powers.‖). 74
Aalt Willem Heringa & Luc Verhey, Independent Agencies and PoliticalControl, Agencies In European And Comparative Perspective, (Tom Zwart &Luc Verhey eds.), 2003, page 156, (―Agencies are independent if they are not subordinate to the responsible minister.‖). 75
Ümit Sönmez, Independent Regulatory Agencies: The World Experience And The Turkish Case, A Thesis Submitted To The Graduate School Of Social Sciences Of Middle East Technical University, 2004, Page 8.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
27
khusus perekomian atau bidang sosial.76 Selain itu, kewenangan adjudikatif, yang memungkinkan mereka untuk menyelesaikan sengketa dan mengeluarkan keputusan melalui proses hearing atau proses yang setipe dengan persidangan.77 Sebagian besar otoritas independen juga memiliki fungsi dan kewenangan atas kebijakan publik atau regulasi-regulasi yang secara hukum mengikat masyarakat dan sektor privat, yang mana implementasi dan kekuatan hukumnya tidaklah berbeda daripada sistem peraturan perundang-undangan umum (UU, PP, atau Permen).78 Kemudian, otoritas independen di di negara-negara maju pada umumnya telah memiliki kewenangan dalam hal menyelidiki dan mengadili terhadap pelanggaran aturan dan regulasi mereka.79 Berbicara tentang independensi dalam perspektif operasional, intitusi ini mempunyai kelebihan-kelebihan
yang cukup penting
yaitu, dalam hal
pengembangan skill dan keahlian, dikarenakan mereka dapat memfokuskan waktu dan tenaga mereka untuk memahami bidang yang ditanganinya dan berusaha untuk tetap menjaga kepentingan publik terhadap semakin meningkatnya
76
Stéphane Jacobzone, Designing Independent And Accountable Regulatory Authorities For High Quality Regulation, Proceedings of an Expert Meeting in London, Prepared By Organisation For Economic Co-Operation And Development (OECD), United Kingdom, 10-11 January 2005, page 72 (―Independent Regulators have been established when setting up new marketoriented regulatory arrangements for utility sectors with network characteristics, such as telecommunications, financial services, or for the social and environmental arena‖. 77
Kirti Datla and Richard L. Revesz, Deconstructing Independent Agencies (And Executive Agencies), New York University Public Law and Legal Theory Working Papers. Paper 350, page 39. (The fact that Indpendent agencies are authorized to proceed through adjudication has beennoted for decades. Yet, scholars persist in associating the authority to adjudicate with independent agency status. Agencies engage in around 500,000 informal adjudications, of which at least at least several hundred formal adjudications per year.) 78
Martino Maggetti, The Role of Independent Regulatory Agencies in Policy-Making: a Comparative Analysis of Six Decision-Making Processes in the Netherlands, Sweden and Switzerland, Paper prepared for: The Fourth ECPR General Conference, Pisa, Italy, 6-8th September 2007, page 3. (The term of Independent Regulatory Agency ―decision-making process‖ illustrates the whole process of adopting/revising a new law (in the domain of the related RA), from the agenda setting to the policy implementation). 79
Otoritas Independen di sektor finansial di negara-negara maju pada umumnya telah memiliki fungsi dan kewenangan investigasi dan kewenangan untuk mengenakan sanksi administratif, Lihat Julia Black and Stéphane Jacobzone, Tools For Regulatory Quality And Financial Sector Regulation: A Cross-Country Perspective, OECD Working Papers on Public Governance No. 16, 2009, page 24. Table 3: Comparison of formal function of independent Financial Sector Regulator in USA, Canada, United, Kingdom, Australia& France
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
28
permasalahan kompleks di kehidupan yang semakin mengglobal.80 Dalam hal keahlian/experitise ini, diyakini merupakan alasan klasik yang mendasari dibutuhkan otoritas independen.81 Hal ini sejalan dengan pemikiran akademis di bidang hukum administrasi James Landis yang menyatakan dalam kajiannya, ―With the rise of regulation, the need for expertness became dominant‖. 82 Dengan hadirnya otoritas independen ini diharapkan dalam menjalankan fungsinya yang dipengaruhi oleh informasi-informasi ekonomi yang valid dan bukan oleh unsurunsur yang bersifat politis. Sudah tentu, adalah hal yang mustahil menghapus unsur politis dan political judgement dalam operasional otoritas ini, apalagi ketika otoritas independen telah dilengkapi dengan kewenangan diskresional. Namun yang menjadi penting adalah bagaimana membuat unsur politis lebih diminimkan dan mengedepankan keahlian dalam hal pembuatan keputusan otoritas.83 Lebih lanjut, dalam konteks birokrasi, birokrat/pejabat otoritas independen pada umumnya cenderung tidak dapat dipengaruhi dengan mudah oleh politik dibandingkan pejabat/politisi terpilih, yang mana harus sering mencari dukungan politik untuk mendapatkan suara/vote agar terpilih kembali.84 Terbebas dari kendala tersebut membuat birokrat independen dapat memprioritaskan kebijakankebijakan jangka panjang dibandingkan tujuan-tujuan jangka pendek yang sering 80
StavrosGadinis, From Independence to Politics in Financial Regulation (August 27, 2012). California Law Review, Forthcoming; UC Berkeley Public Law Research Paper No. 2137215, page 1. (‖independent bureaucrats develop expertise by investing the time and energy to build up know-how and by striving to identify and promote the public interest in an increasingly complicated world‖) 81
Bressman & Thompson, Op.Cit.,, at 612 (―Independence was traditionally justified, particularlyduring the New Deal era, as promoting expertise.‖); Lihat juga Neal Devins & David E. Lewis, Not-So Independent Agencies: Party Polarization and the Limits of Institutional Design, 88 Boston University Law Review, 2008, at page 463(―Commission expertise is the traditional, ‗good government‘ justification for Congress‘s choice to create independent agencies.‖). 82
Charles H. Koch Jr., James Landis: The Administrative Process, Faculty Publications College of William & Mary Law School, 48 Administrative Law Review, 1996, at page 427. 83
David E. Lewis, The Adverse Consequences of thePolitics of Agency Design for Presidential Management in the United States: The RelativeDurability of Insulated Agencies, British Journal of Political Science 34, 2004, page 377.(―finding that agencies insulated from presidential control are more durable than other agencies‖). 84
Bressman & Thompson, Op.Cit., at page 599, 612 (―Proponents of agency independence believe in the need to build an administration staffed by expert career bureaucrats, rather than opportunistic political appointees. The see value in nurturing civil servants with deep knowledge of their policy fields.‖).
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
29
dilakukan oleh pejabat politik. Birokrat independen tersebut dapat dengan leluasa merencanakan dan menjalankan parameter-parameter yang dibutuhkan dalam hal mencapai kestabilan kebijakan, yang bertujuan pada kemajuan dunia bisnis dan pertumbuhan ekonomi. Para politisi, sebaliknya, tidak mempunyai pemahaman yang mendalam terkait bidang-bidang khusus ini, dan tentunya akan menemui kesulitan untuk menjalankan disiplin ilmu yang sangat beragam ini.85 Sejalan dengan pendapat para ahli dan akademisi yang menyatakan pentingnya
presentasi
dari
lembaga/otoritas
Independen
dalam
tata
kepemerintahan negara modern, namun juga tak kalah pentingnya bahwa secara rasional pembentukan suatu lembaga independen tersebut adalah untuk menjamin pembangunan sektor ekonomi akan terlindungi dari kepentingan politis jangka pendek dan juga kepentingan-kepentingan tertentu dari sektor privat.86 Dari perspektif kepemerintahan publik, regulator adalah ―suatu agency‖, yang dipercayakan dengan kekuasaan/kewenangan yang signifikan sebagai otoritas pengatur, dan diberikan independensi dalam tingkatan tertentu untuk proses pengambilan keputusan mereka. Agencies dalam hal ini merupakan representasi dari suatu bentuk desentralisasi dalam kepemerintahan, dengan model organisasi modern, yang juga sering dikaitkan dengan konsep organisasi ―The New Public Management‖ (NPM).87 Oleh sebab itu, sementara otoritas/agencies yang masih bersifat konvensional tetap diharuskan bertanggung jawab kepada eksekutif (bahkan walaupun mereka telah diberi otonomi dalam beroperasional dan merancang anggaran), namun tetap saja otoritas independenlah yang sering dirancang untuk dijamin kemandiriannya secara signifikan. 85
Jeffrey S. Banks & Barry R. Weingast, The Political Control of Bureaucracies under Asymmetric Information, 36 American Journal of Political Science,1992, page 509. 86
Stéphane Jacobzone, Op Cit., Designing Independent And Accountable Regulatory Authorities For High Quality Regulation, page 72. 87
Kempe Ronald Hope, ―The New Public Management: Context and Practice in Africa.‖ International Public Management Journal, vol. 4, 2001, page 122-126. (Hope has made a study on NPM reforms used for the transformation of public sector management.Interestingly, he defined delegation is the transfer of specific authority and decision-making powers to organizations that are outside the regular bureaucratic structure and that are only indirectly controlled by a government, such as regional development corporations, and semiautonomous agencies. Delegation is seen as a way of offering public goods and services through a more business-like organizational structure that makes use of managerial accounting techniques normally associated with the private enterprise.)
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
30
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa terkait teori ―agent-principal‖, otoritas independen dalam menjalankan tugas dan fungsinya berasal dari pendelegasian kekuasaan oleh legislator melalui perundang-undangan, atau dapat dikatakan bahwa otoritas independen bertindak sebagai "agent", bertindak untuk dan atas nama dari legislator yang dalam hal ini disebut dengan―principal‖. Diskusi dan kajian terkait isu pendelegasi kekuasan ini telah menjadi pembahasan yang terfokus dalam bidang ilmu ekonomi dan sama halnya dengan di bidang ilmu politik88. Konsep pendelegasian kewenangan kepada suatu otoritas untuk melakukan regulasi/pengaturan, telah menjadi praktik umum di beberapa negara selama beberapa dekade.89 Alasan utamanya adalah jumlah aktifitas yang terlibat dalam pengaturan dan pengawasan kegiatan di sektor ekonomi, dan ditambah dengan semakin kompleksitas dari aktifitas tersebut. Delegasi tersebut terdiri dari dua bentuk. Pendekatan tipe pertama, delegasi untuk Lembaga Kepemerintahan, Kementerian khusus, Otoritas Lokal, atau lembaga resmi lain, yang mana telah menjadi praktik umum di kebanyakan negara selama beberapa dekade. Pendekatan tipe kedua, yaitu mendelegasikan kekuasaan pengaturan kepada suatu lembaga independen adalah tipe yang populer belakang ini, walaupun diakui belum dapat dikatakan telah menyebar luas dan diterima seluruhnya. Tipe ini secara teoritis menawarkan kelebihan yaitu dari terlindung dari potensi intervensi pasar dan campur tangan politik. Selain itu juga meningkatkan transparansi, stabilitas dan keahlian dalam proses pengaturan dan pengawasan, terutama untuk penanganan yang diperlukan untuk situasi yang kompleks seperti masa krisis.
88
David Sappington, "Incentives in Principal-Agent Relationships", Journal of Economic Perspectives, 5(2), 1991, page 45-66. 89
Marc Quintyn & Michael W. Taylor, Regulatory and SupervisoryIndependence and Financial Stability (Int‘l Monetary Fund, Working Paper No. 02/46,2002,, page 9.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
31
B. Otoritas Independen dalam Penyelenggaraan Kegiatan di Sektor Jasa Keuangan Diskusi tentang independensi, khususnya terkait otoritas penyelenggara kegiatan sektor jasa keuangan, dapat dikatakan terhitung masih relatif baru. Diskusi terkait independensi lembaga pengawas sektor finansial tersebut dimulai dan terinspirasi oleh literatur dan referensi-referensi terkait Independensi dalam lembaga Bank Sentral.90 Selain itu, semakin populernya diskusi-diskusi terkait model yang paling sesuai pada otoritas pengaturan dan pengawasan, termasuk juga struktur organisasinya, dikarenakan juga meningkatnya kajian terkait pengintegrasian/penyatuan sistem pengawasan di sektor finansial atau terpisah dari bank sentral.91 Lebih lanjut, diskusi ini akan menimbulkan perdebatan seberapa besarkah tingkatan independensi yang dibutuhkan untuk lembaga pengawasan baru yang terpisah dari bank sentral tersebut. Hal ini sebagai respon dari argumen bahwa dalam fungsi pengawasan perbankan yang masih kurang mendapat perhatian yang lebih dalam hal tingkat independesialitas, dibandingkan fungsi menjaga kestabilan moneter yang dilakukan oleh Bank Sentral.92 Di sekitar awal 1990-an, hampir semua negara-negara barat yang diprakarsai oleh Amerika Serikat, telah memperkuat independensi dari otoritas
90
Lastra (1996) dan Goodhart (1998) melalui kajiannya terhadap independensi di kelembagaan Bank Sentral, dapat dikatakan merupakan akademisi pertama yang menekankan diperlukannya prinsip Independensi di dalam pengaturan dan pengawasan di sektor finansial (non monetary task).Lihat Rosa Maria Lastra, Central Banking and Banking Regulation, (London: LSE, Financial Markets Group), 1996.; Lihat juga Charles Goodhart (ed) ‗The Emerging Framework of Financial Regulation‘, a collection of compiled by the Financial Markets Group of the London School of Economics (London: Central Banking Publications), 1998. 91
Donato Masciandaro, Marc Quintyn, andMichael Taylor,Financial Supervisory Independence andAccountability – Exploring theDeterminants, IMF Working Paper WP/08/147, 2008, page 3 (―The public discussions regarding the establishment of the Financial Services Authority (FSA) in the United Kingdom and the Australian Prudential Regulations Authority (APRA) in Australia in the second half of the 1990s were the first ones that made explicit mention of independence and accountability issues‖) 92
Eva Hüpkes, Marc Quintyn, and Michael W. Taylor,―The Accountability of Financial SectorSupervisors: Principles and Practice‘, IMF Working Papers, No 05/51, March 2005, page 9. (―Referring to Lastra‘s observation that several central banks (e.g., Banque de France, Bank of Spain) were granted a higher degree of independence for attaining their monetary policy objectives than for their banking supervisory tasks‖).
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
32
regulator khususnya di sektor financial.93 Negara-negara eropa dengan tekanan dari regulasi di wilayah Uni Eropa kemudian juga mengenalkan konsep otoritas independen regulator ini di reformasi sektor finansial dari sekitar pertengahan tahun 1980an.94 Di Jepang, walaupun Pemerintah Pusat tetap mempertahankan kewenangannya untuk mengintervensi pengawasan di sekor finansial namun jarang bahkan tidak pernah menggunakan kewenangan tersebut.95 Kemudian negara-negara yang pernah mengalami krisis financial yang cukup akut pada tahun 1990an, seperti Indonesia, Mexico dan Korea, merespon hal ini dengan juga memperkuat independensi dari lembaga regulator mereka.96 Dan pada tahun sekitar 2008, sebagian besar negara di dunia telah mengadopsi suatu bentuk lembaga independen ke dalam otoritas pengawasan sektor keuangan mereka.97 Selain dari pengaturan dalam hukum domestik di atas, dalam tataran global organisasi-organisasi internasional yang aktif dalam kajian dan diskusi tentang reformasi di bidang sektor finansial terus memberikan rekomendasirekomendasi terkait otoritas independen. Sebagai contoh, misalnya IMF terus aktif dalam menyampaikan pentingnya independensi dalam pengawasan sektor
93
Stavros Gadinis, Op.Cit., page 9 (―Independent agencies are The foundational element of U.S. financial regulation. The Federal Reserve System, The FDIC, The SEC, and The CFTC were inforced with strong guarantees of independence from the executive‖). 94
Fabrizio Gilardi, The Institutional Foundations of Regulatory Capitalism: The Diffusion ofIndependent Regulatory Agencies in Western Europe, Annals of the American Academy of Political and Social Science 598, 2005, page 84, 85. (―[Independent Regulatory Agencies] have a longtradition in the United States, but in Europe they are a relatively recent institutionalinnovation. . . . The number of IRAs has sharply increased since the mid-1980s.‖). 95
Stavros Gadinis & Howell Jackson, Markets as Regulators: A Survey, 80 Southern California Law Review,2007, page 1307. (―Japan Financial Services Agency (JFSA) position in the Japanese government structure is under the Prime Minister's Cabinet, some of its rules take the form of an Ordinance of the Cabinet Office, which requires the Prime Minister's approval. In practice, the Prime Minister has very rarely, if ever, exercised any powers to intervene in the regulation of the securities markets. The availability of a direct channel for government intervention at the highest level, however, may prove influential in its own right under certain circumstances.‖) 96
Marc Quintyn, Silvia Ramirez & Michael W. Taylor, The Fear of Freedom: Politicians and the Independence and Accountability of Financial Sector Regulators, 37 Int‘l Monetary FundWorking Paper No. 07/05, 2007, at page 21. 97
Steven Seelig & Alicia Novoa, Governance Practices at Financial Regulatory and Supervisory Agencies, Int‘l Monetary Fund, Working Paper No. 09/135, 2008, page 6–7. (presenting a survey of 103 countriesdemonstrating that 75 percent of the sample space had ensured operational independenceto their financial regulators).
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
33
keuangan, dengan argumentasi bahwa intervensi dari kekuasaan politik di krisis keuangan hanya membuat keadaan menjadi lebih buruk.98 Sampai pada sekitar akhir tahun 2000an, IMF terus melakukakan pemantauan terhadap situasi reformasi regulasi di sektor keuangan dan terus mempertegas pentingnya otoritas independen. Dalam catatannya, IMF menyimpulkan terdapat tingginya variasi dalam struktur kelembagaan di otoritas independen di berbagai negara di belahan dunia. Variasi tersebut misalnya terkait dengan tingkat kewenangan hukum yang diberikan kepada anggota otoritas, kebijakan terkait anggaran atau independensi sumber pendanaan (misalnya besarnya biaya iuran dari Industri yang diawasi), dan kriteria-kriteria dalam pengangkatan dan pemberhentian kepegawaian otoritas independen.99 Selanjutnya berdasarkan berbagai standar dan norma yang diakui secara internasional (seperti misalnya Basel Core Principles for Effective Banking Supervision (BCP), The IAIS - Insurance Core Principles and The IOSCO Objectives and Principles of Securities Regulation), independensi dalam pengawasan dapat didefinisikan sebagai situasi di mana otoritas pengawas mampu melaksanakan keputusan dan kekuasaannya secara independen terhadap penegakan kebijakan prudential dan/atau melakukan pengaturan dunia bisnis, tanpa dipengaruhi oleh pihak yang diawasi, Pemerintah, Parlemen, atau pihakpihak
lain
yang
berkepentingan.100
Namun
juga
perlu
diperhatikan
bahwa,independensi pengawasan sektor keuangan berbeda dari
independensi
98
Quintyn & Taylor, Op Cit., Regulatory and SupervisoryIndependence and Financial Stability, page 7. (―making the case for the independence of financial regulators‖). 99
Ibid at page 23 (showing that ―about 78 percent of the countries surveyed have putlegal immunity for all supervisory staff in the law[,] . . . in 16 countries, the [regulatoryagency] can now issue binding regulations, while in another 12 countries, they can issues[sic] guidelines with a more or less binding character[, and] in 22 countries, the[regulatory agency] is 100 percent funded outside the government budget‖). 100
Bank for International Settlements 2012.Basel Committee on Banking Supervision, Core Principles for Effective Banking Supervision, September 2012. (Principle 2 – Independence, accountability, resourcing and legal protection for supervisors: ―The legal framework for banking supervision includes legal protection for the supervisor‖). Selain itu, dalamObjective and Principleof International Organization of Securities Commissions(IOSCO), Financial Regulation and Supervision, June 2010,mensyaratkan dengan tegas perlunya independensi lembaga pengawas Pasar Modal. Dalam teks aslinya di point Principles Relating to the Regulator menyatakan bahwa, The Regulator should be operationally independent and accountable in the exercise of its functions and powers. Diunduh dari http://www.iosco.org/library/pubdocs/pdf/IOSCOPD323.pdf.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
34
bank sentral dalam menjaga kebijakan moneter, dalam arti bahwa di sektor finansial, pemerintah (biasanya Menteri Keuangan) secara politis tetap bertanggung jawab untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, dikarenakan kegagalan satu atau lebih lembaga keuangan, pasar atau infrastruktur dapat memiliki implikasi serius terhadap ekonomi masyarakat luas. Konsekuensinya, otoritas pengawas harus mempunyai tugas dan fungsi dengan jelas dan harus ada pendelegasian kewenangan secara explisit melalui suatu proses legislasi. Parlemen dan pemerintah tidak boleh secara langsung mengontrol otoritas pengawas dan mengintervensi aktivitasnya setiap saat. Independensi dalam hal ini haruslah seimbang dengan proses akuntabilitas yang transparan. Namun demikian, negara tetap harus mempunyai mekanisme kontrol seperti memberikan perwakilan pemerintah yang secara aktif berpartisipasi dalam manajemen di otoritas pengawas. Kontrol mereka harus diberikan pembatasan-pembatasan yang tegas seperti menggariskan kerangka hukum, menentukan tujuan strategi jangka panjang, pengawasan kinerja, dengan kondisi bahwa hal ini dilakukan dengan terbuka dan transparan.101 Terdapat dua alasan dalam hal penyerahan tugas pengaturan dan pengawasan sektor finansial kepada suatu insitusi independen. Pertama adalah terkait masalah keahlian/expertise, hal ini diperlukan karena sektor finansial membutuhkan pemahaman dan keahlian teknis yang sangat mendetail. Pegawai dari otoritas ini adalah spesialis-spesialis yang tahu bagaimana keuangan pasar bekerja dan familiar dengan dunia bisnis, tipe-tipe transaksi, mekanisme pelaksanaan, dan mengetahui catatan-catatan prosedural dari lembaga-lembaga jasa keuangan yang besar. Dalam hal regulasi di sektor keuangan, birokrat/pejabat ahli akan dapat lebih memahami kondisi keuangan lembaga yang rentan beserta akibatnya untuk para pihak-pihak terkait. Di saat krisis, ketika waktu berjalan dengan sangat singkat, independen birokrat ini dapat memahami secara cepat, menganalisa informasi dan bereaksi dengan tepat terhadap situasi yang berkembang. Terkadang, di dalam konteks tugas mereka dalam menangani situasi 101
Jacques de Larosière, The High-Level Group on supervision in EU, Report, Brussels 25 February 2009, page 47. (―National authorities influence should be limited to the possibility of amending the legal framework, imposing long-run strategic goals, and monitoring performance, on the condition that this is done in an open and transparent manner‖.)
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
35
krisis, birokrat independen dapat menggunakan komunikasi langsung dengan direksi/manager dari lembaga jasa keuangan,
yang membantu mereka untuk
menemukan solusi-solusi yang inovatif, seperti misalnya merger dengan lembaga keuangan lain, ketika krisis terjadi.102 Alasan yang kedua adalah selain dalam kelebihan di masalah keahlian tersebut, otoritas independen juga dapat menjamin kestabilan dalam hal kebijakan jangka panjang. Menurut kalangan para akademisi, paradigma dalam mendukung terbentuknya otoritas independen ini, adalah merupakan aliran/school of thought dari kebijakan di sektor moneter yang dijalankan oleh Bank Sentral. Independensi Bank Sentral dalam hal ini oleh para ahli dan akademisi dianggap telah dengan baik memprioritaskan tugasnya dalam mencapai tingkat inflasi yang rendah dan mampu untuk menstimulasi faktor-faktor ekonomi dalam jangka pendek, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang maksimal dalam jangka panjang. 103 Hal ini dapat dibuktikan dari beberapa literatur yang menunjukkan bahwa negara yang memperkuat independensi Bank Sentral mereka, dapat mencapai tingkat inflasi yang rendah dan juga tingkat pertumbuhan dan investasi yang maksimal. 104 Oleh karena demikian, bahwa secara teoritis dan empiris bahwa otoritas independen di sektor moneter seperti bank sentral dapat mengurangi ketidakpastian dan mencapai kestabilan yang baik, para ahli juga kemudian mengaplikasikan konsep ini di sektor-sektor yang berbeda selain moneter. Stabilitas dalam regulasi dan kebijakan adalah hal yang penting khususnya terhadap investor swasta, terutama dalam hal di mana model bisnis mereka terikat kerangka peraturan
102
Bressman & Thompson, Op Cit., at page 614 (―This ability, an expertise of asort, is perhaps most essential for financial policy,specifically securities regulation,where the SEC regularly interacts with the stock exchanges and other groups relevant tothe regulation of brokerdealers and accountants.‖) 103
Kenneth Rogoff, The Optimal Degree of Commitment to anIntermediate Monetary Target, 100 Quarterly Journal of Economics, November 1985,page 1169.(―Society cansometimes make itself better off by appointing a central banker who does not share the social objective function, but instead places ‗too large‘ a weight on inflation-rate stabilization relative to employment stabilization.‖) 104
Alex Cukierman, Central Bank Independence and Monetary Policy making Institutions – Past, Present and Future, 24 European Journal of Political Economy, December 2008, page 722, 728. (finding that ―the variabilities of both real and nominal rates of interest are lower, and that the average real return to depositors is higher, in countries [where central banks have] higher levels of actual independence‖).
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
36
tertentu/spesifik. Investor swasta tentu akan menghindari bahwa manipulasi negara dalam hal peraturan dan kebijakan yang tentu akan mempengaruhi bussiness profit mereka kedepannya.
105
Oleh sebab itu, untuk mencegah hal ini,
negara dapat menciptakan suatu mekanisme untuk mengedepankan komitmen dalam kestabilan hukum dan kebijakan secara jangka panjang, yaitu melalui otoritas independen.106 Hal ini sebagai argumen bahwa kestabilan dalam kebijakan peraturan sangat penting bagi lembaga jasa keuangan/investor, karena sektor finansial adalah ―heavily regulated area of business activity‖ dan perubahan yang seketika dalam kebijakan peraturan ini akan memakan biaya yang besar kepada dunia industri.
105
Douglass C. North & Barry R. Weingast, Constitutions and Commitment: The Evolution of Institutions Governing Public Choice in Seventeenth-Century England, 49 The Journal of Economic History, 1989, page 803, 808 (―Our view also implies that the development of free markets must be accompanied by some credible restrictions on the state‘s ability tomanipulate economic rules to the advantage of itself and its constituents. Successful economic performance, therefore, must be accompanied by institutions that limit economic intervention and allow private rights and markets to prevail in large segmentsof the economy‖). 106
Witold Jerzy Henisz, Political Institutions and Policy Volatility, Economics and PoliticsWiley Blackwell, vol. 16(1), 2004, page 1, 2.(―demonstrating‖ a strong relationship between political institutions that provide checks and balances that limit the discretion of political actors and policyvolatility in a broad sample of countries, time periods, and macroeconomicenvironments‖).
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
37
C. Indikator dan Ukuran Independensi Otoritas Pengatur dan Pengawas Jasa Keuangan Dalam mengkaji Independensi dari otoritas pengatur dan pengawas, perlu dibedakan makna antara independensi tujuan/goal independence (yang mengacu pada tujuan mandat dari legislator/parlemen kepada otoritas pengawas) dan independensi
instrument/instrument
independence
(yang
mengacu
pada
perumusan pelaksanaan praktek pengawasan dan pengaturan yang diserahkan kepada kebijaksanaan pejabat spesialis/otoritas regulator).107 Peran yang tepat bagi para parlemen adalah untuk mengatur dan menentukan tujuan dari dibentuknya otoritas pengaturan dan pengawasan/goal independence, namun otoritas regulator harus diberikan otonomi untuk menentukan bagaimana mereka harus
mencapai
tujuan
dan
juga
aspek
akuntabilitas
dalam
hal
pertanggungjawabannya jika mereka gagal untuk mencapainya/instrument independence Dalam mengkaji instrument independence dan goal independence dari otoritas
regulator
dan
supervisor
jasa
keuangan,
dapat
dilakukan
identifikasi/pengukuran melalui empat dimensi independensi, yaitu aspek pengaturan, pengawasan, kelembagaan, dan anggaran.108 Dua hal yang pertama adalah ditandai sebagai fungsi inti dari aspek independensi otoritas pengatur dan pengawas jasa keuangan, sedangkan dua hal yang terakhir sebagai fungsi pendukung, sangat penting untuk mendukung pelaksanaan fungsi inti.
1. Independensi
dalam
Fungsi
sebagai
Regulator/Regulatory
Independence Independensi dalam kaitannya, fungsi otoritas independen sebagai pembuat regulasi/regulator adalah mengacu pada seberapa jauh tingkat kewenangan suatu otoritas independen tersebut untuk men ‖set-up‖ suatu regulasi/aturan (yang bersifat prudensial) terhadap sektor yang diawasainya,
107
Stanley Fischer, Central Bank Independence Revisited, American Economic Review, Papers and Proocedings, Vol 85, May 1995, page 201-205. 108
Quintyn & Taylor, Op Cit., Regulatory and SupervisoryIndependence and Financial Stability, page 13. (Independence: Its four Dimension).
