BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANGKUTAN KARGO MELALUI PENGANGKUTAN UDARA A. Tinjauan Umum Tentang Pengangkutan Udara 1. Pengangkutan dan Pengangkutan Udara Sangatlah penting peranan pengangkutan dalam dunia perniagaan, mengingat sarana ini sebagai angkutan dari produsen ke agen/ grosir, sampai ke konsumen. Dari pelabuhan ke gudang, dari tempat pelelangan ikan ke pasar, dan lain-lain. Mustahil kalau ada suatu usaha perniagaan yang mengabaikan perlunya pengangkutan ini. Selain itu mengenai pengangkutan benda-benda tersebut yang diperlukan di tempat-tempat tertentu, dalam keadaan yang lengkap dan utuh serta padat tepat waktunya, tetapi juga mengenai pengangkutan orang-orang yang memberikan perantaraan pada pelaksanaan perusahaan. Ambillah misalnya seorang agen perniagaan, seorang pekerja berkeliling (handelsreziger), seorang komisioner. Mereka semuanya pada waktu tertentu tidak mungkin memenuhi prestasi-prestasinya tanpa alat pengangkutan; belum lagi terhitung bertambahnya orang-orang yang karena suatu hal misalnya untuk peninjauan di dalam atau di luar negeri, mereka tentu memerlukan pengangkutan. 14 Nilai suatu barang itu tidak hanya tergantung dari barang itu sendiri, tetapi juga tergantung pada tempat, dimana barang itu berada, misalnya di puncak atau di Cipanas, Jawa Barat, hampir tiap-tiap rumah petani sayuran 14
Sution Usman Adji, Joko Prakoso, dan Hari Pramono, Hukum Pengangkutan di Indonesia, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
bertumpuklah sayuran kol dan sejenisnya sampai menggunung. Di sana harga sebuah kol sangat murah, tetapi setelah diangkut ke Jakarta, maka harga sebuah kol tersebut akan menjadi dua atau tiga kali lipat. Inilah jasa angkutan. Para pedagang mempergunakan jasa angkutan ini sebagai salah satu cara untuk mendapat keuntungan. Hal ini terjadi dimana-mana dan terhadap semua barang. Di tempat asal barang itu pada umumnya harganya murah, tetapi kalau sudah diangkut ke tempat lain, maka harga itu naik. Ke tempat mana barang itu harus diangkut untuk mendapat kenaikan harga yang setinggi-tingginya, adalah persoalan besar bagi pedagang yang bersangkutan. Dari contoh ini jelaslah sudah bahwa pengangkutan memegang peranan penting dalam lalu lintas perdagangan dalam masyarakat. Peranan pengangkutan dalam dunia perdagangan bersifat mutlak, sebab tanpa pengangkutan, perusahaan tidak mungkin dapat berjalan. Barang-barang yang dihasilkan oleh produsen atau pabrik-pabrik dapat sampai di tangan pedagang atau pengusaha kepada konsumen juga harus mempergunakan jasa pengangkutan. Pengangkutan di sini dapat dilakukan oleh orang, kendaraan yang ditarik oleh binatang, kendaraan bermotor, kereta api, kapal laut, kapal sungai, pesawat udara dan lain-lain. 15 Dalam kegiatan sehari- hari, orang sering sekali beranggapan bahwa kata pengangkutan sama dengan kata “ transportasi”. Namun tidaklah bisa disamakan begitu saja. Pengangkutan lebih menekankan pada aspek yuridis, sedangkan transportasi lebih menekankan pada aspek kegiatan perekonomian. Namun 15
H.M.N Purwosutjipto, Pengertian Pengangkutan., Djambatan, Jakarta, 1995, hal. 1.
Pokok
Hukum
Dagang
(3)
Hukum
Universitas Sumatera Utara
memang keduanya memiliki makna yang sama, yaitu kegiatan memindakan dengan menggunakan alat angkut. . Dengan demikian, transportasi berarti mengangkut atau membawa sesuatu ke sebelah lain atau dari suatu tempat ke tempat lainnya. Hal ini berarti bahwa transportasi merupakan jasa yang diberikan untuk menolong orang atau barang untuk dibawa dari suatu tempat ke tempat yang lainnya. Sehingga transportasi dapat didefinisikan sebagai usaha dan kegiatan mengangkut atau membawa barang dan/ atau penumpang dari suatu tempat ke tempat lainnya. Abdulkadir Muhammad mendefinisikan pengangkutan sebagai proses kegiatan memuat barang atau penumpang ke dalam alat pengangkutan, membawa barang atau penumpang dari tempat pemuatan ke tempat tujuan, dan menurunkan barang atau penumpang dari alat pengangkutan ke tempat yang ditentukan. 16 Selanjutnya ia menambahkan bahwa pengangkutan memiliki tiga dimensi pokok, yaitu pengangkutan sebagai usaha (business), pengangkutan sebagai perjanjian (agreement), dan pengangkutan sebagai proses (process). Pengangkutan sebagai usaha memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Berdasarkan suatu perjanjian; 2) Kegiatan ekonomi di bidang jasa; 3) Berbentuk perusahaan; 4) Menggunakan alat angkut mekanik. Pengangkutan sebagai suatu proses mengandung makna sebagai serangkaian perbuatan mulai dari pemuatan ke dalam alat angkut, kemudian 16
Abdulkadir Muhammad, Op. cit., hal. 19.
Universitas Sumatera Utara
dibawa menuju tempat yang telah ditentukan, dan pembongkaran atau penurunan di tempat tujuan. Sedangkan pendapat lain menyatakan pengangkutan niaga adalah rangkaian kegiatan atau peristiwa pemindahan penumpang dan/ atau barang dari suatu tempat pemuatan ke tempat tujuan sebagai tempat penurunan penumpang atau pembongkaran barang. Rangkaian kegiatan pemindahan tersebut meliputi: a) Dalam arti luas, terdiri dari: 1. memuat penumpang dan/ atau barang ke dalam alat pengangkut 2. membawa penumpang dan/ atau barang ke tempat tujuan 3. menurunkan penumpang atau membongkar barang-barang di tempat tujuan. b) Dalam arti sempit, meliputi kegiatan membawa penumpang dan/ atau barang dari stasiun/ terminal/ pelabuhan/ Bandar udara ke tempat tujuan. Sarjana lainnya ada yang menyimpulkan bahwa pada pokoknya pengangkutan adalah perpindahan tempat, baik mengenai benda-benda maupun orang-orang, karena perpindahan itu mutlak diperlukan untuk mencapai dan meninggikan manfaat serta efisiensi. Sedangkan pengangkutan sebagai perjanjian (agreement), pada umumnya bersifat lisan tetapi selalu didukung oleh dokumen angkutan yang membuktikan bahwa perjanjian itu sudah terjadi. Perjanjian pengangkutan dapat pula dibuat secara tertulis yang disebut carter (charterparty). 17
17
Hasim Purba, op. cit., hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
Pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dan pengirim, dimana H.M.N Purwosutjipto melihat dari perspektif hukum dengan menegaskan bahwa pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/ atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan. 18 Pihak-pihak dalam perjanjian pengangkutan ialah pengangkut dan pengirim. Adapun sifat perjanjian pengangkutan adalah timbal balik, artinya kedua belah pihak, baik pengangkut maupun pengirim masing-masing mempunyai
kewajiban
sendiri-sendiri.
Kewajiban
pengangkut
ialah
menyelenggarakan pengangkutan barang dan/ atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan kewajiban pengirim ialah membayar uang angkutan. Istilah “menyelenggarakan pengangkutan” berarti, bahwa pengangkutan itu dapat dilakukan sendiri oleh pengangkut atau dilakukan oleh orang lain atas perintahnya. Istilah “dengan selamat” mengandung arti, bila pengangkutan berjalan dengan “tidak selamat” itu menjadi tanggung jawab pengangkut. Keadaan “tidak selamat” ini hanya mempunyai dua arti, yaitu barangnya tidak ada, lenyap atau musnah, sedang arti kedua ialah barangnya ada, tetapi rusak sebagian atau seluruhnya.barangnya itu tidak ada mungkin disebabkan karena terbakar, tenggelam, mungkin sengaja dilempar ke laut, dicuri orang atau karena sebab lain. Kalau barang itu rusak, baik sebagian atau 18
H.M.N.Purwosutjipto, op. cit., hal. 43.
