BAB II CAI TUTORIAL SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR DAN RESPON SISWA PADA KONSEP EKOSISTEM MELALUI PENELITIAN TINDAKAN KELAS
A. COMPUTER ASSISTED INSTRUCTION (CAI) Penggunaan media dalam proses pembelajaran dapat meningkatkan keaktifan belajar siswa. Hal ini sejalan dengan pendapat Sudjana dan Rivai (1997; 2) bahwa media akan lebih menarik minat serta motivasi siswa sehingga siswa akan lebih memahami pembelajaran dan mencapai tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, serta memberikan pengalaman belajar yang baru bagi siswa. Memahami peranan media dalam proses mendapatkan pengalaman belajar bagi siswa dituangkan dalam sebuah kerucut oleh Edgar Dale.
Gambar 2.1 Kerucut Pengalaman Edgar Dale (Sutjiono, 2005)
9
10
Menurut
Edgar
Dale,
dalam
dunia
pendidikan,
penggunaan
media/bahan/sarana belajar seringkali menggunakan prinsip Kerucut Pengalaman, yang membutuhkan media belajar seperti buku teks, bahan belajar yang dibuat oleh guru dan “audio-visual” (Sutjiono, 2005). Hasil belajar seseorang diperoleh mulai dari pengalaman langsung (kongkret) berdasarkan kenyataan yang ada di lingkungan hidupnya, kemudian melalui benda-benda tiruan, dan selanjutnya sampai kepada lambang-lambang verbal (abstrak). Untuk kondisi seperti inilah kehadiran media pembelajaran sangat bermanfaat. Dalam posisinya yang sedemikian rupa, media akan dapat merangsang keterlibatan beberapa alat indera. Di samping itu, memberikan solusi untuk memecahkan persoalan berdasarkan tingkat keabstrakan pengalaman yang dihadapi pelajar. Kenyataan ini didukung oleh landasan teori penggunaan media yang dikemukakan oleh Edgar Dale, yaitu teori Kerucut Pengalaman Dale (Dale’s Cone of Experience) seperti Gambar 2.1 di atas (Sutjiono, 2005). Menurut
Kumaat
(2007)
pemakaian
komputer
dalam
kegiatan
pembelajaran memiliki tujuan sebagai berikut ini. 1. Tujuan Kognitif Komputer dapat mengajarkan konsep-konsep aturan, prinsip, langkahlangkah, proses, dan kalkulasi yang kompleks. Komputer juga dapat menjelaskan konsep tersebut dengan dengan sederhana dengan penggabungan visual dan audio yang dianimasikan. Sehingga cocok untuk kegiatan pembelajaran mandiri.
11
2. Tujuan Psikomotor Dengan bentuk pembelajaran yang dikemas dalam bentuk games & simulasi sangat bagus digunakan untuk menciptakan kondisi dunia kerja. Beberapa contoh program antara lain; simulasi pendaratan pesawat, simulasi perang dalam medan yang paling berat dan sebagainya. 3. Tujuan Afektif Bila program didesain secara tepat dengan memberikan potongan clip suara atau video yang isinya menggugah perasaan, pembelajaran sikap/afektif pun dapat dilakukan mengunakan media komputer. Computer Assisted Instruction (CAI) merupakan program pembelajaran dengan memanfaatkan komputer yang memiliki struktur program diantaranya: desain bentuk (aplikasi perangkat lunak), isi (pesan pembelajaran), dan pendukung (perangkat lunak yang dibutuhkan dalam pengoperasian program, teks, audio, video, grafis, dan sebagainya). Keseluruhan komponen terintegrasi dalam sebuah program dengan memperhatikan konsep kemudahan pengoperasian, interaktivitas, kemenarikan, dan dukungan perangkat evaluasi untuk mengukur tingkat pemahaman siswa seperti Multiple Choice System, atau perangkat lunak sejenisnya (NeoEdu, 2000: 35). Jaladri mengutip definisi CAI dari Splittgerber dan Stirzaker bahwa CAI sebagai proses mengajar yang dilakukan secara langsung yang melibatkan komputer untuk mempresentasekan bahan ajar dalam suatu model pembelajaran yang interaktif untuk memberikan dan mengendalikan lingkungan belajar secara individual pada masing-masing siswa. Definisi ini selaras dengan Stinberg yang
12
menyatakan bahwa CAI merupakan semua penerapan komputer untuk pembelajaran yang memiliki aspek individual, interaktif, dan arahan (bimbingan). Makna CAI sebagai pembelajaran individual, karena komputer memberikan layanan sebagai seorang tutor bagi seorang siswa dari pada sebagai seorang instruktur untuk suatu kelompok siswa (Rasman, 2010). Secara keseluruhan CAI memiliki beberapa kriteria, diantaranya: 1.
Dari sudut pandang dosen/guru adalah mudah digunakan (baik pembuatan maupun
pemanfaatannya),
hanya
memerlukan
pelatihan
minimal,
memungkinkan pembelajaran dengan cara siswa sendiri, memungkinkan pengendalian pembelajaran sesuai dengan lingkungan. 2.