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
38
secara otonom/mandiri, yang tentunya dalam batasan-batasan hukum yang berlaku.109 Selain poin utama tersebut di atas, sebagai tambahan bahwa diperlukannya independensi dalam fungsi sebagai regulator secara umum adalah terkait kelebihan-kelebihan utama otoritas tersebut, seperti ―fast action‖ ketika diperlukan, stabilitas kebijakan serta skill dan keahlian yang khusus dalam proses pelaksanan tugas. Independensi sebagai regulator, juga tak dapat dipungkiri harus dipenuhi seiring semakin mengglobalnya sektor finansial dewasa ini. Otoritas regulator dalam hal ini harus berada dalam posisi yang kuat agar dapat mengadaptasi regulasi secara cepat dan fleksibel yang mengacu pada ―internasional best practice‖ Sangat penting bagi otoritas pengatur dan pengawas di sektor finansial ini untuk memiliki independensi dalam membuat regulasi-regulasi hukum khususnya terkait prinsip prudensial (prinsip kehati-hatian). Regulasi terkait prinsip prudensial ini menjadi penting karena mencakup aturan-aturan umum yaitu dalam hal stabilitas industri keuangan beserta aktifitas-aktifitasnya di dalamnya (seperti ketentuan persyaratan modal, kualitas aset, persyaratan dalam kualitas senior manajemen) dan aturan-aturan yang bersifat khusus, yaitu merupakan pengaturan atas sifat khusus dari lembaga jasa keuangan sebagai finansial intermediation (seperti capital adequacy ratio, pembatasan dalam transaksi-transaksi yang bersifat off-balance sheet activities, pembatasan kredit dalam hal Rasio exposure single borrower, pembatasan pemberian kredit kepada individu/kelompok usaha yang terkait dengan bank (connected lending), pembatasan dalam manajemen risiko nilai tukar valas (foreign exposure) dan aturan dalam pengklasifikasian kredit. Hal-hal diatas merupakan regulasi yang penting/fundamental dalam proses penyelenggaraan pengawasan dan berimplikasi secara luas dalam kestabilan sistem perbankan. Maka sebab itu dari perspektif regulatory independence, otoritas regulator harus memiliki tingkatan otonomi yang tinggi dalam 109
Quintyn, Ramirez & Taylor, Op Cit., The Fear of Freedom: Politicians and the Independence and Accountability of Financial Sector Regulators, at page 8.(Prudential rules differ from two other categories of regulations that govern banking: economic regulations,encompassing controls over pricing, profits, entry, and exit; and information regulations, governing theinformation that needs to be provided to the public at large and to the supervisors. These two types of rules tendnot to be subject to frequent amendations and could, therefore, be left to the lawmakers following a consultationprocess with the supervisors.)
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
39
menetapkan aturan-aturan terkait prinsip prudensial, yang mana hal ini merupakan faktor penting untuk memastikan sektor finansial dapat berjalan sesuai dengan ―internasional best standartand practices‖. Meskipun prinsip dari otonomi dalam aspek pengaturan ini sudah diterima secara luas, namun pada kenyataannya sulit untuk diterapkan secara penuh dan pengalaman menunjukkan bahwa prinsip ini di beberapa negara ternyata sangat dipengaruhi juga oleh sistem hukum yang diterapkan di suatu negara, sehingga dapat berimplikasi terhadap ketidakstabilan sektor keuangan.110 Di beberapa negara, berdasar dari sistem hukum yang dianut, Undang-undang/Legislasi yang disahkan cenderung terlalu mendetil sehingga hanya menyisakan sedikit ruang untuk peraturan-peraturan pelaksanaanya. Dibawah sistem ini, ruang untuk regulatory independence yang seharusnya dimiliki oleh otoritas pengatur dan pengawas adalah sangat terbatas. Secara maksimal, otoritas pengatur dan pengawas hanya diberikan kewenangan untuk membuat suatu tata pedoman (yang tidak mengikat) atau suatu klarifikasi. Dan untuk dapat membuat suatu peraturan/regulasi, otoritas tersebut harus membutuhkan suatu legislasi/undangundang baru atau revisinya. Kendala utamanya dalam sistem hukum ini, amandemen ataupun suatu revisi legislasi terkadang membutuhkan waktu yang panjang karena proses politik. Dan dalam menghadapi perkembangan dan perubahan perekonomian yang serba cepat dan tanggap, seperti sektor perbankan dan finansial, sistem ini tentu akan merugikan. Sedangkan pada negara dengan sistem dan tradisi hukum yang berbeda, legislasi/perundang-undangan dibiarkan hanya mengatur secara umum, menyisakan ruang yang besar untuk iniasiatif regulator dalam tingkat teknis dan implementasi. Di bawah sistem ini, regulatory independence mendapat porsi tingkatan yang lebih tinggi karena otoritas pengatur memiliki kewenangan untuk membuat peraturan teknis dengan cara yang cepat dan, oleh karena itu, tetap dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan pasar.
110
Quintyn &Taylor, Op Cit., Regulatory and Supervisory Independence and Financial Stability, page 14 (Relation Between Legal System and Regulatory Independence)
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
40
2. Independensi
dalam
Fungsi
sebagai
Pengawas/Supervisory
Independence Fungsi pengawasan dalam penyelenggaraan sektor finansial adalah dapat dikatakan sebagai elemen yang sangat penting dan krusial. Hal ini dikarenakan sektor finansial merupakan sektor yang berhubungan langsunng dengan masyarakat luas, yang mana merupakan hakikat dan prinsip dari lembaga finansial sebagai intermediasi. On-site inspections and off-site monitoring, pengaturan sanksi, and penegakan hukum—termasuk pencabutan izin/lisensi—adalah alat/instrumen dari lembaga pengawas untuk memastikan kestabilan dari sistem keuangan. Kendati memang independen pengawasan mempunyai peran yang vital dalam stabilitas sektor finansial, namun juga sangat sulit untuk menegakkan sekaligus menjamin sistem pengawasan dibandingkan dimensi-dimensi yang lain dari independensi. Hal ini dikarenakan, untuk mewujudkan sistem pengawasan yang efektif, biasanya fungsi ini dijalankan secara tidak terlihat. Tapi di lain sisi, hal ini justru mengakibatkan rentannya gangguan campur tangan pihak lain, baik dari politik maupun industri yang diawasi. Campur tangan politik dan industri itu sendiri, bisa dilakukan dengan berbagai bentuk, dan sering dilakukan dengan cara yang kompleks, sehingga membuat sulitnya mewujudkan perlindungan kepada lembaga pengawas dari segala bentuk campur tangan. Selain itu juga dapat terjadi campur tangan dari pemerintah, yang seringkali dilakukan dengan cara memberikan suatu kelonggaran, misalkan membiarkan suatu entitas bisnis untuk tidak dijatuhi hukuman, tidak ditegakkannya sanksi— yang sering terjadi di beberapa negara. Dalam beberapa kasus tertentu, hal ini akan memperpanjang umur perusahaan tersebut walaupun ia insolvent (dan akan berakibat kepada kompetisi yang tidak sehat dan biaya yang lebih tinggi bagi para pembayar pajak di tingkat berikutnya), yang mana di sisi lain tentu hal ini akan berimplikasi kepada stabilitas sektor tersbeut dan pada akhirnya berujung kepada masalah yang sistemik. Memastikan
independensi
dalam
fungsi
pengawasan,
seperti
pemberlakuan dan penegakan sanksi, adalah hal yang sulit, meskipun efektivitas aspek pengawasan jelas penting untuk kredibilitas dari proses pengawasan. Dan
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
41
untuk memperkuat supervisory independence dalam aspek ini, salah satu yang paling penting adalah bahwa otoritas pengawas harus mendapatkan kepastian perlindungan hukum/legal indemnities dalam pelaksanaan tugas-tugas mereka. Adalah fakta bahwa keputusan hukum otoritas akan mempengaruhi akan mempengaruhi kapasitas perusahaan atau industri untuk memperoleh penghasilan bisnis. Biasanya keputusan hukum otoritas akan menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain. Konsekuensinya adalah pihak yang dirugikan akan menuntut ganti rugi secara hukum di mana mereka yakin bahwa keputusan otoritas telah mengihlangkan hak-hak mereka. Bagi otoritas pengatur dan pengawas, adalah penting untuk mendapatkan perlindungan hukum dari kerugian yang mungkin timbul akibat tindakan yang diambil, sepanjang tindakan tersebut dikarenakan kepentingan nasional atau berdasarkan niat baik atau sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Tanpa perlindungan tersebut akan sangat sulit untuk pengawas dalam menentuka tindakan/keputusan dan tentunya akan sangat sulit untuk mendapatkan staf pengawas yang berkualitas mengingat mereka harus menanggung resiko pekerjaan yang sangat tinggi.111 Di banyak negara, pengawas masih ditemui sering dituntut secara pribadi atas tindakan mereka. Tidak adanya jaminan perlindungan hukum yang baik dapat berimplikasi pada paralyzing effect dalam fungsi pengawasan. Salah satu solusinya adalah jaminan perlindungan hukum terhadap otoritas pengawas ini harus dituangkan dengan tegas dalam perundangundangan. Salah satu cara lain untuk memperkuat supervisory independence adalah misalnya pemberian tingkatan upah/gaji yang tepat kepada pegawai pengawas -sebagai upaya untuk menarik kualitas individu pengawas yang baik, yang lebih confidence dalam bertugas dan tidak rentan terhadap sikap koruptif. Selain itu, dalam hal terdapat keberatan atau gugatan balik kepada pegawai pengawas, sebaiknya hanya dapat dilakukan melalu forum dewan peradilan yang khusus (spesialist
tribunals),
yang
dapat
menjamin
perlindungan
terhadap
111
Darmin Nasution, Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan Implementasi, Penerbit Buku Kompas, Februari 2004, hal 469-520.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
42
keberatan/gugatan dari entitas bisnis yang diawasi, atau kasus yang sengajakan diajukan untuk mengganggu otoritas pengawas (vexatious case).
3. Independensi dalam Aspek Kelembagaan/Institutional Independence Independensi dalam aspek kelembagaan mengacu pada status otoritas sebagai sebuah institusi yang terpisah dari cabang eksekutif dan legislatif. Sebuah lembaga yang merupakan bagian dari cabang eksekutif misalnya, seperti menteri kementerian, biasanya minim independensi. Berikut ini adalah tiga unsur-unsur penting Institutional Independence: a. Persyaratan dalam penunjukkan dan penarikan pejabat level senior. Independensi lebih terjamin jika ada aturan yang jelas pada perekrutan dan pemecatan, yang mana harus berhubungan dengan kompetensi dan keahliannya dalam bidangnya. Di bawah aturan seperti ini, pegawai regulator
akan
mendapatkan
kejelasan
dari
masa
jabatan,
memungkinkan mereka untuk bekerja tanpa takut akan pemecatan yang tidak wajar oleh pemerintah di kemudian hari. Idealnya, baik legislatif dan eksekutif harus terlibat dalam proses pemilihan pegawai senior. b. Tata struktural dari otoritas. Keanggotaan komisi yang bersifat kolektif (multi member comission) membantu memastikan konsistensi dan keberlanjutan pengambilan keputusan dari waktu ke waktu dan cenderung tidak mudah terpengaruh oleh pandangan individual. c. Keterbukaan dan transparansi dalam pengambilan keputusan. Memang tak dapat dipungkiri bahwa banyak keputusan otoritasyang berisikan isu-isu komersial yang sensitif dan sulit untuk tidak diungkapkan ke masyarakat. Namun harus juga disadari bahwa setiap proses pengambilan keputusan harus dilakukan dengan prinsip keterbukaan, dan memungkinkan baik masyarakat dan industri untuk dapat meneliti kebijakan dan regulasi tersebut, yang mana hal ini dapat meminimilasi risiko intervensi politik.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
43
4. Independensi secara dalam aspek anggaran/Budgetary Independence Independensi dalam aspek anggaran mengacu pada kemampuan dari otoritas pengawas untuk menentukan besar anggaran mereka sendiri dan sumber alokasi anggaran, serta prioritas dalam menggunakan anggaran tersebut. Otoritas pengawas yang mempunyai tingkat independensi yang tinggi dalam aspek budgetary independence akan lebih tangguh dalam menghadapi pengaruh politik (yang dapat mengintervensi melalui supresi anggaran) agar dapat bergerak cepat dalam kebutuhan yang mendesak di sektor finansial dan memastikan sistem penggajian mereka akan cukup menarik dalam merekrut staf yang kompeten. Otoritas pengawas yang dibiayai melalui suatu kementerian yang mempunyai pelaksanaan fungsinya sendiri, ataupun melalui pemberian dari anggaran pemerintah, dapat dikatakan cenderung terbuka dan lemah dari berbagai bentuk intervensi politik. Hal ini dapat dijelaskan ketika otoritas pengawas tersebut dianggap secara politik lebih ketat pada jaringan pelaku usaha tertentu, pemerintah dapat mengintervensi dengan menahan atau mengurangi anggaran yang diberikan. Lebih lanjut, dapat juga terjadi anggaran otoritas pengawas dipotong oleh Pemerintah dengan dalih kebijakan fiskal yang mendesak, yang mana perlu menjadi catatan situasi ini biasanya datang bersamaan dengan permasalahan perbankan yang membutuhkan atensi lebih dari aspek pengawasan. Jika, dengan alasan apapun, bahwa pendanaan otoritas pengawas diharuskan bersumber dari anggaran Pemerintah, akan lebih baik jika rencana anggaran pengawasan harus dibuat dan diputuskan oleh otoritas pengawas, tentunya berdasarkan kriteria objektif yang terkait dengan perkembangan di pasar keuangan. Adapun anggaran otoritas yang bersumber dari industri bisnis yang diawasi mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan pemberian anggaran dari pemerintah, seperti misalnya mengurangi lingkup dari campur tangan politis dan tingkat kebebasan yang lebih tinggi untuk otoritas menentukan anggarannya sendiri menyesuaikan dengan kebutuhan dan prioritasnya. Namun perlu juga disadari hal ini memiliki risiko jika iuran/fee dari dunia industri yang belum terstruktur dengan stabil, dapat berimplikasi pada ketergantungan yang tinggi terhadap industri dan dapat berakibat melemahkan kemandirian otoritas
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
44
pengawas. Untuk mencegah ―industry capture‖ dan memastikan iuran yang ditetapkan adalah wajar, di beberapa negara tingkat iuran ini ditentukan bersama oleh otoritas pengawas dan pemerintah. Anggaran otoritas pengawas dengan feebased system juga rentan terhadap risiko sumber pendanaan otoritas akan sangat terbatas khususnya ketika industri yang diawasi mengalami kelesuan. Berdasarkan dari aspek operasional independensi suatu otoritas, Quintyn, Ramirez & Taylor mengidentifikasi 17 (tujuh belas) tipe/kriteria pengukuran independensi yang ditarik dari empat indikator diatas.112 Banyaknya jumlah kriteria tersebut lebih banyak dari independensi bank sentral pada umumnya. Hal ini dikarenakan tingkatan tugas yang lebih tinggi dalam hal kompleksitas regulasi perbankan, dan khususnya pengawasan, dibandingkan dengan tugas dalam kebijakan moneter. Nilai 0 dalam pengukuran ini mengindikasikan bahwa nilai kriteria yang tidak mencerminkan independensi. Nilai 2 mengindikasikan bahwa kriteria otoritas tersebut sudah sepenuhnya independen. Nilai 1 berarti bahwa otoritas tersebut hampir dapat mencapai independensi secara penuh. Sedangkan nilai -1, mengindikasikan bahwa kriteria tersebut merupakan contoh dari ―bad practices‖ dari aspek indipendensi suatu otoritas pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan.
Kriteria Penilaian
-1
0
1
2
Independensi 1. Independensi Kelembagaan Apakah Otoritas mempunyai dasar hukum (undang-undang, peraturan, dll)?
Tidak
Ya
Apakah hukum/UU menyatakan otoritas tersebut independen?
Tidak
Ya
Bagaimana prosedur pengangkatan pimpinan dan pejabat tinggi?
Oleh Pemerintah
Apakah badan pembuat keputusan adalah dewan atau kepala pimpinan (single person)?
Hanya Kepala Pimpinan
Oleh Kepala Negara berdasar dari usulan pemerintah/ perdana menteri
Kolegial Kolektif
112
Quintyn, Ramirez & Taylor, Op Cit., The Fear of Freedom: Politicians and the Independence and Accountability of Financial Sector Regulators, at page 39. (Appendix ii. Criteria for the index on independence and accountability for financial sector supervisor)
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
Oleh Parlemen berdasar dari usulan pemerintah dan
45
Siapa yang mempunyai ―legal imdemnities‖/perlindungan hukumatas tindakan yang dilakukan dengan itikad baik?
Tidak siapapun di otoritas
Hanya PejabatTinggi
Semua Pegawai
Apakah ada Anggota Parlemen/legislator yang menduduki sebagai anggota dewan pengendali kebijakan otoritas?
Ya
Tidak
Apakah ada Pejabat Pemerintah yang menduduki sebagai anggota dewan pengendali kebijakan otoritas?
Ya
Tidak
Apakah UU memberikan Pemerintah/Kementerian Keuangan kekuasaan pengawasan/kontrol terhadap otoritas?
Ya
Tidak Tidak ada
Ada, tapi tidak secara spesifik
Ya
Tidak
Tidak, tapi dapat mengeluarkan peraturan pedoman yang tidak mengikat
Ya
Apakah otoritas mempunyai kewenangan untuk memberikan dan mencabut lisensi (izin)?
Tidak punya
Setelahberkonsulta si dengan Pemerintah atau otoritas lain
Ya
Apakah otoritas mempunyai kewenangan untuk memberikan pengaturan dan penegakkan sanksi kepada industri yang diawasi?
No
Apakah UU menmpunyai definisi yang jelas terhadap pemberhentian Pimpinan otoritas? 2. Independensi Regulator Dapatkah otoritas secara otonom mengeluarkan regulasi (prudensial) hukum yang mengikat kepada sektor yang diawasi?
3. Independensi Supervisor
Ya
4. Independensi Anggaran Hanya melalui anggaran dari pemerintah
Bagaimanakah pendanaan anggaran otoritas?
Perpaduan formula iuran industry dan anggaran bank sentral, yang disertai anggaran pemerintah
Terpisah, seperti misalnya dalam hal struktur anggaran
Melalui iuran industri, melalui anggaran bank sentral, atau perpaduan antara keduanya, tetapi tidak ada anggaran dari pemerintah
Adakah kewajiban otoritas untuk melaporkan anggaran kepada pemerintah untuk disetujui (termasuk persetujuan tentang struktur anggaran)?
Ya
Apakah otoritas mempunyai kewenangan menentukan sistem penggajian pegawai?
untuk
Tidak
Ya
Apakah Otoritas mempunyai kewenangan untuk melakukan perekrutan pegawai?
Tidak
Ya
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
Tidak
46
Apakah otoritas mempunyai kewenangan menentukan struktur organisasi internal?
untuk
Tidak
Ya
Sementara itu, Darmin Nasution dalam kajiannya tentang konsep pembentukan OJK di Indonesia mengusulkan beberapa ukuran-ukuran terkait independensi OJK, yaitu sebagai berikut:113 a) OJK harus berdiri sebagai badan independen secara hukum untuk menegaskan kewenangan dan tanggung jawabnya sesuai ketentuan dalam undang-undang pembentukannya. b) Presiden dapat memberikan arahan kepada OJK setelah berkonsultasi dengan OJK sepanjang menyangkut kepentingan nasional; arahan ini hanya berupa kebijakan umum, secara tertulis dan dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia c) Pegawai OJK harus memiliki kekebalan terhadap tuntutan perdata dalam menjalankan tugasnya apabila pelaksanaan tugas tersebut dilakukan dengan itikad baik d) OJK sendiri harus terlindungi dari tuntutan perdata apabila pelaksanaannya telah bertindak dengan itikad baik sesuai kewenangan yang dimiliki lembaga ini e) Pimpinan (dewan komisioner) hanya dapat diberhentikan dari jabatannya dalam kondisi sebagai berikut: -
Berhenti secara otomatis apabila telah mendapatkan vonis pidana atau bangkrut
-
Presiden dapat memberhentikan dengan alasan ketidakmampuan mereka secara fisik atau mental
f) Pihak lain dilarang untuk mempengaruhi atau berusaha mempengaruhi keputusan atau tindakan OJK. Para penyelenggara OJK harus diarahkan untuk mengabaikan pengaruh tersebut. Hal ini tidak dimaksudkan untuk mencegah berkonsultasi secara normal atau melayani pengaduan dari pihak-pihak lain
113
Darmin Nasution, Op.Cit, Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan Implementasi
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
47
g) Independensi
adalah
suatu
konsep
yang
diartikan
dan
diimplementasikan yang dapat berbeda pada negara dan kebudayaan yang berbeda. Hal tersebut disebabkan karena kondisi dan konteks yang berbeda antara satu negara dengan negara lain tergantung kultur pengaturan yang ada dan obyektif yang diharapkan h) Sehubungan
dengan
independensi
ini,
untuk
meningkatkan
keefektifan pengaturan dan pengawasan sebagai jaminan untuk mencapai tujuan-tujuan pengaturannya sebagaimana diamanatkan di dalam Undang-undang tentang OJK, maka OJK harus:
Bekerja secara profesional dan memiliki integritas yang baik;
Membuat pengaturan dengan berdasarkan pada kriteria yang obyektif;
Bekerja secara bebas dari pengaruh pihak lain dengan cara menghilangkan
pengaruh-pengaruh
yang
tidak
relevan
semaksimal mungkin.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
48
D. Independensi Otoritas Jasa Keuangan dari Intervensi Politik dan Industri Jasa Keuangan Pada umumnya para ahli sepakat bahwa Independensi terdiri dari dua intrepetasi, yaitu independensi dari aspek politik dan intervensi dari industri jasa keuangan yang diawasi. independensi dalam aspek politik terjadi ketika politisi/parlemen cenderung ingin mempengaruhi otoritas pengatur dan pengawas, agar mereka menghindari langkah-langkah yang terlalu tegas terhadap bank lemah (misalnya
melikuidasi
bank)
yang
dapat
berimplikasi
negatif
pada
konstituen/voter mereka. Para depositor yang dalam hal ini voter dari para politisi tersebut tentu akan meminta pertolongan/bantuan dari politisi yang terpilih untuk membantu mereka agar otoritas pengawas tidak melakukan langkah-langkah kebijakan yang dapat membahayakan dana mereka. Sudah tentu intervensi yang bersifat politis ini sangat berbahaya, karena parlemen akan menggunakan pengaruhnya yang cenderung bersifat jangka pendek dan bertentangan dengan long-run purposes of an economy. Tentu hal ini harus dapat dihindari oleh otoritas pengawas, karena argumen dari independensi otoritas pengatur dan pengawas sektor menjamin adalah untuk menjamin stabilitas keuangan. Sedangkan dalam aspek independensi dari industri finansial yang diawasi, adalah terkait motivasi para pelaku bisnis yang mempengaruhi otoritas pengatur dan pengawas agar melindungi kepentingan mereka dari pada kepentingan publik/masyarakat. Seperti halnya tekanan yang bersifat politis, suatu kelompok industri juga dapat memainkan peran dalam melemahkan keefektifan suatu regulasi. Stigler (1971), melalui suatu artikel yang memberikan analogi tentang ―principal-agent‖114, menjelaskan bahwa birokrasi lebih sering mementingkan kepentingan dari suatu kelompok industri yang teroganisir dibandingkan delegasi politik ataupun kepentingan publik/masyarakat. Sehingga pada akhirnya otoritas pengawas sering membuat suatu peraturan yang diformulasikan dengan tujuan meminimalisi beban industri,
yang
pada
akhirnya
akan
mengorbankan
kepentingan
masyarakat/konsumen. Oleh sebab itu, mencapai kedua tipe independensi
114
George J.Stigler,The Theory of Economic Regulation. Bell Journal of Economics and Management Science, Vol 6 No.2, 1971.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
49
tersebut, baik dari aspek politik maupun industri adalah suatu hal yang bersifat esensial bagi penyelenggaraan kegiatan jasa keuangan.
1.
Independensi Otoritas Jasa Keuangan dari Intervensi Politik Sebelumnya telah dijelaskan beberapa aspek intervensi politik dari
penyelenggaraan dan pengaturan sektor finansial yang dijalankan oleh otoritas independen, seperti misalnya dalam aspek ―agent-principal‖, otoritas Independen dalam menjalankan tugas dan fungsinya berasal dari pendelegasian kekuasaan oleh legislator melalui perundang-undangan. Dalam konsep tersebut otoritas digambarkan akan sangat rentan dari pengaruh politis dari parlemen atau legislator yang cenderung akan lebih mementingkan short-term goal prioritize dalam mempengaruhi kebijakan dan regulasi yang dibuat oleh otoritas. Hal ini terjadi karena tentunya politisi akan mencari cara agar mereka dapat terpilih kembali ke dalam parlemen, yang mana hal ini biasanya didapat dari dukungan private business entity yang membantu mereka dalam hal pendanaan dan politic campaign. Sebagai contoh intervensi politik adalah parlemen yang mempunyai fungsi sebagai legislator tersebut hanya akan memberikan kekuasaan/wewenang yang tidak penuh/terbatas, yang membuat otoritas independen ini akan membutuhkan dukungan para politisi agar kebijakan-kebijakannya dapat tercapai. Atau contoh selanjutnya, politisi tersebut akan membatasi anggaran dari otoritas tersebut. Beberapa ahli berpendapat bahwa, tujuan utama dibentuknya otoritas independen adalah untuk melindungi atau menjamin pelaksanaan fungsi dan tujuan otoritas tersebut dari tekanan-tekanan yang bersifat politis.115 Sejalan dengan hal tersebut, Breger & Edles (2000) mengatakan bahwa, otoritas tersebut adalah lembaga yang independen/bebas dari political will yang dijalankan oleh cabang eksekutif.116 Devins & Lewis (2008), otoritas independen lebih disukai 115
Paul R. Verkuil, The Purposes and Limits of Independent Agencies, Duke Law Journal, 1988, page 259–60. (the characteristics of independent agencies are ―designed to isolate those decisionmakers from politics‖). 116
Breger & Edles, Op Cit., page 1111, 1113. (They are ‗independent‘ of the political will exemplified by the executive branch, yet they are also multimember organizations, a fact that tends toward accommodation of diverse or extreme views through the compromise inherent in the process of collegial decisionmaking.)
