BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERLINDUNGAN HUKUM, RUMAH SAKIT SWASTA, DAN MALAM HARI 2.1. Perlindungan Hukum Setiap orang berhak untuk mendapatkan perlindungan, karena tak seorangpun dapat menghindar dari bahaya yang dapat menimpanya suatu saat nanti. Oleh karena kita berada di negara hukum, maka sudah selayaknya setiap orang mendapatkan perlindungan dari hukum. 2.1.1. Pengertian Perlindungan Hukum Perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan atau sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya. 1 Bagi Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi rakyat dengan sendirinya harus dikembalikan kepada Pancasila sebagai dasar negara. 2 Dalam suatu negara yang menganut supremasi hukum atau menjadikan hukum sebagai panglima, maka negara tersebut wajib melindungi warga negaranya 1
Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia (Sebuah Studi tentang Prinsip-prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi), Cetakan Ke-1, Peradaban, Surabaya, Hlm. 25 2 Ibid
dengan menciptakan suatu hukum yang dapat melindungi hak-hak dari subjek hukum yang berada di negaranya. Hukum dapat memberikan batasan-batasan tingkah laku subjek hukum, sehingga setiap subjek hukum berkewajiban untuk tidak merampas hak-hak dari subjek hukum lainnya. 2.1.2. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Pekerja/buruh yang diartikan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Tidak ada batasan umur maupun gelar akademik atau non akademik dalam pengertian pekerja/buruh yang tercantum dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan tersebut. Hanya saja yang membedakan pekerja/buruh yang dimaksudkan
dalam
Undang-Undang
Nomor
13
Tahun
2003
Tentang
Ketenagakerjaan adalah pemberi kerjanya. Pengertian pemberi kerja terdapat dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pekerja/buruh yang dimaksudkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain pada orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya.
Dalam beberapa karya ilmiah tentang ketenagakerjaan sering dijumpai adagium yang menyatakan bahwa “pekerja/buruh adalah tulang punggung perusahaan”. Pekerja/buruh dikatakan sebagai tulang punggung perusahaan karena memang benar pekerja/buruh memiliki peran penting dalam perusahaan, tanpa adanya pekerja/buruh perusahaan tersebut tidak akan bisa jalan, dan tidak akan bisa berpartisipasi dalam pembangunan nasional. 3 Menyadari pentingnya pekerja/buruh bagi perusahaan, pemerintah, dan masyarakat, maka perlu dilakukan pemikiran agar pekerja/buruh dapat menjaga keselamatan dalam menjalankan pekerjaannya.
4
Demikian pula perlu diusahakan ketenangan dan kesehatan pekerja/buruh agar apa yang dihadapinya dalam pekerjaan dapat diperhatikan semaksimal mungkin sehingga kewaspadaan dalam menjalankan pekerjaan itu tetap terjamin. 5 Perlindungan kerja dapat dilakukan baik dengan memberikan tuntunan, santunan, maupun dengan meningkatkan pengakuan hak-hak asasi manusia, perlindungan fisik dan sosial ekonomi melalui norma yang berlaku dalam perusahaan. 6 Dengan demikian, secara teoritis dikenal ada tiga jenis perlindungan kerja, yaitu sebagai berikut: 7 1. Perlindungan sosial, yaitu perlindungan yang berkaitan dengan usaha kemasyarakatan, yang tujuannya untuk memungkinkan pekerja/buruh
3
Zaeni Asyhadie, 2015, Hukum Kerja, Cetakan Ke-4, RajaGrafindo Persada, Jakarta, Hlm. 83 Ibid 5 Ibid 6 Ibid, Hlm. 84 7 Ibid 4
mengenyam dan mengembangkan perikehidupan sebagaimana manusia pada umumnya, dan khususnya sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga. Perlindungan sosial ini disebut juga dengan kesehatan kerja. 2. Perlindungan teknis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk menjaga agar pekerja/buruh terhindar dari bahaya kecelakaan yang dapat ditimbulkan oleh alat-alat kerja atau bahan yang dikerjakan. Perlindungan ini sering disebut sebagai keselamatan kerja. 3. Perlindungan ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja/buruh suatu penghasilan yang cukup guna memenuhi keperluan sehari-hari baginya dan keluarganya, termasuk dalam hal pekerja/buruh tidak mampu bekerja karena sesuatu diluar kehendaknya. Perlindungan jenis ini biasa disebut dengan jaminan soaial. 2.2. Rumah Sakit Swasta Kehadiran rumah sakit sangat diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, selain rumah sakit berfungsi sebagai pelayanan kesehatan, rumah sakit juga memberikan lapangan pekerjaan bagi orang-orang yang bergerak di bidang tenaga kesehatan. Walaupun banyak terdapat rumah sakit beserta jenis-jenisnya, tetapi tujuan utama dari rumah sakit ialah sebagai pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Dahulu warga masyarakat yang sakit dan dirawat di sebuah rumah sakit pribadi (private hospital) tidak dapat menuntut ganti rugi apabila menderita cedera
