BAB II HUKUM ANGKUTAN UDARA DI INDONESIA
A.
Kebijakan Baru Angkutan Udara Nasional Berdasarkan UU RI No.1 Tahun 2009. Menurut PPC Haanappel, 2 Mc Gill University, Montreal, Canada, kebijakan
angkutan udara tergantung dari ideologi politik negara yang bersangkutan. Di Negara-negara yang ideologinya sosialis semua kegiatan yang merupakan pelayanan umum seperti listrik, air minum, irigasi, komunikasi, telepon televisi, radio, bahan bakar, gas bumi, angkutan darat, air dan udara dikuasai oleh negara. Berbeda dengan negara-negara yang ideologinya sosialis, di negara-negara liberalis, penyelenggaraan angkutan udara internasional sepenuhnya dilakukan oleh swasta. Sedangkan di negara-negara yang menganut ideologi gabungan antara sosialis dan liberalis, penyelenggaraan angkutan udara dilakukan oleh perusahaan penerbangan milik pemerintah (state owned enterprise) berdampingan dengan perusahaan penerbangan milik swasta (privately owned enterprise). Di Indonesia pada saat orde lama, ideologi politiknya cenderung sosialis, karena itu penyelenggaraan angkutan darat dilakukan sepenuhnya oleh perusahaan milik negara (state owned enterprise), yaitu Garuda Indonesian Airways 3 yang didirikan berdasarkan akte notaris Raden Kadiman Nomor 137 tanggal 31 Maret
2
Haanappel PPC, Rate Making In International Air Transport : A legal analysis of international Air Fares and Rates. The Netherlands : Kluer, 1978, di dalam buku Hukum sAngkutan Udara Berdasarkan UURI No.1 tahun 2009 3 Garuda Indonesian Airways yang semula Perusahaan Negara (PN) diubah menjadi Perusahaan Terbatas (PT) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 67 tahun 1971 tentang pengalihan bentuk PN perhubungan udara Garuda Indonesia Airways menjadi perusahaan perseroan (persero)
12
1950 dan Merpati Nusantara Airlines 4 yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah No 19 tahun 1962 tentang Pendirian Perusahaan Negara Perhubungan Udara Daerah dan Penerbangan Serbaguna Merpati Nusantara.
Merpati
Nusantara Airlines ditugaskan untuk melakukan penerbangan daerah dan penerbangan serba guna. Pada saat orde lama tidak ada perusahaan penerbangan milik swasta (privately owned enterprise), perusahaan penerbangan hanya dilakukan oleh perusahan penerbangan milik pemerintah (state owned enterprise), karena itu tidak ada persaingan antarperusahaan penerbangan, tetapi pada saat orde baru, mulai meninggalkan ideologi sosialis dan menuju ideologi neo-liberalis yang merupakan gabungan antara sosialis dan liberal. Berdasarkan ketetapan MPRS No.XXIII tahun 1966 tentang Pembaharuan Kebijakan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan Lahirlah Undangundang Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Sejak zaman orde baru, dengan keluarnya Undang-undang Nomor 1 tahun 1967, ideologi politik negara Republik Indonesia semakin jelas kecenderungannya kearah neo-liberal yang merupakan gabungan antara ideologi sosialis dengan ideologi liberalis. Berdasarkan ideologi neo-liberalis tersebut pemerintah mengeluarkan surat keputusan Menteri Perhubungan Nomor SK13/S/1971 sehingga lahirlah perusahaan-perusahaan penerbangan milik swasta disamping perusahaan milik pemerintah.
4
Merpati Nusantara Airlines yang semula PN diubah menjadi PT berdasarkan PP Nomor 70 tahun 1971 tentang pengalihan bentuk Perusahan Negara (PN) perhubungan udara daerah dan penerbangan serbaguna Merpati Nusantara menjadi perusahaan perseroan (persero)
Perusahaan penerbangan milik pemerintah masing-masing Garuda Airways sebagaimana di sebutkan di atas, yang melayani rute nusantara (trunk lines) dan Merpati Nusantara yang melayani rute pengumpan (feeder lines) berdampingan perusahaan penerbangan milik swasta masing-masing AOA Zamrud Aviation yang berpangkalan induk di Denpasar, Bouraq Airlines yang berpangkalan induk di Balikpapan, Mandala Airlines yang berpangkalan induk di Surabaya dan Seulawah Airservice yang berpangkalan induk di Palembang, sebagai pelengkap suplementer penerbangan nasionla Indonesia. Indonesian Air Transport dan Sempati Airlines saat itu merupakan penerbangan komersial yang terdiri dari penerbangan teratur, penerbangan tidak teratur, penerbangan suplementer dan penerbangan untuk kegiatan keudaraan. Semula Garuda Indonesian Airways berfungsi sebagai perusahaan penerbangan utama, sedangkan perusahaan pernerbangan swasta sebagai pelengkap, disamping itu pada saat orde baru itu Garuda Indonesia Airways sebagai price leadership atau menjadi pedoman dalam penarifan angkutan udara sehingga dapat mencegah terjadinya perang tarif yang tidak sehat. Penarifan yang ditetapkan oleh pemerintah bersifat fleksibel dengan mempertimbangkan kekuatan pasar (market forces) di masyarakat, selain itu juga dimungkinkan kerja sama dengan perusahaan swasta sebagai komplementer, namun demikian dalam perkembangannya berdasarkan usul wakil ketua MPRS pada saat itu kedudukan perusahaan penerbangan milik pemerintah, dalam hal ini Garuda Indonesia Airways dan Merpati Nusantara Airlines mempunyai kedudukan sama dan sejajar dengan perusahaan penerbangan swasta.