Universitas Sumatera Utara
seluruhnya, sedemikian rupa sehingga barang itu tidak bias dipergunakan sebagaimana mestinya. Sehingga jelas bahwa kewajiban utama pengangkut adalah mengangkut barang sampai dengan selamat untuk diserahkan kepada si penerima (Pasal 1235 jo Pasal 1338 ayat 1 dan 3 KUH Perdata). Kewajiban pengirim ialah membayar uang angkutan sebagi kontra prestasi dari penyelenggaraan pengangkutan yang dilakukan oleh pengangkut. Di tempat tujuan, barang diterima oleh penerima, yang mungkin si pengirim sendiri atau orang lain. 19 Secara yuridis defenisi atau pengertian pengangkutan pada umumnya tidak ditemukan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Walaupun begitu, kita masih dapat menemukan arti dari pengangkut yakni dalam Pasal 466 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang berbunyi, “ pengangkut dalam arti bab ini ialah barangsiapa yang baik dengan carter menurut waktu atau carter menurut perjalanan, baik dengan sesuatu persetujuan lain, mengikutkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang, yang seluruhnya atau sebagian melalui lautan”. Fungsi pengangkutan ialah memindahkan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan maksud untuk meningkatkan daya guna dan nilai. Di sini jelas, meningkatnya daya guna dan nilai merupakan tujuan dari pengangkutan, yang berarti bila daya guna dan nilai di tempat baru itu tidak naik, maka pengangkutan tidak perlu diadakan, sebab merupakan suatu perbuatan yang merugikan bagi si pedagang. Fungsi pengangkutan yang demikian itu tidak 19
H.M.N Purwosutjipto, op. cit., hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
hanya berlaku di dunia perdagangan saja, tetapi juga berlaku di bidang pemerintahan, politik, sosial, pendidikan, hankam dan lain-lain. 20 Berbicara
tentang
fungsi
pengangkutan,
selanjutnya
Abdulkadir
Muhammad menjelaskan bahwa pengangkutan merupakan bidang kegiatan yang sangat vital dalam kehidupan masyarakat. Dikatakan vital karena didasari oleh berbagai faktor seperti: a. Keadaan geografis Indonesia, yaitu berupa daratan yang terdiri dari beriburibu pulau besar dan kecil, dan berupa perairan yang terdiri dari sebagian besar laut dan sungai serta danau yang memungkinkan pengangkutan dilakukan melalui darat, perairan, dan udara guna menjangkau seluruh wilayah negara. Kondisi angkutan tiga jalur tersebut mendorong dan menjadi alasan penggunaan alat pengangkut modern yang digerakkan secara mekanik.
b. Untuk menunjang pembangunan berbagai sektor. Kemajuan dan kelancaran pengangkutan akan menunjang pelaksanaan pembangunan berupa penyebaran kebutuhan pembangunan, pemerataan pembangunan dan distribusi hasil pembangunan berbagai sektor ke seluruh pelosok tanah air, misalnya sektor industry, perdagangan, pariwisata, pendidikan. c. Mendekatkan jarak antara desa dan kota 20
Ibid, hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
Lancarnya pengangkutan berarti mendekatkan jarak antara desa dan kota, dan ini akan member dampak bahwa untuk bekerja ke kota tidak harus pindah ke kota, mereka yang tinggal di kota tidak perlu khawatir dipekerjakan di daerah luar kota, informasi timbal balik yang cepat desa dan kota. Pola hidup di daerah pedesaan cenderung mengikuti pola hidup di daerah perkotaan. Tingkat berpikir dan ingin maju warga desa dapat tumbuh lebih cepat. d. Untuk perkembangan ilmu dan teknologi Perkembangan
di
bidang
pengangkutan
mendorong
perkembangan
pendidikan di bidang ilmu dan teknologi pengangkutan modern, sarana dan prasarana angkutan modern, dan hukum pengangkutan modern terutama mengenai perkerataapian, perkapalan, pesawat udara dan sumber daya manusianya. 21 Dari sini dapat kita lihat tujuan pengangkutan itu adalah untuk memperlancar arus perpindahan orang dan/ atau barang melalui darat, perairan maupun udara dalam rangka menunjang, menggerakkan, dan mendorong stabilitas pembangunan nasional, menunjang pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas pembangunan nasional, memantapkan keutuhan dan persatuan nasional serta mempererat hubungan antar bangsa.
21
Hasim Purba, op.cit., hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
Pengangkutan adalah hal yang membuat sebuah bangsa menjadi besar dan makmur, yakni tanah yang subur, kerja keras, dan kelancaran pengangkutan orang dan barang dari satu bagian negara ke bagian bagian lainnya. 22 Adapun jenis-jenis pengangkutan yang ada adalah yang disesuaikan dengan alat angkut yang dipergunakan dan keadaan geografis yang menjadi wilayah tempat berlangsungnya kegiatan pengangkutan. H.M.N. Purwosutjipto membagi macam-macam pengangkutan dalam empat kelompok yang terdiri dari: pengangkutan darat; pengangkutan laut; pengangkutan udara; dan penngkutan perairan darat. 23 Sution Usman Adji dkk secara umum membedakan jenis-jenis pengangkutan itu atas: pengangkutan udara, pengangkutan perairan darat, pengangkutan dengan kendaraan bermotor dan kereta api, dan pengangkutan di laut. 24 Kemudian Ridwan Khairandy mengklasifikasikan macam-macam moda pengangkutan sebagai berikut: 1. Pengangkutan darat: a. Pengangkutan melalui jalan (raya); b. Pengangkutan dengan kereta api. 2. Pengangkutan Laut 3. Pengangkutan Udara. 25
22 23 24
M.N Nasution, Manajemen Transportasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2008, hal 3. H.M.N Purwosutjipto, op.cit., hal. 2-3. Sution Usman Adji dkk, Hukum Pengangkutan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta,
1990. 25
Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang, FH UUI Press, Yogyakarta, 2006,
hal. 179.
Universitas Sumatera Utara
Hasim Purba cenderung membedakan jenis-jenis pengangkutan itu sebagai berikut: a. Pengangkutan di darat, yang terdiri dari: 1. Pengankutan dengan kendaraan bermotor 2. Pengangkutan dengan kereta api 3. Pengangkutan dengan tenaga hewan b. Pengangkutan di perairan yang terdiri dari: 1. Pengangkutan di laut 2. Pengangkutan di sungai dan danau 3. Pengangkutan penyeberangan c. Pengangkutan udara. 26 Pengangkutan udara dalam Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) dipergunakan suatu istilah pengangkut sebagai salah satu pihak yang mengadakan perjanjian pengangkutan. Dalam Konvensi Warsawa 1929, menyebut pengangkut udara dengan istilah carrier, akan tetapi Konvensi Warsawa tidak memberitahu suatu batasan atau defenisi tertentu tentang istilah pengangkut udara atau carrier ini. Pada dasarnya yang diangkut dengan angkutan udara adalah dominan untuk penumpang, di samping itu juga yang diangkut barang – barang yang bersifat segar, relatif ringan, dan bernilai tinggi. Angkutan udara memerlukan airport maupun airways. Airways adalah jalan yang diperuntukkan bagi pesawat terbang yang melalui ruang udara atau angkasa sepanjang mana pesawat terbang 26
Hasim Purba, op. cit, hal. 9-10.
Universitas Sumatera Utara
dijalankan untuk bergerak atau terbang dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya. 27 Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 pada Pasal 1 angka 13 menyebutkan Angkutan udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan/ atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara. Alat angkut dalam angkutan udara adalah pesawat terbang. Di sini perlulah dikemukakan pengertian atau defenisi pesawat udara dan pesawat terbang mengingat di dalam praktik seringkali terjadi kesalahan memahami pesawat udara yang terkadang rancu dengan pesawat terbang atau kapal udara. Menurut Annex 6 dan 7.3 Konvensi Chicago 1944 yang telah dimodifikasi pada tanggal 18 Nopember 1967, pesawat udara (aircraft): “… any machine that can derive support in the atmosphere from the reaction of the air against the earth’s suface…”. Batasan ini digunakan sejak Konvensi Perancis 1919 yang menyebutkan pesawat udara sebagai a machine which can derive support in the atmosphere from the reaction of the air… . Batasan terakhir ini juga diterima dalam Konvensi Chicago 1944 sebelum dimodifikasi pada tahun 1967.
27
Sinta Uli, Pengangkutan, Suatu Tinjauan Hukum Multimoda Transport Angkutan
Laut, Angkutan Darat, dan Angkutan Udara,USU Press, Medan, 2006, hal. 86.
Universitas Sumatera Utara
Pesawat udara dalam arti luas tersebut mencakup pesawat terbang, helikopter, pesawat terbang layang, layangan, dan balon yang bebas dan dikendalikan seperti yang digunakan untuk bidang meteorologi. Penambahan kata-kata pada batasan Konvensi Chicago 1944 di atas yang diadakan pada tahun 1967, yaitu order that the reaction of the air against earth’s surface dimaksudkan untuk mengecualikan hovercraft ke dalam defenisi pesawat udara. Jadi penambahan kata-kata tersebut dipengaruhi oleh perkembangan teknologi penerbangan dan perkapalan, khususnya dengan adanya penemuan air cushion craft (hovercraft). Perubahan defenisi pesawat udara berdasar Konvensi Chicago tersebut ternyata belum diadopsi oleh UU No. 15 Tahun 1992. Pasal 1 UU No. 15 Tahun 1992 mendefenisikan pesawat udara sebagai setiap alat yang dapat terbang di atmosfer karena adanya daya tarik dari reaksi bumi. Sedangkan pesawat terbang adalah pesawat udara yang lebih berat dari udara, dengan sayap tetap dan mampu terbang dengan kekuatannya sendiri. 28 Lebih maju dapat kita temui pada Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan yang menuliskan bahwa pesawat udara setiap mesin atau alat yang dapat terbang di atmosfer karena gaya angkat dari reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi udara terhadap permukaan bumi yang digunakan untuk penerbangan. Sedangkan pesawat terbang adalah pesawat udara yang lebih berat dari udara, bersayap tetap, dan dapat terbang dengan tenaga sendiri. 28
Ridwan Khairandy, op.cit., hal. 181-182.
