BAB II FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT DALAM PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA PEREMPUAN YANG BERKERJA DI MALAM HARI
A. FAKTOR
PENDUKUNG
PERLINDUNGAN
HUKUM
TENAGA KERJA
PEREMPUAN YANG BERKERJA ADI MALAM HARI
Adapun faktor yang mendukung di dalam pelaksanaan perlindungan bagi tenaga kerja perempuan yang bekerja di malam hari yaitu Pasal 27 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah, Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-04/Men/1989 tentang Syarat-syarat Kerja Malam dan Tata Cara Mempekerjakan pekerja Perempuan pada Malam Hari, dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep. 224/Men/2003 Tentang Kewajiban Pengusaha Yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan Antara Pukul 23.00 Sampai Dengan Pukul 07.00. Semua peraturan tersebut secara jelas memberikan perlindungan kepada perempuan yang bekerja di malam hari. Selain itu faktor pendukung lainnya adalah adanya pengawasan dari Departemen Tenaga Kerja yang diatur dalam Pasal 176 sampai dengan Pasal 181 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa guna menjamin pelaksanaan pengaturan ketenagakerjaan menurut undang-undang ini serta pengaturan pelaksana lainnya, diadakan suatu sistem pengawasan tenaga kerja, dan di dalam penjelasan dinyatakan pula bahwa fungsi pengawasan tenaga kerja adalah sebagai berikut : a.
Mengawasi
pelaksanaan
ketentuan-ketentuan
hukum
mengenai
ketenagakerjaan. Ketentuan-ketentuan hukum yang dimaksud adalah ketentuan hukum sebagaimana yang disebutkan di atas, yaitu peraturan perundang-undangan
yang
memberikan
pengaturan
mengenai
perlindungan hukum terhadap tenaga kerja perempuan yang bekerja di
7 Universitas Sumatera Utara
8
malam hari. Jika dalam praktek penyelenggaraan sebuah usaha, pengawas menemukan bahwa pengusaha yang bersangkutan melakukan pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan tersebut, maka pengawas dapat segera mengambil tindakan sesuai dengan hukum yang berlaku, dan kepada perusahaan yang melakukan pelanggaran tersebut dapat dikenakan sanksi sesuai dengan yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. b.
Memberikan penanganan teknis serta nasehat kepada pengusaha dan tenaga kerja tentang
hal-hal yang dapat menjamin efektivitas
pelaksanaan dari peraturan-peraturan ketenagakerjaan. Penanganan teknis yang dimaksud adalah dalam hal ditemukannya pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, maka pengawas pertama-tama memberikan penanganan teknis terlebih dahulu, yang berupa menjelaskan tentang hal yang seharusnya dilakukan pengusaha. Selain bersifat pemberitahuan mengenai hal yang seharusnya dilakukan oleh pengusaha, penanganan teknis ini juga dapat berupa penutupan sementara perusahaan yang melanggar ketentuan Undang-undang tersebut sampai perusahaan itu benar-benar melaksanakan ketentuan perundang-undangan dan menghentikan pelanggarannya. c.
Melaporkan
kepada
yang
berwenang
tentang
kecurangan
dan
penyelewengan dalam bidang ketenagakerjaan yang tidak jelas diatur dalam peraturan perundangan.
Dari faktor-faktor yang mendukung di atas, dapat disimpulkan bahwa pemerintah telah mengupayakan seoptimal mungkin perlindungan hukum terhadap tenaga kerja perempuan yang bekerja di malam hari. Hanya saja dalam prakteknya di lapangan, seringkali pengusaha dengan segala cara berusaha melanggar segala ketentuan perundang-undangan. Hal ini dilakukan pengusaha karena tidak ingin melaksanakan kewajiban-kewajiban bagi pengusaha yang mempekerjakana tenaga kerja perempuan di malam hari, misalnya menyediakan fasilitas antar jemput,
Universitas Sumatera Utara
9
menyediakan
makanan
dan
minuman
yang
bergizi
bagi karyawannya,
menyediakan fasilitas kaman mandi/WC yang terpisah antara karyawan laki-laki dan perempuan, dan lain-lain. Semua kewajiban itu dianggap pengusaha hanya merupakan penghambat untuk mendapatkan keuntungan yang optimal. Pengusaha berprinsip bahwa semua peraturan tersebut hanya bersifat merugikan dan membatasi ruang lingkupnya saja.
