BAB I PENDAHULUAN
1. Alasan Pemilihan Judul Dalam sebuah penelitian, judul merupakan bagian yang penting dalam menentukan arah penelitian kita. Penulisan judul sendiri harus disesuaikan dengan pokok dari isi penelitian yang akan kita lakukan. Judul dapat membantu pembaca untuk lebih cepat mengetahui fokus dari penelitian yang akan dibaca. Judul dalam sebuah karya penulisan berfungsi sebagai alat untuk menunjukkan kepada pembaca tentang hakekat dari objek dan fokus dari penelitian, wilayah, serta metode yang dipergunakan. Judul dalam penelitian ini sendiri yaitu : “Program
Keluarga
Harapan
dalam
Konteks
Penanggulangan
Kemiskinan” Pemilihan judul tersebut tentu dilandasi oleh beberapa alasan yang menurut peneliti sangat rasional. Alasan tersebut merujuk pada aspek aktualitas, orisinalitas, serta relevansi dengan ilmu yang peneliti geluti yakni Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan. Hal ini disebabkan ketiga aspek tersebut adalah bagian yang harus dipertimbangkan guna memastikan urgensi dari sebuah penelitian. Berikut ini akan dijelaskan rasionalisasi alasan pemilihan judul berdasarkan ketiga aspek tersebut, yakni : 1.1 Aktualitas Isu kebijakan sosial adalah isu yang sentral dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Melalui kebijakan sosial, maka pemerintah mengimplementasikan
1
segala program yang terkait dengan penanganan masalah sosial. Kemiskinan adalah salah satu masalah sosial yang kini masih menjadi fokus penanganan oleh pemerintah. Sejauh ini begitu banyak program kebijakan penanggulangan kemiskinan yang diterapkan oleh pemerintah, baik itu BLT (Bantuan Langsung Tunai), BLSM (Bantuan Langsung Sementara Msyarakat), PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat), BSM (Bantuan Siswa Miskin), maupun PKH (Program Keluarga Harapan), yang menjadi fokus kebijakan dalam penelitian ini. Pada era Presiden Jokowi sendiri terdapat beberapa program kebijakan sosial yang diimplementasikan yakni seperti, Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia sehat, Kartu Indonesia Sejahtera, dsb. Keseluruhan program tersebut bertujuan untuk membantu masyarakat miskin, dengan harapan mereka dapat lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhan hidup. PKH sendiri merupakan kebijakan yang telah diterapkan sejak tahun 2008, dan sedang diperpanjang pada Pemerintahan Presiden Joko Widodo. Adapun meski berbagai kebijakan sosial telah diterapkan, pada faktanya angka kemiskinan di Indonesia masih cukup tinggi. PKH yang telah diselenggarakan selama tujuh tahun ternyata masih perlu diperdebatkan efektifitas program tersebut dalam mengentaskan kemiskinan, karena di wilayah Desa Nglegi yang menjadi objek penelitian ini masih cukup banyak peserta PKH yang berada dalam level rumah tangga sangat miskin (RTSM). Maka melalui penelitian ini, akan dikaji lebih jauh fenomena dibalik belum efektifnya kebijakan ini dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi para peserta.
2
1.2 Orisinalitas Suatu penelitian hakekatnya harus merujuk pada nilai keaslian suatu karya. Penilitian dalam konteks akademik adalah sebuah naskah intelektual yang harus dipastikan keasliannya. Segala bentuk plagiasi adalah suatu tindakan yang sama sekali tidak bisa ditolerir, karena sejatinya naskah akademik akan menjadi rujukan dalam menciptakan kebijakan dan aturan yang akan diberlakukan di masa depan. Sejauh ini begitu banyak penelitian yang meniliti mengenai PKH. Beberapa contoh yakni penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Rokhoul Alamin yang berjudul “Analisis Peran Pendamping dalam PKH pada Suku Dinas Sosial Jakarta Utara”, kemudian penelitian mengenai “Implementasi Kebijakan PKH dalam memutus rantai kemiskinan di Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto” yang dilakukan oleh Slamet Agus Purwanto. Diantara beberapa penelitian tersebut, penelitian ini memiliki fokus objek dan lokasi yang berbeda. Peneliti memastikan bahwa penelitian ini belum pernah dilakukan pada penelitian sebelumnya. Penelitian ini berfokus pada fenomena dibalik
penyebab
kegagalan
PKH
dalam
mencapai
tujuannya
untuk
penanggulangan kemiskinan, dengan berkaca pada realitas implementasi PKH yang terjadi di Desa Nglegi, yang mana para peserta PKH saat ini telah menerima bantuan tersebut sejak tahun 2008, namun keadaan mereka relatif tetap sama. Tidak mengalammi perubahan dalam hal kesejahteraan ekonomi. Penelitian ini sendiri mengambil sampel di Desa Nglegi, yang penulis pastikan belum ada penelitian PKH dengan mengambil objek serupa di wilayah tersebut.
3
1.3
Relevansi dengan Ilmu PSDK
Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan adalah salah satu bagian dari ilmu sosial yang banyak memberikan kontribusi dalam upaya mengatasi berbagai persoalan sosial di Indonesia. Disiplin Ilmu ini mempelajari berbagai aspek yang akan medorong terciptanya kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia dengan berlandaskan pada nilai keadilan dan kesetaraan. Dalam rangka mempelajari aspek tersebut maka jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan membagi fokus studinya ke dalam 3 fokus, yaitu : Corporate Social Responsbility (CSR) atau Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Community Development atau Pemberdayaan Masyarakat, serta Social Policy atau Kebijakan Sosial. Pada penelitian ini, judul yang diambil peneliti yakni terkait dengan Program Keluarga Harapan (PKH) dalam konteks penannggulangan kemiskinan. PKH
sendiri
merupakan
salah
satu
bentuk
kebijakan
sosial
yang
diimplementasikan untuk mengatasi persoalan sosial. Adapun kebijakan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari fokus studi yang dikembangkan oleh jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan. Oleh karena itu penelitian ini memiliki kaitan erat terhadap pengembangan ilmu Pembangunan Sosial dan kesejahteraan dalam bidang studi kebijakan. Hasil dari penelitian ini nantinya dapat menjadi rujukan dalam mengembangkan studi kebijakan yang tentunya memberikan manfaat bagi civitas akademika dan masyarakat. 2. Latar Belakang Kemiskinan di Indonesia merupakan persoalan klasik yang hingga kini belum mampu diuraikan secara tuntas, meskipun telah terjadi sejak puluhan tahun silam, bahkan semenjak masa awal didirikan bangsa ini. Pada era Orde Lama
4
tingkat kemiskinan pernah mencapai sekitar 70% dari total populasi di Indonesia. Hal ini terjadi lantaran adanya instabilitas ekonomi nasional yang dipicu oleh inflasi hingga mencapai presentase lebih dari 650%. Di masa Orde Baru penanggulangan kemiskinan masih menjadi prioritas masalah utama yang ditangani oleh pemerintah melalui berbagai upaya program yang digawangi beberapa departemen maupun kementerian terkait. Walhasil pada dekade 80-an, presentase kemiskinan berhasil ditekan hingga sekitar 11,3 % (Booth,2000). Hal ini disebabkan stabilitas ekonomi yang sudah mulai membaik. Pemerintah secara terang-terangan membuka investasi asing, serta pemberian proteksi bagi usaha ekonomi dalam negeri yang mampu menyerap banyak tenaga kerja. Pencapaian gemilang ini begitu mencuri perhatian dunia kala itu, Hal ini tertuang dalam laporan World Bank (1993) yang bertajuk: “The East Asian Miracle” yang menempatkan Indonesia menjadi salah satu macan asia dalam daftar “The High Performing Asian Economics (HPAEs)” sejajar dengan Korea Selatan, Taiwan, Thailand, Malaysia, dan Singapura. Selama tiga dekade rezim Soeharto, perekonomian rata-rata tumbuh sebesar 7%, Pencapaian ini memacu perekonomian nasional menjadi lebih bergairah kala itu. Ekspansi industrialisasi terjadi hingga pelosok daerah dan menyerap jutaan tenaga kerja baik yang terdidik maupun tidak (Purwanto, 2007 ; 296). Hal yang perlu digarisbawahi yakni prestasi tersebut ternyata tidak berbuah manis bagi kemajuan bangsa Indonesia pasca runtuhnya Orde Baru, meskipun fondasi ekonomi Indonesia begitu kokoh saat itu, namun seakan-akan tidak berarti apa-apa ketika krisis ekonomi dunia menerpa hingga meluluhlantahkan ekonomi dengan seketika. Krisis ini menghantam pada pertengahan tahun 1990-an yang menular ke berbagai daerah hingga