Dalam kebijakan angkutan udara orde lama yang bersifat sosialis dan orde baru yang bersifat neo-generalis tersebut semua rute penerbangan, jenis pesawat udara, frekuensi penerbangan, tarif angkutan udara maupun jasa kebandarudaraan, kapasitas tempat duduk yang harus disediakan oleh perusahaan penerbangan diatur ketat oleh Departemen Perhubungan Udara dan Departemen Perhubungan. Demikian pula tarif angkutan udara sepenuhnya diatur oleh pemerintah, Karena itu dalam masa orde baru tidak ada persaingan tarif yang ketat antara perusahaan penerbangan milik pemerintah dengan milik swasta seperti pada era reformasi. Pada era Reformasi sekarang ini, kebijakan angkutan udara cenderung liberal. Perusahaan penerbangan tumbuh dengan pesat. Berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 11 tahun 2001 yang di sempurnakan dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 81 tahun 2004 tentang penyelenggaraan angkutan udara
yang mengatur angkutan udara niaga
(commercial airlines) dan bukan niaga (general aviation), jumlah perusahaan penerbangan meningkat dari 103 tahun 2004 menjadi 157 perusahaan penerbangan yang terdiri dari perusahaan penerbangan milik pemerintah, swasta, dan penerbangan umum. Kebijakan relaksasi demikian memang menguntungkan bagi penumpang, karena masyarakat dapat menikmati jasa angkutan udara, tetapi tidak luput dari dampak negatif yaitu perusahaan penerbangan terpaksa bersaing secara keras. Adanya perang tarif secara tidak langsung mematikan perusahaan penerbangan lainnya di samping itu terhadap moda angkutan darat, kereta api dan angkutan
laut. Tampaknya Pemerintah menyadari kebijakan relaksasi tersebut kurang menguntungkan, karena itu KM 81 tahun 2004 disempurnakan dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 25 tahun 2008 tentang penyelenggaraan angkutan udara. Dalam penyempurnaan Menteri Perhubungan Nomor KM 81 Tahun 2004 tersebut antara lain diisyaratkan untuk memperoleh izin usaha angkutan udara niaga harus mempunyai minimal 2 unit pesawat udara yang dapat mendukung rute yang dilayani berdasarkan KM 81 Tahun 2004, setelah disempurnakan dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor Km 25 Tahun 2008 yang mensyaratkan untuk memperoleh izin usaha angkutan udara niaga harus mempunyai 5 unit pesawat udara, 2 unit pesawat udara dimiliki, dan 3 unit pesawat yang dapat dikuasai dengan jenis yang dapat mendukung usahanya untuk angkutan udara niaga berjadwal, sedangkan untuk angkutan udara tidak berjadwal minimal harus mempunyai 3 unit pesawat udara, masing-masing 1 unit pesawat udara dimiliki dan 2 unit pesawat dikuasai yang dapat mendukung usahanya. Persyaratan jumlah pesawat udara, khususnya untuk angkutan udara niaga berjadwal sangat diperlukan karena kenyataannya sering terjadi keterlambatan yang disebabkan oleh kekurangan pesawat udara, apalagi pada saat hari-hari besar agama antara lain lebaran dan natal. Sebagai akibat Peraturan Menteri Perhubungan tersebut, Direktur Jenderal Perhubungan Udara Departemen Perhubungan mencabut izin 27 perusahaan penerbangan yang tidak memenuhi syarat beroperasi, karena dalam perkembangannya perusahaan penerbangan pada era reformasi tersebut juga tidak dapat menjamin kelangsungan hidup perusahaan,
mereka lahir membawa modal yang tidak memadai, personel kurang professional sehingga terjadi banyak kecelakaan pesawat udara. Seperti Negara-negara lain, menurut jiwa yang terkandung dalam UURI No. 1 tahun 2009, jumlah perusahaan penerbangan tidak perlu banyak tetapi sangat lemah lebih baik jumlah perusahaan penerbangan sedikit tetapi mampu memenuhi kebutuhan angkutan udara untuk mendukung pembangunan nasional, tangguh dan dapat bersaing pada tataran nasional, regional maupun global karena itu UURI No. 1 tahun 2009 tentang Penerbangan meletakkan dasar hukum agar perusahaan penerbangan nasional dapat bertahan bersaing pada tataran nasional, regional maupun internasional. Untuk itu UURI No. 1 tahun 2009 mensyaratkan 5 : 1. Kepemilikan pesawat udara yang mencukupi, 2. Kepemilikan modal yang kuat (capital intensive), 3. adanya bank guarantee, single majority, personel yang professional (kompeten) baik kualitas maupun kuantitas yang dibuktikan dengan sertifikat kompetensi, 4. Penegakan Hukum yang ketat (law enforcement and fully regulated), 5. Kepatuhan yang tinggi (highly compliance), 6. Penguasaan
teknologi
yang
tinggi
(high
technology)
meningkatkan
keselamatan penerbangan (aviation safety culture), 7. Kejujuran dalam pelaksanaan operasional (just culture) 8. Dan lain-lain.
