BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Dalam sebuah penelitian, judul merupakan suatu bagian yang penting karena judul dalam sebuah penelitian harus dibuat dengan berbagai pertimbangan logis dan gambaran jelas yang berkaitan dengan isi dari penelitian yang kita lakukan. Adapun judul dari penelitian ini adalah: “Makna Aksesibilitas Pendidikan Inklusif Bagi Para Difabel Tuna Netra di Perguruan Tinggi Yogyakarta.” Peneliti tertarik mengangkat judul penelitian ini karena masih sangat jarang terdapat pendidikan inklusif pada sekolah-sekolah maupun perguruan tinggidi Indonesia, padahal peraturan mengenai sekolah inklusif telah tertulis dengan jelas pada Undang-Undang Negara Republik Indonesia. Akan tetapi pada kenyataannya adanya Undang-Undang tersebut tidak membuat sekolah inklusif semakin banyak di Indonesia. Hal itu terjadi karena budaya eksklusi siswa difabel di Sekolah Luar Biasa telah melekat di masyarakat. Seharusnya yang terjadi adalah budaya membaurnya antara siswa difabel dan siswa non-difabel agar tidak terjadi kesenjangan sosial di masyarakat, dan tidak menimbulkan sifat rasisme di masyarakat. Sebenarnya, para difabel tersebut memiliki kemampuan yang sama dengan orang lain (non-difabel) jika mereka diberikan kesempatan yang sama. Jika mereka sudah bisa dilatih lalu diberdayakan, maka mereka akan bisa menghasilkan sesuatu yang berguna dan tidak akan membebani orang-orang di sekitar mereka dengan keterbatasan fisik mereka. Meskipun masih belum banyak terdapat perguruan tinggi inklusif di Indonesia, tetapi terdapat beberapa perguruan tinggi yang bersedia menerima mahasiswa difabel untuk melanjutkan jenjang pendidikannya. Perguruan tinggi tersebut yang terdapat di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta antara lain yaitu Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta, dan Universitas Islam Nasional Sunan Kalijaga. Penelitian ini mengarah kepada
1
bagaimanakah pendidikan inklusif yang diinginkan oleh para difabel tuna netra di beberapa perguruan tinggi Yogyakarta. B. Relevansi dengan Jurusan PSdK Penelitian ini memiliki keterkaitan dengan ilmu yang dipelajari oleh penulis, yaitu ilmu pembangunan sosial dan kesejahteraan. Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan berfokus pada tiga konsentrasi, yaitu Pemberdayaan Masyarakat, Kebijakan dan Coorporate Social Responsibility (CSR). Dalam ilmu tersebut banyak dipelajari masalah-masalah sosial di masyarakat, contohnya dari bidang sosial, ekonomi, kesehatan, pendidikan masyarakat dan lain sebagainya. Tujuan dari ilmu pembangunan sosial dan kesejahteraan adalah untuk menganalisis dan memecahkan kebijakan-kebijakan serta masalah-masalah yang ada di masyarakat, sehingga dapat tercipta kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera. Akan tetapi saat ini masih banyak masalah yang terjadi di masyarakat, salah satunya adalah masalah aksesibilitas pendidikan inklusif bagi difabel di Yogyakarta. Difabel di Indonesia seringkali masih dilihat sebelah mata oleh orang-orang non-difabel, padahal difabel merupakan salah satu motor penggerak kemajuan perekonomian dan kesejahteraan di Indonesia, karena hak-hak mereka sama dengan hak-hak orang normal lainnya, terutama dalam hal pendidikan. Dengan adanya program pendidikan inklusif bagi para difabel merupakan suatu cara yang seharusnya dapat membantu mereka dalam mendapatkan pendidikan tanpa adanya diskriminasi dalam bentuk apapun. C. Orisinalitas Sebuah penelitian dapat dinyatakan orisinil atau asli jika masalah yang dikemukakan oleh peneliti belum pernah dilakukan terpecahkan sebelumnya, atau jika sudah pernah diteliti maka harus dilihat secara cermat perbedaannya. Skripsi mengenai pendidikan inklusif memang sudah pernah dilakukan sebelumnya, akan tetapi kebanyakan dari penelitian
2
terdahulu mengarah kepada Sekolah Menengah Atas atau Madrasah Aliyah inklusif. Berbeda dengan penelitian kali ini yang mengambil objek penelitiannya adalah mahasiswa difabel tuna netra pada perguruan tinggi inklusif. Penelitian serupa yang sudah pernah dilakukan sebelumnya oleh Marsi‘ah, mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Sunan Kalijaga 2013, dengan judul penelitian ―Pendidikan Inklusi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Studi Kasus Pelaksanaan Pembelajaran Studi Keislaman Mahasiswa Tunanetra UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)‖ yang dilakukan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Penelitian ini membahas tentang bagaimana akses mahasiswa difabel tuna netra. Terdapat skripsi lain mengenai pendikan inklusif yang telah diteliti oleh Amir Ma‘ruf, mahasiswa jurusan Pendidikan Tarbiyah 2009, dengan judul ―Model Pendidikan Inklusi di MAN Maguwoharjo Depok Sleman Yogyakarta‖ dengan fokus penelitiannya pada MAN Maguwoharjo Depok Sleman Yogyakarta.‖ Fokus dari penelitian ini adalah bagaimana tahapan, model pendidikan, pengembangan kurikulum, dan faktor pendukung dan penghambat terhadap pendidikan inklusi di MAN Mguwoharjo Depok Sleman Yogyakarta. Selain itu skripsi yang disusun oleh Winda Tri Listyaningrum dari Jurusan Sosiologi Universitas Gadjah Mada tahun 2009 dengan judul ―Konstruksi dan Model Pendidikan Inklusif (Studi Atas Pola Pembelajaran Inklusif di Madrasah Aliyah Negeri Maguwoharjo).‖ Fokus penelitian tersebutadalah kepada konstruksi pendidikan, praksis pendidikan, dan output pendidikan inklusif di MAN Maguwoharjo. Dari ketiga penelitian terdahulu, terlihat jelas bahwa penelitian kali ini memiliki fokus yang berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Karena fokus pada penelitian ini adalah kepada makna aksesibilitas pendidikan inklusif bagi difabel tunanetra di perguruan tinggi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang belum pernah dilakukan sebelumnya.