B. FAKTOR PENGHAMBAT DALAM PERLINDUNGAN TENAGA KERJA PEREMPUAN YANG BERKERJA DI MALAM HARI Disamping faktor pendukung seperti yang diuraikan di atas, ada pula faktorfaktor penghambat yang timbul dalam penyelenggaraan kerja yang melibatkan tenaga kerja perempuan di malam hari. Sumber faktor penghambat ini terbagi menjadi tiga, yaitu yang bersumber dari tenaga kerja itu sendiri, pihak pengusaha maupun pihak pemerintah. a. Hambatan yang Berasal dari Tenaga Kerja Hambatan dari tenaga kerja itu umumnya dikarenakan tingkat pendidikan tenaga kerja yang rendah, untuk mencukupi kebutuhan, tenaga kerja biasanya mengesampingkan hak-hak yang seharusnya diperoleh agar mendapatkan upah yang utuh, kurangnya pengetahuan tenaga kerja perempuan mengenai undangundang dan peraturan-peraturan yang melindungi tenaga kerja perempuan itu sendiri. Kaum perempuan yang rela bekerja di malam hari identik dengan orangorang dari kalangan menengah ke bawah. Sebagai kalangan menengah ke bawah mereka biasanya tidak mampu untuk mencapai jenjang pendidikan tinggi. Oleh karena itu kemampuan mereka terbatas mengenai hal-hal yang bersifat peraturan perundang-undangan atau apapun yang berkaitan dengan hukum. Di lain pihak mereka dituntut untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang sering kali hanya mengandalkan mereka untuk dapat menyambung hidupnya. Berdasarkan kondisi ini maka biasanya kepekaan tenaga kerja perempuan tersebut terhadap keselamatan dan keamanan dirinya tidak begiti tinggi. Bahkan walaupun
Universitas Sumatera Utara
10
kepekaan itu sebenarnya ada, sering kali mereka dikesampingkan hanya karena takut tidak mendapatkan pekerjaan lain, sehingga nanti mengancam kelangsungan penghasilannya. Oleh karena sebab-sebab di atas, maka ketika tenaga kerja perempuan itu tidak mendapatkan sesuatu yang menjadi haknya sebagai tenaga kerja perempuan yang bekerja di malam hari, mereka diam saja. Mereka takut untuk memprotes atasan mengenai tidak dipenuhinya hak-hak mereka. Pada dasarnya hambatan yang berasal dari tenaga kerja ini dapat diatasi jika kepada tenaga kerja itu diberikan jaminan bahwa menuntut sesuatu yang menjadi hak mereka dari atasannya, tidak akan menyebabkan ia kehilangan pekerjaannya. Selain itu perlu diberikan pula penanaman pengetahuan tentang hak-hak seorang tenaga kerja perempuan yang bekerja di malam hari, karena bisa jadi mereka tidak memprotes karena sebenarnya mereka tidak tahu apa yang menjadi hak mereka. Hal ini dikarenakan para pengusaha
biasanya cenderung
untuk
tidak
memberitahukan hal-hal yang menjadi hak dari tenaga kerja, tetapi lebih cenderung untuk menuntut pelaksanaan kewajiban dari para tenaga kerjanya. b. Hambatan yang Berasal dari Pengusaha Hambatan yang berasal dan pihak pengusaha adalah kurang mempedulikan hal–hal yang bersifat memberikan efek yang kurang menguntungkan bagi dirinya. Seperti diketahui bahwa semua kewajiban yang dibebankan kepada pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja perempuan di malam hari, bersifat pengeluaran bagi pengusaha, antara lain penyediaan makanan dan minuman yang bergizi, penyediaan fasilitas antar jemput, penyediaan kamar mandi/WC yang terpisah antara laki-laki dan perempuan, dan lain-lain, semuanya merupakan sumber pengeluaran bagi pengusaha. Sementara di lain pihak naluri seorang pengusaha adalah untuk mendapatkan keuntungan yang setinggi-tingginya dari pengorbanan yang sekecil-kecilnya. Oleh karena itu semua kewajiban yang dibebankan kepadanya sebagai pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja perempuan di malam hari dianggapnya sebagai sesuatu yang merugikannya saja, sehingga pengusaha cenderung mengabaikannya.