karena rumah sakit merupakan suatu lembaga yang terlindung oleh doktrin charitable community. 8 Pada waktu di Amerika Serikat, pengadilan menggunakan berbagai teori untuk menegakan doktrin charitable community ini. 9 Teori yang pertama ialah teori kepercayaan (trust theory) yang menyatakan bahwa dana-dana yang dikelola suatu lembaga derma hanya bertujuan untuk membantu penderita dan apabila dana tersebut digunakan untuk membayar ganti rugi, maka tujuannya sudah disalah gunakan. 10 Kedua, implied waiver theory menyatakan bahwa pasien rumah sakit ditanggung oleh dana yang berasal dari derma sehingga pasien rumah sakit tersebut dianggap dengan sendirinya menanggalkan haknya untuk menuntut ganti rugi apabila terjadi kecelakaan. 11 Ketiga, respondent superior theory, menyatakan atasan atau majikan bertanggung jawab atas hasil pekerjaan bawahan atau pekerja apabila pekerjaan tersebut dilakukan untuk memenuhi kepentingan atasan atau majikan. 12 Oleh karena lembaga-lembaga derma bukan merupakan organisasi yang bertujuan mencari keuntungan, maka rumah sakit tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatanperbuatan bawahannya. 13 Dengan demikian, menurut Harold L. Hirsh yang dikutip dari buku yang berjudul Etika Hukum Kesehatan (Teori dan Aplikasinya di
8
Muhamad Sadi Is, op.cit, Hlm. 105 Muhamad Sadi Is, loc.cit 10 Muhamad Sadi Is, loc.cit 11 Muhamad Sadi Is, loc.cit 12 Muhamad Sadi Is, loc.cit 13 Muhamad Sadi Is, loc.cit 9
Indonesia) karangan dari Muhamad Sadi Is, haluan pengadilan untuk membatasi tanggung jawab rumah sakit dilandaskan atas kepentingan umum. 14 2.2.1. Pengertian Rumah Sakit Swasta Sebagian besar masyarakat pasti telah mengetahui rumah sakit yang fungsinya adalah memberikan pelayanan kesehatan yang bersifat kemanusiaan. Sebagian besar masyarakat juga pasti sudah pernah merasakan berada di rumah sakit, karena sakit itu adalah bagian dari kehidupan dan jika terdapat keluhan sakit, biasanya orang-orang meminta pertolongan ke rumah sakit yang terdapat banyak tenaga kesehatan disana, walaupun bukan hanya rumah sakit saja yang menyediakan jasa pelayanan kesehatan, tetapi masyarakat sebagian besar lebih memilih rumah sakit sebagai tempat pelayanan kesehatannya apabila terdapat keluhan penyakit. Rumah sakit dapat dibentuk oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan swasta. Rumah sakit yang dibentuk oleh pemerintah dan pemerintah daerah merupakan bagian dari instansi pemerintahan. Sedangkan rumah sakit swasta adalah rumah sakit yang dibentuk oleh badan hukum yang hanya bergerak di bidang perumahsakitan. Rumah sakit swasta menurut jenis pengelolaan rumah sakit dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu rumah sakit swasta publik dan rumah sakit swasta privat. Rumah sakit swasta publik adalah rumah sakit swasta yang dikelola oleh badan
14
Muhamad Sadi Is, loc.cit
hukum yang bersifat nirlaba. Sedangkan rumah sakit swasta privat adalah rumah sakit swasta yang bersifat profit. 2.2.2. Rumah Sakit Swasta Di Bentuk Oleh Badan Hukum Rumah sakit swasta merupakan rumah sakit yang dibentuk oleh badan hukum yang hanya bergerak di bidang perumahsakitan. Pernyataan tersebut terdapat dalam Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit yang menyatakan bahwa Rumah Sakit yang didirikan oleh swasta sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) harus berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan. Badan hukum merupakan salah satu dari dua subjek hukum yang ada pada umumnya disamping subjek hukum orang perseorangan. Di dalam hukum, istilah orang (persoon) mencakup mahluk pribadi, yakni manusia (naturlijke persoon) dan badan hukum (recht persoon), keduanya adalah penyandang hak dan kewajiban hukum. 15 Badan hukum adalah suatu badan yang dapat mempunyai harta kekayaan, hak serta kewajiban seperti orang-orang pribadi. 16 Rumah sakit swasta yang harus berbadan hukum adalah merupakan bagian dari pemberi kerja yang dimaksudkan dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan 15
Handri Raharjo, 2013, Hukum Perusahaan, Cetakan Ke-1, Pustaka Yustista, Yogyakarta, Hlm.
