BAB I PENGANTAR 1.1
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang berdasar atas hukum, demikian disebutkan dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Republik Indonesia, 2002:1). Negara Hukum bersandar pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang adil dan baik. Ada dua unsur dalam negara hukum, yaitu pertama, hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah tidak berdasarkan kekuasaan melainkan berdasarkan suatu norma objektif, yang juga mengikat pihak yang memerintah, dan kedua, norma objektif itu harus memenuhi syarat bahwa tidak hanya secara formal, melainkan dapat dipertahankan berhadapan dengan ide hukum. Gagasan, cita, atau ide negara hukum, selain terkait dengan konsep rechtsstaat dan the rule of law, juga berkaitan dengan konsep nomocracy yang berasal dari perkataan nomos dan cratos. Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan demos dan cratos atau kratien dalam demokrasi. Nomos berarti norma, sedangkan cratos adalah kekuasaan, yang dimaksudkan sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam istilah Inggris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip “rule of law” yang berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon “the rule of law, and
1
2
not of man”, yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan orang (Asshiddiqie, 2011:1). Konsep Negara Hukum pada zaman modern di Eropa Kontinental dikembangkan oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lainlain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’. Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah rechtsstaat itu mencakup empat elemen penting, yaitu perlindungan hak asasi manusia, pemisahan atau pembagian kekuasaan, pemerintahan berdasarkan undang-undang, peradilan administrasi yang bebas dalam perselisihan (Sayuti, 2011:92-93). Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan The Rule of Law .A.V Dicey (1885) dalam Sayuti (2011:91) mengatakan bahwa ada tiga ciri negara hukum, yaitu pertama adanya supremasi hukum (supremacy of law) dalam artian tidak boleh ada kesewenang-wenangan, sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum;
kedua adanya kedudukan yang sama di depan hukum
(equality before the law) baik bagi rakyat biasa maupun pejabat; dan ketiga adanya penegasan serta perlindungan hak-hak manusia melalui konstitusi dan keputusan-keputusan pengadilan (constitution based on individual rights and enforced by the courts). Usaha melindungi masyarakat dalam kehidupan yang damai, aman dan tertib atas segala gangguan dari pelaku pelanggar norma, maka salah satu sarana untuk menanggulanginya dengan hukum pidana. Menurut E. Utrecht (1968) dalam Faal (1991:4) bahwa hukum pidana merupakan hukum yang bersifat
3
represif, hukum yang mempunyai sanksi istimewa, hukum ini tak kenal kompromi, walaupun seumpama si korban tindak pidana sudah memaafkan, mendamaikan dengan si pelaku dan atau sudah menerima nasib agar pelakunya dimaafkan atau tidak dituntut, namun hukum pidana itu bersikap tegas, hukum harus ditegakkan dan pelaku harus ditindak. Kekuatan hukum pidana tersebut diimbangi dengan berbagai kelemahan terkait sanksinya, yaitu bahwa sanksi pidana keras/kejam, operasionalisasi dan aplikasinya
memerlukan
sarana
pendukung
yang
lebih
bervariasi
dan
membutuhkan biaya yang tinggi, mengandung sifat kontradiktif/paradoksal yang berefek samping negatif, bersifat pengobatan simptomatik (kurieren am sympton), hukum pidana hanya sebagian kecil dari sarana kontrol yang tidak mampu mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusian yang sangat kompleks, sistem pemidanaan bersifat fragamentair dan individual/personal, serta keefektifan pidana masih tergantung pada banyak faktor, karenanya penggunaannya harus sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) (Arief, 1998:139-140). Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan salah satu alat kekuasaan negara dalam bidang penegakkan hukum. Polisilah yang mempunyai kekuasaan yang sangat besar dalam hal penegakkan hukum (Faal, 1991:69), di samping harus menegakkan hukum di bidang yudisial, polisi harus melaksanakan tugas lainnya yaitu sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Untuk menjalankan kekuasaan yang besar tersebut, Polri diberikan kewenangan, salah satunya terdapat dalam Pasal 5 Ayat (1) Huruf a Angka 4, Pasal 7 Ayat (1) Huruf j, dan Pasal 16 Ayat (1)
4
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu “penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab”. Ketentuan tersebut memberikan kewenangan kepada polisi dalam hal penanganan tindak kejahatan atau pidana atau pelaksanaan tugas Polri secara khusus (represif). Begitu pula dalam Pasal 18 Ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 yang berbunyi, “...Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri...”, yang lebih cenderung memberikan kewenangan kepada Anggota Polri dalam pelaksanaan tugas umum (preventif) atau dalam tugas ketertiban umum. Kewenangan tersebut baik dalam pelaksanaan tugas represif maupun preventif, biasa disebut dengan “diskresi”. Tindakan diskresi oleh polisi yang dapat secara umum ditemui yaitu ketika Polisi Lalu Lintas menjalankan kendaraan manakala lampu lalu lintas menyala merah. Kondisi tersebut dilakukan pada saat terdapat iring-iringan kendaraan VIP, ambulan atau kondisi lalu lintas yang padat, sehingga anggota Polisi Lalu Lintas mengambil tindakan untuk mengatur lalu lintas sendiri tanpa bantuan lampu pengatur lalu lintas. Contoh lain dari tindakan diskresi oleh polisi seperti dalam penelitian yang dilakukan oleh Wildana (2012:85), bahwa dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di wilayah Polsek Bantul, polisi menggunakan pasal di KUHP dalam menentukan perbuatan yang dilakukan oleh tersangka apabila kasus KDRT tersebut dipandang oleh polisi tergolong ringan, namun apabila KDRT tersebut tergolong berat, maka polisi menggunakan pasal