3
D. Aktualitas Pendidikan inklusif merupakan suatu program pendidikan yang melibatkan antara difabel dan non-difabel dalam suatu sistem belajar-mengajar. Sistem tersebut masih jarang kita jumpai di Indonesia karena saat ini kebanyakan pendidikan bagi difabel hanya ada di sekolah-sekolah yang khusus menangani difabel saja. Pada penelitian kali ini, peneliti akan terfokus pada aksesibilitas pendidikan inklusif bagi para difabel di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Penelitian ini memiliki aktualitas, dimana pendidikan inklusif merupakan sebuah jalan alternatif bagi pendidikan difabel di Indonesia tanpa harus membuat kesenjangan pendidikan antara difabel dan non-difabel. Pendidikan inklusif sudah dijalankan di beberapa sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi di beberapa daerah di Indonesia, salah satunya yaitu di Provinsi Daeran Istimewa Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta dan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga merupakan contoh perguruan tinggi yang menerima mahasiswa difabel untuk dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Ketiga perguruan tinggi tersebut sangat mendukung adanya pendidikan inklusif karena sadar akan hak-hak difabel di Indonesia yangmasih belum sepenuhnya diperjuangkan oleh masyarakat dan pemerintah. E . Latar Belakang Di dunia ini tidak ada negara yang tidak memiliki penduduk berkebutuhan khusus atau penyandang cacat. Penyandang cacat yaitu setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya yang terdiri dari penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental, dan penyandang cacat fisik dan mental (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1997). Tidaklah pantas jika kita memanggil seseorang yang memiliki kekurangan fisik atau mental dengan sebutan cacat, maka dari itu pemerintah 4
Indonesia dan internasional telah sepakat membuat istilah yang lebih halus dan bisa digunakan di seluruh dunia yaitu istilah difabel (Different Ability). Difabel memiliki arti seseorang yang kemampuan fisik atau mentalnya berbeda dengan orang-orang lain pada umumnya. Terdapat beberapa hal yang bisa menyebabkan difabel, diantaranya orang yang sudah menjadi difabel sejak mereka lahir, dan ada juga orang yang menjadi difabel karena suatu peristiwa yang tidak disengaja seperti kecelakaan atau bencana alam yang menyebabkan salah satu organ tubuhnya tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya orang normal lainnya. Yang termasuk anak luar biasa antara lain anak yang mengalami gangguan penglihatan yang disebut tunanetra, gangguan pendengaran disebut tunarungu, gangguan pada kecerdasan disebut tunagrahita, gangguan pada anggota tubuh disebut tunadaksa, gangguan pada emosi dan adaptasi sosial disebut tunalaras. Anak –anak yang memiliki bakat khusus atau kecerdasan yang tinggi disebut berbakat atau gifted. Berikut ini penulis lampirkan data difabel di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta: Tabel. 1 Jumlah Difabel dan Kategorinya Pada Tahun 2002-2012 di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Provinsi DIY
Tuna Netra
Bisu/Tuli
Cacat Tubuh
Cacat Mental
Penyakit Kronis
Cacat Ganda
2002
3.978
3.926
6.520
7.368
242
1.435
2003
3.978
3.926
6.255
6.392
1.337
1.103
2004
3.188
2.637
8.800
7.606
1.359
999
2005
2.468
2.015
6.656
5.779
1.359
809
2006
2.384
2.871
8.122
5.138
1.266
2.590
2007
3.959
3.453
9.197
6.394
1.266
3.232
2008
6.233
5.413
13.225
11.465
3.078
1.805
5
2009
4.517
3.921
11.244
12.120
2.134
2.345
2010
4.636
3.966
11.389
9.251
2.166
2.330
2011
3.917
3.425
9.831
7.989
2.005
1.943
2012
2.568
2.485
7.772
6.984
1.272
1.217
Sumber: Dinas Sosial Provinsi D.I. Yogyakarta
Setiap manusia di belahan dunia manapun memiliki hak asasi manusia (HAM), begitu juga bagi para difabel. Di Indonesia, pemerintah telah menjamin HAM para difabel, hal ini sesuai dengan UU No.4 Tahun 1997 pasal 5 yang berbunyi, setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama, dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan termasuk pendidikan.Akan tetapi pada kenyataannya masih terjadi diskriminasi terhadap difabel di Indonesia, seperti ketika difabel tersisihkan secara sosial karena mereka merasa takut dan diabaikan oleh masyarakat umum (non-difabel). Bentuk diskriminasi ini dapat berupa ucapan yang merendahkan difabel, secara tidak langsung mereka tersisihkan dari lingkungan masyarakat karena masih banyak masyarakat umum yang memandang sebelah mata kemampuan difabel dalam meraih sesuatu. Contoh diskriminasi lingkungan yaitu ketika layanan umum dan transportasi umum tidak dirancang dengan mempertimbangkan adanya akses untuk difabel. Contoh diskriminasi lembaga terjadi ketika hukum yang ada secara jelas mengaburkan hak difabel dengan menjadikan mereka masyarakat kelas dua tanpa memiliki hak untuk memilih, memiliki tanah, berkeluarga dan bersekolah. Untuk menghindari terjadinya diskriminasi terhadap difabel khususnya dalam hal pendidikan, maka terbentuklah berbagai kebijakan yang berhubungan dengan layanan pendidikan bagi difabel yang bersifat internasional dan juga nasional. Diantaranya yaitu: Deklarasi tentang HAM termasuk di dalamnya hak pendidikan dan partisipasi penuh bagi semua orang oleh PBB pada tahun 1948, Konvensi Hak Anak oleh PBB dipublikasikan pada tahun 1991, Pendidikan untuk Semua: Konferensi dunia tentang Pendidikan untuk Semua di
6
Jomtien, Thailand yang menyatakan bahwa: (1) memberi kesempatan kepada semua anak untuk sekolah, dan (2) memberikan pendidikan yang sesuai bagi semua anak. Dalam kenyataannya pernyataan tersebut belum termasuk di dalamnya anak luar biasa (UNESCO, dipublikasikan tahun 1991 dan 1992), Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusif (UNESCO, dipublikasikan tahun 1994, laporan terakhir tahun 1995), Kesepakatan Dakar tentang Pendidikan untuk Semua (UNESCO). Maka dari itu, tidak ada lagi alasan bagi kita untuk memperlakukan dan memandang difabel secara sebelah mata. Pada bulan November 2011, DPR RI telah menyetujui ratifikasi CRPD (Convention on the Rights of Persons with Disability)yaitu dengan disahkannya UU No. 19 tahun 2011. Hal ini mejadi tonggak sejarah yang sangat penting dalam peningkatan program perlindungan maupun pemberdayaan difabel sebagaimana diamanatkan dalam konfrensi tersebut. Sebagai salah satu angggota PBB dan juga menjadi bagian dari masyarakat dunia, dan sudah ikut serta meratifikasi CRPD tersebut maka Indonesia harus menerapkan paradigma ―Disability Inclusive Development‖ dalam seluruh aspek pembangunan yang terjadi di Indonesia, termasuk pembangunan di bidang pendidikan perguruan tinggi dan pembinaan kepemudaan. Banyaknya difabel di Indonesia yang tidak mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara Indonesia ternyata menggerakkan hati sekelompok masyarakat yang kemudian mendirikan organisasi-organisasi pembela hak-hak difabel, seperti Lembaga Pemberdayaan Tunanetra (LPT) yang berdomisili di kota Surabaya, Persatuan Tuna Netra Indonesia (PERTUNI), Mitra Netra dan organisasi-organisasi lainnya. Peran organisasi-organisasi tersebut sangatlah besar terhadap kebebasan difabel tunanetra untuk dapat mengakses pengetahuan dan mengembangkan bakat dan minatnya. Beberapa organisasi tersebut telah membangun kerjasama dengan organisasi tunanetra di luar Indonesia untuk dapat membantu masyarakat difabel tunanetra di Indonesia merasakan haknya untuk mendapatkan pendidikan. Seperti organisasi Mitra Netra yang membangun kerjasama dengan International Council of
7
