HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Desa Talise Keadaan Geografi Desa Talise adalah desa pulau yang berada di ujung utara wilayah Kabupaten Minahasa dengan luas daratan 850 hektare, sedangkan untuk luas Pulau Talise sekitar 2000 ha dengan panjang pulau 6 km memanjang dari utara ke selatan, sedangkan lebar sekitar 2 km dari timur ke barat. Secara administratif desa ini berbatasan dengan Pulau Biaro di sebelah Utara; Pulau Gangga di sebelah Selatan; Pulau Bangka di sebelah Timur; dan sebelal~ Barat berbatasan dengan Desa Aerbanua (berada di P. Talise). Desa Talise ini terdiri dari tiga Dusun dimana Dusun I dan 11 berada di Pulau Talise sedangkan Dusun In[ berada di P. Kinabuhutan. Dusun I mempakan pusat pemerintahan Desa Talise, sedangkan jarak Dusun I dan I1 sekitar 3 km dan jarak antara Dusun I dan Ill sekitar 2,5 km yang dapat dijangkau dengan transportasi laut (perahu). Letak pemukiman Dusun I dan I1 berada di wilayah pesisir dan di belakang pemukiman terdapat areal perkebunan kelapa dengan status tanah negara milik Pemda Minahasa yang kini sudah tidak produktif lagi sehingga banyak yang sudah ditebang dan penduduk memanfaatkan iahan tersebut untuk menanam jagung, ketela, pisang, kelapa dan kacang mente. Dusun I11 terdiri dari dua pulau yaitu pulau Kinabuhutan dan pulau Komang dan bila saat surut terendah kedua pulau ini kelihatan menyatu. Pulau Komang mempunyai Iuas sekitar 1 ha dan hanya ditumbuhi bakau, sedangkan pulau Kinabuhutan memiliki luas sekitar 60 ha, dengan keadaan topografi cukup datar dan terdapat bukit kecil dengan ketinggian sekitar 15 m.
Menurut Kusen dkk., (1999), luas habitat pesisir Desa Talise adalah sekitar 295 ha. Pantai P. Talise dan P. Kinabuhutan berpasir putih dan hampir sepanjang pantai ditutupi hutan bakau dengan luas areal sekitar 62 ha. Umumnya mangrove berada di lokasi-lokasi sekitar Kinabuhutan, ujung barat daya dan tenggara Talise (selain pantai di depan dusun 11), dan sebagian dari Dusun I bagian utara. Ada beberapa bukti ditemukan penebangan mangrove, sedangkan para tua-tua kampung menginformasikan bahwa sekitar 30
-
40 tahun lalu Kinabuhutan dikelilingi oleh
mangrove. Pemanfaatan hutan mangrove oleh penduduk sudah berlangsung sejak lama sehingga secara turun temurun telah mengenal manfaat hutan sebagai sumber ekonominya Kawasan hutan pulau atau hutan gunung Pulau Talise sangat potensial untuk tujuan ekowisata, selain tujuan lainnya pada obyek pantai dan hutan mangrove. Hutan Pulau Talise umumnya berada pada ketinggian 100 m menurut kemiringan dan jenis hewan yang ditemukan seperti monyet l t a m (macacca nigra), ular phyton, beberapa jenis burung endemik serta kelelawar. Yang perlu mendapat perhatian adalah adanya pemburuan beberapa jenis hewan oleh pemburu lokal dan adanya penebangan liar kayu hutan termasuk kayu htam (ebony) sehingga terjadi degradasi luasan hutan. Pada saat sekarang bahkan sudah tejadi pembakaran hutan untuk membuka lahan pertanian. Hal ini menyebabkan berkurangnya luasan hutan yang pada tahun 1994 ada sekitar 959 ha maka pada tahun 1998 tinggal 533 ha dan mengancam hutan serta satwa penghuni hutan menjadi habis. Pulau IOnabuhutan yang merupakan bagian dari administrasi Desa Talise (Dusun EI)adalah pulau yang mendapat tekanan proses geomorfologi pantai, dimana
proses erosi garis pantai sedang berlangsung. Hal ini &duga kemungkinan karena adanya pemanfaatan hutan mangrove yang tidak terkontrol oeh masyarakat setempat. Karena justru di bagian pulau yang tadinya pemah ditumbuhi oleh hutan mangrove dan sekarang telah ditebang yang banyak terjadi interusi air laut permukaan, sehingga bila air pasang tinggi atau tertinggi akan masuk sampai dibagian pinggir pemukiman. Keadaan Masyarakat Penduduk desa menurut kantor statistik Kabupaten Minahasa tahun 1993 sekitar 1745 jiwa sedangkan laporan Kepala Desa sampai tahun 1997 sebanyak 2007 jiwa. Tabel 4. Kegiatan Produktif Masyarakat Desa Talise
Tukang kayu 11 12 Pengasap kelapa (fufu kelapa) Pembuat perahu 13 Penjual ikan 14 Surnber : Crawford dkk., (1999)
** **z
.
