BAB I11 KERANGKA PIKIR TEORITIS
3.1 Perkembangan Pembangunan Perumahan di Indonesia. Di dunia saat ini di perkirakan 1 milyar orang tinggal di rumah-rumah yang tidak layak, dan 100 juta diantaranya tinggal di rumah-rumah kumuh (slums area), ( Komarudin, 1996). Rumah memiliki arti yang sangat luas bila dikaitkan dengan perumahan dan permukiman yaitu rumah yang sehat dalam lingkungan yang sehat. Selain itu rumah merupakan kebutuhan dasar manusia dan merupakan refleksi kepribadian manusia yang menempatinya. Rumah yang ideal adalah rumah dalam kondisi baik, cukup luas untuk satu keluarga, dan terbuat dari bahan bangunan yang cukup baik, serta mempunyai syarat kesehatan. Permasalahan yang ada tersebut tidak bisa diatasi secara insidental tetapi perlu penyelesaian yang menyeluruh dan terpadu. Karena itu dibutuhkan suatu kerangka pokok kebijaksanaan perumahan dan permukiman yang disusun berdasarkan informasi keadaan perumahan dan permukiman di Indonesia. BPS melalui Susenas
2001 dengan muatan
modul
perumahan
dan permukiman
berusaha
untuk
menyediakan gambaran perumahan dan permukiman secara menyeluruh. Kekurangan rumah dan ketidak nyamanan permukiman akan menyebabkan kondisi sosial dan politik suatu negara menjadi tidak stabil. Hal ini mempengaruhi pembangunan fisik dan ekonomi. Sebaliknya keberhasilan pembangunan perumahan akmmendorong pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional.
Pembangunan perumahan sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan dasar manusia dan
kegiatan
ekonomis
dengan
mempertimbangkan
aspek
pembiayaan,
keterjangkauan (aflordability) pembangunan yang berkelanjutan (sustainability), pengembalian biaya (cost recovery), keberimbangan ( e q u i ~dan ) implementasi yang realistis. Menurut GBHN (1998), Pembangunan
perumahan
dan
permukiman
diarahkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan keluarga dan masyarakat serta menciptakan
suasana kerukunan hidup keluarga dan kesetiakawanan
masyarakat dalam rangka membentuk
sosial
lingkungan persemaian nilai agama dan
budaya bangsa serta pembinaan watak anggota keluarga. Pembangunan perumahan dan permukiman, baik pembangunan perumahan barn maupun pemugaran perumahan diperdesaan maupun perkotaan, bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan tempat tinggal baik dalam jumlah maupun kualitasnya dalam lingkungan yang sehat dan layak huni serta memenuhi kebutuhan akan suasana kehidupan yang memberikan rasa aman, damai, tenteram, dan sejahtera. Disebutkan pula bahwa pembangunan perumahan dan permukiman hams mampu memperluas kesempatan
usaha dan lapangan kerja serta mendorong
berkembangnya industri bahan bangunan murah yang memenuhi syarat tehnis dan kesehatan serta terbuat dari bahan setempat. Penciptaan lingkungan perumahan dan permukiman yang layak huni, bersih, sehat, dan aman perlu terns ditingkatkan antara lain melalui pembangunan sarana dan prasarana penyediaan air bersih, fasilitas sosial dan kesehatan, ibadah, pendidikan, perdagangan dan transportasi, rekreasi dan olah raga serta prasarana lingkungan
termasuk penanganan limbah, disertai upaya peningkatan kesadaran dan tanggung jawab warga masyarakat baik perdesaan maupun perkotaan agar makin banyak mendiami rumah sehat dalam lingkungan permukiman yang sehat pula. Beberapa kondisi harus diciptakan agar pembangunan perumahan berhasil yaitu: (I)
perlu komitmen bersama atas strategi global perumahan,
(2)
pelaksanaan pembangunan harus didukung oleh strategi internasional,
(3)
badan internasional hams mendorong dan menunjang kemampuan nasional. Secara garis besar permintaan
rumah ditentukan oleh pembentukan