Universitas Sumatera Utara
Sehingga pada hakekatnya pengangkutan udara adalah kegiatan mengangkut orang dan/ atau barang dengan menggunakan pesawat udara.
2. Perkembangan Pengangkutan Udara di Indonesia
Sebelum Kemerdekaan
Perkembangan transportasi atau pengangkutan udara di Indonesia tidak terlepas dari sejarah transportasi atau pengangkutan udara Belanda yang pada waktu itu menjajah Indonesia. Setelah Perang Dunia I, negara-negara di Eropa (termasuk Belanda) berlomba-lomba menghubungkan daerah jajahan mereka dengan negerinya. Dalam rangka untuk menghubungkan negerinya dengan daerah jajahannya tersebut (K. Marsono SH, LLM, Transtel Indonesia 1996:32), Belanda mengadakan penerbangan pertama ke Indonesia pada tanggal 1 Oktober 1924 yang dilakukan oleh kapten penerbang A. N. G. Thomassen. Penerbangan tersebut mendarat di Cililitan, yang sekarang bernama Halim Perdana Kusuma Internasional Airport pada tanggal 24 November 1924 dengan menggunakan pesawat uadara jenis Fokker 7b.
Penerbangan komersial pertama dilakukan oleh KLM yang kembali ke Netherlands pada tanggal 23 Juli 1927, dimana penerbangan tersebut digunakan untuk mengangkut surat-surat dan kartu-kartu natal. Perusahaan ini (KLM) mempunyai tugas untuk menghubungkan Netherlands dan East Indies (Indonesia) sebagai angkutan udara internasional. Untuk angkutan udara dalam negeri East Indies (Indonesia), sebuah perusahaan penerbangan “The Royal Air
Universitas Sumatera Utara
Transportation Company” diberi konsesi untuk mendirikan “Koninklijke Nederlands Indische Luchtvaart Maatschappij” (KNILM) yang diberi hak monopoli untuk melakukan angkutan udara di Indonesia, KNILM didirikan pada tanggal 15 Februari 1928. 29 Sesudah Kemerdekaan Pada tahun 1947, Direktorat penerbangan Sipil, Seksi Angkutan Udara Republik Indonesia yang dikepalai oleh A.R. Soehoed, mengirim R 1001 “Seulawah” ke Calcutta, India. Pengiriman tersebut dimaksudkan untuk menambah tangki bensin agar dapat melakukan penerbangan lebih jauh. Namun karena keadaan perang pada waktu itu, pesawat tersebut tidak mungkin kembali ke Indonesia, maka pesawat udara tersebut diterbangkan ke Birma untuk dioperasikan di sana. Kegiatan operasi penerbangan di Birma sepenuhnya merupakan penerbangan niaga dengan konsesi penerbangan carter. Penerbangan inilah yang merupakan angkutan udara komersial pertama yang dilakukan oleh bangsa Indonesia. Setelah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia, pesawat itu kembali ke Indonesia. Selanjutnya, pada tahun 1950 didirikan perusahaan penerbangan dengan nama Garuda Indonesia Airways N. V. 30 Perusahaan penerbangan tersebut didirikan dengan modal gabungan antara pemerintah Republik Indonesia dengan KLM. Dalam perkembangan selanjutnya perusahaan penerbangan tersebut 29
http: // www.dhenov.blogspot.com/2008/01/perkembangan industri penerbangan
30
K. Martono SH, LLM, dalam tulisannya Sistem Penyelenggaraan Angkutan Udara di Indonesia, Transtel Indonesia, 1996, hal. 33.
Universitas Sumatera Utara
dinasionalisasikan oleh pemerintah. Disamping Garuda Indonesia Airways, pemerintah Indonesia pada tahun 1962 mendirikan pula sebuah perusahaan penerbangan bernama PN (sekarang PT) Merpati Nusantara Airlines yang ditugaskan terutama untuk melakukan penerbangan dalam negeri (lokal). 31 Sesuai dengan kebijaksanaan multi airlines system (sistem banyak perusahaan penerbangan) sejak tahun 1971, lahirlah perusahaan-perusahaan penerbangan nasional, baik penerbangan berjadwal maupun tidak berjadwal. Walaupun permintaan transportasi udara telah terpenuhi, namun armada perlu lebih ditingkatkan lagi. Oleh karena itu, pemerintah membuka kesempatan bagi penerbangan umum untuk melayani kebutuhan angkutan udara perusahaan bersangkutan. Di samping penerbangan reguler tersebut, terdapat pula penerbangan haji untuk menunjang kebebasan beragama, transmigrasi untuk membantu program nasional penyebaran penduduk, penerbangan perintis untuk membuka daerah terisolir dan penerbangan individu maupun olahraga untuk mengembangkan kesadaran udara.
Perkembangan Rute Penerbangan Sebagaimana ditetapkan pada Keputusan Menteri Perhubungan No. KM. 126 tahun 1990 tentang rute penerbangan, pembagian rute penerbangan bagi perusahaan angkutan udara berjadwal ditetapkan oleh pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Dasar pertimbangan pembagian rute penerbangan antara lain status atau sifat perusahaan, keseimbangan supply dan 31
Ibid
Universitas Sumatera Utara
demand, kepemilikan atau penguasaan pesawat subsidi silang, pangkalan induk (home base), dan kemampuan bandara. 32 Pada pasar jasa penerbangan di Indonesia, dewasa ini menghadapi persaingan yang semakin ketat. Dengan adanya deregulasi di bidang penerbangan, kenaikan harga minyak, serta bayangan resesi, menambah tingkat persaingan untuk bekerja dengan lebih efisien lagi. Rute penerbangan merupakan satu hal yang vital bagi perusahaan penerbangan, karena dari segi pengoperasian rute penerbangan inilah didapat revenue perusahaan. Dengan demikian, perusahaan dituntut untuk melakukan penanganan yang lebih serius dalam penentuan rute yang harus dilaluinya dengan jenis pesawat yang akan dipergunakan dalam melayani rute tersebut. Jalur atau rute penerbangan di Indonesia terdiri dari jalur penerbangan dalam negeri (domestik), jalur penerbangan perintis dan jalur penerbangan luar negeri. Jalur penerbangan dalam negeri yang dilayani perusahaan penerbangan berjadwal menghubungkan semua kota-kota besar di seluruh Indonesia. Setiap perusahaan penerbangan berjadwal melayani jalur penerbangan yang berbeda dari jalur penerbangan perusahaan penerbangan berjadwal lain. Jadwal yang sesuai dengan kebutuhan penumpang merupakan salah satu hal yang penting. Sebagai dasar bagi mereka untuk melakukan pemilihan pemakaian penerbangan. Untuk itu perusahaan penerbangan harus dapat mengatur penerbangan hingga dapat memberikan kepuasan kepada penumpang, yaitu berupa kesempatan yang lebih besar untuk melakukan perjalanan sesuai 32
Ibid
Universitas Sumatera Utara
dengan waktu yang diperlukan yang dapat memberikan keuntungan maksimum kepada perusahaan penerbangan tersebut. Sejalan dengan meningkatnya keperluan akan jasa transportasi udara, yaitu jalur penerbangan dalam negeri terus ditambah dari 115 rute pada tahun 1974 menjadi 240 rute pada akhir tahun 1992, yang menghubungkan 27 ibukota propinsi, 228 kota kabupaten dan 246 kota kecamatan. Beberapa jalur penerbangan perintis yang telah berkembang dijadikan bagian dari jaringan penerbangan dalam negeri. Penerbangan antara kota-kota yang lalu lintas penumpangnya padat dapat dilakukan dengan penerbangan shuttle, yaitu pesawat terbang yang berdinas atau melakukan perjalanan pulang-pergi, seperti antara Jakarta-Surabaya, Jakarta-Semarang, Jakarta-Medan, dan Jakarta-Palembang. Dengan kepadatan jumlah penumpang pada jalur-jalur tertentu seperti tersebut di atas, maka frekuensi penerbangan ditambah menjadi lebih dari tiga kali sehari atau lebih dari lima kali sehari apabila pada waktu libur. Pada saat ini terdapat tidak kurang dari dua puluh sembilan perusahaan penerbangan nasional yang diberi konsesi penerbangan berjadwal. Dua buah perusahaan berjadwal adalah milik pemerintah (Garuda Indonesia Airways dan Merpati Nusantara Airlines), sedangkan sisanya milik perusahaan penerbangan nasional. 33 Sejalan dengan meningkatnya keperluan akan jasa transportasi udara, jaringan penerbangan dalam negeri terus ditambah, beberapa jalur penerbangan perintis yang telah berkembang dijadikan bagian dari jaringan penerbangan dalam negeri. Penerbangan antara kota-kota lain yang lalu lintas penumpangnya 33