9 8 7 5
: termasuk guru SD,SMP, pegawai PLN, pekeja toko, operator taxi air, penjaga perkebunan. . jumlah ' persentase melebihi 100 % karena ada anggota masyarakat yang melakukan lebih dari satu kegiatan produktif.
Penduduk Desa Talise secara etnik hampir homogen, diindikasikan ada sekitar 97 % berasal dari suku Sangir, 2 % Bajo, 1 % dari Minahasa, sedangkan dalam ha1 golongan agama ada sekitar 68 % Kristen dan 32 % Islam Kegiatan produktif dari masyarakat Desa Talise adalah bertani dan nelayan. Sebagai petani hasil utamanya adalah ketela pohon, pisang, kelapa dan jagung.
Tabel 5. Hasil Tanaman Pertanian Rakyat Desa Talise
Sumber : Crawford dkk., (1999)
*
: jumlah persentase melebihi 100 % karena ada anggota masyarakat yang
menghasilkan lebih dari satu jenis hasil pertanian. Sedangkan kegiatan sebagai nelayan adalah menangkap ikan dengan cara dan alat tangkap yang berbeda-beda sesuai dengan kemampuan masing-masing dan umumnya masih sederhana dengan hasil tangkapan seperti ikan kerapu, ikan sardine, ikan beronang, ikan kakatua daaheberapa jenis ikan lain dalam jumlah yang lebih sedikit. Selain itu ada juga penduduk yang bekeja di perusahaan budidaya kerang mutiara dan terpyata kegiatan ini cukup untuk menambah penghasilan mereka
Karena k e ~ a t a nproduktif utama masyarakat Desa Talise adalah bertani maka ada beberapa jenis hasil pertanian yang dihasilkan yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari dan ada juga sebagian yang dijual. Hasil pertanian masyarakat Desa Talise seperti pada Tabel 3. Disamping kegiatan bertani, kegiatan utama yang lain yang dilakukan oleh masyarakat adalah mencari (menangkap) ikan.
Dalam kegiatan penangkapan,
masyarakat umumnya masih menggunakan alat tangkap yang sederhana. Dan hasil survei Crawford dkk., (1999) bahwa terbanyak menggunakan alat tangkap pancing ulur sebesar 67.5 %, menggunakan jubi 20.8 % dan soma paka-paka 18.5 %. Ada juga yang menggunakan soma roa, soma rarape dan alat tangkap yang lain namun hanya sekitar 5 % yang menggunakannya. Sedangkan jenis perahu yang digunakan sebagian besar menggunakan perahu jenis londe sebanyak 124 buah, kemudian perahu jenis pelang 54 buah dan jenis bolotu 16 buah, ada juga jenis yang lain seperti perahu bodi, rorehe, katingting, tetapi penggunanya hanya sedikit sekali. Selain sumberdaya yang ada baik di darat maupun di laut maka Talise juga berpotensi sebagai kawasan ekowisata. Hal ini dapat dilihat dari keadaan alamnya yang memiliki hutan tropis dengan satwa asli Sulawesi seperti Tarsius (Tarsius spectrum), Kuse (Ailurops ursinus), Monyet (Aducaca nigra) dan juga vegetasi hutan yang ditumbuhi pohon jenis lingua (Ptercurpus indicus), Matoa (Pometia pinnata), dan kayu hitam (Diospyros sp).
Karakteristik Sosial Ekonomi Rumahtangga Pengguna Kayu Bakar Masyarakat pengguna kayu bakar yang ada di Desa Talise meliputi : masyarakat nelayan pencarilpenangkap ikan, petani ladang, sebagian yang bukan
nelayan dan petani serta pekerja yang ada di pemsahaan kerang mutiara. Adapun ciri sosial ekonomi dari pengguna kayu bakar seperti dalam Tabel 6 . Tabel 6 . Karakteristik Sosial Ekonomi Rumahtangga Pengguna Kayu Bakar No. 1. 2. 3. 4.