rumahtangga baru, pendapatan rumahtangga, tingkat urbanisasi, harga rumah, kebijakan perumahan (termasuk ketersediaan dana kredit perumahan), dan pasokan (suppl-y) rumah. Masing-masing faktor tersebut juga dipengaruhi oleh beberapa faktor (selanjutnya disebut subfaktor) lain. Kualitas rumah, di mana kualitas rumah sendiri dipengaruhi oleh aksesbilitas, daya tahan rumah (tipe konstruksi dan bahan baku rumah), ketersediaan pelayanan dasar (penerangan, air minum, dan sanitasi lingkungan), jenis lantai, luas lantai, jenis dinding, jenis atap, tingkat keamanan, dan amenitas (tempat rekreasi dan hiburan). Kebijakan perumahan yang menyentuh konsumen perumahan dan produsennya sangat bergantung pada political will pemerintah (pusat dan daerah), dan pasokan perumahan sangat bergantung pada ketersediaan bahan baku, tenaga kerja, lahan peruntukanltata ruang, kebijakan fiskal di bidang perumahan, dan pasokan industri bahan baku rumah Hasil SUSENAS 1998 menunjukkan sebesar 14,ll 5% rumah tangga menempati rumah dengan status tanah bukan hak milik. Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan angka keadaan
Tahun 1992 dan 1995. Dengan demikian sudah semakin banyak rumahtangga yang menempati rumah diatas tanah milik sendiri. Meningkatnya rumahtangga yang menempati rumah diatas tanah milik sendiri terlihat didaerah perdesaan maupun perkotaan. Kalau dibandingkan mereka yang tinggal diperdesaan lebih mudah memperoleh rumah diatas tanah milik sendiri,
ha1 ini disebabkan karena tanah
didaerah perkotaan jauh lebih mahal daripada di daerah perdesaan.
Ada tujuh
Propinsi yang rumahtangganya menempati bukan tanah milik diatas 20 persen yaitu Propinsi DKI Jakarta, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sumatra Selatan, Sumatra Barat, Sulawesi Tenggara dan irian Jaya. Dari ketujuh propinsi tersebut banyak rumahtangga yang menempati tanah hak guna bangunan, hak pakai atau lainnya. Indikator lain juga memperlihatkan
bahwa
tingkat perekonomian masyarakat
berdasarkan kondisi perumahan adalah penguasaan bangunan tempat tinggal. Hasil SUSENAS 1998 juga menunjukkan persentase penduduk Indonesia yang menempati rumah tinggal bukan milik sendiri terdapat 18,43 persen, angka ini lebih kecil dari angka tahun 1995 sebesar 18,7 persen. Semakin luas rumah yang ditempati oleh suatu rumahtangga secara umum orang akan menduga bahwa tingkat ekonominya lebih baik daripada rumahtangga yang menempati rumah yang lebih sempit.
Ukuran batas luas rumah 50 m2, dengan
pertimbangan rata-rata jumlah anggota rumahtangga 5 orang sehingga luas perkapita
10 m2 akan lebih sehat dibanding bertempat tinggal dirumah dengan luas kurang dari 10 m2 perkapita. Hal ini sesuai anjuran dari Badan Kesehatan Dunia (WHO). Dari data hasil Susenas 1998 juga menunjukkan bahwa persentase rumah
tangga yang
mempunyai luas lantai < 50 m2 sebanyak 25,49 persen, dimana paling banyak di
Irian Jaya sebanyak 55,79 % dan paling banyak kedua di Nusa Tenggara Timur sebanyak 53,77 %.
3.2
Kependudukan Penduduk adalah aspek utama perencanaan. Perencanaan disusun oleh
penduduk, dan
untuk penduduk. Perencanaan dibuat
oleh penduduk
penduduk bertindak sebagai subyek, dan perencanaan dibuat untuk
berarti penduduk,
karena penduduk yang akan merasakan akibat dari perencanaan itu, dengan kata lain penduduk merupakan salah satu obyek perencanaan. Pengetahuan tentang kependudukan yaitu tentang kualitas penduduk dan kuatintas penduduk. Kwalitas penduduk ialah keadaan masyarakat dan merupakan masalah sosial, masalah kuanti tas penduduk menyangkut keadaan jumlah penduduk, ha1 ini bisa digunakan sebagai gambaran para perencana untuk menentukan kebijaksanaan pembangunan. Selain kedua ha1 tersebut ada yang lebih penting tentang kependudukan yaitu pergerakan
penduduk yang lebih dikenal dengan kata
migrasi, yang dapat digunakan sebagai ukuran perkembangan suatu daerah atau kota. Pergerakan penduduk sangat penting untuk menganalisis kependudukan dalam hubungan dengan berbagai aspek sosial dan ekonomi suatu daerah. Selanjutnya meningkatnya jumlah penduduk juga menimbulkan persoalan penyediaan perumahan dan fasilitas lainnya, sehingga kegiatan
administrasi
pemerintahan juga meningkat. Meningkatnya jumlah penduduk disebabkan oleh selisih kelahiran dan kematian dan juga karena adanya pergerakan penduduk dari daerah satu kedaerah lainnya.
