BAB II PERJANJIAN PENGANGKUTAN DALAM ANGKUTAN UDARA MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN
A. Perjanjian Pengangkutan. Hukum terbagi menjadi 2 bagian yaitu hukum yang bersifat publik dan hukum yang bersifat privat/pribadi. Hukum yang bersifat publik diartikan sebagai hukum yang mengatur antara orang dengan pemerintah yang bersifat umum (hukum pidana) sedangkan hukum yang bersifat perdata diartikan sebagai hukum yang mengatur antara orang dengan orang atau badan hukum
yang bersifat
pribadi/privat (hukum perdata) . Perikatan merupakan salah satu bagian dari hukum perdata yang mengatur hubungan antara orang dengan orang/badan hukum. Sesuai dengan penggunaan sistem terbuka, maka pasal 1233 KUHPerdata menentukan bahwa perikatan dapat timbul baik karena perjanjian maupun karena undang-undang. Pengertian perjanjian dirumuskan dalam pasal 1313 KUHperdata yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya. ketentuan pasal ini kurang tepat karena ada beberapa kelemahan yang perlu dikoreksi. Kelemahan – kelemahan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Hanya menyangkut sepihak saja. hal ini dapat diketahui dari rumusan kata kerja “mengikatkan diri”, sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu ialah “saling mengikatkan diri”, jadi ada consensus antara dua pihak.
Universitas Sumatera Utara
2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan penyelenggaraan kepentingan (zaakwarneming) yang tidak melawan hukum (onrechtmatige daad) yang tidak
mengandung
suatu
konsensus.
Seharusnya
dipakai
istilah
“persetujuan”. 3. Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian mencakup juga perjanjian kawin yang diatur dalam bidang hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur mengenai harta kekayaan. Perjanjian yang diatur dalam buku III KUHPerdata sebenarnya hanya meliputi perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan bersifat kepribadian (personal). 4. Tanpa menyebut tujuan. Dalam rumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak – pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.8 Berdasarkan alasan-alasan di atas ini maka definisi perjanjian dapat dirumuskan sebagai berikut: “ Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan” 9
Sedangkan kata pengangkutan berasal dari kata “angkut” yang diartinya bawa atau muat dan kirimkan. Jadi pengangkutan diartikan sebagai pengangkutan dan pembawaan barang atau orang, pemuatan dan pengiriman barang atau orang, 8
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia.PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal 224. 9 Ibid, hal 225.
Universitas Sumatera Utara
barang atau orang yang diangkut dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan selamat, walaupun demikian diperlukan suatu alat sebagai sarana pengangkut. Menurut Poerwosutjipto mengatakan bahwa: “Pengangkutan adalah perjanjian timbal – balik antara pengangkut dengan
pengirim
dimana
pengangkut
mengikatkan
diri
untuk
menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari satu tempat ke tempat tertentu dengan selamat,sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan” 10
Menurut Sutiono Usman Adji, bahwa pengangkutan adalah: “Sebuah perjanjian timbal balik, dimana pihak pengakutan mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang atau orang dari tempat tujuan tertentu dengan selamat tanpa berkurang jumlah dari barang yang dikirimkan, sedangkan pihak lainnya (pengirim atau penerima) berkeharusan memberikan pembayaran biaya tertentu untuk pengangkutan tersebut” 11
Sedangkan menurut Soekardono, bahwa perjanjian pengangkutan itu adalah: “Sebuah perjanjian timbal balik, dimana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan ke tempat tujuan tertentu sedangkan pihak lain berkewajiban untuk membayar biaya tertentu pekerjaan pengangkutan itu” 12
10
HMN Poerwosutjipto. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 3 Hukum Pengangkutan. Djambatan. Jakarta. 1991. hal.3. 11 Sutiono Usman Adji, dkk, Hukum Pengangkutan di Indonesia, Rineka Citra, Bandung, 1990, hal.6. 12 Soerkardono, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Soereong, Jakarta, 1981, hal.2.
Universitas Sumatera Utara
Tentang pengertian pengangkutan sendiri tidak ada diatur di dalam B.W ataupun di dalam Kitab Undang – Undang Hukum Dagang (KUHD). Jadi dapat disimpulkan bahwa, Perjanjian pengangkutan ialah suatu perjanjian dimana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau barang dari satu kelain tempat, sedangkan pihak yang lainnya menyanggupi akan membayar ongkosnya. 13 Perjanjian pengangkutan sendiri terbagi menjadi 3 sesuai dengan jenis pengangkutan yaitu perjanjian pengangkutan darat, perjanjian pengangkutan laut dan perjanjian pengangkutan udara. Menurut pasal 466 KUHD menyatakan tentang pengangkutan laut yaitu setiap orang yang berjanji untuk menyelenggarakan pengangkutan barang semua atau sebagian secara Time Charter atau Voyage Charter atau persetujuan lain. Sedangkan dalam Ordonansi Pengangkutan udara atau biasa dikenal OPU (Luchvervoer Ordonantie Staatsblat staatsblat 1939 No. 100) dinyatakan bila pengangkut udara tersebut adalah pihak yang mengikat perjanjian angkutan udara dengan pihak penumpang atau pengirim kargo dinamakan contracting carrier, maka ia akan berada di bawah ketentuan-ketentuan sistem tanggung jawab pengangkut udara sebagaimana ditetapkan dalam ordonansi Angkutan Udara tahun 1939 (Staatsblad 1939 No. 100). OPU sendiri dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 sedangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 menyatakan Undang-Undang tersebut sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
13
R.Subekti. Aneka Perjanjian.PT. Citra Aditya Bakti. Bandung 1995. hal 69.