Universitas Sumatera Utara
11
Kecenderungan pengusaha untuk berlaku seperti itu juga didukung oleh kondisi tenaga kerjanya yang cenderung tidak berani menuntut apa yang menjadi haknya dengan alasan takut dipecat. Hal ini semakin meningkatkan arogansi pengusaha. Ada satu prinsip dari pengusaha tentang kesewenang-wenangannya dalam mempekerjakan tenaga kerja perempuan, yaitu, siapa yang mau menerima kondisi kerja seperti apa adanya, maka dia dapat diterima bekerja, akan tetapi siapa yang tidak mau menerima kondisi seperti itu bisa keluar dari pekerjaannya. c. Hambatan yang Berasal dari Pemerintah Hambatan yang berasal dan pemerintah disebabkan karena kurangnya penerangan dari pihak yang terkait yaitu Departemen Tenaga Kerja mengenai Hukum Ketenagakerjaan baik pada
pengusaha maupun pda tenaga kerja
perempuan itu sendiri. Di samping itu kurangnya pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja perempuan di malam hari merupakan salah satu penyebab banyaknya penyelewengan yang dilakukan oleh pengusaha yang mempekerjakan perempuan di malam hari. Pemerintah selaku pihak yang berwenang mengurus masalah-maslah yang berkaitan dengan ketenagakerjaan seharusnya mempunyai sikap yang proaktif dalam menegakkan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Di samping itu pengawasan yang merupakan kunci dari perlindungan hukum di bidang tenaga kerja perlu lebih diintensifkan. Pemerintah tidak harus menunggu di kantor datangnya laporan atau datangnya pengusaha untuk meminta izin mempekerjakana tenaga kerja perempuan di malam hari. Akan tetapi pemerintah melalui Dinas Tenaga Kerja harus mencari informasi sebelum informasi itu datang. Berdasarkan hasil analisis, faktor pendorong paling kuat perusahaan memberikan perlindungan hukum pada pekerja perempuan adalah kesadaran pentingnya perlindungan hukum pada tenaga kerja perempuan dan kondisi perusahaan yang baik. Sedangkan sebagai faktor kendala paling kuat perusahaan tidak memberikan perlindungan hukum pada pekerja perempuan adalah tidak
Universitas Sumatera Utara
12
ada pengawasan pemerintah dan tidak ada kepastian hukum bagi perusahaan yang melanggar. 1
Bagaimanakah pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pekerja perempuan di sektor industri pertekstilan Kabupaten Deli Serdang ?
2. Bagaimanakah peran Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Deli Serdang dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja perempuan di sektor industri pertekstilan Kabupaten Deli Serdang ? 3. Hambatan - hambatan apakah yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pekerja perempuan di sektor industri pertekstilan Kabupaten Deli Serdang?.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum empiris yang bersifat deskriptif. Data penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Sumber data primer diperoleh melalui wawancara dengan pegawai pengawas ketenagakerjaan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Deli Serdang, Pengurus Serikat Pekerja Sektor Industri Tekstil dan Sandang Cabang Deli Serdang, Pengusaha dan Pekerja Perempuan, Sumber Data Sekunder berasal dari berbagai bahan kepustakaan yang relevan dengan tema penelitian dan berbagai peraturan yang mengatur tentang perlindungan hukum pekerja perempuan serta Peraturan Perusahaan dan PKB Perusahaan . Teknik analisis yang digunakan bersifat kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : 1. Pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pekerja perempuan di sektor Industri pertekstilan dan sandang Kabupaten Deli Serdang berpedoman pada UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan khususnya pasal 76, 81, 82, 83 84, pasal 93, Kepmenaker No. 224 tahun 2003 serta Peraturan Perusahaan atau perjanjian kerja bersama perusahaan yang meliputi: a. Perlindungan dalam hal kerja malam bagi pekerja perempuan (pukul 23.00 sampai pukul 07.00). Dalam pelaksanaannya masih ada perusahaan yang tidak memberikan makanan dan minuman bergizi
Universitas Sumatera Utara
13
tetapi diganti dengan uang padahal ketentuannya tidak boleh diganti dengan uang. b. Perlindungan terhadap pekerja perempuan yang dalam masa haid tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid dengan upah penuh. Dalam pelaksanaannya lebih banyak yang tidak menggunakan haknya dengan alasan tidak mendapatkan premi hadir. c. Perlindungan cuti hamil bersalin selama 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan dengan upah penuh. Ternyata dalam pelaksanaannya masih ada perusahaan yang tidak membayar upah secara penuh. d. Pemberian kesempatan pada pekerja perempuan yang anaknya masih menyusu untuk menyusui anaknya hanya efektif untuk yang lokasinya dekat dengan perusahaan. 2. Peran Dinas Tenaga Kerja dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja perempuan yakni dengan melalui pengesahan dan pendaftaran PP & PKB Perusahaan pada Dinas Tenaga Kerja, Sosialisasi Peraturan