5
mengakibatkan angka kemiskinan kembali melonjak tajam mencapai 23,4% di tahun 1999 (BPS,2002). Inilah warisan pekerjaan rumah yang hingga kini masih mencoba diselesaikan di era Reformasi. Mengentaskan kemiskinan mutlak dilakukan oleh pemerintah, sesuai dengan amanah dari konstitusi yang tercantum dalam pembukaan UndangUndang Dasar tahun 1945, bahwa negara mempunyai tanggung jawab penuh untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pada isi UUD 1945 juga kembali ditekankan dalam pasal 34 ayat 1, yang mana fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Landasan hukum tersebut mempertegas peran negara untuk bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan dasar yang layak khususnya bagi para warga yang memiliki keterbatasan dalam ekonomi. Oleh karena itu menjadi kewajiban bagi setiap pemerintah yang berkuasa untuk memberlakukan kebijakan berupa bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada warga miskin dengan harapan dapat mengurangi beban serta meningkatkan kesejahteraan mereka. Kemiskinan adalah kekurangan yang nyata dalam hal kesejahteraan (Bank Dunia, 2000). Adapun dengan tingginya angka kemiskinan di Indonesia yang diwariskan oleh orde baru tentu menjadikan pekerjaan rumah yang berat bagi pemerintahan di era reformasi. Perlu suatu desain program pengentasan kemiskinan yang terkawal dengan baik dan berkesinambungan, agar dapat membenahi masalah kemiskinan secara menyeluruh dan kompatibel. Tentu program yang digalakan harus mengandung unsur-unsur pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional, yang mana ini menjadi strategi dasar dalam menuju kesejahteraan.
6
Pasca Orde Baru berbagai kebijakan diluncurkan guna menguraikan kemiskinan yang sudah terlanjur kembali menjamur. Pada era transisi dari orde baru ke reformasi (1998-2004) dilaksanakan program penanggulangan kemiskinan berbasis masyarakat di berbagai sektor, antara lain Jaring Pengaman Sosial, Program Penanggulangan Kemiskinan dan Perkotaan, Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal, Program Pengembangan Kecamatan (Era BJ Habibie), Jaring Pengaman Sosial, Kredit Ketahanan Pangan, Program Penanggulangan Kemiskinan dan Perkotaan (Era Gusdur), Pembentukan Komite Penanggulangan Kemiskinan, dan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (Era Megawati) (Royat ,2010 ; 46). Alhasil serangkaian program tersebut cukup efektif dalam menurunkan angka kemiskinan hingga 16,66% dan meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM) mencapai 68,7% (BPS,2004). Selama kurun waktu tahun 1999-2004, berbagai program tersebut masih berjalan secara parsial, sehingga distribusi bantuan tidak terdistribusi secara tepat sasaran dan belum efektif dalam mendorong kesejahteraan masyarakat secara optimal. Oleh sebab itu pada kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dibentuklah TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan) yang bertujuan untuk melakukan sinergi melalui sinkronisasi, harmonisasi dan integrasi program-program penanggulangan kemiskinan yang telah berjalan selama pemerintahan sebelumnya (TNP2K, 2014). Adanya tim ini diharapkan dapat menciptakan kebijakan sosial yang berkesinambungan hingga dirasakan
lebih
bermanfaat
oleh
masyarakat
miskin
dan
memberikan
perkembangan positif dalam mengatasi kemiskinan.
7
Kebijakan sosial merupakan sebuah organ penting bagi suatu negara dalam mengurangi angka kemiskinan. Melalui implementasi kebijakan sosial, maka masyarakat dapat lebih berdaya terutama dalam mengakses berbagai kebutuhan dasar. Menurut TH. Marshall yang dikutip Richard Titmus, kebijakan sosial adalah kebijakan pemerintah yang menyangkut berbagai upaya yang langsung berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan rakyat, dengan menyelenggarakan pelayanan sosial dan melakukan pekerjaan sosial (Titmuss, 1974). Oleh karena itu suatu kebijakan sosial semestinya merupakan rangkaian program yang terintegrasi sebagai upaya yang lebih bersinergi guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat. TNP2K sebagai tim yang bertugas mempercepat penanggulangan kemiskinan memiliki pekerjaan dalam menyelaraskan program yang sebelumnya terfragmentasi di bawah beberapa kementerian menjadi terunifikasi, agar tujuan pembangunan dan pengentasan kemiskinan bisa secara lebih cepat dan akurat. Program tersebut antara lain Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Program Keluarga Harapan (PKH), Beras Miskin (Raskin), Bantuan Siswa Miskin (BSM), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), dan Kredit Usaha Rakyat
(KUR)
(TNP2K,2014).
Sejumlah
program
tersebut
merupakan
serangkaian program yang dilaksanakan secara tersruktur melalui hubungan yang saling bersinergi. Pada penelitian ini penulis tidak akan mengupas lebih detail semua program tersebut, melainkan hanya terfokus pada salah satu program yaitu Program Keluarga Harapan (PKH). PKH merupakan kebijakan conditional cash transfer (CCT) pertama di Indonesia yang diberikan pemerintah kepada rumah tangga yang tergolong sangat miskin (RTSM) dengan kategori dan syarat tertentu. Sasaran dari program ini
8
yaitu RTSM yang masih memiliki anak sedang menempuh pendidikan dasar, balita (bayi di bawah lima tahun), serta ibu hamil. Insentif yang diberikan sendiri yaitu pada aspek pendidikan dan kesehatan dengan total bantuan bisa mencapai Rp. 2.800.000,00/keluarga dalam kurun waktu satu tahun. Pemberian bantuan PKH tersebut mewajibkan RTSM untuk mengikuti persyaratan yang ditetapkan program yaitu; menyekolahkan anaknya di satuan pendidikan dan menghadiri kelas minimal 85% dalam sebulan selama tahun ajaran berlangsung, dan melakukan kunjungan rutin ke fasilitas kesehatan bagi anak usia 0-6 tahun, ibu hamil dan ibu yang dalam masa nifas. Demi menjaga ketepatan penggunaan alokasi dana, maka bantuan harus diterima langsung oleh ibu atau wanita dewasa yang notabene berurusan langsung dengan kebutuhan rumah tangga dan mengurus anak. Hal ini karena pada umumnya ibu bertanggungjawab atas kesehatan, nutrisi, dan pendidikan anak. Penggunaan dana sendiri dipantau langsung oleh pendamping PKH yang bertugas di setiap kecamatan, sehingga potensi terjadinya penyelewengan dana sangat minim dapat terjadi. Program ini mulai digulirkan pada tahun 2007 dengan tujuh provinsi sebagai wilayah uji coba yang menjangkau sekitar 388.000 Rumah Tangga. Kemudian pada tahun 2008 cakupan peserta bertambah hingga mencapai 636.414 rumah tangga yang terdapat pada 13 provinsi, meliputi 72 kabupaten dan 631 kecamatan. Hingga tahun 2012 jumlah penerima tidak terlalu meningkat cukup signifikan yakni hanya sekitar 1.500.000 rumah tangga. Jumlah ini masih sedikit dibanding dengan jumlah secara keseluruhan RTSM pada saat itu yang mencapai sekitar 6.500.000 rumah tangga (UPPKH Kemensos, 2014).