Universitas Sumatera Utara
Menurut pasal 1 ayat 29 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, perjanjian pengangkutan udara adalah perjanjian antara pengangkut dan pihak penumpang dan/atau pengirim kargo untuk mengangkut penumpang dan/atau kargo dengan pesawat udara, dengan imbalan bayaran atau dalam bentuk imbalan jasa yang lain. Berbeda dengan angkutan udara, menurut Pasal 1 ayat 13 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, angkutan udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara. Jadi, dapat disimpulkan bahwa Pengangkutan Udara dengan Angkutan Udara merupakan suatu hal yang berbeda. Dari uraian tentang pengertian perjanjian pengangkutan yang diambil dari para sarjana dan Undang – Undang terdapat perbedaan antara perjanjian pengangkutan
orang
dengan
perjanjian
pengangkutan
barang.
Dimana
perbedaannya perjanjian pengangkutan orang tidak mempunyai tanggung jawab dalam hal penyerahan setelah sampai ke tempat tujuan setelah mengangkut dengan selamat, tidak seperti yang terdapat dalam perjanjian pengangkutan barang dengan penyelenggaraan pengangkutan sampai dengan pada saat penyerahan barang tersebut diterima dengan baik oleh si penerima barang. Agar memahami konsep pengangkutan secara komprehensif perlu dikaji terlebih dahulu aspek yang tersirat dalam konsep pengangkutan. Konsep pengangkutan meliputi tiga aspek, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1) Pengangkutan sebagai usaha (business). 2) Pengangkutan sebagai perjanjian (agreement). 3) Pengangkutan sebagai proses penerapan (applying process). 14 Ketiga aspek pengangkutan tersebut menyatakan kegiatan yang berakhir dengan pencapaian tujuan pengangkutan. Kata yang paling tepat untuk menyatakan ketiga aspek kegiatan dan hasilnya itu adalah “Pengangkutan“. Karena sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, bukan “angkutan”. Istilah angkutan sendiri artinya hasil dari perbuatan mengangkut atau menyatakan apa yang diangkut (muatan). Jika dipakai dengan istilah hukum yang tepat adalah “hukum pengangkutan” (transportation law) bukan “Hukum Angkutan”. Menurut Pasal 33 Konvensi Warsawa 1929, perusahaan penerbangan maupun penumpang dan/atau pengirim barang bebas membuat perjanjian transportasi udara internasional asalkan perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan – ketentuan yang diatur dalam konvensi Warsawa 1929, sedangkan berlakunya konvensi Warsawa 1929 diatur dalam Pasal 34. 15 B. Subyek & Objek Perjanjian Dalam Pengangkutan Udara. Perjanjian pengakutan udara merupakan perjanjian timbal balik dan sepihak yang merupakan salah satu dari jenis – jenis perjanjian yang mewajibkan kedua belah pihak melakukan prestasi secara timbal balik. Di dalam sebuah perjanjian terdapat subjek dan objek perjanjian begitu juga di dalam pengangkutan udara. 14
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, Cipta Aditya Bakti, Bandung: 2008, hal 1 15 K. Martono, Amad sudiro, Hukum Angkutan Udara.PT. Rajagrafindo Persada. Jakarta. 2011, hal 256.
Universitas Sumatera Utara
Subjek hukum pengangkutan merupakan badan atau orang yang dikenakan hak dan kewajiban. Subjek hukum pengangkutan antara lain adalah: 1) Pihak yang secara langsung terikat dalam perjanjian yaitu mereka yang secara langsung terikat memenuhi kewajiban dan memperoleh hak dalam perjanjian pengangkutan. Mereka adalah pengangkut, penumpang, pengirim barang, dan adakalanya penerima dimasukkan. 2) Pihak yang tidak secara langsung terikat dengan perjanjian yaitu mereka yang secara tidak langsung terikat pada perjanjian pengangkutan karena bukan termasuk pihak dalam perjanjian pengangkutan, melainkan bertindak untuk atas nama, kepentingan pihak lain atau karena sesuatu alasan mereka memperoleh hak dalam perjanjian pengangkutan. 16 Ad 1. Pengangkut Pengangkutan adalah berasal dari kata “angkut” yang berarti mengangkut dan membawa, sedangkan istilah pengangkutan dapat diartikan sebagai pembawa barang-barang
atau
orang-orang
(penumpang). 17
HMN
Purwosutjipto
mendefinisikan, pengangkutan adalah perjanjian timbale balik antara pengangkut sebagai pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat.18 Dalam Kitab Undang – Undang Hukum Dagang (KUHD) tidak ada definisi pengangkutan secara umum, kecuali dalam pengangkutan laut. Tetapi 16
Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, Op.cit, hal. 32. W.J.S.Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Departemen P dan K, Balai Pustaka, Jakarta, 1976, Hal. 97 18 HMN. Purwosucipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 3, hukum pengangkutan, Djambatan, Jakarta, 1991, hal.2 17
Universitas Sumatera Utara
dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan, pengangkut adalah pihak yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau penumpang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat. Singkatnya, pengangkut adalah pihak yang penyelenggara pengangkutan. Pengangkut yang tidak memiliki perusahaan pengangkuan, tetapi menyelenggarakan pengangkutan, hanya menjalankan pekerjaan pengangkutan. Sedangkan, menurut pasal 1 ayat 26 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Pengangkut adalah badan usaha angkutan udara niaga, pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga berdasarkan ketentuan Undang – Undang ini, dan/atau badan usaha selain badan usaha angkutan udara niaga yang membuat kontrak perjanjian angkutan udara niaga. Angkutan udara terdiri atas angkutan udara niaga berjadwal (scheduled airlines) dengan angkutan udara tidak berjadwal (non-scheduled airlines) baik domestik maupun internasional. Dalam Undang – Undang Republik Indonesia No 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan tidak terdapat pengertian angkutan udara niaga berjadwal (scheduled airlines), namun demikian dapat meminjam pengertian yang terdapat dalam di dalam keputusan Menteri Perhubungan Nomor SK 13/S/1971. 19 Menurut keputusan tersebut angkutan udara berjadwal (schedule airlines) adalah penerbangan yang berencana menurut suatu jadwal perjalan pesawat udara yang tetap dan teratur melalui ruta – rute yang telah ditetapkan, sedangkan 19
Keputusan Menteri Perhubungan Nomor SK 13/s/1971 tentang Syarat – Syarat dan Ketentuan – ketentuan Mengenai Penggunaan Pesawat Terbang Secara Kormersil di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
angkutan udara niaga tidaak berjadwal adalah penerbangan dengan pesawat udara secara tidak terencana. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, angkutan udara niaga berjadwal diatur dalam pasal 85. Menurut pasal tersebut angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri (domestic scheduled airlines) hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah mendapatkan izin usaha angkutan udara niaga berjadwal (scheduled airlines), namun demikian, atas inisiatif – inisiatif pemerintah dan/atau atas permintaan badan usaha angkutan udara niaga nasional yang bersangkutan, dalam keadaan tidak terpenuhi atau tidak terlayaninya permintaan jasa angkutan udara oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal pada rute udara niaga tidak berjadwal (non-scheduled airlines) setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri Perhubungan, asalkan kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal (nonscheduled airlines) yang dilaksanakan oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal (scheduled airlines) tersebut tidak menyebabkan terganggunya pelayanan pada rute yang menjadi tanggung jawabnya dan pada rute yang masih dilayani oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal lainnya. Ad 2. Pengirim (Consinger,Shipper) Sama halnya dengan pengangkut, pengirim adalah pihak dalam perjanjian pengangkutan. Dalam KUHD juga tidak diatur defenisi pengirim secara umum. Tetatpi dilihat dari pihak perjanjian pengangkutan, pengirim adalah pihak yang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan. Pengirim dalam bahasa
Universitas Sumatera Utara
Inggris disebut “consigner”, tetapi khususnya untuk pengangkutan laut disebut “shipper”. Pengirim adalah pemilik barang atau penjual (eksportir), atau majikan penumpang dalam perjanjian pengangkutan serombongan penumpang (tenaga kerja, olah raga). Pemilik barang dapat berupa manusia pribadi , atau perusahaan perseroan atau perusahaan persekutuan badan hukum, dan bukan badan hukum atau perusahaan umum (perum). Sedangkan penjual (eksportir) selalu berupa perusahaan persekutuan badan hukum atau bukan badan hukum. Majikan penumpang adalah kepala rombongan atau ketua organisasi tertentu. Ad 3. Penumpang (passanger). Penumpang pengangkut. 20
adalah orang
Pihak
pengangkut
yang
mengikatkan diri kepada pihak
adalah
pihak-pihak
yang
melakukan
pengangkutan terhadap barang dan penumpang (orang) yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan baik dengan cara Carter menurut waktu perjalanan. 21 Penumpang adalah pihak dalam perjanjian pengangkutan penumpang. Penumpang mempunyai dua kedudukan, yaitu sebagai subjek karena ia adalah pihak dalam perjanjian, sebagai objek karena ia adalah muatan yang diangkut. Sebagai pihak dalam perjanjian pengangkutan, penumpang harus sudah dewasa atau mampu melakukan perubahan hukum atau mampu membuat perjanjian (Pasal 1320 KUHPerdata)
20
Sinta Uli, Pengangkutan Suatu Tinjauan Hukum Multimoda Transport, Angkutan Laut, Angkutan Udara, USU Press, Medan, 2006, Hal 20 21 Hasim Purba, Hukum Pengangkutan di Laut, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2005, hal 135
Universitas Sumatera Utara
Kenyataan menunjukan bahwa anak – anak dapat membuat perjanjian pengangkutan menurut kebiasaan yang berlaku didalam masyrakat ialah fungsi dan tujuan pengangkutan. Anak – anak sekolah naik taksi atau bus ke kota untuk mencapai tujuan yaitu tiba dengan selamat di sekolah atau di rumah masing – masing. Apakah kebiasaan ini dapat diartikan menyingkirkan Pasal 1320 KUHPerdata. . Dalam Undang – Undang Republik Indonesia No 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan tidak terdapat pengertian penumpang namun menurut Undang – Undang No 22 tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Menurut Pasal 1 ayat 25, Penumpang adalah orang yang berada di dalam kendaraan selain pengemudi dan awak kendaraan. Objek hukum adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mencapai tujuan hukum. Yang diartikan “objek hukum” pengangkutan adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mencapai tujuan hukum pengangkutan. Tujuan hukum pengangkutan adalah terpenuhinya kewajiban dan hak pihak – pihak dalam pengangkutan, maka yang menjadi objek hukum pengangkutan adalah: 22 1) Muatan barang. 2) Muatan penumpang. 3) Alat pengangkutan. 4) Biaya pengangkutan. Ad 1. Muatan Barang.