5
2009
Martono, Ahmad Sudiro, Hukum Angkutan Udara Berdasarkan UURI No. 1 Tahun
UURI No.1 tahun 2009 tentang Penerbangan tidak menginginkan angkutan udara nasional yang ala kadarnya, jangan sampai perusahaan penerbangan tidak mempunyai kantor, yang pada akhirnya masyarakat menjadi korban. Sebagaimana disebutkan diatas, bahwa jiwa UURI No. 1 tahun 2009 menghendaki tidak perlu banyak perusahaan penerbangan yang tidak mempunyai kemampuan bersaing di dalam negeri apalagi secara regional maupun global, karena itu UURI No. 1 tahun 2009 mensyaratkan izin usaha angkutan udara yang berat. Perusahaan Penerbangan yang baru diisyaratkan untuk menyerahkan bank garanti, memiliki dan menguasai pesawat udara yang memadai sesuai dengan izin usaha angkutan udara berjadwal (scduled airline), izin usaha angkutan udara tidak berjadwal (non scheduled airline), borongan khusus semua dimaksudkan untuk meletakkkan dasar hukum angkutan udara nasional maupun global. UURI No. 1 tahun 2009 ini juga membuka adanya kerja sama antara perusahaan penerbangan nasional satu terhadap yang lain, kerja sama antara badan hukum atau warga Negara Indonesia dengan badan hukum asing atau warga Negara asing. Namun demikian kepemilikan modal harus tunggal (single majority) tetap berada pada badan hukum
atau warga Negara Indonesia.
Persyaratan-persyaratan yang berat tersebut juga dibarengi dengan usaha untuk mempermudah pengadaan pesawat udara sebagaimana diatur di dalam Cape Town Convention of 2001 yang dijelaskan lebih lanjut karena itu semangat UURI No.1 tahun 2009 menghendaki perusahaan penerbangan mempunyai modal yang kuat (capital intensive) untuk menjamin kelangsungan hidup perusahaan penerbangan dan mengurangi beban masyarakat.
Dalam UURI No. 83 Tahun 1958 maupun dalam UURI No. 15 Tahun 1992 tidak terdapat ketentuan sanksi admistrasi baik berupa sanksi peringatan dan/atau pencabutan sertifikat, pembekuan sertifikat dan/atau pencabutan sertifikat, pembekuan izin dan/atau pencabutan izin, penurunan tariff jasa Bandar udara, pembekuan lisensi dan/atau pencabutan lisensi apalagi denda dalam hal terjadi pelanggaran. Dalam UURI No. 83 Tahun 1958 terdapat 28 Pasal terdapat 8 sanksi pidana, sedangkan dalam UURI No. 15 Tahun 1992 terdapat 76 Pasal terdapat 19 sanksi pidana, selama ini belum dimanfaatkan sanksi pidana tersebut. Tidak adanya sanksi administrasi tersebut disebabkan dalam pasal-pasal dalam UURI No. 15 Tahun 1992 dijabarkan dengan peraturan pemerintah, sedangkan didalam peraturan pemerintah tidak terdapat sanksi administrasi. Hal ini berbeda dengan UURI No. 1 Tahun 2009 yang dapat memerintahkan langsung kepada Menteri Perhubungan untuk mengeluarkan peraturan Menteri Perhubungan. Suatu regulasi tanpa sanksi ibarat puisi yang didengar enak, tetapi tidak mempunyai daya mengikat. Berdasarkan perintah UURI No. 1 Tahun 2009 tersebut Menteri Perhubungan dapat mengenakan sanksi administrasi terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Di dalam RUU penerbangan yang diusulkan oleh Pemerintah sendiri juga tidak terdapat sanksi administrasi, yang ada hanya sanksi pidana. Dalam RUU Penerbangan terdapat 102 Pasal yang diusulkan terdapat 52 Pasal pidana, sedangkan di dalam UURI No. 1 Tahun 2009 terdapat 42 Pasal sanksi pidana sedangkan sanksi administrasi terdapat 18 Pasal, masing-masing sanksi berupa peringatan dan/atau pencabutan sertifikat yang berlaku terhadap pelanggaran (a)
pesawat terbang, helikopter, balon udara penumpang, dan kapal udara yang telah mempunyai tanda pendaftaran Indonesia dan tanda kebangsaan Indonesia yang tidak dilengkapi dengan bendera kebangsaan Republik Indonesia, (b) setiap orang yang mengaburkan identitas tanda pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara. Sedangkan sanksi berupa peringatan, pembekuan sertifikat dan/atau pencabutan sertifikat berlaku terhadap pelanggaran (a) orang yang menempatkan penumpang yang tidak mampu melakukan tindakan dekat pintu darurat dan jendela darurat pesawat udara dalam pesawat udara yang sedang melakukan penerbangan, (b) setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara tidak mengasuransikan pesawat udara yang dioperasikan, personel pesawat udara yang dioperasikan, tanggung jawab pihak kedua, tanggung jawab kerugian pihak ketiga dan kegiatan investigasi insiden dan kecelakaan pesawat udara. Satu-satunya sanksi berupa denda administratif terhadap pelanggaran bagi penyedia jasa penerbangan dan organisasi yang memiliki kegiatan dibidang penerbangan yang tidak memberikan kontribusi dalam menunjang penyediaan dan pengembangan personel dibidang penerbangan berupa pemberian beasiswa pendidikan dan pelatihan, pembangunan lembaga dan/atau penyediaan fasilitas pendidikan dan pelatihan, kerja sama dengan lenbaga pendidikan dan pelatihan yang ada. Namun demikian tata cara dan prosedursanksi tersebut diatur lebih lanjut. Ketentuan sanksi administrative tersebut merupakan salah satu faktor yang ditanyakan kaitannya dengan European Union Banning sejak juli 2007, sabagai dasar penegakkan hukum dalam penerbangan (law enforcement)