9
Berdasarkan aturan yang terdapat pada pelaksaanaan program PKH, setiap peserta PKH akan diwajibkan mengikuti agenda resertifikasi yang dilaksanakan pada tahun ke lima sejak mereka menerima program. Resertifikasi yakni suatu peninjauan kembali yang dilakukan oleh pihak terkait terhadap kondisi peserta penerima PKH, guna menentukan apakah peserta tersebut kembali menjadi peserta PKH (Transisi) ataukah mereka dianggap sudah tidak layak menjadi peserta (Graduasi). Oleh karena itu pada tahun 2013 silam, Kemensos, TNP2K, dan Bappenas, bekerja sama dalam melakukan kegiatan resertifikasi. Alhasil temuan yang diperoleh yakni bagi peserta PKH tahun 2007 yang dinyatakan tergraduasi atau dinyatakan tidak lagi mendapatkan hak sebagai peserta yaitu sebanyak 98.207 peserta, sedangkan peserta PKH tahun 2008 tergraduasi sebanyak 54.629 peserta (Widianto, 2014). Mereka yang tergraduasi adalah mereka yang berdasarkan penilaian tertentu ataupun telah mengalami peningkatan kesejahteraan atau sudah tidak memenuhi syarat sebagai peserta PKH, sehingga dianggap tidak layak untuk kembali memperoleh hak sebagai peserta PKH. Penurunan jumlah peserta tersebut sebenarnya belum terlalu berdampak terhadap turunnya kemiskinan di Indonesia. Selain Indonesia, Negara yang melakukan kebijakan serupa dengan keluarga sebagai sasaran penerima bantuan yaitu Brazil, dengan nama Bolsa Familia. Konten dari program ini hampir sama dengan PKH, hanya terdapat tambahan program berupa peningkatan nutrisi, dan pemberian uang bagi keluarga yang pendapatannya di bawah upah minimum. Ketika pertama kali diterapkan pada tahun 2003, Bolsa Familia menjangkau 3,6 juta keluarga dengan anggaran sebesar US$ 3,4 miliyar. Selang tiga tahun kemudian yaitu pada tahun 2006,
10
program ini mengalami penambahan anggaran US$ 8,5 milyar dengan menjangkau jumlah penerima sebesar 11,2 juta keluarga. Angka tersebut hampir menjangkau 100 persen jumlah penduduk miskin di Brazil pada masa itu (Pero V, Szerman D, 2010; 81-83). Jika dilihat dari pelaksanaan program di kedua Negara tersebut terdapat perbedaan tingkat progresivitas dalam menjangkau sasaran, dimana Brazil berhasil hampir memberikan kepada 100 % warganya, sedangkan Indonesia hingga 3 tahun pelaksanaan bahkan belum mampu menjangkau 50 % jumlah RTSM. Lalu jika diamati laju penurunan angka RTSM di kedua negara dalam jangka waktu tiga tahun selama awal penerapan kedua program baik PKH maupun bolsa familia terdapat perbedaan tingkat presentase. Survey yang dilakukan World Bank berdasarkan indikator dengan rumah tangga sangat miskin yang memiliki pendapatan di bawah US$ 1,25/hari mencatat bahwa pada tahun 2003 angka rumah tangga miskin di Brazil sebesar 12,1%, lalu pada tahun 2006 mencapai 7%, terdapat penurunan angka kemiskinan dengan presentase sekitar 42%. Di sisi lain angka rumah tangga sangat miskin di Indonesia pada tahun 2008 yaitu sebanyak 23%, kemudian di tahun 2011 angka tersebut turun menjadi 16%, artinya tingkat kemiskinan hanya dapat di tekan hingga 30% dan lebih rendah daripada Brazil. Perbedaan pencapaian ini tentu harus ditelisik lebih jauh, apalagi kedua-duanya sama-sama sedang dalam posisi segara negara berkembang. Dalam konteks tersebut terlihat meskipun mengimplementasi dua program dengan konten yang hampir sama tetapi laju penurunan angka rumah tangga miskin di Indonesia tidak secepat Brazil begitupun dengan jangkauan sasaran yang dicapai. Pada konteks penerapan PKH di Indonesia sesungguhnya sudah
11
sangat baik, yakni dengan memberikan bantuan pada dua elemen yang sangat vital yaitu berupa pendidikan dan kesehatan. Kedua hal ini apabila disinkronisasikan tentu mampu mendorong rumah tangga sangat miskin untuk lebih sejahtera. Pendidikan adalah instrument bagi seseorang yang digunakan dalam meningkatkan kualitas diri. Berbekal pendidikan yang mumpuni, maka seseorang juga dapat meningkatkan kualitas hidupnya, sehingga berimbas pada tercapainya tingkat ekonomi dan kualitas hidup yang lebih baik. Begitupun kesehatan sangat berhubungan dengan kondisi fisik, yang mana apabila seseorang memiliki kondisi fisik yang prima baik jasmani maupun rohani tentu mereka dapat menjalankan aktivitas produktif dengan sebaik-baiknya. Ketika seseorang memiliki kesehatan yang baik, tentu ini juga akan memudahkan mereka dalam upaya peningkatan kesejahteraan. Kedua aspek tersebut merupakan kebutuhan dasar bagi masyarakat yang menurut Midgley menjadi salah satu element untuk mewujudkan kesejahteraan. Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu kabupaten dengan tingkat penduduk miskin yang cukup tinggi di Provinsi Yogyakarta. Bahkan berdasarkan keputusan Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal 2005 nomor: 001/KEP/M-PDT/II/2005 tanggal 7 Februari 2005, Gunungkidul dikategorikan sebagai salah satu kabupaten tertinggal di Indonesia dari jumlah keseluruhan sebanyak 199 kabupaten (Bappeda Gunungkidul, 2013). Berdasarkan data yang dihimpun BPS pada tahun 2012, tingkat kemiskinan Kabupaten Gunungkidul adalah yang tertinggi kedua setelah Kabupaten Kulonprogo yakni dengan presentase sebesar 22,72%, sementara Kulonprogo sendiri menempati peringkat pertama dengan penduduk miskin sebesar 23,22%. Pada wilayah lainnya tingkat
12
kemiskinan relatif pada level sedang-rendah, seperti Kota Yogyakarta yang mememiliki presentase sebesar 9,38%, Kabupaten Sleman dengan tingkat kemiskinan pada kisaran 10,44%, selanjutnya yang terakhir yakni Kabupaten Bantul dengan tingkat kemiskinan bertengger di angka 16,97% (BPS, 2012). Merujuk pada data tersebut dapat disimpulkan bahwa kondisi kemiskinan di Gunungkidul cukup memprihatinkan apabila dibandingkan dengan regional lain dalam provinsi DIY. Selama ini kebijakan sosial dalam upaya pengentasan kemiskinan di Gunungkidul memang telah dilakukan secara masif oleh pemerintah, Sayangnya upaya tersebut belum memperoleh hasil yang memuaskan. Sampai saat ini jumlah penerima bantuan program sosial di Gunungkidul masih cukup banyak diantara wilayah kabupaten/kota di Provinsi DIY. PKH adalah salah satu dari sekian program yang dijadikan ujung tombak pemerintah daerah dalam mengentaskan kemiskinan di wilayah ini. Sejak digulirkan program ini pada tahun 2008 silam, jumlah penerima di Kabupaten Gunungkidul yaitu sebanyak 9.233 KK dari keseluruhan jumlah RTSM sebesar 9.470 KK. Angka tersebut adalah jumlah RTSM yang terverifikasi dengan kata lain telah memenuhi syarat mutlak sebagai penerima PKH. Program bantuan ini terdistribusikan secara merata dengan mencakup seluruh 18 kecamatan di Kabupaten Gunungkidul. Dari 9.233 RTSM penerima PKH, terbanyak di Kecamatan Saptosari sebanyak 946 KK, Semin 899 KK, Gedangsari 792 KK, Semanu 758 KK, Tanjungsari 604 KK, Rongkop 592 KK, Tepus 560 KK dan Kecamatan Girisubo 547 KK, sementara pada kecamatan lainnya jumlah penerima PKH hanya dibawah 400 KK. Pada tahun 2015 terjadi penurunan jumlah peserta PKH yakni menjadi sebesar 6.542 KK di Kabupaten Gunungkidul.