Education for People with Visual Impairment (ICEVI) kemudian mendirikan ‖Blind Corner‖ yang berlokasi di dalam ―Library @ Senayan‖, Jakarta sebagai tempat pelayanan khusus bagi tunanetra di perpustakaan tersebut. Kemajuan pembangunan suatu bangsa tidak akan lepas dari tingkat pendidikan bangsa tersebut. Pendidikan mempunyai peran yang sangat penting dalam proses pembangunan karena pendidikan merupakan salah satu faktor utama yang menentukan keberhasilan pembangunan. Oleh karena, itu pendidikan merupakan sebuah proses penting dalam penyiapan sumber daya manusia. Seperti yang bisa kita lihat sekarang ini, negara-negara maju seperti Amerika, Inggris, Jerman, dan negara maju lainnya, tidak lepas dari kemajuan pendidikan warga negaranya. Pendidikan adalah suatu bimbingan yang diberikan secara sengaja kepada seseorang agar mereka bisa mengembangkan potensi diri, memiliki keterampilan, ilmu agama, pengendalian diri, berkepribadian baik, menjadi orang yang cerdas, dan memiliki keterampilan yang diperlukan oleh dirinya dan masyarakat agar dapat mencapai tingkat kehidupan yang lebih tinggi atau mencapai kesejahteraan. Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap individu dan juga bagi kemajuan bangsa. Akan tetapi sangat disayangkan masih banyak orang yang belum peduli akan hal tersebut. Masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan pendidikan di Indonesia. Tidak hanya di daerah-daerah terpencil saja yang masih minim akan pendidikan, tetapi di kota-kota besar juga masih sering kita jumpai anak-anak usia sekolah yang belum mendapatkan pendidikan, seperti anak-anak jalanan (pengamen dan pengemis). Hal tersebut bisa didasari oleh berbagai faktor seperti biaya pendidikan yang mahal, fasilitas pendidikan yang masih sangat minim, sumber daya pengajar yang belum memadai, hingga bantuan pemerintah yang tidak merata antar daerah. Padahal negara memiliki kewajiban untuk memenuhi, menghormati, dan melindungi hak pendidikan yang dimiliki oleh setiap warga negaranya. Dan juga kurangnya kesadaran orangtua akan pentingnya pendidikan bagi anak-anak. Beberapa orangtua dengan
8
kondisi ekonomi rendah memiliki pemikiran bahwa yang terpenting adalah sang anak bisa mendapatkan uang tanpa harus bersekolah tinggi-tinggi. Makna merupakan suatu pengertian atau pandangan yang dimiliki oleh seseorang terhadap suatu fenomena yang terjadi di sekitarnya, dan tidak lepas dari interaksi sosial. Interaksi yang terjalin antara satu individu dengan individu lain atau individu dengan sebuah fenomena lain akan menghasilkan suatu makna bagi seseorang. Atau makna bisa juga merupakan suatu penghayatan seseorang dalam memandang suatu permasalahan di sekitarnya. Makna adalah sebuah bagian yang tidak terpisahkan dan akan selalu melekat dari apa saja yang kita rasakan dan ungkapkan. Pada penelitian kali ini,peneliti akan mengungkap makna pendidikan inklusif terhadap para mahasiswa difabel tunanetra yaitu bagaimana para mahasiswa memaknai pendidikan inklusif yang terdapat pada perguruan tinggi tempat mereka mendapatkan pendidikan. Setiap warga negara Indonesia berhak mendapat kesempatan untuk meningkatkan pendidikannya sepanjang hayat. Setiap warga negara Indonesia juga mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Demikian pula bagi warga negara yang difabel atau warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial juga berhak mendapat pendidikan khusus.Seperti yang tertulis pada pasal 28 C Undang-Undang Dasar 1945 bahwa ―Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia‖. Dalam hal tersebut termasuk hak pendidikan bagi masyarakat difabel. Kemudian pada UU Sisdiknas Pasal 1 (2) mengenai ―Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilaiagama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahanzaman‖. Kemudian pada UU Sisdiknas pasal 4 (1) 9
yang mengatakan bahwa ―Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilaikultural, dan kemajemukan bangsa‖. Hak memperoleh pendidikan untuk difabel diperkuat lagi dengan adanya UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menekankan hak setiap warga negara untuk memperolah pendidikan sesuai dengan jenjang, jalur, satuan, bakat, minat, dan kemampuannya tanpa diskriminasi. Dengan kata lain, dalam sektor pendidikan formal seharusnya tidak ada lagi sekat sosial yang membedakan para difabel dengan masyarakat umum. Dan apabila pemerintah sudah bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar rakyatnya, maka seharusnya secara tidak langsung akan tercipta kehidupan masyarakat yang sejahtera. Perhatian pemerintah terhadap pendidikan difabel masih dirasa kurang, masyarakat difabel biasanya diberi pendidikan di sekolah khusus yang disebut sebagai Sekolah Luar Biasa (SLB) yang memang didirikan untuk menampung kelompok mereka.Namun demikian, secara tidak langsung pemerintahtelah membangun tembok eksklusifisme bagi kaum difabel.Tembok eksklusifisme tersebut telah menghambat proses sosialisasi antara difabel dan non-difabel. Akibatnya, dalam interaksi sosial di masyarakat difabel menjadi termarjinalkan dari dinamika sosial di masyarakat. Sudah seharusnya pemerintah memberikan kemudahan asksesibilitas pendidikan kepada setiap warga negaranya tanpa adanya diskriminasi suku, ras, agama, jenis kelamin, diskriminasi terhadap wilayah-wilayah di Indonesia, maupun diskriminasi terhadap fisik seseorang. Sudah merupakan kewajiban pemerintah untuk memberikan perhatian lebih terhadap hak pendidikan difabel, karena hak tersebut sudah tertulis pada UUD 1945 dan mendapatkan jaminan oleh konstitusi dan undang-undang. Bahkan hal tersebut merupakan salah satu amanat utama dari pembentukan dan pendirian negara Republik Indonesia seperti yang tercantum pada pembukaan UUD 1945 alinea IV.
10
Jadi, merupakan pelanggaran yang sangat besar jika sampai terjadi diskriminasi fisik kepada seseorang untuk mendapatkan pendidikan. Mayoritas difabel di Indonesia mendapatkan pendidikan dari Sekolah Luar Biasa, panti asuhan, dan pusat pelatihan lainnya. Hal ini memperjelas opini yang ada di masyarakat akan kurangnya kesadaran dan perhatian kita terhadap kehidupan dan pendidikan para difabel. Akibat kurangnya perhatian pemerintah terhadap difabel di Indonesia, tak sedikit dari mereka yang ―menyalahgunakan‖ atau memanfaatkankekurangan mereka menjadi pengemis, atau tukang pijat dalam memperoleh penghasilan, padahal jika pemerintah mau lebih konsen dalam memperhatikan difabel di Indonesia, hal tersebut tidak akan terjadi. Karena sudah menjadi kewajiban negara untuk melindungi hak-hak rakyatnya, termasuk salah satunya hak pendidikan bagi difabel. Sebagai warga negara Indonesia, kedudukan, hak, kewajiban, dan peran difabel adalah sama dengan warga negara lainnya. Oleh karena itu, peningkatan peran para difabel dalam pembangunan nasional sangat penting untuk mendapatkan perhatian dan didayagunakan sebagimana mestinya. Untuk menjamin setiap difabel, sebagai individu yang bermartabat dan untuk mendapatkan perlakuan yang manusiawi serta pendidikan yang bermutu, pemerintah melalui Kementrian Pendidikan Nasional telah menetapkan Permendiknas No. 70 tahun 2009, tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik Yang Memiliki Kelainan danMemiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.Maka sudah sepantasnya jika pemerintah bekerjasama dengan institusi-institusi pendidikan untuk membuka akses lebih kepada para difabel yang ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi. Akses merupakan segala sesuatu yang bersifat terbuka dan memberikan kemudahan dalam mendapatkan informasi atau ketersediaan lainnya. Seperti saat ini, terbukanya jalur penerimaan mahasiswa difabel ke perguruan tinggi guna mempermudah mahasiswa difabel dalam mendapatkan ilmu pengetahuan dan informasi untuk menunjang kehidupannya.