B. Angkutan Udara Dalam Negeri Dalam angkutan udara dalam negri terdapat beberapa jenis angkutan antara lain; 1. Angkutan Udara Niaga Berjadwal (Scheduled Airlines) Dalam UURI No. 1 tahun 2009, diatur angkutan udara niaga adalah angkutan udara untuk umum dengan memungut bayaran, berjadwal (scheduled airlines) angkutan udara niaga terdiri atas angkutan udara niaga dalam negeri dan angkutan udara niaga luar negeri. Menurut pasal 1 angka 13 UURI No. 1 tahun 2009, angkutan udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara lain atau beberapa bandar udara, sedangkan angkutan udara niaga adalah angkutan udara untuk umum dengan memungut bayaran, tidak jelaskan apa yang dimaksud dengan bayaran, apakah bayaran berupa uang atau bentuk imbal jasa lainnya. Dalam hukum internasional, pengertian angkutan udara terdapat dalam pasal 96 huruf a konfensi Chicago 1944. Menurut pasal tersebut angkutan udara adalah setiap angkutan udara yang dilakukan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo dan pos yang terbuka untuk umum. Dari aspek operasional, angkutan udara terdiri atas angkutan udara niaga berjadwal (scheduled airlines) dan angkutan udara niaga tidak berjadwal (nonscheduled airlines) baik domestic maupun internasional. Dalam UURI No. 1 tahun 2009 tidak terdapat pengertian angkutan udara niaga berjadwal (scheduled airlines) namun demikian dapat meminjam pengertian yang terdapat di dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor SK 13/S/1971 tentang syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan mengenai penggunaan pesawat terbang secara komersial di Indonesia. Menurut keputusan tersebut angkutan udara berjadwal (scheduled airlines) adalah penerbangan yang berencana menurut suatu jadwal perjalanan pesawat udara yang tetap dan teratur (sesuai Pasal 5 huruf (A) SK 13/S/1971) melalui rute-rute yang telah di tetapkan. Pada umumnya angkutan udara niaga berjadwal (scheduled airlines) mempunyai ciri-ciri antara lain angkutan udara tersebut disediakan untuk penumpang yang menilai waktu lebih berharga di bandingkan dengan nilai uang, pesawat udara tetap tinggal landas sesuai dengan jadwal penerbangan yang diumumkan walaupun pesawat udara belum penuh, biasanya harga tiket lebih mahal
dibandingkan
dengan
angkutan
udara
niaga
tidak
berjadwal,
penumpangnya orang-orang yang mempunyai urusan penting, penumpang sanggup tinggal di hotel yang mahal karena biasanya di biayai oleh perusahaan tetapi secepatnya kembali pulang, penumpang dapat akses secara individu tanpa harus merupakan rombongan. Dari aspek yuirdis dalam hukum internasional diatur dalam Pasal 6 konvensi Chicago 1944.
2. Angkutan Udara Niaga Tidak Berjadwal. Secara historis sebelum Perang Dunia Kedua, hanya terdapat angkutan udara niaga berjadwal (scheduled airlines) untuk memenuhi kebutuhan para pejabat dan perjalanan bisnis, namun demikian dalam perkembangannya angkutan udara niaga berjadwal (scheduled airlines) tidak dapat memenuhi kebutuhan
angkutan udara 6 karena itulah secara seporadis lahirlah angkutan udara niaga tidak berjadwal (non-scheduled airlines) tetapi tidak merupakan saingan yang berarti terhadap angkutan udara niaga berjadwal (scheduled airlines). Di Indonesia menurut keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor
SKEP/1657/VIII/76
tentang
jenis
dan
persyaratan
pelaksanaan
penerbangan borongan Internasional kedan atau dari wilayah Indonesia pernah diatur jenis-jenis angkutan udara niaga tidak berjadwal (non-scheduled airlines) masing-masing angkutan udara niaga tidak berjadwal pembukuan dimuka (advance booking carter), borongan perkumpulan (affinity group), borongan paket wisata (inclusive tour charter), borongan khusus (special event charter), borongan mahasiwa (student charter), borongan pribadi (own use charter). Pada umumnya angkutan udara tidak berjadwal (non-scheduled airlines) mempunyai ciri-ciri angkutan udara disediakan untuk penumpang yang menilai uang lebih berharga dibandingkan dengan nilai waktu, pesawat udara tinggal landas tidak terikat pada jadwal penerbangan yang ditetapkan lebih dahulu, biasanya tarif relatif lebih murah dibandingkan dengan angkutan udara niaga berjadwal (scheduled airlines), penumpangnya orang-orang yang santai (leasure people) yang tidak terikat pada waktu, mereka jarang tinggal di hotel yang mahal karena membayar dengan uang sendiri, penumpang tidak dapat membeli tiket secara individu, pada umumnya merupakan rombongan sepakbola, mahasiswa, inclusive tour charter, jamaah haji, rombongan keluarga dan lain-lain.