13
Dari total penerima PKH di DIY kala itu sebanyak 28.319 KK (Dikutip dari Gunungkidulkab.go.id, 10 November 2015). Ini merupakan hasil dari pelaksanaan sertifikasi pada tahun 2013 silam. Angka ini tergolong masih cukup besar dibanding dengan kabupaten lainnya, seperti Kulonprogo yang berjumlah 2.417 KK, Kota Yogyakarta 3.233 KK, dan Sleman 3.034 KK. Angka ini hanya lebih rendah dari Kabupaten Bantul yang memiliki peserta sebanyak 13.093 KK (UPPKH DIY, 2015). Kemudian berdasarkan data yang dihimpun oleh BPS, pada tahun 2014 angka kemiskinan di Gunungkidul hanya turun menjadi sebesar 21,7 % dari tahun 2012 yang memiliki presentase 22,72% (BPS, 2014). Adapun dengan jumlah peserta PKH yang masih tergolong tinggi, diiringi oleh tren penurunan kemiskinan yang tidak terlalu signifikan, mengindikasikan bahwa persoalan kemiskinan masih begitu akut di daerah ini. Banyaknya program yang diselenggarakan oleh pemerintah, termasuk PKH, ternyata tidak serta merta mampu menurunkan angka kemiskinan dengan signifikan. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa cakupan program PKH yaitu pada pendidikan dan kesehatan. Jika dikontekstualisasikan dengan keadaan sekarang, maka sesungguhnya implementasi kebijakan itu sangat ideal diterapkan di Gunungkidul yang notabene memiliki tingkat pendidikan maupun kesehatan yang masih begitu memprihatinkan. Pertama yakni dapat dilihat dari indeks pembangunan manusia (IPM), IPM Kabupaten Gunungkidul adalah yang terendah diantara regional lain di Provinsi DIY, yakni sebesar 71,11%. Kemudian pada tingkat angka melek huruf pun juga menempati posisi terendah di DIY yaitu sebesar 84,97% , begitupun dengan tingkat rata-rata lama sekolah yang hanya 7,70 % (BPS,2012).
14
Lalu jika melongok pada bidang kesehatan, di tahun 2013 masih terdapat catatan suram diaspek kesehatan yang perlu dibenahi, diantaranya yaitu masih adanya kasus kematian ibu hamil yang mencapai sebanyak 8 kasus, kemudian di tahun 2014 terdapat 7 kasus, sedangkan untuk tahun 2015 hingga bulan april 2015 sebanyak 2 kasus. Pada tahun 2013 juga masih terdapat 109 kasus kematian bayi dan di tahun 2014 terdapat 28 kematian bayi (Dikutip dari Kabarhandayani.com, 27 April 2015). Catatan statistik tersebut mencerminkan bahwa pendidikan dan kesehatan masih perlu dilakukan pembenahan terutama dalam hal pemberian pelayanan, baik yang bersifat kuratif dan persusif kepada masyarakat. Kebijakan PKH telah berjalan sejak tahun 2008 di Kabupaten Gunungkidul, Bertahun-tahun kebijakan ini diselenggarakan seharusnya mampu memberikan dampak positif di masyarakat terutama dalam hal pengentasan kemiskinan, namun ternyata data diatas mencerminkan masih terdapat persoalan pendidikan dan kesehatan yang perlu dibenahi. Di sisi lain kedua bidang tersebut sangat menentukan dalam mewujudkan tercapainya target PKH untuk memutus rantai kemiskinan. Kemudian presentase kemiskinan juga masih tinggi, yang mana dalam rentang waktu antara 2012-2014 angka presentase masih bergelut dalam kisaran 21%-22%, hanya turun 1 persen dalam kurun waktu dua tahun. Data ini mengindikasikan bawasannya kebijakan pemerintah yang diterapkan selama ini belum memberikan dampak yang signifikan untuk menurunkan angka kemiskinan. Salah satu kebijakan tersebut termasuk PKH yang selama ini telah diselengarakan sejak tahun 2008 di Kabupaten Gunungkidul. Hampir selama tujuh tahun program ini terselenggara, belum memperlihatkan prestasi gemilang dalam
15
mencapai tujuan untuk pengentasan kemiskinan. Sebagai upaya mengungkapkan penyebab dibalik fenomena ini maka peneliti mengambil sampel penelitian di wilayah Desa Nglegi, Kecamatan Patuk. Sebagian besar peserta PKH di desa ini telah menerima bantuan sejak tahun 2008. Selama program ini berjalan hanya ada dua orang peserta yang tergraduasi, itu pun bukan karena peningkatan kesejahteraan, melainkan anak beliau sudah lulus dari bangku sekolah, sehingga sudah tidak memenuhi syarat untuk menjadi peserta. Para peserta PKH yang ada sekarang ini pun mengakui bahwa keadaan mereka sebenarnya sama saja dari sebelum menerima PKH, ataupun setelah menerima. Peserta PKH di tahun 2016 ini mayoritas telah menjadi peserta PKH sejak tahun 2008. Kondisi ekonomi mereka tetap dan tidak mengalami perubahan, padahal pada aturan PKH tertera bahwa batas masyarakat menjadi peserta PKH yaitu enam tahun, Setelah enam tahun para peserta harus lebih mandiri untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Terdapat persoalan dimana kebijakan PKH yang telah berjalan di Desa Nglegi selama tujuh tahun ini ternyata belum memberikan dampak yang signifikan dalam menanggulangi kemiskinan para peserta, padahal sejatinya tujuan PKH yakni untuk memutuskan rantai kemiskinan. Maka dalam penelitian ini, peneliti akan berupaya untuk mengupas dibalik fenomena peran kebijakan PKH dalam penanggulangan kemiskinan di Desa Nglegi, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul.
16
3. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diangkat, maka rumusan masalah yang akan di angkat pada penelitian ini yaitu : Mengapa PKH tidak mampu menanggulangi kemiskinan yang dialami oleh peserta PKH di Desa Nglegi, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul? 4. Tujuan Penelitian 4.1 Tujuan Operasional 1. Penelitian ini adalah karya yang ditujukan untuk memenuhi tugas skripsi, yang mana dapat menjadi sebuah referensi bagi pengembangan wawasan kebijakan pada jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan. 2. Sebagai referensi bagi pemerintah daerah Kabupaten Gunungkidul dalam mengetahui perkembangan kebijakan PKH terutama dalam konteks penanggulangan kemiskinan. 3. Menjadi referensi bagi Pemerintah Republik Indonesia dalam melakukan evaluasi pelaksanaan PKH agar ke depan mampu lebih efektif dalam mendorong kesejahteraan bagi para peserta.