11
Pendidikan inklusif sudah ada di Indonesia sejak sebelum Indonesia merdeka.Pada tahun 1901, dr. Westhoff mendirikan lembaga pendidikan untuk tuna netra di Bandung sekaligus menjadi SLB pertama di Indonesia. Saat ini sekolah tersebut sudah berubah menjadi SLB A Wiyata Guna Bandung. Pendidikan inklusif merupakan istilah yang biasanya digunakan untuk penggabungan atau penyatuan peserta didik yang termarjinalkan dalam suatu kegiatan di lembaga pendidikan. Inklusif berasal dari bahasa Inggris yaitu ‗inclusion‘ yang berarti terbuka. Secara umum, pengertian pendidikan inklusif adalah pendidikan yang memandang sama semua peserta didik termasuk difabel. Pendidikan inklusif dapat dimaknai sebagai suatu bentuk reformasi pendidikan yang menerapkan sikap anti diskriminasi, perjuangan untuk mendapatkan hak dan kesamaan, keadilan dan memperluas akses pendidikan kepada semua peserta didik. Landasan dari pendidikan inklusif adalah pancasila sebagai dasar negara Indonesia, karena kecacatan seseorang merupakan sesuatu dari sekian banyak hal yang harus diakui oleh segenap komponen bangsa sama halnya seperti persamaan suku, agama, ras, budaya dan golongan. Dari filosofi tersebut seharusnya memungkinkan terjadinya persamaan sistem pendidikan dari beragam peserta didik, sehingga dapat tercipta sikap saling asah, asih dan asuh. Proses pembelajaran inklusif harus dilaksanakan dengan sangat terencana, dan selalu berada dibawah pengawasan agar berjalan dengan efektif. Pendidikan inklusif memberikan banyak sekali keuntungan bagi difabel, karena mereka bisa mendapatkan kesempatan yang sama dalam mendapatkan pendidikan, dapat berinteraksi dengan banyak orang, dapat membuktikan kepada orang lain bahwa mereka juga bisa melakukan hal yang sama seperti orang lain tanpa harus disingkirkan dari kehidupan masyarakat. Padahal sebenarnya, difabel juga memberikan dampak positif bagi orang lain, yaitu membuat orang normal menjadi lebih peka, menjadi lebih cepat tanggap, dan menjadi lebih sensitif terhadap sesama. Tidak seharusnya kita merasa terbebani dengan kehadiran mereka, karena kita sama-sama makhluk ciptaan tuhan dan seharusnya kita bisa membantu
12
mereka agar mereka bisa merasakan hal yang sama dengan kita, serta menikmati kemudahankemudahan seperti yang kita rasakan. Kemudahan akses tersebut dapat pula diimplementasikan pada bangunan gedung, lingkungan ataufasilitas umum lainnya. Bagi difabel, aksesibilitas juga difokuskan pada kemudahan bagi difabel untuk menggunakan fasilitas seperti pengguna kursi roda atau orang buta harus bisa berjalan dengan mudah di trotoar ataupun naik keatas angkutan umum.Aksesibiltas dapat dikatakan baik apabila para difabel, baik yang menggunakan kursi roda ataupun yang buta,dapat menggunakan semua fasilitas umum, seperti tulisan braile untuk menjelaskan fasilitas umum seperti di lift, stasiun, trotoar bagi pejalan kaki yang buta dengan menggunakan ubin dengan bentuk tertentu yang dapat dirasakan bila diinjak. Demikian pula bagi pengguna kursi roda, harus dapat berjalan di trotoar, naik dan turun ke angkutan umum dan memasuki kantor-kantor pelayanan umum tanpa perlu dibantu orang lain. Untuk para difabel, aksesibilitas pada pendidikan inklusif dapat diartikan sebagai tersedianya aksesibilitas yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik, sehingga peserta didik merasa aman dan nyaman dalam mengikuti kegiatan belajar atau perkuliahan di kampus.Agar para difabel mampu hidup secara mandiri dan berpartisipasi secara penuh dalam semua aspek kehidupan, termasuk pendidikan,maka perlu langkah yang tepat untuk memastikan akses bagi difabel, atas dasar kesamaan dengan mahasiswa lainnya, terhadap lingkungan fisik, transportasi, termasuk sistem serta teknologi informasi dan komunikasi, serta akses terhadap fasilitas dan jasa pelayanan lain yang terbuka atau tersedia untuk publik, baik di daerah perkotaan maupun perdesaan. Langkah-langkah yang wajib meliputi identifikasi dan penghapusan kendala serta halangan terhadap aksesibilitas, wajib berlaku, antara lain:
13
(a) Gedung-gedung, jalan-jalan, sarana transportasi, dan fasilitas dalam dan luar ruang lainnya,
termasuk
sekolah,
perumahan,
fasilitas
medis,
dan
tempat
kerja;
(b) Informasi, komunikasi, dan layanan lainnya, termasuk layanan elektronik dan layanan gawat darurat. Pihak-pihak negara wajib juga mengambil langkah-langkah yang tepat untuk: a. Mengembangkan, menyebarluaskan, dan memantau pelaksanaan standar minimum dan panduan untuk aksesibilitas terhadap fasilitas dan layanan yang terbuka atau tersedia untuk publik; b. Memastikan bahwa entitas swasta yang menawarkan fasilitas dan layanan yang terbuka atau tersedia untuk publik mempertimbangkan seluruh aspek aksesibilitas bagi penyandang disabilitas; c. Menyelenggarakan pelatihan bagi pemangku kepentingan mengenai masalah aksesibilitas yang dihadapkan kepada penyandang disabilitas; d. Menyediakan di dalam bangunan dan fasilitas lain yang terbuka untuk publik, tanda-tanda dalam huruf Braille dalam bentuk yang mudah dibaca dan dipahami; e. Menyediakan bentuk-bentuk bantuan dan perantara langsung, termasuk pemandu, pembaca, dan penterjemah bahasa isyarat profesional untuk memfasilitasi aksesibilitas terhadap bangunan dan fasilitas lain yang terbuka untuk publik; f. Meningkatkan bentuk bantuan dan dukungan lain yang tepat bagi penyandang disabilitas untuk menjamin akses mereka terhadap informasi g. Meningkatkan akses bagi penyandang disabilitas terhadap sistem serta teknologi informasi dan komunikasi yang baru, termasuk internet;
14
h. Memajukan desain, pengembangan, produksi, dan distribusi sistem serta teknologi informasi dan komunikasi yang dapat terakses sejak tahap awal, sehingga sistem serta teknologi ini dapat terakses dengan biaya yang minimum. Perpustakaan umum merupakan lembaga penyedia layanan informasi. Dan di era informasi ini, kebutuhan mendapatkan informasi merupakan salah satu kebutuhan pokok yang harus dipenuhi.
Olehkarenanya,
menjadi tugas
perpustakaan umum
untuk
mengembangkan diri menjadi ―perpustakaan yang inklusif‖, sehingga warga masyarakat tunanetra dapat terpenuhi hak mereka akan kebutuhan informasi.
Pada sebuah acara workshop yang dilaksanakan oleh Jurusan Pendidikan Luar Biasa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, Dr. Ishartiwi, M.Pd (salah seorang dosen jurusan PLB) menjelaskan bahwa ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) berhak menempuh pendidikan seperti anak usia sekolah pada umumnya. Meski demikian, pendidikan bagi ABK mementingkan hasil pasca-pendidikan bukan selama proses pendidikan yaitu agar difabel mendapatkan kehidupan yang layak di masyarakat. Kemudian dijelaskan juga oleh Aini Mahabbati S.Pd, M.A, seorang dosen Universitas Negeri Yogyakarta yang memaparkan bahwa pendidikan inklusi harus memperhatikan kurikulum yang dijalankan. Sistem belajar pada kelas inklusif sebaiknnya terdiri dari 1—6 difabel dengan dua guru dan satu orang terapis yang bertanggungjawab memberi perlakuan khusus bagi difabel agar mereka dapat mengikuti kegiatan belajar dengan baik. Selain itu, dapat pula melibatkan siswa non-difabel untuk menjadi peer tutoring dan membagi ilmu dan pengalamannya kepada difabel. Dengan ini, layanan pendidikan inklusif dapat memberi bekal kepada difabel berupa life skill, social skill, dan vocational skill. Akan tetapi pada kenyataannya hal yang telah diungkapkan oleh dosen di UNY tersebut sepertinya masih belum berlaku pada mahasiswa
15
difabel yang berada di lingkungan Universitas Negeri Yogyakarta berdasarkan keterangan yang diberikan oleh mahasiswa difabel tunanetra Universitas Negeri Yogyakarta.