Dari sudut pandang siswa: fleksibilitas, bahan belajar lebih kaya dibandingkan melalui kelas konvensional, berjalan pada komputer yang telah tersedia,
memungkinkan
kolaborasi
yang
memadai,
mencakup
pengembangan materi lanjutan melalui diskusi kelas dan kerja kelompok. Dengan demikian struktur program CAI harus bersifat dapat terus dikembangkan (scalable) (NeoEdu, 2000: 35). Menurut Sadily berdasarkan asal kata, tutorial dapat diartikan dalam dua kategori bentuk kata, yaitu kata benda dan kata kerja. Sebagai kata benda tutorial berarti pelajaran pribadi, guru pribadi, pengajaran tambahan sedangkan sebagai kata kerja tutorial berarti mengajar di rumah, mengajar ekstra, memberi les, pengajaran tambahan, pengajaran pribadi. Sedangkan tutorial secara istilah adalah bimbingan pembelajaran dalam bentuk pemberian bimbingan, bantuan, petunjuk,
13
arahan dan motivasi agar siswa belajar secara efektif dan efisien (Hamalik, 2003: 73). Pemberian bimbingan berarti membantu para siswa memecahkan masalahmasalah belajar. Pemberian bantuan berarti membantu siswa dalam mempelajari program. Pemberian petunjuk berarti memberikan cara belajar agar siswa lebih belajar secara efektif dan efisien. Pemberian arahan berarti mengarahkan para siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran yang ditetapkan dan pemberian motivasi berarti memberikan semangat untuk lebih mengikuti pembelajaran yang diterapkan (Nugraha, 2009). Steven B. Dowd menjelaskan salah satu tipe umum pemanfaatan CAI adalah dengan model tutorial, seperti yang banyak ditemukan dalam CD-CD pembelajaran interaktif, dimana dalam model ini tedapat beberapa aspek atau unsur utama penyusunnya, yaitu: 1). Tujuan media instruksional, 2). Bagian pendahuluan (apersepsi), 3). Halaman menu utama, 4). Garis besar isi, 5). Isi pembelajaran, 6). Assesmen/uji diri (sendiri), 7). Glosari/daftar istilah, dan 8). Pustaka (Henuhili et al., 2008). Menurut Bright bila dibanding dengan pendekatan pengajaran tradisional, CAI sangat efektif dan efisien. Anak didik akan belajar lebih cepat, menguasai materi pelajaran lebih banyak dan mengingat lebih banyak dari apa yang sudah dipelajari. Dalam studi meta analisisnya terhadap hasil-hasil penelitian tentang efektifitas CAI selama 25 tahun, Kulik, et al menyimpulkan bahwa: 1. Siswa belajar lebih banyak materi dari komputer (melalui CAI) 2. Siswa mengingat apa yang telah dipelajari melalui CAI lebih Lama
14
3. Siswa membutuhkan waktu lebih sedikit 4. Siswa lebih betah di kelas 5. Siswa memiliki sikap lebih positip terhadap komputer Selain kelebihan yang telah dijelaskan sebelumnya, ternyata CAI juga memiliki kelemahan. Richard Clark mengkritik bahwa program pengajaran seperti CAI bisa saja efektif tetapi dengan hanya menempatkan materi pelajaran kedalam komputer secara asal, tidaklah akan meningkatkan efektivitas pengajaran. Untuk memperoleh efektifitas yang tinggi, pengembangan suatu CAI perlu perencanaan yang matang. CAI yang dibuat secara asal jadi tidak akan meningkatkan efektifitas belajar bagi pemakainya. Jadi suatu CAI bisa saja menjadi alat bantu pengajaran yang sangat baik tetapi bisa juga sebaliknya. Oleh karena itu Simonson dan Thompson menyarankan agar pembuatan CAI harus direncanakan dengan baik dan usaha penelitian saat ini sebaiknya difokuskan pada pemakaian CAI untuk situasi khusus dan untuk mata pelajaran khusus pula (Nugraha, 2011).
B. HASIL BELAJAR Belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan sebagai hasil dari proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti berubah pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah laku, keterampilan, kecakapan, kebiasaan, kemampuan, daya reaksi dan daya penerimaan serta perubahan aspek-aspek lain yang ada pada individu yang belajar (Sudjana, 2005: 28). Oleh sebab itu belajar adalah proses aktif, belajar adalah proses mereaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu.