1 1
1
Keterangan Kayu bakar (m3) (RpIm3) Harga Pendapatan (RpJthIRt) Umur oh)
o
l
P
e
1 n
8.5184 65526.3158 3025663.1579 41.0000 d
1
/
Rata-rata
I
Maksimum
1 1
18.7200 144000.0000 9600000.0000 67.0000 9.0000 10.0000
i
Jumlah anggota Rt (orang) 4.2000 6. Sumber : Hasil Analisis Data Primer (2001)
d
1
I
Minimum
1
i
k
1
3.1200 24000.0000 1200000.0000 27.0000 6.0000 2.0000 a
Dengan uraian Tabel diatas, menunjukkan bahwa permintaan kayu bakar dari mangrove sebesar 8.5 m3lth. Pengguna kayu bakar ini rata-rata bemmur 41 tahun, dimana merupakan umur yang produktif bila dikelompokkan dalam kelompok usia produktif
Untuk pendidikan, karena hampir semua responden menyelesaikan
sekolah pada tingkat SD dan hanya beberapa yang sampai tingkat SMP. Rata-rata jumlah anggota mmahtangga pengguna kayu bakar sebanyak 4.1579 atau 4.2 (dibulatkan) orang Nilai Ekonomi dari Manfaat Langsung Penggunaaan Mangrove sebagai Kayu Bakar Penggunaan kayu bakar yang berasal dari hutan mangrove telah berlangsung lama di Desa Talise. Kayu bakar sebagai surnber energi untuk kehdupan sehari-hari dlrasakan besar manfaatnya karena didapat dengan harga yang tidak mahal. Penggunaan kayu bakau ini selain untuk kayu bakar juga ada yang digunakan untuk pembuatan pagar bahkan dibuat rumah. Dari para nelayan ada juga yang pernab
I / n
1
menangkap udang lobster di daerah mangrove walaupun ha1 itu hanya kegiatan sampingan dan tidak selalu mendapatkan hasil. Ada juga yang menggunakan kulit bakau sebagai tempat menjemur jaring atau untuk mengikat jaring. Keterkaitan ekonomi dalam penelitian ini dilihat dari pemanfaatan hutan mangrove yaitu dari segi pendapatan, sedangkan dari segi ekologi dilihat dari segi struktur komunitas mangrove yang pembahasannya lebih dijelaskan dibawah. Pemanfaatan yang dibahas adalah manfaat langsung dari mangrove yaitu sebagai kayu bakar. Adapun fungsi keterkaitan secara ekonomi ini dapat dilihat dalam hubungan linier sebagai berikut:
Y = 7.75 + 0.000000 X Keterangan: Y = Penggunaan kayu bakar (Data Lampiran 1) Dari hail yang diperoleh (y
=
X = Pendapatan
7.75 + 0.000000 x) , dengan memperhatikan
koefisien x maka jumlah pendapatan tidak mempengaruhi penggunaan kayu bakar (bakau) oleh masyarakat Hutan mangrove yang ada di Desa Talise baik di Dusun Tambun, Dusun Talise dan Dusun Kinabuhutan (di Pulau Kinabuhutan) dengan keseluruhan areal seluas 62 ha, banyak dimanfaatkan oleh masyarakat berturut-turut sebagai kayu bakar, pagar rumah, sebagai bahan pembuat rumah (perkakas rumah) dan sebagai bahan tambahan untuk pembuatan jaring (tali pengikat). Dari data lapangan yang berupa wawancara juga ada responden yang mendapat beberapa jenis ikan seperti ikan beronang (narna lokal uhi) dan ikan bahang (nama lokal) sejumlah beberapa ekor (3-5 ekor) selain itu juga mendapat
kepiting bakau sejumlah 1 atau 2 ekor. Kegiatan mengambil ikan di areal mangrove memang jarang dilakukan oleh penduduk desa, walaupun ditemukan ada dua orang yang pemah mengambil ikan di daerah tersebut dan sekarang sudah menghentikan kegiatan tersebut. Manfaat inilah yang secara langsung dapat dlrasakan oleh masyarakat Desa Talise, sehingga bila terjadi suatu aktifitas atau kegiatan yang mengganggu ekosistem mangrove, maka akan berpengaruh pada manfaat yang didapat oleh penduduk setempat. Sedangkan manfaat yang didapat tersebut merupakan permintaan dari suatu produk yang dipengarwhi oleh faktor-faktor sosial ekonomi dari masyarakat tersebut. Dapat dilihat bahwa semua faktor sosiaI ekonomi berpengaruh terhadap penggunaan hutan mangrove sebagai kayu bakar. Faktor sosial dari hiaya pengadaan yang semakin meningkat, maka akan meningkatkan jumlah penggunaan hutan mangrove sebagai kayu bakar. Hal ini disebabkan karena dengan tersedianya sejumlah dana pada masyarakat untuk menghasilkan suatu produk (dalam ha1 ini kayu bakar), berarti masyarakat tersebut mampu mengadakan produk yang dikehendaki sesuai jumlah dana yang ada. Semalun besar dana yang ada, semakin besar pula permintaan untuk menyediakan kayu bakar. Rata-rata biaya pengadaan untuk kayu bakar sebesar Rp 65.526,3158/m3/th. Biaya pengadaan dengan jumlah tersebut, penduduk yang menggunakan hutan mangrove untuk kayu bakar dapat menyediakan kayu bakar sebesar 4072,56 m3 tiap tahun. Dari s e g pendapatan dari masyarakat, tingkat penggunaan kayu bakar tidak akan berpengaruh sesuai dengan hasil regresi di atas. Hal ini disebabkan karena masyarakat melihat hutan mangrove yang menjadi sumber kayu bakar sangat mudah
diambil baik dari segi lokasinya maupun nilaitharga yang tejadi terhadap kayu bakar tersebut masih sangat rendah. Masyarakat masih melihat fungsi hutan mangrove hanya sebagai penyedia kayu bakar. Pendapatan yang rendah menyebabkan pengeluaran untuk mendapatkan suatu produk juga rendab sehingga nilai hasil produk
tersebut
rendah.
