BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan hutan lindung seperti ekosistem mangrove memiliki peran cukup penting bagi masyarakat yang tinggal berdampingan dengan ekosistem tersebut karena umumnya masyarakat masih sangat bergantung pada sumber daya alam tersebut. Ekosistem hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem alami yang berada di wilayah pesisir seperti Desa Dabong. Harahab (2010:121-123) menyatakan bahwa manfaat dan fungsi ekosistem mangrove digolongkan menjadi dua yaitu: (1) manfaat ekonomi atau nilai penggunaan langsung (direct use value) antara lain: nilai kayu, nilai ikan, nilai udang, nilai kepiting, nilai telur burung, dan nilai tiram; dan (2) manfaat lingkungan atau nilai penggunaan tidak langsung (indirect use value) antara lain: fungsi biologis, fungsi fisik, dan fungsi penahan intrusi. Ekosistem hutan mangrove selain dapat mendatangkan nilai ekonomi seperti dijelaskan di atas juga memiliki potensi untuk dapat mendatangkan manfaat lainnya.
Baja (2012:21) menyatakan bahwa ruang dapat dipandang
sebagai potensi dan sebagai sumber daya yang memiliki manfaat karena empat hal. Pertama, sebagai lokasi berlangsungnya kegiatan untuk berproduksi. Kedua, sebagai tempat hidup, habitat dan pertukaran energi. Ketiga, sebagai wadah yang mengakomodasi kegiatan dan sekaligus sebagai pembatas bagi manusia dan mahluk
hidup
ketergantungan.
lainnya dari objek
lain, namun dalam suatu ikatan saling
Keempat, sebagai pendukung fungsional dan struktural bagi
setiap kegiatan pembangunan. 1 1
2 Dualisme peran pada paragaraf pertama dan fungsi ruang yang dijelaskan pada paragraf kedua tersebut menjadikan ruang sebagai arena konflik karena untuk dapat memanfaatkan ruang semua objek harus melakukan kompetisi secara aktif maupun pasif.
Konflik antara fungsi lindung dan fungsi budi daya; dan
konflik koordinasi antara masyarakat pemerintah daerah dan pusat.
Wilayah
pesisir menjadi ajang pertarungan antar stakeholder dan hal ini dikuatkan oleh Nugroho dan Dahuri (2012:297-298) yang menyatakan bahwa wilayah pesisir melibatkan berbagai kepentingan baik instansi struktural dan fungsional yang tidak mudah untuk diakomodasi kepentingannya.
Pada tataran perencanaan
kebijakan pemanfaatan ruang mungkin bisa padu tetapi meleset ketika berhadapan dengan berbagai kepentingan stakeholder di lapang sehingga akan terjadi konflik. Pemerintah perlu menata kembali kelembagaan, konsep perencanaan, peraturan perundangan dan sistem adminisitrasi untuk meningkatkan keterpaduan di dalam kawasan hutan lindung Desa Dabong. Kawasan hutan di Provinsi Kalimantan Barat pertama kali ditetapkan menjadi hutan melalui Surat Keputusan Menteri
Pertanian
No.
757/Kpts/Um/10/1982
tentang
Tata
Guna
Hutan
Kesepakatan (TGHK). Penetapan kawasan hutan melalui TGHK dikuatkan lagi dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 259/KptsII/2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Provinsi Kalimantan Barat atau yang dalam penelitian ini disebut dengan SK 259/2000. SK 259/2000 inilah yang kemudian menjadi dasar bagi pemerintah daerah melalui Dinas Kehutanan mengelola kawasan hutan lindung seperti yang terdapat di Desa Dabong.
3 Kementerian Kehutanan telah menetapkan ekosistem mangrove di Desa Dabong menjadi kawasan hutan lindung sejak tahun 1982 tetapi di lapangan terdapat fakta lain.
Masyarakat dan pemda memanfaatan ruang dalam kawasan
hutan lindung untuk kepentingan ekonomi dan bertentangan dengan peraturan Kementerian Kehutanan. Pemanfaatan ruang di dalam kawasan hutan lindung tersebut
sudah
berlangsung
cukup
lama
seperti
permukiman
penduduk.
Permukiman tersebut telah ada sebelum Kementerian Kehutanan menetapkan kawasan konflik menjadi hutan lindung.