5
pada Undang-undang KDRT untuk menentukan perbuatan yang dilakukan tersangka. Kedua contoh di atas merupakan gambaran bagaimana subyektivitas individu anggota polisi dalam penanganan suatu perkara. Polisi lalu lintas bertindak dalam hal ketertiban umum atau public order maintenance, yaitu untuk mencegah macetnya arus lalu lintas yang apabila tidak diatasi akan berakibat terganggunya ketertiban umum, sedangkan contoh yang kedua polisi bertindak dalam hal penegakkan hukum atau law enforcement. Berdasarkan contoh yang kedua, dapat memunculkan berbagai macam penafsiran tentang tindakan diskresi yang dilakukan oleh polisi dalam penentuan pasal yang digunakan tersebut misalnya: Pertama, polisi bertindak karena berdasarkan penilaiannya perbuatan tersangka tidak akan diulangi kembali. Kedua, kondisi rumah tangga tersebut, misalnya masih punya anak kecil yang lebih memerlukan perhatian dan tanggung jawab kedua orang tuanya. Ketiga, polisi bertindak karena mendapat intervensi, baik dari atasan, masyarakat atau yang lainnya. Keempat, dengan tindakan tersebut, polisi mengharapkan sesuatu berupa “materi” dari tersangka. Alasan ketiga dan keempat itulah yang dapat dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang. Kewenangan diskresi akan menjadi masalah apabila dengan adanya diskresi justru malah merangsang atau memudahkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), karena kekuasaan diskresi yang begitu luas dan kurang atau tidak jelas batas-batasnya. Hal tersebut sebagaimana dikatakan Lord Acton (18341902), bahwa “...Power tends to corrupt, and absolute power corrupts
6
absolutely...”. Dengan luasnya kekuasaan yang dimiliki polisi, khususnya kewenangan
diskresi,
orang/kelompok/negara
atau
polisi
sendiri
dapat
menyalahgunakan kekuasaan itu untuk keuntungan diri sendiri, kelompok atau yang lainnya, dan hal tersebut bertentangan dengan asas rule of law dan atau hak asasi manusia. Dr. Chairul Huda, S.H., M.H., (2014) dalam Putusan Nomor 21/PUUXII/2014 Mahkamah Konstitusi (2014:34) berpendapat, misalnya dalam hal penahanan, bahwa: “...Salah satu persoalan mendasar dalam praktek tahan menahan adalah berkenaan dengan alasan subyektif penahan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 21 Ayat (1) KUHAP, yaitu adanya kekhawatiran penyidik bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak barang bukti dan/atau mengulangi tindak pidanan. Penggunaan istilah subyektif dalam alasan subyektif menyebabkan praktek hukum umumnya menentukan adanya alasan ini tanpa ukuran-ukuran yang obyektif. Hal itu sepenuhnya bergantung pada penilaian subyektif penyidik, sehingga seolaholah merupakan menifestasi discretionary power. Dengan demikian, praktik penentuan adanya alasan subyektif penahanan telah mengubah prinsip penahanan menjadi arrested is principle, and non arrested is exception, padahal yang benar adalah non arrested is principle, arrested is exception...”. Alasan subyektif penyidik tersebutlah atau dalam Pasal 18 Ayat (1) Undangundang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia disebut dengan “...bertindak menurut penilaiannya sendiri...”, yang apabila tidak ditentukan batasnya yaitu dengan perangkat ketentuan tertulis atau pemahaman yang cukup dan benar oleh penyidik, maka akan dijadikan pintu masuk bagi “oknum” penyidik atau polisi untuk bertindak sewenang-wenang. Manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari masalah sosial, yaitu masalah yang menjadi kepentingan bersama. Penyelesaiannya, haruslah
7
diperhatikan bahwa setiap manusia berbeda pandangan, usul dan pendapat dalam menghasilkan keputusan yang bermanfaat dan disetujui bersama. Secara umum pendapat bisa diartikan sebagai gagasan atau buah pikiran. Kebebasan berpendapat merupakan hak asasi manusia dan setiap individu berhak untuk mendapatkannya. Negara Indonesia sebagai negara hukum, melindungi setiap warga negaranya untuk mendapatkan kebebasan berpendapat. Wujud perlindungan tersebut terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28 sebelum perubahan dan dipertegas kembali dalam perubahan keempat Undang-undang Dasar Republik Indonesia Pasal 28 E Ayat (3), “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Terdapat pula dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 23 Ayat (2) (Sitompul, 2000:326) yaitu: “Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau pikiran melalui media cetak maupun elektronika dengan memperhartikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum dan keutuhan bangsa”. Serta dalam Pasal 25 (Sitompul, 2000:326), yang berbunyi: “Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai ketentuan perundangundangan”. Secara khusus di Indonesia, kebebasan berpendapat di muka umum diatur dalam undang-undang tersendiri yaitu Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum yang berisi aturan tentang bentuk-bentuk penyampaian pendapat di muka umum, ketentuan, hak dan kewajiban serta sanksi dalam penyampaian pendapat di muka umum.