Perundangan
dibidang
ketenagakerjaan
dan
melakukan
pengawasan ke Perusahaan 3. Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pekerja perempuan adalah adanya kesepakatan antara pekerja dengan pengusaha yang kadang menyimpang dari aturan yang berlaku, tidak adanya sanksi dari peraturan perundangan terhadap pelanggaran yang terjadi, faktor pekerja sendiri yang tidak menggunakan haknya dengan alasan ekonomi. Langkah yang signifikan yang menuju ke pengakuan tentang hak-hak perempuan adalah apa yang disetuskan pada tahun 1979 pada Sidang Umum PBB yang mengadopsi CEDAW (Convention on the Elimination of All Form of
Universitas Sumatera Utara
14
Discrimination Against Women) yang membuka jalan bagi semua negara untuk meratifikasinya (Indonesia sudah meratifikasinya dengan UU No. 7 Tahun 1984). 1 Agar langkah ini dapat efektif maka negara harus menjabarkannya dan mengusahakan untuk memasukkan jabaran konvensi tersebut kedalam rumusan undang-undang negara dan menegakkannya dengan cara mengajukan para pelanggarnya ke muka sidang pengadilan. Namun demikian, perempuan sendiri masih belum banyak yang sadar bahwa hak-haknya dilindungi, dan bahwa hal tersebut mempunyai pengaruh terhadap kehidupan perempuan. Adalah sangat prematur untuk mengatakan bahwa CEDAW sudah dihormati dan dilaksanakan secara universal. CEDAW memerintahkan kepada seluruh negara di dunia untuk tidak melakukan diskriminasi terhadap perempuan. Di dalam CEDAW ditentukan bahwa diskriminasi terhadap perempuan adalah perlakuan yang berbeda berdasarkan gender yang : 2 1. Secara sengaja atau tidak sengaja merugikan perempuan; 2. Mencegah masyarakat secara keseluruhan memberi pengakuan terhadap hak perempuan baik di dalam maupun di luar negeri; atau 3. Mencegah kaum perempuan menggunakan hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang dimilikinya. Di Indonesia, ketentuan tentang perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dalam bekerja telah diatur dalam Pasal 5 dan 6 UU No. 13 Tahun 2003 sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Perlindungan hukum terhadap tenaga kerja perempuan di Indonesia dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 65 ayat (4) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 yang menentukan bahwa : Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurangkurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada 1
Sugiyono, Konvensi-konvensi tentang Perlindungan Tenaga Kerja, Alumni, Bandung, 1997,
2
Ibid., hal. 119-120.
hal. 118.
Universitas Sumatera Utara
15
perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Dari ketentuan Pasal 65 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 di atas dapat diketahui bahwa perlindungan hukum yang diberikan kepada perempuan dan lakilaki adalah sama. Untuk melindungi tenaga kerja, maka perusahaan wajib memberikan perlindungan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Adanya ketentuan bahwa pemerintah memberikan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja perempuan ini merupakan angin segar bagi kaum perempuan yang terpaksa bekerja. Karena di dalam praktek kerja yang ada di masyarakat, sering terjadi kesewenang-wenangan terhadap kaum perempuan yang bekerja. Kesewenang-wenangan ini berupa jam kerja yang terlalu panjang, gaji di bawah standar, sakit karena haid tetap disuruh bekerja, tidak diberi waktu istirahat yang cukup, harus mempunyai produktivitas yang sama dengan pekerja laki-laki, tidak disediakan ruang kamar mandi khusus (kamar mandi jadi satu dengan pekerja lakilaki) sehingga bisa mengundang pelecehan seksual, dan lain-lain. 3 Adanya ketentuan bahwa pengusaha harus memenuhi syarat-syarat kerja pemberian pekerjaan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, membuat pengusaha yang tidak mau memenuhi ketentuan syarat kerja yang ditujukan bagi pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja perempuan dapat dikenai sanksi sesuai dengan hukum yang berlaku, antara lain sanksi denda, sanksi kurungan/penjara, sanksi ditutup usahanya, dan lain-lain. Perempuan sebagai pekerja berhak mendapat perlindungan hukum dari berbagai kemungkinan buruk yang dapat menimpanya. Apalagi jika perempuan tersebut melakukan pekerjaannya di malam hari. Untuk itu ada beberapa konvensi
3
http://www.kompas.com.