6
Dalam tulisan sering di atur “Transportasi udara” dengan “Angkutan udara” saling bergantian tanpa mempengaruhi artinya
Perusahaan penerbangan tidak berjadwal umumnya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : a. Penerbangan dilakukan untuk mengangkut barang, orang dan atau pos ke seluruh wilayah Republik Indonesia dengan tidak ada pembatasan rute tertentu secara tetap; b. Penerbangan tidak dilakukan sesuai dengan daftar perjalanan terbang (jadwal penerbangan); c. Penjualan karcis atau surat muatan udara secara sekaligus seluruh kapasitas pesawat udara tersebut ; d. Penumpang merupakan suatu rombongan dan bukan merupakan penumpang umum yang dihimpun oleh pencarter atau biro perjalanan (travel bureau); e. Pesawat udara mengangkut penumpang, barang dan atau pos dari suatu tempat langsung ke tempat tujuan dengan tidak diperkenankan menurunkan dan atau menaikkan penumpang dalam perjalanan ; f. Tidak boleh memasang iklan di surat kabar, majalah maupun media massa lainnya; g. Tarif angkutan tidak berdasarkan surat keputusan pemerintah yang telah ditetapkan terlebih dahulu; h. Jenis penerbangan ini dimaksudkan untuk melayani masyarakat yang lebih mengutamakan nilai uang daripada nilai waktu. Mereka pada umumnya tidak terikat pada keterbatasan waktu. Mereka biasanya adalah pelancong (tourist) atau
perusahaan- perusahaan untuk
mennunjang usaha mereka yang tidak mempunyai pesawat sendiri. 7
7
Martono, K., Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, hal. 66-67.
Dalam perkembangannya kedua jenis angkutan udara niaga berjadwal dan angkutan udara tidak berjadwal tersebut bergabung menjadi satu yang disebut schedulized programme misalnya penerbangan haji yang sebenarnya angkutan udara niaga tidak berjadwal tetapi dijadwalkan, angkutan udara musiman seperti musim panas maupun musim dingin yang diselenggarakan oleh perusahaan perjalanan. Semakin lama pesan tiket, semakin murah dan sebaliknya semakin dekat dengan tanggal keberangkatan semakin mahal tiketnya. Dari aspek yuridis hukum internasional diatur dalam Pasal 5 konvensi Chicago 1944 sebagaimana disebutkan diatas.
3. Angkutan Udara Bukan Niaga (General Aviation) 8 Kegiatan angkutan udara bukan niaga (general aviation) 9 adalah angkutan udara untuk melayani kepentingan sendiri yang dilakukan untuk mendukung kegiatan yang usaha pokoknya selain di bidang angkutan udara. Angkutan udara bukan niaga (general aviation) digunakan untuk kegiatan keudaraan (aerial work) misalnya penyemprotan pertanian, pemadaman kebakaran, hujan buatan, pemotretan udara, survey dan pemetaan, pencarian dan pertolongan, kalibrasi serta patroli Di samping itu, angkutan udara bukan niaga juga untuk kegiatan pendidikan dan /atau pelatihan personel pesawat udara atau angkutan udara bukan
8
Pasal 1 angka 15 UURI No. 1 tahun 2009 : angkutan udara bukan niaga adalah angkutan udara yang digunakan untuk melayani kepentingan sendiri yang dilakukan untuk mendukung kegiatan yang usaha pokoknya selain di bidang angkutan udara 9 Dalam hukum Internasional kegiatan angkutan udara bukan niaga (General Aviation) terdapat dalam annex 6 Konvensi Chicago 1944 yaitu penggunaan pesawat udara sipil untuk komersial
niaga lainnya yang kegiatan pokoknya bukan usaha angkutan udara niaga. Menurut Keputusan Menteri Nomor SK 31/U/1970 tentang syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan mengenai penerbangan umum yang bersifat nonkomersial dalam wilayah Republik Indonesia, angkutan udara bukan niaga dikenal sebagai penerbangan umum (general aviation) yaitu penggunaan pesawat udara sipil sebagai
alat pembantu sesuatu usaha yang bukan terletak dalam bidang
penerbangan dan penerbangan tersebut bersifat non-komersial, dilarang menjual seluruh maupun sebagian kapasitas pesawat udara, dilarang penyewaan atau penggantian dengan uang untuk pemakaiannya dengan cara apapun tidak dibenarkan, kecuali ada izin khusus Menteri Perhubungan. Dalam RUU Penerbangan, kegiatan angkutan udara bukan niaga diusulkan didalam Pasal 29 ayat (2). Menurut usul dalam pasal tersebut kegiatan angkutan udara bukan niaga (general aviation) dapat dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, badan hukum Indonesia, lembaga tertentu atau perorangan warga negara Indonesia yang telah mendapat izin Menteri Perhubungan. Kegiatan angkutan udara bukan niaga untuk menunjang kegiatan usaha yang usaha pokoknya bukan di bidang penyediaan jasa angkutan udara sebagaimana diatur dalam UURI No. 1 Tahun 2009. Kegiatan angkutan udara bukan niaga dapat dilakukan setelah memperoleh izin Menteri Perhubungan. Persyaratan untuk memperoleh izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha Indonesia dan lembaga keagamaan, lembaga sosial, dan perkumpulan olahraga paling sedikit harus memiliki persetujuan dari instansi yang membina kegiatan pokoknya, akta
pendirian badan usaha atau lembaga yang telah disahkan oleh Menteri yang berwenang, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), surat keterangan domisili tempat kegiatan diterbitkan oleh instansi yang berwenang dan rencana kegiatan angkutan udara bagi badan hukm Indonesia, sedangkan untuk mendapatkan izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang digunakan oleh orang perseorangan paling sedikit harus memiliki tanda bukti identitas diri yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), surat keterangan domisili tempat kegiatan diterbitkanoleh instansi yang berwenang dan rencana angkutan udara.