22
AbdulKadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Darat, Laut dan Udara. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 1994. hal 61
Universitas Sumatera Utara
Muatan Barang yang diangkut oleh pesawat udara udara disebut kargo. Menurut Undang – Undang No 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan Pasal 1 Ayat 23, Kargo adalah setiap barang yang diangkut oleh pesawat udara termasuk hewan dan tumbuhan selain pos, barang kebutuhan pesawat selama penerbangan, barang bawaan atau barang tidak bertuan. Barang – barang yang dibawa oleh penumpang dalam perjanjian yang dikenal secara luas ada 2 jenis yaitu: a. Barang bawaan, ialah barang – barang kecil, yang dapat dibawa oleh penumpang dalam tempat duduknya, misalnya Kopper tangan. Adanya barang – barang ini tidak perlu dilaporkan kepada pengangkut dan terhadap barang – barang ini tidak dipungut biaya. b. Barang – barang bagasi ialah barang – barang yang dilaporkan kepada pengangkut dan untuk ini penumpang mendapat tiket bagasi. sampai berat tertentu penumpang dapat melaporkan barang bagasi tanpa biaya. Definisi otentik mengenai bagasi tersebut dalam pasal 6 ayat 2 OPU yang berbunyi : “Bagasi adalah semua barang kepunyaan atau di bawah kekuasaan seorang penumpang yang atas namanya sebelum ia penumpang pesawat terbang diminta untuk diangkut melalui udara”. 23 Undang – Undang No. 15 Tahun 1992 belum mengatur angkutan barang khusus dan berbahaya, sedangkan dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, angkutan barang khusus dan berbahaya diatur dalam Pasal 23
Sution Usman Adji, dkk. Hukum Pengangkutan di Indonesia. Rineka Cipta. Jakarta: 1990. hal 59
Universitas Sumatera Utara
136 sampai dengan Pasal 139. Barang khusus tersebut dapat berupa barang yang khusus karena sifat, jenis, dan ukurannya memerlukan penanganan khusus, sedangkan barang berbahaya dapat berbentuk cair , bahan padat atau bahan gas yang dapat membahayakan kesehatan, keselamatan jiwa, dan harta benda, serta keselamatan dan keamanan penerbangan. 24 Barang berbahaya dapat diklasifikasikan bahan peledak (explosive), gas yang dimampatkan, dicairkan, atau dilarutkan dengan tekanan (compressed gases, liquefied or dissolved under pressured), cairan mudah menyala atau terbakar (flammable solids), bahan atau barang pengoksidasi (oxidizing substance), bahan atau barang beracun dan mudah menular (toxic and infectious substances), bahan atau barang radio aktif (radioactive material), bahan atau barang perusak (corrosive substances), cairan, aerosol, jelly (liquids, aerosols, and gels) dalam jumlah tertentu atau bahan atau zat berbahaya lainnya (miscellaneous dangerous substances). 25 Semua calon penumpang pesawat udara, kargo udara (air cargo), bagasi tercatat (check baggage), bagasi kabin (cabin baggage) harus melalui pemeriksaan oleh pihak keamanan bandar udara. Barang – barang bawaan calon penumpang pesawat udara harus diperiksa melalui mesin pemindai (x-ray machine) untuk memastikan bahwa bagasi tercatat, bagasi kabin, serta barang bawaan mereka aman tidak berisi bahan dan/atau barang berbahaya seperti senjata api atau barang – barang yang dikategorikan ke dalam barang berbahaya, namun demikian bilamana senjata api maupun senjata tajam tersebut diperlukan dan 24
E.Suherman, Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum Udara Indonesia”, N.V.Eresco I,Bandung 1962. hal 74. 25 Ibid. hal 75.
Universitas Sumatera Utara
harus dibawa di dalam penerbangan dapat diizinkan dan diperlakukan sebagai security item dengan prosedur dan pengawasan yang ketat. 26 Ad 2. Muatan Penumpang Muatan penumpang lazim disebut penumpang saja. Sama halnya dengan barang, penumpang juga tidak ada definisinya dalam undang – undang. tetapi dilihat dari perjanjian pengangkutan selaku objek perjanjian, penumpang adalah setiap orang yang berbeda dalam alat pengangkutan yang memiliki tiket penumpang, yang diangkut dari satu tempat ke tempat tujuan. Setiap penumpang yang diangkut memperoleh pelayanan yang wajar dari pengangkut, bergantung dari jenis pengangkutan, jarak pengangkutan, jumlah biaya pengangkutan. Pelayanan terutama terdiri Makanan, Minuman serta perawatan kesehatan ringan selama perjalanan. Selain itu, juga hiburan dan bacaan dalam perjalanan. Pelayanan yang lebih baik terdapat pada pengangkutan udara dan pengangkutan laut. penumpang dengan kapal laut khusus, seperti kapal kambuna. Ad 3. Alat Pengangkutan. Sebagai pengusaha pengangkutan, pengangkut memiliki alat pengangkutan sendiri atau menggunakan alat pengangkutan orang lain dengan perjanjian sewa. Alat pengangkutan darat adalah kenderaan bermotor yang dijalankan oleh pengemudi (sopir). Alat pengangkutan jalan rel adalah kereta api yang dijalankan oleh masinis. Alat pengangkutan laut adalah kapal laut niaga yang dijalankan oleh nakhoda. Alat pengangkutan udara adalah peswat udar a yang dijalankan oleh 26
K. Martono, dkk. Transportasi`Bahan dan/atau Barang Berbahaya Dengan Pesawat Udara. Rajagrafindo persada. Jakarta: 2011. hal 5.