Di tahun 2014 pemerintah membuka Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) kepada peserta didik yang akan melanjutkan pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi. Akan tetapi beberapa persyaratan yang dikeluarkan oleh panitia pelaksana sangat memberatkan difabel karena disana tertulis secara eksplisit bahwa difabel dengan berbagai jenisdisabilitas (tuna netra, tuna rungu, tuna wicara, tuna daksa, buta warna sebagian dan buta warna keseluruhan) tidak diperbolehkan mengikuti SNMPTN tahun 2014 untuk sebagian besar program studi yang ditawarkan. Hal ini sangat bertentangan dengan hakikat pendidikan yang seharusnya bisa diperoleh bagi semua orang tanpa memandang latar belakang dan kekurangan seseorang, dan juga bertolak belakang dengan peraturan yang sudah dibuat oleh pemerintah yaitu peraturan perundangan tentang pendidikan atau hak-hak yang terkait dengan difabel. Kondisi ini dapat menyebabkan difabel tidak dapat berkembang dan tidak dapat memiliki pengetahuan yang memadai. Walaupun persyaratan tersebut sudah dicabut, namun pada kenyataannya belum semua fakultas atau jurusan dapat menerima siswa difabel, hal ini dapat disebabkan masih kurangnya aksesibilitas bagi mahasiswa difabel. Pada kesempatan kali ini peneliti akan meneliti tentang pendidikan inklusif yang diinginkan oleh para difabel tuna netra yang ada di beberapa perguruan tinggi di Yogyakarta.
16
F. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti merumuskan permasalahan yang akan menjadi fokus perhatian penelitian ini. Permasalahan tersebut dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana bentuk fasilitasi pendidikan inklusif di perguruan tinggi yang diinginkan oleh difabel tuna netra? G. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh dan mengetahui gambaran mengenai: 1. Untuk mengetahui gambaran tentang tantangan difabel tuna netra dalam proses belajar di perguruan tinggi 2. Untuk mengetahui konstruksi pendidikan yang diinginkan oleh difabel tuna netra di perguruan tinggi H. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain: 1. Sebagai salah satu bahan referensi dan juga input bagi civitas akademika dan peneliti lain yang juga memiliki ketertarikan dengan program pendidikan inklusif bagi difabel, serta memberikan kontribusi akademik untuk pengembangan Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan. 2. Menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan, sehingga pemerintah mampu membuat suatu kebijakan yang lebih baik, efektif dan efisien untuk pendidikan difabel di Indonesia.
17
I. Tinjauan Pustaka 1. Landasan Teori Teori interaksionisme simbolik adalah sebuah teori sosiologi modern. Teori ini mulai dikembangkan sekitar tahun 1920 oleh George Herbert Mead di Chicago. Dalam teori interaksionisme simbolik juga dipengaruhi oleh pemikiran beberapa tokoh penting sosiologi lainnya, diantaranya: Max Weber dengan teori tindakan sosialnya, Herbert Blumer, Erving Goffman, Charles Horton Cooley dan William I. Thomas. Teori ini memusatkan perhatian lebih kepada individu, tentang bagaimana individu berinteraksi dengan individu lain dengan menggunakan simbol-simbol yang signifikan berupa bahasa dan berusaha mengungkap realitas perilaku manusia. Selain itu interaksionisme simbolik juga memusatkan pada tingkat mikro, termasuk kesadaran subyektif dan dinamika interaksi antar pribadi. Menurut pemikiran George Herbert Mead, pemikiran terpenting dari interaksionisme simbolik adalah dari pemikiran seseorang. Dari situlah akan muncul kesadaran, pikiran, diri, dan seterusnya atau yang terkenal dalam buku Mead yang berjudul Mind, Self, and Society. Menurut Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993) dalam West-Turner (2008: 96), interaksionisme simbolik pada intinya menjelaskan tentang kerangka referensi untuk memahami bagaimana manusia bersama dengan orang lain, menciptakan dunia simbolik dan bagaimana cara dunia membentuk perilaku manusia. Teori interaksionisme simbolik berusaha memahami budaya atau kebiasaan suatu kelompok masyarakat melalui perilaku manusia yang tercipta dari cara berkomunikasi antara seseorang dengan orang lain yang berada di lingkungan sekitarnya. Terori interaksionisme simbolik ini sangat menekankan proses berpikir manusia sebelum mereka bertindak dan tindakan tersebut bukan stimulus - respon, melainkan stimulus - proses berpikir - respon. Jadi variabel yang terdapat antara stimulus dengan respon yaitu proses berpikir tidak lain adalah 18
interpretasi seseorang. Teori interaksionisme simbolik memandang bahwa makna akan muncul dari proses interkasi sosial antar individu yang telah dilakukan. Maka esensi dari teori interaksionisme simbolik adalah suatu aktivitas komunikasi atau pertukaran simbol yang menimbulkan makna bagi seseorang. Teori ini menyarankan bahwa sifat manusia dilihat sebagai suatu proses yang memungkinkan manusia dalam membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi lawan interaksi mereka. Teori tersebut dirasa oleh peneliti paling mendekati tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui konstruksi pendidikan yang diinginkan oleh difabel tunanetra dan tantangan apa saja yang dihadapi difabel tunanetra di perguruan tinggi. Peneliti akan melihat interaksi antara difabel dengan lingkungannya, bagaimana proses belajar mengajar yang diterima oleh difabel hingga mengetahui kesimpulan bagaimana konstruksi pendidikan yang sesungguhnya diinginkan oleh difabel tunanetra. Untuk pemaknaan sebaiknya peneliti berusaha untuk merekonstruksi realitas sosial yang sudah terjadi melalui interaksi antar individu dalam suatu kelompok masyarakat. Pada saat interaksi tersebut terjadi, peneliti dapat memberikan umpan balik berupa pertanyaanpertanyaan yang dapat memancing individu tersebut untuk bisa memunculkan makna dari aksesibilitas pendidikan inklusif di perguruan tinggi dalam suatu interaksi antar individu. Peneliti memperhatikan bagaimana ketika mahasiswa difabel tunanetra berinteraksi dengan mahasiswa non-difabel lainnya, dan staff pengajar yang berada di lingkungan perguruan tinggi sehingga kemudian difabel tunanetra bisa memaknai apakah itu pendidikan inklusif dan bagaimana akses mereka ketika berada di lingkungan perguruan tinggi inklusif. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, semakin banyak orang-orang di sekitarnya yang mendukung keberadaan difabel tunanetra maka semakin mudah para difabel tunanetra dalam mengakses kebutuhannya, tetapi jika difabel tunanetra berada di lingkungan yang tidak begitu 19
peduli dengan keberadaan mereka maka para difabel tunanetra merasa semakin terpacu semangatnya untuk tidak kalah dengan mahasiswa non-difabel lainnya. Dengan teori interaksionisme simbolik, peneliti akan memperhatikan bagaimana cara difabel tunanetra berinteraksi dengan dosen di kampus, bagaimana difabel tunanetra berinteraksi dengan mahasiswa difabel lainnya, antara mahasiswa difabel tunanetra dengan mahasiswa non-difabel, dan antara mahasiswa difabel dengan staff di kampus sehingga nantinya akan terlihat bagaimana cara mahasiswa memaknai aksesibilitas pendidikan inklusif di perguruan tinggi. Mahasiswa yang dapat berinteraksi dengan baik terhadap orang lain di lingkungannya akan lebih sedikit kemungkinannya mendapatkan kesulitan dan tantangan selama berada di lingkungan kampus dibandingkan dengan mahasiswa difabel yang kurang bisa berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Tantangan - tantangan tersebut juga dilihat dari perspektif bagaimana mahasiswa difabel tersebut menyikapi masalah. Seperti yang terjadi pada salah seorang mahasiswi Universitas Gadjah Mada, ia berada di lingkungan perguruan tinggi yang terbuka terhadap adanya mahasiswa difabel tunanetra, seperti teman-teman di lingkungan perguruan tinggi yang mau membantunya dalam proses belajar dan dosen yang bersedia membantu ketika ia merasa kesulitan dalam menerima materi di kelas. Hal-hal tersebut membuatnya merasa tidak memiliki kesulitan yang berarti selama berada di lingkungan perguruan tinggi. Sesuai dengan prinsip teori interaksionisme simbolik yang mengatakan bahwa sebuah makna akan muncul dari interaksi yang terjadi di lingkungannya. Interaksi yang dibangun oleh mahasiswa difabel tunanetra dengan dosen-dosen di jurusan juga mempengaruhi aksesibilitasnya di kampus. Mahasiswa difabel tunanetra di Universitas Gadjah mada bisa menjalin hubungan yang baik kepada dosen dengan cara bertanya ketika menemui kesulitan selama berada di kelas membuatnya merasa mudah dalam mengakses pendidikan.