8
Bentuk-bentuk penyampaian pendapat di muka umum dapat berupa ungkapan atau pernyataan di muka umum atau dapat berupa aksi unjuk rasa atau demonstrasi, pawai, rapat umum, dan mimbar bebas. Setelah tumbangnya rezim orde baru, aksi unjuk rasa/demonstrasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia dipandang sebagai suatu hal yang wajar sebagai cerminan masyarakat modern yang demokratis, hampir setiap terjadi perbedaan pendapat/perselisihan selalu diikuti dengan aksi unjuk rasa, terutama dari pihak yang merasa dalam posisi yang lemah atau kalah. Menilik Pasal 13 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998, secara eksplisit menyebutkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia-lah yang bertugas atau bertanggung jawab terhadap kegiatan penyampaian pendapat di muka umum, dalam rangka terjaminnya keamanan dan ketertiban umum. Untuk hal tesebut, Polri menerbitkan ketentuan teknis agar bisa dijalankan oleh seluruh Anggota Polri yaitu Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa, Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, dan Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Kebebasan berpendapat, tak luput pula menghinggapi kehidupan masyarakat Yogyakarta. Kota Yogyakarta sebagai ikon dari Provinsi DIY, yaitu dengan terdapatnya Tugu Yogyakarta, Kantor DPRD Provinsi DIY, Kantor Gubernur DIY sebagai pusat Pemerintahan Provinsi DIY, Jalan Malioboro, dan Gedung Agung sebagai Istana Negara, merupakan sasaran utama dari kegiatan
9
tersebut. Pelanggaran terhadap ketentuan dalam menyampaikan pendapat di muka umum di Kota Yogyakarta memiliki kemungkinan yang sama besar sebagaiman halnya tersebut terjadi juga di tempat lain di Indonesia. Untuk menyikapi hal tersebut, Anggota Kepolisian Resort Kota Yogyakarta dimungkinkan pula untuk menerapkan
tindakan
diskresi
kepolisian
dalam
penanganan
kegiatan
penyampaian pendapat di muka umum. 1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, peneliti merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1.
Bagaimana Diskresi Anggota Kepolisian Resort Kota Yogyakarta dalam penanganan aksi unjuk rasa?
2.
Bagaimana implikasi diskresi oleh Anggota Kepolisian Resort Kota Yogyakarta dalam penanganan aksi unjuk rasa terhadap Ketahanan Wilayah? 1.3
Keaslian Penelitian
Penelitian terkait Diskresi Kepolisian telah banyak dilakukan, namun penelitian tersebut hampir seluruhnya berkaitan dengan tugas kepolisian bersifat represif dalam kaitannya dengan law enforcement atau penegakan hukum, khususnya hukum pidana (lihat Tabel 1.1), bukan tindakan kepolisian tugas preventif dalam hal public order maintenance atau pemelihara ketertiban umum dan kaitannya dengan Ketahanan Wilayah. Penelitian berjudul “Diskresi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Penanganan Aksi Unjuk Rasa dan Implikasinya terhadap Ketahanan Wilayah (Studi di Polresta Yogyakarta)” sejauh
10
pengetahuan peneliti, terkait obyek dan permasalahan yang ada, belum pernah dilakukan dan baru pertama kali dilakukan yaitu oleh peneliti sendiri. Peneliti memilih judul tersebut karena tertarik akan kebijakan/diskresi yang dilakukan oleh Anggota Polri Kepolisian Resort Kota Yogyakarta dalam penanganan aksi unjuk rasa antara lain dengan tetap mengijinkan peserta aksi unjuk rasa melakukan aksinya meskipun banyak ketentuan dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dilanggar, dan bagaimana implikasi tindakan polisi tersebut terhadap Ketahanan Wilayah. Tabel 1.1 Penelitian terdahulu No 1.
