BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki potensi yang sangat melimpah dalam hal kekayaan sumber daya alam. Letak geografis yang strategis menunjukkan betapa kaya Indonesia akan sumber daya alam dengan segala flora, fauna dan potensi hidrografis dan deposit sumber alamnya yang melimpah. Sumber daya alam Indonesia berasal dari berbagai macam sektor. Salah satu kekayaan sumber daya alam yang dimiliki oleh Indonesia adalah kekayaan dalam sektor pertambangan dan energi. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang. Lebih lanjut pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 disebutkan bahwa mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu. Salah satu daerah yang memiliki potensi di sektor pertambangan terutama 1
pertambangan pasir adalah Kabupaten Sleman. Hasil analisis dynamic location quotient (DLQ) pada sektor Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Sleman, diperoleh informasi Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) bahwa sektor Pertanian, Pertambangan dan Penggalian, Industri Pengolahan, Perdagangan, Hotel dan Restoran, dan sektor Keuangan & Perbankan merupakan sektor yang potensi perkembangannya lebih cepat dibanding sektor yang lain.1 Menurut Bendavid-Val sebagaimana dikutip oleh Kuswan Gunanto, Location Quotient disingkat LQ adalah suatu metode untuk mengukur spesialisasi relatif dari suatu wilayah/daerah dalam industri-industri tertentu.2 Metode LQ dapat digunakan untuk mengetahui kapasitas ekspor yang dimiliki oleh daerah. Artinya dengan menggunakan metode ini, dapat diketahui spesialisasi yang dimilki oleh daerah dibandingkan dengan daerah yang tingkatannya lebih tinggi (provinsi, nasional) atau sektor lain yang memiliki kategori yang sama. Sebagai ukuran tingkat spesialisasi daerah, sering digunakan jumlah tenaga kerja yang mampu diserap oleh sektor ekonomi tertentu. Tenaga kerja yang mampu diserap oleh salah satu sektor ekonomi akan dibandingkan dengan seluruh tenaga kerja yang mampu diserap oleh perekonomian secara keseluruhan sehingga akan diperoleh rasio tingkat tenaga kerja.3
1
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Sleman, Pemetaan Potensi Ekonomi Kabupaten Sleman, http://bappeda.slemankab.go.id/pemetaan-potensi-ekonomi-kabupatensleman.slm, diakses pada 15 Desember 2015 2 Kuswan Gunanto, Analis, LQ, DLQ, LC, dan Komparatif Kab. Tanjung Jabung Timur Prov. Jambi Tahun 2010, http://www.kompasiana.com/kadung_gadamala/analisa-lq-dlq-lc-dan-komparatif-kabtanjung-jabung-timur-prov-jambi_550fe5e9a33311ca39ba7d7f, diakses pada 19 Februrari 2016 3 Ibid
2
Metode location quotient (LQ) dibedakan menjadi dua, yaitu: static location quotient (SLQ sering disebut LQ) dan dynamic location quotient (DLQ). Menurut Kadariah sebagaimana dikutip oleh Amar Ma’ruf, dasar pemikiran dari penggunaan teknik LQ yang dilandasi teori ekonomi basis mempunyai makna sebagai berikut. Industri basis itu menghasilkan barang dan jasa baik untuk pasar di daerah maupun untuk pasar di luar daerah, maka penjualan hasil ke luar daerah akan mendatangkan pendapatan ke dalam daerah itu.4 Potensi di sektor pertambangan pasir yang dimiliki oleh Kabupaten Sleman tidak terlepas dari banyaknya sungai yang terdapat pada Kabupaten tersebut. Wilayah Kabupaten Sleman membentang dari Sungai Opak pada sisi timur sampai Sungai Progo pada sisi barat dan perbatasan Kabupaten Bantul, Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Gunung Kidul pada sisi selatan, dan pada sisi utara sampai dengan lereng Gunung Merapi yang termasuk 10 besar gunung teraktif di dunia berketinggian 2.968 meter. Dengan posisi tersebut menjadikan Kabupaten Sleman sebagai wilayah hulu dari Propinsi DIY.5 Keadaan tanah wilayah Kabupaten Sleman di bagian selatan relatif datar kecuali daerah perbukitan di bagian tenggara Kecamatan Prambanan dan sebagian di Kecamatan Gamping. Makin ke utara kondisinya relatif miring dan di bagian utara sekitar lereng Merapi relatif terjal serta terdapat sekitar ±100 sumber mata air, yang
4
Amar Ma’ruf, Anatomi Makro Ekonomi Regional: Studi Kasus Provinsi DIY, JEJAK Volume 2, Nomor 2, September 2009, hlm. 117 5 Pemerintah Kabupaten Sleman, 2010, Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Kabupaten Sleman Tahun 2010, hlm.1
3