Rata-rata
pendapatan
penduduk
sebesar
Rp
3.025.263,1579/th sehingga untuk rata-rata per bulan adalah Rp 252.105,20. Dengan jumlah pendapatan yang demikian, penduduk menghargai nilai hutan mangrove yang dijadikan kayu bakar sebesar Rp 7500lm3. Rata-rata umur penduduk yang memanfaatkan sumberdaya hutan mangrove adalah 41 tahun. Umur yang masih rendah (muda) merupakan umur potensial produktif, karena ketersediaan tenaga yang besar dan mampu sehingga dapat mengambil kayu bakar dalam jumlah yang besar. Untuk umur yang lebih tinggi atau tua hanya mengambil kayu bakar secukupnya sesuai kebutuhan karena tenaganya sudah tidak mampu lagi untuk bekeja yang lebih berat. Untuk umur yang sudah tua umumnya pergi ke kebun menanam singkong atau tanaman pertanian iainnya dan menangkap ikan dengan pancing ulur pada malam hari. Tingkat pendidikan penduduk Desa Talise yang menjad pengguna hutan mangrove adalah 6,4737 tahun. Ini menjelaskan bahwa semua penduduk menamatkan tingkat pendidikan dasar sehingga masih tergolong rendah tingkat pendidikannya. Pengetahuan tentang lingkungan hidup masih rendah, belum mengetahui fungsi dari hutan mangrove selain untuk ditebang dan digunakan sebagai kebutuhan sehari-hari. Bila tingkat pendidkan masyarakatnya sudah tinggi, maka dapat diketahui akibat dari pemanfaatan yang berlebihan. Untuk itu masyarakat dapat
berpartisipasi dalam menjaga kelestarian sumberdaya hutan mangrove, sehingga selain manfaat langsung yang dapat dirasakan juga manfaat yang secara tidak langsung dapat dirasakan seperti penahan abrasi pantai dan penampung sedimen. Jumlah anggota keluarga yang bemilai positif menjelaskan bahwa semakin banyak anggota keluarga maka akan meningkat pula pemanfaatan hutan mangrove yang digunakan sebagai kayu bakar. Dengan jumlah anggota keluarga yang banyak, tentunya kebutuhan akan makanan juga besar sehingga membutuhkan bahan bakar yang besar dalam ha1 ini kayu bakar sebagai bahan bakamya. Manfaat langsung dari hutan mangrove yang digunakan sebagai kayu bakar , bemilai Rp.30.544.200lth. Nilai ini didapat dari jumlah semua kayu yang digunakan oleh seluruh kepala keluarga dikalikan dengan harga kayu bakar sebesar Rp 7500 setiap meter kubik. Menurut Alrasjid (1989) dalarn Dahuri er al., (1995) menyatakan bahwa 1 hektar ekosistem mangrove menghasilkan s e b r 9 m3/hektar/tahun. Pemanfaatan hutan mangrove sebagai kayu bakar di Desa Talise sebesar 8,52 m3 kayu bakarlth untuk setiap kepala keluarga, sehingga dalam setahun dengan jumlah kepala keluarga 478 dibutuhkan 4072,56 m3 kayu bakadtahun. Dengan pemanfaatan hutan mangrove untuk kayu bakar yang besar tiap tahun di Desa Talise, maka akan terjadi penurunan luasan hutan mangrove yang menimbulkan kemgian bagi masyarakat di Desa tersebut. Akibat dari pemanfaatan hutan mangrove, aktivitas pengambilan pasir clan karang yang cukup besar oleh masyarakat dapat dirasakan dengan terjadinya erosi pantai di ketiga dusun Desa Talise. Secara alami juga terjadi erosi akibat energi
gelombang dan pola arus yang ada di sekitar perairan Talise. Lokasi-lokasi yang secara nyata mengalami erosi dari hasil pemantauan penduduk Dusun I ada di sekitar daerah pekuburan umum sebelah Timur pemukiman sebagai akibat dari sudah tidak adanya hutan mangrove dan pengambilan pasir yang berlebihan. Dusun I1 erosi tejadi di depan wilayah pemukiman penduduk yang disebabkan oleh pengambilan pasir yang berlebihan juga sudah tidak adanya areal bakau. Dusun 111 (P. Kinabuhutan) mengalami erosi yang paling parah karena mengalami kehilangan daratan di dekat pemukiman sejauh 30 - 40 meter ke arah darat dalam kurun waktu 60 tahun (1937 - 1997) menurut Mantjoro (1997). Air laut sering masuk ke lokasi pemukiman penduduk pada musim hujan dan pasang tinggi. Pulau Kinabuhutan merupakan wilayah administrasi Desa Talise yang mempunyai luasan hutan mangrove yang paling besar dan mendapat tekanan geomorfologi pantai yang cukup besar. Hal ini karena pemanfaatan hutan mangrove yang tidak terkontrol oleh masyarakat setempat dimana tejadi banyak penebangan hutan mengakibatkan intrusi air laut permukaan dan pada saat air pasang tinggi atau tertinggi akan masuk sampai di bagian pinggir pemukiman penduduk (Proyek Pesisir, 1999).