20 16
Rochmat Soemitro, 1993, Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan, dan Wakaf, Eresco, Bandung, Hlm. 10
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Maka dari itu, orang-orang yang bekerja di rumah sakit swasta adalah dikatagorikan sebagai pekerja/buruh yang tunduk pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 2.3. Malam Hari Ketika kita membicarakan tentang malam hari, maka kata pertama yang ada dipikiran kita adalah gelap, karena malam hari identk dengan kegelapan, walaupun dewasa ini sudah banyak cara-cara penerangan yang dilakukan agar tetap dapat beraktifitas walaupun dalam keadaan malam hari. Banyak hal yang dapat dilakukan pada saat malam hari dengan mengadakan penerangan-penerangan yang membuat kondisi tidak lagi gelap. 2.3.1. Pengertian Malam Hari Situasi malam dari yang diidentikkan dengan suasana gelap adalah situasi dimana orang-orang yang telah beraktifitas pada waktu pagi, siang, sampai dengan sore hari untuk beristirahat, walaupun dewasa ini banyak orang yang beraktifitas pada malam hari yang diakibatkan oleh penerangan-penerangan yang memungkinkan orang-orang untuk beraktifitas. Walaupun terdapat penerangan yang demikian, yang memungkinkan orang-orang untuk beraktifitas, tidak mengurangi resiko yang akan terjadi pada malam hari. Ketentuan dari pasal 98 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, menyatakan bahwa yang dikatakan malam hari, yaitu masa diantara matahari terbenam dan
matahari terbit. R. Soesilo menyatakan bahwa dalam prakteknya polisi waktu memeriksa perkara pencurian yang dilakukan pada malam hari, menanyakan kepada pelaku: “apakah pada waktu itu hari sudah gelap atau masih terang?”, yang berarti apakah matahari pada waktu itu sudah terbenam atau belum. 17 Begitu pula yang tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang terkait dengan pengertian malam adalah “waktu setelah matahari terbenam hingga matahari terbit”. Tidak ditemukannya kepastian hukum dalam pengertian malam yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kamus Besar Bahasa Indonesia, sehingga manimbulkan multi tafsir dalam penafsiran malam hari tersebut. Hal tersebut disebabkan oleh pada jam berapa tiap-tiap harinya selama satu tahun terbit dan terbenamnya matahari itu tidak sama. 18 Jika dikaitkan dengan jam kerja untuk para buruh, ketentuan pada pasal 76 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib: a. memberikan makanan dan minuman bergizi; dan b. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.
17
R. Soesilo, 1985, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal), Cetakan Ke-8, PT. Karya Nusantara, Bandung, Hlm. 104 18 Ibid
Artinya dalam ketentuan pasal 76 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan tersebut menunjuk pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 sebagai waktu yang beresiko tinggi terhadap pekerjaan, terutama terhadap perempuan. Pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 juga merupakan waktu istirahat malam bagi sebagian besar orang yang telah melakukan aktifitas pada pagi, siang, sampai dengan sore hari. Malam hari juga dapat dikatakan sebagai waktu yang beresiko tinggi terhadap orang melakukan aktifitas pada waktu itu. 2.3.2. Unsur-Unsur Malam Hari Jika dilihat dari pengertian dan keterangan yang telah dicantumkan tersebut diatas, maka dapat ditemukan unsur-unsur malam hari sebagai berikut: 1. Setelah matahari terbenam 2. Sebelum matahari terbit Unsur-unsur tersebut diatas harus dipenuhi untuk dapat menentukan bahwa pada waktu tersebut adalah malam hari. Malam hari tidak dapat dikatakan sebelum matahari terbenam dan tidak juga dapat dikatakan setelah matahari terbit. Jika dilihat dari sudut pandang hukum, maka terdapat satu unsur lagi yang harus dipenuhi untuk menentukan waktu malam hari, yaitu beresiko lebih tinggi untuk orang yang melakukan aktifitas. Yang dimaksud dengan resiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu kejadian (peristiwa) diluar
kesalahan salah satu pihak. 19 Orang yang melakukan aktifitas pada pagi, siang, dan sore hari mendapatkan resiko pekerjaan, tetapi pada malam hari resiko itu menjadi lebih besar, karena pada umumnya waktu malam hari orang-orang akan beristirahat setelah pada waktu pagi, siang, dan sore hari telah melakukan aktifitasnya.
19
Subekti, R., 2014, Aneka Perjanjian, Cetakan Ke-11, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, Hlm. 24