Universitas Sumatera Utara
16
tentang perlindungan terhadap perempuan yang bekerja di malam hari, antara lain : 4 1. Konvensi Kerja Malam (Perempuan), 1919 (Indonesia tidak ikut meratifikasi). 2. Konvensi Kerja Malam (Perempuan), 1934 (Indonesia tidak ikut meratifikasi). 3. Konvensi Kerja Malam (Perempuan) (Revisi), 1948 (Indonesia tidak ikut meratifikasi). Dari ketiga konvensi tentang perlindungan terhadap tenaga kerja perempuan yang bekerja di malam hari tersebut, tidak satupun yang pernah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pemerintah Indonesia khawatir tidak dapat memenuhi ketentuan yang ditentukan oleh konvensi tersebut yang dirasa berat oleh pengusaha. Salah satu dari ketentuan konvensi-konvensi itu yang dirasa berat untuk dilaksanakan adalah ketentuan Pasal 3 Konvensi Kerja Malam (Perempuan) (Revisi), 1948, yang menentukan bahwa “Kaum perempuan berapapun usianya tidak boleh dipekerjakan pada malam hari pada usaha industri publik atau swasta apapun, atau pada cabang-cabangnya, kecuali di dalam usaha dimana hanya angota-anggota dari keluarga yang sama dipekerjakan.” Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa ada suatu ketentuan bahwa pekerjaan yang dilakukan perempuan di malam hari hanya boleh dilakukan jika di dalam usaha yang sama, bekerja juga anggota keluarganya yang lain. Ketentuan ini dirasa berat, karena belum tentu di dalam satu perusahaan bekerja juga anggota keluarga yang sama, sehingga ketentuan ini dirasa hanya akan mematikan potensi ekonomi yang dimiliki usaha tersebut. Karena jika ternyata pengusaha Indonesia melakukan pelanggaran, maka sanksinya usaha tersebut harus ditutup.
4
Anonim, Perisai Perempuan, Kesepakatan Internasional untuk Perlindungan Perempuan, 1996, hal. 44-46.
Universitas Sumatera Utara
17
Akan tetapi walaupun Indonesia tidak meratifikasi konvensi internasional tersebut, tetap ada perlindungan hukum yang diberikan kepada tenaga kerja perempuan yang bekerja di malam hari. Perlindungan itu diberikan melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep. 224/Men/2003 Tentang Kewajiban Pengusaha Yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan Antara Pukul 23.00 Sampai Dengan Pukul 07.00. Peraturan ini dibuat dalam rangka memberikan peraturan pelaksanaan Pasal 76 ayat (3) dan (4) UU No. 13 Tahun 2003 yang menentukan bahwa : (1) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. (2) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. (3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib : a. memberikan makanan dan minuman bergizi; dan b. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja. (4) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri.
Universitas Sumatera Utara
18
C. UPAYA MENGHADAPAI HAMBATAN PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA KERJA PEREMPUAN YANG BERKERJA DI MALAM HARI Tuntutan mengenai perempuan harus diperlakukan sama dengan pria ini telah ada sejak lama, diantaranya adalah tuntutan yang diajukan oleh R.A Kartini. Sebelum adanya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB, R.A. Kartini pada tanggal 10 Juni 1901, menulis surat kepada rekannya di Negeri Belanda yang menceriterakan tentang harapan akan adanya emansipasi antara kaum perempuan dan lelaki, kebebasan berpikir mereka dan sebagainya. Disini Kartini telah membuka sebuah human right discourse (wacana hak asasi manusia), meskipun artikulasi mengenai hak-hak asasi masih amat sumir. 5 Di tingkat dunia, telah ada Deklarasi dan Program Aksi Wina yang pada bagian I ayat 18, menentukan bahwa hak asasi perempuan dan anak perempuan merupakan bagian yang melekat, menyatu dan tidak terpisahkan dari hak asasi manusia yang universal. Partisipasi perempuan yang sepenuhnya dan sama dalam kehidupan politik, sipil, ekonomi, sosial dan budaya pada tingkat nasional, regional dan internasional, serta pembasmian segala bentuk diskriminasi atas dasar jenis kelamin merupakan tujuan berprioritas pada masyarakat internasional. 6 Langkah yang signifikan yang menuju ke pengakuan tentang hak-hak perempuan adalah apa yang diayunkan pada tahun 1979 pada Sidang Umum PBB yang mengadopsi CEDAW (Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Against Women) yang membuka jalan bagi semua negara untuk meratifikasinya (Indonesia sudah meratifikasinya dengan UU No. 7 Tahun 1984). 7 Agar langkah ini dapat efektif maka negara harus menjabarkannya dan mengusahakan untuk memasukkan jabaran konvensi tersebut kedalam rumusan undang-undang negara dan menegakkannya dengan cara mengajukan para pelanggarnya ke muka sidang pengadilan. Namun demikian, perempuan sendiri 5
Rutman Sirait, Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja, Pradnya Paramita, Jakarta, 1992, hal. 23. 6 Ibid., hal. 45. 7 Sugiyono, Konvensi-konvensi tentang Perlindungan Tenaga Kerja, Alumni, Bandung, 1997, hal. 118.