15
Menurut Slameto (2003: 2) menyatakan bahwa belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Menurut Sukmadinata (2005: 102) menyatakan bahwa hasil belajar (achievement) merupakan realisasi atau pemekaran dari kecakapan-kecakapan potensial atau kapasitas yang dimiliki seseorang. Keberhasilan pengajaran dilihat dari segi hasil yang dicapai siswa, tentunya mengharapkan bahwa semua hasil yang diperoleh itu membentuk satu sistem nilai yang dapat membentuk kepribadian siswa, sehingga memberi warna dan arah dalam semua perbuatannya. Adapun yang menjadi standar keberhasilan itu dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor yang terdapat dalam diri individu itu sendiri (faktor internal) maupun faktor yang berada di luar individu (faktor eksternal) (Sudjana, 1996: 6). Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri individu yang sedang belajar, sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang ada di luar diri individu. Faktor internal terbagi menjadi tiga faktor dikemukakan oleh Slameto (2003: 54-72) sebagai berikut: 1. Faktor jasmaniah, terdiri dari faktor kesehatan, dan cacat tubuh. 2. Faktor psikologis, terdiri dari inteligensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan, dan kesiapan. 3. Faktor kelelahan, terdiri dari kelelahan jasmani dan kelelahan rohani. Sedangkan faktor eksternal terbagi menjadi tiga faktor yaitu :
16
1. Faktor keluarga (cara orang tua mendidik, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua dan sebagainya). 2. Faktor sekolah (metode mengajar, kurikulum, alat pelajaran, waktu sekolah dan sebagainya) . 3. Faktor masyarakat (kegiatan siswa dalam masyarakat, mass media, teman bergaul, bentuk kehidupan masyarakat). Bloom (Sudjana, 2004) membagi tiga ranah hasil belajar yaitu: 1. Ranah kognitif Berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yaitu pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. 2. Ranah Afektif Berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek yaitu penerimaan, jawaban atau reaksi penilaian, organisasi dan internalisasi. 3. Ranah Psikomotorik Berkenaan dengan hasil belajar ketrampilan dan kemauan bertindak, ada enam aspek yaitu gerakan refleks, ketrampilan gerakan dasar, ketrampilan membedakan secara visual, ketrampilan dibidang fisik, ketrampilan komplek dan komunikasi. Ketiga ranah tersebut menjadi objek penilaian hasil belajar. Hasil kognitif diukur pada awal dan akhir pembelajaran, sedangkan untuk hasil belajar afektif dan psikomotorik diukur pada proses pembelajaran untuk mengetahui sikap dan ketrampilan siswa.
17
C. RESPON SISWA Menurut Sarlito setiap tingkah laku pada hakekatnya merupakan tanggapan/balasan (respon) terhadap stimulus. Pendapat selaras diungkap oleh Mar’at yang menyatakan bahwa respon merupakan reaksi akibat penerimaan stimulus, dimana stimulus adalah berita, pengetahuan, informasi, sebelum diproses atau diterima oleh indranya. Individu manusia berperan sebagai unsur pengendali antara stimulus dan respon, sehingga yang menentukan bentuk respon individu terhadap stimulus adalah stimulus dan faktor Individu itu sendiri (Senjaya, 2010). Berlo merumuskan respon sebagai sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang sebagai hasil atau akibat menerima stimulus. Stimulus tersebut merupakan sesuatu yang dapat diterima oleh seseorang melalui salah satu penginderanya. Respon digolongkan menjadi dua jenis yaitu respon yang tidak nampak (covert response) dan respon yang nampak (covert response). Respon yang tidak nampak diwujudkan oleh seseorang kedalam aspek kognisi (pengetahuan) dan afeksi (sikap) (Senjaya, 2010). Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati (Arya, 2010).
18
D. KARAKTERISTIK MATERI EKOSISTEM Materi Ekosistem merupakan salah satu materi yang diajarkan pada siswa SMP kelas VII semester genap. Materi ini tercakup dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006. Materi ini juga dijelaskan dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar pada Tabel 2.1 berikut: Tabel 2.1 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Materi Ekosistem No.
Komponen
1.
Standar Kompetensi
2.
Kompetensi Dasar
1.
Deskripsi Memahami saling ketergantungan dalam ekosistem. 1.1 Mengidentifikasi pentingnya keanekaragaman makhluk hidup dalam pelestarian ekosistem. 1.2 Mengaplikasikan peran manusia dalam pengelolaan lingkungan untuk mengatasi pencemaran dan kerusakan lingkungan. Sumber: KTSP (BSNP, 2006:380)
Karakteristik Materi Ekosistem Materi ekosistem terdiri dari konsep-konsep cukup sulit untuk dipahami
oleh siswa. Hal ini dikarenakan konsep ekosistem berkaitan dengan lingkungan sekitar yang harus diamati secara langsung oleh siswa. Karakteristik materi yang seperti ini dapat dengan mudah dijelaskan dengan metode konvesional yaitu ceramah, tetapi akan sulit untuk mencapai ketuntasan hasil belajar siswa. Jenis materi seperti ini akan mudah dipahami oleh siswa dengan menggunakan multimedia dimana uraian materi akan disampaikan melalui media animasi. Guru berperan sebagai penguat dalam penyampaian materi. Karakteristik materi yang dimaksud meliputi deskripsi kerumitan ataupun kemudahan sub materi pada ekosistem seperti yang dirinci dalam Tabel 2.2.
19
Tabel 2.2 Karakteristik Materi Ekosistem No.