Ibid
Universitas Sumatera Utara
padat dilakukan dengan penerbangan shuttle, seperti rute penerbangan Rute Jakarta-Palembang. Dimana pada rute penerbangan Rute Jakarta-Palembang, jumlah penumpangnya terus meningkat sehingga frekuensi penerbangan ditambah menjadi lima kali dalam satu hari. Sesuai dengan kebijaksanaan yang
diambil Direktorat Jenderal
Perhubungan Udara, pada prinsipnya pihak swasta diberi kesempatan untuk lebih banyak dalam penyediaan kapasitas angkutan udara. Sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 126 tahun 1990 tentang rute penerbangan bagi perusahaan angkutan udara berjadwal ditetapkan oleh pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Jalur penerbangan perintis yang dilayani oleh perusahaan penerbangan milik pemerintah (BUMN) seperti PT. Garuda Indonesia dan PT. Merpati Nusantara memiliki frekuensi dan kemampuan penerbangan lebih besar dibandingkan dengan perusahaan penerbangan swasta yang tidak berjadwal. Jalur penerbangan perintis dibuka dibeberapa daerah yang semula terisolasi, seperti Irian Jaya, Maluku, Kalimantan, NTT, NTB dan pantai barat Sumatera. Penerbangan perintis antar daerah hampir tidak ada, sebab penerbangan antar daerah sudah dilayani penerbangan berjadwal, dan sudah lebih dari delapan puluh lokasi dicakup dalam jaringan penerbangan perintis. 34 3. Landasan Hukum Pengangkutan Udara Dalam dunia pengangkutan yang paling pertama berkembang sesuai dengan kemampuan manusia adalah pengangkutan darat. Hal ini tidak berbeda 34
Ibid
Universitas Sumatera Utara
jauh dengan kehidupan manusia pada umumnya. Penjelajahan pertama yang dapat dilakukan oleh manusia adalah di darat, selanjutnya di air ( berenang ). Tidak ada orang yang belum pernah menginjak tanah sudah dapat berenang, kecuali mungkin Suku Laut ( nomaden sea ). Pengangkutan darat terdiri dari banyak ragam mulai dari manusia, gerobak, sepeda angin, mobil, dan kereta api. Dengan demikian tidak mengherankan kalau Hukum Pengangkutan yang berkembang lebih awal terletak pada 2 moda, yaitu Hukum Pengangkutan Darat dan hukum Pengangkutan Laut. Sementara itu, Hukum Pengangkutan Udara merupakan moda yang paling terakhir berkembang di antara Hukum Pengangkutan lainnya. Pada mulanya, pesawat udara hanya digunakan untuk mengangkut penumpang. Konvensi pertama yang mengatur pengangkutan udara internasional dimulai pada tahun 1919 yang disebut Konvensi Paris. Akan tetapi, konvensi ini tidak dapat diterima oleh banyak negara menyebabkan tidak terpenuhinya jumlah peserta yang disyaratkan untuk berlakunya Konvensi. Oleh karena itu, Konvensi ini tidak pernah berlaku. Namun demikian, ada beberapa negara yang telah memasukkan ketentuan dari Konvensi ini ke dalam perundang-undangan nasionalnya. Air Navigation Act, 1920, di Inggris misalnya, merupakan contoh negara yang melakukan hal tersebut. Sementara itu di Amerika Serikat (AS) pada tahun 1919 telah dimulai pengaturan tentang pengangkutan kargo yang dilakukan oleh Cargo Aviation Buerau ( CAB ). Pada tahun 1928, negara-negara Amerika telah membentuk suatu Konvensi yaitu Pan America Aviation Convention yang ditetapkan di Havana – Cuba.
Universitas Sumatera Utara
Sebelum lahirnya konvensi-konvensi tentang pengangkutan udara, tanggung jawab pengangkut pada mulanya menerapkan aturan-aturan secara analog dari bidang Hukum lain, terutama dari bidang Hukum Perdata khususnya bidang Hukum Pengangkutan. Namun ternyata dalam penerapan demikian menimbulkan ketidakpuasan karena adanya perbedaan prinsip dan situasi dari tiap moda angkutan. Oleh karena itu, tidak mengherankan perkembangan Hukum Pengangkutan Udara sangat dipengaruhi oleh konvensi-konvensi itu di bidang pengangkutan lainnya seperti Konvensi Brussel 1924 tentang Bill of Lading dalam pengangkutan di laut dan oleh Konvensi Warsawa 1929 Tentang Pengangkutan Kargo oleh Kereta Api. Hal tersebut dapat terlihat terutama dalam hal adanya kemiripan dalam dokumen-dokumen, batasan mengenai kapan mulai dan berakhirnya tanggung jawab pengangkut dalam konvensi-konvensi pengangkutan tersebut, meskipun tetap ada perbedaan dalam detailnya. Hal ini diakui oleh para ahli hukum udara, bahwa problem yang timbul dari pengangkutan adalah di sekitar kontrak pengangkutan, tanggung jawab pengangkut, dan Mortgages. Upaya-upaya yang lebih terarah dimulai ketika pada Oktober dan November
1925,
Pemerintah
Perancis
menyelenggarakan
konferensi
internasional yang menghasilkan draft suatu Konvensi tentang Tanggung Jawab Pengangkut Udara, yang dikenal dengan CITEJA (Committee International Technique d’ Experts Juridiques Aerines) yang bertugas melakukan perubahanperubahan tentang aturan tanggung jawab pengangkut secara bertahap.
Universitas Sumatera Utara
Pada mulanya Konvensi tentang Kargo dan Penumpang akan dibuat secara terpisah, tetapi karena menginggat pertimbangan ekonomis dan kesatuan (uniform) maka akhirnya pengaturan keduanya, kargo dan penumpang, disatukan. Pimpinan sidang pada Konferensi Warsawa menyatakan bahwa suatu Konvensi merupakan atau dibentuk atas Konsesi yang seimbang (mutual consession). Oleh karena itu, dipandang perlu dibuat sistem hukum yang seimbang dan bebas. Sikap itulah yang menyebabkan Konferensi Warsawa berhasil disahkan. Hampir semua penulis menyatakan bahwa maksud Konvensi adalah untuk adanya keseragaman penerapan dan penggunaan hukum dalam pengangkutan udara. Alasan penting lainnya adalah untuk menetapkan aturan tanggung jawab yang pasti secara benar berfungsi juga sebagai pemberitahuan dalam masalah tanggung jawab pengangkut kepada pengguna jasa. Konvensi Warsawa 1929 biasa disebut sebagai pengakhiran dari suatu conflict of Law yang timbul dalam pengangkutan internasional. Hasil penting dari Konvensi ini adalah kesearagaman dalam aturan hak-hak penumpang dan pengirim / penerima kargo dalam pengangkutan udara, keseragaman tanggung jawab pengangkut dalam pengangkutan udara internasional serta istilah-istilah dalam kontrak. Konvensi Warsawa kemudian diperbaharui dengan The Hague Protocol, 1955 yang mengubah beberapa peraturan dalam Konvensi Warsawa 1929. Protokol The Hague 1955 bertujuan untuk, antara lain, menyederhanakan persyaratan dokumen pengangkutan ; meniadakan hak pembebasan diri dan
Universitas Sumatera Utara
tanggung jawab pengangkut ; dan , menghilangkan kesulitan-kesulitan di dalam menafsirkan kata-kata wilfulmisconduct. Konvensi Guadalajara, 1961, antara lain berisi ; menghilangkan ketidaktentuan arti pengangkut yaitu pengangkut dapat berupa pihak yang mengadakan perjanjian pengangkutan dengan pengguna (contracting carrier) maupun yang sesungguhnya melaksanakan pengangkutan / pengangkut sejati (actual carrier). Montreal Agreement, 1966, antara lain berisi ; penerapan prinsip tanggung jawab mutlak dan dapat mengadakan asuransi tambahan bagi penerbangan yang menuju ke, berangkat dari, atau yang melewati wilayah Amerika Serikat. Protokol Guatemala City, 1971 : Adanya kenaikan otomatis limit ganti rugi ; menyederhanakan persyaratan-persyaratan dokumen pengangkutan. London Agreeement, 1974, berisi antara lain ; menaikkan limit tanggung jawab. Sementara itu, Protokol Montreal 1975 Nomor 4 yang khusus untuk pengangkutan kargo bertujuan untuk penerapan prinsip tanggung jawab mutlak yang tidak dapat dilampaui, dan alas an pembebasan tanggung jawab bagi pengangkut.
Perubahan-perubahan tersebut pada dasarnya berhubungan dengan : a. Menghilangkan hambatan yang merugikan pengguna, baik secara istilah maupun penyederhanaan dokumen, b. Kenaikan ganti kerugian disertai batasan yang tidak dapat dilampaui (unbreakable limit).