4. Angkutan Udara Perintis(Pioneer Air Transport) Angkutan udara perintis (pioneer air transport) adalah kegiatan angkutan udara niaga dalam negeri yang melayani jejaring dan rute penerbangan untuk menghubungkan daerah terpencil dan tertinggal atau daerah yang belum menguntungkan (Pasal 1 angka 18 UURI No. 1 tahun 2009 tentang penerbangan). Tujuan utama angkutan udara perintis adalah untuk merangsang pembangunan daerah terpencil dan tertinggal yang belum terlayani oleh moda angkutan lain. Dengan adanya angkutan udara perintis
yang memperoleh subsidi dari
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, daerah-daerah tersebut akan terangsang perkembangannya. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1978 tentang pengalihan dan penguasaan modal Negara Republik Indonesia dalam perusahaan perseroaan PT Merpati NusantaraAirlines kepada perusahaan perseroaan PT Garuda Indonesia Airways pemerintah wajib menyelenggarakan angkutan udara perintis
yang pelaksanaannya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional berdasarkan perjanjian. Dalam penyelenggaraan angkutan udara perintis, pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya lahan, prasarana angkutan udara, keselamatan dan keamanan penerbangan serta kompensasi lainnya. Angkutan udara perintis harus dilaksanakan secara terpadu dengan sector lain berdasarkan pendekatan pembangunan wilayah. Setiap tahun angkutan udara perintis dievaluasi oleh pemerintah yang hasilnya untuk mengubah suatu rute angkutan udara perintis menjadi rute komersial.
C. Angkutan Udara Luar Negeri 1. Angkutan Udara Niaga Berjadwal Luar Negri 10 Dalam UURI No. 15 Tahun 1992, angkutan udara niaga berjadwal luar negri diatur dalam pasal 36.Menurut pasal tersebut kegiatan angkutan udara niaga yang melayani angkutan udara luar negri hanya dapat diusahakan oleh badan hukum Indonesia yang telah mendapat izin Menteri Perhubungan.Badan hukum Indonesia tersebut dapat berupa Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) atau koperasi 11. Berdasarkan ketentuan ini tidak ada perusahaan angkutan udara asing dapat melakukan angkutan udara berjadwal luar negeri sementara itu
UURI No. 15 Tahun 1992 tidak berbicara mengenai
perjanjian angkutan udara bilateral. Hal ini berbeda dengan UURI No. 1 Tahun 2009. Menurut UURI No. 1 TAhun 2009, kegiatan angkutan udara niaga luar negri (Pasal 1 angka 17 UURI 10
Dalam hukum Internasional angkutan udara niaga berjadwal diatur dalam pasal 6 Konvensi Chicago 1946 11 Sampai saat ini belum ada badan usaha angkutan udara milik koperasi
No. 1 tahun 2009 : Angkutan udara luar negeri adalah kegiatan angkutan udara niaga untuk melayani angkutan udara dari satu Bandar udara di dalam negeri ke Bandar udara lain di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia) dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal nasional dan/atau perusahaan angkutan udara niaga berjadwal asing untuk mengangkut penumpang, kargo berdasarkan perjanjian bilateral atau multilateral. Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal tersebut harus merupakan badan usaha angkutan udara niaga yang telah ditunjuk oleh pemerintah Republik Indonesia dan mendapat persetujuan dari negara asing yang bersangkutan dan sebaliknya perusahaan angkutan udara niaga berjadwal asing tersebut juga harus merupakan perusahaan angkutan udara niaga yang telah ditunjuk oleh negara yang bersangkutan dan mendapat persetujuan pemerintah Republik Indonesia. Menurut Pasal 87 UURI
No.1 Tahun 2009, dalam hal Indonesia
melakukan perjanjian plurilateral mengenai angkutan udara dengan suatu organisasi komunitas negara asing, pelaksanaan perjanjian dilakukan berdasarkan perjanjian
bilateral
dengan
masing-masing
negara
komunitas
tersebut,
pelaksanaan perjanjian dilakukan berdasarkan ketentuan yang disepakati dalam perjanjian tersebut. Menurut Pasal 124 UURI No.1 Tahun 2009, perusahaan angkutan udara niaga berjadwal asing (foreign scheduled airlines) khusus mengangkut kargo tersebut harus merupakan perusahaan angkutan udara niaga yang telah ditunjuk oleh negara yang bersangkutan dan mendapat persetujuan pemerintah Republik Indonesia.