Sub Materi
1
Pentingnya keanekaragaman makhluk hidup dalam pelestarian ekosistem
2
Pengelolaan hutan
3
Pencemaran lingkungan
4
Cara mengatasi dan menaggulangi pencemaran lingkungan
Karakteristik Materi Keanekaragaman makhluk hidup tidak di lingkungan sekitar siswa, keanekaragaman organisme di tempat dari garis khatulistiwa. Oleh karena memerlukan gambaran yang nyata keanekaragaman di tempat tersebut.
selalu ada seperti yang jauh itu siswa mengenai
Materi ini tergolong mudah, siswa mempelajari funsi hutan dan usaha mengatasi kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh penebangan hutan. Siswa perlu diperlihatkan fenomena kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh hutan melalui media pembelajaran, seperti video dokumentasi kerusakan alam.
Macam-macam pencemaran lingkungan meliputi pencemaran tanah, air, dan udara. Dampak yang ditimbukan akibat pencemaran tersebut akan lebih jelas dan menarik untuk dipelajari jika siswa melihat video mengenai dampak pencemaran terhadap lingkungan. Oleh karena itu diperlukan suatu media pembelajaran yang dapat menggambarkan keadaan lingkungan yang tercemar. Pada sub materi ini siswa mempelajari bagaimana polutan dapat mencemari lingkungan dan bahaya polutan bagi lingkungan.
Sub materi ini tergolong mudah, akan tetapi siswa perlu mengetahui lebih jelas tentang cara mengatasi dan menanggulangi pencemaran udara, air, tanah dan suara.
20
2. Deskripsi Materi Ekosistem Tabel 2.3 Deskripsi Materi Ekosistem No. 1.
Sub Materi
Deskripsi Materi
Pentingnya
Keanekaragaman organisme akan berbeda-beda
keanekaragaman
antara satu tempat dengan tempat yang lain.
makhluk hidup
Perbedaan tingkat keanekaragaman antara satu
dalam pelestarian
wilayah dan wilayah lainnya sangat ditentukan
ekosistem
oleh
keadaan
atau
sifat-sifat
lingkungan
setempat. Indonesia yang berada di daerah khatulistiwa memiliki tingkat keanekaragaman oganisme yang tinggi. Semakin jauh dari khatulistiwa,
semakin
keanekaragaman
rendah
organismenya.
tingkat Ketahanan
suatu organisme akan sangat dipengaruhi oleh tingkat keanekaragaman organisme di tempat itu. Adanya gangguan lingkungan sehingga kondisi lingkungan menjadi tidak sesuai lagi dengan kebutuhan spesies tertentu. 2.
Pengelolaan hutan
Hutan
merupakan habitat yang memiliki
keanekaragaman hayati (biodiversitas) yang cukup
tinggi,
ekosistem binatang,
dimana
jenis
dan
ada
keberagaman
variabilitas
tumbuh-tumbuhan,
genetik dan
mikroorganisme yang hidup didalamnya salinh berinteraksi dengan lingkungan abiotiknya. Menurut fungsinya, dinagi menjadi dua, yaitu hutan lindung dan hutan pelestarian alam. Hutan lindung merupakan suatu kawasan hutan dengan keadaan sifat alam yang berkemampuan untuk
21
No. Sub Materi
Deskripsi Materi mengatur tata air, mencegah erosi dan banjir serta memelihara kesuburan. Hutan lindung dan pelestarian alam bertujuan untuk melindungi dan melestarikan tipe-tipe ekosistem tertentu serta menjamin stabilitas tumbuhan dan hewan.
3.
Pencemaran lingkungan
UU RI No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup
menyatakan
bahwa
pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup
oleh
kegiatan
manusia,
sehingga
kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu, yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Macam-macam pecemaran lingkungan, yaitu: pencemaran air, tanah dan udara. 4.
Cara mengatasi dan menaggulangi pencemaran lingkungan
Beberapa
usaha
menanggulangi
masalah-
masalah lingkungan dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya: 1) Melaksanakan
program-program
penyelamatan lingkungan hidup, antara lain usaha rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS), reboisasi lahan-lahan kritis, menjaga kelestarian
hutan,
perbaikan
teknologi
bercocok tanam. 2) Membuat peraturan-peraturan, antara lain: a) Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
22
No.
Sub Materi
Deskripsi Materi b) Peraturan
Pemerintah
Republik
Indonesia No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis
Mengenai
Dampak
Lingkungan. 3) Mengganti
sumber
bahan
penyebab
pencemaran, misalnya pemakaian bahan bakar minyak diganti dengan bahan bakar LNG
(Liquified
Natural
Gases)
yang
menghasilkan gas buang yang lebih bersih. Efisiensi dan efektivitas penggunaan pestisida, misalnya
memberikan
penjelasan
tentang
aturan-aturan penggunaan dan efek yang dapat ditimbulkannya. (Sumber: Suyitno, 2009: 146; Winarsih, et al., 2008: 307)
E. PENELITIAN TINDAKAN KELAS (PTK) 1.
Definisi Penelitian Tindakan Kelas Arikunto, et al (2006) menjelaskan PTK dengan memisahkan kata-kata
yang tergabung didalamnya, yakni: Penelitian, Tindakan, dan Kelas, dengan paparan sebagai berikut. a.