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
50
untuk menjalankan fungsi eksekutif di pemerintahan karena sifat ―political insulation‖, yang dimaksudkan otoritas dapat memfasilitasi sektor disiplin/ranah nonpolitik dimana para profesional otoritas dapat menerapkan pengetahuan mereka untuk masalah-masalah kebijakan yang kompleks.117 Levinson & Pildes (2006), juga menyatakan bahwa otoritas independen dibentuk untuk membatasi political power parlemen yang berpotensi mengontrol suatu sektor secara berlebihan.118 Namun di sisi lain intervensi politik terhadap otoritas terlihat negatif, namun hal ini cenderung menimbulkan perdebatan. Dalam konteks checks & balances, dijelaskan bahwa political pressure sebenarnya juga merupakan perwujudan aspek akuntabilitas dalam proses berdemokrasi, yang mana hal ini adalah merupakan karakter dari suatu negara demokrasi modern.119
2. Independensi Otoritas Jasa Keuangan dari Intervensi Industri Jasa Keuangan Dalam penyelenggaraan suatu pengaturan dan pengawasan di sektor finansial sering terjadi suatu situasi atau keadaan dimana regulasi-regulasi yang diterbitkan oleh otoritas akan terpengaruh atau diintervensi oleh kelompok industri bisnis, yang mana hal ini dilakukan agar regulasi atau kebijakan dalam sector finansial tersebut lebih mengedepankan kepentingan bisnis mereka, fenomena ini sering disebut dengan istilah ―Industry Capture‖ atau ―Regulatory Capture‖.120 Fenomena ini menurut para praktisi hukum, akademisi, legislator 117
Devins & Lewis, Op Cit., page 463.(―Independent agencies are preferred to executive agencies because long commissioner tenure, staggered terms, and political insulation are intended to facilitate a nonpolitical environment where regulatory experts can apply their knowledge to complex policy problems‖). 118
Daryl J. Levinson & Richard H. Pildes, Separation of Parties, Not Powers, 119 Harvard Law Review, 2006, page 2376–77.(―These institutions were conceived as means to limit the sphere over which partisan political power could exert control‖). 119
Rachel E. Barkow, Insulating Agencies: Avoiding Capture Through Institutional Design, Texas Law Review, Vol. 89, NYU School of Law, Public Law Research Paper No. 10-82, 2010, page 19. (After all, one person‘s political pressureis another person‘s democratic accountability. What policy makers whoseek insulation want to avoid are particular pitfalls of politicization, such aspressures that prioritize narrow short-term interests at the expense of longtermpublic welfare). 120
Rachel E. Barkow, Op Cit., page 21. (Capture, for the purposes of agency design, may be defined as responsiveness to the desiresof the industry or groups being regulated). Lihat Roger G. Noll, Reforming Regulation: An Evaluation of the Ash Council Proposals,(Washington DC:
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
51
dan bahkan juga oleh anggota otoritas, bahwa sudah merupakan sesuatu yang lazim ketika pengambilan keputusan otoritas dalam menerbitkan regulasi, sering menerbitkan kebijakan-kebijakan yang lebih memprioritskan kepentingan dunia industry yang diawasi.121 Menurut ahli Amanda Rose dalam penelitiannya di Pasar Modal Amerika (U.S. Securities and Exchange Commission), fenomena Industry Capture hampir selalu terjadi di penyelenggaraan pengaturan dan pengawasan yang dilakukan oleh otoritas.122 Bahkan walaupun otoritas dalam pelaksanaan awalnya terlihat menjanjikan dengan independensi dan regulasi yang kuat, namun pada perjalanannya tetap saja otoritas akan lebih cenderung mempunyai ketergantungan terhadap industri yang mereka awasi.123 Menurut Barkow (2010), akan sulit untuk memastikan ketika keputusan otoritas tersebut apakah dalam pengaruh tekanan dari grup industri atau sebaliknya sebagai pelaksanaan dari keputusan otoritas sebagai lembaga yang independen.124 Fenomena Industry Capture dapat dijelaskan melalui beberapa alasan. Pertama, Industri Jasa Keuangan yang diawasi pada umumnya adalah pelaku usaha yang well-financed and well-organized, khususnya ketika dibandingkan dan berhadapan dengan kepentingan public dan kelompok masyarakat pada
The Brookings Institution), 1971, page 99–100. (explaining that capture happens most often when an agency assigns undue weight to theinterests of the regulated industries as against those of the public); Lihat juga Steven P. Croley, Theories ofRegulation: Incorporating the Administrative Process, 98 Columbia Law Review, 1998, page 1, 5. (describing gthe concept of agency capture as an essential component of the public-choice theory of regulatoryprocess, which maintains that agencies cater to the regulatory needs of well-organized interest groups). 121
Richard B. Stewart, The Reformation of American Administrative Law, 88 Harvard Law Review, 1975, at page 1713. (Stewart has observed, ―[i]t has become widely accepted, not only by public interest lawyers, but by academic critics, legislators, judges, and even by some agency members, that the comparative overrepresentation of regulated or client interests in the process of agency decision results in a persistent policy bias in favor of these interests.) 122
Untuk melihat beberapa kajian tentang Industri Capture di SEC, Lihat Amanda M. Rose, The Multienforcer Approach to Securities Fraud Deterrence: A Critical Analysis, 158 University of Pennsylvania Law Review, 2010, page 2209 footnote.88 123
Thomas W. Merrill, Capture Theory and the Courts: 1967-1983, 72 Chicago-Kent Law Review #4 (1997), page 1060 124
Rachel E. Barkow, Op Cit., page 23, (To be sure, it is sometimes hard to identify when an agency decision is the product of undue interest group pressure as opposed to an exercise of the agency‘s independent judgment).
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
52
umumnya.125 Selain itu juga, dunia industri mempunyai kompetensi dan kapasitas yang lebih baik dalam memonitor otoritas secara ketat, dan menchallenge keputusan/kebijakan otoritas yang dapat berpengaruh negative kepada mereka.126 Di lain sisi, tentunya otoritas akan lebih memilih untuk tidak dihadapkan dengan situasi legal challenges tersebut, dan oleh sebab itu mereka akan lebih bekerja sama dengan kepentingan dunia industri tersebut daripada menentang mereka. Walaupun memang terdapat beberapa kelompok penting dan berpengaruh yang berusaha untuk merepresentasikan kepentingan publik, namun pada umumnya kelompok ini tidak mempunyai pendanaan dan sumber daya yang kuat dan memadai. Dengan keadaan demikian, kelompok ini tidak dapat memonitor dan menentang aturan-aturan dan kebijakan otoritas yang berpotensi negative kepada publik, dan tentunya tidak dapat mengerahkan kekuatan dan sumber daya mereka di bandingkan ketika representasi dunia industry saat mereka melakukan suatu challenge kepada otortias.127 Faktor kedua yang membuat entitas industri bisnis dapat menggunakan pengaruhnya
terhadap
otoritas
pengawas
adalah
terkait
keunggulan
informasi/information advantage yang mereka miliki. Suatu otoritas agar dapat meregulasi industri dengan efektif, tentunya perlu untuk mengetahui how the industry works dan kapabalitas dari masing-masing entitas industri tersebut. Namun pada praktiknya informasi-informasi tersebut biasanya dikontrol secara eksklusif dan tertutup oleh entitas bisnis tersebut.128 Selain itu, ―agency capture‖ 125
George J.Stigler, Op Cit., at 12. (―Well-organized and tightly knit constituencies will inevitably have an organizational advantage over a dispersed public when it comes to providing ―the two things that a [political] party needs: votes and resources.‖) 126
Nicholas Bagley & Richard L. Revesz,Centralized Oversight Of The Regulatory State, 106 Columbia Law Review, 2006, at 1298 (―[I]ndustry will have an advantage in monitoring agencies and insetting off [fire] alarms when its interests are threatened.‖). Lihat juga Croley, Op Cit., at page 126. (summarizing studies showing that regulated interests participate to a much greater extent thanpublic interest groups) 127
Scott R. Furlong & Cornelius M. Kerwin, Interest Group Participation in Rule Making: A Decade of Change, 15 Journal of Public Administration Research and Theory 353, 2005, at page 361. (finding that businessesare participating twice as much as public interest groups); Lihat juga Mark Seidenfeld, Bending the Rules: FlexibleRegulation and Constraints on Agency Discretion, 51 Administrative Law Review, 1999, at page 464 (―A regulated entity frequently is a large corporation with resources to appeal agency decisions at everylevel.‖). 128
Mark Seidenfeld, ibid, at page 464. (―They (regulated industry), often have information without which a regulatory agency cannot do its job‖).
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
53
diperburuk dari kenyataan bahwa kelompok industri memiliki pengaruh yang cukup kuatdalam hal lobi dan kampanye politis, yang mana hal ini berpengaruh kepada parlemen yang akan melakukan pengawasan yang eksesif/berlebihan kepada kebijakan yang dikeluarkan oleh komite/komisioner otoritas. Keadaan demikian akan berdampak negatif kepada aspek pengambilan keputusan otoritas dan lebih lanjut akan memperlambat agenda dan program kebijakan otoritas.129 Para ahli sejak lama telah mengkhawatirkan pengaruh dari kelompok industri yang memiliki kekuatan ekonomi dan sumber daya yang besar akan dapat ―mengcapture‖ para pembuat kebijakan untuk membuat regulasi yang menguntungkan mereka.130 Beberapa ahli bahkan mengatakan bahwa para pelaku industri mempunyai motivasi untuk melakukan penyuapan atau
suatu
pembayaran atas hasil kerugian yang mereka prediksi akan terjadi jika rencana kebijakan yang terlalu ketat/merugikan diterapkan oleh otoritas.131 Adapun beberapa kalangan mengutarakan argumen lain terkait faktorfaktor yang mendukung terjadinya ―industry capture‖. Salah satunya adalah terkait isu keahlian/expertise dari para profesional yang berada di otoritas. Walaupun di satu sisi expertise dari para profesional ini merupakan suatu hal yang positif dalam operasional otoritas, namun di lain sisi hal ini justru akan lebih menguntungkan para entitas industri itu sendiri, dimana para profesional yang berlatar berlakang karir di dunia industri tersebut akan berbagi pengetahuannya dalam
konteks
industri
worldview/sudut
pandang
industri
dan
dalam
mengeluarkan regulasi tentu akan berdasarkan perspektif dunia industri, fenomena ini sering disebut dengan istilah ―revolving-door phenomenon‖.132 Selain itu 129
R. DeShazo & Jody Freeman, The Congressional Competition to Control Delegated Power, 81 Texas Law Review 1443, 2003, at page 1489–90 (explaining that an oversight committee‘s actions ―can obstruct and delay the agency‘s agenda‖ and influence its decisions); 130
Sam Peltzman, Toward a More General Theory of Regulation, The Journal of Law and Economics University of Chicago Press Journals (19:2), 1976, at page 211. (Peltzman presented politicians astrading the loss of votes arising out of industry favors with political gains associated withgreater financial support from this industry.) 131
Stavros Gadinis, Op.Cit., page 17. (industry players have an incentive to offer to regulators bribes or other payoffs up to the level of losses they expect from the implementation of a tight regulatory proposal) 132
Sebagai bahan bacaan untuk isu revolving door tersebut, dapat dibaca kajian dari Project On Government Oversight (POGO) terhadap fenomena Revolving Door yang terjadi di Komisi Pasar Modal Amerika (SEC), dalam kajian yang berjudul Revolving Regulators: SEC
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
54
dalam konsep revolving door phenomenon ini, industri capture sering terjadi karena otoritas akan terus berusaha untuk menjaga hubungan baik dengan industri bisnis, dengan harapan ke depannya agar pegawai otoritas tersebut dapat bergabung kembali ke dalam manajamen entitas bisnis di saat masa kerja mereka di otoritas telah berakhir.133 Dengan demikian, otoritas tidak akan berusaha membuat suatu regulasi yang akan dianggap memberatkan entitas industri atau heavy hand regulatory.
Faces Ethics Challenges with Revolving Door, May 2011, diunduh dari http://www.pogo.org/pogo-files/reports/financial-oversight/revolving-regulators/fo-fra20110513.html, lihat pada bagian Executive Summary, yang menjelaskan kritik terkait anggota komisi SEC yang meninggalkan SEC dan bergabung ke private bussiness entities yang diawasi oleh SEC dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, (―Several critics, including Members of Congress, have said the SEC‘s integrity has been undermined by the ―revolving door‖—where former SEC employees go to work for entities overseen by the Commission. The revolving door also operates in the opposite direction, where individuals come from entities regulated by the SEC to work for the Commission. The general concern is that a conflict of interest could bias SEC oversight and undermine public confidence in the SEC‘s work.) 133
Rachel E. Barkow, Insulating Agencies: Avoiding Capture Through Institutional Design, Texas Law Review, Vol. 89, 2010, NYU School of Law, Public Law Research Paper No. 10-82, page 23. (Problems might arise when agency officials are considering leaving the agency, tempted by higher compensation in private firms. With their next move in mind, agency officials might display a more favorable stance towards those they see as their future employers).
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
55
E. Aspek Akuntabilitas dan Transparansi Otoritas Independen dalam Penyelenggaraan Kegiatan Sektor Jasa Keuangan 1. Akuntabilitas Akuntabilitas, telah menjadi kajian yang menarik para sarjana dan menjadi central point agenda dunia.134 Ketertarikan intelektual terhadap akuntabilitas bukan saja disebabkan akuntabilitas telah menjadi eloborasi intelektual dalam literatur di bidang administrasi publik serta menjadi karakter dan prinsip good governance, tetapi juga menjadi dasar yang fundamental dari prinsip-prinsip masyarakat yang demokratis.135 Akuntabilitas dapat diartikan sebagai suatu mekanisme dan bentuk pertanggungjawaban suatu otoritas terhadap tugas yang menjadi kewajibannya. Sedangkan menurut The Oxford Advace Learner‘s Dictionary yang dikutip oleh Lembaga Administrasi Negara (2000) akuntabilitas diartikan sebagai ―required or expected to give an explanation for one‟s action‖. Akuntabilitas diperlukan atau diharapkan untuk memberikan penjelasan atas apa yang telah dilakukan. Dengan demikian akuntabilitas merupakan kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban dan menerangkan kinerja atas tindakan seseorang/badanhukum/pimpinan suatu organisasi kepada pihak yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban.136 Selanjutnya, Kinney dan Howard (1979) dalam Fernanda (2002) mendefinisikan akuntabilitas adalah sesuatu keadaan dimana seseorang yang memiliki dan menggunakan sesuatu kewenangan tertentu diharapkan dapat dikendalikan dan pada kenyataannya memang terbatasi ruang lingkup penggunaan kekuasaan dan kewenangannya itu oleh instrumen pengendalian eksternal, termasuk oleh sistem nilai internal yang berlaku dalam institusi yang bersangkutan.137 Sedangkan Chandler dan Plano (1982) mengartikan akuntabilitas 134
Mark Bovens, Analyzing and Assessing Accountability: A Conceptual Framework, European Law Journal, 13 (4), 2007, page 447-468 135
Peter May, Regulatory regimes and accountability, Regulation & Governance, (2007) 1, page 8–26 136
Lembaga Administrasi Negara RI, Akuntabilitas dan Good Governance, Modul Sosialisasi Sistem AKIP, Jakarta, 2000 137
Fernada, D. 2002. ―Sistem Perencanaan dan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah Daerah‖ Journal Desentralisasi Volume 1 Nomor2061, Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah, LAN, Jakarta.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
56
sebagai ―refers to the instituation of checks and balances in an administrative system‖, akuntabilitas yang merujuk pada institusi tentang ―checks and balances‖ dalam sistem administrasi.138 Selanjutnya,
Jabra
dan
Dwivedi
(1989)139
mengemukakan
bahwa:―Accountability is the foundamental prequisite for preventing the abuse of delegated power and for ensuring instead that power is directed toward the achievement of broadly accepted national goal with the greatest possible degree of efficiency, effectiveness, probity, and produce‖. Lebih lanjut mereka menjelaskan
bahwa
akuntabilitas
merupakan
pondasi
bagi
proses
penyelenggaraan pemerintahan, dan efektivitas proses itu tergantung pada bagaimana mereka yang berwenang mempertanggungjawabkan dalam memenuhi tanggung jawab mereka secara konstitusional dan legal. Pertanggungjawaban adalah merupakan prasyarat pokok untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan yang didelegasikan dan sekaligus untuk memastikan bahwa kekuasaan itu diarahkan menuju pencapaian tujuan organisasidengan derajat efisiensi, efektivitas, kejujuran dan kebijaksanaan. Aspek akuntabilitas tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan tugas dan fungsi yang dijalankan oleh otoritas independen. Independensi yang tidak disertai dengan akuntabilitas akan menjadi suatu absolutisme, dan berpotensi terjadinya suatu abuse of power, benturan kepentingan, fraud ataupun penyimpangan lainnya. Menurut pendapat Rizal Ramli dalam mengkomentari akuntabilitas dari otoritas independen seperti Bank Indonesia, bahwa independensi yang tidak disertai dengan akuntabilitas akan menjadikan lembaga tersebut menjadi seperti ―negara di dalam negara‖.140 Hal tersebut senada dengan apa yang disampaikan Darmin Nasution, bahwa independensi tidak sama dengan bebas. Meskipun OJK harus independen agar dapat beroperasi secara efektif, OJK juga harus akuntabel terhadap pihak-pihak yang berkepentingan seperti pemerintah, pelaku sektor jasa 138
Chandler, Ralph C. and Jack C Plano. The Public Administration Dictionary. New York: Wiley, 1982. 139
Jabbra, J. G. dan Dwidevi, O. P, Public Service Accountability, Connecticut : Kumairan Press, Inc. 1989. 140
Rizal Ramli, "Negara dalam Negara" Bila BI Tanpa Akuntabilitas, Gatra.com, 20 November 2000, http://arsip.gatra.com//2000-11-26/artikel.php?id=1472
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
57
keuangan, dan masyarakat.141 Oleh sebab itu, indenpendensi harus ditegakkan sebagai satu sisi koin mata uang yang disertai akuntabilitas pada sisi lainnya. Lebih lanjut menurut Darmin bahwa esensi dari kombinasi independensi dan akuntabilitas OJK secara konsep harus diupayakan seefektif mungkin untuk dapat dilaksanakan dengan ketegasan-ketegasan sebagai berikut:142
OJK harus memiliki wewenang untuk menyusun, melaksanakan dan menegakkan kebijakan perundang-undangan dalam mencapai tujuan yang ditetapkan dalam ketentuan perundang-undangan
OJK harus melaporkan keputusan-keputusan dan kegiatankegiatannya kepada stakeholder-nya yaitu pemerintah, lembaga keuangan yang diawasi dan publik
OJK harus memiliki ukuran kinerja yang dapat dinilai
OJK harus melakukan dengar pendapat dengan pihak-pihak yang berkaitan dalam rangka pencapaian tujuan-tujuan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Walaupun independensi diakui sebagai supplementary aspect dari independensi suatu otoritas independen, namun juga ternyata beberapa ahli berpendapat bahwa terdapat suatu konsep trade-off antara aspek independensi dan akuntabilitas. Artinya, suatu hal yang menyebabkan peningkatan independensi akan menyebabkan penurunan akuntabilitas, dan demikian pula sebaliknya.143 Konsep ini dapat dijelaskan melalui pendekatan teori yang bersifat konvensional terkait hubungan kontraktual antara agent-principal. Otoritas independen 141
Darmin Nasution, Op.Cit., Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan Implementasi
142
Ibid
143
Hüpkes, Quintyn, andTaylor,―The Accountability of Financial Sector Supervisors: Principles and Practice‘, Op. Cit, page 4. (―The independence-accountability interaction seems to be clouded by several misconceptions, culminating in the often-heard statement that there is a ―trade-off‖ between the two concepts‖). Lihat juga, pernyataan Meyer terkait isu hubungan ―trade off‖ independensi dan akuntabilitas di Bank Sentral, Laurence H. Meyer, ―The Politics of Monetary Policy: Balancing Independence and Accountability‖, Remarks by Governor Laurence H. Meyer At the University of Wisconsin, LaCrosse, Wisconsin, October 24, 2000. (―source of accountability is through the reappointment process. If terms are short and especially if the Chairman and other voting members can be reappointed for additional terms, more control can be exercised through the appointment process, and committee members can more easily be held accountable for their policy votes. This is a clear example of the trade-off between independence (facilitated by long terms without the possibility of reappointment) and accountability (facilitated by short terms with opportunities for reappointment‖)
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
58
terkadang dihadapkan dengan masalah dilematis, yaitu untuk memastikan terlaksananya tugas dan pekerjaannya yang diberikan secara kontraktual -secara mandiri dan independen-, atau dibutuhkan suatu lembaga atau badan lain dengan melakukan pengawasan terhadap otoritas independen tersebut. Permasalahannya adalah banyak yang berpendapat ketika otoritas independen diawasi atau dikontrol oleh badan lain untuk melaksanakan tugas dan fungsinya, otoritas tersebut dapat dikatakan tidak lagi murni independen. Dan untuk menjawab misconception dalam isu trade off independensi-akuntabilitas, perlu untuk dipahami bahwa akuntabilitas pada dasarnya tidak dapat dipersamakan pengertiannya dengan kontrol, dan independensi tidak pernah identik dengan kemandirian secara absolut.144 Menurut Hüpkes, Quintyn, dan Taylor, aspek akuntabilitas terhadap otoritas independen pengatur dan pengawas jasa keuangan mempunyai fungsi dan tujuan, yaitu sebagai berikut:145 a) Memberikan pertanggungjawaban kepada masyarakat b) Menjaga dan meningkatkan legitimasi c) Meningkatkan manajemen/governance operasional dari otoritas d) Meningkatkan perfomance dari otoritas Terdapat beberapa cara untuk mengukur akuntabilitas sebagai mekanisme untuk menyeimbangkan aspek independensi suatu otoritas, diantaranya adalah melalui aspek akuntabilitas kelembagaan, aspek regulator, supervisor dan aspek anggaran.146 Dalam aspek akuntabilitas secara kelembagaan adalah terkait mekanisme yang jelas mengenai hubungan antara otoritas independen dengan 144
Giandomenico Majone, 1994, ―Independence vs. Accountability? Non-Majoritarian Institutions and Democratic Government in Europe.‖ European University Institute Working Papers No. 94/3.(―accountability, as opposed to control from one point in the system,aims for the establishment of a network of complementary and overlapping checkingmechanisms‖). Lihat juga Terry Moe, ―Interests, Institutions, and Positive Theory: the Politics of the NLBR,‖ Studies in American Political Development, Vol 2, 1987, page 236–99. (―Accountability is established through a combination of controlinstruments in such a way that ―no one controls the independent agency, yet the agency is‗under control‘‖) 145
Hüpkes, Quintyn, andTaylor,―The Accountability of Financial Sector Supervisors: Principles and Practice‘, Op. Cit, page 5 146
Quintyn, Ramirez & Taylor, Op Cit., The Fear of Freedom: Politicians and the Independence and Accountability of Financial Sector Regulators, at page 11-15, ―Section: The Dimensions of Accountability‖
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
59
cabang legislatif maupun eksekutif. Hubungan otoritas independen dengan legislatif biasanya adalah terkait kewajiban laporan pertanggungjawaban otoritas kepada legislatif (biasanya berbentuk komisi parlemen), sedangkan hubungan dengan eksekutif/pemerintah, adalah terkait dengan bentuk komunikasi/koordinasi yang mana hal ini dibutuhkan karena pemerintah (khususnya melalui kementrian keuangan) mempunyai peran yang sentral dalam hal manajemen krisis keuangan. Di beberapa negara, akuntabilitas oleh eksekutif biasanya diwujudkan melalui penempatan perwakilan pemerintah di dewan pengurus otoritas. Namun demikian, perwakilan pemerintah tersebut seharusnya ditempatkan dalam bagian noneksekutif yang tidak bersentuhan dengan fungsi kebijakan otoritas untuk tetap menjaga independensi dari otoritas. Akuntabilitas otoritas independen sebagai regulator yang mempunyai kewenangan untuk membuat kebijakan regulasi di bidang pengaturan dan pengawasan jasa keuangan, yang mana regulasi tersebut berimplikasi ke para stackholder, seperti akuntabilitas kepada legislastif dalam hal laporan terkait kebijakan yang dikeluarkan oleh otoritas, atau kepada industri yang diawasi yang biasanya melalui suatu forum atau proses dialog agar otoritas dapat mengeluarkan kebijakan yang lebih efektif dan menimilasir biaya tinggi. Akuntabilitas dalam aspek fungsi otoritas sebagai supervisor (pengawas), adalah terkait proses hukum yang dapat ditempuh individu ataupun institusi terhadap keputusan atau kebijakan otoritas yang dinilai tidak sesuai, atau dikenal dengan istilah judicial review.147 Sedangkan aspek akuntabilitas anggaran, adalah instrumen yang penting terkait presentasi/laporan keuangan, yang menampilkan pengeluaran/biaya reguler dari operasional otoritas. Akan tetapi perlu dicatat bahwa aspek anggaran ini tidak dapat melemahkan independensi otoritas, dan untuk itu akuntabilitas secara finansial biasanya dibatasi pada waktu anggaran berakhir/ex post budgetary. Dalam laporan tersebut yang biasanya diperiksa oleh independen auditor, dilakukan pengecekan dan pemeriksaan apakah manajemen finansial otoritas yang dilakukan otoritas telah sesuai dan baik. 147
Istilah judicial review disini terbatas kepada review/peninjauan terhadap legalitas untuk memastikan bahwa keputusan otoritas yang bersifat diskresi tidak dijalankan dengan itikad buruk atau untuk tujuan yang tidak sesuai, Lihat Hüpkes, Eva H.G., 2000, The Legal Aspects of Bank Insolvency (The Hague: Kluwer Law International).
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
60
Berdasarkan kajian Quintyn, Ramirez & Taylor, dapat diidentifikasi beberapa tipe/kriteria pengukuran akuntabilitas yang ditarik dari empat indikator diatas. Nilai 0 dalam pengukuran ini mengindikasikan nilai kriteria yang tidak mencerminkan akuntabel. Nilai 2 mengindikasikan bahwa kriteria otoritas tersebut sudah sepenuhnya akuntabel. Nilai 1 berarti bahwa otoritas tersebut hampir dapat mencapai akuntabilitas secara penuh. Sedangkan nilai -1, mengindikasian bahwa kriteria tersebut merupakan contoh dari ―bad practices‖ dari aspek akuntabilitas suatu otoritas pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan.148 Kriteria
-1
0
1
2
Akuntabilitas Akuntasbilitas kepada Legilastor Apakah ada kewajiban otoritas secara hukum atau melalui UU untuk menyajikan laporan tahunan kepada legislative?
Tidak
Ya
Apakah hukum/UU memberikan kemungkinan diadakannya pertemuan/rapat bersama komisi legislator(quarterly, …)?
Tidak
Ya
Apakah kewajiban akuntabilitas kepada didelegasikan/diwakilkan oleh Kementerian (bukan perwakilan dari otoritas)?
Ya
Tidak
Apakah ada kewajiban otoritas secara hukum atau melalui UU untuk menyajikan laporan tahunan kepada eksekutif?
Tidak
Ya
Apakah hukum/UU memberikan kemungkinan diadakannya pertemuan/rapat bersama Kementerian Keuangan(quarterly..) …) Akuntabilitas dalam proses adjudikatif
Tidak
Ya
Apakah entitas bisnis yang diawasi mempunyai hak untuk melakukan keberatan atas keputusan otoritas ke pengadilan?
Tidak
Ya
Apakah terdapat perbedaan proses judisial dalam menangani keberatan kepada otoritas?
Tidak
Ya
Apakah terdapat hakim yang bersifat menangani keberatan tersebut?
untuk
Tidak
Ya
Apakah terdapat sanksi terhadap proses pengawasan yang melanggar aturan?
Tidak
Ya
legislator Keuangan
Akuntabilitas kepada Eksekutif
khusus
Akuntabilitas Anggaran 148
Quintyn, Ramirez & Taylor, Op Cit., The Fear of Freedom: Politicians and the Independence and Accountability of Financial Sector Regulators, at page 39. (Appendix ii. Criteria for the index on independence and accountability for financial sector supervisor)
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
61
Apakah terdapat proses dimana agency melaporkan dan mendiskusikan anggarannya (ex post budget)?
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Apakah terdapat proses audit di internal otoritas?
Tidak
Ya
Apakah terdapat proses audit di luar (eksternal) otoritas?