airnya mengalir ke sungai – sungai utama yaitu sungai Boyong, Kuning, Gendol dan Krasak.6 Berdasarkan karakteristik wilayah Kabupaten Sleman, Kecamatan Tempel termasuk ke dalam Kawasan lereng Gunung Merapi. Kawasan lereng Gunung Merapi, dimulai dari jalan yang menghubungkan kota Tempel, Turi, Pakem dan Cangkringan (ringbelt) sampai dengan puncak Gunung Merapi. Wilayah ini kaya sumber daya air dan ekowisata yang berorientasi pada kegiatan Gunung Merapi dan ekosistemnya. Keberadaan Gunung Merapi merupakan asset wisata maupun sumber daya alam galian C, namun diperlukan antisipasi yang memadai untuk mengeliminir dampak lain negatif jika terjadi erupsi.7 Sumber daya alam galian C atau bahan galian golongan C merupakan bahan galian yang tidak termasuk golongan strategis dan vital. Menurut Pasal 1 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1980 tentang Penggolongan Bahan-bahan Galian, bahan galian ini dibagi menjadi sembilan golongan, yaitu: 1. Nitrat-nitrat (garam dari asam sendawa, dipakai dalam campuran pupuk; HNO3), pospat-pospat, garam batu (halite); 2. Asbes, talk, mika, grafit magnesit; 3. Yarosit, leusit, tawas (alum), oker; 4. Batu permata, batu setengah permata; 5. Pasir kwarsa, kaolin, feldspar, gips, bentonit; 6. Batu apung, tras, absidian, perlit, tanah diatome, tanah serap (fullers earth); 7. Marmer, batu tulis; 8. Batu kapur, dolomit, kalsit; 9. Granit, andesit, basal, trakhit, tanah liat, tanah pasir sepanjang tidak mengandung unsur mineral golongan a maupun b dalam jumlah berarti. 6 7
Ibid hlm.3 Ibid
4
Berdasarkan pengaturan tersebut, pertambangan pasir termasuk ke dalam pertambangan terhadap bahan galian golongan C, namun terminologi bahan galian golongan C yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1980 tentang Penggolongan Bahan-bahan Galian tersebut telah diubah berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, menjadi batuan, sehingga penggunaan istilah bahan galian golongan C sudah tidak tepat lagi dan diganti menjadi batuan.8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tidak menjelaskan mengenai pengertian batuan, namun pengertian batuan dapat dijumpai pada Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara. Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah tersebut menerangkan bahwa batuan meliputi pumice, tras, toseki, obsidian, marmer, perlit, tanah diatome, tanah serap (fullers earth), slate, granit, granodiorit, andesit, gabro, peridotit, basalt, trakhit, leusit, tanah liat, tanah urug, batu apung, opal, kalsedon, chert, kristal kuarsa, jasper, krisoprase, kayu terkersikan, gamet, giok, agat, diorit, topas, batu gunung quarry besar, kerikil galian dari bukit, kerikil sungai, batu kali, kerikil sungai ayak tanpa pasir, pasir urug, pasir pasang, kerikil berpasir alami (sirtu), bahan timbunan pilihan (tanah), urukan tanah setempat, tanah merah (laterit), batu gamping, onik, pasir laut, dan pasir yang tidak mengandung unsur mineral logam atau 8
Parlindungan Sitinjak, 2011, Tata Cara Pemberian Izin Usaha Pertambangan Batuan, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, hlm. 1
5
unsur mineral bukan logam dalam jumlah yang berarti ditinjau dari segi ekonomi pertambangan. Kabupaten Sleman memiliki kawasan pertambangan pasir yang tersebar di beberapa Kecamatan, dan jumlahnya tidak sedikit. Sayangnya, banyak diantara tambang-tambang tersebut yang tidak memili izin untuk melakukan usaha pertambangan. Kecamatan Tempel tepatnya di Desa Merdikorejo merupakan salah satu tempat dimana terdapat penambangan pasir yang dilakukan tanpa izin (illegal minning). Awal Tahun 2015 petugas Direskrimsus Polda DIY melakukan penangkapan terhadap seorang pengusaha asal Bangka Belitung pemilik CV. Pakemsari di daerah Sleman. Penangkapan tersebut dilakukan menyusul sidak yang dilakukan petugas gabungan di lokasi penambangan pasir ilegal di daerah Merdikorejo, Tempel, Sleman, akhir Maret 2015.9 Pengusaha tersebut diduga melakukan perbuatan yang menyalahi ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Ketentuan yang dimaksud adalah adanya kegiatan penambangan yang dilakukan tanpa disertai dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Izin Usaha Pertambangan (IUP) adalah izin untuk melakukan usaha pertambangan (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara). Pasal 158 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan 9
Muji Barnugroho, Polda DIY Tahan Pengusaha Penambangan, http://daerah.sindonews.com/read/986977/22/polda-diy-tahan-pengusaha-penambangan142852964, Diakses pada 20 Desember 2015
6
Batubara menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1) atau ayat (5) dipidana dengan pidana penjara
paling
lama
10
(sepuluh)
Tahun
dan
denda
paling
banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Izin Usaha Pertambangan (IUP) menurut Pasal 37 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara diberikan oleh: a. bupati/walikota apabila WIUP berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota; b. gubernur apabila WIUP berada pada lintas wilayah kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan c. Menteri apabila WIUP berada pada lintas wilayah provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Izin usaha dan/atau kegiatan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 36 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah izin yang diterbitkan oleh instansi teknis untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan. Dalam Pasal 40 disebutkan bahwa izin usaha dan/atau kegiatan dapat diperoleh apabila syarat untuk memperoleh izin tersebut, yaitu izin lingkungan telah terpenuhi. Menurut Pasal 1 angka 35, izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. Pasal 36 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 memberi pengaturan mengenai izin lingkungan sebagai berikut: 7
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan. (2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 atau rekomendasi UKL-UPL. (3) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan persyaratan yang dimuat dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL. (4) Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 memberikan pengaturan mengenai sanksi bagi pelanggaran terhadap Pasal 36 Undang-Undang tersebut, sebagaimana Pasal 109 yang menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) Tahun dan paling lama 3 (tiga) Tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Dalam hal pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk kawasan tambang pasir di Kabupaten Sleman, pihak yang memiliki kewenangan untuk menerbitkan izin adalah Bupati Kabupaten Sleman. Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 4 Tahun 2013 tentang Usaha Pertambangan Mineral Bukan Logam, Dan Batuan memuat hal-hal yang berkaitan dengan penerbitan izin terhadap setiap orang atau badan yang akan melakukan usaha pertambangan. Penangkapan terhadap pengusaha tersebut merupakan salah satu contoh dari adanya penambangan ilegal yang terjadi di Kabupaten Sleman, terutama di Desa Merdikorejo, Kecamatan Tempel. Desa Merdikorejo merupakan desa terluas di
8
Kecamatan Tempel yaitu 6,13 km² , atau sekitar 18,87 persen dari total luas wilayah Kecamatan Tempel.10 Letak Desa Merdikorejo yang merupakan desa tertinggi di Kecamatan Tempel serta dialiri Kali Krasak yang berhulu langsung di Gunung Merapi menjadikan desa tersebut sebagai daerah dengan potensi sumber daya alam yang besar yang menyimpan produk vulkanis dari Gunung Merapi. Produk vulkanis tersebut yaitu pasir yang terbentuk akibat letusan Gunung Merapi yang terbawa oleh aliran Kali Krasak pada saat lahar dingin terjadi. Melimpahnya pasir di kawasan sungai
tersebut
memunculkan daerah-daerah pertambangan sebagai
bentuk
pemanfaatan terhadap sumber daya alam. Menurut Pasal 1 Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 4 Tahun 2013 tentang Usaha Pertambangan Mineral Bukan Logam, Dan Batuan, wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terkait dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari rencana tata ruang nasional disebut sebagai Wilayah Pertambangan (WP). Selanjutnya disebutkan dalam Pasal 5 bahwa Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) yang merupakan Wilayah Pertambangan (WP) merupakan dasar pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), sedangkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dalam Pasal 9 diberikan apabila Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) telah ada terlebih dahulu. Dalam prakteknya, penambangan ilegal atau penambangan yang dilakukan tanpa adanya Izin Usaha Pertambangan (IUP) oleh suatu badan usaha di Desa
10
Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman, 2015, Statistik Daerah Kecamatan Tempel 2015, Katalog BPS: 1101002.3404.140, hlm. 1
9