4.2 Tujuan Substansial Secara Substansial, penelitian ini bertujuan untuk memahami secara lebih detail penyebab belum berhasilnya kebijakan pemerintah yang salah satunya yakni kebijakan PKH dalam mengentaskan kemiskinan di Kabupaten Gunungkidul. Dengan mengambil sampel kebijakan PKH, maka hasil penelitian ini akan mengungkapkan dibalik penyebab kegagalan tersebut dengan mengambil persepektif dari sisi masyarakat dalam menggunakan bantuan yang diperoleh. 17
Tentunya diharapkan penelitian ini menjadi referensi bagi segenap pihak yang terlibat dalam pelaksanan PKH untuk mengembangkan PKH agar lebih baik dan mendekati tujuan yang di harapkan. 5. Tinjauan Pustaka Dalam memaparkan tinjauan pustaka, peneliti akan mengungkapkan beberapa konsep terlebih dahulu terkait kebijakan dan kemiskinan, kemudian setelah itu baru dijelaskan analisis tentang teori yang akan peneliti gunakan dalam menjelaskan temuan yang didapatkan peneliti dalam penelitian ini. Berikut ini adalah konsep dan penjelasan teori tersebut. 5.1 Konsep Studi Kebijakan Substansi penelitian ini dikerangkai oleh studi kebijakan sebagai fondasi utama dalam mensistemisasi kebijakan PKH secara rinci dan utuh. Ini diperlukan, mengingat PKH merupakan salah satu bentuk kebijakan yang dikategorikan dalam kebijakan sosial yang menjadi bagian dalam kebijakan publik. “Kebijakan” atau “policy” digunakan dalam menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu Lembaga Pemerintah) atau sejumlah aktor dalam kegiatan tertentu. Kebijakan ditetapkan tidak dengan serampangan, melainkan bersumber dari proses pembahasan antar pihak dengan memperhatikan beberapa aspek yang berkaitan, demi menghasilkan keputusan yang tepat dan berdampak baik bagi suatu kolompok. Hal ini sebagaimana pendapat dari Carl Friedrich yang memandang bahwa sebuah kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang memberikan hambatan-hambatan dan peluang terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka 18
mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atas suatu maksud tertentu. Suatu kebijakan hakikatnya diputuskan dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu, maka dari pada itu sebuah kebijakan publik diberlakukan pemerintah demi tujuan dan kepentingan bagi kebaikan masyarakat. Perlu digarisbawahi bahwa tidak semua kebijakan dapat dikategorikan dalam kebijakan publik, karena kebijakan publik hanya dapat ditetapkan oleh pemerintah dan demi kepentingan masyarakat, sedangkan yang tidak dikeluarkan oleh pemerintah atau organisasi non pemerintah maupun lembaga lainnya, tidak bisa disebut dengan kebijakan publik. Kebijakan merupakan bagian dari sebuah instrument pemerintahan, bukan saja dalam arti government yang hanya menyangkut aparatur negara, melainkan pula governance yang menyentuh pengelolaan sumber daya publik. Dalam mewujudkan pelaksanaan kebijakan yang efektif, maka kebijakan publik harus melalui beberapa tahap yang terdiri atas proses perumusan, implementasi, dan evaluasi kebijakan (Leo Agustino, 2008 : 7). Ketiganya menjadi syarat mutlak dalam proses pentahapan kebijakan publik yang harus dilalui, agar kebijakan tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dan juga diketahui tingkat efektivitas serta dampaknya secara menyeluruh. PKH dalam hal ini merupakan salah satu kebijakan sosial. Hal ini dikarenakan sifat kebijakan ini yang berasal dari pemerintah dan ditujukan bagi masyarakat guna mengatasi persoalan kemiskinan. Ranah pengoperasian PKH sendiri bersentuhan langsung pada suatu unit keluarga yang dikomandoi oleh Kementerian
Sosial.
Menurut
Tumanggor
(2010),
pembangunan
harus
memperkuat fungsi keluarga sebagai lembaga masyarakat menjadi keluarga
19
berketahanan sosial, misalnya melalui program perlindungan sosial terhadap kelompok rentan, dan penyandang masalah sosial, sebab keluarga merupakan penyangga sentra kesejahteraan sosial. Menurut The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), perlindungan sosial merujuk pada “kebijakan dan tindakan yang memperkuat kapasitas kaum miskin dan warga yang rentan agar terlepas dari kemiskinan dan dapat menyikapi resiko maupun peristiwa yang terjadi tiba-tiba yang menghantam kehidupan mereka”. Perlindungan sosial dimaksud meliputi bantuan sosial, jaminan sosial, dan standar minimum upah pekerja. Bantuan tunai secara umum dipandang sebagai salah satu instrument bagi bantuan sosial (OECD, 2009 ; 2). Dalam hal ini, PKH yang memberikan bantuan tunai terhadap peserta merupakan salah satu program bantuan sosial yang bertujuan untuk melakukan perlindungan sosial bagi para peserta yang notabene sangat rentan menghadapi gejolak perekonomian. Terdapat dua jenis bantuan tunai, yakni Bantuan Tunai Bersyarat atau Conditional Cash Transfer (CCT) dan tak bersyarat. Perbedaannya adalah bahwa bantuan tunai tak bersyarat merupakan bantuan bagi orang-orang/kelompok yang berbasis pada kriteria penerima yang sebelumnya sudah ditentukan. Transfer sosial semisal pensiun bagi warga yang sudah tua, hambatan fisik, anak-anak, dll, merupakan bantuan tunai tanpa syarat yang lazim dijalankan oleh beberapa negara. Menurut Rawlings dan Rubio (2003), CCT adalah bagian dari program pengembangan generasi baru yang berusaha membantu peningkatan akumulasi modal manusia pada orang muda sebagai cara untuk memutuskan siklus kemiskinan antar generasi. Seperti namanya, CCT memberikan uang kepada keluarga-keluarga miskin dengan persyaratan investasi modal manusia seperti
20
menyekolahkan atau membawa anak ke pusat kesehatan regular (Togiaratua, 2012;3) . Jika diamati berdasarkan konten program, maka dapat dipastikan bahwa model kebijakan PKH dikategorikan sebagai bantuan sosial bersyarat (CCT). Karena program ini mewajibkan para penerimanya untuk mengalokasikan bantuan dalam peningkatan kualitas SDM melalui bidang pendidikan dan kesehatan. Dengan meningkatnya kualitas SDM pada anggota RTSM, maka peluang peserta untuk keluar dari jeratan kemiskinan akan semakin besar, sehingga cita-cita pemerintah untuk menurunkan angka kemiskinan dapat tercapai. Selain itu adanya bantuan ini juga dapat menjadi fondasi bagi para peserta untuk menghadapi resiko ekonomi yang dapat muncul sewaktu-waktu. Sebelum Indonesia sebenarnya kebijakan ini telah populer di beberapa negara, dan cukup berhasil dalam menekan angka kemiskinan. Negara-negara tersebut mayoritas berasal dari bagian Amerika Latin seperti, Meksiko, Honduras, Jamaica, Kolumbia, Ekuador dan Brazil, yang notabene memilki posisi strata sama dengan Indonesia yakni golongan negara dunia ketiga. Melalui kebijakan ini, negara tersebut dianggap berhasil menurunkan tingkat kemiskinannya, salah satunya Brazil melalui program bolsa familia. Adanya program ini sukses menurunkan angka kemiskinan dengan presentase sebesar 42% dalam kurun waktu tiga tahun yakni dari tahun 2003 hingga 2006 (Pero, Szerman, 2010 : 83). Lalu Meksiko sendiri melaksanakan program CCT yang disebut dengan Progresa melalui dua cara, pertama, dana tunai yang diterima dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan mendesak, kedua, dana tunai diharapkan berperan sebagai sarana pemutus kemiskinan melalui peningkatan investasi bagi anak keluarga
21