Tidak
Ya
Aspek lain Apakah terdapat proses konsultasi secara formal industri sebelum diberlakukannya regulasi baru?
dengan
Selain itu, Darmin Nasution berpendapat
bahwa dalam rangka
akuntabilitasnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus mampu melakukan hal-hal sebagai berikut:149
Membuat dan menyampaikan laporan kegiatan (tahunan) kepada Presiden, DPR dan Publik. Laporan tahunan tersebut harus menggambarkan
kebijakan
OJK
dan
kegiatannya
dalam
pencapaian tujuan-tujuan OJK
Laporan posisi keuangan (tahunan) kepada masyarakat jasa keuangan, yang disusun berdasarkan standar akutansi keuangan yang diaudit oleh BPK. Laporan keuangan OJK (yang telah diudit) harus dipublikasikan
OJK dapat diaudit secara khusus oleh BPK atas permintaan Presiden, misalnya hal-hal yang berkaitan dengan kinerjanya
OJK harus secara rutin melakukan forum konsultasi dengan DPR untuk memberikan informasi dan penjelasan mengenai kebijakan dan operasi, dengan tetap menjaga independensinya; dan
Berkaitan dengan perumusan kebijakan, OJK harus memelihara akuntabilitasnya
dengan
selalu
menginformasikan
kepada
pemerintah, Bank Indonesia, industri dan masyarakat sebelum membuat kebijakan yang signifikan. Regulasi yang ditetapkan harus
disampaikan
terlebih
dahulu
kepada
publik
untuk
mendapatkan pendapat mereka, setidaknya selama dua bulan sebelum regulasi tersebut diberlakukan 149
Darmin Nasution, Op.Cit, Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan Implementasi
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
62
Kemudian berkaitan dengan akuntabilitas kepada publik dan Industri Jasa Keuangan, ukuran-ukuran akuntabilitas spesifik berikut dapat diterapkan:
OJK sebaiknya memiliki komite ahli yang berasal dari spesialis industri yang terdiri dari perwakilan konsumen dan industri jasa keuangan
OJK harus mengadakan pertemuan tahunan dengan pelaku pasar jasa keuangan untuk mereview perkembangan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan dan memberikan kesempatan kepada industri untuk bertanya dan mendiskusikan masalah-masalah yang dianggap penting
OJK harus bersedia membagi informasi secara aktif kepada Bank Indonesia,
Lembaga
Penjamin
Simpanan
dan
Departemen
Keuangan, untuk memastikan bahwa lembaga-lembaga ini selalu bekerja sama dalam rangka memelihara stabilitas sistem keuangan
OJK juga harus bertanggung jawab kepada industri yang dibinanya dan kepada masyarakat pada umumnya. Beberapa akuntabilitas ini tercantum dalam proses laporan tahunan dan juga melalui ketentuan konsultasi dengar pendapat.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
63
2. Transparansi Istilah transparansi dalam dalam kamus diartikan dengan banyak pengertian seperti ―mudah dimengerti secara jelas sehingga kebenaran dibaliknya mudah kelihatan‖150, atau ―sesuatu yang tidak mengandung kesalahan atau keraguan‖151, atau dalam kaitannya dengan perspektif korporasi, transparansi juga dapat
didefinisikan
sebagai
―keterbukaan
dalam
melaksanakan
proses
pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan.‖152 Menurut kajian Asian Development Bank, Transparansi merujuk pada ketersediaan informasi pada masyarakat umum dan kejelasan (clarity) tentang peraturan, undang-undang, dan keputusan otoritas, yang mana mempunyai dua indikator yaitu pertama, akses pada informasi yang akurat dan tepat waktu (accurate & timely) tentang kebijakan ekonomi dan pemerintahan yang sangat penting bagi pengambilan keputusan ekonomi oleh para pelaku swasta, dimana data tersebut harus bebas didapat dan siap tersedia (freely & readily available); kedua, aturan dan prosedur yang ―simple, straightforward and easy to apply‖ untuk mengurangi perbedaan dalam interpretasi.153 Transaparansi dapat dikatakan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari akuntabilitas, karena transparansi merupakan elemen akuntablilitas yang sangat penting.154 Apa pun yang menjadi dasar pemikiran dan rencana yang terkait pertanggungjawaban demokratis, sifat itu akan terbatas bila tanpa transparansi.155 Tanpa transparansi, setiap kegiatan atau kebijakan otoritas yang 150
The Oxford Senior Dictionary, Compiled by Joyce M. Hawkins, Oxford University Press, 1982, page 686. 151
The Advanced Learners‘s Dictionary of Current English, Second Edition, A.S. Hornby, E.V. Gatenby, H. Wakefield, London. Oxford University Press, Nineteenth Impression 1973, page 1074 152
Pasal 3 butir a Keputusan Menteri BUMN No. Kep-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktik Good Governance pada BUMN 153
Asian Development Bank, ―Governance :Sound Development Management‖, 1999,
hal 7 -13) 154
Eijffinger, Sylvester C W & Marco Hoeberichts, "Central Bank Accountability and Transparency: Theory and Some Evidence," International Finance, Wiley Blackwell, vol. 5(1), , 2002, pages 75 155
Ibid
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
64
direncanakan atau sudah disetujui tidak akan diketahui oleh masyarakat, karena tidak ada diskusi untuk menguji perlu dan tidaknya suatu kebijakan. Selain itu, cara terbaik untuk memastikan mekanisme akuntabilitas terhadap otoritas tidak melemahkan
indepensinya
adalah
dengan
berlandaskan
prinsip-prinsip
transparansi.156 Hal ini mendorong keterbukaan dan meningkatkan fungsi pelayanan publik, yang juga meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada otoritas. Transparansi dapat diwujudkan melalui berbagai tipe publikasi, seperti website otoritas, laporan tentang pelaksanaan praktik pengawasan dan kebijakan yang penting, laporan tahunan, press conference dan lain sebagainya. Dapat diidentifikasi beberapa tipe/kriteria pengukuran transparansi suatu otoritas independen dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kajian Quintyn, Ramirez & Taylor. Nilai 0 dalam pengukuran ini mengindikasikan nilai kriteria yang tidak mencerminkan otoritas yang transparan. Nilai 2 mengindikasikan bahwa kriteria otoritas tersebut sudah sepenuhnya transparan. Nilai 1 berarti bahwa otoritas tersebut hampir dapat mencapai transparansi secara penuh. Sedangkan nilai -1, mengindikasian bahwa kriteria tersebut merupakan contoh dari ―bad practices‖ dari aspek transparansi suatu otoritas pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan.157 Transparansi
-1
0
1
2
Apakah ada pengumuman/pemberitahuan terkait kebijakan dan keputusan otoritas? (misalnya melalui website? )
Tidak
Ya
Apakah otoritas telah memberikan pernyataan di awal tentang ―mission statement‖ yang akan dicapai?
Tidak
Ya
Apakah otoritas menyediakan laporan tahunan kepada masyarakat pada umumnya?
Tidak
Ya
Apakah publik diberikan suatu kesempatan melalui suatu forum untuk memberikan pertanyaan tentang transparansi otoritas?
Tidak
Ya
156
Quintyn, Ramirez & Taylor, Op Cit., The Fear of Freedom: Politicians and the Independence and Accountability of Financial Sector Regulators, at page 11 157
Quintyn, Ramirez & Taylor, Op Cit., The Fear of Freedom: Politicians and the Independence and Accountability of Financial Sector Regulators, at page 39. (Appendix ii. Criteria for the index on independence and accountability for financial sector supervisor)
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
65
Apakah ada dewan atau komisi yang mewadahi keluhan-keluhan konsumen?
Tidak
Badan lain di Ya luar otoritas
Menurut Darmin Nasution, semakin besar level kebebasan yang dimiliki OJK, semakin besar pulan level rentang tanggung jawabnya, dan oleh sebab itu, OJK harus dibangun untuk selalu transparan dengan kewajiban-kewajiban sebagai berikut:158
Wajib membuat laporan operasional dan keuangan yang terbuka ke publik
Wajib mengundang pihak-pihak terkait khusus pihak yang diatur apabila mengeluarkan dan menerapkan pengaturannya, dan bahkan harus bersedia menarik keputusannya apabila terbukti merugikan pihak-pihak lain
Wajib menerima masukan atau pandangan dari masyarakat dalam rangka meningkatkan kinerjanya
Wajib diaudit oleh BPK dan serta menyampaikan laporan kegiatannya kepada Presiden dan DPR.
158
Darmin Nasution, Op.Cit., Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan Implementasi
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
66
BAB III STATUS, KEDUDUKAN DAN STRUKTUR KELEMBAGAAN OTORITAS JASA KEUANGAN DI INDONESIA
A. Landasan Hukum Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan Sebelumnya, perlu kita tarik ke belakang bagaimana latar belakang OJK terbentuk. Ide untuk membentuk lembaga khusus untuk melakukan pengawasan perbankan telah dimunculkan sejak diundangkannya UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Dalam UU tersebut, disebutkan secara tegas bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-undang. Ketentuan selanjutnya disebutkan dalam pasal 34 ayat (2) UU No.23 tahun 1999 bahwa pembentukan lembaga pengawasan akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2002. Inilah yang kemudian menjadi landasan utama bagi pembentukan suatu lembaga independen untuk mengawasi sektor jasa keuangan atau yang sekarang disebut dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Pasal 34 UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia 1. Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang. 2. Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2002
Dalam penjelasan Pasal 34 Undang-undang tersebut dinyatakan bahwa Lembaga pengawasan jasa keuangan yang akan dibentuk melakukan pengawasan terhadap Bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Lembaga ini bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada diluar pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam melaksanakan tugasnya, lembaga ini (supervisory board) melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Bank Indonesia sebagai bank sentral yang akan diatur
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
67
dalam undang-undang pembentukan lembaga pengawasan dimaksud. Lembaga pengawasan ini dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan Bank dengan koordinasi dengan Bank Indonesia dan meminta penjelasan dari Bank Indonesia keterangan dan data makro yang diperlukan. Adapun tugas mengatur akan tetap dilakukan oleh Bank Indonesia. Dalam perjalanannya, meskipun pembentukan OJK diamanatkan oleh UUBI tahun 1999, nyatanya sampai dengan 2002 draf pembentukan OJK belum ada. Kemudian dalam perkembangannya lebih lanjut, setelah disahkannya amandemen UUBI yaitu UU No. 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia, dalam pasal Pasal 34 UU tersebut, Pemerintah diamanatkan membentuk lembaga pengawasan sektor Jasa Keuangan selambat-lambatnya akhir Desember 2010.
Pasal 34 UU No. 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia 1. Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang. 2. Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010.
Dalam penjelasan UU Amandemen BI ini, bunyi penjelasan pasal 34 ayat (1) hampir sama dengan UU BI sebelum amandemen. Namun jika sebelumnya di ayat (2) tidak penjelasan, di UU amandemen (2004), dalam penjelasannya berbunyi yaitu, Pengalihan fungsi pengawasan bank dari Bank Indonesia kepada lembaga pengawasan sektor jasa keuangan dilakukan secara bertahap setelah dipenuhinya syarat-syarat yang meliputi infrastruktur, anggaran, personalia, struktur organisasi, sistem informasi, sistem dokumentasi, dan berbagai peraturan pelaksanaan berupa perangkat hukum serta dilaporkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Secara historis, ide pembentukan OJK sebenarnya adalah hasil kompromi untuk menghindari jalan buntu pembahasan undang-undang tentang Bank Indonesia oleh DPR. Pada awal pemerintahan Presiden Habibie, pemerintah mengajukan RUU tentang Bank Indonesia yang memberikan independensi kepada bank sentral. RUU ini disamping memberikan independensi tetapi juga
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
68
mengeluarkan fungsi pengawasan perbankan dari Bank Indonesia. Ide pemisahan fungsi pengawasan dari bank sentral ini datang dari Helmut Schlesinger, mantan Gubernur BundesBank (bank sentral Jerman) yang pada waktu penyusunan RUU (kemudian menjadi Undang-Undang No. 23 Tahun 1999) bertindak sebagai konsultan. Mengambil pola bank sentral Jerman yang tidak mengawasi bank. Di Jerman, pengawasan industri perbankan dilakukan oleh suatu badan khusus yaitu Bundesaufiscuhtsamt fur da kreditwesen. Pada waktu RUU tersebut diajukan muncul penolakan yang kuat oleh kalangan DPR dan Bank Indonesia. Sebagai kompromi maka disepakati bahwa lembaga yang akan menggantikan Bank Indonesia dalam mengawasi bank tersebut juga bertugas mengawasi lembaga keuangan lainnya. Hal ini dimaksudkan agar tidak terlihat bahwa pemisahan fungsi pengawasan tersebut adalah memangkas kewenangan bank sentral.159 Kemudian dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, yaitu dalam bagian penjelasan umum disebutkan bahwa pembentukan OJK dimaksudkan agar dapat dicapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan. Pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan tersebut harus dilakukan secara terintegrasi. Hal ini juga sebagai akibat terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial yang telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar-subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi)
telah
menambah
kompleksitas
transaksi
dan
interaksi
antarlembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan. Banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan semakin mendorong diperlukannya pembentukan lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang terintegrasi. 159
Zulkarnain Sitompul, ―Menyambut Khadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK)‖, Pilars No.02/Th. VII/12-18 Januari 2004. hal. 1.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
69
B. Status dan Kedudukan Otoritas Jasa Keuangan Menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, pengertian Otoritas Jasa Keuangan (OJK), adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang. Lebih lanjut dalam pasal 2 ayat (2) UU OJK menegaskan bahwa OJK merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU OJK. Asas independensi secara lebih tegas dituangkan dalam Penjelasan Umum UU OJK yang menyatakan bahwa OJK melaksanakan tugas dan wewenangnya berlandaskan antara lain asas independensi yaitu independen dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian juga dalam Penjelasan Umum UU OJK, diatur mengenai Independensi OJK secara kelembagaan/institusional, yaitu Otoritas Jasa Keuangan berada di luar Pemerintah, yang dimaknai bahwa Otoritas Jasa Keuangan tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Namun, hal tersebut tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya Otoritas Jasa Keuangan merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter. Oleh karena itu, lembaga ini melibatkan keterwakilan unsur-unsur dari kedua otoritas yaitu dalam hal ini otortias fiskal pada Kementerian Keuangan dan Otoritas Moneter pada Bank Indonesia,tersebut secara Ex-officio. Keberadaan Ex-officio ini dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan sektor jasa keuangan. Keberadaan Exofficio juga diperlukan guna memastikan terpeliharanya kepentingan nasional dalam rangka persaingan global dan kesepakatan internasional, kebutuhan koordinasi, dan pertukaran informasi dalam rangka menjaga dan memelihara stabilitas sistem keuangan. Untuk mewujudkan koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan yang baik, Otoritas Jasa Keuangan harus merupakan
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
70
bagian dari sistem penyelenggaraan urusan pemerintahan yang berinteraksi secara baik dengan lembaga-lembaga negara dan pemerintahan lainnya. Dalam Pasal 3 UU OJK, menjelaskan bahwa OJK berkedudukan di ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dapat mempunyai kantor di dalam dan di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan.
C. Struktur Kelembagaan dan Anggaran 1. Dewan Komisioner Pembentukan OJK secara filosofis bertujuan agar OJK secara struktural memiliki unsur check and balances.160 Hal ini diwujudkan dengan melakukan pemisahan yang jelas antara fungsi pengaturan dan fungsi pengawasan OJK. Fungsi pengaturan dilakukan oleh Dewan Komisioner sedangkan fungsi pengawasan dilakukan masing-masing oleh Pengawas Perbankan, Pengawas Pasar Modal dan Pengawas Industri Keuangan Non Bank atau dapat disebut dengan istilah Kepala Eksekutif. Dewan Komisioner sebagai organ tertinggi dalam OJK selain menjalankan fungsi pengaturan, juga berperan untuk memastikan masingmasing Pengawas/Kepala Eksekutif melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemisahan fungsi antara Dewan Komisioner dan tiga Pengawas/Kepala Eksekutif ini dimaksudkan untuk:161 1) Menciptakan ketegasan pemisahan antara tanggung jawab regulator (Dewan Komisioner) dengan tanggung jawab supervisor (Kepala Eksekutif masing-masing Pengawas); 2) Menghindari pemusatan kekuasaan yang terlalu besar pada satu pihak agartidak terjadi penyalahgunaan kewenangan; 3) Mendorong terjadinya pembagian kerja (division of labor) sehingga terciptaprofesionalisme
dari
spesialisasi
di
masing-masing
fungsi
pengaturan danpengawasan. 160
Tim Panitia Antar Departemen Rancangan Undang-Undang Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 2010, hal. 3. 161
Ibid
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
71
Dalam naskah akademis RUU OJK dijelaskan terkait pentingnya dibentuk OJK sebagai unified supervisor authority, yaitu suatu sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi didalam suatu lembaga tunggal, adalah karena pengawasan terhadap sektor jasa keuangan, yaitu Perbankan, Pasar Modal dan Industri Keuangan Non Bank perlu dilakukan secara terpisah karena adanya perbedaan karakteristik dari masing-masing industri jasa keuangan tersebut. Dengan adanya pemisahan pengawasan atas masing-masing industri jasa keuangan tersebut, diharapkan dapat terciptanya spesialisasi dalam pengawasan, pengembangan metode pengawasan yang tepat, serta mengurangi luasnya rentang kendali pengawasan agar proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan atas keputusan tersebut menjadi lebih efisien dan efektif. Selain itu juga, fungsi pengaturan
dan
pengawasan
yang
tidak
terintegrasi
cenderung
dapat
mengakibatkan tidak terdeteksinya risiko finansial dari kegiatan yang berada diwilayah abu-abu (grey area) dalam grup konglomerasi oleh otoritas pengawas sehingga dapat membahayakan tingkat sistem keuangan.162 Konsep pemisahan fungsi pengawasan ini pada hakikatnya muncul sebagai upaya atau solusi untuk menghindari benturan kepentingan yang muncul dari adanya penggabungan 2 (dua) fungsi yang berbeda didalam satu lembaga, dimana hal ini merupakan suatu kenyataan dan pengalaman yang terjadi di beberapa negara selama ini, misalnya pengaturan dan pengawasan perbankan dilaksanakan oleh bank sentral yang sekaligus berperan sebagai otoritas moneter. Dengan kekuasaan sebagai otoritas moneter, serta pada saat yang sama memegang otoritas pengawasan bank, Bank Sentral dikhawatirkan akan memiliki kewenangan yang sedemikian besar yang berpotensi pada sulit terdeteksinya penyalahgunaan kewenangan. Selain itu, benturan kepentingan juga menyebabkan berkurangnya efektifitas fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan yang seharusnya lebih 162
Sebagai ilustrasi, kekisruhan Bank Century diantaranya diakibatkan oleh terputusnya koordinasi pengawasan produk non-bank yang dipasarkan melalui jejaring pemasaran bank. Hal ini terkait dengan produk reksadana Antaboga (PT. Antaboga Delta Securities) yang diterbitkan oleh pemilik Bank Century (Robert Tantular), yang telah dinyatakan ilegal oleh Bappepam- LK, namun tetap dipasarkan oleh Bank Century dan lepas dari pengawasan BI. Jika OJK sebagai lembaga regulasi dan pengawas industri keuangan satu atap telah terbentuk, aspek putusnya informasi, sebagai salah satu dimensi penyebab kasus Bank Century, dapat diantisipasi lebih dini (Basuki, 2010). Lihat Orin Basuki, OJK Ditengah Perebutan Kewenangan, Kompas.com, 26 Agustus 2010
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
72
menekankan pada pendekatan prudensial. Penggunaan instrumen-instrumen moneter berupa bantuan likuiditas untuk menyehatkan kondisi keuangan dari bank-bank yang diawasi cenderung lebih dipilih oleh bank sentral daripada menggunakan pengaturan dan pengawasan yang mengedepankan peraturan dan kehati-hatian (prudential regulation). Hal ini dilakukan karena bank sentral ingin menutupi potensi kegagalannya dalam melakukan fungsi pengawasannya terhadap bank yang bersangkutan yang kemudian mendorong digunakannya instrumen moneter (lender of last resort) yang pada dasarnya tidak menyelesaikan inti kelemahan bank sebagai akibat pelanggaran terhadap prudential regulation.163 Kembali ke dalam pembahasan tentang struktur kelembagaan OJK, yaitu terkait Dewan Komisioner OJK yang merupakan pimpinan dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan OJK. Dewan Komisioner adalah pimpinan tertinggi OJK yang bersifat kolektif dan kolegial, yang beranggotakan 9 (sembilan) orang. Bersifat kolektif mengandung makna bahwa pada setiap proses pengambilan keputusan dewan komisioner melakukannya secara bersama-sama. Sedangkan bersifat kolegial berarti bahwa setiap pengambilan keputusan dewan komisioner dilaksanakan berdasarkan musyawarah untuk mufakat dengan berasaskan kesetaraan dan kekeluargaan di antara anggota.Sebagai pimpinan tertinggi OJK, Dewan Komisioner bertindak sebagai pejabat yang mewakili negara dalam rangka pelaksanaan kerja sama dengan otoritas lembaga pengawas lembaga jasa keuangan di negara lain serta organisasi internasional dan lembaga internasional lainnya di sektor jasa keuangan. Pasal 10 ayat 4 mengatur bahwa 9 anggota DK ini terdiri atas:
163
Adanya benturan kepentingan antara bank sentral sebagai otoritas moneter dan bank sentral sebagai pengawas perbankan tersebutl perlu dihindari dengan cara memisahkan fungsi pengawasan bank dari bank sentral yang fungsi utamanya adalah otoritas moneter. ‗Bagaimana mungkin BI yang gagal mengawasi bank, lalu dia sendiri yang mencoba menutupi kesalahannya dengan menyelamatkan bank itu‘.Hal ini lebih lanjut dikritisi oleh Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Agus Eko Nugroho, bahwa konflik kepentingan telah merambah pada praktek-praktek pemihakan kebijakan seperti halnya kebijakan menurunkan syarat rasio kecukupan modal (CAR) secara mendadak oleh Bank Indonesia, dari 8 % menjadi 0% ketika mengetahui Bank Century sedang mengalami kesulitan. Lihat Koran Jakarta, Pengawasan Bank: Fungsi Regulator Harus Dipisahkan Dari Supervisi-Urgensi Ojk Terkikis Krisis, 13 Februari 2010, hal 9, http://issuu.com/koran_jakarta/docs/edisi_599__13_februari_2010?mode=window&pageNumber=1
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
73
a. seorang Ketua merangkap anggota; b. seorang Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota; c. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota; d. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap anggota; e. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya merangkap anggota; f. seorang Ketua Dewan Audit merangkap anggota; g. seorang anggota yang membidangi edukasi dan perlindungan Kosumen; h. seorang anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan i. seorang anggota Ex-officio dari Kementrian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat eselon I. Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Anggota Ex-officio dari BI
Non eksek utif Eksek utif
Anggota Ex-officio dari Kemenkeu
Deputi Kepala Eksekutif
Direktur
Internal Audit & Manajemen Resiko
Deputi Kepala Eksekutif
Direktur
Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota
Anggota yang membidangi edukasi dan perlindungan Konsumen
Internal Audit & Manajemen Resiko
Deputi Kepala Eksekutif
Direktur
Ketua Dewan Audit merangkap anggota
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya merangkap anggota
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap anggota
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota
Internal Audit & Manajemen Resiko
Ketua merangkap anggota
Komite Etik
Sekertaris OJK
Dewan Audit
Komite Edukasi Dan Perlindungan Konsumen
Direktur
Staf Ahli
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
74
Tata cara pemilihan Dewan Komisioner OJK diatur dalam pasal 11 dan 12 UU OJK. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan memilih kesembilan calon anggotanya yang sebelumnya telah diajukan oleh Presiden. Calon anggota dewan komisioner yang diajukan presiden diseleksi melalui Panitia Seleksi yang beranggotakan sembilan orang dan terdiri atas unsur-unsur pemerintah, Bank Indonesia dan masyarakat. Masyarakat dalam keanggotaan ini mewakili unsur akademi, masyarakat industri perbankan, pasar modal dan industri keuangan non bank. Proses pemilihan anggota Dewan Komisioner diawali dengan seleksi administratif oleh Panitia Seleksi, termasuk menjaring masukan dari masyarakat. Selanjutnya, Panitia Seleksi menyampaikan 21 calon anggota Dewan Komisioner kepada Presiden. Setelah menerima calon dari panitia seleksi, Presiden akan memilih 14 orang calon untuk disampaikan kepada DPR RI, dan dua orang calon diantaranya diusulkan Presiden untuk dipilih DPR sebagai Ketua Dewan Komisioner. Setelah itu, DPR akan memilih satu orang calon sebagai Ketua Dewan Komisioner. Selanjutnya, terhadap 13 orang calon lainnya, DPR akan memilih enam diantaranya sebagai anggota Dewan Komisioner untuk ditetapkan Presiden bersama dengan anggota Dewan Komisioner yang merupakan ex-officio Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia. Dalam hal tata cara pemberhentiannya, para anggota DK ini tidak dapat diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir, kecuali apabila
yang
bersangkutan (Pasal 17 ayat 1): a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri; c. masa jabatannya telah berakhir dan tidak dipilih kembali; d. berhalangan tetap sehingga tidak dapat melaksanakan tugas atau diperkirakan secara medis tidak dapat melaksanalan tugas lebih dari 6 (enam) bulan berturut-turut; e. tidak menjalankan tugasnya sebagai anggota Dewan Komisioner lebih dari 3
(tiga)
bulan
berturut-turut
tanpa
alasan
yang
dapat
dipertanggungjawabkan;
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
75
f. tidak lagi menjadi anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia bagi anggota Ex-officio Dewan Komisioner yang berasal dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf h; g. tidak lagi menjadi pejabat setingkat eselon I pada Kementerian Keuangan bagi anggota Ex-officio Dewan Komisioner yang berasal dari Kementerian Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf i; h. memiliki hubungan keluarga sampai derajat kedua dan / atau semenda dengan anggota Dewan Komisioner lain dan tidak ada satu pun yang mengundurkan diri dari jabatannya; i. melanggar kode etik; atau j. tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22. Untuk meningkatkan independensi DK OJK, Undang-undang OJK mengatur beberapa larangan yang harus dipatuhi DK OJK sebagaimana diatur di dalam Pasal 22 dan Pasal 23, antara lain: larangan memiliki benturan kepentingan di Lembaga Jasa Keuangan yang diawasi oleh OJK dan larangan menjadi anggota partai politik. Setiap orang perseorangan yang menjabat atau pernah menjabat sebagai anggota DK, pejabat atau pegawai OJK dituntut untuk menjaga kerahasiaan informasi, kecuali dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya berdasarkan keputusan OJK atau diwajibkan oleh undang-undang (Pasal 33 ayat 1). Struktur governance OJK menurut Mas Achmad Daniri, Ketua Komite Nasional Kebijakan Governance, bisa dikatakan unik.164 Hal ini karena secara struktural memiliki dua lapis kewenangan, yakni membuat kebijakan dan pengaturan di satu sisi maupun kewenangan perizinan dan pengawasan di sisi yang lain, meski berada pada satu lembaga (two tiers in one body). Tugas sebagai pembuat kebijakan dan pengaturan dilakukan oleh dewan komisioner, sedangkan tugas perizinan dan pengawasan dilakukan oleh masing-masing Kepala Eksekutif Perbankan, Pasar Modal, dan Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB). Dengan kata lain, masing-masing kepala eksekutif secara independen memiliki 164
Mas Achmad Daniri, Indahnya Sistem Governance OJK, Bisnis Indonesia Bisnis.com, Senin, 25 Juni 2012
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
76
kewenangan dalam menjalankan fungsi pengawasan. Namun dalam membangun kebijakan dan pengaturan dilakukan di tingkat dewan komisioner secara terintegrasi. Dewan komisioner juga melakukan pengawasan terhadap kegiatan pengawasan para kepala eksekutif, namun hanya sebatas untuk tujuan evaluasi dan perbaikan kebijakan dan penyusunan peraturan. Dalam pelaksanaan fungsi pengawasan dewan komisioner tidak boleh melakukan intervensi. Masing-masing Ketua Eksekutif Perbankan, Pasar Modal dan LKNB, juga merangkap sebagai anggota komisioner. Dengan demikian dalam setiap proses penyusunan kebijakan maupun peraturan OJK, setiap ketua eksekutif dapat memberikan masukan yang berasal dari kajian masalah dan kebutuhan pengaturan di lapangan.
2.
Anggaran
Pengaturan tentang anggaran OJK diatur pada Pasal 34 s.d Pasal 37 UU OJK. Pasal 34 UU OJK mengatur bahwa anggaran OJK bersumber dari: 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN); dan/atau 2. Pungutan dari pihak
yang melakukan kegiatan di
sektor jasa
keuangan,yaitu Lembaga Jasa Keuangan dan/atau orang perseorangan atau badan hukum yang melakukan kegiatan disektor jasa keuangan. Selain itu, untuk mendukung kegiatan operasional OJK, Pemerintah dapat melakukan penempatan dana awal ke OJK. Anggaran OJK tersebut nantinya digunakan untuk membiayai kegiatan sebagai berikut: 1. Kegiatan operasional, mencakup kegiatan penyelenggaraan fungsi, tugas dan wewenang OJK, antara lain pengaturan, pengawasan, penegakan hukum, edukasi dan perlindungan konsumen; 2. Kegiatan administratif, mencakup kegiatan perkantoran, remunerasi, pendidikan dan pelatihan, pengembangan organisasi dan sumber daya manusia; 3. Kegiatan pengadaan aset, mencakup aset lancer dan aset non lancar antara lain persediaan, gedung, peralatan dan mesin, kendaraan, perlengkapan kantor, serta infrastruktur teknologi informasi. 4. Kegiatan pendukung lainnya.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
77
D. Tujuan Maksud dan tujuan dari pembentukan Otoritas jasa Keuangan menurut beberapa ahli/ pakar perbankan, adalah sebagai berikut :165 a. Menkeu Agus Martowardojo: Pembentukan OJK diperlukan guna mengatasi kompleksitas keuangan global dari ancaman krisis. Di sisi lain, pembentukan OJK merupakan komitmen pemerintah dalam reformasi sektor keuangan di Indonesia. b. Fuad
Rahmany:
menyatakan
bahwa
OJK
akan
menghilangkan
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang selama ini cenderung muncul. Sebab dalam OJK, fungsi pengawasan dan pengaturan dibuat terpisah. c. Darmin Nasution: OJK adalah untuk mencari efisiensi di sektor perbankan,
pasar
modal
dan
lembaga
keuangan.