20
Kemudian ketiga mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta yang merasa kesulitan ketika berada di lingkungan kampusnya, karena fasilitas kampus yang masih kurang memadai. Kemudian ditambah dengan sikap para difabel tunanetra yang segan bertanya kepada dosen ketika mereka menemui kesulitan di kelas, sehingga mereka merasa kesulitan ketika sedang kuliah. Mereka merasa bahwa yang seharusnya lebih dulu membangun interaksi adalah dosen kepada mahasiswa. Staff administrasi di fakultas dan dosen - dosen juga dirasa kurang memiliki perhatian lebih kepada mahasiswa difabel tunanetra karena ketika ditanya mereka tidak hafal siapa saja mahasiswa difabel tunanetra, angkatan berapa dan jurusan apa saja. Kondisi interaksi yang kurang baik seperti ini dapat menimbulkan makna aksesibilitas pendidikan inklusif yang kurang baik juga bagi mahasiswa difabel tunanetra. Lain halnya dengan mahasiswa dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga yang tidak merasa memiliki kesulitan yang berarti selama berada di lingkungan kampusnya, karena lingkungan kampus Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga memang sudah dirancang sedemikian rupa oleh pihak pengelola kampus untuk mempermudah difabel dalam mengakses pendidikan. Contohnya dari adanya Pusat Layanan Difabel yang sangat terbuka dan ramah terhadap adanya difabel di lingkungan kampus dan bersedia membantu ketika terdapat mahasiswa difabel yang memiliki kesulitan di kampus. Mahasiswa difabel tunanetra memiliki interaksi yang baik dengan pengelola PLD, terlihat ketika mereka bercengkrama dan bercanda satu sama lain, bahkan hingga mencurahkan isi hatinya mengenai teman lawan jenisnya. Kehangatan dan sikap kekeluargaan yang terbangun antara mahasiswa difabel dengan mahasiswa difabel, mahasiswa difabel dengan pihak pengelola kampus membuat suasana kampus menjadi nyaman. Interaksi yang baik antara difabel tunanetra dengan pihak kampus dan mahasiswa lainnya akan membentuk suatu makna positif mengenai pendidikan inklusif yang ada di perguruan tinggi mereka. 21
2. Pengertian dan Klasifikasi Difabel Tuna Netra John C. Maxwell mengatakan difabel adalah seseorang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan suatu rintangan dan hambatan baginya untuk dapat melakukan aktifitas secara layak atau normal. Pada Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1997 Pasal 1 tertulis bahwa penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari: A. Penyandang Cacat Fisik B. Penyandang Cacat Mental C. Penyandang Cacat Fisik dan Mental Sedangkan WHO mengartikan difabel adalah suatu kehilangan atau ketidaknormalan baik psikologis, fisiologis maupun kelainan struktur atau fungsi anatomis. Klasifikasi Difabel sesuai dengan Program Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa tahun 2006 dan Pembinaan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan MenengahDepartemen Pendidikan Nasional adalah: 1. Tuna Netra 2. Tuna Rungu 3. Tuna Grahita ringan, sedang, berat (down syndrome) 4. Kesulitan Belajar atau Hyperactive, Dyslexia, Dysgraphia, Dyscalculia, Dysphasia,dan Dyspraxia 5. Korban Penyalahgunaan Narkoba 6. Indigo
22
Terdapat beberapa hal yang menyebabkan seseorang menjadi cacat (difabel), diantaranya sebagai berikut: 1. Penyebab Lahir atau Bawaan dari Lahir, seorang anak bisa terlahir dengan kondisi cacat biasanya karena kurangnya nutrisi yang diterima sejak dalam kandungan. Namun yang paling banyak dijumpai yaitu kandungan yang kekurangan asam folat yang menyebabkan kecacatan pada otak, sum-sum tulang belakang, atau keterbatasan fisik lainnya. 2. Mengalami Kecelakaan, penyebab ini paling banyak dijumpai pada seseorang yang mengalami cacat. Tetapi tidak hanya terjadi pada fisik, namun juga berpengaruh terhadap mental seseorang yang diakibatkan oleh trauma. 3. Akibat Trauma, terdapat beberapa orang yang mengalami suatu hal yang menyebabkan stress berlebih yang pada akhirnya berlanjut pada gangguan psikis orang tersebut, sehingga orang tersebut mengalami gangguan mental. Adapun macam atau jenis kecacatan yaitu: 1. Cacat Fisik, didefinisikan sebagai penderita yang mempunyai anggota fisik yang kurang lengkap seperti amputasi, cacat tulang, cacat sendi otot, cacat kaki, cacat punggung, cacat tangan, cacat jari, cacat leher, cacat rungu, lumpuh, dan cacat pembawaan sejak lahir. 2. Cacat Mata, didefinisikan sebagai penderita yang mengalami keterbatasan dalam pengelihatan atau kurang awas. 3. Cacat Rungu
Wicara,didefinisikan sebagai
penderita
yang mengalami
keterbatasan dalam mendengar atau memahami apa yang dikatakan oleh orang lain dengan jaraklebih dari 1 meter tanpa alat bantu, lainnya tidak dapat berbicara sama sekali atau bicara kurang jelas, dan mengalami hambatan atau kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang lain. 23
4. Cacat Mental Eks-psilotik, didefinisikan seperti eks penderita penyakit gila, kadang-kadang masih memiliki kelainan tingkah laku dan sering mengganggu orang lain. Biasanya orang-orang yang menderita cacat jenis ini mengalami kesusahan dalam bersosialisasi dan ada juga yang mengalami kesusahan dalam mengontrol emosi, sehingga biasanya orang-orang yang mengalami cacat jenis ini perlu pengawasan yang lebih dibandingkan dengan orang-orang yang mengalami cacat fisik. 5. Cacat Mental Retardasi didefinisikan seperti idiot atau kemampuan mental dan tingkah lakunya sama seperti dengan anak normal berusia 2 tahun dan biasanya wajahnya dungu, embisil atau kemampuan mental dan tingkah lakunya seperti anak usia 3-7 tahun, debil atau kemampuan mental dan tingkah lakunya sama seperti anak usia 8-12 tahun. Selain itu biasanya pada cacat jenis ini, orang-orang yang menderita cacat jenis ini mengalami kesusahan dalam bersosialisasi dan ada juga yang mengalami kesusahan dalam mengontrol emosi, sehingga biasanya orang-orang yang mengalami cacat jenis ini perlu pengawasan yang lebih dibandingkan dengan orang-orang yang mengalami cacat fisik. Perubahan istilah penyandang cacat menjadi disabilitas dimulai pada saat majelis umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan resolusi Nomor A/61/106 mengenai konvensi tentang hak-hak penyandang cacat disabilitas pada tanggal 13 Desember 2006, yang kemudian ditandatangani oleh pemerintah Indonesia pada tanggal 30 Maret 2007 di New York, Amerika Serikat. Akan tetapi kemudian istilah disabilitas mengalami perubahan menjadi difabel guna merubah persepsi masyarakat bahwa setiap manusia diciptakan berbeda. Pada penelitian kali ini, peneliti akan lebih fokus kepada difabel tuna netra. Tunanetra adalah seseorang yang memiliki kelainan visual dimana kelainan tersebut dapat berimbas
24