Universitas Sumatera Utara
pilot. Sopir, masinis, nakhoda, pilot bukan pengangkut melainkan sebagai buruh pengangkut yang dikuasai oleh hubungan hukum peburuhan Bab VII-A KUHPerdata. Semua alat pengangkutan harus memenuhi syarat yang ditetapkan oleh undang – undang. Ad 4. Biaya Pengangkutan Dalam KUHD tidak diatur secara umum mengenai biaya pengangkutan. Tetapi dilihat dari perjanjian pengangkutan, biaya pengangkutan adalah kontra prestasi terhadap penyelenggaraan pengangkutan yang dibayar oleh pengirim atau penerima atau penumpang kepada pengangkut. Dalam pengangkutan barang, biaya pengangkutan dapat dibayar lebih dahulu oleh pengirim atau dibayar kemudian oleh penerima. Pasal 533-j KUHD menentukan bahwa biaya pemeliharaan penumpang selama pengangkutan termasuk dalam biaya pengangkutan. Dengan demikian, Biaya pengangkutan terdiri dari 2 unsur yaitu, pertama kontra prestasi penyelenggara pengangkutan, kedua biaya pemeliharaan yang meliputi makan dan minum selama pengangkutan. Menurut Pasal 533-I KUHD biaya pengangkutan penumpang harus dibayar lebih dahulu. Perhitungan jumlah biaya pengangkutan ditentukan juga oleh beberapa hal berikut ini: 1. Jenis pengangkutan yaitu pengangkutan darat, laut dan udara. Tiap pengangkutan mempunyai biaya pengangkutan yang tidak sama.
Universitas Sumatera Utara
2. Jenis alat pengangkutan yaitu bus, kereta api, kapal laut, pesawat udara. Tiap jenis alat pengangkutan mempunyai pelayanan dan kenikmatan yang berbeda sehingga berbeda pula tariff yang ditetapkan. 3. Jarak pengangkutan yaitu jarak jauh atau jarak dekat. Jarak jauh memakan biaya pengangkutan lebih banyak dibandingkan jarak dekat. 4. Waktu pengangkutan yaitu cepat atau lambat. Pengangkutan yang cepat (ekspress kilat) lebih besar biayanya dibandingkan dengan pengangkutan biasa (lansam). 5. Sifat muatan yaitu berbahaya, mudah rusak, mudah busuk, mudah pecah. Sifat ini mempunyai kemungkinan timbul kerugian yang lebih besar jika dibandingkan dengan muatan yang mempunyai sifat tidak berbahaya. 27 C. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Pengangkutan udara. Subjek hukum merupakan orang atau badan yang dikenakan hak dan kewajiban. Seperti yang telah diketahui subjek hukum pengangkutan adalah pihak yang secara langsung terikat dalam perjanjian dan pihak yang tidak secara langsung terikat di dalam perjanjian Kewajiban Pengangkut adalah mengangkut barang dengan selamat atau mengantarkan penumpang dengan selamat sampai ke tempat tujuan. sedangkan hak pengangkut adalah mendapatkan upah atau ongkos dari penumpang atau pengirim barang. Kewajiban penumpang adalah membayar upah atau ongkos kirim kepada pengangkut sedangkan haknya diangkut dari satu tempat ke tempat tertentu 27
Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Darat, Laut Dan Udara, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hal 69.
Universitas Sumatera Utara
dengan selamat. Manfaat terjadinya pengangkutan ini yaitu meningkatkan nilai dan daya guna dari orang atau barang yang diangkut. Pasal 140 Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 diatur kewajiban badan usaha angkutan udara niaga untuk mengangkut penumpang. menurut pasal tersebut badan usaha angkutan udara niaga wajib mengangkut orang dan/atau kargo, dan pos setelah disepakatinya perjanjian angkutan, disamping itu badan usaha angkutan udara niaga wajib memberikan pelayanan yang layak terhadap setiap pengguna jasa angkutan udara sesuai dengan perjanjian angkutan udara yang disepakati. Perjanjian angkutan tersebut dibuktikan dengan tiket penumpang dan dokumen muatan. Dalam penjelasannya kewajiban angkut badan usaha angkutan udara niaga tidak membedakan perlakuan terhadap pengguna jasa angkutan sepanjang yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan perjanjian angkutan yang disepakati. 28 Penyandang cacat dan orang sakit berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan khusus agar mereka dapat menikmati pelayanan angkutan udara dengan baik dalam pelayanan jasa angkutan udara. Yang tergolong orang cacat dalam ketentuan tersebut misalnya penumpang yang menggunakan kursi roda karena lumpuh, cacat kaki, tuna netra, dan sebagainya sedangkan pengertian orang sakit dalam ketentuan ini adalah orang yang menderita penyakit menular sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku. 29
28
E.Suherman, Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum Udara Indonesia”, N.V.Eresco I,Bandung 1962. hal 68. 29 Ibid. hal 72.
Universitas Sumatera Utara
Tarif adalah harga atau pungutan yang harus dibayar untuk pengangkutan penumpang, bagasi atau kargo termasuk biaya agen, komisi dan biaya – biaya lainnya. 30Bagi perusahaan penerbangan tarif merupakan kewajiban yang harus dibayarkan oleh penumpang sehingga penumpang mendapatkan haknya untuk diangkut ke tempat tujuan oleh pengangkut. Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, Tarif angkutan udara niaga berjadwal (scheduled airlines) dalam negeri diatur dalam pasal 126 sampai dengan pasal 130. Menurut Pasal 126 ayat 1 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, tarif angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri terdiri atas tarif angkutan penumpang dan tarif angkutan kargo selanjutnya ayat 2 menyatakan tarif angkutan penumpang terdiri atas golongan tarif pelayanan ekonomi dan nonekonomi. Sebagaimana disebutkan diatas kebijakan pemerintah sesuai dengan Undang – Undang No 1 Tahun 2009 Tentang Penerbang, tarif penumpang angkutan adalah neo-liberal, yang merupakan gabungan konsep sosialis dengan konsep liberal, karena itu pemerintah campur tangan terhadap tarif khususnya tarif penumpang angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri kelas ekonomi, sedangkan tarif kelas nonekonomi diserahkan kepada hukum pasar (supply demand) tanpa campur tangan pemerintah. 31 Tarif jasa maksimum menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 pada rute tertentu dalam negeri atas pelayanan angkutan penumpang tertentu dalam negeri atas pelayanan angkutan penumpang kelas ekonomi ditetapkan setelah berkonsultasi dengan asosiasi perusahaan penerbangan nasional dengan 30
K. Martono, Amad sudiro, Hukum Angkutan Udara. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011. hal 24 31 Ibid. hal 27.