Penetapan menjadi kawasan hutan
lindung diprotes keras oleh permukim yang sudah menempati secara turuntemurun di wilayah konflik. Keterlibatan stakeholder dari unsur masyarakat dan pemerintah dalam pelanggaran ruang tersebut menjadi konflik semakin hebat. Pemerintah yang seharusnya melindungi masyarakat bertindak sebaliknya dengan memusuhi masyarakat yaitu dengan memproses hukum terhadap pelanggaran yang terjadi. Penelitian
mengenai
konflik
pemanfaatan
ruang
tersebut
penting
dilakukan setidak-tidaknya karena tiga sebab. Pertama, Kementerian Kehutanan telah menunjuk ekosistem mangrove menjadi kawasan hutan lindung tetapi kenyataannya terdapat pemanfaatan yang tidak sesuai peruntukannya. Kedua, pemanfaatan ruang di dalam kawasan hutan lindung tersebut sudah berlangsung sejak 1991 dan sampai sekarang tetapi belum ada penyelesaiannya. Ketiga, stakeholder yang terlibat dalam konflik tersebut beragam kepentingan baik dari masyarakat maupun instansi pemerintah. Berbagai macam kewenangan terlibat dalam konflik seperti otonomi daerah, tata ruang, agraria dan kehutanan.
4 Kawasan hutan di Kalimantan Barat berdasarkan SK 259/2000 terbagi menjadi tiga jenis. Pertama, kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam (darat dan perairan) seluas 1.645.580 hektar atau 17,91%. Kedua, hutan lindung seluas 2.307.045 hektar atau 25,13%. Ketiga, hutan produksi seluas 5.226.135 hektar atau 56,96%. Hutan lindung di Kalimantan Barat terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu hutan lindung,
hutan lindung gambut,
dan hutan lindung mangrove.
Ekosistem mangrove yang terdapat di Desa Dabong merupakan salah satu kawasan hutan lindung yang diatur dalam SK 259/2000 tersebut.
Kelompok
hutan lindung yang dalam SK 259/2000 diberi nama Kelompok Hutan Lindung Sungai Seruat-Pulau Tiga. Kariada dan Irsiadi (2014:188-189) menyatakan bahwa selain itu ekosistem mangrove memiliki produktivitas yang tinggi menyediakan makanan berlimpah bagi berbagai jenis hewan laut dan menyediakan tempat berkembang biak, memijah dan membesarkan anak bagi beberapa jenis ikan, kerang, kepiting dan
udang
sehingga
menciptakan
dampak
ketergantungan
masyarakat.
Ketergantungan manusia terhadap ekosistem mangrove terjadi pada masyarakat yang tinggal di Desa Dabong. Masyarakat mengubah sebagian ekosistem mangrove menjadi kawasan budi daya.
Kawasan budi daya tersebut antara lain
permukiman penduduk di Kampung Dabong, tambak milik masyarakat dan lahan pertanian milik masyarakat. Konflik di Desa Dabong melibatkan dua pihak yang saling berseberangan yaitu unsur masyarakat sebagai pengambil manfaat dan unsur pemerintah sebagai pengelola.
5 Pemerintah Pusat memandang bahwa keberadaan kawasan budi daya di dalam kawasan hutan lindung adalah menyalahi aturan oleh karena itu masyarakat yang memiliki aktivitas di dalam kawasan HL dianggap sebagai perambahan hutan. Aktivitas masyarakat di dalam kawasan hutan lindung mengaitkan banyak stakeholder di pemerintahan. Keterlibatan stakeholder di pemerintahan dalam pusaran
konflik
memiliki
berbagai
didukung oleh peraturan perundangan.
argumen
yang
masing-masing
merasa
Stakeholder pemerintah yang terlibat
setidaknya ada tiga yaitu institusi kehutanan, pemerintah daerah dan institusi agraria. Kewenangan kehutanan tertuang dalam UUK No 41/1999, Kewenangan Pemerintah Daerah tertuang dalam UU Otda No 32/2004 dan UUPR No 26/2007 dan stakeholder agraria tertuang dalam UUPA No 5/1960. Konflik yang semula bersifat ruang berupa pemanfaatan ruang dalam kawasan
hutan
lindung
yang
tidak
semestinya
seperti konversi menjadi
permukiman, tambak dan lahan pertanian kemudian berubah menjadi konflik non ruang karena telah melibatkan stakeholder dalam penyelesaiannya. Pergeseran konflik
terjadi karena
untuk
menyelesaikan
konflik
ruang
tersebut harus
melibatkan peran Pemerintah sebagai regulator peraturan dan pengelola kawasan tersebut. Kewenangan pemerintah juga terbagi-bagi menjadi beberapa ruang kekuasaan seperti dijelaskan dalam UU Otda yang membagi pemerintahan menjadi 3 kewenangan yaitu Pusat, Propinsi dan Daerah sehingga penyelesaian konflik menjadi berlarut-larut karena harus melalui beberapa institusi dengan beragam kepentingan.