Penelitian: menunjuk pada kegiatan mencermati suatu objek, dengan menggunakan cara dan aturan metodologi tertentu untuk memperoleh data atau informasi yang bermanfaat dalam meningkatkan mutu suatu hal yang menarik minat dan penting bagi peneliti.
23
b.
Tindakan: menunjuk pada suatu gerak kegiatan yang sengaja dilakukan dengna tujuan tertentu. Dalam penelitian berbentuk rangkaian siklus kegiatan untuk peserta didik.
c.
Kelas: dalam hal ini tidak terikat pada pengertian ruang kelas, tetapi dalam pengertian yang lebih spesifik. Seperti yang sudah lama dikenal dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Yang dimaksud dengan istilah kelas adalah sekelompok peserta didik dalam waktu sama, menerima pelajaran yang sama dari guru yang sama pula. Berdasarkan pemahaman terhadap tiga kata kunci tersebut, dapat
disimpulkan bahwa: Penelitian tindakan kelas merupakan suatu upaya untuk mencermati kegiatan belajar sekelompok peserta didik dengan memberikan sebuah tindakan (treatment) yang sengaja dimunculkan. Tindakan tersebut dilakukan oleh guru, oleh guru bersama-sama dengan peserta didik, atau oleh peserta didik di bawah bimbingan dan araha guru, dengan maksud untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pembelajaran (Mulyasa, 2010: 11). Menurut John Elliot bahwa yang dimaksud dengan PTK ialah kajian tentang situasi sosial dengan maksud untuk meningkatkan kualitas tindakan di dalamnya. Seluruh prosesnya, telaah, diagnosis, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan pengaruh menciptakan hubungan yang diperlukan antara evaluasi diri dari perkembangan profesional. Pendapat yang hampir senada dikemukakan oleh Kemmis dan Mc Taggart, yang mengatakan bahwa PTK adalah suatu bentuk refleksi diri kolektif yang dilakukan oleh peserta–pesertanya dalam
24
situasi sosial untuk meningkatkan penalaran dan keadilan praktik-praktik itu dan terhadap situasi tempat dilakukan praktik-praktik tersebut (Miyono, 2010). Prendergast (2002) menyatakan bahwa penelitian tindakan kelas merupakan wahana bagi guru untuk melakukan refleksi dan tindakan secara sistematis dalam pengajarannya untuk memperbaiki proses dan hasil belajar siswa. Cole dan Knowles menyatakan bahwa penelitian tindakan kelas dapat mengarahkan para guru untuk melakukan kolaborasi, refleksi, dan bertanya satu dengan yang lain dengan tujuan tidak hanya tentang program dan metode mengajar, tetapi juga membantu para guru mengembangkan hubungan-hubungan personal (Prendergast, 2002). Pernyataan Knowles tersebut juga didukung oleh Noffke bahwa penelitian tindakan kelas dapat mendorong para guru melakukan refleksi terhadap praktek pembelajarannya untuk membangun pemahaman mendalam dan mengembangkan hubungan-hubungan personal dan sosial antar guru (Prendergast, 2002). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa penelitian tindakan adalah kegiatan penelitian untuk mendapatkan kebenaran dan manfaat praktis dengan cara melakukan tindakan secara kolaboratif dan partisipatif. Kolaboratif adalah adanya kerja sama antara berbagai disiplin ilmu, keahlian, dan profesi dalam memecahkan masalah. Partisipasif adalah dilibatkannya khalayak sasaran dalam mengidentifikasi masalah, merencanakannya, melaksanakan kegiatan, dan melakukan penilaian akhir (Mulyasa, 2010: 35). Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Arikunto (2006: 82) yang menyatakan bahwa ciri atau
25
karakteristik utama dalam penelitian tindakan adalah adanya partisipasi dan kolaborasi antara peneliti dengan anggota kelompok sasaran. Sedikitnya terdapat dua kata kunci yang satu diantaranya harus ada pada setiap kegiatan penelitian tindakan termasuk PTK, yaitu pemecahan masalah (problem solving), dan peningkatan (improving) kinerja sistem. Dengan demikian kehadiran penelitian tindakan harus dilandasi oleh satu atau lebih dari dua alasan berikut: 1. Dirasakan adanya masalah pada sebuah sistem kerja (organisasi, masyarakat, atau keluarga); dan 2. prestasi kerja (achievement) sistem kerja menurun atau tidak optimal. Kedua kondisi tersebut dapat dikatakan suatu kesinambungan, karena prestasi kerja menurun atau tidak optimal disebabkan karena adanya masalah pada komponen sistem atau interaksi antarkomponen sistem kerja. Oleh karena itu terdapat tiga pihak yang perlu dilibatkan secara aktif, yaitu peneliti, praktisi, dan khalayak sasaran, agar secara bersama-sama melakukan kegiatan untuk meningkatkan kinerja sistem atau memecahkan masalah secara proposional (Mulyasa, 2010:35-36). 2. Tujuan dan Manfaat PTK Menurut Natawijaya tujuan Penelitan Tindakan Kelas: a.
untuk menanggulangi masalah atau kesulitan dalam bidang pendidikan dan pengajaran
b.
untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja
c.
untuk melaksanakan program pelatihan dan jabatan guru
26
d.
untuk memasukkan unsur-unsur pembaruan dalam sistem pembelajaran.
e.
untuk meningkatkan interaksi pembelajaran
f.
untuk perbaikan suasana keseluruhan stakeholders pendidikan (Muaddab, 2010)
Manfaat Penelitian Tindakan Kelas: a.