Adanya akibat buruk yang ditimbulkan oleh pemanfaatan hutan mangrove yang berlebihan dapat ditanggulangi dengan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia berupa peningkatan tingkat pendidikan baik pendidikan lingkungan hidup yang langsung ditemukan di lapangan maupun pendidikan formal dalam persiapan generasi selanjutnya Hal ini akan menjaga keberlanjutan produktivitas sumberdaya berupa hutan mangrove. Jadi dengan penghematan penggunaan sumberdaya dam dan
memperluas potensi produksi ekonomi dan pada saat bersamaan menjamin kemajuan merupakan keberlanjutan tak terbatas (Turner dan Pearce, 1990). Menumt Hamilton dan Snedaker (1984) bahwa pemanfaatan dengan basis pengelolaan berkelanjutan mempertimbangkan keragaman aktivitas yang mungkin menggunakan area yang sama pada wakm yang sama atau dalam periode yang berbeda tanpa menyebabkan kerusakan pada sistem. lni akan berarti aktivitas tunggal dan aktivitas campuran dalam pengelolaan hams berhasil dengan memuaskan tanpa menimbulkan kendala untuk pemanfaatan yang lain. Hal ini berhubungan dengan kegiatan produktif masyarakat Desa Talise yang sebagian besar bertani dan nelayan tradisional. Kegiatan bertani umumnya untuk kebutuhan pangan sehari-hari sedangkan untuk ikan seiain untuk kebutuhan sendiri juga ada yang dijual. Dengan demikian pemanfaatan hutan mangrove hams memperhatikan perencanaan dan pengelolaan yang terintegrasi dengan mempertimbangkan kebutuhan ekosistem mangrove. Pengelolaan hutan mangrove yang dilakukan di Desa Talise dengan membatasi penebangan hutan mangrove, mengadakan penanaman kembali hutan mangrove terutama di P. Kinabuhutan dan keragaman aktivitas untuk proses produksi. Desa Talise terdapat perusahaan budidaya kerang mutiara yaitu P.T Horiguchi Sinar Insani (His) yang mendapat ijin konsesi budidaya mutiara dari pemerintah Kabupaten Minahasa sebesar 10.200 ha dan yang dimanfaatkan baru mencapai 422 ha. Walaupun pada awalnya menimbulkan konflik penggunaan mang laut dengan masyarakat setempat, sekarang sudah tidak ada masalah mengenai ruang baik untuk areal budidaya maupun areal penangkapan oleh nelayan.