Universitas Sumatera Utara
mempertimbangkan masukan dari asosiasi pengguna jasa penerbangan dihitung berdasarkan komponen tarif jarak, pajak, iuran wajib asuransi, biaya tuslah/surcharge. 32 Menurut Pasal 130 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, mengenai tarif angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri kelas ekonomi serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan peraturan menteri perhubungan. Menurut peraturan Menteri Perhubungan Nomor 26 tahun 2010, badan usaha angkutan udara niaga berjadwal wajib menetapkan besaran tarif normal, namun demikian besaran tarif tersebut tidak boleh melebihi batas atas yang ditetapkan oleh Menteri Perhubungan. Tarif pelayanan penumpang angkutan nonekonomi angkutan udara niaga berjadwal (scheduled airlines) dalam negeri dan angkutan kargo berjadwal dalam negeri mengacu pada konsep liberal, karena itu pemerintah hanya menentukan prosentasi kapasitas tempat duduk kelas nonekonomi, sedangkan besaran tarif ditentukan oleh perusahaan angkutan udara niaga yang bersangkutan berdasarkan mekanisme pasar (supply and demand). 33 D. Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Angkutan Udara. Masalah yang penting pada penerbangan dan angkutan udara adalah tanggung jawab pengangkut atau operator pesawat udara untuk kerugian – kerugian yang ditimbulakannya pada pemakai jasa angkutan udara dan pihak
32 33
Ibid, hal 28. Ibid, hal 31.
Universitas Sumatera Utara
ketiga, yang mungkin menderita kerugian sebab akibat dari kegiatan penerbangan dan angkutan udara tersebut. Tanggung jawab berarti kewajiban untuk mengganti kerugian karena suatu tindakan seorang (pasal 1365 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata). Menetapkan bahwa
“barang siapa menimbulkan kerugian kepada pihak lain
karena perbuatan melawan hukum, wajib menggantikan kerugian tersebut”, sedangkan dalam hukum adat terdapat suatu azas bahwa “tiap – tiap gangguan ari keseimbangan, tiap – tiap gangguan benda – benda lahiriah dan rohaniah untuk seseorang akan menimbulkan reaksi untuk mengembalikan keseimbangan tadi, dengan perkataan lain suatu perbuatan yang merugikan orang lain, memberi hak kepada pihak yang dirugikan untuk minta dihilangkan kerugian itu, agar keseimbangan kembali. 34 Dalam hukum udara internasional masalah tanggung jawab telah lama menjadi perhatian, karena dalam kenyataan konvensi internasional kedua yang penting setelah konvensi Paris 1919 yang mengatur aspek pengaturan penerbangan internasional setelah perang dunia I adalah Konvensi Warsawa 1929 yang mengatur masalah tanggung jawab pengangkut dan dokumen angkutan pada penerbangan internasional, dan disusul dalamtahun 1933 oleh konvensi roma yang mengatur tanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan pada pihak ketiga di permukaan bumi. perjanjian Roma ini digantikan oleh Konvensi Roma tahun 1952.
34
Suwardi, Penulisan Karya Ilmiah Tentang Penentuan Tanggung Jawab Pengangkut Yang Terikat Dalam Kerjasama Pengangkutan Udara Internasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta; 1991, hal 39.
Universitas Sumatera Utara
Dari Konvensi Warsawa 1929 dan konvensi – konvensi lain mengenai tanggung jawab dapat kita simpulkan adanya prinsip – prinsip tanggung jawab sebagai berikut: a. Prinsip “presumption of liability” b. Prinsip “presumption of non liability” c. Prinsip “absolute liability” atau “strict liability” d. Prinsip “limitation of liability” 35 Ad 1. Prinsip “presumption of liability” Prinsip “presumption of liability” oleh beberapa penulis disebut juga “presumption of fault” atau “presumption of negligence”. Berdasarkan Prinsip ini maka pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab untuk kerugian – kerugian yang ditimbulkan pada penumpang, barang atau bagasi (tercatat) yang diangkutnya. Dalam keadaan biasa pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab tanpa perlu diperhatikan apakah ada alasan hukum untuk tanggung jawab tersebut, misalnya apakah ada suatu tindkan melawan hukum atau apakah ada suatu kesalahan dalam bentuk apapun. 36 Menurut konsep tanggung jawab hukum praduga bersalah (presumption of liability concept), perusahaan penerbangan dianggap (presumed) bersalah, sehingga perusahaan penerbangan demi hukum harus membayar ganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang tanpa dibuktikan
35
E.Suherman, Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum Udara Indonesia”, N.V.Eresco I,Bandung.1962. hal 43. 36 Suwardi. Opcit. hal 41.