Universitas Sumatera Utara
19
masih belum banyak yang sadar bahwa hak-haknya dilindungi, dan bahwa hal tersebut mempunyai pengaruh terhadap kehidupan perempuan. Adalah sangat prematur untuk mengatakan bahwa CEDAW sudah dihormati dan dilaksanakan secara universal. CEDAW memerintahkan kepada seluruh negara di dunia untuk tidak melakukan diskriminasi terhadap perempuan. Di dalam CEDAW ditentukan bahwa diskriminasi terhadap perempuan adalah perlakuan yang berbeda berdasarkan gender yang : 8 1. Secara sengaja atau tidak sengaja merugikan perempuan; 2. Mencegah masyarakat secara keseluruhan memberi pengakuan terhadap hak perempuan baik di dalam maupun di luar negeri; atau 3. Mencegah kaum perempuan menggunakan hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang dimilikinya. Di Indonesia, ketentuan tentang perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dalam bekerja telah diatur dalam Pasal 5 dan 6 UU No. 13 Tahun 2003 sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Perlindungan hukum terhadap tenaga kerja perempuan di Indonesia dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 65 ayat (4) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 yang menentukan bahwa : Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurangkurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Dari ketentuan Pasal 65 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 di atas dapat diketahui bahwa perlindungan hukum yang diberikan kepada perempuan dan laki-laki adalah sama. Untuk melindungi tenaga kerja, maka perusahaan
8
Ibid., hal. 119-120.
Universitas Sumatera Utara
20
wajib memberikan perlindungan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Adanya ketentuan bahwa pemerintah memberikan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja perempuan ini merupakan angin segar bagi kaum perempuan yang terpaksa bekerja. Karena di dalam praktek kerja yang ada di masyarakat, sering terjadi kesewenang-wenangan terhadap kaum perempuan yang bekerja. Kesewenang-wenangan ini berupa jam kerja yang terlalu panjang, gaji di bawah standar, sakit karena haid tetap disuruh bekerja, tidak diberi waktu istirahat yang cukup, harus mempunyai produktivitas yang sama dengan pekerja laki-laki, tidak disediakan ruang kamar mandi khusus (kamar mandi jadi satu dengan pekerja laki-laki) sehingga bisa mengundang pelecehan seksual, dan lain-lain. 9 Adanya ketentuan bahwa pengusaha harus memenuhi syarat-syarat kerja pemberian pekerjaan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, membuat pengusaha yang tidak mau memenuhi ketentuan syarat kerja yang ditujukan bagi pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja perempuan dapat dikenai sanksi sesuai dengan hukum yang berlaku, antara lain sanksi denda, sanksi kurungan/penjara, sanksi ditutup usahanya, dan lain-lain. Perempuan sebagai pekerja berhak mendapat perlindungan hukum dari berbagai kemungkinan buruk yang dapat menimpanya. Apalagi jika perempuan tersebut melakukan pekerjaannya di malam hari. Untuk itu ada beberapa konvensi tentang perlindungan terhadap perempuan yang bekerja di malam hari, antara lain : 10 1. Konvensi Kerja Malam (Perempuan), 1919 (Indonesia tidak ikut meratifikasi). 2. Konvensi Kerja Malam (Perempuan), 1934 (Indonesia tidak ikut meratifikasi). 3. Konvensi Kerja Malam (Perempuan) (Revisi), 1948 (Indonesia tidak ikut meratifikasi).