Sebab,
suatu
perekonomian yang kuat, stabil, dan berdaya saing membutuhkan dukungan dari sektor keuangan. d. Deputi Gubernur BI Muliaman D Hadad: terdapat empat pilar sektor keuangan global yang menjadi agenda OJK. Pertama, kerangka kebijakan yang kuat untuk menanggulangi krisis. Kedua, persiapan resolusi terhadap lembaga-lembaga keuangan yang ditengarai bisa berdampak sistemik. Ketiga, lembaga keuangan membuat surat wasiat jika terjadi kebangkrutan sewaktu-waktu dankeempat transparansi yang harus dijaga. Secara lebih lanjut Darmin Nasution menjelaskan bahwa pembentukan OJK yang akan menyatukan pengawasan dan pengaturan semua sektor jasa keuangan akan memberikan tujuan sebagai berikut:166 1. Lebih menyelaraskan cakupan dan kedalaman semua regulasi yang selama ini dipraktikkan di sektor jasa keuangan, termasuk dalam rangka pengelolaan struktur konglomerasi Industri keuangan yang ada di
165
Siti Sundari Arie, Laporan Kompendium Hukum Bidang Perbankan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI 2011, hal 44 166
Darmin Nasution, Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan Implementasi, Penerbit Buku Kompas, Februari 2004, hal 469-520.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
78
Indonesia. Penyatuan ini ditujukan untuk memberikan ruang gerak yang lebih optimal bagi institusi pengatur dan pengawas tersebut dalam rangka memelihara, membenahi dan memperkuat kebijakan-kebijakannya, serta untuk mengefektifkan law enforcement, untuk pemeliharaan disiplin pasar dan perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan 2. Untuk menyeimbangkan penerapan ketentuan terhadap semua sektor utama pada industri jasa keuangan, yang sekaligus merupakan peluang yang berharga untuk membentuk budaya yang baru bagi regulator untuk mengawasi sekotr jasa keuangan. 3. Diharapkan akan lebih memungkin untuk menghasilkan pengaturanpengaturan
yang
terkonsolidasi
sesuai
dengan
harapan-harapan
masyarakat, sebagai modal awal menumbuhkan kembali kepercayaan publik terhadap sistem keuangan di Indonesia. Hal ini tentu merupakan kesempatan baru tidak hanya untuk pembentukan kepercayaan diri secara domestik, juga lebih dari itu, untuk kepercayaan diri dunia internasional dan untuk memacu perbaikan kegiatan-kegiatan bagi sektor riil Adapun dalam Pasal 4 UU OJK, disebutkan bahwa OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan: a. Terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel; b. Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan c. Mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
79
E. Fungsi, Tugas dan Kewenangan Fungsi OJK ditegaskan dalam Pasal 5 yang menyebutkan bahwa OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Tugas OJK sesuai dengan Pasal 6 UU OJK yaitu melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap: a. Kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan; b. Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal c. Kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya. Kemudian dalam pasal 7,8 dan 9 UU OJK, diatur mengenai kewenangan OJK dalam menjalankan tugas pengaturan dan pengawasan, yaitu: 1. Terkait Khusus Pengawasan dan Pengaturan Lembaga Jasa Keuangan Bank yang meliputi :
Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank
Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa
Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi: likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank; laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; sistem informasi debitur; pengujian kredit (credit testing); dan standar akuntansi bank
Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi: manajemen risiko; tata kelola bank; prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan pemeriksaan bank.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
80
2. Terkait Pengaturan Lembaga Jasa Keuangan (Bank dan Non-Bank) yang meliputi :
Menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;
Menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK
Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;
Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan;
Menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan
Menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
3. Terkait Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan (Bank dan Non-Bank) yang meliputi :
Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;
Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif;
Melakukan
pengawasan,
pemeriksaan,
penyidikan,
perlindungan
Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
Memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu;
Melakukan penunjukan pengelola statuter;
Menetapkan penggunaan pengelola statuter;
Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
81
Memberikan dan/atau mencabut: izin usaha, izin orang perseorangan, efektifnya pernyataan pendaftaran, surat tanda terdaftar, persetujuan melakukan kegiatan usaha, pengesahan, persetujuan atau penetapan pembubaran dan penetapan lain.
F. Hubungan Kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan dengan Lembaga Terkait di Bidang Jasa Keuangan Apabila dicermati lebih mendalam, hubungan atau koordinasi OJK dengan lembaga negara lainnya dapat dilihat dari segi pelaksanaan tugas sebagai berikut167: a.
Tugas pengaturan dan pengawasan perbankan, yang akan terkait dengan lembaga: a. Bank Indonesia; b. LPS.
b. Tugas penyidikan, yang akan terkait dengan lembaga: a. Penyidik Pegawai Negeri Sipil dari instansi lain; b. Kejaksaan; c. Kepolisian; d. Pengadilan. c.
Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan, yang akan terkait dengan: a. Menteri Keuangan; b. Gubernur Bank Indonesia; c. Ketua Dewan Komisioner LPS.
Dalam melaksanakan tugasnya, OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam membuat peraturan pengawasan di bidang Perbankan, yang antara lain: a. kewajiban pemenuhan modal minimum bank; b. sistem informasi perbankan yang terpadu; 167
Fransiska Ari Indrawati, Mencermati Celah Independensi OJKDalam UU OJK, Buletin Hukum Perbankan Dan Kebanksentralan, Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
82
c. kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing, dan pinjaman komersial luar negeri; d. produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya; e. penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically important bank; f. data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan informasi. Kemudian lebih lanjut, dalam hubungan kelembagaan antara OJK dengan Bank Indonesia dijelaskan bahwa Bank Indonesia dalam hal melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya memerlukan pemeriksaan khusus terhadap bank tertentu, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank tersebut dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK, namun dalam melakukan pemeriksaannya Bank Indonesia tidak dapat memberikan penilaian terhadap tingkat kesehatan bank. Sedangkan dalam hubungan koordinasi dan kerjasama OJK dengan Lembaga Penjamin Simpanan, OJK menginformasikan kepada Lembaga Penjamin Simpanan mengenai bank bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan oleh OJK, dan dalam hal OJK mengindikasikan bank tertentu mengalami kesulitan likuiditas dan/atau kondisi kesehatan semakin memburuk, OJK segera menginformasikan ke Bank Indonesia untuk melakukan langkah-langkah sesuai dengan kewenangan Bank Indonesia. Selain itu Lembaga Penjamin Simpanan dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank yang terkait dengan fungsi, tugas dan wewenangnya, serta berkoordinasi terlebih dahulu dengan OJK. Dengan demikian dalam tugas pengaturan dan pengawasan Perbankan ada pembagian kewenangan antara Bank Indonesia, OJK dan LPS. Tugas pengaturan dan pengawasan perbankan ada pada OJK, namun ada beberapa pengaturan yang harus dikoordinasi antara OJK dan Bank Indonesia (Pasal 39 UU OJK). Pemberian dan pencabutan izin usaha perbankan oleh OJK (Pasal 9 UU OJK). Pemeriksaan dan pengawasan khusus oleh Bank Indonesia. Penyehatan bank gagal oleh LPS (Pasal 41 dan 42 UU OJK) dan sanksi administratif oleh OJK. Selain itu, terkait hubungan kelembagaan OJK khususnya terkait dengan tugasnya sebagai bagian dari fungsi stabilitas sistem keuangan, diatur dalam UU
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
83
OJK melalui pasal 44-46, yaitu mengenai protokol koordinasi di antara otoritas keuangan dalam menjaga stabilitas sistem keuangan dengan membentuk Forum Koordinasi Stabilitas Sektor Keuangan (FKSSK) dengan Menteri Keuangan sebagai anggota merangkap koordinator serta anggota lainnya adalah Gubernur Bank Indonesia, Dewan Komisioner OJK, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan. Bahkan FKSSK juga memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan untuk pencegahan ataupun menangani krisis. Adapun gambaran lembaga-lembaga yang terkait dengan fungsi menjaga kestabilan sistem keuangan dapat dijelaskan melalui grafik di bawah ini:
Financial Authorities
OJK
BI
Pengaturan dan pengawasan secara makro dalam angka: - Stabilitas Moneter - Stabilitas Keuangan - Sistem Pembayaran
Fungsi
LLR untuk: - Liquidity - mismatch
Perizinan, pengaturan dan pengawasan tehadap individu, lembaga keuangan dan pasar modal (micro prudential)
LPS
Pemerintah
Deposit Protection/guarantee
Systemic Resolution
Individual Resolution
Individual Resolution
Lembaga Keuangan
PERBANKAN
LEMBAGA KEUANGAN NON BANK
(Bank Umum dan BPR, Baik Konvensional maupun Syariah)
(Asuransi, lembaga jasa pembiayaan, dana pensiun)
PASAR MODAL
Sumber : Syahrir Sabirin, ―Peran Bank Indonesia dalam Financial Stability‖, makalah disampaikan pada Seminar mengenai Otoritas Jasa Keuangan. Jakarta, 27 Februari 2002, hal. 8, dalamZulkarnain Sitompul, ―Perlindungan Dana Nasabah Bank,‖ Disertasi, (Jakarta : Fakultas Hukum UI, 2002), hal
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
84
G. Akuntabilitas dan Transparansi Otoritas Jasa Keuangan Dalam Penjelasan Umum UU OJK, ditegaskan bahwas OJK dalam melaksanakan tugasnyas harus berlandaskan asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Prinsip Transparansi OJK juga dijelaskan di UU OJK yaitu terkait asas keterbukaan OJK, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan
Otoritas
Jasa
Keuangan,
dengan
tetap
memperhatikan
perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan; Lebih lanjut, ketentuan mengenai akuntabilitas dan trasnparansi OJK secara jelas diatur dalam Pasal 38 UU OJK yang menyebutkan beberapa kewajiban OJK agar dapat menjalankan tugasnya dengan kredibel, akuntabel dan transparan, yaitu sebagai berikut : 1.
OJK wajib menyusun laporan keuangan yang terdiri atas laporan keuangan semesteran dan tahunan.
2.
OJK wajib menyusun laporan kegiatan yang terdiri atas laporan kegiatan bulanan, triwulanan, dan tahunan. Laporan kegiatan yang disusun OJK dalam hal ini adalah memuat: a. pelaksanaan tugas dan wewenangnya pada periode sebelumnya. b. rencana kebijakan, penetapan sasaran dan langkah-langkah pelaksanaan tugas dan wewenang OJK untuk periode yang akan datang.
3.
Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat memerlukan penjelasan, OJK wajib menyampaikan laporan.
4.
Periode laporan keuangan OJK adalah tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember.
5.
OJK wajib menyampaikan laporan kegiatan triwulanan kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
85
6.
Laporan kegiatan tahunan OJK disampaikan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Penyampaian laporan OJK kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat disini dimaksudkan untuk menjelaskan pelaksanaan kegiatan dan kinerja OJK selama tahun berjalan
7.
Untuk penyusunan laporan keuangan OJK, Dewan Komisioner menetapkan standar dan kebijakan akuntansi OJK. Penyusunan standar dan kebijakan akuntansi oleh OJK dilakukan dengan memperhatikan prinsip akuntansi yang berlaku umum.
8.
Laporan keuangan tahunan OJK diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan atau Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
9.
OJK wajib mengumumkan laporan tahunan OJK kepada publik melalui media cetak dan media elektronik.
Dalam hal akuntabilitas terkait aspek anggaran OJK, diatur dalam UU OJK pasal 36 bahwa untuk penyusunan dan penetapan anggaran, OJK harus terlebih dahulu meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. ―Dewan Perwakilan Rakyat‖ disini menurut penjelasannya adalah alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi keuangan dan perbankan, atau komisi DPR yang menbidangi masalah keuangan dan perbankan. Selain itu, akuntabilitas OJK kepada masyarakat juga tercermin dalam perspektif perlindungan konsumen dan masyarakat, yang mana diatur dalam pasal 28, bahwa OJK berwenang untuk memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya. Dalam pasal 29 masih terkait masalah perlidungan konsumen dan masyarakat, OJK melakukan pelayanan pengaduan Konsumen yang meliputi: a) menyiapkan perangkat yang memadai untuk pelayanan pengaduan Konsumen yang dirugikan oleh pelaku di Lembaga Jasa Keuangan; b) membuat mekanisme pengaduan Konsumen yang dirugikan oleh pelaku di Lembaga Jasa Keuangan; dan
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
86
c) memfasilitasi penyelesaian pengaduan Konsumen yang dirugikan oleh pelaku di Lembaga Jasa Keuangan sesuai dengan peraturan perundangundangan di sektor jasa keuangan.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
87
BAB IV INDEPENDENSI OTORITAS JASA KEUANGAN SEBAGAI PENGAWAS SEKTOR JASA KEUANGAN
Sebagaimana telah dipaparkan di bab sebelumnya bahwa terdapat beberapa cara untuk mengetahui tingkat independensi dari otoritas pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan. Salah satunya adalah dengan menganalisis indikator/ukuran independensi yang seharusnya dimiliki oleh otoritas pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Sebagaimana
dijelaskan oleh Quintyn dan Taylor bahwa dapat dilakukan
identifikasi/pengukuran tingkat independensi tersebut melalui empat dimensi, yaitu
aspek
Fungsi
Pengaturan/Regulatory
Pengawasan/Supervisory
Independence,
Independence,
Fungsi
Kelembagaan/Institusional
Independence, dan Anggaran/Budgetary Independence.168
A. Independensi
Otoritas
Jasa
Keuangan
dari
Aspek
Fungsi
Pengaturan/Regulatory Independence Independensi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai otoritas independen yang mempunyai fungsi regulatif /regulator adalah dapat diukur mengacu pada seberapa jauh tingkat kewenangan OJK untuk men ‖set-up‖ suatu regulasi/aturan (yang
bersifat
prudensial)
terhadap
sektor
yang
diawasainya,
secara
otonom/mandiri, yang tentunya dalam batasan-batasan hukum yang berlaku.169 Independensi
OJK
sebagai
regulator,
harus
dipenuhi
seiring
semakin
mengglobalnya sektor finansial dewasa ini, yang mana dalam hal ini OJK harus berada dalam posisi yang kuat agar dapat mengadaptasi regulasi secara cepat dan
168
Quintyn & Taylor, Op Cit., Regulatory and SupervisoryIndependence and Financial Stability, page 13. (Independence: Its four Dimension). 169
Quintyn, Ramirez & Taylor, Op Cit., The Fear of Freedom: Politicians and the Independence and Accountability of Financial Sector Regulators, at page 8.(Prudential rules differ from two other categories of regulations that govern banking: economic regulations,encompassing controls over pricing, profits, entry, and exit; and information regulations, governing theinformation that needs to be provided to the public at large and to the supervisors. These two types of rules tendnot to be subject to frequent amendations and could, therefore, be left to the lawmakers following a consultationprocess with the supervisors.)
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
88
fleksibel yang mengacu pada ―internasional best practice‖. Regulasi terkait prinsip prudensial ini menjadi penting karena mencakup aturan-aturan umum yaitu dalam hal stabilitas industri keuangan beserta aktifitas-aktifitasnya di dalamnya (seperti ketentuan persyaratan modal, kualitas aset, persyaratan dalam kualitas senior manajemen, dst) dan aturan-aturan yang bersifat khusus, yaitu merupakan pengaturan atas sifat khusus dari lembaga jasa keuangan sebagai finansial intermediation (seperti capital adequacy ratio, pembatasan dalam transaksi-transaksi yang bersifat off-balance sheet activities, pembatasan kredit dalam hal rasio exposure single borrower, pembatasan pemberian kredit kepada individu/kelompok usaha yang terkait dengan bank (connected lending), pembatasan dalam manajemen risiko nilai tukar valas (foreign exposure) dan aturan dalam pengklasifikasian kredit). Hal-hal diatas merupakan regulasi yang penting/fundamental
dalam
proses
penyelenggaraan
pengawasan
dan
berimplikasi secara luas dalam kestabilan sistem keuangan. Maka sebab itu dari perspektif regulatory independence, OJK harus memiliki tingkatan otonomi yang tinggi dalam menetapkan aturan-aturan terkait prinsip prudensial, yang mana hal ini merupakan faktor penting untuk memastikan sektor finansial dapat berjalan dengan lancar dan stabil. OJK sebagai lembaga regulator yang independen di sektor jasa keuangan Indonesia, harus mempunyai kewenagan secara mandiri untuk mengeluarkan regulasi hukum yang mengikat kepada sektor yang diawasi/industri jasa keuangan. Perlu diperhatikan bahwa regulasi ini harus bisa mengikat secara hukum agar mencerminkan nilai independensi yang penuh, dan tidak hanya berlaku sebagai peraturan pedoman yang tidak mengikat secara hukum kepada sektor industri jasa keuangan. Hal tersebut merupakan kriteria independensi yang harus dimiliki oleh otoritas jasa keuangan agar dapat dikatakan memiliki independensi secara penuh dalam aspek fungsi pengaturan atau regulatory. Setelah memahami indikator dan ukuran kriteria independensi OJK dalam fungsinya sebagai regulator di sektor jasa keuangan, dapat ditelaah bagaimana nilai independensi OJK di Indonesia dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya melalui peraturan perundang-undangan tentang pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 21
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
89
tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK). Dalam UU OJK pengaturan mengenai independensi OJK sebagai lembaga regulator dinyatakan dalam pasal 7 dan 8 UU OJK. Dalam pasal 7 huruf c UU OJK diatur secara khusus tentang kewenangan OJK sebagai regulator untuk mengeluarkan regulasi terkait prinsip prudensial di bidang perbankan yaitu kewenangan dalam pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, yang meliputi manajemen risiko, tata kelola bank, prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan. Selain itu, Independensi OJK secara umum sebagai lembaga regulator yang berwenang di bidang sektor jasa keuangan tercermin melalui pasal 8 UU OJK, yaitu kewenangan dalam: a) Menetapkan peraturan dan keputusan OJK; b) Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan; c) Menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK d) Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu; e) Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan; f) Menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan g) Menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
90
Dapat diperhatikan analisis kriteria independensi dari Quintyn, Ramirez & Taylor yang telah penulis kaitkan dengan pengaturan kewenangan OJK sebagai regulator industri jasa keuangan di Indonesia sebagaimana diatur di dalam UU 21 Tahun 2011 tentang OJK melalui tabel dibawah ini: Kriteria Independensi Fungsi Pengaturan Otoritas Jasa Keuangan170
Nilai Independensi Otoritas Jasa Keuangan Tidak Independen
Dapatkah otoritas secara otonom mengeluarkan regulasi (prudensial) hukum yang mengikat kepada sektor yang diawasi?
Tidak
Independen, tidak secara penuh Tidak, tapi dapat mengeluarkan peraturan pedoman yang tidak mengikat
Independen penuh Ya
Pengaturan Aspek Independensi OJK sebagai Regulator di Indonesia (UU OJK 21 Tahun 2011) OJK mempunyai wewenang untuk meregulasi industri jasa keuangan di Indonesia yang mengikat secara hukum. (pasal 7 dan 8 UU OJK)
Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya sebagai otoritas regulator di sector jasa keuangan, OJK telah memenuhi nilai independensi secara penuh, karena memang OJK diberikan oleh Undang-undang, independensi yang cukup tegas dalam melakukan fungsi regulatornya secara otonom/mandiri dengan wewenang untuk mengeluarkan regulasi/peraturan yang mengikat secara hukum kepada industry keuangan di Indonesia. Ketentuan Pasal 7 dan 8 UU OJK ini menunjukkan bahwa OJK bebas menentukan cara dan pelaksanaan dari instrumen kebijakan yang ditetapkannya yang dianggap penting untuk mencapai tujuannya.
170
Quintyn, Ramirez & Taylor, Op Cit., The Fear of Freedom: Politicians and the Independence and Accountability of Financial Sector Regulators, at page 39. (Appendix ii. Criteria for the index on independence and accountability for financial sector supervisor)
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
91
1. Independensi OJK Terkait Fungsi Pengaturan Pengawasan di bidang Perbankan Walaupun secara umum menurut ketentuan diatas OJK memiliki independensi secara penuh sebagai regulator di sektor jasa keuangan, akan tetapi perlu menjadi catatan bahwa di dalam hal tertentu, yaitu dalam penyusunan pengaturan terkait pengawasan di bidang perbankan, OJK harus membagi beberapa kewenangannya atau berkoordinasi bersama dengan Bank Indonesia. Adapun beberapa aspek pengaturan pengawasan perbankan yang harus dilakukan koordinasi oleh OJK bersama dengan BI diatur dalam pasal 39 UU OJK yang terdiri dari 5 aspek yaitu kewajiban pemenuhan modal minimum bank; sistem informasi perbankan yang terpadu; kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing, dan pinjaman komersial luar negeri; produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya; penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically important bank; dan data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan informasi. Pengaturan semacam inisebenarnyadapat
menimbulkanpertanyaan
terhadap
independensi
OJK
secarainstitusi/kelembagaan dalam melaksanakan tugasdan kewenangannya sebagai regulator, khususnya dalam sectorperbankan karena masih terdapat hubungan yangerat antara OJK terhadap Bank Indonesia. Menurut penulis, sebenarnya hubungan koordinasi antara OJK dan BI khususnya dalam hal pengaturan terkait pengawasan di bidang perbankan tidak dapat dihindari mengingat peran dan tugas BI selaku otoritas moneter akan selalu bersinggungan dengan OJK selaku regulator di bidang jasa keuangan. Koordinasi OJK dengan BI antara lain diperlukan untuk mendukung kebijakan moneter yang mencakup operasi pasar terbuka, giro wajib minimum, sistem pembayaran, dan fasilitas likuiditas. Oleh sebab itu sebenarnya, dalam hal ini pengaturan pengawasan perbankan yang harus dikoordinasikan oleh BI dan OJK adalah merupakan pengaturan pengawasan perbankan yang bersifat makroprudensial yang dampat berdampak atau berpengaruh kepada kestabilan moneter secara keseluruhan yang merupakan tugas utama BI. Dalam UU OJK pun sebenarnya juga telah dijelaskan bahwa tidak semua tugas pengaturan perbankan dapat menjadi kewenangan oleh OJK, dalam penjelasan pasal 69 ayat (1) dikatakan
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
92
bahwa Tugas Bank Indonesia dalam mengatur dan mengawasi bank yang dialihkan ke OJK adalah tugas pengaturan dan pengawasan yang berkaitan dengan microprudential, dan Bank Indonesia tetap memiliki tugas pengaturan perbankan terkait macroprudential. Oleh sebab itu dalam hal tertentu khususnya berkaitan dengan pengaturan pengawasan perbankan yang bersifat makropudensial dan dapat berdampak kepada kestabilan moneter secara keseluruhan, memang tidak dapat dihindarkan pembagian kewenangan atau terjadinya koordinasi antara BI dan OJK sebagaimana terhadap aspek-aspek yang diatur dalam pasal 39 UU OJK. Dan dalam hal kewajiban koordinasi dengan BI, menurut penulis sepenuhnya tidak akan mengganggu independensi OJK sebagai regulator, karena memang pada
hakekatnya
karakteristik
dalam
suatu
sistem
keuangan
memang
mengharuskan terjadinya interaksi yang erat antara otoritas moneter dan otoritas jasa keuangan. Lagipula, kewenangan dalam pengaturan terhadap perbankan yang bersifat individual, langsung, regular/day to day basis, atau regulasi yang bersifat microprudential tetap sepenuhnya menjadi kewenangan OJK. Kewenangan dalam regulasi microprudential sebagaimana diatur dalam pasal 7 OJK yang meliputi kelembagaan, kesehatan, aspek kehati-hatian, dan pemeriksaan bank inilah yang menurut penulis merupakan aspek regulasi yang bersifat esensial dalam hal pengawasan terhadap perbankan nasional.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
93
2. Independensi OJK Terkait Tugas Menetapkan Dan Melaksanakan Kebijakan Kestabilan Sistem Keuangan UU OJK mengamanatkan bahwa OJK bersama-sama dengan Menteri Keuangan, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan untuk saling mendukung pelaksanaan fungsi, tugas, danwewenang masing-masing dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan. Dan dalam UU OJK tersebut, yaitu pada pasal 44-46 juga dijelaskan terkait protokol koordinasi diantara lembagalembaga tersebut yang menjadi landasan hukum dalam rangkapencegahan dan penanganan krisis keuangan. Protokol tersebut mencakup pembentukan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKKSK) yang beranggotakan Menteri Keuangan selaku koordinator, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjaminan Simpanan,yang akan senantiasa melakukan koordinasi baik dalam kondisi normal maupun tidak normal ataukrisis. Forum ini antara lain berfungsi untuk melakukan evaluasi regular kondisi stabilitas sistem keuangan termasuk menetapkan kondisi dalam krisis serta pengambilan kebijakan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis. Masingmasing institusi akan mengemukakan kondisi terkini yang menjadi wewenangnya termasuk rekomendasi kebijakan terkait pencegahan maupun penangangan krisis. Menurut Bambang Brodjonegoro, Kepala Badan Kebijakan Fiskal,171 peningkatan koordinasi melalui peran dan fungsi FKSSK diharapkan memperbaiki protokol manajemen krisis di tengah volatilitas ekonomi global. Hal ini agar terwujudnya kepastian kondisi sistem keuangan secara nasional, bukan parsial dari lembaga tertentu saja. Kepastian kondisi krisis, tentu akan diberikan sesuai data akurat hasil kajian FKSSK dan hal ini juga berarti dalam hal terjadi krisis, akan ada upaya pencegahan untuk menjaga stabilitas surat utang, APBN, cadangan devisa, dan nilai tukar. Ditengah ancaman krisis global, tantangan penyempurnaan tata kelola dalam pencegahan dan penanganan krisis harus disadari merupakan suatu hal yang bersifat urgent. Oleh sebab itu semua pemangku kepentingan dari pengelola 171
Bisnis Indonesia,Krisis Finansial: Peran FKSSK Perlu Dioptimalkan, http://www.bisnis.com/articles/krisis-finansial-peran-fkssk-perlu-dioptimalkan, 08 Juni 2012,
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
94
stabilitas sistem keuangan, dalam hal ini termasuk OJK harus dapat bersinergi dengan lembaga terkait lainnya dan bekerja sama agar stabilitas sistem keuangan tetap terjaga. Hal ini menjadi penting, karena dengan sistem keuangan yang semakin terintegrasi, tanggung jawab atas ketahanan sistem keuangan tidak hanya berada pada satu otoritas atau bersifat sektoral, akan tetapi sangat terkait antara otoritas satu dengan lainnya. Belajar dari pengalaman kasus Century, yang mana hampir saja mendatangkan krisis ekonomi nasional, adalah akibat kurangnya koordinasi otoritas dan juga belum matangnya infrastruktur dalam hal penanganan krisis, sehingga polemik dan masalah yang bersifat ekonomi maupun politik terus bergejolak di masyarakat. Bahkan hingga saat ini, proses hukum atas bailout/Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) tidak juga kunjung selesai. Oleh sebab itu, pihak-pihak terkait dalam FKSSK harus tetap bersinergi dalam pengaturan sistem keuangan, termasuk menyangkut Crisis Protocol Management. Tentunya kesadaran sinergi dan koordinasi antara para lembaga terkait di dalam FKKSK adalah sesuatu yang penting, dan bukanlah bertujuan untuk mengganggu tugas dan kewenangan masing-masing lembaga dalam menjalankan fungsinya. Menurut Muliaman Hadad, Ketua Dewan Komisioner OJK, bahwa koordinasi melalui FKSSK adalah solusi di masa transisi jika terjadi krisis, sembari menunggu lahirnya UU Jaring Pengaman Sistem Keuangan.172Artinya, disadari bahwa koordinasi itu baik, dalam keadaan normal maupun distress. Dan yang menjadi penting adalah pengaturan mekanisme atau protokol koordinasi itu jelas dan tegas melalui UU OJK. Dalam kondisi normal, forum ini saling memberikan rekomendasi untuk memelihara stabilitas sistem keuangan, saling bertukar informasi, dan melakukan pertemuan paling sedikit tiga bulan sekali. Sementara dalam kondisi krisis, tiap anggota forum dapat mengambil inisiatif untuk pertemuan. Pertemuan tersebut dimaksud untuk mengambil keputusan dalam rangka mengantisipasi dan mencegah kemungkinan terjadinya krisis serta menangani dampak krisis. Jika forum memutuskan telah terjadi krisis dan diperlukan penanganan melalui fasilitas pendanaan yang ada di BI atau di LPS,
172
Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Menambal Lubang Regulasi, http://www.stabilitas.co.id/view_articles.php?article_id=892&article_type=0&article_category=16 &md=f71e43c83c0f53e3c94811a43354c4e1, 05 Agustus 2012
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
95
maka keputusan forum bersifat final dan mengikat setiap lembaga. Lebih lanjut bila penanganannya melalui APBN, DPR mulai terlibat dan diberikan waktu 1x24 jam agar DPR memutuskan apakah setuju atau menolak keputusan forum. Selain itu, menurut kajian dari Group of Thirty173, suatu badan internasional yang sering melakukan diskusi atas isu ekonomi internasional dan kajian moneter, juga menyarankan bahwa untuk menjaga kestabilan sistem keuangan, di setiap negara penting untuk
dibentuk suatu badan atau forum
koordinasi atas otoritas-otoritas terkait agar tetap menjaga ketahanan sistem keuangan baik di saat normal maupun di saat krisis. Berdasarkan penjelasan di atas, menurut penulis terkait tugas OJK dalam menjaga stabilitas sistem keuangan melalui Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK), jelas tidak akan mengurangi atau mengganggu independensi OJK. Sebaliknya justru dengan kehadiran FKSSK ini, akan membantu dan memudah OJK dalam menjalankan fungsinya agar sektor keuangan tetap berjalan dengan aman dan tidak rentan terhadap krisis ekonomi.
173
Group of Thirty, The structure of Financial Supervision Approaches and Challenges in a Global Marketplace, Washington, DC 2008 Page 15 (To facilitate coordination, most jurisdictions create special coordinating bodies. Such a coordinating body, often called a Financial Stability Committee, can comprise the heads or senior officials of the regulatory agencies, the central bank, and the finance ministry. This type of institution can prove useful in normal times, and especially important during times of crisis, when the linkages and lines of communication already in place can be activated without delay. This type of structure is often underpinned by Memoranda of Understanding (MOUs) among various agencies and can be supplemented by cross-membership of boards by principals in the agencies. Such structures aimed at facilitating coordination and information sharing are important, but many of them have yet to be tested by the collapse of a systemically important financial institution).