Universitas Sumatera Utara
kesalahan lebih dahulu, kecuali perusahaan penerbangan membuktikan tidak bersalah 37 yang dikenal sebagai beban pembuktian terbalik. 38 Ad 2. Prinsip “presumption of non-liability” Prinsip ini hanya berlaku untuk bagasi tangan. Dengan prinsip ini maka pengangkut dianggap selalu tidak bertanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan pada bagasi tangan yaitu barang – barang yang dibawa sendiri oleh penumpang. 39 Perbedaan yang prinsipil antara bagasi tercatat dengan bagasi tangan adalah bahwa bagasi tercatat diserahkan ke dalam pengawasan pengangkut, sedangkan bagasi tangan tidak, Oleh karena itu prinsip tanggung jawabnya pun harus kebalikannya, yaitu bahwa untuk bagasi tangan pengangkut dianggap selalu tidak bertanggung jawab. 40 Ad 3. Prinsip “absolute liability” atau “strict liability” Secara umum istilah – istilah ini berarti bahwa tanggung jawab berlaku mutlak, tanpa ada kemungkinan membebaskan diri, kecuali dalam hal kerugian yang disebabkan atau turut disebabkan oleh pihak yang menderita kerugian sendiri. 41 Menurut konsep tanggung jawab tanpa bersalah (legal liability without fault concept), perusahaan penerbangan (air carrier) bertanggung jawab mutlak
37
Beban pembuktian terbalik atau juga disebut pembuktian negatif. K. Martono, Amad sudiro, Hukum Angkutan Udara. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011. hal 223 39 Suwardi, Penulisan Karya Ilmiah Tentang Penentuan Tanggung Jawab Pengangkut Yang Terikat Dalam Kerjasama Pengangkutan Udara Internasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta; 1991. hal 41. 40 Ibid. 41 Ibid. hal 42. 38
Universitas Sumatera Utara
terhadap kerugian yang diderita oleh pihak ketiga 42 yang timbul akibat pendaratan darurat atau jatuhnya barang dan/atau orang dari pesawat udara, tanpa memerlukan adanya pembuktian terlebih dahulu. 43 Konsep
tanggung
jawab
tanpa
bersalah
atau
tanggung
jawab
mutlakoperator tidak dapat membebaskan diri kewajiban membayar ganti kerugian (damages). 44 Ad 4. Prinsip “limitation of liability” Dalam Konvensi Warsawa 1929 dan konvensi – konvensi lain dalam bidang hukum udara, apapun prinsip yang dipergunakan, selalu disertai dengan prinsip “limitation of liability” yaitu bahwa pada dasarnya tanggung jawab pengangkut atau operator pesawat udara dibatasi sampai jumlah tertentu. 45 Penumpang dan/atau pengirim barang tidak perlu membuktikan kerugian yang terjadi pada saat pendaratan darurat atau kecelakaan , sehingga penumpang dan/atau pengirim barang tidak harus membuktikan kesalahan perusahaan penerbangan. Karena perusahaan penerbangan dianggap bersalah, maka sebagai imbalan, perusahaan penerbangan berhak menikmati batas maksimum ganti kerugian yang telah ditetapkan dalam konvensi atau peraturan perundang – 42
Pihak ketiga adalah pihak – pihak yang tidak tahu menahu penggunaan pesawat udara, tetapi menderita kerugian akibat dampak negative penggunaan pesawat udara. contoh konkretnya adalah korban penduduk dan harta benda mereka yang juga menyisakan trauma yang mendalam akibat kecelekaan Mandala airlines tanggal 5 September 2005 di Padang Bulan, Medan. Kecelakaan Pesawat udara juga menimbulkan pencemaran seperti kasus kecelakaan Silk Air di Palembang yang mencemari Sungai Musi, kecelakaan Mandala Airlines yang terpaksa mengadakan sanitasi atau disinfektan untuk mecegah wabah penyakit akibat korban yang meninggal dunia. 43 K. Martono, Amad sudiro, Hukum Angkutan Udara. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011. hal 228 44 Ibid. hal 228. 45 Suwardi, Penulisan Karya Ilmiah Tentang Penentuan Tanggung Jawab Pengangkut Yang Terikat Dalam Kerjasama Pengangkutan Udara Internasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta; 1991. hal 42.
Universitas Sumatera Utara
undangan artinya berapa pun kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang, perusahaan penerbangan tidak akan selalu bertanggung jawab membayar semua kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang, melainkan hanya memabayar sejumlah yang ditetapkan di dalam konvensi atau peraturan perundang – undangan. 46 Prinsip ini mengatur soal tanggung jawab pengangkut yang dibatasi sampai jumlah tertentu. Dari beberapa penjelasan terhadap prinsip tanggung jawab pengangkutan diatas secara umum dapat diketahui bahwa tanggung jawab adalah ditimbulkan dari akibat adanya keadaan yang menyebabkan kerugian ataupun kehilangan terhadap
pihak
lain
yang
merupakan akibat
dari
penyelenggaraan suatu perjanjian pengangkutan. Pasal 1365 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang menyatakan “Bahwa barang siapa yang menimbulkan kerugian pada pihak lain karena perbuatannya yang melawan hukum wajib mengganti kerugian tersebut”. Peraturan ini tetap berlaku terhadap setiap perjanjian yang diadakan oleh para pihak yang berkepentingan dan para pihak yang secara tidak sengaja menjadi turut ke dalam perjanjian tersebut secara dikehendaki ataupun tidak dikehendaki. Dari prinsip – prinsip tersebut dimaksudkan untuk dapat terselenggaranya tujuan penerbangan sesuai dengan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang tercantum dalam Pasal 3 yaitu:
46
K. Martono, Amad Sudiro, Opcit. hal 224.
Universitas Sumatera Utara
1. Mewujudkan penyelenggaraan penerbangan yang tertib, teratur, selamat, aman, nyaman, dengan harga yang wajar dan menghindari praktek persaingan usaha yang tidak sehat. 2. Mempelancar arus perpindahan orang dan/atau barang melalui udara dengan mengutamakan dan melindungi angkutan udara dalam rangka mempelancar kegiatan perekonomian nasional. 3. Membina jiwa kedirgantaraan. 4. Menjunjung kedaulatan negara. 5. Menciptakan daya saing dengan mengembangkan teknologi dan industri angkutan udara nasional. 6. Menunjang, mengerakkan dan mendorong pencapaian tujuan pembangunan nasional. 7. Memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa dalam rangka perwujudan nusantara. 8. Meningkatkan ketahanan nasional. 9. Mempererat hubungan antar bangsa. Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan menerapkan konsep tanggung jawab hukum praduga bersalah (presumption of liability concept) seperti halnya yang berlaku pada konvensi Warsawa 1929 dan konsep tanggung jawab atas dasar kesalahan (based on fault liability), khusus mengenai bagasi kabin (cabin baggage). Hal ini terbukti dari ketentuan Pasal 141 ayat 1 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan yang mengatakan bahwa pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal
Universitas Sumatera Utara
dunia, cacat tetap ,misalnya kehilangan atau menyebabkan tidak berfungsinya salah satu anggota badan atau yang mempengaruhi aktivitas secara normal seperti hilangnya tangan, kaki, atau mata yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat udara dan/atau naik turun pesawat udara, kerugian yang diderita oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut sesuai dengan Pasal 144 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, kerugian yang diderita oleh pengirim kargo karena kargo yang dikirim hilang, musnah, rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama kargo berada dalam pengawasan pengangkut berdasarkan Pasal 145 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan. Berdasarkan ketentuan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 141 ayat 1, Pasal 144 dan Pasal 145 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, pengangkut otomatis bertanggung jawab dibuktikan lebih dulu, sehingga pengangkut berhak menikmati batas ganti kerugian yang ditetapkan oleh Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009, namun demikian menurut Pasal 141 ayat 2 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009, bats ganti kerugian tersebut tidak dapat dinikmati oleh pengangkut bilamana kerugian tersebut timbul karena tindakan sengaja (willful misconduct) atau kesalahan dari pengangkut atau orang yang dipekerjakan, sehingga ahli waris atau korban dapat melakukan tuntutan ke pengadilan untuk mendapatkan ganti kerugian tambahan selain ganti kerugian yang ditetapkan (unlimited liability principle) sesuai dengan Pasal 141 ayat 3 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009.
Universitas Sumatera Utara
Bukti lain berlakunya konsep praduga bersalah (presumption of liability) dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 adalah kerugian yang diderita karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi dan kargo. Dikatakan bahwa pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan, kecuali
apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa
keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional (Pasal 146 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009). Dalam Pejelasan yang dimaksud faktor cuaca dan teknis operasional adalah Faktor cuaca: Hujan lebat, petir, badai, kabut, asap, jarak pandang di bawah standar minimal (weather minima) yang menggangu keselamatan penerbangan, faktor operasional: bandar udara untuk keberangkatan dan tujuan tidak dapat dgunakan operasional pesawat udara, lingkungan menuju bandar udara atau landasan terganggu fungsinya misalnya retak, banjir, atau kebakaran, terjadinya antrian pesawat udara lepas landas (take off), mendarat (landing), atau alokasi waktu keberangkatan (depatur slot time) di bandar udara, keterlambatan pengisian bahan bakar (aviation turbine), sedangkan tidak dapat digunakan sebagai alasan adalah keterlambatan pilot, co-pilot, dan awak kabin, keterlambatan jasa boga (catering), keterlambtana penanganan di darat, menunggu penumpang, baik yang melapor (check in), pindah pesawat udara (transfer) atau penerbangan lanjutan (connection flight) dan ketidaksiapan pesawat udara. Angkutan bagasi kabin (cabin baggage) berlaku konsep tanggung jawab berdasarkan kesalahan (based on fault liability) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 143 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.
Universitas Sumatera Utara
Menurut pasal tersebut pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian karena hilang atau rusaknya kabin, kecuali apabila penumpang membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh tindakan pengangkut atau orang yang dipekerjakan. Maksud dari ketentuan ini adalah bagasi kabin yaitu barang yang dibawa oleh penumpang dan berada dalam pengawasan penumpang sendiri, rasanya tidak adil bilamana pengangkut yang bertanggung jawab , kecuali bagasi kabin tersebut diserahkan kepada pramugari atau pramugara selama penerbangan berlangsung. 47 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan juga mengatur kewajiban asuransi terhadap tanggung jawab perusahaan penerbangan, asuransi pengoperasian pesawat udara, asuransi operator bandar udara bahkan juga wajib mengasuransikan kegiatan lainnya. Pasal 179 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Perusahaan penerbangan wajib mengasuransi tanggung jawab hukum atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka – luka, tanggung jawab hukum atas kerugian karena hilang atau rusaknya bagasi kabin, tanggung jawab hukum atas kerugian yang diderita oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah atau rusak, tanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengirim kargo karena kargo yang dikirim hilang, musnah atau rusak dan tanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi atau kargo. Menurut Pasal 16 ayat 1 dan ayat 2 Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011, Tanggung jawab pengangkut sebagaimana dimaksud wajib
47
Ibid, hal 295.
Universitas Sumatera Utara
diasuransikan kepada perusahaan asuran dalam bentuk konsorsium asuransi. bentuk konsorium bersifat terbuka kepada seluruh perusahaan asuransi yang memenuhi syarat dan perizinan untuk dapat berpatisipasi dalam program asuransi tanggung jawab pengangkut angkutan udara.
Universitas Sumatera Utara