2. Angkutan Udara Niaga Tidak Berjadwal Luar Negeri Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar negri (foreign nonscheduled airlines) hanya dapat dilakukan oleh perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal atau berjadwal asing yang merupakan angkutan udara dalam bentuk rombongan tertentu (affinity group) atau penumpang yang dikumpulkan untuk melakukan perjalanan dalam bentuk paket (inclusive tour charter) atau perorangan yang membeli seluruh kapasitas pesawat udara untuk kepentingan sendiri (own used charter). Perusahaan angkutan udara niaga asing yang akan melaksanakan kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar negri harus mendapatkan diplomatic clearance dari Departemen Luar Negeri, security clearance dari Departemen Pertahanan dan persetujuan terbang (flight approval) dari Direktur Jenderal Perhubungan udara. Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal asing hanya dapat menurunkan penumpangnya ke wilayah Indonesia dan menaikkan penumpang asal penerbangan yang diturunkan pada penerbangan sebelumnya (in bound traffic). Dalam UURI No. 15 Tahun 1992, secara khusus tidak mengatur kegiatan angkutan udara tidak berjadwal luar negeri, walaupun demikian bukan berarti badan usaha nasional maupun perusahaan penerbangan asing tidak dapat melakukan kegiatan angkutan udara tidak berjadwal luar negeri, karena dalam pasal 13 UURI No. 15 Tahun 1992 memungkinkan penggunaan pesawat udara asing untuk melakukan penerbangan dari dan ke atau melalui wilayah Republik Indonesia berdasarkan perjanjian bilateral atau multilateral atau izin khusus pemerintah. Dalam RUU Penerbangan kegiatan angkutan udara niaga tidak
berjadwal luar negeri (international non-scheduled airlines) diusulkan dalam Pasal 30 ayat (3) dan (4). Menurut usul tersebut kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar negeri dapat diusahakan oleh perusahaan angkutan udara niaga nasional dan perusahaan angkutan udara asing berdasarkan izin pemerintah. Angkutan udara niaga luar negeri tidak berjadwal menurut RUU Penerbangan dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara niaga nasional dan/atau asing untuk mengangkut penumpang dan kargo atau khusus kargo. Kecuali penumpangnya sendiri yang diturunkan pada penerbangan sebelumnya (in-bound traffic), perusahaan angkutan udara tidak berjadwal asing yang melayani rute ke Indonesia, dilarang mengangkut penumpang dari wilayah Republik Indonesia dengan dikenakan ancaman sanksi administrasi berupa denda administrasi. Ketentuan prosedur dan cara pengenaan sanksi tersebut diatur dalam peraturan pemerintah mengenai penerimaan negara bukan pajak kecuali dengan izin Menteri Perhubungan.
3. Perjanjian Angkutan Udara Bilateral (Bilateral AirTransport Agreement) Dasar hukum Internasional perjanjian angkutan udara bilateral adalah Pasal 6 Chicago 1944. Menurut pasal tersebut, tidak ada penerbangan internasional berjadwal yang dapat dilakukan ke Negara anggotan lainnya, kecuali atas persetujuan atau izin Negara yang bersangkutan. Izin tersebut biasanya dalam bentuk perjanjian angkutan udara bilateral. Pasal tersebut lahir karena kegagalan konferensi penerbangan sipil internasional di Chicago dalam tahun 1944 yang bermaksud mempertukarkan hak-hak penerbangan (five freedom of the air) secara multilateral. Pada saat konfensi penerbangan sipil internasional tersebut,
sepanjang menyangkut regulasi teknis maupun operasional, para delegasi setuju mengambil alih ketentuan yang terdapat didalam konvensi Paris 1919 maupun konfensi Havana 1928. Pada pokoknya perjanjian angkutan udara bilateral mengatur pertukaran hak-hak penerbangan (five freedom of the air), kemudian dibungkus dengan judul, pertimbangan,
pengertian,
pertukaran
hak
penerbangan
(traffic
rights),
penunjukan perusahaan penerbangan (designated airlines), pejabat yang berwenang (civil aviation authority), persyaratan kelayakan keudaraan pesawat udara (aircraft airworthiness requirements), pengakuan sertifikat awak pesawat udara (recognition of aircraft certificate), persyaratan kepemilikan perusahaan penerbangan (ownership and effective control), persyaratan pengoperasian untuk pembebasan berbagai peralatan yang digunakan selama penerbangan berlangsung, keberangkatan dan pendaratan, kesempatan yang sama, rute penerbangan, hukum yang berlaku, konsultasi, tarif, sengketa, kepatuhan, perubahan (amandemen), mulai
dan
berakhirnya
perjanjian,
dan
bahasa
yang
digunakan
serta
penandatanganan. Indonesia saat ini telah mempunyai perjanjian angkutan udara bilateral tidak kurang dari 67 negara. Dalam UURI No. 15 Tahun 1992 perjanjian angkutan udara bilateral diatur dalam Pasal 37 ayat 3. Menurut pasal tersebut perjanjian antarnegara rute dan jejaring penerbangan internasional dibicarakan dalam negosiasi antarnegara dengan
memanfaatkan
wilayah
udara
nasional
bagi
sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Dalam RUU Penerbangan, perjanjian angkutan udara bilateral diusulkan dalam Pasal 30.
Dalam UURI No. 1 Tahun 2009, dasar hukum nasional untuk membuat perjanjian angkutan udara internasional
diatur dalam Pasal 86, 87, 89, 90.
Menurut Pasal 86 UURI No. 1 Tahun 2009 ada dua macam perjanjian internasional masing-masing perjanjian angkutan udara secara bilateral oleh pemerintah Republik Indonesia dengan satu Negara asing yang menjadi mitra perikatan (contracting party) dan perjanjian angkutan udara internasional secara multilateral yang bersifat khusus atau umum yang dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia dengan beberapa negara asing yang menjadi mitra perikatan (contracting parties) dan anggota dalam perjanjian tersebut. Perjanjian angkutan udara internasional bilateral maupun multilateral tersebut sebagai dasar hukum angkutan udara niaga berjadwal luar negeri yang dilakukan oleh perusahaan angkutan udara nasional maupun perusahaan angkutan udara asing untuk mengangkut penumpang dan kargo.