miskin dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan gizi. Program ini mewajibkan penerima memenuhi hal-hal yang dipersyaratkan, seperti menyekolahkan anak, menggunakan fasilitas layanan kesehatan, dan memperbaiki gizi, terutama untuk ibu dan anak. Peserta hanya boleh mendapatkan bantuan bila persyaratannya dipenuhi. Penerima dana adalah para ibu rumah tangga. Salah satu faktor kunci keberhasilan Progresa adalah rancangan awalnya yang dibuat dengan seksama dan didahului dengan uji coba yang dipantau dan dievaluasi oleh lembaga independen (Komite, 2007). Adanya pencapaian tersebut membuat Indonesia berkeinginan turut serta untuk menginisasi program ini kepada masyarakat dengan terfokus pada pengembangan di bidang pendidikan dan kesehatan. Pada akhirnya di tahun 2008 Program Keluarga Harapan diluncurkan, dengan harapan dapat mencapai keberhasilan seperti negara-negara sebelumnya yang telah cukup sukses dalam menekan angka kemiskinan dan peningkatan partisipasi di bidang pendidikan dan kesehatan. 5.2 Konsep Kemiskinan Kemiskinan bagi Indonesia merupakan masalah pembangunan yang menyangkut banyak aspek, baik dari aspek ekonomi, struktural, maupun budaya. Secara umum, kemiskinan diartikan sebagai kondisi ketidakmampuan pendapatan dalam mencukupi kebutuhan pokok sehingga kurang mampu untuk menjamin kelangsungan hidup (Suryawati, 2004 : 122). Kemampuan pendapatan untuk mencukupi kebutuhan pokok berdasarkan standard harga tertentu sangat rendah, sehingga kurang menjamin terpenuhinya standard kualitas hidup pada umumnya. Berdasarkan pengertian ini, maka kemiskinan secara umum didefinisikan sebagai
22
suatu kondisi ketidakmampuan pendapatan dalam memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya yang dapat menjamin terpenuhinya standard kualitas hidup. Berdasarkan UU No. 24 Tahun 2004, kemiskinan adalah kondisi sosial ekonomi seseorang atau sekelompok orang yang tidak terpenuhinya hak-hak dasarnya untuk
mempertahankan dan mengembangkan kehidupan
yang
bermartabat. Kebutuhan dasar yang menjadi hak seseorang atau sekelompok orang meliputi kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam, lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan kehidupan sosial dan politik. Terdapat klasifikasi tertentu dalam menentukan tipologi kemiskinan seseorang. Berdasarkan jenisnya kemiskinan terdiri dari : 1. Kemiskinan absolut, yaitu keadaan yang mana pendapatan kasar bulanan tidak mencukupi untuk membeli keperluan minimum. 2. Kemiskinan Relatif, yaitu kemiskinan yang dilihat berdasarkan perbandingan antara suatu kebutuhan dengan tingkat pendapatan lainnya. Contohnya, seseorang yang tergolong kaya pada masyarakat desa tertentu, namun bisa jadi termiskin pada masyarakat desa yang lain. Menurut penyebabnya, kemiskinan terdiri dari : 1. Kemiskinan Struktural, yaitu kondisi dimana sekelompok orang berada di dalam wilayah kemiskinan dan tidak ada peluang bagi mereka untuk keluar dari kemiskinan. Secara teoritis ada dua hal yang yang membuat 23
seseorang terlepas dari kemiskinan struktural, yaitu : Gizi yang baik selama masa balita dan pendidikan yang memadai. 3. Kemiskinan Kultural, yaitu budaya yang membuat orang miskin, yang dalam antropologi kemiskinan Koentjraraningrat disebut sebagai budaya miskin. Hal ini seperti masyarakat yang pasrah dengan keadaannya dan menganggap bahwa mereka miskin karena turunan, atau karena dulu orangtuanya atau nenek moyangnya juga miskin, sehingga sangat minim sekali upaya untuk maju. Sejatinya, kondisi masyarakat yang disebut miskin dapat diketahui berdasarkan kemampuan pendapatan dalam memenuhi standard hidup (Nugroho, 1995). Pada prinsipnya, standard hidup di suatu masyarakat tidak sekedar tercukupinya kebutuhan akan pangan, akan tetapi juga tercukupinya kebutuhan akan kesehatan maupun pendidikan. Tempat tinggal ataupun pemukiman yang layak merupakan salah satu dari standard hidup atau standard kesejahteraan masyarakat di suatu daerah. Berdasarkan kondisi ini, suatu masyarakat disebut miskin apabila memiliki pendapatan jauh lebih rendah dari rata-rata pendapatan, sehingga tidak banyak memiliki kesempatan untuk menyejahterakan dirinya (Suryawati, 2004). Menurut Robert Chambers, masyarakat miskin sulit keluar dari belenggu kemiskinan bukan semata-mata karena mereka pemalas, boros, tidak bekerja keras, dan menyerah pada nasib. Selama ini mereka mungkin terlihat tidak menabung, tidak selalu terlihat sedang bekerja, dan berpenampilan seperti menyerahkan diri pada nasib, tetapi menurut Chambers terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa penampilan mereka seperti itu bukan karena mereka malas
24
dan tidak mau bekerja, melainkan ada faktor lain yang mendasari mereka melakukan hal tersebut, sebagai contoh perilaku tidak menabung dan tidak melakukan investasi dikarenakan ada keperluan lain yang mereka anggap lebih penting seperti untuk konsumsi, jaminan kebutuhan pokok, menutupi keperluan karena ketidakpastian penggarapan lahan, atau karena rongrongan sanak keluarga yang memerlukan bantuan dan pertolongan. Kemudian terlihat berperilaku malas, bukan berarti mereka pasrah pada nasib atau tidak mau bekerja, melainkan mereka memilih untuk menyimpan tenaga yang akan digunakan pada kerjaan yang begitu menguras tenaga fisik mereka. Selanjutnya penampilan mereka yang lemah, tidak mengerti dan penurut mungkin itu merupakan siasat bagi mereka agar dapat dengan mudah memperoleh pekerjaan sehari-hari, mendapat pinjaman dari tengkulak, tuan tanah, atau membebaskan diri dari ancaman hukuman atau perampasan. Pandangan bahwa orang desa itu tidak berpengetahuan dan tolol, juga tidak berdasar sama sekali, karena menurut Chambers itu adalah bagian dari strategi mereka untuk merendah (Chambers, 1994 ; 137). Jadi sejauh ini menurut Chambers banyak sekali pandangan yang salah yang beredar di luar sana terkait cara mendefinisikan kemiskinan yang sebenarnya. Banyak orang yang tak mengerti mengenai kehidupan orang miskin, namun mereka secara sewenangwenang memberikan stereotip yang cenderung negatif. Beragam upaya dan siasat tersebut digunakan oleh orang miskin agar mereka tetap mampu untuk menjalani hidup. Keadaan yang demikian mereka alami selama bertahun-tahun hingga membuat mereka terbelenggu dalam keterkaitan mata rantai kemiskinan yang belum juga terputus. Rantai kemiskinan
25
ini menurut Chambers yang menyandera para orang miskin, sehingga mereka harus rela merasakan kehidupan serba terbatas dalam waktu yang sangat lama. Kemiskinan, kelemahan jasmani, isolasi, kerentanan, dan ketidakberdayaan merupakan lima poin jebakan kemiskinan yang sangat mempengaruhi dalam melanggengkan kemiskinan. Paling tidak salah satu rantai tersebut harus terputus, apabila orang miskin ingin mencapai kondisi kesejahteraan yang lebih baik. PKH dalam hal ini merupakan salah satu kebijakan yang memiliki tujuan dalam penanggulangan kemiskinan. Melalui pemberian insentif pada bidang pendidikan dan kesehatan diharapkan dapat memutus rantai kemiskinan yang selama ini telah menyandera para peserta, namun pada faktanya di lapangan keadaan ekonomi yang sama masih dirasakan para peserta PKH. Para peserta merasakan bahwa adanya PKH hanya membantu dalam hal pendidikan dan kesehatan, belum sepenuhnya dapat membantu mereka dalam pengembangan ekonomi rumah tangga. Lantas melalui penelitian ini akan dikupas lebih jauh terkait penyebab kegagalan PKH berdasarkan perspektif teori perangkap kemiskinan. Hal ini mengingat kelima aspek tersebut sangat kongruen dengan kondisi para peserta PKH selama ini, dimana kemiskinan yang telah menjerat mereka mengakibatkan mereka mengalami kelemahan pada berbagai aspek dan juga ketidakberdayaan. Terlebih bagi masyarakat desa yang memiliki keterbatasan dalam mengakses berbagai kebutuhan dasar termasuk pendidikan dan kesehatan.