terhambatnya perkembangan pada sensoris, motorik belajar, dan tingkah lakunya (Hosni, 2003: 30). Dengan kata lain, tuna netra merupakan seseorang yang mempunyai keterbatasan dalam konsep, interaksi dengan lingkungan, serta dalam hal mobilitas atau gerak. World Health Organization (WHO) mengklasifikasikan tunanetra menjadi dua yaitu ―Near Blind‖ dan ―Blind‖. Adapun klasifikasi dari ―Near Blind‖ yaitu: 1. Light Perception, yaitu hanya dapat membedakan terang dan gelap. 2. Light Projection, yaitu dapat mengetahui perubahan cahaya dan dapat menentukan arah sumber cahaya. 3. Tunnel Vision, yaitu pengelihatan tunanetra terpusat di bagian tengah sehingga apabila melihat obyek hanya terlihat pada bagian tengah saja. 4. Periferal Vision, yaitu pengelihatan tunanetra terpusat di samping, sehingga pengamatan terhadap benda hanya terlihat pada bagian tepi saja. 5. Pengelihatan Bercak, yaitu pengamatan terhadap obyek terdapat bagian-bagian tertentu yang tidak terlihat. Dan berikut adalah klasifikasi dari ―Blind‖ yaitu terdiri dari: 1. Buta Total (Totally Blind) adalah mereka yang tidak dapat melihat sama sekali baik gelap maupun terang. 2. Memiliki Sisa Pengelihatan (Residual Vision) adalah mereka yang masih bisa membedakan antara terang dan gelap. Apabila dilihat dari kemampuan matanya, yang termasuk tunanetra adalah: a. Kelompok yang mempunyai acuity 20/70 feet (6/21 meter) artinya ia bisa melihat dari jarak 20 feet sedangkan anak normal dari jarak 70 feet ini tergolong kurang pengelihatan (low vision). b. Kelompok yang hanya dapat membaca huruf E paling besar pada kartu Snellen dari jarak 20 feet, sedang orang normal dapat membacanya dari jarak
25
200 feet (20/200 feet arau 6/60 meter, dan ini secara hukum sudah tergolong buta atau legally blind). c. Kelompok yang sangat sedikit kemampuan melihatnya sehingga ia hanya mengenal bentuk dan objek saja. d. Kelompok yang hanya dapat menghitung jari dari berbagai jarak. e. Kelompok yang tidak dapat melihat tangan yang digerakkan. f. Kelompok yang hanya mempunyai Light Projection (yaitu dapat mengetahui perubahan cahaya dan dapat menentukan arah sumber cahaya). g. Kelompok yang hanya mempunyai Light Perception (yaitu hanya dapat membedakan terang dan gelap) h. Kelompok yang tidak mempunyai persepso cahaya yang disebut dengan buta total. Waktu terjadinya ketunanetraan: 1. Tunanetra sebelum dan sejak lahir, yaitu mereka yang sama sekali tidak memiliki pengalaman pengelihatan 2. Tunanetra setelah lahir atau pada usia dini, yaitu mereka yang telah memiliki pengalaman pengelihatan visual tetapi belum kuat dan mudah terlupakan 3. Tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja, yaitu mereka yang sudah memiliki kesan-kesan dan pengalaman visual dan meninggalkan pengaruh yang sangat mendalam terhadap proses perkembangan kepribadian 4. Tunanetra pada usia dewasa, yaitu mereka yang secara sadar mampu melakukan latihan penyesuaian diri
26
5. Tunanetra pada usia lanjut, yaitu mereka yang sudah sulit mengikuti latihanlatihan untuk penyesuaian diri Penyebab terjadinya ketunanetraan antara lain yaitu: a. Keturunan. Ketunanetraan yang disebabkan faktor keturunan seringkali terjadi karena hasil perkawinan bersaudara, sesama tunanetra, atau salah satu orangtuanya merupakan tunanetra. Ketunanetraan akibat faktor keturunan antara lain Retinitis Pigmentosa, penyakit ini menyebkan memburuknya kualitas retina. Gejala awal penyakit ini biasanya sulit untuk melihat di malam hari, dan hanya sedikit saja pengelihatan pusat yang tertinggal. b. Pertumbuhan Seorang Anak dalam Kandungan Penyebab ketunanetraan yang disebabkan proses pertumbuhan anak selama berada di dalam kandungan antara lain: 1. Akibat penyakit menahun seperti TBC, sehingga merusak sel-sel darah tertentu selama pertumbuhan janin dalam kandungan. 2. Infeksi atau luka yang dialami ibu hamil akibat terkena cacar air, dapat menyebabkan kerusakan pada mata, telinga, jantung, dan sistem syaraf lainnya pada janin yang sedang berkembang. 3. Terkena infeksi toxoplasmosis, trachoma, dan tumor. Tumor dapat terjadi pada otak yang berhubungan dengan indera pengelihatan anak.
27
4. Ibu hamil kurang mendapatkan asupan vitamin tertentu sehingga menyebabkan gangguan pada mata janin yang sedang berkembang sehingga menyebabkan hilangnya fungsi pengelihatan. c. Post-Natal 1. Kerusakan pada mata pada waktu persalinan akibat benturan alat-alat atau benda keras 2. Pada waktu persalinan, ibu mengalami penyakit gonorrhoe, yaitu penyakit menular seksual yang menginfeksi lapisan dalam uretra, leher rahim, rektum, tenggorokan, dan bagian putih mata (konjungtiva) pada janin 3. Mengalami penyakit mata yang menyebabkan ketunanetraan, antara lain: a) Xeropthalmia, yaitu penyakit mata karena kekurangan vitamin A b) Trachoma,
yaitu
penyakit
mata
karena
virus
chilimidezoon
trachomanis c) Glaucoma, yaitu penyakit mata karena bertambahnya cairan dalam bola mata sehingga tekanan pada bola mata meningkat d) Catarac, yaitu penyakit mata yang menyerang bola mata sehingga lensa mata menjadi keruh, akibatnya terlihat dari luar mata menjadi putih e) Diabetic Retinopathy, yaitu gengguan pada retina yang disebabkan oleh diabetes f) Macular Degeneration, yaitu kondisi dimana daerah tengah dari retina secara berangsur memburuk. 28
g) Retinopathy of Prematurity, yaitu dikarenakan anak yang lahir terlalu prematur, yang menyebabkan perubahan kadar oksigen yang mengakibatkan pertumbuhan pembuluh darah menjadi tidak normal dan meninggalkan bekas luka pada jaringan mata. Peristiwa ini menimbulkan kerusakan pada selaput jala (retina) dan mengakibatkan tunanetra total. 4. Faktor kecelakaan. Ketunanetraan akibat faktor ini terjadi secara tiba-tiba dalam satu proses yang cepat dan tanpa ekspektasi sebelumnya, seperti mengalami kecelakaan lalu lintas dan mengenai mata secara langsung maupun tidak langsung. Gejala tunanetra yang dapat diamati dari segi fisik antara lain: 1. Mata Juling 2. Sering Berkedip 3. Sering menyipitkan mata 4. Kelopak mata berwarna merah 5. Mata infeksi 6. Gerakan mata tidak beraturan dan cepat 7. Mata selalu berair (mengeluarkan air mata) dan pembengkakan pada kelopak mata Dikarenakan tuna netra merupakan seseorang yang memiliki hambatan dalam pengelihatan atau tidak berfungsinya indera pengelihatan maka untuk dapat menunjang akses pendidikan diperlukan beberapa alat bantu, antara lain yaitu: 1. Reglet dan pena
29
2. Mesin ketik khusus Braille 3. Komputer dengan aplikasi softwareJAWS (Job Access with Speech) 4. Scanner dengan software Open Book yang dapat menghasilkan suara dan scanning tulisan menjadi huruf Braille 5. Abacus dan Kalkulator bicara sebagai alat bantu berhitung 6. Kertas Braille, penggaris Braille 7. Buku-buku sumber belajar dengan fasilitas huruf Braille 8. Talking books (buku bicara), kaset, CD, dan kamus bicara 9. Alat peraga seperti Tactile Map(peta timbul), gambar timbul seperti gambar aslinya; grafik, diagram, dll. 3. Aksesibilitas Difabel dalam Mengakses Pendidikan Seperti yang tertulis pada Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 Pasal 1 bahwa aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Dalam bidang pendidikan, siswa difabel berhak mendapatkan kurikulum dan materi pendidikan yang sama dengan siswa non-difabel. Mereka juga berhak mendapatkan aksesibilitas akan sarana dan prasarana yang lebih agar menunjang kesetaraan pendidikan serta kualitas difabel di sekolah atau perguruan tinggi. Telah dijelaskan pada Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1997 pasal 10 mengenai: (1) Kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan dilaksanakan melalui penyediaan aksesibilitas. (2) Penyediaan aksesibilitas dimaksudkan untuk menciptakan keadaan dan lingkungan yang lebih menunjang penyandang cacat dapat sepenuhnya hidup bermasyarakat.