Perusahaan tersebut mempekejakan sebagian karyawannya pada penduduk setempat. Untuk yang berpendidikan setingkat SLTA dapat menjadi kalyawan tetap atau tidak tetap dan pendidikan yang lebih rendah merupakan karyawan tidak tetap. Perusahaan juga mempunyai dua orang teknisi berasal dari penduduk setempat yang berpendidikan STM. Untuk karyawan tidak tetap bekerja sebagai pembuat jangkar, pembersih rakit, menyiapkan keranjang tempat cangkang kerang (korekta
=
nama
lokal) serta berpendapatan Rp 9000hari sudah termasuk uang makan. Untuk karyawan tetap berpendapatan Rp 350.000ibulan sudah termasuk uang makan dan teknisi perusahaan berpendapatan sebesar Rp 600.000/bulan. Dalam budidaya kerang mutiara ini pekerjaan untuk operasi pengisian mutiara dan mengeluarkan mutiara dilakukan oleh orang Jepang. Pemsahaan melakukan kegiatan panen sebanyak tiga kali dalam setahun dan setiap kali panen sebanyak tiga rakit. Satu rakit terdiri dari sepuluh baris dan setiap baris memiliki 99 gantung dimana setiap gantung terdapat 6 kerang mutiara. Produksi untuk setiap kali panen sebesar 17.820 kerang mutiara dan ini hanya berdasarkan data dari responden. Untuk hasil produksi baik jumlah, nilai ekonomi dan tujuan pasarnya, pemerintah Kabupaten Minahasa tidak memiliki data. Desa Talise yang jumlah penduduknya 2007 jiwa dengan 478 KK rata-rata memiliki jumlah anggota keluarga 4.2 dimana setiap keluarga membutuhkan 8.52 m3 kayu bakarltahun, maka seluruh kepala keluarga membutuhkan kayu bakar sebesar 4072.56 m3/tahun. Adapun harga untuk 1 m3 adalah Rp 7500 maka nilai ekonomi dari manfaat langsung kayu bakar dari mangrove adalah sebesar Rp 30.544.200/
tahun
Ekologi Mangrove Jenis Vegetasi Mangrove Dari hasil pengumpulan contoh dan identifikasi yang dilakukan, hanya ditemukan 6 jenis mangrove. Jumlah jenis yang ditemukan ini boleh dikatakan sedikit, karena bila dibandingkan dengan yang ditemukan di Pulau Mantehage sebanyak 24 jenis mangrove (Lalamentik dkk., 1997).
Secara lengkap, jenis
mangrove yang ditemukan serta taksonominya dapat dilihat dalam Tabel 7. Tabel 7. Taksonomi spesies mangrove Famili
Spesies
Nama h k a l
Avicenniaceae
Avicennia marina
Api-api
Rhizophoraceae
Bruguiera cylindrica
Ting putih
Bruguiera gymnorrhiza
Makurung laut
Rhizhophora apiculata
Lolaro merah
Rhizhophora mucronata
Lolaro
Rhizhophora stylosa
Lolaro putih
Dalam Tabel 7 ditampilkan distribusi jenis-jenis mangrove pada ke-3 lokasi penelitian.
Terlihat bahwa jenis Rhizhophora apiculara mempunyai daerah
distribusi pada semua stasion penelitian. Pada Stasion I ditemukan 4 jenis mangrove yaitu Avicennia marina, Bruguiera cylindrica, B. gymnorrhiza dan Rhizhophora apiculata sedangkan untuk Stasion I1 dan Stasion III hanya ditemukan jenis Rhizhophora yaitu R apiculata, R mucronata, dan R stylosa. apiculata banyak dtemukan d ke-3 lokasi penelitian.
Khusus untuk R.
Tabel 8. Distribusi Spesies Mangrove
1. 2.
1
3. 4. 5. 6.
m
Stasion I
Stasion 11 (Kp. Talise)
Stasion In (Kp. Tambun)
0
-
1
0
-
-
0
0
0
1
-
0
0
0
0
SPESIES
NO.
Avicennia marina Bruguiera cylindrica Brueuiera wmnorrlziza Rkizhoplzora apiculata 1 R/ziz/zoulzora nzucronata Rhizlzoplzora stylosu 0 : Ditemukan
(P. Kinabuhutan)
0
- : Tak ditemukan
Bila diamati lebih jauh, adanya persamaan sebaran jenis vegetasi mangrove di lokasi penelitian, dimana pada semua lokasi (Stasion I, Stasion I1 dan Stasion 111) banyak dipengaruhi oleh aktivitas manusia, karena ke-3 lokasi ini dekat dengan perkampungan, dimana ha1 tersebut terlihat dari bekas penebangan pohon bakau yang cukup banyak Zonasi Vegetasi Mangrove Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, terlihat bahwa ekosistem mangrove di semua.lokasi memiliki profil zonasi vegetasi yang relatif sama yaitu didominasi oleh R. apiculata. Pada lokasi Stasion I (Gambar 4), zona depan (menghadap laut) didominasi oleh jenis R. apiculata dan sedikit A. marina, diikuti oleh R. apiculata dan sedikit B. gymnorrhiza dan Bruguiera cylindrica di zona tengah, serta jenis R apiculata dizona belakang (dekat daratan).
I
Gambar 4. Profil zonasi vegetasi mangrove Stasion I. Pada lokasi Stasion 11, zona depan didominasi oleh R. apiculata, diikuti dominasi oleh
R. mucronata dan sedikit R apiculala pada zona tengah dan
dominasi R. apiculata serta sedikit R stylosa pada zona belakang (Gambar 5).