9
http://www.kompas.com. Anonim, Perisai Perempuan, Kesepakatan Internasional untuk Perlindungan Perempuan, 1996, hal. 44-46. 10
Universitas Sumatera Utara
21
Dari ketiga konvensi tentang perlindungan terhadap tenaga kerja perempuan yang bekerja di malam hari tersebut, tidak satupun yang pernah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pemerintah Indonesia khawatir tidak dapat memenuhi ketentuan yang ditentukan oleh konvensi tersebut yang dirasa berat oleh pengusaha. Salah satu dari ketentuan konvensi-konvensi itu yang dirasa berat untuk dilaksanakan adalah ketentuan Pasal 3 Konvensi Kerja Malam (Perempuan) (Revisi), 1948, yang menentukan bahwa “Kaum perempuan berapapun usianya tidak boleh dipekerjakan pada malam hari pada usaha industri publik atau swasta apapun, atau pada cabang-cabangnya, kecuali di dalam usaha dimana hanya angota-anggota dari keluarga yang sama dipekerjakan.” Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa ada suatu ketentuan bahwa pekerjaan yang dilakukan perempuan di malam hari hanya boleh dilakukan jika di dalam usaha yang sama, bekerja juga anggota keluarganya yang lain. Ketentuan ini dirasa berat, karena belum tentu di dalam satu perusahaan bekerja juga anggota keluarga yang sama, sehingga ketentuan ini dirasa hanya akan mematikan potensi ekonomi yang dimiliki usaha tersebut. Karena jika ternyata pengusaha Indonesia melakukan pelanggaran, maka sanksinya usaha tersebut harus ditutup. Akan tetapi walaupun Indonesia tidak meratifikasi konvensi internasional tersebut, tetap ada perlindungan hukum yang diberikan kepada tenaga kerja perempuan yang bekerja di malam hari. Perlindungan itu diberikan melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep. 224/Men/2003 Tentang Kewajiban Pengusaha Yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan Antara Pukul 23.00 Sampai Dengan Pukul 07.00. Peraturan ini dibuat dalam rangka memberikan peraturan pelaksanaan Pasal 76 ayat (3) dan (4) UU No. 13 Tahun 2003 yang menentukan bahwa : (1) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.
Universitas Sumatera Utara
22
(2) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. (3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib : a. memberikan makanan dan minuman bergizi; dan b. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja. (4) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri. Demi melindungi eksistensi peran dari tenaga kerja perempuan maka pemerintah menetapkan apa saja yang menjadi hak dari tenaga kerja perempuan. Hal ini di atur secara khusus dengan sebagai cara untuk melindungi tenaga kerja perempuan yang khususnya yang berkerja di malam hari. Dalam hal ini pemerintah menetapkan dalam KEPMEN NO.224 TAHUN 2003 tenaga kerja perempuan yang berkerja di malam hari berhak mendapatkan: a. Mendapat makanan dan minuman bergizi; b. Mendapat keamanan selama di tempat kerja.dan pengamanan terhadap tindakan yang melanggar kesusilaan c. Mendapatkan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan 05.00. d. Mendapat kamar mandi/wc yang layak dengan penerangan yang memadai serta terpisah antara pekerja/buruh perempuan dan laki-laki. Dimana telah diatur dalam undang-undang bahwa pekerja perempuan mempunyai hak-hak khusus yang tidak diberikan oleh pekerja laki-laki. Hal ini terkait dengan perlindungan fungsi reproduksi yang dimiliki oleh perempuan, dan
Universitas Sumatera Utara
23
tidak dimiliki oleh laki-laki. Perlindungan fungsi reproduksi ini antara lain menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui. Menurut Undang-undang dan konvensi ILO yang telah diratifikasi, perlindungan tenaga kerja perempuan meliputi : 1. Kerja Malam Perempuan Perempuan yang bekerja di malam hari harus mendapat perlindungan khusus berdasarkan pertimbangan bahwa perempuan itu lemah dari segi fisik maupun untuke menjaga kesehatan dan kesusilaan. Menurut UU no.13 tahun 2003, perempuan dilarang bekerja pada malam hari bila berumur kurang dari 18 tahun atau pekerja / buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya dan dirinya. Sedangkan bagi pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan pada malam hari mempunyai kewajiban memberikan makanan dan minuman bergizi, menjaga kesusilaan dan keamanan selama bekerja dan menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh yang berangkat dan pulang antara jam 23.00 s/d05.00 2.
Cuti Haid Cuti ini diberikan kepada pekerja perempuan yang menderita gangguan kesehatan karena haidnya, sehingga hak istirahat ini tidak bersifat mutlak sehingga bagi pekerja perempuan yang akan menggunakan hak ini harus disertai surat keterangan dari dokter atau bidan. Sehubungan dengan hak ini, pengusahan berkewajiban untuk tidak mempekerjakan pekerja perempuan pada hari pertama dan kedua waktu haid dan membayar upah penuh bagi pekerja perempuan yang menggunakan hak ini.