Menurut BPS DKI Jakarta, laju pertumbuhan penduduk DKI Jakarta hasil Sensus penduduk 2000 (SP 2000) dibandingkan hasil Sensus penduduk (SP90) sebesar 0,16 persen pertahun yaitu jumlah penduduk
hasil
1990
SP2000
sebesar 8.385.639 orang dan pada hasil SP90 sebesar 8.259.266
orang. Laju
pertumbuhan penduduk di DKI Jakarta menurun bila dibandingkan
dengan laju
pertumbuhan penduduk pada dasa warsa sebelumnya yaitu tahun
(1980-1990)
sebesar 2,42 persen. Rendahnya laju pertumbuhan penduduk DKI Jakarta selain karena kelahiran yang rendah juga karena adanya migrasi keluar
yang tinggi
terutama ke Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Bodetabek). Hasil SP2000 menunjukkan jumlah rumah tangga sebesar 2.231.463 rumah tangga, sementara hasil SP 1990 sebesar 1.740.2 14 rumah tangga. Dengan demikian rata-rata laju pertumbuhan rumah tangga sebesar 2.60 persen per tahun lebih besar bila dibandingkan laju pertumbuhan penduduk, ha1 ini disebabkan karena ada pergeseran besaran anggota rumah tangga dari 4,7 orang per rumah tangga dan pada tahun 1990 turun menjadi 3,7 orang per rumah tangga. Dari jumlah rumahtangga tersebut menurut hasil
SP2000 BPS DKI Jakarta ada 101.674 rumah tangga atau 4,56
persen termasuk rumah tangga miskin.
Dilihat dari kepemilikan rumah, rumah
tangga miskin di DKI Jakarta terdapat 24,93 persen yang menempati rumah milik sendiri sisanya sebanyak 65,76 persen sewakontrak dan sebanyak 9,30 persen status lainnya. Apa bila dibandingkan dengan wilayah Botabek laju jumlah penduduk DKI Jakarta relatif lebih rendah ha1 ini telah disebutkan diatas karena adanya migrasi keluar (relokasi), lebih jelasnya bisa dilihat pada Tabel 1. berikut.
Tabel 1. Keadaan Penduduk, Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi serta Laiu Pertumbuhannva Pada Tahun 1990 - 2000 Jurnlah Penduduk Rata-rata Laju Daerah Hasil SP 90 I Hasil SP 2000 Pertumbuhan (% per Tahun) 8.259.266 8.385.639 0,16 2. Bodetabek - Kabupaten Bogor - Kota Bogor - Kabupaten Tangerang - Kabupaten Bekasi Total Jabodetabek
8.876.901 3.736.180 271.341 2.764.988 2.104.392 17.136.167 1
12.756.039 4.635.801 750.8 19 4.087.18 1 3.282.238 21.141.678
4.37 2,25 10,97 *) 5,02 *) 6,03 2.34
I
1
Sumber : BPS ( data SP 2000) *) = laju pertumbuhan Kabupaten+Kota **)= Laju pertumbuhan Kab.Bogor+depok
Dari Tabel 1. tersebut terlihat bahwa laju pertumbuhan penduduk Jakarta jauh lebih kecil dibandingkan laju pertumbuhan penduduk di wilayah Botabek, ha1 ini menunjukkan bahwa banyak penduduk Jakarta yang migrasi
ke wilayah Botabek
diperkuat dengan data penduduk komuter (ulang-alik) dari Jakarta ke wilayah sekitarnya (Botabek. Pada Tabel 1. terlihat bahwa Kota Bekasi, Kota Depok dan kota Tangerang belum terbentuk datanya masih tergabung dengan kabupaten terkait.
Tabel 2. Penduduk Komuter (olang-alik) DKI Jakarta Berumur 10 Tahun ke Atas menurut Tempat Tinggal Sekarang Pada Tahun 2000 Nomor
Daerah Tempat Tinggal sekarang
1. 2. 3. 4.
Kabupaten Bogor Kota Bogor Depok Kabupaten Bekasi Kota Bekasi Kabupaten Tangerang Kota Tannerang - Jumlah
I
5. 6. 7.