Gambar 5. Profil zonasi vegetasi mangrove Stasion 11. Komunitas mangrove di Stasion 111, zona depan didominasi R. apiculata dan R. stylosa yang hadir bersama di zona depan, diikuti R. mucronata yang
mendominasi zona tengah dan dominasi R. apiculata pada zone belakang (Gambar
Gambar 6. Profil zonasi vegetasi mangrove Stasion
Struktur Komunitas Mangrove Struktur komunitas mangrove di lokasi penelitian relatif sama pada 3 lokasi yang diamati. Secara lengkap hasil hitungan variabel struktur komunitas pada masing-masing stasion ditampilkan dalam Tabel 9. Tabel 9 Variabel-variabel struktur komunitas mangrove pada 3 lokasi penelitian.
Dalam Tabel 7, dapat dijelaskan bahwa transek lokasi Stasion I memiliki tingkat keanekaragaman, kekayaan dan kemerataan jenis yang paling tinggi dibanding Stasion lainnya. Kondisi sebaliknya ditemukan pada lokasi Stasion II dan Stasion III, tarnpak ketiga indeks tersebut relatif rendah. Walaupun demikian, ketebalan dan kepadatan mangrove dilokasi ini adalah yarig terkecil (Tabel 7). Dari tingkat nilai penting setiap jenis, Rhlzhophora apiculata yang terdapat pada 3 lokasi memiliki rentang nilai penting berkisar 123,65 - 193,OO %. Nilai penting tertinggi ditemukan pada lokasi transek Stasion II dan terendah di lokasi Stasion
IH.Jenis R mucronata yang hadir pada lokasi Stasion 11 dan Stasion IlI
memiliki rentang nilai penting antara 57,04 - 60,83 %. Jenis R. stylosa yang hadir
pada iokasi Stasion I1 dan Stasion JII memiliki rentang nilai penting berkisar 49,96 115,52 %. Nilai penting tertinggi ditemukan pada lokasi Stasion III dan terendah
pada lokasi Stasion 11. Jenis Avicennia marina, Bruguiera cylindrica, dan B. gytnnorrlziza yang hanya ditemukan pada lokasi Stasion I memiliki nilai penting
sebesar 64,29 %, 43,36 %, dan 47,93 %. Hasil analisis diskriminan menunjukkan perbedaan struktur komunitas antara setiap stasion/lokasi (Dusun). Untuk Dusun I (Group I) dari matrik keragaman analisis diskriminan, nilai kerapatan dan nilai penting adalah yang tertinggi. Nilai kerapatan yang tinga tidak diikuti oleh dominasi yang besar karena hanya ditemukan 4 jenis mangrove. Dusun II (Group 11) nilai nilai kerapatan, frekuensi dan nilai penting yang menonjol. Di lokasi ini ditemukan satu spesies yang sering muncul dalam transek sehingga nilai frekuensinya tinggi dan tidak ada yang mendominasi. Sedangkan pada Dusun III (Group III) , nilai kerapatan dan nilai penting yang menonjol, nilai frekuensinya kecil dan nilai dominasinya sangat kecil. Melengkapi informasi struktur komunitas mangrove, juga dilakukan pengukuran diameter dan tinggi pohon, jumlah pohon anakan dan remaja serta ketebalan mangrove (dari darat ke laut) pada beberapa spesies yang relatif dominan pada 3 Stasion, seperti yang ditampilkan dalam Tabel 10.
Tabel. 10. Hasil pengukuran diameter dan tinggi pohon, pohon anakan, dan remaja serta ketebalan mangrove pada lokasi penelitian.
Teramati dalam Tabel 10, diameter dan tinggi pohon jenis R. apiculutu relatif lebih besar dibanding jenis-jenis lain yang ditemukan. Untuk karalcteristik rentang diameter dan rentang tinggi masing-masing 15
-
25 cm dan 7
-
20 m.
Sedangkan anakan dan remaja paling banyak terdapat di stasion III yaitu 25 dan 7. Dan hasil di lapangan, lokasi stasion IU cenderung memiliki jumlah individu R apiculata dan R stylosa yang t i n g ~ dan , rata-rata untuk jenis yang lain. Untuk lokasi stasion I1 cenderung mernililu R. mucronata yang tinggi dan rata-rata untuk jenis yang lain, sedangkan lokasi stasion I cenderung tinggi pada jenis A. marina, B. cylindrica, dan B. gymnorhiza dan rata-rata untuk jenis lainnya.