Merdikorejo menunjukkan bahwa pelaksanaan dari Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai Usaha Pertambangan belum berjalan sebagaimana mestinya. Dari Uraian diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang kegiatan penambangan pasir di Desa Merdikorejo, Kecamatan Tempel, Kabupaten Sleman. Untuk itu peneliti akan melakukan penelitian dengan judul “PENEGAKAN HUKUM TERHADAP AKTIVITAS PENAMBANGAN PASIR SECARA ILEGAL DI DESA MERDIKOREJO, KECAMATAN TEMPEL, KABUPATEN SLEMAN”. B. Rumusan Masalah 1. Apakah dampak lingkungan yang ditimbulkan dari adanya penambangan pasir secara ilegal di Desa Merdikorejo, Kecamatan Tempel, Kabupaten Sleman? 2. Bagaimanakah upaya penegakan hukum terhadap aktivitas penambangan pasir secara ilegal di Desa Merdikorejo, Kecamatan Tempel, Kabupaten Sleman? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah penulis paparkan sebelumnya, maka dalam penulisan hukum ini terdapat tujuan penelitian secara subjektif dan tujuan penelitian objektif. 1. Tujuan Subjektif Tujuan Subjektif dari penelitian serta penulisan hukum ini adalah untuk melengkapi salah satu persyaratan untuk menyelesaikan jenjang pendidikan 10
Strata-1 (S1), dan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 2. Tujuan Objektif a. Untuk mengetahui mengenai dampak lingkungan yang ditimbulkan dari adanya penambangan pasir secara ilegal di Desa Merdikorejo, Kecamatan Tempel, Kabupaten Sleman. b. Untuk
mengetahui
upaya
penegakan
hukum
terhadap
aktivitas
penambangan pasir secara ilegal terhadap aktivitas pertambangan pasir di Desa Merdikorejo, Kecamatan Tempel, Kabupaten Sleman. D. Keaslian Penelitian Berdasarkan pengamatan dan penelusuran dari penulis tentang “PENEGAKAN HUKUM TERHADAP AKTIVITAS PENAMBANGAN PASIR SECARA ILEGAL DI DESA MERDIKOREJO, KECAMATAN TEMPEL, KABUPATEN SLEMAN” belum pernah diadakan penelitian oleh peneliti lain. Tema serupa pernah ditulis oleh Yullitae, yang juga merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada angkatan 2000 dengan judul
“TINJAUAN
PENEGAKAN
HUKUM
LINGKUNGAN
KEPIDANAAN DI KABUPATEN SLEMAN, YOGYAKARTA (STUDI KASUS PENAMBANGAN PASIR SECARA LIAR)”. Penulisan hukum tersebut berbeda dengan penulisan hukum penulis karena dalam penulisan hukum tersebut membahas mengenai kendala dalam penegakan hukum 11
lingkungan kepidanaan terhadap penambangan pasir liar di Kabupaten Sleman. Objek penelitian dari penulisan hukum tersebut adalah kawasankawasan tambang yang berada di Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Sedangkan penulisan hukum penulis lebih menekankan kepada penerapan hukum terhadap aktivitas penambangan pasir liar serta dampak yang ditimbulkan akibat adanya aktivitas tersebut. Objek penelitian dari penulisan hukum penulis dikhususkan kepada kawasan tambang yang berada di Desa Merdikorejo, Kecamatan Tempel, Kabupaten Sleman. Selain itu sebagai pembanding, penulis juga menggunakan penulisan hukum milik Sigit Purnomo yang merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada angkatan 1995 yang berjudul “UPAYA PENERTIBAN PENAMBANG PASIR
DI
SUNGAI
PROGO
DALAM
RANGKA
MENJAGA
KELESTARIAN FUNGSI SUNGAI”. Penulisan hukum tersebut mempunyai objek penelitian yang berbeda dengan penulisan hukum penulis. Objek penelitian yang digunakan oleh Sigit Purnomo dalam penulisan hukumnya yaitu kawasan penambangan pasir yang terdapat di Sungai Progo, Kabupaten Bantul, sedangkan objek penelitian dari penulisan hukum penulis yaitu kawasan penambangan pasir yang terdapat di Desa Merdikorejo, Kecamatan Tempel, Kabupaten Sleman. Jika dilihat dari pokok permasalahan yang diangkat, penulisan hukum milik Sigit Purnomo membahas mengenai dampak lingkungan yang ditimbulkan akibat dari adanya penambangan pasir di Sungai Progo tersebut,
selain
itu penulisan hukum 12
milik Sigit
Purnomo
mendeskripsikan mengenai upaya yang dilakukan oleh pemerintah serta kendala yang dihadapi terkait penertiban terhadap penambangan pasir di Sungai Progo. Pokok permasalahan yang diangkat oleh penulis selain mengenai bagaimana dampak lingkungan yang ditimbulkan dari adanya penambangan pasir ilegal di Desa Merdikorejo, Kecamatan Tempel, Kabupaten Sleman, tetapi juga membahas mengenai penerapan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai aktivitas penambangan pasir di daerah tersbut. E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teknis a. Membantu membuka wawasan mengenai dampak negatif yang ditimbulkan dari adanya penambangan pasir secara ilegal yang dapat membahayakan lingkungan yang selama ini belum banyak diketahui oleh masyarakat. b. Memberi sumbangan pemikiran terhadap perkembangan hukum lingkungan pada khususnya dan terhadap ilmu pengetahuan pada umumnya. 2. Manfaat Praktis a. Memberikan dorongan kepada seluruh komponen masyarakat baik yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung untuk berperan secara aktif dalam menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan karena adanya penambangan pasir secara liar. 13