Secara teoretis:
membantu guru mengembangkan ilmu pengetahuan dan
menerapkan teori-teori pembelajaran bermakna. b.
Secara praktis: guru dapat melakukan inovasi pembelajaran, guru dapat meningkatkan kemampuan reflektifnya, mampu memecahkan permasalahan pembelajaran, guru terlatih mengembangkan kurikulum, dan tercapai peningkatkan profesionalisme guru (Trimo, 2007).
3.
Jenis-jenis Penelitian Tindakan Chein, et al mengelompokkan empat jenis penelitian tindakan, yaitu: (1)
PTK diasnogtik, (2) PTK partisipan, (3) PTK empiris, dan (4) PTK eksperimental (Mulyasa, 2010:34). a.
PTK Diagnostik; yang dimaksud dengan PTK diagnostik ialah penelitian yang dirancang dengan menuntun peneliti ke arah suatu tindakan. Dalam hal ini peneliti mendiagnosia dan memasuki situasi yang terdapat di dalam latar penelitian. Sebagai contohnya ialah apabila peneliti berupaya menangani perselisihan, pertengkaran, konflik yang dilakukan antar siswa yang terdapat di suatu sekolah atau kelas.
b.
PTK Partisipan; suatu penelitian dikatakan sebagai PTK partisipan ialah apabila orang yang akan melaksanakan penelian harus terlibat langsung
27
dalam proses penelitian sejak awal sampai dengan hasil penelitian berupa laporan. Dengan demikian, sejak penencanan panelitian peneliti senantiasa terlibat, selanjutnya peneliti memantau, mencacat, dan mengumpulkan data, lalu menganalisa data serta berakhir dengan melaporkan hasil panelitiannya. PTK partisipasi dapat juga dilakukan di sekolah. Hanya saja, di sini peneliti dituntut keterlibatannya secara langsung dan terus-menerus sejak awal sampai berakhir penelitian. c.
PTK Empiris; yang dimaksud dengan PTK empiris ialah apabila peneliti berupaya melaksanakan sesuatu tindakan atau aksi dan membukakan apa yang dilakukan dan apa yang terjadi selama aksi berlangsung. Pada prinsipnya proses penelitinya berkenan dengan penyimpanan catatan dan pengumpulan pengalaman penelti dalam pekerjaan sehari-hari.
d.
PTK Eksperimental; yang dikategorikan sebagai PTK eksperimental ialah apabila PTK diselenggarakan dengan berupaya menerapkan berbagai teknik atau strategi secara efektif dan efisien di dalam suatu kegiatam belajarmengajar. Di dalam kaitanya dengan kegitan belajar-mengajar, dimungkinkan terdapat lebih dari satu strategi atau teknik yang ditetapkan untuk mencapai suatu tujuan instruksional. Dengan diterapkannya PTK ini diharapkan peneliti dapat menentukan cara mana yang paling efektif dalam rangka untuk mencapai tujuan pengajaran. Menurut Burn kolaborasi atau kerja sama perlu dan penting dilakukan
dalam PTK karena PTK yang dilakukan secara perorangan bertentangan dengan hakikat PTK itu sendiri. Beberapa butir penting tentang PTK kolaboratif Kemmis
28
dan McTaggart: (1) penelitian tindakan yang sejati adalah penelitian tindakan kolaboratif, yaitu yang dilakukan oleh sekelompok peneliti melalui kerja sama dan kerja bersama, (2) penelitian kelompok tersebut dapat dilaksanakan melalui tindakan anggota kelompok perorangan yang diperiksa secara kritis melalui refleksi demokratik dan dialogis; (3) optimalisasi fungsi PTK kolaboratif dengan mencakup gagasan-gagasan dan harapan-harapan semua orang yang terlibat dalam situasi terkait; (4) pengaruh langsung hasil PTK pada Penulis sebagai guru dan murid-murid serta sekaligus pada situasi dan kondisi yang ada (Sugiarsih, 2010). Wallace mengemukakan bahwa olaborasi atau kerja sama dalam melakukan penelitian tindakan dapat dilakukan dengan: mahasiswa; sejawat dalam jurusan/sekolah/lembaga yang sama; sejawat dari lembaga/sekolah lain; sejawat dengan wilayah keahlian yang berbeda (misalnya antara guru dan pendidik guru, antara guru dan peneliti; antara guru dan manajer); sejawat dalam disiplin ilmu yang berbeda (misalnya antara guru bahasa asing dan guru bahasa ibu); dan sejawat di negara lain (Madya, 2007). Proses penelitian kolaboratif memperkuat kesempatan bagi hasil penelitian tentang praktik pendidikan untuk diumpanbalikkan ke sistem pendidikan dengan cara yang lebih substansial dan kritis. Proses tersebut mendorong guru untuk berbagi masalah-masalah umum dan bekerja sama sebagai masyarakat penelitian untuk memeriksa asumsi, nilai dan keyakinan yang sedang mereka pegang dalam kultur sosio-politik lembaga tempat mereka bekerja. Proses kelompok dan tekanan kolektif kemungkinan besar akan mendorong keterbukaan terhadap perubahan kebijakan dan praktik. Penelitian tindakan kolaboratif secara potensial lebih