26
5.3 Analisis Penanggulangan Kemiskinan Berdasarkan Teori Chambers Begitu banyak sisi yang dapat dikaji dalam menguraikan segala bentuk penyebab kemiskinan. Terjadinya kemiskinan yang turun temurun pada masyarakat bukan semata-mata kehendak takdir, melainkan terdapat berbagai penyebab yang membuat keadaan mereka tidak mengalami perubahan. Menurut Chambers (Chambers, 1995 ; 145-151) dalam mengkaji kemiskinan pada rumah tangga, terdapat unsur-unsur yang saling berkaitan dan menjadi suatu kolaborasi mata rantai. Mata rantai ini disebut lingkaran setan, sindrom kemiskinan, atau perangkap kemiskinan. Kekuatan tiap mata rantainya berbeda-beda, untuk mengetahui lebih detail mengenai mata rantai tersebut, berikut ini akan dijelaskan satu per satu, yaitu : 1. Kemiskinan Rumah tangga yang miskin sedikit sekali mengalami kekayaan. Tempat tinggalnya kecil, terbuat dari kayu, bambu, jerami dll. Dilengkapi sedikit sekali perabot rumah tangga. Sedikit sekali mempunyai lahan garapan, bahkan ada yang tidak punya sama sekali, sehingga tidak dapat menunjang kebutuhan hidup. Ini adalah faktor yang paling menentukan dibandingkan
faktor-faktor
lainnya.
Kemiskinan
mengakibatkan
kelemahan jasmani karena kekurangan makan, yang pada gilirannyaa menyebabkan kekurangan gizi dan menjadikan daya tahan tubuh rendah terhadap infeksi, padahal tidak ada uang untuk berobat. Kemiskinan juga membuat mereka menjadi tersisih karena tidak mampu sekolah, tidak memiliki tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap, dan juga membuat 27
mereka sangat terbatas dalam mengakses informasi. Keadaan darurat yang terjadi pun membuat mereka harus menanggung resiko ekonomi, ketika harus berhutang karena tidak memiliki bekal yang cukup dalam mengatasi resiko tersebut. 2. Kelemahan Jasmani Adapun kelemahan jasmani yakni ketika seseorang tidak memiliki fisik yang memadai dalam meningkatkan produktivitasnya, Akibatnya mereka mendapatkan upah yang rendah dan terkadang tersisihkan karena tidak kuat untuk mengikuti pekerjaan yang dituntut kepadanya. Kelemahan ini mengakibatkan mereka tidak memiliki terobosan untuk mencari sumber nafkah lain yang dapat meningkatkan ekoomi rumah tangga mereka. Terlebih apabila suatu rumah tangga tersebut lebih banyak tanggungan keluarga daripada pencari nafkah. Ketergantungan yang tinggi ini mengakibatkan pemberian beban yang berat kepada salah satu pihak, sehingga mengakibatkan tidak semua anggota keluarga dapat memenuhi kebutuhannya dengan baik. Kelemahan jasmani juga membuat mereka begitu terbatas untuk mengakses berbagai akses informasi dan pengetahuan yang bermanfaat, terutama bagi kaum wanita yang mengharuskan mereka untuk mengurus anak. Keadaan yang demikian membuat mereka sangat rentan dalam mengatasi krisis atau keadaan darurat. Tubuh yang lemah menjadikan mereka tidak berdaya, karena kekurangan tenaga untuk berorganisasi dan berpolitik, karena sejatinya orang yang lemah tidak berani berbuat hal yang macam-macam.
28
3. Isolasi Rumah tangga yang terisolasi akan terputus hubungannya dengan dunia luar. Tempat tinggalnya begitu terpencil, sehingga sangat minim untuk mendapatkan informasi yang terjadi di lingkungan luar. Pendidikan yang rendah dan tempat tinggal yang jauh menyebabkan para masyarakat miskin sangat sulit untuk merasakan pelayanan dan bantuan pemerintah. Mereka yang buta huruf akan menjauhkan dari segala informasi yang mempunyai nilai ekonomi dan juga peluang untuk mendapatkan kredit menjadi tertutup. Isolasi memperkuat kerentanan, usaha pertanian dilahan kecil lebih sering gagal, dan bantuan pun tidak dapat segera didatangkan apabila terjadi hal yang mendesak seperti kelaparan dan wabah penyakit. Keterisolasian juga menyebabkan kurangnya hubungan dengan para pemimpin politik atau bantuan hukum. 4. Kerentanan Rumah tangga yang rentan sangat sedikit sekali memiliki penyangga untuk menghadapi kebutuhan yang mendadak. Kebutuhan sehari-hari dipenuhi dengan sedikit uang, bahkan tak jarang harus menukarkan barang ataupun meminjam uang. Musibah, kewajiban sosial, dan biaya tidak produktif menjadikan rumah tangga ini semakin melarat. Mata rantai ini adalah yang paling banyak memiliki hubungan dalam memicu terjadinya kemiskinan. Kerentanan ini terjadi karena adanya keadaan yang membuat orang miskin harus mengorbankan harta yang dimilikinya untuk menghadapi keadaan darurat. Dalam memenuhi kebutuhan yang mendesak ini membuat mereka kehilangan kekayaan yang akan sulit
29
dipenuhi kembali pada masa yang akan datang, dikarenakan kebutuhan yang mereka peroleh di luar dari kemampuan ekonomi mereka selama ini. Selanjutnya kerentanan yang menimpa mereka terjadi dalam waktu yang cukup panjang, hingga membuat
mereka berada dalam lilitan
kemiskinan. Menurut Chambers, setidaknya ada 5 hal yang sangat mempengaruhi seseorang untuk tetap berada dalam lilitan kemiskinan, yaitu : 1. Kewajiban Adat Kewajiban adat ini biasanya berupa kewajiban membayar mahar , biaya perhelatan pernikahan, dan kematian yang sebenarnya sangat memberatkan orang miskin. Selama ini stereotip bawasannya orang miskin tidak mau menabung dan boros merupakan salah satu hal yang keliru, karena adanya biaya upacara adat dan kewajiban sosial lainnya tidak dapat disangkal menjadi penyebab mereka tetap miskin, dan tidak jarang membuat mereka harus terjerat hutang. Adapun biaya kebutuhan sosial ini menjadikan banyak orang miskin semakin menderita, karena sering kali mereka harus menjual lahan garapannya untuk menutupi biaya tersebut.