I I
I
Sumber : BPS DKI Jakarta (2001 )
Jumlah penduduk (Jiwa)
I
I
3.508.826 750.8 19 1 .146.047 1.668.494
I
1.663.802 1 2.78 1.428 1.325.854 I 12.845.270
1
Jumlah Komuter %dari Jumlah (jiwa) Penduduk 100.323 236 14.731 1,96 127.839 15,15 64.017 I 3,84 222.533 1 13,37 370.285 13,31 1 12.707 I 8.50 1. 012.435 7,88
1
Pada Tabel 2. diatas terlihat bahwa penduduk ulang-alik (komuter) ke DKI Jakarta
yaitu kalau siang menjadi penduduk DKI Jakarta namun kalau malam
menjadi penduduk daerah tempat tinggalnya jumlahnya cukup signifikan 1.012.435 orang atau sebanyak 12,07 persen dari penduduk Jakarta
yaitu
dan paling
banyak dari Kabupaten Tangerang sebanyak 370.285 penduduk atau 13,31 % dari penduduk Tangerang, ha1 ini karena di Kabupaten Tangerang banyak dibangun perumahan baik dari Perumnas maupun Real estate, dan paling rendah dari Kota Bogor. Kalau dilihat dari persentase jumlah penduduk yang paling banyak dari Depok sebanyak 15,15% dari penduduk depok setiap hari pergi ke Jakarta sebagai pekerja atau sekolah, dan sebanyak 7,78% dari seluruh penduduk Jabodetabek menjadi penduduk komuter (olang-alik) ke Jakarta setiap hari.
3.3 Urbanisasi Banyak pengertian tentang urbanisasi. Dalam pengertian kependudukan urbanisasi dapat dilihat sebagai suatu pola pemencaran penduduk yang menyangkut penambahan relatif penduduk kota. Urbanisasi juga berarti pertambahan jumlah dan luas perkotaan, dan suatu peningkatan konsentrasi penduduk diperkotaan, bisa juga berarti migrasi dari daerah pedesaan ke daerah
perkotaan. Pada tingkat tertentu
penyediaan bahan makanan penduduk daerah perkotaan tergantung pada daerah pedusunan dan sebaliknya produksi daerah pedusunan terpengaruh oleh tuntutan yang datang dari daerah perkotaan. Dari sudut ekonomi urbanisasi bisa berarti perubahan struktural dalam sektor mata pencaharian. Hal ini dilihat dari banyaknya penduduk desa ,yang meninggalkan pekerjaan di bidang pertanian beralih menjadi pekerja
dibidang perindustrian di kota. Dari pandangan para psikolog, urbanisasi dilihat
dapat
sejauh mana manusia itu dapat menyesuaikan diri dengan situasi yang
berubah-ubah, baik yang disebabkan oleh kemajuan teknologi maupun dengan adanya perkembangan dalam kehidupan. Dari sudut pandang sosiologi, urbanisasi dikaitkan dengan sikap hidup penduduk dalam lingkungan pedesaan yang mendapat pengaruh dari kehidupan kota. Dari sudut pandang geografi, urbanisasi
berarti
distribusi, difusi perobahan, dan pola menurut waktu dan tempat. Dalam pengertian yang luas, urbanisasi erat hubungannya dengan proses atau gejala pertumbuhan, modernisasi, dan kemajuan ekonomi suatu kota, dengan berbagai dampak positif dan negatif serta sebagai permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dan penguasa pemerintahan perkotaan. Dengan kata lain pengertian urbanisasi meliputi segala ha1 ihwal yang berkaitan dengan masalah perkotaan. Alasan terjadinya
urbanisasi pada umumnya berlatar belakang klasik yaitu
faktor daya tarik kota itu sendiri, misalnya : (1)
Suatu kota yang menjadi pusat pemerintahan merupakan konsentrasi dari kantor
instansi
pemerintahan,
memerlukan
tenaga
kerja,
dari
yang
berpendidikan tinggi sampai yang berpendidikan rendah. (2)
Suatu kota yang ditetapkan sebagai pusat pemerintahan, mempunyai prasarana umum (misalnya jaringan jalan
utama, sistem transportasi,
listrik, telpon, air bersih dan sebagainya) yang lebih baik daripada kota lain. Hal ini
merupakan faktor utama yang dijadikan alasan produsen untuk
menentukan lokasi industri dikota tersebut. Selanjutnya kota ini berkembang
menjadi pusat perdaganganhisnis, jasa keuangan/perbankan, perkantoran dan lain
3.4
sebagainya.