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
96
B. Independensi
Otoritas
Jasa
Keuangan
dari
Aspek
Fungsi
pengawasan,
seperti
Pengawasan/Supervisory Independence Memastikan
independensi
dalam
fungsi
pemberlakuan dan penegakan sanksi, adalah suatu hal yang esensial agar tercapai efektivitas dan juga kredibilitas dari proses pengawasan sektor jasa keuangan.174 Dan untuk memperkuat supervisory independence dalam aspek ini, salah satu yang penting untuk diperhatikan adalah otoritas pengawas dan para pegawainya harus mendapatkan kepastian perlindungan hukum/legal indemnities dalam pelaksanaan tugas-tugas mereka sepanjang tindakan tersebut dikarenakan kepentingan nasional atau berdasarkan niat baik atau sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Tanpa perlindungan tersebut akan sangat sulit untuk pengawas dalam menentukan tindakan/keputusan dan tentunya akan sangat sulit untuk mendapatkan staf pengawas yang berkualitas mengingat mereka harus menanggung resiko pekerjaan yang sangat tinggi.175 Tidak adanya jaminan perlindungan hukum yang baik dapat berimplikasi pada paralyzing effect dalam fungsi pengawasan.Salah satu solusinya adalah jaminan perlindungan hukum terhadap otoritas pengawas ini harus dituangkan dengan tegas dalam perundang-undangan. Adapun dalam pengaturannnya di Indonesia, terkait independensi OJK dalam hal fungsi pengawasan, telah diatur secara tegas dalam Pasal 9 UU OJK, yang mempunyai ketentuan bahwaterkait Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan (Bank dan Non-Bank), OJK mempunyai kewenangan, yaitu : a) Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan; b) Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif; c) Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana 174
Quintyn & Taylor, Op Cit., Regulatory and SupervisoryIndependence and Financial Stability, page 13. (Independence: Its four Dimension). 175
Darmin Nasution, Op.Cit, Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan Implementasi.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
97
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; d) Memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu; e) Melakukan penunjukan pengelola statuter; f) Menetapkan penggunaan pengelola statuter; g) Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan h) Memberikan
dan/atau
mencabut:
izin
usaha,
izin
orang
perseorangan, efektifnya pernyataan pendaftaran, surat tanda terdaftar, persetujuan melakukan kegiatan usaha, pengesahan, persetujuan atau penetapan pembubaran dan penetapan lain.
Setelah diketahui terkait indenpendensi OJK dalam fungsi pengawasan sector keuangan melalui UU OJK, dapat dikaitkan kemudian pengaturan tersebut dengan beberapa kriteria independensi pengawasan/supervisor yang ditawarkan oleh Quintyn, Ramirez & Taylor.Hal ini dimaksudkan agar dapat ditemukan seberapa tinggi nilai/tingkat Independensi OJK khususnya dalam hal pelaksanaan fungsi pengawasan. Adapun analisis keterkaitannya dapat lebih jelas dipaparkan melalui tabel dibawah ini:
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
98
Kriteria Independensi Fungsi Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan176
Nilai Independensi Otoritas Jasa Keuangan Tidak Independen
Apakah otoritas mempunyai kewenangan untuk memberikan dan mencabut lisensi (izin)?
Tidak punya
Apakah otoritas mempunyai kewenangan untuk memberikan pengaturan dan penegakkan sanksi kepada industri yang diawasi?
Tidak
Siapa yang mempunyai ―legal imdemnities‖/perlindungan hukum atas tindakan yang dilakukan dengan itikad baik?
Tidak siapapun di otoritas
Independen, tidak secara penuh
Independen penuh
Pengaturan Aspek Independensi OJK sebagai Supervisor di Indonesia (UU OJK 21 Tahun 2011)
Setelah berkonsultasi Ya dengan Pemerintah atau otoritas lain
Untuk melaksanakan tugas pengawasan, OJK mempunyai wewenang untuk, memberikan dan/atau mencabut: izin usaha, izin orang perseorangan, efektifnya pernyataan pendaftaran, surat tanda terdaftar, persetujuan melakukan kegiatan usaha, pengesahan, persetujuan atau penetapan pembubaran dan penetapan lain. (Pasal 9 huruf h)
Ya
Untuk melaksanakan tugas pengawasan, OJK mempunyai wewenang, menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan (Pasal 9 huruf g)
Semua Pegawai
Tidak ada pengaturan tentang kriteria ini di UU OJK
Hanya Pejabat Tinggi
Dapat diperhatikan dalam tabel diatas bahwa, dari tiga kriteria yang seharusnya dimiliki oleh OJK untuk memenuhi independensinya di bidang pengawasan, ternyata melalui pengaturan di UU OJK, hanya dapat dipenuhi dua kriteria independensi.Kriteria yang tidak dapat dipenuhi oleh OJK dalam independensi
fungsi
indemnities‖. Seperti
sebagai
lembaga
pengawas
adalah
terkait
―legal
yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa aspek
perlindungan hukum, adalah aspek independensi yang cukup penting.Bahkan menurut Darmin Nasution, banyak ahli yang melupakan pentingnya pengaturan perlindungan hukum di peraturan perundangan-undangan di beberapa negara. Hal ini sangat dapat berimplikasi negative terhadap efektifas tugas pengawasan yang 176
Quintyn, Ramirez & Taylor, Op Cit., The Fear of Freedom: Politicians and the Independence and Accountability of Financial Sector Regulators, at page 39. (Appendix ii. Criteria for the index on independence and accountability for financial sector supervisor)
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
99
dilakukan oleh staf pengawas, atau dalam hal ini Staf OJK. Selain itu, isu legal indemnities/perlindungan hukum ini telah menjadi concern di dunia perbankan internasional, yang mana telah disepakati bersama bahwa prinsip ini harus dipenuhi untuk keefektifan pengawasan perbankan.177 Sebagai catatan juga, bahwa sebelum OJK terbentuk, yaitu ketika fungsi pengawasan perbankan masih berada pada kewenangan Bank Indonesia, isu legal indemnities/perlindungan hukum telah menjadi diskusi penting di internal pengawas Bank Indonesia. Deputi Gubernur pada saat itu, Budi Rochadi mengatakan pihaknya mengalami kegamangan karena keterbatasan aspek perlindungan hukum. Padahal, BI merupakan ujung tombak di sisi pengawasan untuk memastikan penyehatan bank. Dia mencontohkan, pihaknya sering dituntut atas tindakan pengawasan terhadap bank. Ini terjadi saat ada bank bermasalah dan biasanya proses uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test terhadap pemilik dan pengurus bank, pelaporan tipibank, serta pengenaan sanksi atau denda yang dilakukan oleh BI menjadi polemik178. Bank Indonesia (BI) menilai, penegasan atas perlindungan hukum terhadap para pengawas bank sudah mendesak untuk dilakukan. Di negara lain penegasan atas perlindungan hukum terhadap pengawas bank sudah lebih jelas. Oleh sebab itu aspek perlindungan hukum sudah harus masuk ke dalam pengaturan perundang-undangan di bidang perbankan Indonesia.179
177
Bank for International Settlements 2012.Basel Committee on Banking Supervision, Core Principles for Effective Banking Supervision, September 2012. (Principle 2 – Independence, accountability, resourcing and legal protection for supervisors: ―The legal framework for banking supervision includes legal protection for the supervisor‖) 178
Wahyu Satriani Ari Wulan, Soal Pengawasan Bank, Gamang, BI minta Perlindungan Hukum, Kompas.com, Selasa, 02 Februari 2010, http://nasional.kompas.com/read/2010/02/02/16344284/Gamang..BI.minta.Perlindungan.Hukum, 179
Ruisa Khoiriyah, Perlindungan Hukum Pengawas Bank Bi: Perlindungan Hukum Terhadap Pengawas Bank Mendesak Dilakukan, Kontan.co.id, Selasa, 02 Februari 2010, http://keuangan.kontan.co.id/news/bi-perlindungan-hukum-terhadap-pengawas-bank-mendesakdilakukan,
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
100
1. Independensi OJK Terkait Koordinasi Fungsi Pengawasan dengan Lembaga Lain Dalam aspek fungsi pengawasan OJK ini, sebagaimana diatur dalam UU OJK yaitu di pasal 40, 41, 42 dan 43, OJK juga diwajibkan untuk dapat berkoordinasi dengan lembaga lain yaitu Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam tugas pengawasan di bidang perbankan. Dalam ketentuan tersebut diatur bahwa, BI dan LPS juga sebenarnya memiliki tugas pengawasan yaitu pemeriksaan terhadap perbankan di Indonesia. Selain itu diantara ketiga lembaga tersebut harus saling dapat memberikan informasi-informasi terkait pengawasan perbankan yang dilakukan oleh masing-masing lembaga sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Oleh sebab itu dalam pasal 43 UU OJK beserta penjelasannya diatur bahwa, OJK, BI dan LPS wajib membangun dan memelihara sarana pertukaran informasi secara terintegrasi. Memang jika dilihat pengaturan pasal-pasal tersebut secara singkat, dapat mengindikasikan bahwa independensi OJK sebagai pengawas di bidang jasa keuangan khususnya di bidang perbankan akan bergantung dengan lembaga lain, yaitu BI dan LPS, dan cenderung akan dapat mengurangi kemandirian OJK karena harus melakukan koordinasi-koordinasi seperti pertukaran informasi setiap saat (timely basis) dengan kedua lembaga tersebut. Hal ini didasarkan bahwa pada pengalaman dan kenyataannya bahwa koordinasi antara beberapa lembaga sulit dilaksanakan karena kecenderungan egoisentris institusional, yang mana biasanya institusi dimaksud akan selalu lebih mementingkan pada tugas pokok masingmasing lembaga tanpa mempertimbangkan hubungan kelembagaan dengan institusi lainnya.180
180
Sebagai contoh konflik koordinasi adalah terkait hubungan antara departemen keuangan dan bank sentral, yanghampir di seluruh dunia terjadi persaingan danketegangan, karena mereka mengelola bidang yangsama. Selain itu juga, sebuah studimenunjukkan bahwa ketegangan antara Departemen Keuangan dan Bank Indonesia kelihatan sangat jelas ketika berurusan dengan kebijakan utang dan regulasi lembaga keuangan. Lihat Coleman, W.D., 1996, ―Financial Services, Globalization and Domestic Policy Change,‖ hal. 67, Macmillan Press Ltd, London dalam Lukman Hakim dkk, 2003, ―Studi Dasar-Dasar Ekonomi Politik OJK,‖ Lembaga Studi Pengembangan Etika Usaha Indonesia (LSPEUI) Jakarta dan PPSK BI
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
101
Dalam hal terkait koordinasi pengawasan antara OJK dengan BI181, memang sudah sewajarnya dibutuhkan, karena dalam hal risiko pengelolaan krisis, BI yang mempunyai peran dan fungsi sebagai lender of the last resort (LOLR), yaitu BI sebagai pemberi pinjaman kepada bank dalam keadaan yang memaksa untuk menjaga likuiditas dari bank tersebut. Peran BI sebagai LOLR tersebut dijelaskan pada Pasal 11 UUBI yang memungkinkan Bank Indonesia membantu kesulitan pendanaan jangka pendek yang dihadapi bank. Adapun keadaan memaksa yang dimaksud adalah sebagaimana diatur dalam pasal 37 dan pasal 37 huruf (a) UU Perbankan yang dapat berupa: a) Hal-hal
yang
membahayakan
kelangsungan
usaha
bank
yang
bersangkutan; b) Hal-hal yang membahayakan sistem perbankan; dan c) terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional. Untuk menunjang fungsi LOLR-nya tersebut sudah tentu BI akan membutuhkan informasi mendalam mengenai lembaga keuangan untuk menjalankan perannya sebagai LOLR. Oleh sebab itu hal ini harus diakomodir melalui UU OJK yaitu melalui ketentuan pasal 41 ayat (2), yaitu bahwa dalam hal OJK mengindikasikan bank tertentu mengalami kesulitan likuiditas dan/atau kondisi kesehatan semakin memburuk, OJK segera menginformasikan ke BI untuk melakukan langkah-langkah sesuai dengan kewenangan BI. Dalam UU OJK, yaitu pada pasal 40 ayat (1) UU OJK juga diatur bahwa BI masih mempunyai kewenangan untuk melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank yang memerlukan pengawasan khusus, namun juga pengawasan tersebut harus
181
Meskipun baik BI maupun OJK memiliki kewenangan pemeriksaan bank, namun terdapat perbedaan perspektif atas pemeriksaan yang dilakukan oleh kedua otoritas tersebut. Selaku otoritas mikroprudensial, pemeriksaan lembaga keuangan oleh OJK ditujukan untuk menilai tingkat kesehatan, risiko yang dihadapi, dan upaya mitigasi yang dilakukan oleh individu institusi keuangan sehingga masyarakat selaku pengguna jasa keuangan aman terlindungi. Sementara itu, pemeriksaan bank oleh Bank Indonesia dilakukan dalam kerangka memantau Stabilitas Sistem Keuangan secara keseluruhan antara lain untuk memperkuat hasil surveillance sekaligus mendapatkan fakta kondisi terkini terkait perilaku, eksposur risiko (antara lain risiko pasar, likuiditas, pasar, dan kredit), strategi bisnis dan ketahanan. Dengan perbedaan tujuan ini, fungsi pemeriksaan yang dilakukan oleh kedua otoritas juga berbeda, yaitu pemeriksaan dilakukan oleh BI berdasarkan kebutuhan tertentu (based on request), sementara OJK melakukan pemeriksaan secara rutin. Lihat Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan ( No. 18, Maret 2012), Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan, Grup Stabilitas Sitem Keuangan, hlm 98.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
102
tetap dikoordinasikan dengan
OJK yaitu dengan cara menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu. Dan pemeriksaan tersebut juga dibatasi, bahwa BI tidak dapat memberikan penilaian terhadap tingkat kesehatan bank karena pemeriksaan atas tingkat kesehatan bank adalah pengawasan yang bersifat microprudential dan sepenuhnya merupakan kewenangan dari OJK. Sementara itu, terkait koordinasi pengawasan OJK dengan LPS, adalah juga sehubungan dengan fungsi LPS sebagaimana diatur dalam pasal 5 UU no 24 tahun 2004 tentang LPS, yaitu LPS mempunyai 2 (dua) fungsi utama,yaitu selain sebagai penjamin simpanan nasabah bank (deposit insurance corporation) dan LPS juga turut aktif berperan dalam menjaga stabilitas sistem perbankan sesuai kewenangannya. Dalam menjalankan fungsinya LPS turut pula merumuskan, menetapkan dan melaksanakan kebijakan penyelesaian bank gagal (bank resolution) yang tidak berdampak sistemik dan melaksanakan penanganan bank gagal yang berdampak sistemik. Jadi secara garis besar LPS memiliki dua tugas utama yaitu sebagai penjamin dana nasabah penyimpan bank dan sebagai likuidator bank gagal. Pasal 21 ayat (1) dan (2) UU LPS, mengatur bahwa LPS menerima pemberitahuan dari Lembaga Pengawas Perbankan (LPP) mengenai bank bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang perbankan. Kemudian LPS melakukan penyelesaian bank gagal yang tidak berdampak sistemik setelah LPP atau Komite Koordinasi menyerahkan penyelesaiannya kepada LPS. LPP dalam maksud ketentuan tersebut tentu saja adalah Otoritas Jasa Keuangan. Ketentuan tentang pemberian informasi dari OJK ke LPS tentang bank bermasalah yang sedang dalam penyehatan tersebut hampir sejalan dan mempunyai persamaan pengaturan tentang koordinasi OJK dan LPS sebagaimana diatur di pasal 41 ayat (1) UU OJK. Selain itu juga, menurut pasal 41 ayat (2) UU OJK, LPS dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank yang terkait dengan fungsi, tugas dan wewenangnya, serta berkoordinasi terlebih dahulu dengan OJK. Ketentuan tersebut juga tidak jauh berbeda dengan ketentuan pasal 14 ayat (4) UU LPS, yaitu tentang pemeriksaan langsung pada bank dilakukan oleh LPP atas permintaan LPS. Oleh sebab itu, menurut penulis dalam hal koordinasi antara OJK dan LPS terkait fungsi pengawasan OJK, tidaklah akan mengganggu
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
103
independensi OJK. Hal ini karena memang sudah menjadi tugas dan fungsi LPS untuk turut menjaga stabilitas sistem keuangan sesuai dengan kewenangankewenangan yang telah diberikan kepadanya sebagaimana diatur oleh UU 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Atas hal kewajiban koordinasi diantara ketiga lembaga ini, yaitu OJK, BI dan LPS, UU OJK melalui pasal 43, juga memerintahkan agar ketiga lembaga tersebut membangun dan memelihara sarana pertukaran informasi secara terintegrasi. Sarana pertukaran informasi tersebut harus saling terhubung satu sama lain, sehingga setiap institusi dapat saling bertukar informasi dan mengakses informasi perbankan yang dibutuhkan setiap saat (timely basis). Informasi tersebut meliputi informasi umum dan khusus tentang bank, laporan keuangan bank, laporan hasil pemeriksaan bank yang dilakukan oleh BI, LPS atau oleh OJK, dan informasi lain dengan tetap menjaga dan mempertimbangkan kerahasiaan informasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Menurut penulis maka sudah sewajarnya terdapat suatu sistem
pertukaran informasi
(Information Sharing System), diantara ketiga lembaga tersebut dan tentu saja tanpa harus menurunkan aspek independensi masing-masing lembaga. Sasaran utamanya adalah tentu saja agar masing-masing lembaga dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara maksimal, hal ini mengingat objek yang menjadi tujuan pencapaian tugas ketiga lembaga tersebut adalah sangat erat dan saling terkait, yaitu sistem keuangan nasional yang semakin terintegrasi. Hal ini juga sejalan dengan prinsip-prinsip pengawasan perbankan yang diterbitkan oleh Basel Comittee,182 yang mana menjelaskan bahwa kerjasama dan pertukaran informasi yang sesuai diantara otoritas publik termasuk dalam hal ini pengawas bank, bank sentral, otoritas penjamin simpanan dan lembaga regulator lain dapat dengan signifikan berkontribusi pada peningakatan efektifitas lembaga-lembaga tersebut dalam menjalankan tugasnya. 182
Basel Committee on Banking Supervision, Principles For Enhancing Corporate Governance October 2010, Bank for International Settlements, Page 32 (Supervisors should cooperate with other relevant supervisors in other jurisdictions regarding the supervision of corporate governance policies and practices. . Cooperation and appropriate information-sharing among relevant public authorities, including bank supervisors, central banks, deposit insurance agencies and other regulators, not only for issues related to corporate governance but also more broadly, can significantly contribute to the effectiveness of these authorities in their respective roles)
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
104
Selain itu juga seperti diketahui dalam ruang lingkup pengawasan sektor keuangan, bahwa sebelum OJK terbentuk,
selama ini BI dan Bapepam-LK
melakukan pola pengawasan yang terpisah, berjalan sendiri-sendiri di rel masingmasing dan cenderung mementingkan kepentingan kelembagaan masing-masing. Oleh sebab itu dengan hadirnya OJK, pengawasan yang bersifat sektoral tersebut akan sedapat mungkin dihindari melalui mekanisme koordinasi dan sistem informasi yang terintegrasi. Pengawasan di perbankan, pasar modal dan lembaga keuangan non-bank perlu berjalan seiring, terintegrasi di bawah koordinasi satu tangan. Terbentuknya sistem pengawasan yang terintegrasi akan menghilangkan egoisme sektoral dan mengedepankan kepentingan bersama melalui koordinasi yang lebih baik. Sistem pengawasan seperti ini akan menciptakan pola pengawasan yang saling mengisi antar sektor di jasa keuangan, ada koordinasi dan kerjasama yang lebih baik dalam pola pengawasan. Koordinasi itu dilakukan mulai dari tahap perencanaan, pembuatan kebijakan, mekanisme pengawasan hingga pelaksanaannya di lapangan. Hal ini juga akan mencegah terjadinya tumpang tindih (overlapping) peraturan untuk satu obyek yang sama.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
105
C. Independensi
Otoritas
Jasa
Keuangan
dari
Aspek
Kelembagaan/Institutional Independence Independensi dalam aspek kelembagaan suatu otoritas di sektor jasa keuangan, pada hakikatnya adalah mengacu pada status kelembagaan otoritas tersebut sebagai sebuah institusi yang bersifat mandiri/independen, yang terpisah dari cabang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Oleh sebab itu terkait dengan aspek ini, OJK dalam harus berdiri sebagai suatu badan independen secara hukum untuk menegaskan kewenangan dan tanggung jawabnya sesuai ketentuan dalam undang-undang pembentukannya.183 Sebagaimana yang dijelaskan oleh Quintyn dan Taylor bahwa dalam aspek kelembagaan, setidaknya terdapat dua unsur penting untuk menjamin independensi otoritas dalam menjalankan fungsinya184, yaitu aspek pertama, independensi dalam hal persyaratan yang tegas dan jelas dalam penunjukkan dan penarikan pimpinan/pejabat level senior, yang bertujuan agar pegawai otoritas mempunyai kejelasan masa jabatan dan memungkinkan mereka untuk bekerja tanpa takut akan pemecatan yang tidak wajar oleh pemerintah di kemudian hari. Pejabat tinggi (dewan komisioner) otoritas pada prinsipnya hanya dapat diberhentikan dari jabatannya dengan alasan yang substansial/wajar(good cause)185, seperti apabila telah mendapatkan vonis pidana atau bangkrut, atau presiden dapat memberhentikan dengan alasan ketidakmampuan mereka secara fisik atau mental.186Aspek yang kedua, Independensi dalam hal tata struktural dari otoritas jasa keuangan, yaitu keanggotaan komisioner yang bersifat kolektif (multi member comission) agar membantu memastikan konsistensi dan keberlanjutan pengambilan keputusan otoritas dari waktu ke waktu dan cenderung tidak mudah terpengaruh oleh pandangan individual.
183
Darmin Nasution, Op.Cit, Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan Implementasi.
184
Quintyn & Taylor, Op Cit., Regulatory and Supervisory Independence and Financial Stability, page 13. (Independence: Its four Dimension). 185
Untuk pembahasan mengenai konsep good cause dalam pemberhentian pimpinan otoritas independen dapat dilihat di footnote no empat pada bab dua. 186
Darmin Nasution, Op.Cit, Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan Implementasi.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
106
Menurut Undang-undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, dalam pasal 2 ayat (2) telah ditegaskan mengenasi status independensi kelembagaan OJK, yaitu lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU OJK. Kemudian juga dalam Penjelasan Umum UU OJK, lebih ditekankan lagi mengenai status independensi OJK khususnya berkaitan dengan hubungan dengan pemerintah, yang berbunyi bahwa Otoritas Jasa Keuangan berada di luar Pemerintah, yang dimaknai bahwa Otoritas Jasa Keuangan tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Adapun juga OJK diharuskan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya berlandaskan asas-asas, yang salah satunya adalah asas independensi yaitu independen dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian berkaitan dengan independensi kelembagaan yaitu dalam hal tata cara pemberhentian pimpinan, UU OJK mengatur bahwa pimpinan atau dalam hal ini para anggota Dewan Komisioner tidak dapat diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir, kecuali memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang ditentukan oleh dalam pasal 17 ayat (1) UU OJK. Terkait dengan tata struktural OJK, Pasal 10 ayat (2) UU OJK, mengatur bahwa pimpinan OJK tidak bertipe single person namun multi member yaitu sejumlah 9 anggota yang bersifat kolektif dan kolegial. Bersifat kolektif mengandung makna bahwa pada setiap proses pengambilan keputusan dewan komisioner melakukannya secara bersamasama. Sedangkan bersifat kolegial berarti bahwa setiap pengambilan keputusan dewan komisioner dilaksanakan berdasarkan musyawarah untuk mufakat dengan berasaskan kesetaraan dan kekeluargaan di antara anggota. Setiap anggota Dewan Komisioner OJK dalam hal ini memiliki hak suara yang sama. Secara lebih lengkap, mengenai aspek independensi kelembagaan beserta kriteria-kriterianya yang seharusnya dimiliki oleh otoritas pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan, sebagaimana yang diajukan oleh Quintyn & Taylor, yang telah penulis analisis dikaitkan dengan pengaturan independensi kelembagaan OJK di Indonesia melalui UU OJK, dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
107
Kriteria Independensi Kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan187
Nilai Independensi Otoritas Jasa Keuangan Tidak Independen
Independen, Tidak Secara Penuh
Independen Penuh
Pengaturan Aspek Independensi Kelembagaan OJK di Indonesia (UU OJK 21 Tahun 2011)
Apakah Otoritas mempunyai dasar hukum (undang-undang, peraturan, dll)?
Tidak
Ya
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, LN 111, TLN 5253.
Apakah hukum/UU menyatakan otoritas tersebut independen?
Tidak
Ya
Status OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam UndangUndang. (Pasal 2 ayat (2))
Bagaimana prosedur pengangkatan pimpinan dan pejabat tinggi otoritas?
Oleh Pemerintah
Oleh Parlemen berdasar dari usulan pemerintah
Anggota Dewan Komisioner OJK dipilih oleh DPR berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh Presiden. (Pasal 11 ayat (1))
Apakah badan pembuat keputusan adalah dewan atau kepala pimpinan (single person)?
Hanya Kepala Pimpinan
Kolegial dan Kolektif
Dewan Komisioner adalah pimpinan tertinggi OJK yang bersifat kolektif dan kolegial, yang beranggotakan 9 (sembilan) orang. (Pasal 10 ayat (1) dan (2))
Apakah ada Anggota Parlemen/legislator yang menduduki sebagai anggota dewan pengendali kebijakan otoritas?
Ya
Tidak
Anggota Dewan Komisioner OJK dilarang menjadi pengurus partai politik; (Pasal 22 huruf c)
Oleh Kepala Negara berdasar dari usulan pemerintah/ perdana menteri
187
Quintyn, Ramirez & Taylor, Op Cit., The Fear of Freedom: Politicians and the Independence and Accountability of Financial Sector Regulators, at page 39. (Appendix ii. Criteria for the index on independence and accountability for financial sector supervisor)
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
108
Apakah ada Pejabat Pemerintah yang menduduki sebagai anggota dewan pengendali kebijakan otoritas?
Ya
Tidak
Anggota Dewan Komisioner OJK dilarang menduduki jabatan pada lembaga lain, kecuali dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK dan/atau penugasan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Pasal 22 huruf (d); Susunan Dewan Komisioner mempunyai seorang anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan.Keberadaan Ex-officio ini dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan sektor jasa keuangan (Pasal 10 ayat (4) huruf i dan Penjelasan Umum)
Apakah UU memberikan Pemerintah/Kementerian Keuangan kekuasaan pengawasan/kontrol terhadap otoritas?
Ya
Apakah UU mempunyai definisi yang jelas terhadap pemberhentian Pimpinan otoritas?
Tidak ada
Ada, tapi tidak secara spesifik
Tidak
Secara kelembagaan, Otoritas Jasa Keuangan berada di luar Pemerintah, yang dimaknai bahwa Otoritas Jasa Keuangan tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. (Penjelasan Umum)
Ya
Anggota Dewan Komisioner tidak dapat diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir, kecuali apabila memenuhi alasan-alasan yang ditentukan UU (Pasal 17 ayat (1))
Berdasarkan table di atas, dapat dilihat bahwa sebenarnya OJK di Indonesia hampir secara keseluruhan dapat memenuhi nilai independensi penuh dalam hal pelaksanaan tugas dan wewenangnya berdasarkan pengaturan di UU 21 tahun 2011 tentang OJK. Namun juga, dapat kita cermati bahwa terhadap kriteria independensi di atas khususnya terkait poin Pejabat Pemerintah yang menduduki sebagai anggota dewan pengendali kebijakan otoritas, OJK ternyata tidak memenuhi nilai independensi yang penuh dalam kriteria tersebut. Hal ini disebabkan ternyata masih ada unsur pejabat pemerintah di dalam susunan dewan pengendali kebijakan atau pimpinan OJK, yaitu unsur ex-officio yang merupakan pejabat dari pemerintahan atau dalam hal ini Kementerian Keuangan. Seperti diketahui, susunan anggota DK OJK terdiri dari; seorang Ketua merangkap anggota, seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota, seorang Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap anggota,
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
109
seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Keuangan Lainnya merangkap anggota. Kemudian, seorang Ketua Dewan Audit Merangkap anggota, seorang anggota yang membidangi edukasi dan perlindungan konsumen, seorang anggota ex officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia, seorang anggota ex officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan. Namun adanya unsur ex officio dari Kemenkeu dan BI dalam Dewan Komisaris OJK ini kemudian dikhawatirkan akan mempengaruhi pelaksanaan independensi OJK, karena pada hakikatnya OJK adalah lembaga independen yang seharusnya mandiri dan bebas dari segala campur tangan pihak/lembaga lain, termasuk juga dalam hal ini Pemerintah maupun Bank Indonesia.