D. Kegiatan Usaha Penunjang yang Terkait dengan Angkutan Udara Dalam UURI No. 15 Tahun 1992 kegiatan usaha penunjang angkutan udara belum diatur, namun demikian telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 yang kemudian diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2000. Sedangkan dalam RUU Penerbangan, kegiatan usaha penunjang angkutan udara diusulkan dalam Pasal 29. Menurut usul tersebut untuk menunjang kegiatan angkutan udara niaga dapat diusahakan kegiatan usaha penunjang angkutan udara yang berupa kegiatan secara langsung berhubungan dengan kegiatan angkutan udara niaga atau berupa penjulan jasa angkutan udara atau kapasitas angkutan udara.
Dalam UURI No. 1 Tahun 2009, kegiatan usaha penunjang angkutan udara diatur dalam Pasal 131 sampai dengan Pasal 133. Menurut Pasal 131 UURI No. 1 Tahun 2009, untuk menujang kegiatan angkutan udara niaga, dapat dilaksanakan kegiatan usaha penunjang angkutan udara. Kegiatan usaha penunjang angkutan udara tersebut dapat berupa kegiatan yang secara langsung berhubungan dengan kegiatan angkutan udara niaga seperti sistem reservasi melalui komputer (computerized reservation system), pemasaran dan penjualan tiket pesawat atau agen panjualan umum (ticket marketing and selling), pelayanan di darat untuk penumpang dan kargo (ground handling) dan penyewaan pesawat udara (aircraft leasing), dan lain-lain. Menteri Perhubungan memberi izin usaha penunjang angkutan udara setelah memenuhi persyaratan akta pendirian badan usaha yang telah di sahkan oleh menteri yang berwenang dan salah satu usaha nya bergerak di bidang penunjang angkutan udara, nomor pokok wajib pajak (NPWP), surat keterangan domisili yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang, surat persetujuan dari badan koordinasi penanaman modal atau badan koordinasi penanaman modal daerah apabila menggunakan fasilitas penanaman modal, tanda bukti modal yang disetor, garansi/jaminan bank, serta kelayakan teknis dan operasi. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan prosedur pemberian izin kegiatan usaha penunjang angkutan udara diatur dengan Peraturan Menteri Perhubungan (Pasal 133 UURI
No. 1 tahun 2009 tentang penerbangan). Agen Penjualan
Umum dan Perwakilan Perusahaan Penerbangan Asing
Berdasarkan Pasal 465 (Pasal 465 UURI No. 1 tahun 2009 : pada saat UU ini mulai berlaku UU No. 15 tahun 1992 tentang penerbangan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku) yuncto Pasal 464 (Pasal 464 UURI No. 1 tahun 2009 tentang penerbangan : pada saat UU ini berlaku, semua peraturan pelaksanaan UU No. 15 tahun 1992 tentang penerbangan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau diganti dengan yang baru berdasarkan UU ini), UURI No. 1 Tahun 2009, karena itu berlaku keputusan Menteri Perhubungan Nomor 51 Tahun 2000 tentang perwakilan dan agen penjualan umum perusahaan angkutan udara asing. Menurut keputusan Menteri Perhubungan tersebut ada 2 macam kegiatan usaha penunjang angkutan udara yaitu perwakilan perusahaan angkutan udara asing dan agen penjualan umum. Perusahaan angkutan udara asing yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga berjadwal ke dan dari Indonesia berdasarkan perjanjian angkutan udara bilateral atau multilateral wajib menempatkan atau menunjuk perwakilannya di Inodonesia. Dalam hal perusahaan angkutan udara asing tersebut tidak menempatkan perwakilannya di Indonesia wajib menunjuk badan hukum Indonesia sebagai perwakilannya.. Berdasarkan keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 51 Tahun 2000, kantor perwakilan perusahaan angkutan udara asing wajib melakukan kegiatan mengurus kepentingan perusahaan angkutan udara asing tersebut di bidang administrasi dari perusahaan angkutan udara asing yang diwakili berupa mengurus perizinan yang berkaitan dengan kegiatannya, mengurus manajemen perkantoran dan keuangan, mengurus operasi penerbangan antara lain teknis pesawat udara dan penanganan (handling) kegiatan angkutan udara, kepentingan lain dibidang
operasi dan administrasi. Disamping itu, perwakilan perusahaan angkutan udara asing juga mempunyai kewajiban melaporkan kegiatan angkutan udara setiap 3 bulan kepada Direktur Jenderal Perhubungan Udara dengan tembusan kepada kantor wilayah Departemen Perhubungan (sekarang Dinas Perhubungan) melaporkan
setiap
terjadi
perubahan
alamat
kantor
perwakilan
atau
penanggungjawab dari kantor perwakilan. Berdasarkan keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 51 Tahun 2000 tersebut, perusahaan angkutan udara asing dari Negara yang telah memiliki perjanjian angkutan udara bilateral atau perjan jian multilateral denganRepublik Indonesia baik yang sudah maupun yang belum melakukan kegiatan angkutan udara berjadwal ke dan dari Indonesia sebagain agen penjualan umum atau dilakukan oleh perusahaan angkutan udara asing itu sendiri untuk melakukan penjualan dan pemasaran jasa angkutan. Badan hukum Indonesia yang ditunjuk oleh perusahaan angkutan udara asing tersebut berbentuk Perseroan Terbatas (PT), koperasi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), yang berbentuk perseroan terbatas yang telah memilki izin untuk melakukan agen penjualan umum.