Keterjangkauan (Affordability) Kebijaksanaan
umum perumahan dan permukiman pada Program
Jangka Panjang Tahun II (PJPT 11) sasaran,
yaitu
perumahan
berpenghasilan rendah yang
dan
perlu secara tegas menentukan kelompok
permukiman
khusus
bagi
kelompok
yang
tidak terlayani oleh sektor formal dan tidak dapat
menjangkau betapapun murahnya harga rumah sederhana. Mereka perlu didorong untuk bisa membangun
rumahnya sendiri secara bertahap dengan bantuan dan
bimbingan pemerintah. Peran pemerintah dalam membangun dan menyediakan perumahan secara bertahap dibatasi pada pelayanan bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Pemerintah dalarn mencapai target pembangunan perumahan menggunakan prinsip keterjangkauan (aflordability) yaitu
bagian dari pendapatan
keluarga yang dapat disisihkan untuk perumahan. Pada kenyataannya lebih 80 persen penduduk perkotaan berpenghasilan sangat rendah, sehingga bagian dari pendapatan yang disisihkan untuk perumahan tidak cukup untuk membayar angsuran pembelian rumah yang layak.
Dengan perkataan lain daya jangkau untuk memperoleh
perumahan sangat rendah. Besarnya daya beli masyarakat sangat dipengaruhi oleh : (a) tingkat pendapatan keluarga. (b) distribusi pendapatan, (c) tingkat harga rumah, (d) biaya kebutuhan lainnya.
3.5
Keberlanjutan (Sustainability) Pembangunan
perumahan
berkelanjutan
adalah
pembangunan
perumahan yang dapat memenuhi kebutuhan dan aspirasi masa kini dan masa depan secara merata.
Pembangunan
perumahan masa datang yang bertumpu pada
kemandirian masyarakat dengan azas manfaat adil dan merata, kebersamaan dan kekeluargaan dan kepercayaan pada diri sendiri, keterjangkauan serta kelestarian lingkungan hidup. Kebutuhan rumah selain untuk memenuhi salah satu kebutuhan dasar
manusia, juga
dapat
mendukung
peningkatan
kesejahteraan
rakyat,
mewujudkan perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan yang sehat, memberi arah pada pertumbuhan wilayah dan persebaran penduduk yang rasional. Azas kelestarian pembangunan
lingkungan
perumahan
hidup memberikan
dan
permukiman
landasan
bekelanjutan
untuk menunjang bagi
peningkatan
kesejahteraan, baik generasi sekarang maupun generasi yang akan datang.
3.6
Keberimbangan (equity) SKB
(Surat Keputusan Bersama) tiga Mentri
yaitu Mentri Dalam
Negeri, Mentri Perumahan Rakyat dan Mentri Pekerjaan Umum, pada tanggal 24 September 1992 menegaskan bahwa pembangunan perumahan dan permukiman diarahkan untuk mewujudkan kawasan dan lingkungan perumahan dan permukiman dengan lingkungan hunian yang berimbang, meliputi rumah sangat sederhana, rumah sederhana, rumah menengah, dan rumah mewah dengan perbandingan dan kriteria tertentu,
sehingga dapat menampung secara serasi antara kelompok masayarakat
berbagai profesi, tingkat ekonomi dan status sosial. Perbandingan jumlah rumah
sederhana dan sangat sederhana, dibanding rumah menengah dan rumah mewah adalah
6 : 3 : 1 jadi setiap membangun 100 rumah mewah harus membangun 300
rumah menengah, dan 600 rumah sederhana dan sangat sederhana. Pengendalian pelaksanaan SKB ini secara nasional dilaksanakan oleh Mentri Perumahan Rakyat, Gubernur, Bupati dan Walikota secara berjenjang melakukan koordinasi di wilayahnya masing masing. Ketentuan dalam SKB ini digunakan sebagai acuan dalam penataan ruang wilayah Propinsi maupun KabupatenIKota. Ditetapkannya SKB Tiga Menteri ini diharapkan agar pembangunan perumahan dan permukiman
terus ditingkatkan dan dikembangkan secara terpadu, terarah,
terencana
dan
berkesinambungan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
3.7
Kelembagaan Karena belum adanya kejelasan tentang urusan prasarana utilitas umum dan
fasilitas sosial lingkungan perumahan dan permukiman antara pemerintah Pusat dan pemerintah
daerah
sehinggaa menimbulkan
keragaman
dalam pengaturan.