1. Independensi OJK terkait Keanggotaan Dewan Komisioner ExOfficio dari Bank Sentral dan Pemerintah Menjawab perdebatan terkait masalah intervensi pemerintah dan BI tersebut, dalam UU OJK,diatur mengenai pentingnya posisi ex-officio dari Pemerintah dan BI di dalam struktur kelembagaan OJK. Dalam penjelasan umum UU OJK dinyatakan bahwa keberadaan ex-officio ini dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan sektor jasa keuangan. Keberadaan ex-officio juga diperlukan guna memastikan terpeliharanya kepentingan nasional dalam rangka persaingan global dan kesepakatan internasional, kebutuhan koordinasi, dan pertukaran informasi dalam rangka menjaga dan memelihara stabilitas sistem keuangan. Untuk mewujudkan koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan yang baik, Otoritas Jasa Keuangan harus merupakan bagian dari sistem penyelenggaraan urusan pemerintahan yang berinteraksi secara baik dengan lembaga-lembaga negara dan pemerintahan lainnya Sejalan dengan hal tersebut, menanggapi isu intervensi dalam struktur pimpinan OJK, Menteri Keuangan Agus D.W. Martowardojo menepis kekhawatiran bahwa anggota DK OJK ex officio akan mengganggu independensi
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
110
dan intervensi dalam melaksanakan tugasnya.188 Dengan pertimbangan bahwa secara proporsi, anggota DK OJK ex-officio tersebut masih jauh dibanding anggota Dewan Komisioner lainnya. Selain itu, anggota DK OJK juga telah memiliki tata aturan yang jelas serta rumusan dan penetapan kebijakan yang bersifat kolektif kolegial. Pemerintah juga menilai pemberian hak suara/voting right bagi anggota DK OJK ex officio Kemenkeu dan BI diperlukan mengingat Kemenkeu adalah wakil pemerintah dalam berbagai kerja sama internasional. Menurutnya sedikitnya terdapat
tiga latar belakang yang menjadi pemikiran
Pemerintah terkait pentingnya Keterwakilan Kemenkeu dan BI dalam dalam keanggotaan Dewan Komisioner (DK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yaitu diantaranya: 1. Anggota ex officio Dewan Komisioner OJK diharapkan akan dapat mendukung kesamaan irama bagi Kementerian Keuangan, BI dan OJK dalam merancang dan menerapkan kebijakan di sektor keuangan. Kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan pengaturan sektor keuangan sudah sepatutnya selalu seiring dalam mengelola, mengatur, dan mengawasi keseluruhan aktivitas perekonomian nasional, terutama pada sektor keuangan. Sehingga diharapakan dapat menjadi jembatan bagi Kemenkeu, BI dan OJK 2. Keterwakilan Kemenkeu dalam DK OJK adalah untuk mengkoordinasikan serta
memonitor
informasi
terkini,
memahami
serta
mendeteksi
kecenderungan terkait peluang dan ancaman atas industri jasa keuangan secara berkesinambungan. Selain itu, agar dapat mengantisipasi, merumuskan dan menerapkan kebijakan antara Kemenkeu, BI dan OJK. 3. Selain itu, koordinasi diantara tiga lembaga ini sangat diperlukan agar dapat mengantisipasi, merumuskan dan menerapkan kebijakan antara Kemenkeu, BI dan OJK. Hal ini dilakukan dengan koordinasi antara lembaga tersebut yang diwujudkan melalui keterwakilan Pemerintah dan BI dalam keanggotaan DK OJK. 188
Kementerian Keuangan, Pentingnya Keterwakilan Kemenkeu dan BI dalam DK OJK, Berita Kemenkeu, http://www.depkeu.go.id/ind/Read/?type=ixNews&id=19821&thn=2011&name=br_260511_5.ht m, tanggal 26 Mei 2011.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
111
Sejalan dengan pernyataan Menteri Keuangan di atas, banyak pakar di bidang perbankan juga memahami adanya keterwakilan pemerintah di dalam structural Otoritas Jasa keuangan. Argumennya adalah, bahwa independensi pengawasan sektor keuangan berbeda dari
independensi bank sentral dalam
menjaga kebijakan moneter, dalam arti bahwa di sektor finansial, pemerintah (biasanya Menteri Keuangan) secara politis tetap bertanggung jawab untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, dikarenakan kegagalan satu atau lebih lembaga keuangan, pasar atau infrastruktur dapat memiliki implikasi serius terhadap ekonomi masyarakat luas. Oleh sebab itu, negara tetap harus mempunyai mekanisme kontrol seperti memberikan perwakilan pemerintah yang secara aktif berpartisipasi dalam manajemen di otoritas pengawas.189 Selain itu juga koordinasi OJK dengan pemerintah menurut Quintyn & Taylor adalah memang dibutuhkan, hal ini karena pemerintah (khususnya melalui kementrian keuangan) mempunyai peran yang sentral dalam hal manajemen krisis keuangan. Di beberapa negara, hal ini biasanya diwujudkan melalui penempatan perwakilan pemerintah di dewan pengurus otoritas jasa keuangan. Namun demikian, perwakilan pemerintah tersebut seharusnya ditempatkan dalam bagian noneksekutif yang tidak bersentuhan dengan fungsi kebijakan otoritas untuk tetap menjaga independensi dari otoritas.190 Berdasarkan argument-argumen tersebut di atas, penulis sependapat terkait pentingnya posisi exofficio di dalam struktur kelembagaan OJK, dan hal ini seharusnya tidak dimaknai sebagai bentuk intervensi namun sebagai bentuk koordinasi agar penyelenggaraan kegiatan di sector jasa keuangan dapat berjalan lancar dan efektif. Oleh sebab itu, terkait aspek independensi kelembagaan OJK di Indonesia, menurut penulis OJK sudah mempunyai nilai independensi yang penuh dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya.
189
Jacques de Larosière, The High-Level Group on supervision in EU, Report, Brussels 25 February 2009, page 47. (―National authorities influence should be limited to the possibility of amending the legal framework, imposing long-run strategic goals, and monitoring performance, on the condition that this is done in an open and transparent manner‖.) 190
Quintyn, Ramirez & Taylor, Op Cit., The Fear of Freedom: Politicians and the Independence and Accountability of Financial Sector Regulators, at page 11-15, ―Section: The Dimensions of Accountability‖
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
112
2. Independensi OJK Terkait Fungsi Penyidikan di Sektor Jasa Keuangan Tugas penyidikan yang dilakukan oleh OJK diatur dalam Pasal 49 s.d Pasal 51 UU OJK. Dalam pelaksanaan tugas penyidikan tersebut, Pegawai Negeri yang telah diangkat menjadi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dapat melakukan kewenangan penyidikan dalam UU OJK. Pasal 49 ayat (3) huruf i UU OJK lebih lanjut mengatur bahwa PPNS di sektor jasa keuangan berwenang meminta bantuan aparat penegak hukum lain dalam hal ini Kejaksaan, Kepolisian dan Pengadilan. Dalam hal ini, yang perlu mendapatkan perhatian adalah Pasal 51 UU OJK yang menyebutkan bahwa PPNS yang dipekerjakan di OJK hanya dapat ditarik dengan pemberitahuan paling singkat 6 (enam) bulan sebelum penarikan dan tidak sedang menangani perkara. Hal ini dapat diartikan bahwa dimungkinkan adanya PPNS yang merupakan penugasan dari instansi lain misalnya penyidik dari Kepolisian Negara RI atau Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (disingkat Bapepam-LK) yang dipekerjakan di OJK. Pengaturan tentang kewenangan penyidikan OJK tersebut cenderung agak lemah dan kurang independen, jika dibandingkan pengaturan penyidikan pada Bapepam-LK (pada saat belum dibubarkan), pelaksanaan tugas penyidikannya diatur secara independen, dalam artian terbebas dari campur tangan pihak lain. Dalam pasal 101 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, diatur bahwa penyidikan yang dilakukan oleh Bapepam-LK, penyidik hanya dibatasi dari lingkungan Bapepam-LK. Lebih lanjut diatur bahwa dalam rangka pelaksanaan kewenangan penyidikan tersebut Bapepam-LK dapat meminta bantuan dari aparat penegak hukum lainnya misalnya Kepolisian Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Imigrasi, Departemen Kehakiman, dan Kejaksaan Agung. Dari pengaturan tersebut, dapat diartikan bahwa penyidikan yang dilakukan oleh penyidik lain sifatnya berupa ―bantuan‖ tanpa harus dipekerjakan atau menjadi bagian dari Bapepam-LK. Dengan adanya penugasan bersifat sementara dan adhoc dari instansi lain tersebut, tugas penyidikan menjadi tidak murni dilakukan oleh OJK karena adanya campur tangan dari instansi/lembaga lain mengingat pejabatnya dipekerjakan di OJK. Adanya campur tangan lembaga lain tersebut sudah tentu
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
113
dapat berpotensi mengganggu independensi OJK dalam melalukan tugasnya dalam penyidikan tindak pidana di sektor keuangan. Dengan kata lain, OJK secara kelembagaan pegawainya sendiri tidak dapat ditugasi sebagai penyidik, dan akan sangat bergantung kepada lembaga lain yang dalam hal ini adalah Kejaksaan, Kepolisian dan Pengadilan atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil. Pegawai Bappepam LK sendiri, sebenarnya sudah tidak dapat dipekerjakan sebagai penyidik walaupun telah diangkat atau dipekerjakan di OJK. Hal ini karena setelah Bapepam-LK bubar, jika para pegawai Bapepam tersebut pindah dan memilih bergabung dengan OJK, tentu status Pegawai Negeri Sipil (PNS) dari para pegawai tersebut akan hilang, sehingga tidak lagi dapat menjalankan tugas sebagai penyidik sebagaimana pasal 49 ayat (1) UU OJK. Oleh sebab itu, menurut Muliaman Hadad, hal tersebut cukup mengganggu tugas penyidikan OJK, mengingat dalam Undang-Undang (UU) disebutkan bahwa yang menjadi penyidik harus dari kepolisian dan PNS.191 Sebagai contoh praktek nyata terkait ketidakmandirian suatu lembaga apabila penyidiknya bergantung pada instansi lain, dalam beberapa waktu lalu masih hangat pemberitaan konflik kepentingan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian RI (POLRI), yang mana atas peristiwa tersebut POLRI menarik besar-besaran penyidinya dari lembaga KPK.192 Pada akhirnya karena konflik tersebut, KPK sangat terhambat dan kesulitan dalam menyelesaikan perkara korupsi karena penyidik aktif di lembaganya hanya tersisa sedikit setelah dilakukan penarikan tersebut. Kejadian tersebut dapat berpotensi akan terulang ke depannya pada OJK, jika permasalahan personil penyidik ini tidak dicari solusi pemecahannya.193
191
Jurnas.Com, Pegawai Berstatus Non-PNS: OJK Terancam Tak Bisa Lakukan Penyidikan, http://www.jurnas.com/news/71973/Pegawai_Berstatus_NonPNS,_OJK_Terancam_Tak_Bisa_La kukan_Penyidikan/1/Ekonomi, 24 September 2012. 192
Dian Maharani, Polri Tarik Penyidik KPK :Tak Wajar, Penarikan 20 Penyidik Polri dari KPK, Kompas.com, 15 September 2012, berita diunduh dari http://nasional.kompas.com/read/2012/09/15/1445577/Tak.Wajar.Penarikan.20.Penyidik.Polri.dari .KPK 193
Terhadap permasalahan ini bisa juga dijawab dengan solusi ―Penyidik Independen‖ dari pegawai internal OJK. Hal ini juga sedang dalam proses di KPK dan juga sedang dikaji oleh DPR terkait legalitas atas ―Penyidik Independen‖ tersebut. Lihat Sandro Gatra, Komisi III Kaji Penyidik Independen KPK, Kompas.Com,Senin, 17 September 2012, (http://nasional.kompas.com/read/2012/09/17/18233417/Komisi.III.Kaji.Penyidik.Independen.KP
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
114
D. Independensi
Otoritas
Jasa
Keuangan
dari
Aspek
Anggaran/Budgetary Independence Independensi dalam aspek anggaran adalah mengacu pada kemampuan dari otoritas pengawas untuk menentukan besar anggaran mereka sendiri dan sumber alokasi anggaran, serta prioritas dalam menggunakan anggaran tersebut. Otoritas pengawas yang mempunyai tingkat independensi yang tinggi dalam aspek budgetary independence akan lebih tangguh dalam menghadapi pengaruh politik agar dapat bergerak cepat dalam kebutuhan yang mendesak di sektor finansial dan memastikan sistem penggajian mereka akan cukup menarik dalam merekrut staff yang kompeten. Otoritas pengawas yang dibiayai melalui pemberian dari anggaran pemerintah, dapat dikatakan cenderung terbuka dan lemah dari berbagai bentuk intervensi politik. Hal ini dapat dijelaskan ketika otoritas pengawas tersebut dianggap secara politik lebih ketat pada jaringan pelaku usaha tertentu, pemerintah dapat mengintervensi dengan menahan atau mengurangi anggaran yang diberikan.Lebih lanjut, dapat juga terjadi anggaran otoritas pengawas dipotong oleh Pemerintah dengan dalih kebijakan fiskal yang mendesak.Adapun di lain sisi, anggaran otoritas yang bersumber dari industri bisnis yang diawasi mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan pemberian anggaran dari pemerintah, seperti misalnya mengurangi lingkup dari campur tangan politis dan tingkat kebebasan yang lebih tinggi untuk otoritas menentukan anggarannya sendiri menyesuaikan dengan kebutuhan dan prioritasnya. Namun perlu juga disadari hal ini memiliki risiko jika iuran/fee dari dunia industri belum terstruktur dengan jelas, yang dapat berimplikasi pada ketergantungan yang tinggi terhadap industri dan dapat berakibat melemahkan kemandirian otoritas pengawas. Dalam UU OJK diatur bahwa, anggaran OJK dapat bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Selain itu, untuk mendukung kegiatan operasional OJK, pemerintah dapat melakukan penempatan dana awal ke OJK. Selain itu diatur juga bahwa untuk penetapan anggaran, OJK terlebih dahulu K) ; Lihat juga B Kunto Wibisono, Pakar: Kpk Perlu Rekrut Penyidik Independen, Antara News.com, 20 September 2012, (http://www.antaranews.com/berita/334180/pakar-kpk-perlurekrut-penyidik-independen)
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
115
meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan adanya pengaturan anggaran OJK yang demikian, maka dapat diartikan bahwa pelaksanaan tugas dan wewenang OJK bergantung kepada APBN yang disetujui oleh DPR dan/atau Pihak (lembaga keuagan) yang diawasi oleh OJK, serta Pemerintah. Lebih lanjut diatur pada penjelasan pasal 34 ayat (2), bahwa pembiayaan kegiatan OJK sewajarnya didanai secara mandiri yang pendanaannya bersumber dari pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Penetapan besaran pungutan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan serta kebutuhan pendanaan OJK. Namun, pembiayaan OJK yang bersumber dari APBN tetap diperlukan untuk memenuhi kebutuhan OJK pada saat pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di industri jasa keuangan belum dapat mendanai seluruh kegiatan operasional secara mandiri, antara lain seperti pada masa awal pembentukan OJK.
Kriteria Independensi Anggaran Otoritas Jasa Keuangan
Nilai Independensi Otoritas Jasa Keuangan Tidak Independen
Independen, Tidak Secara Penuh
Independen Penuh
Pengaturan Aspek Independensi Kelembagaan OJK di Indonesia (UU OJK 21 Tahun 2011)
Bagaimanakah pendanaan anggaran otoritas?
Hanya melalui anggaran dari pemerintah
Perpaduan iuran industri dan anggaran bank sentral yang disertai anggaran pemerintah
Melalui iuran industri, melalui anggaran bank sentral, atau perpaduan antara keduanya, tetapi tidak ada anggaran dari pemerintah
Anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan
Kewajiban otoritas untuk melaporkan anggaran kepada pemerintah untuk disetujui (termasuk persetujuan tentang struktur anggaran)
Ya
Terpisah, seperti misalnya dalam hal struktur anggaran
Tidak
Untuk penetapan anggaran, OJK terlebih dahulu meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (Pasal 36)
Apakah otoritas mempunyai kewenangan untuk menentukan sistem penggajian pegawai
Tidak
Ya
Dewan Komisioner menyusun dan menetapkan rencana kerja dan anggaran OJK. (Pasal 34 ayat (1))
Apakah Otoritas kewenangan untuk perekrutan pegawai
mempunyai melakukan
Tidak
Ya
Dewan Komisioner mengangkat dan memberhentikan pejabat dan pegawai OJK (Pasal 27 ayat (1))
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
116
Apakah otoritas mempunyai kewenangan untuk menentukan struktur organisasi internal
Tidak
Ya
Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang OJK, Dewan Komisioner membentuk organisasi (Pasal 26 ayat (1)
Secara garis besar, pada table di atas terlihat bahwa OJK telah memenuhi aspek independensi secara anggaran dalam pengaturannya di UU. Namun masih terdapat beberapa hal yang menarik untuk diperdebatkan yaitu mengenai sumber anggaran seperti apakah yang mampu menjamin independensi OJK di satu sisi, namun juga tidak membebankan masyarakat industry di sisi lainnya. Pada kriteria yang diajukan di table bahwa sebenarnya anggaran OJK yang independen adalah lepas dari anggaran pemerintah atau APBN. Namun ternyata hal ini sulit dilakukan khususnya pada lembaga yang baru terbentuk, yang tentunya membutuhkan anggaran yang besar untuk membangun OJK dengan struktur kelembagaan yang kuat. Selain itu argumen ini diperkuat juga dengan struktur industri bisnis yang harus melakukan adaptasi dan transisi model pengawasan yang baru. Sehingga sesuai dengan penjelasan dari UU OJK, penulis sependapat bahwa adalah hal yang wajar bagi OJK untuk mendapatkan dana dari pemerintah melalui APBN sebagai anggaran pada masa awal pembentukan OJK. Oleh sebab itu, dalam aspek anggaran ini, menurut penulis pengaturan UU OJK sudah tepat dan dapat menjamin independensi OJK. Namun hal yang perlu dicermati lebih lanjut adalah apabila anggaran OJK sepenuhnya berasal dari APBN dan seterusnya di tahun anggaran berikutnya, hal ini tentu akan menggangu pelaksanaan independensi dari OJK. Apabila anggaran OJK berasal dari APBN, maka dapat dikatakan pula bahwa OJK merupakan bagian dari pemerintahan karena pada hakekatnya APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara.194 OJK dikhawatirkan juga akan rentan terhadap
194
Sesuai dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UUKN), APBN merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan Negara yang disetujui oleh DPR. APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan Negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara dengan berpedoman kepada rencana kerja Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara. Lihat Pasal 12 UU tentang Keuangan Negara
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
117
tekanan politik dari pemerintah mengingat kegiatan OJK dibiayai oleh APBN tersebut. Dengan demikian, dikhawatirkan OJK akan kehilangan kemandiriannya sebagai suatu insitusi apabila secara permanen mendapatkan sumber pendaanaan dari APBN. Oleh sebab itu, apabila secara struktural OJK telah kuat dan juga industri jasa keuangan telah mampu mendanai kegiatan operasionalnya secara mandiri, tentunya OJK sewajarnya tidak dapat lagi mengandalkan sumber pendanaan dari APBN, dan untuk menjamin independensinya harus melakukan pungutan/iuran kepada masyarakat industry jasa keuangan.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
118
E. Aspek Akuntabilitas dan Transparansi OJK Aspek akuntabilitas tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan tugas dan fungsi yang dijalankan oleh otoritas independen. Independensi yang tidak disertai dengan akuntabilitas akan menjadi suatu absolutisme, dan berpotensi terjadinya suatuabuse of power, benturan kepentingan, fraud ataupun penyimpangan lainnya. Menurut pendapat Rizal Ramli dalam mengkomentari akuntabilitas dari otoritas independen seperti Bank Indonesia, bahwa independensi yang tidak disertai dengan akuntabilitas akan menjadikan lembaga tersebut menjadi seperti ―negara di dalam negara‖.195 Hal tersebut senada dengan apa yang disampaikan Darmin Nasution, bahwa Independensi tidak sama dengan bebas. Meskipun OJK harus independen agar dapat beroperasi secara efektif, OJK juga harus akuntabel terhadap pihak-pihak yang berkepentingan seperti pemerintah, pelaku sektor jasa keuangan, dan masyarakat.196 Oleh sebab itu, indenpendensi OJK harus ditegakkan sebagai satu sisi koin mata uang yang disertai akuntabilitas pada sisi lainnya. Sementari dari aspek transaparansi, dapat dikatakan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari akuntabilitas, karena transparansi merupakan elemen akuntablilitas yang sangat penting.197Apa pun yang menjadi dasar pemikiran dan rencana yang terkait pertanggungjawaban demokratis, sifat itu akan terbatas bila tanpa transparansi.198 Tanpa transparansi, setiap kegiatan atau kebijakan otoritas jasa keuangan yang direncanakan atau sudah disetujui tidak akan diketahui oleh masyarakat, karena tidak ada diskusi untuk menguji perlu dan tidaknya suatu kebijakan tersebut. Selain itu, cara terbaik untuk memastikan mekanisme akuntabilitas terhadap otoritas tidak melemahkan indepensinya adalah dengan
195
Rizal Ramli,"Negara dalam Negara" Bila BI Tanpa Akuntabilitas, Gatra.com, 20 November 2000, http://arsip.gatra.com//2000-11-26/artikel.php?id=1472 196
Darmin Nasution, Op.Cit, Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan Implementasi.
197
Eijffinger, Sylvester C W & Marco Hoeberichts, "Central Bank Accountability and Transparency: Theory and Some Evidence," International Finance, Wiley Blackwell, vol. 5(1), , 2002, pages 75 198
Ibid
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
119
berlandaskan prinsip-prinsip transparansi.199 Hal ini mendorong keterbukaan dan meningkatkan fungsi pelayanan publik, yang juga meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada otoritas. Transparansi otoritas jasa keuangan dalam hal ini, dapat diwujudkan melalui berbagai tipe publikasi, seperti website otoritas, laporan tentang pelaksanaan praktik pengawasan dan kebijakan yang penting, laporan tahunan, press conference dan lain sebagainya. Dalam Penjelasan Umum UU OJK, ditegaskan bahwas OJK dalam melaksanakan tugasnyas harus berlandaskan asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada public. Prinsip Transparansi OJK juga dijelaskan di UU OJK yaitu terkait asas keterbukaan OJK, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan OJK, dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut, ketentuan mengenai akuntabilitas dan trasnparansi OJK secara jelas diatur dalam Pasal 38 UU OJK yang menyebutkan beberapa kewajiban OJK agar dapat menjalankan tugasnya dengan kredibel, akuntabel dan transparan, yaitu sebagai berikut: 1.
OJK wajib menyusun laporan keuangan yang terdiri atas laporan keuangan semesteran dan tahunan.
2.
OJK wajib menyusun laporan kegiatan yang terdiri atas laporan kegiatan bulanan, triwulanan, dan tahunan. Laporan kegiatan yang disusun OJK dalam hal ini adalah memuat: a. pelaksanaan tugas dan wewenangnya pada periode sebelumnya. b. rencana kebijakan, penetapan sasaran dan langkah-langkah pelaksanaan tugas dan wewenang OJK untuk periode yang akan datang.
3.
Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat memerlukan penjelasan, OJK wajib menyampaikan laporan.
199
Quintyn, Ramirez & Taylor, Op Cit., The Fear of Freedom: Politicians and the Independence and Accountability of Financial Sector Regulators, at page 11
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
120
4.
Periode laporan keuangan OJK adalah tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember.
5.
OJK wajib menyampaikan laporan kegiatan triwulanan kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat.
6.
Laporan kegiatan tahunan OJK disampaikan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Penyampaian laporan OJK kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat disini dimaksudkan untuk menjelaskan pelaksanaan kegiatan dan kinerja OJK selama tahun berjalan
7.
Untuk penyusunan laporan keuangan OJK, Dewan Komisioner menetapkan standar dan kebijakan akuntansi OJK. Penyusunan standar dan kebijakan akuntansi oleh OJK dilakukan dengan memperhatikan prinsip akuntansi yang berlaku umum.
8.
Laporan keuangan tahunan OJK diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan atau Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
9.
OJK wajib mengumumkan laporan tahunan OJK kepada publik melalui media cetak dan media elektronik.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
Kriteria Akuntabilitas Otoritas Jasa Keuangan
Nilai Akuntabilitas Otoritas Jasa Keuangan Tidak Akuntabel
Akuntabel
Pengaturan Aspek Akuntabilitas OJK di Indonesia
121
(UU OJK 21 Tahun 2011)
1. Akuntabilitas Akuntabilitas kepada Legilastor Apakah ada kewajiban otoritas secara hukum atau melalui UU untuk menyajikan laporan tahunan kepada legislative?
Tidak
Ya
OJK wajib menyusun laporan kegiatan tahunan dan disampaikan kepada DPR (pasal 38 ayat (6))
Apakah hukum/UU memberikan kemungkinan diadakannya pertemuan/rapat bersama komisi legislator (quarterly, …)?
Tidak
Ya
OJK wajib menyampaikan laporan kegiatan triwulanan kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat. (pasal 38 ayat (5)) Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat memerlukan penjelasan, OJK wajib menyampaikan laporan. (pasal 38 ayat (3))
Apakah kewajiban pelaporan/akuntabilitas kepada legislator didelegasikan/diwakilkan kepada Kementerian Keuangan (bukan perwakilan dari otoritas)?
Ya
Tidak
Tidak ada ketentuan dalan UU yang mewajibkan pelaporan kegiatan ataupun keuangan OJK diwakilkan oleh Kementerian Keuangan
Apakah ada kewajiban otoritas secara hukum atau melalui UU untuk menyajikan laporan tahunan kepada eksekutif?
Tidak
Ya
OJK wajib menyusun laporan kegiatan tahunan dan disampaikan kepada Presiden (pasal 38 ayat (6))
Apakah hukum/UU memberikan kemungkinan diadakannya pertemuan/rapat bersama Kementerian Keuangan(quarterly, …)?
Tidak
Ya
Rapat paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan, dalam rangka Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan bersama Menteri Keuangan, Gubernur BI, dan DK LPS. (pasal 45 ayat (1) huruf b)
Apakah entitas bisnis yang diawasi mempunyai hak untuk melakukan keberatan atas keputusan otoritas ke pengadilan?
Tidak
Ya
Tidak diatur
Apakah terdapat perbedaan proses judisial dalam menangani keberatan kepada otoritas?
Tidak
Ya
Tidak diatur
Apakah terdapat hakim yang bersifat khusus untuk menangani keberatan tersebut?
Tidak
Ya
Tidak diatur
Apakah terdapat sanksi terhadap proses pengawasan yang melanggar aturan?
Tidak
Ya
Tidak diatur
Tidak
Ya
Untuk penetapan anggaran, OJK terlebih dahulu meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (Pasal 36)
Tidak
Ya
Tidak diatur
Akuntabilitas kepada Eksekutif
Akuntabilitas dalam proses adjudikasi
Akuntabilitas Anggaran Apakah terdapat proses dimana agency melaporkan dan mendiskusikan anggarannya (ex post budget)? Aspek Akuntabilitas lainnya Apakah terdapat proses konsultasi secara formal dengan industri sebelum diberlakukannya regulasi baru?
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
122
Apakah terdapat proses audit di internal otoritas?
Tidak
Ya
Dewan Audit adalah organ pendukung Dewan Komisioner yang bertugas melakukan evaluasi atas pelaksanaan tugas OJK serta menyusun standar audit dan manajemen risiko OJK. (Pasal 1 ayat (22))
Apakah terdapat proses audit di luar (eksternal) otoritas?
Tidak
Ya
Laporan keuangan tahunan OJK diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan atau Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk oleh Badan Pemeriksa Keuangan. (Pasal 38 ayat (8))
Kriteria Transparansi Otoritas Jasa Keuangan
Nilai Transparansi Otoritas Jasa Keuangan
Pengaturan Aspek Transparansi OJK di Indonesia
Tidak Transaparan Transparan
(UU OJK 21 Tahun 2011)
2. Prinsip Transparansi Apakah ada pengumuman/pemberitahuan terkait kebijakan dan keputusan otoritas? (misalnya melalui website? )
Tidak
Ya
Tidak diatur di UU, namun mempunyai website, http://www.ojk.go.id/, dan mengumumkan beberapa peraturan kebijakan OJK
Apakah otoritas telah memberikan pernyataan di awal tentang ―mission statement‖ yang akan dicapai?
Tidak
Ya
Tidak diatur di UU, tapi OJK telah mengumumkan visi & misi melalui website
Apakah otoritas menyediakan laporan tahunan kepada masyarakat pada umumnya?
Tidak
Ya
OJK wajib mengumumkan laporan tahunan OJK kepada publik melalui media cetak dan media elektronik. (Pasal 38 ayat (9))
Apakah publik diberikan suatu kesempatan melalui suatu forum untuk memberikan pertanyaan tentang transparansi otoritas?