Universitas Sumatera Utara
c. Diakuinya pengangkut sejati (actual carrier) dan pengangkut penutup kontrak (contracting carrier). d. Dianutnya prinsip tanggung jawab mutlak baik yang terbatas (strict liability) maupun yang tidak terbatas (absolute liability) 35 Dengan demikian, perubahan yang dilakukan pada dasarnya lebih memberikan keuntungan kepada pengguna. Hal ini tidak mengherankan karena pengangkutan udara semakin hari semakin berkembang dari segi teknologi pesawat, permodalan, manajemen perusahaan dan keselamatan penerbangan. Pada tahun 1999, telah berhasil dibuat satu konvensi baru yaitu Konvensi Montreal 1999, namun sampai saat ini belum berlaku karena belum terpenuhinya syarat peserta untuk berlakunya konvensi. Sehingga yang berlaku sampai saat ini adalah Perjanjian Warsawa atau yang dikenal dengan Konvensi Warsawa. Namun Perjanjian Warsawa ini tidak berlaku begitu saja. Perjanjian Warsawa ini merupakan peraturan khusus tentang Pengangkutan Udara. Ia tetap memberi ruang untuk ditaatinya Ordonansi pengangkutan Udara (OPU). Hal ini dikarenakan OPU merupakan peraturan umum, sedangkan Perjanjian Warsawa merupakan peraturan khusus. Mengenai ketentuan ini dianut asas “ lex specialis derogate lex generali” (hukum khusus menghapus berlakunya hukum umum). Sehingga hal-hal yang tidak ada ditentukan atau diatur di dalam Perjanjian Warsawa harus menuruti apa yang diatur di dalam Ordonansi Pengangkutan Udara. seperti yang tercantum pada Pasal 1 OPU bahwa, ”ketentuan-ketentuan
35
Toto T. Suriaatmadja, op.cit., hal. 32-33.
Universitas Sumatera Utara
dalam Ordonansi Pengangkutan Udara berlaku, apabila tidak berlaku ketentuan lain menurut Perjanjian Warsawa. OPU ini ditujukan untuk mengatur pengangkutan udara, tetapi tidak semua pengangkutan udara tunduk pada peraturan ini (Pasal 2 OPU). Ada beberapa jenis pengangkutan, dimana OPU tidak berlaku, yaitu: a. Pengangkutan udara tanpa bayaran, yang tidak diselenggarakan oleh suatu perusahaan pengangkutan udara; b. Pengangkutan udara
yang
diselenggarakan
oleh
suatu
perusahaan
pengangkutan udara sebagai suatu percobaan pertama, berhubung dengan maksud untuk mengadakan lin (lijn, line) penerbangan teratur; c. Pengangkutan udara yang dilakukan dalam keadaan luar biasa, menyimpang dari usaha yang normal dari suatu perusahaan penerbangan; d. Pengangkutan pos dan paket melalui udara yang dilaksanakan atas permintaan dari atau atas nama penguasa yang berwenang; e. Pengangkutan udara yang dilakukan oleh pesawat-pesawat terbang militer, pabean, dan polisi. 36
Untuk Indonesia terdapat beberapa peraturan yang perlu diperhatikan mengenai landasan hukum pengangkutan udara yaitu: 1) UU No. 83 Tahun 1958 (LN 1958 - 159), tentang “Penerbangan”. Di dalam Undang-Undang ini diatur tentang: larangan penerbangan, pendaftaran dan kebangsaan pesawat-pesawat udara, surat tanda kelaikan dan kecakapan 36
H.M.N Purwosutjipto, op.cit., hal. 94-95.
Universitas Sumatera Utara
terbang, lapangan terbang, Dewan Penerbangan dan lain-lain. UndangUndang ini telah dicabut dengan munculnya UU No. 15 Tahun 1992. Kemudian UU itu pun dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi setelah adanya UU No.1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan. 2) Luchtverkeersverordening (S. 1936 - 425), yang mengatur lalu lintas udara, misalnya: mengenai penerangan, tanda-tanda dan isyarat-isyarat yang harus dipergunakan dalam penerbangan dan lain-lain. 3) Verordening Toezicht Lucthtvaart (S. 1936 - 426), yang merupakan peraturan pengawasan atas penerbangan dan mengatur antara lain pengawasan atas personil penerbangan, selanjutnya pemeriksaan sebab-sebab kecelakaan pesawat terbang yang terjadi di wilayah Indonesia dan lain-lain. 4) Luchtvaartquarantine Ordonnantie (S. 1939 - 149, jo S.1939 – 150) yang mengatur persoalann-persoalan yang berhubungan dengan pencegahan disebarkannya penyakit menular oleh penumpang-penumpang pesawat terbang; 5) Luchtvervoerordonnantie (S. 1939 - 100), Ordonansi Pengangkutan udara, yang mengatur pengangkutan penumpang, bagasi, dan pengangkutan barang serta pertanggungjawaban pengangkutan udara. Pada Ordonansi inilah negara-negara di dunia tunduk secara global (umum), termasuk Indonesia. Kecuali jika telah ada peratutran khusus yang dibuat oleh masing-masing negara.
Universitas Sumatera Utara
6) Di samping itu ada perjanjian internasional khusus yang dihasilkan oleh International Air Transport Association (IATA) dalam bentuk General Condition of Carriage.
4. Dokumen – Dokumen Pengangkutan Udara Dokumen dalam pengangkutan udara terdiri dari 3 (tiga) jenis, yaitu: 1. Tiket penumpang Tiket penumpang adalah tanda bukti bahwa seseorang telaah membayar uang angkutan dan akibatnya berhak naik pesawat udara sebagai penumpang. Tiket penumpang juga menjadi tanda bukti telah ditutupnya perjanjian angkutan udara antara pengangkut dan penumpang. Jadi penumpang adalah salah satu pihak dalam perjanjian pengangkutan udara, sedangkan pihak lawannyaadalah pengangkut udara. Tiket penumpang merupakan syarat dalam perjanjian pengangkutan udara, tetapi bukan merupakan syarat mutlak sebab tidak adanya tiket penumpang tidak berarti tidak adanya perjanjian pengangkutan udara (pasal 5 ayat 2 OPU). Jadi pengangkutan udara bersifat konsensuil, dimana perjanjian itu harus dibuktikan dengan adanya tiket penumpang. Kalau tiket penumpang tidak ada, salah dibuat,atau hilang, maka perjanjian pengangkutan udara dapat dibuktikan dengan alat pembuktian yang lain. Dengan sifat konsensuil yang dimiliki oleh perjanjian pengangkutan udara dan tiket penumpang bukanlah syarat mutlak bagi seorang penumpang, tidak berarti bahwa tiket merupakan syarat yang tidak perlu ada. hal ini demikian karena dalam pasal 5 ayat 1 OPU, pengangkut diharuskan memberika tiket
Universitas Sumatera Utara
penumpang kepada setiap penumpang. Apabila pengangkut menerima seorang penumpang
tanpa
tiket
penumpang,
maka
pengangkut
tidak
berhak
mempergunakan ketentuan-ketentuan dalam OPU yang meniadakan atau membatasi tanggung jawabnya (pasal 5 ayat 2 dalam kalimat terakhir). Tiket penumpang memuat: a. Tempat dan tanggal pemberian; b. Tempat pemberangkatan dan tempat tujuan; c. Pendaratan yang direncanakan dengan mengingat hak pengangkut untuk mengadakan perubahan-perubahan bila perlu; d. Nama dan alamat pengangkut udara; e. Pemberitahuan bahwa pengangkutan udara tunduk pada ketentuanketentuan tanggung jawab yang diatur dalam OPU dan perjanjian Warsawa (pasal 5 ayat 1 OPU). Setelah kita melihat ketentuan di atas, tampak bahwa nama penumpang tidak harus ditulis dalam tiket penumpang itu. Tetapi dalam praktek nama penumpang itu selalu dituliskan dalam tiket, untuk alasan ketertiban dan keamanan.Dan memang diharuskan demikian karena berkaitan dengan syaratsyarat khusus dari perusahaan pengangkutan udara yang bersangkutan, misalnya peraturan khusus pada perusahaan Garuda Indonesia Airlines yang berbunyi, “ 2 (dua) tiket penumpang ini hanya dapat dipergunakan oleh orang yang namanya tertera di atasnya, dan tidak dapat dipergunakan oleh orang lain. Penumpang menyetujui bahwa bila perlu pengangku dapat memeriksa apakah tiket ini benarbenar dipakai oleh orang yang berhak. Jika tiket ini diperguanakan atau dicoba
Universitas Sumatera Utara
untuk dipergunakan oleh orang lain daripada yang namanya tersebut dalam tiket ini, maka pengangkut berhal menolak pengangkutan orang ini, serta hak pengangkutan dengan tiket oleh orang yang berhak menjadi batal”. Jadi untuk kepentingan ketertiban penumpang, yang bersangkutan tidak perlu dinyatakan tiket ini merupakan perjanjian pengangkutan udara tetapi tiket itu merupakan tanda bukti adanya pengangkutan udara, yang bersifat konsensuil. 2. Tiket bagasi Tiket bagasi mencantumkan barang-barang yang dibawa oleh penumpang dalam perjanjian yang dikenal secara luas ada 2 jenis, yaitu: a. Barang bawaan, ialah barang-barang kecil, yang dapat dibawa serta oleh penumpang dalam tempat duduknya, misalnya: koper tangan, tas sandang, atau tas laptop. Adanya barang-barang ini tidak perlu dilaporkan kepada pengangkut dan tidak perlu dipungut biaya untuk ikut diangkutnya barang-barang itu. b. Barang-barang bagasi, adalah barang-barang yang wajib dilaporkan kepada pengangkut dan untuk ini penumpang mendapat tiket bagasi. Namun tidak semua barang-barang bagasi ini dikenakan biaya. Hanya barang-barang sampai berat tertentu yang tanpa biaya. Defenisi otentik mengenai bagasi terdapat dalam pasal 6 ayat 2 OPU yang berbunyi : “Bagasi adalah semua barang kepunyaan atau di bawah kekuasaan seorang penumpang yang atas namanya sebelum dia menumpang pesawat terbang diminta untuk diangkut melalui udara”.