Kemampuan aparatur Pemda belum mantap sehingga lambat mengantisipasi pembangunan perumahan yang berkembang cepat. penanganan masalah perumahan tidak pada satu lembaga
sehingga terkesan pembangunan perumahan yang tidak
efisien dan efektif. Lembaga yang mengurus pembangnan perumahan adalah : Departemen Kimpraswil (Permukiman dan Prasarana
Wilayah), BPN (Badan
Pertanahan
Pengembangan
Nasional), Depdagri
(Direktorat Jendral
Daerah,
Direktorat Jendral Pengembangan Desa, dan Dinas Perumahan), Perusahaan umum Perumahan nasional (Perum Perumnas), Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Tidak jelasnya lembaga pemerintah dalam tugas-tugas pembinaan dan pelayanan teknis mengakibatkan
sebagian besar
pembangunan perumahan dikerjakan oleh swasta dan masyarakat.
Perumahan
informal swadaya masyarakat terus tumbuh baik di Pusat kota maupun di pinggiran kota sejalan dengan tingkat urbanisasi
dan industrialisasi yang tinggi.
Unsur
masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat belum tertampung dalam organisasi BKPN (Badan Kebijaksanaan Perumahan Nasional) sehingga tampak kebijaksanaan perumahan disusun berdasarkan pemikiran pemerintah dan kurang memperhatikan aspirasi masyarakat. Forum komunikasi Perumahan ditingkat Pusat maupun Daerah belum ada, sehingga masyarakat bingung kemana harus menyampaikan keluhan dan persoalan
yang
menyangkut
permasalahan
pembangunan
perumahan
dan
permukiman. Perubahan sosial ekonomi yang cepat dan beragam diseluruh Indonesia menuntut adanya peninjauan kembali sistim kelembagaan pemerintah dalam penataan dan pembangunan perumahan dan permukiman baik ditingkat Pusat maupun ditingkat Daerah. Keaneka ragaman permasalahan pembangunan perumahan dan permukiman
yang
muncul
di
desentralisasi yaitu pembentukan
kabupatenIKota,
perlu
penanganan
secara
lembaga yang menangani perumahan
dan
permukiman di KabupatenIKota. Dari uraian tersebut diatas penulis gambarkan alur kerangka pikir tentang masalah masalahnya pada Gambar 5. berikut.
perumahan di Jabodetabek dan pemecahan
Pertumbuhan ekonomi dan idustrialisasi meningkat
Pesatnya UrbanisasiIMigrasi Penduduk di DKI JKT I
I
I
I
1
Kebutuhan rumah di DKI Jakarta meningkat -Lahan terbatas shg harga tanah smk mahal -Harga. Bah. Bangunan smk. Mahal karena krisis
-+
4
Harga rmh mahal tdk erjangkau penduduk. Berpenghasilan .rendah
v
Kendala yang dihadap~
v
1 .Perencanaan T a t a ruang belum ntisipatif terhadap Pembangunan perumahan 2. rendahnya keterjangkauan masyarakat 3. B l m ada koord. Pelaksanaan sektoral 4. Blm. A d a peran Pemda 5 . B l m memadai pendanaan 6. S u l ~ t n y atanah 7. Blm didukung perat. perundangundangan 8. Blm efisiennya pembangunan nerumahan
Prasarana transportasi semakin Baik. Adanya jalan. Tol Adanya Kereta listrik Bus antar kota
Penyediaan rmh. Oleh Pemerintah saangat kurang hanya 10 % dari kebutuhan
Banyak Penduduk (Botabek) menjadi penduduk Komuter
v Perlu adanya Kebijaksanaan. Pemerinta Daerah: 1.
2. 3.
4.
5.
6. 7. 8. 9.
Memobilisasi masy.dan swasta Pengendalian penggunaan tanah Pengendalian .harga tanaha. untuk peurumahan Penetapan pencadangan tanah.untuk pembangunan Perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah Bunga Bank KPr Tdk. Terpengaruh oleh kebijaksanaan uang ketat Kemudahan kredit Kebijak.sistim pemb~ayaan.perurn. yg.berkeljutan memobi~sas~ tabungan masyarakat Sistm lnformasi Perumahan
+
I . nformasi ttg factor yg rnempengaruhi. preferensi relatif Pilihan rumah. 2. peta penduduk dengan kelompok .penghasilan 3. peta kepadatan penduduk dan tipe rumah tinma1
Penyediaan Rumah yg. tnempertimbangkan. :
1.Keterjangkauan 2.Keberlanjutan 3.Keseimbangan
Gambar 5. Kerangka Pikir Permasalahan Perumahan di Jabotabek