Tidak
Ya
Tidak diatur
Apakah ada dewan atau komisi yang mewadahi keluhan-keluhan konsumen?
Tidak
Ya
OJK melakukan pelayanan pengaduan Konsumen yaitu, menyiapkan perangkat yang memadai untuk pelayanan pengaduan Konsumen; Membuat mekanisme pengaduan Konsumen; dan memfasilitasi penyelesaian pengaduan Konsumen. (Pasal 29)
Dalam analisis table di atas, pengaturan akuntabilitas dan transparansi OJK dalam UU secara keseluruhan telah memenuhi nilai OJK yang akuntabel dan juga transparan. Namun hal yang perlu ditelaah lebih lanjut adalah terkait aspek akuntabilitas OJK dalam hal proses adjudikasi, yang mana dalam UU OJK tidak diatur sama sekali di dalamnya mengenai hal tersebut. Masalah proses adjudikasi terhadap otoritas ini sebenarnya adalah merupakan aspek yang cukup penting.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
OJK yaitu telah dan
123
Menurut Quintyn & Taylor,200 dalam hal terdapat keberatan atau gugatan balik kepada pegawai pengawas, sebaiknya hanya dapat dilakukan melalui forum dewan peradilan yang khusus (spesialist tribunals), yang dapat menjamin perlindungan terhadap keberatan/gugatan dari entitas bisnis yang diawasi, atau kasus yang sengajakan diajukan untuk mengganggu otoritas pengawas (vexatious case). Secara
keseluruhan,
setelah
menganalisis
aspek
independensi,
akuntabilitas dan transparansi Otoritas Jasa Keuangan melalui pengaturan di Undang-Undang No 21 tahun 2011, penulis berpendapat bahwa dalam pelaksanaan tugas dan fungsi pada penyelenggaraan kegiatan di sektor jasa keuangan, Otoritas Jasa Keuangan dapat dikatakan telah memenuhi kriteri-kriteria sebagai lembaga yang independen, akuntabel dan transparan.
200
Quintyn & Taylor, Op Cit., Regulatory and SupervisoryIndependence and Financial Stability, page 13. (Independence: Its four Dimension).
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
124
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka dalam penelitian tesis ini penulis mempunyai kesimpulan, antara lain : 1. Status kelembagaan/institusional Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga independen yang berada di luar Pemerintah, yang mempunyai makna
bahwa
OJK
tidak
menjadi
bagian
dari
kekuasaan
Pemerintah/eksekutif. Namun demikian pada hakikatnya OJK merupakan otoritas pengatur dan pengawas di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan otoritas moneter. Oleh karena itu untuk kelancaran pelaksanaan tugas, OJK memerlukan keterwakilan unsur-unsur dari kedua otoritas tersebut yaitu pejabat Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia secara ex-officio di dalam keanggotaan Pimpinan/Dewan Komisioner OJK. Dalam kegiatan operasionalnya OJK juga diwajibkan untuk saling berkoordinasi dan bekerja sama dengan lembaga-lembaga seperti Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) serta Penegak Hukum
Kepolisian dan
Kejaksaan dalam hal melaksakan tugas dan fungsi penyidikan. Selain itu OJK juga bagian dari Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) yang bertugas menjaga stabilitas sistem keuangan., bersama dengan Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia dan Ketua Dewan Komisioner LPS. 2. Alasan pentingnya pemberian independensi kepada OJK adalah agar OJK dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dalam melakukan pengawasan di sektor jasa keuangan secara optimal dan efektif. Independensi diperlukan agar OJK dapat melindungi diri khususnya dari intervensi industri jasa keuangan yang diawasinya maupun dari campur tangan politik. Hal tersebut dimaksudkan agar setiap regulasi dan pengawasan yang dilakukan OJK benar-benar bersifat objektif, tanpa dipengaruhi intervensi dari pihak manapun dan untuk mencegah benturan kepentingan antara berbagai faktor yang berinteraksi di pasar. Sifat independen tersebut harus
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
125
diwujudkan karena concern dan tujuan utama pembentukan OJK sebagai lembaga/otoritas pengatur dan pengawas adalah menyangkut kepercayaan masyarakat bagi sektor finansial dan pencapaian tujuan stabilitas keuangan. Pengalaman di beberapa negara juga menunjukkan bahwa lemahnya independensi dari otoritas pengawas sektor jasa keuangan merupakan faktor utama penyebab terjadinya krisis ekonomi sistemik, seperti misalnya krisis yang melanda negara-negara Asia pada dekade 1990an dan krisis di Venezuela. 3. Pengukuran
indepedensi
OJK
dalam
pelaksanaan
tugas
dan
kewenangannya sebagai penyelenggara kegiatan sector jasa keuangan dapat
dinilai
melalui
pengaturan/regulatory
beberapa
aspek,
independence,
yaitu
aspek
aspek
fungsi fungsi
pengawasan/supervisory independence, aspek kelembagaan/insitusional independence dan aspek anggaran/budgetary independence, serta termasuk juga aspek akuntabilitas dan transparansi OJK. Penilaian independensi tersebut dapat dilihat melalui pengaturan/landasan hukum tentang OJK, yaitu Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Menurut penulis dalam pengaturan terkait independensi OJK yang terdapat dalam UU OJK, sebenarnya sudah menggambarkan suatu nilai independensi yang penuh/fully independence dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya. Walaupun memang, dalam beberapa tugas tertentu, misalnya dalam pelaksanaan tugas pengaturan dan pengawasan di bidang perbankan, tugas penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan dan tugas menjaga stabilitas sistem keuangan dalam FKSSK, terdapat pengaturan yang mewajibkan OJK untuk selalu tetap berkoordinasi dan bekerja sama dengan instansi/otoritas lain yang terkait. Namun pengaturan tentang koordinasi dan kerjasama dengan instansi/lembaga lain tersebut sebenarnya tidak serta merta menjadikan OJK menjadi institusi yang tidak independen/mandiri
mengingat
kewenangan-kewenangan
sebagai
pengawas sektor jasa keuangan yang telah diatur secara tegas oleh UU OJK sepenuhnya masih tetap berada pada OJK. Selain itu juga, patut diketahui bahwa dewasa ini karakteristik sistem keuangan yang semakin
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
126
terintegrasi dan semakin tingginya persaingan global, kebutuhan OJK untuk berkoordinasi, bekerja sama dan mengharmonisasikan kebijakan serta bertukar informasi melalui sistem yang terintegrasi dengan lembaga terkait adalah suatu hal yang sangat penting agar stabilitas sistem keuangan dapat terjaga dan juga memastikan terpeliharanya kepentingan nasional.
B. Saran 1. Untuk
menghindari
kewenangan
terjadinya
benturan
kepentingan,
tugas
dan
antara lembaga-lembaga terkait di sector jasa keuangan,
yaitu OJK, Kemenkeu, BI dan LPS perlu dibuat pengaturan lanjutan yang berisfat teknis mengenai protokol koordinasi dengan didasari prinsip indepedensi, tranparansi dan akuntabel, yang mengatur secara tegas dan konprehensif tugas dan tanggung jawab masing-masing lembaga. Hal ini juga untuk memperjelas tugas, fungsi dan tanggung jawab pihak-pihak yang duduk dalam Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKKSK) dalam mengambil kebijakan terhadap bank apabila terjadi krisis. Protokol koordinasi tersebut dapat dituangkan melalui suatu Memorandum of Understanding (MOU) yang mengatur tentang operasional tugas masing-masing lembaga. 2. Agar independensi OJK dapat tetap terjaga khususnya dalam hal pelaksanaan tugas pengawasan/pemeriksaan,
penting untuk
diatur
mengenai aspek perlindungan hukum (legal protection) bagi pegawai pengawas OJK dan dituangkan ke dalam peraturan hukum, misalnya Peraturan OJK. Hal ini bertujuan agar ke depannya dalam pelaksanaan tugas pengawasan, para pegawai OJK lebih percaya diri untuk melakukan tindakan hukum. Selain itu juga penting untuk dibentuk suatu peradilan khusus (specialist tribunal) di lingkungan OJK, sebagai bentuk akuntabilitas yang bersifat ajudikatif. Peradilan khusus ini bisa mencontoh di instansi otoritas lain seperti misalnya di peradilan pajak atau peradilan di lingkungan KPPU.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
127
3. Mengacu dari ketentuan perundang-undangan, OJK secara kelembagaan pegawainya sendiri tidak dapat ditugasi sebagai penyidik, dan akan sangat bergantung kepada lembaga lain yang dalam hal ini adalah Kejaksaan, Kepolisian dan Pengadilan atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil. Maka agar Independensi OJK dalam hal pelaksanaan tugas penyidikan terhadap tindak pidana di bidang sector jasa keuangan tetap terjaga dan OJK dalam perjalanannya saat melakukan penanganan kasus tidak kekurangan tenaga penyidik, penulis memberikan saran agar kewenangan untuk memulai dan/atau menghentikan penyidikan merupakan kewenangan OJK/penyidik yang ditugaskan di OJK. Sehingga dalam hal pimpinan OJK tidak menyetujui penghentian penyidikan suatu kasus, pimpinan instansi asal penyidik tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan penghentian penyidikan kasus tersebut.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
128
DAFTAR PUSTAKA BUKU
Andi Mustari Pide, Pengantar Hukum Tata Negara, cet. 1, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999)
Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), (Yogyakarta: FH UII Press, 2005)
Bank Indonesia, Era Baru Transformasi Bank Sentral, (Jakarta: Media Indonesia Publishing), 2010 Charles Goodhart (ed) ‗The Emerging Framework of Financial Regulation‘, a collection of compiled by the Financial Markets Group of the London School of Economics (London: Central Banking Publications), 1998.
Crince le Roy, Kekuasaan ke-empat Pengenalan Ulang, diterjemahkan oleh Soehardjo, (Semarang: 1981)
E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, cet. 4., (1960)
Harold J Laski, A Grammar of Politics, (London: George Allen and Unwir LTD, 1960) Henry Campbell Black, Black‘s Law Dictionary, 6th Edition, (St.
Paul
Minn:
West Publishing Co), 1997
Jabbra, J. G. dan Dwidevi, O. P. Public ServiceAccountability, Connecticut : Kumairan Press, Inc. 1989
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
129
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006)
_____________, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006)
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, cet. 22, (Jakarta: PT. Gramedia, 2001)
Montesquieu, De L`Esprit Des Lois, (Paris: G.Truc ed. 1949), hlm. 162.
Robert M. Maclver, The Modern State, (Oxford: Oxford University Press, 1950)
Roger G. Noll, Reforming Regulation: An Evaluation of the Ash Council Proposals,(Washington DC: The Brookings Institution),1971.
Rosa Maria Lastra, Central Banking and Banking Regulation, (London: LSE, Financial Markets Group), 1996.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3 (Jakarta: Penerbit UIPres, 1986)
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Rajawali Press, 1990)
Sri Mamudji et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, ( Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005)
Sulistyowati Irianto & Shidarta, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
130
Sutandyo Wignjosoebroto, tth,‖, Apakah Sesungguhnya Penelitian itu?‖, Kertas Kerja, (Surabaya : Univ. Airlangga, 1986)
Tim Panitia Antar Departemen Rancangan Undang-Undang Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 2010
ARTIKEL &JURNAL
A. Berle and G. Means, 1932. The Modern Corporation and Private Property. New York: Macmillan.
Aalt Willem Heringa & Luc Verhey, Independent Agencies and PoliticalControl, Agencies In European And Comparative Perspective, (Tom Zwart &Luc Verhey eds.), 2003.
Alex
Cukierman,
Central
Bank
Independence
and
Monetary
PolicymakingInstitutions – Past, Present and Future, 24 European Journal of Political Economy, December 2008.
Amanda M. Rose, TheMultienforcer Approach to Securities Fraud Deterrence: A Critical Analysis, 158 University of Pennsylvania Law Review, 2010. Anwar Nasution, ―Stabilitas Sistem Keuangan : Urgensi, Impllkasi Hukum, Dan Agenda Kedepan‖, Disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional - Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Rl. tanggal 14-18 Juli 2003 di Denpasar.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
131
Asian Development Bank, ―Governance :Sound Development Management‖, 1999
Bank for International Settlements 2012.Basel Committee on Banking Supervision, Core Principles for
Effective
Banking
Supervision,
September 2012. Bismar Nasution, ―Pasal 34 Undang-Undang Tentang Bank Indonesia dan Dampaknya Pada Peranan dan Fungsi Bank Indonesia Di Bidang Moneter, Sistem Pembayaran dan Stabilitas Keuangan‖, Buletin Hukum Perbankan Dan Kebanksentralan, Volume 8, Nomor 3, September 2010
Charles H. Koch Jr., James Landis: The Administrative Process, Faculty Publications College of William & Mary Law School, 48 Administrative Law Review, 1996.
Darmin Nasution, Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan Implementasi, Penerbit Buku Kompas, Februari 2004
Daryl J. Levinson & Richard H. Pildes, Separation of Parties, Not Powers, 119 Harvard Law Review, 2006
David E. Lewis, The Adverse Consequences of thePolitics of Agency Design for Presidential Management in the United States: The RelativeDurability of Insulated Agencies, British Journal of Political Science 34, 2004.
David Sappington, "Incentives in Principal-Agent Relationships", Journal of EconomicPerspectives, 5(2), 1991.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
132
Donato Masciandaro, Marc Quintyn, andMichael Taylor,Financial Supervisory Independence andAccountability – Exploring theDeterminants, IMF Working Paper WP/08/147, 2008.
Douglass C. North & Barry R. Weingast, Constitutions and Commitment:The Evolution of Institutions Governing Public Choice in Seventeenth-Century England,49 The Journal of Economic History, 1989.
Eijffinger, Sylvester C W & Marco Hoeberichts, "Central Bank Accountability and Transparency: Theory and Some Evidence," International Finance, Wiley Blackwell, vol. 5(1), , 2002, pages 75
Eva Hüpkes, Marc Quintyn, andMichael W. Taylor,―The Accountability of Financial SectorSupervisors: Principles and Practice‘, IMF Working Papers, No 05/51, March 2005. H Onno Ruding, ―The Transformation Of The Financial Services Industry‖, Occasional Paper No 2, Financial Stability Institute, March 2002.
Fabrizio Gilardi, The Institutional Foundations of Regulatory Capitalism:The Diffusion ofIndependent Regulatory Agencies in Western Europe, Annals of the American Academy of Political and Social Science 598, 2005 ____________,The Formal Independence of Regulators: A Comparison of 17 Countries and 7 Sectors, 11 Swiss Political Science Review, 2005. Fabrizio Gilardi and
Martino Maggetti, ―The independence of regulatory
authorities‖, published in Levi-Faur, David (ed.) (2010), Handbook of Regulation, Cheltenham, Edward Elgar. Fernada, D. 2002. ―Sistem Perencanaan dan Akuntabilitas KinerjaPemerintah Daerah‖ Journal Desentralisasi Volume 1 Nomor2061, Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah, LAN, Jakarta.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
133
Fransiska Ari Indrawati, Mencermati Celah Independensi OJK Dalam UU OJK, Buletin Hukum Perbankan Dan Kebanksentralan, Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012.
George J.Stigler,The Theory of Economic Regulation. Bell Journal of Economics and Management Science, Vol 6 No.2, 1971.
GiandomenicoMajone,
1994,
―Independence
vs.
Accountability?
Non-
Majoritarian Institutions andDemocratic Government in Europe.‖ European University Institute Working PapersNo. 94/3. ____________________, 1999,―The Regulatory State and Its Legitimacy Problems.‖ West European Politics, vol. 22(1), pp. 1-24.
Hüpkes, Eva H.G., 2000, The Legal Aspects of Bank Insolvency (The Hague: Kluwer Law International).
International Organization of Securities Commissions(IOSCO), Objective and Principleof Financial Regulation and Supervision, June 2010.
Jacob E. Gersen, Designing Agencies, in Research Handbook On PublicChoice And Public Law, (Daniel A. Farber & Joseph O‘Connell eds.), 2010.
Jacques de Larosière, The High-Level Group on supervision in EU, Report, Brussels 25 February 2009.
Jeffrey S. Banks & Barry R. Weingast, The Political Control of Bureaucracies under Asymmetric Information, 36 American Journal of Political Science,1992.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
134
Jimly Asshidiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUd 1945, makalah dalam seminar pembangunan hukum nasional VIII, Denpasar 14-18 Juli 2003. Jonas Tallberg, 2002. ―Delegation to Supranational Institutions: Why, How, and with What Consequences?‖ West European Politics, vol. 25(1)
Julia Black and Stéphane Jacobzone, Tools For Regulatory Quality And Financial Sector Regulation: A Cross-Country Perspective, OECD Working Papers on Public Governance No. 16, 2009 Kempe Ronald Hope, ―The New Public Management: Context and Practice in Africa.‖International Public Management Journal, vol. 4, 2001.
Kenneth K. Mwenda, Legal Aspects Of Financial Services Regulation And The Concept Of A Unified Regulator, The World Bank- Law, Justice, Anddevelopment Series, 2006,
Kenneth K. Mwenda and Alex Fleming, International developments in the organizational structure of financial services supervision. A paper presented at a seminar hosted by the World Bank Financial Sector VicePresidency on September 20th, 2001 (World Bank: Washington DC). Diunduh dari situs www.worldbank.org
Kenneth Rogoff, The Optimal Degree of Commitment to an Intermediate Monetary Target, 100 Quarterly Journal of Economics, November 1985.
Kirti Datla and Richard L. Revesz, Deconstructing Independent Agencies (And Executive Agencies), New York University Public Law and Legal Theory Working Papers. Paper 350.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
135
Laurence H. Meyer , ―The Politics of Monetary Policy: Balancing Independence and Accountability‖, Remarks by Governor Laurence H. Meyer At the University of Wisconsin, LaCrosse, Wisconsin, October 24, 2000.
Lembaga Administrasi Negara RI,Akuntabilitas dan GoodGovernance, Modul Sosialisasi Sistem AKIP, Jakarta, 2000
Lindgren, Carl-Johan, Tomas J.T. Balino, Charles Enoch, Anne-Marie Gulde, Marc Quintyn, and Leslie Teo (1999), "Financial Sector Crisis Restructuring: Lessons From Asia,"
and
International Monetary Fund
Occasional Paper No. 188
Lisa Schultz Bressman &Robert B. Thompson, The Future of Agency Independence, 63 VanderbiltLaw Review, 2010
Marc Quintyn & Michael W. Taylor, Regulatory and SupervisoryIndependence and Financial Stability (Int‘l Monetary Fund, Working Paper No. 02/46,2002.
_______________________________, Should Financial Sector Regulators Be Independent?, IMF Economic issues no. 32, International Monetary Fund March 8, 2004
Marc Quintyn, Silvia Ramirez & Michael W. Taylor, The Fear of Freedom: Politicians and the Independence and Accountability of Financial Sector Regulators, 37 Int‘l Monetary FundWorking Paper No. 07/05, 2007.
Mark Bovens, Analyzing and Assessing Accountability: A Conceptual Framework,EuropeanLaw Journal, 13 (4),2007, page 447-468
Mark Seidenfeld, Bending the Rules: FlexibleRegulation and Constraints on Agency Discretion, 51 Administrative Law Review, 1999.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
136
Mark Thatcher, 2002. ―Delegation to Independent Regulatory Agencies: Pressures,Functions and Contextual Mediation.‖ West European Politics, vol. 25(1) Mark Thatcher & Alec Stone Sweet,Theory and Practice of Delegation to NonMajoritarian Institutions, 25 West European Politic, 2002.
Marshall J. Breger & Gary J. Edles,Established byPractice: The Theory and Operation of Independent Federal Agencies, 52 Administrative Law Review, 2000
Martin Shapiro, A Comparison Of U.S. And European Independent Agencies, Comparative Administrative Law, (Susan Rose--‐Ackerman And Peter L. Lindseth, eds), 2010.
Martino Maggetti, The Role of Independent Regulatory Agencies in PolicyMaking: a Comparative Analysis of Six Decision-Making Processes in the Netherlands, Sweden and Switzerland, Paper prepared for: The Fourth ECPR General Conference, Pisa, Italy, 6-8th September 2007
Neal Devins & David E. Lewis, Not-So Independent Agencies: Party Polarization and the Limits of Institutional Design, 88 Boston University Law Review,2008.
Nicholas Bagley & Richard L. Revesz,Centralized Oversight Of The Regulatory State, 106 Columbia Law Review, 2006.
Paul R. Verkuil, The Purposes and Limits of Independent Agencies,Duke Law Journal, 1988.
Peter May, Regulatory regimes and accountability, Journal of Regulation & Governance - Regul Gov , vol. 1, no. 1, (2007)
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
137
Peter Hatcher, The Ministry: How Japan's Most Powerful Institution Endangers World Markets (Boston: Harvard Business School Press, 1998)
Peter S. Rose and Sylvia C. Hudgins, Bank Management and Financial Services 7thed, Newyork: McGraw Hill, 2008 dalam Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, Edisi 5, (Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI), 2005 Phoebus Athanassiou, Financial Sector Supervisors‘ Accountability:A European Perspective, Legal Working Paper Series European Central Bank, No 12 / August 2011
Project On Government Oversight (POGO), Revolving Regulators: SEC Faces Ethics Challenges with Revolving Door, May 2011, diunduh dari http://www.pogo.org/pogo-files/reports/financial-oversight/revolvingregulators/fo-fra-20110513.html
R. DeShazo & Jody Freeman, The Congressional Competition to Control Delegated Power, 81 Texas Law Review 1443, 2003.
Rachel E. Barkow, Insulating Agencies: Avoiding Capture Through Institutional Design, Texas Law Review, Vol. 89, NYU School of Law, Public Law Research Paper No. 10-82, 2010.
Richard B. Stewart, The Reformation of American Administrative Law, 88 Harvard Law Review, 1975.
Ruth de Krivoy, Collapse: The Venezuelan Banking Crisis of 1994, (Washington, DC: Group of Thirty, 2000).
Sam Peltzman, Toward a More GeneralTheory of Regulation, The Journal of Law and EconomicsUniversity of Chicago Press Journals (19:2), 1976.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
138
Saskia Lavrijssen, An Analysis of The Constitutional Position of The US Independent
Agemcies,
(1Januari2008), terdapat di situs
tilburguniversity.nl/tilec/publications/discussionpapers/2004-001.pdf
Scott R. Furlong & Cornelius M. Kerwin, Interest Group Participation in Rule Making:A Decade of Change, 15 Journal of Public Administration Research and Theory353, 2005.
Siti Sundari Arie, Laporan Kompendium Hukum Bidang Perbankan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI 2011.
Stanley Fischer, Central Bank Independence Revisited, American Economic Review, Papers and Proocedings, Vol 85, May 1995.
StavrosGadinis, From Independence to Politics in Financial Regulation (August 27, 2012). California Law Review, Forthcoming; UC Berkeley Public Law Research Paper No. 2137215.
Stavros Gadinis & Howell Jackson, Markets as Regulators: A Survey, 80 Southern California Law Review,2007.
Stéphane Jacobzone, Designing Independent And Accountable Regulatory Authorities For High Quality Regulation, Proceedings of an Expert Meeting in London, Prepared By Organisation For Economic CoOperation And Development (OECD), United Kingdom, 10-11 January 2005. Stephen Ross, 1973. ―The Economic Theory of Agency: The Principal‘s Problem.‖ American Economic Review, vol. 63(2), pp.134.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
139
Steven P. Croley, Theories ofRegulation: Incorporating the Administrative Process, 98 Columbia Law Review, 1998.
Steven Seelig & Alicia Novoa, Governance Practices at Financial Regulatory and Supervisory Agencies, Int‘l Monetary Fund, Working Paper No. 09/135, 2008.
Sukarela Batunangar, Jaring Pengaman Keuangan: Kajian Literatur dan Praktiknya di Indonesia, (Jakarta: Buletin Hukum Perbankan dan Kesentralan Volume 4 Nomor 3, Desember 2006)
Syahrir Sabirin, ―Peran Bank Indonesia dalam Financial Stability‖, makalah disampaikan pada Seminar mengenai Otoritas Jasa Keuangan. Jakarta, 27 Februari 2002, dalam Zulkarnain Sitompul, ―Perlindungan Dana Nasabah Bank,‖ Disertasi, (Jakarta :Fakultas Hukum UI, 2002)
Takeo Hoshi and Takatoshi Ito, Financial Regulation in Japan: A Fifth Year Review of the Financial Services Agency, 2002 Revised 2003. Terry Moe, ―Interests, Institutions, and Positive Theory: the Politics of the NLBR,‖ Studies in American Political Development, Vol 2, 1987,
Tim Panitia Antar Departemen Rancangan Undang-Undang Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 2010
Thomas W. Merrill, Capture Theory and the Courts: 1967-1983, 72 ChicagoKent Law Review #4 (1997).
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
140
Ümit Sönmez, Independent Regulatory Agencies: The World Experience And The Turkish Case, A Thesis Submitted To The Graduate School Of Social Sciences Of Middle East Technical University, 2004.
William F. Fox Jr, Understanding Administrative Law (Danvers: Lexis Publishing), 2000.
William F. Funk dan Richard H.Seamon, Administrative Law: Examples & Explanations, (New York, Aspen. Publishers, Inc) 2001.
Witold Jerzy Henisz, Political Institutions and Policy Volatility, Economics and PoliticsWiley Blackwell, vol. 16(1), 2004.
Zulkarnain Sitompul, Menyambut Khadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Pilars No.02/Th. VII/12-18 Januari 2004.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357.
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
141
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286
KAMUS Chandler, Ralph C., and Jack C Plano.The Public Administration Dictionary. New York: Wiley, 1982. Henry Campbell Black, M.A, Black‘s Law Dictionary, Sixth Edition, (St. Paul Minn, West Publishing Co, USA), 1997.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, dikutip darihttp://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/ The Advanced Learners‘s Dictionary of Current English, Second Edition, A.S. Hornby, E.V. Gatenby, H. Wakefield, London. Oxford University Press, Nineteenth Impression 1973, page 1074
The Oxford Senior Dictionary, Compiled by Joyce M. Hawkins, Oxford University Press, 1982, page 686. Webster‘s Vest Pocket Dictionary, Merriam Webster Inc, Publisher Springfield, Massachussets, USA, 1989.
ARTIKEL
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
142
Ester Meryana, Himbara Keberatan Pungutan OJK, Kompas.com, 29 Mei 2012, http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/05/29/19042581/Himbara.K eberatan.Pungutan.OJK
Fitri Novia Heriani, Perbankan Masih Keberatan Soal Iuran OJK, Hukum Online.com,
29
Mei
2012
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4fc4b6962c107/perbankanmasih-keberatan-soal-iuran-ojk
Fuad Rahmany, Operasional OJK Tidak Gunakan APBN, Hukum Online.com, 05 July
2010,
http://beta.hukumonline.com/berita/baca/lt4c31b77d51cac/operasionalojk-tidak-gunakan-apbn
Guntur
Subagja,
pada
Berharap
Lembaga
‗Super‘,
http://www.investor.co.id/home/berharap-pada-lembaga-super/25318, Rabu, 30 November 2011
Kementerian Keuangan, Pentingnya Keterwakilan Kemenkeu dan BI dalam DK OJK,
Berita
Kemenkeu,
tanggal
26
Mei
2011,
http://www.depkeu.go.id/ind/Read/?type=ixNews&id=19821&thn=2011& name=br_260511_5.htm,
Koran Jakarta, Pengawasan Bank: Fungsi Regulator Harus Dipisahkan Dari Supervisi-Urgensi
Ojk
Terkikis
Krisis,
13
Februari
2010,http://issuu.com/koran_jakarta/docs/edisi_599_13_februari_2010?mo de=window&pageNumber=1 Latief, ―Independensi OJK Dipertanyakan‖, Kompas.com, Kamis, 26 Juli 2012, http://nasional.kompas.com/read/2012/07/26/04354490/Independensi.OJK .Dipertanyakan
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
143
Mas Achmad Daniri, Indahnya Sistem Governance OJK, Bisnis Indonesia Bisnis.com, Senin, 25 Juni 2012
Orin Basuki, OJK Ditengah Perebutan Kewenangan, Kompas.com, 26 Agustus 2010
Rizal Ramli,"Negara dalam Negara" Bila BI Tanpa Akuntabilitas, Gatra.com, 20 November 2000, http://arsip.gatra.com//2000-11-26/artikel.php?id=1472
Ruisa Khoiriyah, Perlindungan Hukum Pengawas Bank Bi : Perlindungan Hukum Terhadap Pengawas Bank Mendesak Dilakukan, Kontan.co.id, Selasa, 02 Februari 2010, http://keuangan.kontan.co.id/news/bi-perlindungan-hukumterhadap-pengawas-bank-mendesak-dilakukan,
Wahyu Satriani Ari Wulan, Soal Pengawasan Bank, Gamang, BI minta Perlindungan
Hukum,Kompas.com,Selasa,2Februari
2010,
http://nasional.kompas.com/read/2010/02/02/16344284/Gamang..BI.minta. Perlindungan.Hukum,
Universitas Indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013