Universitas Sumatera Utara
Tiket bagasi itu merupakan tanda bukti penitipan barang yang nanti bila penumpang turun dari pesawat terbang, barang bagasi itu akan diminta kembali. Dipandang dari sudut perjanjian pengangkutan, maka perjanjian penitipan bagasi ini merupakan “accesoire verbintennis”. Jadi tiket bagasi itu hubungannya erat sekali dengan perjanjian pengangkutan. Tetapi meskipun begitu, tidak adanya tiket bagasi, suatu kesalahan di dalmnya atau hilangnya tiket bagasi tidak mempengaruhi adanya atau berlakunya perjanjian udara dan tetap akan tunduk pada ketentuan-ketentuan yang ada di dalam OPU (Pasal 6 ayat 5 OPU). Akan tetapi, bila pengangkut udara menerima bagasi untuk diangkut tanpa menerima tiket bagasi maka ia tidak berhak untuk menggunakan ketentuan-ketentuan OPU yang meniadakan atau membatasi tanggung jawabnya (Pasal 5 ayat 3 OPU). Tiket bagasi itu harus berisi : 1.
Tempat dan tanggal pemberian
2.
Tempat pemberangkatan dan tempat tujuan
3.
Nama dan alamat pengangkut
4.
Nomor daan tiket penumpang
5.
Pemberitahuan bahwa bagasi akan diserahkan kepada pemegang tiket bagasi
6.
Pemberitahuan jumlah dan berat barang
7.
Harga yang diberitahukan oleh penumpang
8.
Pemberitahuan bahwa pengangkutan bagasi ini tunduk pada ketentuanketentuan mengenai tanggung jawab yang diatur dalam OPU atau Perjanjian Warsawa.
Universitas Sumatera Utara
Jadi dapat disimpulkan bahwa tiket bagasi ini bersifat kepada pembawa tetapi dimaksudkan bahwa tiket ini bisa diperjualbelikan. 3. Surat Muatan Udara Berkaitan dengan pengangkutan barang, surat muatan udara adalah apabila seorang akan mengirim barang menggunakan pesawat udara sedangkan dia sendiri tidak turut pergi maka pengirim barang itu memberikan surat muatan kepada pengangkut udara. Sebaliknya pengirim berhak minta kepada pengangkut untuk menerima surat muatan udara tersebut (Pasal 7 ayat 1 OPU). Surat muatan itu dibuat oleh pengirim dalam rangkap 3 dan diserahkan bersama-sama dengan barangnya kepada pengangkut. Tiga lembar surat muatan tersebut dapat diperinci sebagai berikut : a. Lembar
pertama memuat kata-kata “untuk pengangkut”. Lembar ini
ditandatangani oleh pengirim b. Lembar
kedua
memuat
kata-kata
“untuk
penerima”.
Lembar
ini
ditandatangani oleh pengirim dan pengangkut dan dikirim bersama-sama dengan barangnya. c. Lembar ketiga ditandatangani oleh pengangkut dan setelah barang diterimanya, diserahkan kepada pengirim. Setelah
barang-barang
diterimanya
maka
pengangkut
harus
menandatangani surat muatan itu. Tanda tangan pengirim dapat dicetak atau dengan cap. Surat muatan udara itu biasanya sudah siap pada pengangkut berwujud “formulir blanko” yang sudah dicetak. Bila si pengirim menyatakan
Universitas Sumatera Utara
kehendaknya untuk mengirim barang maka pengangkut memberikan formulir blanko yang sudah dicetak itu kepada pengirim untuk diisi. Tetapi bila pengangkut membuat surat muatan atas permintaan pengirim maka itu dianggap pengangkut bertindak atas tanggung jawab pengirim kecuali bila ada bukti menyatakan sebaliknya. (Pasal 8 OPU). Kedudukan hukum surat muatan udara itu sama dengan tiket penumpang atau tiket bagasi, yakni kalau surat muatan tidak ada ada kesalahan di dalamnya, atau hilang, maka hal itu tidak mempengaruhi adanya atau berlakunya perjanjian pengangkutan udara, yang tetap tunduk kepada ketentuan-ketentuan yang ada dalam OPU. Tetapi kalau pengangkut menerima barang muatan tanpa menerima surat muatan udara maka pengangkut tidak berhak untuk mempergunakan ketentuan-ketentuan dalam OPU yang meniadakan atau membatasi tanggung jawabnya (Pasal 11 OPU). Surat muatan berfungsi menjadi bukti mengenai: 1. Tentang adanya perjanjian pengangkutan udara; 2. Tentang penerimaan barang-barang; 3. Tentang syarat-syarat pengangkutan (Pasal 14 OPU).
Menurut Pasal 10 OPU Surat Muatan Udara wajib berisikan: 1. Tempat dan tanggal surat muatan udara itu dibuat; 2. Tempat pemberangkatan dan tempat tujuan; 3. Pendaratan-pendaratan yang direncanakan dengan mengingat hak pengangkut udara untuk mengubah rencana itu bila perlu;
Universitas Sumatera Utara
4. Nama dan alamat pengangkut pertama; 5. Nama dan alamat pengirim; 6. Nama dan alamat penerima; 7. Macam barang; 8. Jumlah, cara pembungkusan, tanda-tanda istimewa atau nomor-nomor barang; 9. Berat, jumlah, besar atau ukuran barang-barang. 10. Keadaan luar barang-barang dan pembungkusannya; 11. Uang angkutan udara, tanggal dan tempat pembayaran dan orang-orang yang harus dibayar. Jika pengiriman dilakukan dengan jaminan pembayaran, dan harga barang dan jumlah biaya; 12. Jumlah nilai barang-barang; 13. Dalam rangkap berapa muatan/surat muatan udara dibuat. 14. Surat-surat yang diserahkan kepada pengangkut untuk menyertai barangbarang; 15. Lamanya pengangkutan udara dan petunjuk ringkas tentang rute yang akan ditempuh; 16. Pemberitahuan bahwa pengangkutan ini tunduk pada ketentuan tanggung jawab yang diatur dalam OPU atau perjanjian Warsawa Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat dikatakan bahwa surat muatan udara ini isinya lebih lengkap daripada tiket penumpang atau tiket bagasi. Tetapi kedudukan hukumnya sama saja dengan tiket penumpang atau tiket bagasi, arinya bila tiket tidak ada, ada kesalahan di dalamnya, atau hilang,
Universitas Sumatera Utara
maka perjanjian udara masih dapat dibuktikan dengan alat pembuktian yang lain. 37
B. Tinjauan Umum Tentang Angkutan Kargo Melalui Pengangkutan Udara 1. Pihak-Pihak yang Terkait dalam Angkutan Kargo Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun istilah pengangkut diartikan sebagai badan usaha angkutan udara niaga, pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga berdasarkan ketentuan undang-undang ini, dan/ atau badan usaha selain badan usaha angkutan udara niaga yang membuat kontrak perjanjian angkutan udara niaga. Menurut ketentuan Pasal 84 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, kegiatan pengangkutan udara sipil yang melayani pengangkutan dalam negeri atau ke luar negeri hanya dapat diselenggarakan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah mendapat izin usaha angkutan udara niaga. Penyelenggaraan Pengangkutan Udara harus berstatus perusahaan badan hukum Indonesia yang menjalankan kegiatan usaha di bidang pengangkutan udara. Perusahaan badan hukum tersebut boleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), seperti PT. Garuda Indonesia Airways (Persero) dan PT. Merpati Nusantara Airlines (Persero); boleh juga Badan Usaha Milik Swasta (BUMS), seperti PT. Sriwijaya Airlines, PT. Adam Airlines, dan PT. Lion Airlines. Jadi, pengangkut pada pengangkutan udara adalah Perusahaan Pengangkutan Udara 37
Hasnil Basri Siregar, Hukum Pengangkutan, Medan, Kelompok Studi Hukum Fakultas Hukum USU, 2002, hal. 44.