Nama M. Faal (1991)
Judul Penyaringan Perkara Pidana oleh Polisi (Diskresi Kepolisian)
Metode Kualitatif, studi kepustakaan
2.
Faizol Azhari (2003)
Diskresi Polisi Negara Republik Indonesia dalam rangka Penegakkan Hukum Pidana
3.
Abintoro Prakoso (2010)
Vage Normen sebagai Sumber Hukum Diskresi yang Belum Diterapkan oleh Polisi Penyidik Anak
Kuantitatif dengan pendekatan yuridis empiris, wawancara, observasi, studi kepustakaan. Analisis diskriptif, studi kasus, studi kepustakaan, wawancara.
Hasil Diskresi Kepolisian dimaksudkan sebagai tindakan atau keputuan yang diambil oleh Pejabat/Petugas Kepolisian berdasarkan syarat-syarat atau pertimbangan yang dianggap paling tepat dan diayakini kebernarannya serta dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Penerapan Diskresi Kepolisian tidak hanya berdasarkan hukum positif tetapi dari aspek moral dan budaya.
Kewenangan diskresi pada polisi yang bersumber pada vage normen secara umum belum atau tidak diterapkan. Karena belum jelas peraturan perundangundangannya, misalnya; jenis-jenis tindak pidana apa yang memungkinkan untuk didiskresi sebab tidak semua jenis tindak pidana dapat didiskresi: perumusan persyaratan apa saja atas diri anak agar penuntutan pidana dapat dicegah. Polisi dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta risiko dari tindakannya dan betul-betul demi kepentingan umum.
11
Tabel 1.1 Lanjutan No 4.
Nama Putu Yudha Prawira, Prija Djatmika, Bambang Sugiri (2012)
Judul Diskresi Kepolisian dalam Penyelidikan Tindak Pidana Penyalahgunaa n Narkoba di Polda Kalteng
Metode Kualitatif, Wawancara terhadap anggota Kepolisian, studi kasus.
Hasil Diskresi Kepolisian Dalam penyelidikan penyalahgunaan Narkoba dapat dilaksanakan karena hal tersebut telah diatur dalam UU Polri dan lebih khusus lagi Pasal 75 UU Narkoba, pasal ini memuat materi bahwa Penyelidik berwenang melakukan Penyelidikan dengan pola-pola khusus.
5.
Febriyan, Syukri, Aswanto (2012)
Kualitatif, wawancara dengan anggota Kepolisian, Analisis data.
6
Ridwan (2014)
Kewenangan Diskresi dan Pertanggungja waban Hukum dalam Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kepolisian Diskresi dan Tanggung Jawab Pemerintah
Diskresi dilakukan Berlandaskan kode etik profesi kepolisian dan tidak melanggar hak asasi manusia sehingga Penerapan diskresi tetap berada pada batas-batas norma hukum yang berlaku. Polisi dan Masyarakat diharapkan lebih memahami tentang tindakan diskresi yang bertujuan mewujudkan Agar keadaan yang aman dan tentram. Kenaikan harga BBM yang dilakukan pemerintah pada tahun 2005 ternyata belum berdasar hukum yang tepat dan tidak melibatkan masyarakat, sehingga memicu protes dari berbagai pihak. Hanya saja, subsidi justru dinilai tidak tepat sasaran dan kurang transparan sehingga sarat korupsi di daerah dan pusat
1.4
Kualitatif, studi kasus, studi kepustakaan
Tujuan Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini bertujuan untuk: 1.
Mengetahui penerapan diskresi yang berupa bentuk tindakan, alasan atau pertimbangan, pola, syarat, dan kendala oleh Anggota Kepolisian Resort Kota Yogyakarta dalam penanganan aksi unjuk rasa di Kota Yogyakarta;
2.
Mengetahui implikasi dari penerapan diskresi oleh Anggota Kepolisian Resort Kota Yogyakarta dalam penanganan aksi unjuk rasa terhadap Ketahanan Wilayah.
12
1.5
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat untuk: 1.
Manfaat Praktis Secara praktis diharapkan dapat memberikan sumbang saran terkait penerapan diskresi oleh Anggota Kepolisian Resort Kota Yogyakarta dalam penanganan aksi unjuk rasa untuk memelihara ketertiban umum di wilayah Kota Yogyakarta dan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam penanganan aksi unjuk rasa di Indonesia pada umumnya.
2.
Manfaat Akademis Memberikan sumbangan pemikiran dalam kajian Ketahanan Nasional dan menambah pengetahuan tentang penerapan diskresi oleh Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam hal pemeliharaan ketertiban umum (public order maintenance).