6 1.2. Perumusan Masalah Konflik paling banyak terjadi antara masyarakat dengan perusahaan (91,14%) diikut dengan konflik antara masyarakat dengan Pemerintah Pusat (7,93%), Pemerintah Daerah (0,45%), selanjutnya dengan BUMN (0,42%) dan terakhir konflik dengan kelompok masyarakat yang dibentuk untuk suatu proyek atau program tertentu. Krisis ekonomi dan moneter yang terjadi sejak tahun 90-an mendorong masyarakat melakukan perambahan kawasan hutan. Di lain pihak tata batas kawasan hutan belum tuntas dilakukan bahkan pemerintah cenderung menghindari kawasan hutan yang sedang konflik. Sementara tidak ada pengelola kawasan hutan di tingkat tapak yang secara langsung berinteraksi dengan masyarakat dan sekaligus melakukan perlindungan terhadap kawasan hutan di lapangan. Sering diibaratkan pengelola kawasan hutan oleh pemerintah itu seperti mengelola rumah yang tidak ada tembok dan pagarnya (Working Group on Forest-Land Tenure, 2012). Berdasarkan hal tersebut maka timbullah perumusan masalah yaitu bagaimana cara menyelesaikan konflik di dalam kawasan hutan. Fenomena konflik
tersebut menarik untuk diteliti sehingga dapat mengidentifikasi dan
mendeskripsikan pemanfaatan ruang yang terjadi di dalam kawasan hutan. 1.3. Pertanyaan Penelitian Penelitian telah dilakukan untuk menjawab dua pertanyaan penelitian. Pertama, seperti apa dinamika konflik yang terjadi di Desa Dabong? Kedua, faktor-faktor apa yang dapat berperan dalam menyelesaikan konflik di lapangan?
7 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan
penelitian
dikaitkan
dengan
pertanyaan penelitian ada dua.
Pertama, mengidentifikasi dan menganalisis secara mendalam terhadap sebaran konflik, dinamika konflik, keterlibatan stakeholder dalam konflik dan penyebab konflik sehingga dapat memetakan konflik secara jelas. Kedua, mengidentifikasi dan menganalisis secara mendalam tentang bagaimana faktor pengakhir konflik ruang dan konflik non ruang bekerja dalam menyelesaikan konflik. 1.5. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan upaya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan tentang bagaimana mengelola dinamika konflik
sumber daya
hutan khususnya hutan mangrove sehingga
menghasilkan penyelesaian yang tetap memperhatikan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.
Keberadaan ketiga aspek tersebut memiliki dampak positif dan
negatif terhadap ruang sehingga harus tetap diakomodasi kehadirannya di dalam ruang. Penelitian juga diharapkan bermanfaat bagi praktisi dan stakeholder yang mengelola ruang.
hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai pedoman oleh
kalangan instansi yang terkait terutama untuk menyelesaikan konflik pengelolaan hutan lindung di Desa Dabong. menjadi rujukan bagi daerah lain.
Temuan hasil penelitian ini diharapkan dapat Stakeholder di daerah lain yang memiliki
karakter konflik hampir sama dengan wilayah penelitian dapat mempelajari hasil penelitian ini sehingga pemahaman dalam menyelesaikan konflik lebih baik.
8 1.6. Batasan Penelitian 1.6.1. Fokus Penelitian ini dibatasi dan hanya difokuskan pada dua penyebab konflik (lihat
analisis
pohon
masalah).
Pertama,
konflik
pemanfaatan ruang oleh
masyarakat dengan melakukan konversi mangrove yang merusak.
Kedua,
koordinasi penyelesaian konflik yang tidak mudah. Penyebab lain dibahas sepintas
dan
tidak
mendalam
karena
mempertimbangkan
waktu,
biaya,
ketersediaan data dan informasi. 1.6.2. Lokus Lokasi penelitian adalah kawasan hutan lindung di wilayah administrasi Desa Dabong.
Namun demikian sumber data juga diambil. Di luar wilayah
administrasi Desa Dabong tetapi masih terkait dengan konflik di Desa Dabong. 1.6.3. Waktu Data penelitian yang digunakan mulai tahun 1999 sampai dengan 2015 atau enam belas tahun terakhir dengan pertimbangan bahwa konflik non ruang muncul pada tahun 1999 sejak penunjukkan hutan oleh Pemerintah Pusat. 1.7. Keaslian Penelitian Penelitian
tentang penyelesaian konflik
lahan telah dilakukan oleh
beberapa peneliti sebelumnya. Peneliti-peneliti tersebut antara lain Wibowo dan Handayani (2006), Nugroho (2009), Imlabla (2010), (2012) dan Junaidi (2014).
Harwati (2011), Purnomo
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya
memiliki fokus yang berbeda-beda seperti diuraikan berikut ini.