29
memberdayakan daripada penelitian tindakan yang dilakukan secara individu karena menawarkan kerangka kerja yang mantab untuk perubahan keseluruhan (Madya, 2007). Selain itu, ada kelebihan lain dari PTK kolaboratif yang dikemukakan oleh Wallace: (1) kedalaman dan cakupan, yang artinya makin banyak orang terlibat dalam proyek penelitian tindakan, makin banyak data dapat dikumpulkan, apakah dalam hal kedalaman (misalnya studi kasus kelas bahasa Inggris) atau dalam hal cakupan (misalnya beberapa studi kasus suplementer; populasi yang lebih besar), atau dalam keduanya dan ini disebabkan makin banyak perspektif yang digunakan akan makin intensif pemeriksaan terhadap data atau makin luas cakupan persoalan dalam hal tim peneliti saling berkolaborasi dalam meneliti kelasnya masingmasing; (2) Validitas dan reliabilitas, yaitu keterlibatan orang lain akan mempermudah penyelidikan terhadap satu persoalan dari sudut yang berbeda, mungkin
dengan
menggunakan
teknik
penelitian
yang
berbeda
(yaitu
menggunakan trianggulasi); dan (3) Motivasi yang timbal lewat dinamika kelompok yang benar, di mana bekerja sebagai anggota tim lebih bersemangat daripada bekerja sendiri (Madya, 2007). Kelemahan terbesar PTK kolaboratif menurut Wallace yaitu terkait dengan sulitnya mencapai keharmonisan kerjasama antara orang-orang yang berlatar belakang yang berbeda. Hal ini dapat dipecahkan dengan membicarakan aturanaturan dasar (Madya, 2007).
30
4.
Model-model Penelitian Tindakan Pada prinsipnya diterapkan PTK atau CAR (Classroom Action Research)
dimaksudkan untuk mengatasi suatu permasalahan yang terdapat didalam kelas. Sebagai salah satu penelitian yang dimaksudkan untuk mengatasi suatu permasalahan yang terdapat di dalam kelas, menyebabkan terdapatnya beberapa model ayang dapat diterapkan. Model-model tersebut diantaranya : 1). Model Kurt Lewin, 2). Model Kemmis Mc Taggart, 3). Model John Elliot, 4). Model Hopkins, 5). Model McKernan. Ahli yang pertama kali menciptakan model penelitian tindakan adalah Kurt Lewin, tetapi yang sampai sekarang banyak dikenal adalah Kemmis dan Mc Taggart (1988) (Arikunto, 2002:83). Model Kemmis & McTaggart merupakan pengembangan dari konsep dasar yang diperkenalkan oleh Kurt Lewin sebagaimana yang diutarakan di atas. Hanya saja, komponen acting (tindakan) dengan observing (pengamatan) dijadikan sebagai satu kesatuan. Disatukannya kedua komponen tersebut disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa antara implementasi acting dan observing merupakan dua kegiatan yang tidak terpisahkan. Maksudnya, kedua kegiatan haruslah dilakukan dalam satu kesatuan waktu, begitu berlangsungnya suatu tindakan begitu pula observasi juga harus dilaksanakan (Arikunto, 2002:84).
31
Gambar 2.2 Model Spiral Kemmis dan Mc Taggart (http://www.ak-ishaq.com/2011/01/model-ptk-3-model-spiral-dari-kemmis.html)
Model yang dikemukakan oleh Kemmis & McTaggart pada hakekatnya berupa perangkat-perangkat atau untaian-untaian dengan satu perangkat terdiri dari empat komponen, yaitu ; perencanaan, tindakan, pengamatan dan refleksi. Keempat komponen yang berupa untaian tersebut dipandang sebagai satu siklus. Oleh karena itu, pengertian siklus pada kesempatan ini adalah suatu putaran kegiatan yang terdiri dari perencanaan, tindakan, pengamatan dan refleksi. 5.
Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas Banyak model PTK yang dapat diadopsi dan diimplementasikan di dunia
pendidikan. Namun secara singkat, pada dasarnya PTK terdiri dari 4 (empat) tahapan dasar yang saling terkait dan berkesinambungan: (1) perencanaan (planning), (2) pelaksanaan (acting), (3) pengamatan (observing), dan (4) refleksi
32
(reflecting). Namun sebelumnya, tahapan ini diawali oleh suatu tahapan Pra PTK, yang meliputi: a. Identifikasi masalah b. Analisis masalah c. Rumusan masalah d. Rumusan hipotesis tindakan Tahapan Pra PTK ini sangat esensial untuk dilaksanakan sebelum suatu rencana tindakan disusun. Tanpa tahapan ini suatu proses PTK akan kehilangan arah dan arti sebagai suatu penelitian ilmiah. Jadi, tahapan pra PTK ini sesungguhnya suatu reflektif dari guru terhadap masalah yang ada dikelasnya. Masalah ini tentunya bukan bersifat individual pada salah seorang murid saja, namun lebih merupakan masalah umum yang bersifat klasikal, misalnya kurangnya motivasi belajar di kelas, rendahnya kualitas daya serap klasikal, dan lain-lain. Berangkat dari hasil pelaksanaan tahapan Pra PTK inilah suatu rencana tindakan dibuat. a. Perencanaan Tindakan Berdasarkan pada identifikasi masalah yang dilakukan pada tahap pra PTK, rencana tindakan disusun untuk menguji secara empiris hipotesis tindakan yang ditentukan. Rencana tindakan ini mencakup semua langkah tindakan secara rinci. Segala keperluan pelaksanaan PTK, mulai dari materi/bahan ajar, rencana pengajaran yang mencakup metode/ teknik mengajar, serta teknik atau instrumen observasi/ evaluasi, dipersiapkan dengan matang pada tahap perencanaan ini.
33
Dalam tahap ini perlu juga diperhitungkan segala kendala yang mungkin timbul pada saat tahap implementasi berlangsung. Dengan melakukan antisipasi lebih dari diharapkan pelaksanaan PTK dapat berlangsung dengan baik sesuai dengan hipotesis yang telah ditentukan. b.
Pelaksanaan Tindakan Tahap ini merupakan implementasi ( pelaksanaan) dari semua rencana
yang telah dibuat. Tahap ini, yang berlangsung di dalam kelas, adalah realisasi dari segala teori pendidikan dan teknik mengajar yang telah disiapkan sebelumnya. Langkah-langkah yang dilakukan guru tentu saja mengacu pada kurikulum yang berlaku, dan hasilnya diharapkan berupa peningkatan efektifitas keterlibatan kolaborator sekedar untuk membantu si peneliti untuk dapat lebih mempertajam refleksi dan evaluasi yang dia lakukan terhadap apa yang terjadi dikelasnya sendiri. Dalam proses refleksi ini segala pengalaman, pengetahuan, dan teori pembelajaran yang dikuasai dan relevan. c.
Pengamatan Tindakan Kegiatan observasi dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan tindakan.
Data yang dikumpulkan pada tahap ini berisi tentang pelaksanaan tindakan dan rencana yang sudah dibuat, serta dampaknya terhadap proses dan hasil intruksional yang dikumpulkan dengan alat bantu instrumen pengamatan yang dikembangkan oleh peneliti. Pada tahap ini perlu mempertimbangkan penggunaan beberapa jenis instrumen ukur penelitian guna kepentingan triangulasi data. Dalam melaksanakan observasi dan evaluasi, guru tidak harus bekerja sendiri. Dalam tahap observasi ini guru bisa dibantu oleh pengamat dari luar (sejawat atau
34
pakar). Dengan kehadiran orang lain dalam penelitian ini, PTK yang dilaksanakan menjadi bersifat kolaboratif. Hanya saja pengamat luar tidak boleh terlibat terlalu dalam dan mengintervensi terhadap pengambilan keputusan tindakan yang dilakukan oleh peneliti. d.
Refleksi Terhadap Tindakan Tahapan ini merupakan tahapan untuk memproses data yang didapat saat
dilakukan pengamatan. Data yang didapat kemudian ditafsirkan dan dicari eksplanasinya, dianalisis, dan disintesis. Dalam proses pengkajian data ini dimungkinkan untuk melibatkan orang luar sebagai kolaborator, seperti halnya pada saat observasi. Keterlebatan kolaborator sekedar untuk membantu peneliti untuk dapat lebih tajam melakukan refleksi dan evaluasi. Dalam proses refleksi ini segala pengalaman, pengetahuan, dan teori instruksional yang dikuasai dan relevan dengan tindakan kelas yang dilaksanakan sebelumnya, menjadi bahan pertimbangan dan perbandingan sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan yang mantap dan sahih. Proses refleksi ini memegang peran yang sangat penting dalam menentukan suatu keberhasilan PTK. Dengan suatu refleksi yang tajam dan terpecaya akan didapat suatu masukan yang sangat berharga dan akurat bagi penentuan langkah tindakan selanjutnya. Refleksi yang tidak tajam akan memberikan umpan balik yang misleading dan bias, yang pada akhirnya menyebabkan kegagalan suatu PTK. Adapun untuk memudahkan dalam refleksi dapat dimunculkan kelebihan dan kekurangan setiap tindakan dan ini dijadikan dasar perencanaan siklus
35
selanjutnya. Pelaksanaan refleksi diusahakan tidak boleh lebih dari 24 jam artinya begitu selesai observasi langsung diadakan refleksi bersama kolaborator. Demikianlah, secara keseluruhan keempat tahapan dalam PTK ini membentuk suatu siklus. Siklus ini kemudian diikuti oleh siklus-siklus lain secara bersinambungan seperti sebuah spiral.