2. Musibah Hal ini diwujudkan dalam berbagai macam bentuk, mungkin karena buatan manusia sendiri seperti pencurian, kebakaran rumah, peperangan antar suku, dan pembunuhan, yang mana kerap kali dapat memiskinkan suatu keluarga ataupun menyingkirkan petani
30
dari lahan garapan mereka sebagai sumber penghidupannya. Suatu keluarga dapat saja terpukul karena kehilangan aspek yang menjadi sumber penghidupan mereka sehari-hari, misalkan kehilangan hewan yang selama ini menjadi tumpuan bagi petani atau peternak untuk membantu memenuhi kebutuhan mereka sehar-hari. Musibah lainnya juga dapat disebabkan oleh alam seperti, banjir, kekeringan, wabah hama, dan penyakit, serta kelaparan. Bahaya kelaparan mungkin merupakan sebab utama bagi orang miskin terpaksa menjual garapan dan hewan ternak. 3. Ketidakmampuan Fisik Aspek ini terjadi karena penyakit yang menimpa seseorang, masa kehamilan, melahirkan, atapun luka setelah kecelakaan. Akibat dari ketidakmampuan fisik ini ada dua, pertama, bagi orang dewasa, kehilangan tenaga atau menurunnya kemampuan untuk bekerja dan mendapatkan penghasilan, berarti menghentikan dan mengurangi arus makanan dalam rumah tangga. Kedua, penyembuhan kesehatan selalu makan biaya yang cukup banyak, baik untuk pengobatan penyakit, persalinan, ataupun cidera. Dalam hal pergi ke klinik atau rumah sakit pun diperlukan uang untuk ongkos angkutan, obatobatan, ongkos perawatan, dan makanan serta keperluan sehari-hari baik bagi orang yang sakit ataupun keluarga yang mengantar. Terlebih
penyakit
yang
berkepanjangan
dapat
betul-betul
menyengsarakan. 4. Pengeluaran tidak produktif
31
Pengeluaran ini sangat bermacam-macam, termasuk merokok, minum-minum, penyalahgunaan narkotika, serta konsumsi lain yang sebenarnya melemahkan tubuh. Asal mulanya juga bermacammacam, seperti menderita rugi dalam usaha, menghadapi proses pengadilan dan main judi. Biaya sekolah juga bisa saja menjadi pengeluaran tidak produktif jika anak tersebut tidak menjadi apa-apa dan tidak memberikan nilai investasi positif bagi orang tua. Namun, apapun bentuk pengeluaran yang tidak produktif ini, apabila uangnya diperoleh melalui pinjaman, maka pembayaran bunga pinjaman dan kewajiban lainnya akan menyebabkan kemiskinan. 5. Pemerasan Biasanya ini dikarenakan tuntutan atau tindakan tidak sah yang dilakukan oleh para penguasa. Bentuknya bermacam-macam, misalkan dengan menerapkan suku bunga yang tinggi bagi pinjaman rakyat kecil, kemudian tipuan dan ancaman kekerasan dalam penjualan tanah ataupun hewan ternak, adalah bentuk pemerasan lain yang juga melaratkan orang miskin. Akibat pemerasan ini biasanya rakyat kecil tidak mampu berbuat apa-apa karena ekonomi yang terbatas, pun akses sosial dan politik yang kurang memadai. Pada akhirnya memaksa mereka untuk menyerahkan harta dan pindah ke lokasi lain untuk menghindari sanksi sosial. 5. Ketidakberdayaan Aspek ini mendorong proses kemiskinan dalam berbagai bentuk, antara lain yaitu pemerasan oleh kaum yang lebih kuat. Orang yang tidak
32
berdaya seringkali terbatas atau tidak mempunyai akses terhadap bantuan pemerintah.
Seandainya mereka
mendapatkan bantuan
pemerintah, bantuan tersebut tidak dapat mereka manfaatkan secara optimal, dikarenakan pendidikan mereka yang rendah, sehingga kapasitas mereka sangat terbatas. Kemudian mereka juga kerap kali terhalang atau terhambat memperoleh bantuan hukum, serta membatasi kemampuannya untuk menuntut upah yang layak atau menolak suku bunga. Menempatkan dirinya selalu pada pihak yang dirugikan dalam setiap transaksi jual beli, dan mereka hampir tidak memiliki pengaruh apa-apa terhadap pemerintah dalam mengambil keputusan tentang pelayanan dan bantuan yang perlu diberikan kepada golongan lemah itu sendiri.
Kelima hal ini penulis pilih sebagai acuan teori untuk mengambil perspektif yang berbeda dalam mencari tahu penyebab kegagalan PKH yang sejauh ini belum mampu mengentaskan kemiskinan secara optimal. Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa selama ini telah begitu banyak kajian yang mengevaluasi pelaksanaan kebijakan namun hanya melihat pelaksanaan kebijakan di tataran praktis. Evaluasi tersebut hanya mengacu pada data angka-angka yang hanya memperlihatkan ketercapaian pelaksanaan program dengan indikator yang telah mereka tetapkan. Tetapi dalam penelitian ini, peneliti akan mengamati penyebab kegagalan kebijakan dalam penanggulangan kemiskinan dari sisi yang berbeda yakni berdasarkan cara masyarakat dalam memanfaatkan bantuan yang didapatkan.
Menggali
realitas
empirik
dari
para
peserta
PKH
dalam
33
memanfaatkan bantuan PKH yang diterima selama ini. Sesungguhnya terdapat banyak hal yang melatarbelakangi para peserta sehingga belum mampu mengoptimalkan bantuan yang diperoleh untuk mengatasi kemiskinan. Dalam melihat penyebab ketidakmampuan tersbut, maka peneliti menggunakan Teori Chambers sebagai pisau analisis untuk mengungkap fakta terkait penyebab PKH yang belum secara optimal menanggulangi kemiskinan. Adapun perangkap kemiskinan merupakan salah satu penyebab yang membuat masyarakat mengalami keadaan ekonomi yang sama, meskipun telah disokong dengan berbagai bantuan baik itu dari masyarakat maupun pemerintah. Maka begitu sia-sia ketika berbagai bantuan terus menerus diberikan tetapi para peserta belum dapat keluar dari perangkap tersebut. Teori ini akan membantu peneliti untuk menggali penyebab para peserta PKH yang masih belum mengalami perubahan perkembangan ekonomi dari sebelum hingga sesudah menerima bantuan PKH. Poin-poin rantai kemiskinan yang diungkapkan oleh Chambers peneliti rasa begitu relevan dengan kondisi peserta PKH yang ada di desa Nglegi. Dalam hal kemiskinan misalnya, seluruh peserta PKH adalah para rumah tangga sangat miskin (RTSM) berdasarkan indikator yang dimiliki oleh BPS. Keadaan miskin yang mereka rasakan tidak terlepas dari latarbelakang pendidikan mereka yang rendah. Kemudian dalam menjalani kehidupan di pedesaan tentu terdapat berbagai pengeluaran biaya yang dialokasikan sewaktu-waktu baik itu untuk acara di level masyarakat maupun musibah yang datang sewaktu-waktu. Dengan kondisi yang demikian maka penulis yakini teori milik Chambers sangat relevan untuk menjadi silet dalam mengungkapkan dibalik kegagalan PKH dalam pengentasan kemiskinan.
34