30
Menurut Onny S. Prijono aksesibilitas adalah bahwa setiap orang tanpa memandang asal-usulnya mempunyai akses atau kesempatan yang sama terhadap pendidikan pada semua jenis, jaringan dan jalur pendidikan. Pendidikan diharapkan dapat diakses oleh setiap waga negara tanpa membedakan status sosial, ekonomi, budaya, suku, etnis, dan agama. Tidak terkecuali bagi anak penyandang cacat, mereka juga mempunyai hak yang sama untuk dapat mengakses pendidikan yang luas. Di dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 Pasal 6 telah tertulis bahwa setiap penyandang cacat berhak memperoleh: 1. Pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan; 2. Pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya; 3. Perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasilhasilnya; 4. Aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya; 5. Rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial; dan 6. Hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampu-an, dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Apabila pemerintah mengambil langkah tegas untuk melaksanakan pengembangan pelaksanaan pembangunan fasilitas umum untuk aksesibilitas difabel, memastikan bahwa pihak swasta bersedia untuk ikut serta memberikan fasilitas umum untuk difabel seperti tanda-tanda dalam huruf braille, membuat akses jalan yang dapat dilalui oleh pengguna kursi
31
roda, pemasangan tegel timbul pada trotoar, serta menyelenggarakan pelatihan kepada pihakpihak yang telah menyediakan fasilitas umum untuk difabel maka diharapkan tidak ada lagi difabel yang kesulitan dalam mengakses kebutuhan sehari-harinya, dan menumbuhkan sikap difabel yang mandiri. 4. Pendidikan Inklusif untuk Difabel Pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya (Budiyanto, 2005: 17). Semangat penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah memberikan kesempatan atau akses yang seluas-luasnya kepada semua anak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan kebutuhan individu peserta didik tanpa diskriminasi (Budiyanto, 2005: 37). Hakikat pendidikan inklusif adalah mengenai hak setiap siswa atas perkembangan individu, sosial, dan intelektual. Para siswa harus diberi kesempatan yang sama untuk mencapai potensi mereka. sistem pendidikan untuk mencapai potensi siswa harus dirancang dengan memperhatikan perbedaan-perbedaan yang ada pada diri siswa. Bagi mereka yang memiliki ketidakmampuan khusus dan/atau memiliki kebutuhan belajar yang luar biasa harus mempunyai akses terhadap pendidikan yang bermutu tinggi dan tepat (MIF. Baihaqi dan M. Sugiarmin, 2006: 75-76) Pengertian pendidikan inklusif adalah sebuah pendekatan yang berhubungan dengan pengembangan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan belajar seluruh anak atau anak tanpa perbeadaan dan pemisahan (Aldjon, 2007: 143). Penjelasan mengenai pendidikan inklusif terdapat pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional yang memberikan warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak berkelainan. Kemudian pada pasal 15
32
tentang pendidikan khusus dijelaskan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal-pasal inilah yang kemudian mendasari berbagai tingkatan lembaga pendidikan dalam menyelenggarakan sistem pendidikan inklusif. Selain itu pendidikan inklusif juga telah didukung oleh negara dengan adanya Undang-Undang No.20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5, ayat 1 s.d.4 yaitu: 1. Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. 2. Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. 3. Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. 4. Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak mendapatkan pendidikan khusus. 5. Landasan Pendidikan Inklusif Menurut
Departemen
Pendidikan
Nasional,
penerapan
pendidikan
inklusif
mempunyai landasan filosofis, yuridis, pedagogis dan empiris yang kuat, yaitu: a. Landasan Filosofis Penerapan Pendidikan Inklusif Landasan filosofis penerapan pendidikan inklusif yang utama di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas pondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka Tunggal Ika. Berdasarkan filosofi Bhineka Tunggal Ika, kelainan (kecacatan) dan keberbakatan merupakan salah satu bentuk kebhinekaan seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa budaya, atau
33
agama. Individu berkelainan pasti memiliki keunggulan-keunggulan tertentu, sebaliknya di dalam diri individu berbakat pasti terdapat juga kecacatan tertentu. b. Landasan Yuridis Landasan yuridis internasional penerapan pendidikan inklusif adalah Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) oleh para menteri pendidikan se dunia. Deklarasi Salamanca menekankan bahwa selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka. Deklarasi ini sebenarnya penegasan kembali atas Deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 dan berbagai deklarasi lajutan yang berujung pada Peraturan Standar PBB tahun 1993 tentang kesempatan yang sama bagi 23 individu berkelainan memperoleh pendidikan sebagai bagian integral dari sistem pendidikan yang ada. Kemudian hak dan kewajiban warga negara Indonesia dalam hal pelaksanaan pendidikan tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alinea empat, pasal 31 UUD 1945, UU No. 20 Th. 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Permendiknas No. 70 Th. 2009 tentang Pendidikan Inklusif. c. Landasan Pedagogis Pada pasal 3 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003, disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab. Jadi, melalui pendidikan, peserta didik berkelainan dibentuk menjadi warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab, yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan dan berpartisipasidalam masyarakat.
34
d. Landasan Empiris Penelitian tentang inklusif telah banyak dilakukan di negara-negara barat sejak 1980-an, namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh The National Academy of Sciences (Amerika Serikat). Hasilnya menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Beberapa peneliti kemudian melakukan analisis lanjut atas hasil penelitian sejenis. Hasil analisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980), Wang dan Baker (1985/ 1986) dan Baker (1994) menunjukkan bahwa pendidikan inklusifberdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkelainan dan teman sebayanya. Terdapat beberapa komponen pendidikan inklusif yang perlu dikelola dengan baik dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif yaitu Pengembangan Jaringan Kerja, Sumber Penilaian Sekolah dan Masyarakat, Tinjauan terhadap Penerapan Strategi Inklusi, dan Strategi-strategi Penerapan Inklusi. Selain itu juga diperlukan kesiapan dalam melakukan pembelajaran inklusif, antara lain yaitu sikap pengajar yang baik, persahabatan dengan siswa, dukungan kepada siswa, dukungan untuk guru, kepemimpinan administratif atau kepala sekolah, kurikulum yang sesuai, program evaluasi staff, keterlibatan orangtua dalam proses pembelajaran, dan keterlibatan masyarakat untuk meningkatkan penerimaan siswa difabel di sekolah-sekolah inklusif. Dengan begitu diharapkan terjadinya pendidikan inklusif yang berjalan dengan baik dan efektif.
35