9 Fokus penelitian Nugroho
(2009) adalah mencari alternatif solusi
pengelolaan ekosistem mangrove pada kawasan hutan lindung di Desa Dabong, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya. Alternatif pengelolaan mangrove ada tiga. Pertama, merevisi tapal batas (zonasi) sehingga tidak ada lahan yang tumpang tindih. Kedua, melakukan kesepakatan konservasi sehingga masyarakat diijinkan untuk budi daya udang pada lahan tambak yang sudah ada, tetapi memiliki kewajiban-kewajiban menjaga keutuhan dan kelestarian mangrove. Ketiga, merehabilitasi tambak yang ada dengan penerapan pola tumpang sari antara mangrove dengan tambak (silvofishery). Fokus penelitian Imlabla (2010) adalah pemberdayaan masyarakat untuk mengakhiri Konflik Pada Kawasan Hutan Lindung Gunung Nona di Kota Ambon. Penyelesaian konflik di dalam kawasan hutan lindung adalah terhadap petani dilaksanakan program hutan kemasyarakatan untuk memberdayakan masyarakat yang berada di dalam kawasan hutan dengan menanam tanaman keras dan buahbuahan, terhadap non petani adalah melakukan relokasi ke luar dari kawasan hutan. Fokus
penelitian
Harwati
(2011)
adalah
pemetaan
konflik
dan
identifikasi stakeholder. Akar permasalahan konflik adalah terjadinya perubahan hirarki pengelolaan hutan dari rakyat ke negara. Penetapan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) dan pemanfaatan kawasan penyangganya merupakan tanda terjadinya perubahan hirarki pengelolaan ini. penataan kawasan,
Konflik yang berkaitan dengan
pemanfaatan kawasan hutan, perubahan sosial budaya,
kepentingan kekuasaan dan institusi pengelola. Ada lima stakeholder yang
10 merupakan aktor utama konflik dan satu stakeholder penting yang kehadirannya tidak boleh diabaikan yaitu: (1) orang rimba, (2) orang desa, (3) pemerintah daerah, (4) swasta (perusahaan) dan (5) LSM. Fokus penelitian Purnomo (2012) adalah mencari model penyelesaian konflik keruangan antara gajah dan manusia di Kabupaten Bengkulu.
MPKD.
Penelitian kualitatif dengan menggunakan metode wawancara, kuesioner Delphi dan FGD.
Wawancara dilakukan untuk menggali permasalahan yang terkait
dengan konflik keruangan antara gajah dan manusia. menjaring
pendapat
para
Kuesioner Delphi untuk
pakar/ahli mengenai model penyelesaian
konflik
keruangan antara gajah dan manusia. FGD digunakan untuk menjaring opini dari pengguna model terhadap model yang telah dirumuskan berdasarkan pendapat para pakar/ahli. Penelitian
menghasilkan
tiga
model penyelesaian
yaitu: (1) model
penyaamaan persepsi stakeholder, (2) model peningkatan status dan perluasan habitat gajah, (3) model pengelolaan intensif kawasan PLG Seblat dan sekitarnya. Berdasarkan opini pengguna model, ketiganya merupakan model yang dapat digunakan untuk menyelesaikan konflik secara menyeluruh.
Namun terdapat
kelemahan dari model yaitu model terlalu kompleks sehingga sangat sulit untuk diterapkan di lapangan, memerlukan waktu yang lama dan biaya yang besar serta memerlukan komitmen yang kuat dari seluruh pihak. Fokus penelitian Junaidi (2014) adalah mencari faktor-faktor yang menyebabkan konflik guna lahan di kecamatan Karangsambung, Kab Kebumen. Penelitiannya menyimpulkan bahwa konflik pemanfaatan ruang berakar dari
11 adanya
penyimpangan
penggunaan
ruang.
Kegiatan
penambangan
pasir
memanfaatkan lahan lindung setempat dan lahan pertanian. Tipologi konflik yang terjadi adalah konflik fungsional, konflik kepentingan, dan konflik kelembagaan. Setelah mengkaji beberapa penelitian di sebelumnya, maka penelitian ini memiliki perbedaan dibandingkan dengan penelitian sebelumnya dilihat dari waktu dan fokus penelitian. Berdasarkan analisis pustaka terhadap penelitian sebelumnya maka penelitian tentang Dinamika Konflik Pemanfaatan Ruang di Kawasan Hutan Lindung: Kasus di Desa Dabong Kecamatan Kubu Kabupaten Kubu Raya adalah asli karena penelitian dilakukan pada lokasi, kondisi konflik dan fokus yang berbeda.
Hasil perbandingan penelitian sebelumnya yang
memiliki topik hampir sama dengan penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 1. 1 Daftar Penelitian Sebelumnya
Sumber : Nugroho (2009); Imlabla (2010); Harwati (2011); Purnomo (2012); Junaidi (2014); Wibowo dan Handayani (2006).