3.
Cuti Hamil melahirkan dan Gugur Kandungan Untuk menjaga kesehatan dan keselamatan pekerja perempuan beserta anaknya, maka khusus pekerja perempuan mendapatkan cuti selama 1,5 (satu setengah) bulan dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter.
Universitas Sumatera Utara
24
4.
Kesempatan Menyusui Anaknya Menurut pasal 83 UU No.13 tahun 2003, pekerja perempuan yang masih menyusui harus diberi kesempatan sepatitnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan di waktu kerja. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin agar pekerja perempuan dapat memenuhi kewajibannya sebagai ibu untuk memberi ASI walaupun harus bekerja untuk membantu mencari nafkah bagi keluarganya.
5. Larangan Pemutusan Hubungan Kerja Bagi Pekerja Perempuan Karena Menikah, Hamil dan Melahirkan Pekerja perempuan yang karena menikah, hamil atau melahirkan dilindungi peraturan Menteri Tenaga Kerja, yaitu pengusaha dilarang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena ketiga hal di di atas. Apabila di suatu perusahaan ada pekerjaan yang tidak mungkin dilakukan perempuan hamil, maka harus dilakukan pengalihan pekerjaan kepada pekerja lain. Bila pengalihan kerja tidak dimungkinkan maka pengusaha wajib memberikan cuti di luar tanggungan perusahaan sampai waktu cuti hamil atu melahirkan dengan ketentuan jangka waktu cuti 7,5 bulan. Tenaga kerja perempuan yang sudah mendapatkan cuti hamil atau melahirkan,pengusaha wajib mempekerjakan perempuan tersebut pada tempat dan jabatan yang sama tanpa mengurangi hak-haknya. 6. Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Bunyi pasal 5 UU No.13 tahun 2003 tersebut mencerminkan bahwa tidak ada perbedaan hak antara pria dan perempuan untuk memperoleh pekerjaan. Disamping diatur dalam undangundang, Pemerintah juga telah meratifikasi konvensi ILO Nomor 100 tentang pengupahan yang sama dalam pekerjaan yang sama nilainya bagi laki-laki dan perempuan. Konvensi yang kedua nomor 111 tentang Diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan , isinya antara lain memuat ketentuan-ketentuan tentang larangan segala bentuk diskriminasi dalam pekerjaan berdasarkan ras, warna
Universitas Sumatera Utara
25
kulit, seks,agama,aliran politik dan sebagainya. Larangan diskriminasi ini termasuk
kesempatan
mengikuti
pelatihan
ketrampilan,
memperoleh
pekerjaan dan mematuhi syarat-syarat mendapatkan kondisi kerja. 7. Perlindungan Upah Bagi Pekerja Perempuan Pada prinsipnya, upah yang diberikan kepada pekerja adalah sama dan berbentuk uang. Menurut Peraturan Pemerintah No.8 tahun 1981 disebutkan bahwa pengusaha dalam menetapkan upah, tidak boleh mengadakan diskriminasi antara pekerja / buruh laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya. Yang dimaksud dengan tidak boleh mengadakan diskriminasi dalam pasal di atas adalah bahwa upah dan tunjangan-tungangan lainnya yang diterima oleh pekerja/buruh laki-laki harus sama besarnya dengan upah dan tunjangan lain-lain yang diterima pekerja/buruh perempuan. Berbagai bentuk perlindungan kepada pekerja/buruh perempuan di atas, pada awalnya untuk melindungi pekerja perempuan dari kemungkinan eksploitasi yang dilakukan pengusaha untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, sehingga perlakuan terhadap pekerja perempuan lebih manusiawi. Disamping itu, perlindungan ini didasarkan pula bahwa secara kodrati pekerja perempuan memiliki kondisi fisiologi yang berbeda dengan pria. Dimana pekerja perempuan mempunyai fungsi reproduksi, sebagai salah satu fungsi sosial yang dimiliki kaum perempuan yang akan berpengaruh pada kehidupan keluarga, masyarakat dan bernegara. Dengan berbagai aturan ini diharapkan fungsi reproduksi dapat berlangsung aman dan sehat, sehingga peran ganda yang dimiliki bisa berjalan dengan seimbang disamping menjadi pekerja yang lebih bermartabat.
Universitas Sumatera Utara