Universitas Sumatera Utara
yang mendapat izin operasi dari pemerintah menggunakan pesawat udara sipil dengan memungut bayaran. Perusahaan Pengangkutan Udara yang menyelenggarakan pengangkut udara sipil berjadwal dan tidak berjadwal memiliki izin usaha pengangkutan udara sipil. Izin usaha tersebut diberikan untuk jangka waktu selama perusahaan yang bersangkutan menjalankan kegiatan angkutan udara secara nyata dengan terus menerus mengoperasikan pesawat udara seperti yang ditentukan dalam pasal 112 UU No. 1 Tahun 2009. Izin usaha pengangkutan udara dapat dicabut apabila perusahaan pengangkutan udara melanggar ketentuan yang telah ditentukan Undang-Undang Penerbangan Indonesia sesuai dengan Pasal 119 ayat (2) dan (3) ataupun izin usaha pengangkutan udara tidak berlaku dengan sendirinya
jika
tidak
melakukan
kegiatan
angkutan
udara
dengan
mengoperasikan pesawat udara selama 12 bulan berturut-turut sesuai dengan Pasal 119 ayat (1). Perusahaan Pengangkutan Udara mengangkut penumpang atau barang setelah disepakati perjanjian pengangkutan dan dalam menyelenggarakan pengangkutan udara menggunakan pesawat udara sipil yang mempunyai tanda kebangsaan Indonesia. Perusahaan ini memberikan pelayanan yang layak kepada setiap penumpang atau pengirim barang pengangkutan udara. selain itu, perusahaan ini pun mengutamakan pengangkutan penumpang atau barang yang pemiliknya telah memenuhi kewajiban sesuai dengan perjanjian yang disepakati,
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan karcis penumpang atau dokumen pengangkutan barang yang dimilikinya. 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan telah menggunakan istilah “pengirim” untuk menyebut si pengguna jasa angkutan kargo. Hal ini dapat kita lihat pada mulai Pasal 155 sampai dengan Pasal 163. Jika kita perhatiakan pengirim menurut Undang-Undang Penerbangan Indonesia adalah mereka yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Berstatus pihak dalam perjanjian, baik sebagai pemilik barang, bertindak mewakili pemilik barang, maupun sebagai penjual; b. Membayar biaya pengangkutan; dan c. Pemegang dokumen pengangkutan barang Pengirim adalah pihak yang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan barang dan atas dasar itu berhak memperoleh pelayanan pengangkutan dari pengangkut. Pengirim dapat berstatus sebagai pemilik barang sendiri, dapat sebagai penjual dalam perjanjian jual beli atau ekspor impor yang berkewajiban menyerahkan barang melalui jasa pengangkutan, dapat berstatus sebagai perusahaan perseorangan atau perusahaan badan hukum atau bukan badan hukum, atau dapat juga berstatus sebagai orang pribadi, atau badan hukum nonprofit oriented misalnya Lembaga Swadaya Masyarakat.
38
Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2008, hal 70.
Universitas Sumatera Utara
Dalam perjanjian pengangkutan, penerima mungkin pengirim sendiri, mungkin juga pihak ketiga yang berkepentingan. Dalam hal penerima adalah pengirim, maka penerima adalahpihak dalam perjanjian pengangkutan. Dalam hal penerima adalah pihak ketiga yang berkepentingan, penerima bukan pihak dalam
perjanjian pengangkutan, melainkan sebagai pihak ketiga yang
berkepentinggan atas barang kiriman, tetapi tergolong juga sebagai subjek hukum pengangkutan. Kriteria penerima menurut perjanjian yaitu: a. Perusahaan atau perseorangan yang memperoleh hak dari pengirim; b. Dibuktikan dengan penguasaan dokumen pengangkutan; dan c. Membayar atau tanpa membayar biaya pengangkutan. 39
2. Dokumen-Dokumen dalam Angkutan Kargo Udara Dokumen yang digunakan dalam pengangkutan kargo udara dikenal dengan air waybill atau surat kargo udara yang harus berisi 18 elemen sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Konvensi Warsawa 1929. Dari 18 elemen itu yang terpenting adalah elemen a.s.d.i dan q. tetapi untuk penerapan Konvensi, dalam kasus Kraus v KLM, pengadilan menetapkan yang terpenting adalah Pasal 8 c karena itulah yang akan menentukan apakah suatu pengangkutan itu tunduk pada konvensi atau tidak.
39
Ibid, hal 77.
Universitas Sumatera Utara
Fungsi surat kargo udara adalah untuk dapat diterapkannya Konvensi. Hal ini merupakan kompromi dari dua kehendak yaitu kehendak pertama berpendapat bahwa untuk melindungi para pihak dalam pengangkutan harus dengan surat kargo udara; dan kehendak kedua berpendapat bahwa untuk melindungi kepentingan para pihak diserahkan kepada para pihak sendiri yaitu dengan cara pengirim membuat surat kargo dan ditandatangani oleh pengangkut. Maksud Konvensi menyerahkan pembuatan atau pengisisan surat kargo udara kepada pengirim agar terjamin akurasinya karena pengirim dianggap paling mengetahui tentang kargo yang dikirimnya. Oleh karena itu, ketidakakuratan surat kargo udara menjadi tanggung jawab pengirim. Dalam hal surat kargo udara dibuat oleh pengangkut atau agennya apabila terjadi kesalahan atau keterangan yang berbeda maka tanggung jawab pengangkut akan lebih besar karena segala keterangan dianggap benar. Surat kargo udara selain diakui sebagai prima facie adanya kontrak, penyerahan kargo, dan penerimaan persyaratan perjanjian, juga merupakan instruksi kepada pengangkut dimana dan kepada siapa kargo diserahkan dan siapa yang akan membayar. Dalam praktek surat kargo udara sudah distandarisasikan sehingga para pihak hampir tidak mungkin membicarakan persyaratan kontrak. Dengan demikian, kontrak itu menjadi kontrak baku (standart form contract). Namun, surat kargo udara bukan merupakan syarat mutlak adanya kontrak pengangkutan, hanya sebagai alat pembuktian adanya kontrak.
Universitas Sumatera Utara
Bagi pengangkut, menerbitkan surat kargo udara bukan merupakan kewajiban tetapi merupakan hak. Namun, secara sepintas hak ini mempunyai konsekuensi yang merugikan pengangkut dan bukannya merugikan pengirim. Oleh karena itu, penggunaan kata hak (right) Dalam ketentuan tersebut tidak tepat karena dengan penggunaan kata hak mengandung konsekuensi bahwa atribut hak adalah dapat menolak. Padalah, kalau pengangkut menolak menerima surat kargo udara yang dibuat pengirim ada kemungkinann terkena tanggung jawab tak terbatas (inlimited liability), atau mungkin terkena hukum nasional seperti dalam putusan Pengadilan Paris yang menerapkan hukum nasional dalam pengangkutan kargo udara tanpa surat kargo udara. Sebaiknya pengangkut baru dikenai sanksi seperti tersebut apabila menolak menandatangani surat kargo udara yang dibuat/ diisi pengirim. Banyaknya
surat
kargo
udara
cukup
satu
buah
walaupun
pengangkutannya sendiri dilakukan oleh beberapa pengangkut; dibuat rangkap 3 (tiga) asli, dan untuk rangkap nomor 4 (empat) ke atas harus memuat kata “kopi”. Apabila surat kargo udara hanya dibuat rangkap 1 (satu), hanya dipandang sebagai bukti permulaan dengan tulisan. Dalam kontrak pengangkutan, materi kontrak adalah penyerahan kargo dari pengirim kepada pengangkut atau agen pengangkut. Hal ini sesuai dengan persyaratan umum (general condition) IATA Pasal 6 ayat (3) yang menyatakan perjanjian mengikat segera setelah pengangkut menyetujui untuk mengangkut kargo dengan surat kargo udara ( the contract as soon as a carrier agrees to
Universitas Sumatera Utara
transport the good with air waybill) yang menimbulkan dugaan pengangkut sudah menandatangani surat kargo udara pada waktu kargo diserahkan. Ketentuan ini memungkinkan surat kargo udara sudah ditandatangani sedangkan kargo belum diserahkan kepada pengangkut. Oleh karena itu, penerapannya harus dikaitkan pula dengan asas konsensual consideration, dan equity dalam perjanjian pengangkutan udara. The Hague Protocol, 1955, mengadakan perubahan terhadap pasal 6 ayat 3 Konvensi Warsawa tersebut dengan menentukan: The carrier shall sign prior to the loading of the cargo on board the aircraft. Di sini ada tenggang waktu antar saat kargo diserahkan kepada pengangkut dan saat penandatanganan surat kargo udara. dalam keadaan demikian, apakah Konvensi Warsawa sudah berlaku terhadap pengangkut untuk mendapat perlindungan yaitu pembatasan tanggung jawab (limitation of liability) atau hukum nasional yang berlaku sehingga ada kemungkinan pengangkut bertanggungjawab tak terbatas. Persoalan tersebut bila dilihat dari ketentuan konvensi Warsawa akan berlaku hukum nasional karena akan dipandang pengangkut tanpa surat kargo udara. Tentang surat kargo ini, Protokol Montreal 1975 No. 4 membolehkan tidak menggunakan surat kargo udara dalam pengangkutan kargo udara karena boleh diganti dengan cara lain (Pasal 3). Apabila protocol sudah berlaku maka ketentuan Pasal 5 ayat (1) Konvensi Warsawa tidak berlaku lagi. Meskipun protokol tersebut belum berlaku, tetapi mengenai materi ini telah mulai dibicarakan. Penerapan Pasal 3 misalnya, ada pengusulan dengan menggunakan cara lain, yaitu, print out komputer bagi yang sudah mampu, dan
Universitas Sumatera Utara
bagi yang belum mampu tetap, menggunakan surat kargo udara; dalam satu waktu ada 2 sistem yaitu, sistem manual dan sistem otomat digital. Masalah yang dihadapi dalam hal ini adalah sikap suatu negara akan menerima data komputer sebagai suatu bukti. Hal ini akan sangat tergantung pada Hakim tempat perkara tuntutan disidangkan. Ada kecenderungan menggunakan proses yang lebih cepat yaitu dengan menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak, tetapi hal ini pun akan menghadapi kendala karena belum menjadi Hukum Internasional yang berlaku di semua negara. Dengan demikian, ada kemungkinan dalam waktu yang bersamaan berlaku dua sistem hukum yang berbeda sehingga maksuduntuk mempercepat proses ganti rugi akan menjadi kurang member kepastian. Kendala-kendala penggunaan alat bukti selain surat kargo udara akan lebih tampak karena masing-masing negara mempunyai ketentuan yang berbeda. Oleh karena itu, aturan Pasal 3 Protokol Montreal 1975 No. 4 tersebut supaya dapat dilaksanakan dengan efektif harus disertai aturan dasar yang mengakui pembuktian-pembuktian selain surat kargo udara yaitu bukti cetak baik dari Faksimili, maupun dari komputer. 40 Ada beberapa penulis yang menyatakan bahwa yang harus ada dalam surat kargo udara adalah 3 dari 4 unsur yang diharuskan oleh Pasal 8 huruf i Konvensi Warsawa yang terdiri dari yaitu the weight, the quantity, the volume or the dimension (berat, kuantitas, volume atau dimensi). Adapun yang menjadi alternatif dicantumkan yaitu antara kata kuantitas dengan dimensi. 40
Toto T. Suriaatmadja, op.cit., hal. 50-56
Universitas Sumatera Utara
Kepentingan mencantumkan dimensi atau kuantitas cukup salah satu karena hal ini sudah cukup menjamin bagi pemilik kargo. Apabila dikaitkan dengan cara menghitung ganti rugi, ukuran berat akan menjadi patokan. Jadi, pernyataan tentang kuantitas dan dimensiakan lebih mempunyai arti apabila pengiriman kargo mennggunakan klausul pernyataan khusus. Bagi suatu kargo berharga seperti permata, misalnya, maka dimensi yang akan lebih penting daripada berat untuk menentukan satuan harga. Namun, sebagai jaminan bagi pengangkut, maka beratlah yang paling dominan karena ganti rugi, di luar adanya pernyataan khusus, dalam Konvensi dihitung berdasarkan berat kargo. Mengenai fungsi SKU, menurut Konvensi Warsawa surat kargo udara bukan negotiable instrument, namun – seperti juga bill of lading dalam pengangkutan laut, sering dipertimbangkan sebagai dapat diperdagangkan. Pasal 15 ayat (2) konvensi meneentukan bahwa setiap klausul dalam surat kargo udara yang menyimpang dari ketentuan Pasal 12, 13, dan 14 harus ditulis dalam surat udara. Selain itu, Pasal 8 f Konvensi menentukan bahwa nama dan alamat penerima hanya dibutuhkan apabila dianggap perlu. Frase dalam pasal tersebut mengandung pengertian tidak ada dilarang untuk menerbitkan surat kargo udara yang berbentuk atas tunjuk (an order). Pendapat lain menyebutkan bahwa pasalpasal dalam Konvensi hanya memberikan pengaturan tetapi tidak membatasi untuk memberikan hak kepada pihak ketiga dengan diterbitkannya surat kargo udara yang dapat diperdagangkan, dan surat kargo udara dapat dibuat dalam
Universitas Sumatera Utara
bentuk atas tunjuk (an order), dan endorsee akan menjadi penerima yang ditunjuk dalam surat kargo udara. 41 Surat kargo udara dapat dipindahtangankan atau diperjualbelikan (negotiable) sehingga
memberikan beberapa keuntungan yaitu : Pertama,
apabila dilakukan penjualan kembali, pembeli dapat segera mendapatkan kargo; Kedua, bagi penjual dapat segera memperoleh pembayaran melalui bank, dan pembeli tidak perlu segera membayar sampai kargo sudah diterima olehnya; Ketiga, memungkinkan dilakukan transaksi selama kargo dalam perjalanan; dan Keempat, lebih menguntungkan dalam hal dilakukan pengangkutan campuran udara dan laut yang memakan waktu lama. Di samping itu, kenyataannya The Hague Protocol 1955 telah melakukan koreksi terhadap Pasal 15 Konvensi Warsawa tersebut yaitu pada Pasal IX atau Pasal 15 ayat (3) Konvensi yang menyatakan tidak ada halangan bagi pengeluaran surat kargo udara yang dapat diperdagangkan (nothing in this convention preverents the issue of a negotiable air waybill). Hal ini lebih dipertimbangkan dari segi kebutuhan bisnis masa kini, yaitu memungkinkan digunakan sebagai suatu dokumen untuk pengambilan kredit (document of credit)
atau mungkin juga dalam suatu perjalanan yang
membutuhkan waktu lama diperlukan surat kargo udara yang dapat diperdagangkan. Hal ini dapat dimengerti karena meskipun penggunaan pesawat udara untuk kargo lebih mempertimbangkan kepada kecepatan tetapi tidak berarti tidak memakan waktu. Kecepatan dalam pengiriman kargo melalui 41
Ibid, hal. 60.
Universitas Sumatera Utara
pesawat ini diartikan dengan lebih cepat daripada menggunakan moda angkutan lain. Bagaimanapun, bertentangan dengan hukum pengangkutan laut, surat kargo udara tidak mewakili kargo. Hanya sebagai suatu kontrak pengangkutan yang menguraikan penyerahan kargo kepada pengangkut. Surat kargo udara yang dapat diperdagangkan harus diartikan dapat mengalihkan hak milik. Dalam hukum Inggris pengakuan tentang negotiable diserahkan kepada masyarakat bisnis (business community). Di Inggris masyarakat bisnis tidak mengakui surat kargo yang dapat diperdagangkan. Perbedaan mendasar antara surat kargo udara dengan bill of lading adalah surat kargo udara tidak mewakili kargo. Artinya, surat kargo udara tidak dapat diperdagangkan/ diperjualbelikan atau dalam sistem hukum sipil (civil law system) berarti tidak mempunyai sifat kebendaan. Dengan demikian dapat diartikan tanpa mempermasalahkan ada atau tidaknya hak kebendaan yang melekat pada surat kargo udara, baik secara historis maupun secara sistematis serta fakta kebutuhan dan perkembangan yang ada dapat diterbitkan surat kargo udara yang dapat diperjualbelikan. Sekalipun munkin dalam praktek kurang disukai oleh pengangkut, tetapi tidak berarti hilangnya hak yang sudah diberikan oleh Konvensi. Selain itu, secara nyata surat kargo udara dapat menjadi alat untuk meminta penyerahan kepada pengangkut tentang kargo yang tercantum dalam surat kargo yang bersangkutan. Dengan demikian, secara tidak dimaksudkan, surat kargo sesungguhnya telah mewakili kargo yang tertera di dalamnya atau
Universitas Sumatera Utara
dengan kata lain secara otomatis suatu surat kargo udara mempunyai hak kebendaan. 42 3. Perkembangan Angkutan Kargo melalui Pengangkutan Udara Dalam pengangkutan kargo, perkembangan pengguna jasa angkutan udara terus meningkat seiring lajunya perkembangan di bidang perdagangan. Untuk pengangkutan kargo dalam negeri , dari kapasitas yang tersedia termanfaatkan 507.894.000 ton km untuk tahun 1988/1989 menjadi 668.492.000 ton km pada tahun 1992/1993; dan untuk pengangkutan kargo luar negeri termanfaatkan 1.224.623.000 ton km menjadi 1.555.034.000 ton km pada tahun 1992/1993, sedangkan sampai dengan tahun 1996/1997 untuk dalam negeri menjadi 984.874.000 ton km, dan untuk luar negeri menjadi 1.956.203.000 ton km. Perkembangan
pengangkutan
kargo
tidak
sepesat
pengangkutan
penumpang karena memang pada mulanya pesawat udara hanya digunakan untuk mengangkut penumpang. Akan tetapi, keadaan tersebut tidak menghalangi para perekayasa pesawat udara untuk tetap mengembangkan pesawat-pesawat yang mampu mengangkut kargo sesuai dengan kecenderungan yang terjadi yaitu dengan penggunaan kontainer-kontainer standar.
Dengan kemajuan teknologi n kemampuan merekayasa pesawat-pesawat yang digunakan untuk mengangkut kargo tersebut, pada kenyataannya, telah tampak peningkatan yang cukup signifikan. Realisasi kinerja kargo udara pada 42
Ibid, hal. 61-62.
Universitas Sumatera Utara
rute domestik dan internasional sepanjang Januari-November 2010 mencatat pertumbuhan rata-rata sebesar 4,18% perbulan.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, pertumbuhan kargo udara domestik diketahui mencapai kisaran rata-rata 4,9% tiap bulannya, sementara untuk kargo udara internasional sebesar 3,48%. Menurut data dari Ditjen Perhubungan Udara, total volume kargo yang diangkut melalui angkutan udara berjadwal pada Januari-November 2010 sebesar 792.602 ton untuk penerbangan domestik, sementara untuk penerbangan luar negeri total volume kargo mencapai 72.174 ton. 43
Gambaran yang cukup memuaskan mengenai peningkatan jumlah angkutan kargo melalui pengangkutan udara tersebut menambah optimisme pemerintah Indonesia akan pengaruh peningkatan dunia pengangkutan ini terhadap pertumbuhan ekonomi bangsa.
43
http://bataviase.co.id/node/506345.
Universitas Sumatera Utara