Potensi Hutan Mangrove Pada hutan mangrove Desa Talise ditemukan enam spesies yang termasuk dalam dua famili adalah Avicenniaceae dengan spesies Avicennia marina dan nama lokal api-api serta Rhizophoraceae dengan lima spesies yaitu Rhizopliora apiculafa, Rlzizophora mucronalu, I~lzizoplzorastylosa, Bruguiera gymnorrliiza serta Bruguiera cylindrica berturut-turut nama lokal lolaro merah, lolaro, lolaro putih, makurung laut
dan ting putih. Dengan adanya enam spesies ini menyebar di tiga stasion yaitu Stasion I Kinabuhutan, Stasion I1 Talise dan Stasion 111Tambun. Jenis mangrove yang ditemukan memang hanya enam spesies dan ini termasuk sedikit bila dibandingkan dengan mangrove yang ada di P. Mantehage (Taman Nasional Bunaken) yang memiliki 24 jenis (Lalamentik dkk, 1997). Pulau Mantehage merupakan pulau mangrove karena seluruh daratan ditutupi oleh hutan mangrove, substratnya sangat cocok untuk pertumbuhan mangrove, baik dimulai dari bagian tepi pulau yang tidak pemah kering dari air laut sampai dibagian daratan yang masih mengalami pasang tertinggi sehingga air laut masih menggenangr daerah tersebut. Desa Talise memiliki substrat lempung dan berpasir dan keberadaan mangrove untuk stasion II dan stasion III hanya pada bagan tepi pantai sedangkan stasion I yang agak tebal sampai bagian belakang dekat pemukiman. Uniuk stasion I juga pada bagian tenggara Pulau Kinabuhutan terdapat pulau kecil namanya P. Komang yang tergenang dengan air laut dan hanya ditumbuhi mangrove.
Untuk stasion I tidak terdapat Khizophora mucronata dan I?. stylosa sedangkan R. apicululu terdapat pada semua stasion. Stasion I1 dan 111tidak terdapat Avicennia marina, Bruguiera cylindrica dun B.gymnorrhiza. Banyaknya bekas penebangan pohon bakau menunjukkan banyak lahan kosong bekas tumbuh mangrove dan menjadi lahan yang tidak produksi. Hal ini menyebabkan pada stasion
I di P. Kinabuhutan yang merupakan areal datar dan dikelilingi pantai pasir, bila terjadi musim barat dan selatan maka air laut akan sampai didaerah pemukiman hingga tergenang. Pembagian daerah zonasi mangrove untuk Desa Talise pada ketiga stasion hampir sama karena jenis ini terdapat pada ketiga stasion dan mendominasinya. Untuk stasion I paling depan menghadap pantai ditemukan berturut-tumt A..marina, R.apiculatu.diselingi B. cylindrica dan B. gymnorrhiza. Stasion I memiliki banyak jenis yang lebih besar, selain arealnya yang datar juga substramya yang berpasir dan agak berlumpur. Untuk Satsion I1 dan 111 luas lahan terbatas dan areal di belakang penduduk sudah merupakan hutan bukit. Substrat untuk stasion I1 dan 111juga agak bercampur dengan hancuran batu karang sisa pengambilan karang oleh penduduk dan juga bekas pengambilan galian pasir yang dilakukan oleh perusahaan budidaya mutiara. Dengan sedikitnya lahan hutan mangrove yang ada maka kegiatan penambangan batu karang dan penggalian pasir dihentikan di lokasi tersebut. Hal tersebut perlu mendapat perhatian dari seluruh masyarakat dan pemerintah desa untuk melindun~wilayah pemulaman dan sumberdaya alam yang ada. Pembangunan fisik oleh perusahaan berupa gedung tambahan perlu mencari alternatif lokasi lain
untuk penyediaan bahan bagunan seperti pasir, juga penduduk yang menggunakan batu karang untuk perumahan perlu diganti dengan bahan yang lain. Pada stasion I didominasi oleh spesies
R apiculata dan spesies ini cukup
padat dengan kerapatan relatif 49%, dominasi relatif 59,85% dan frekuensi relatif 35,57% didapat nilai penting tertinggi yaitu 144.42 % dibanding dengan tiga spesies yang yang lain berdasarkan besamya nilai penting yaitu berturut-turut A. marina sebesar 64,29%, B.gymnorrhiza sebesar 47,93% dan B.cylindrica sebesar 43,36%. Dengan demikian pada stasion I P. Kinabuhutm jenis mangrove yang terbesar adalah H. apiculata. Pada stasion 11 nilai penting tertinggi juga R. apiculata yaitu 193.00% berturut-brut R.mucronata sebesar 57,04% dan R stylosa sebesar 49,96%. Sedangkan pada stasion I11 nilai penting dari R. apiculata adalah 123,65% berturutturut R. stylosa sebesar 115,52% dan R. mucronata sebesar 60,83%. Dari hasil juga diketahui bahwa nilai penting pada stasion I sangat dipengaruhi oleh nilai kerapatan relatif seperti pada jenis B. gymnorrhiza yang memiliki nilai kerapatan relatif yang tinggi dibanding dengan B. cylindrica yang lebih memiliki nilai lebih tinggi pada nilai dominasi relatif dan frekuensi relatif . Untuk stasion
II juga kerapatan relatif
dan dominasi relatif yang paling berpengaruh, sedangkan untuk stasion
III yang
sangat berpengaruh adalah nilai dominasi relatif dan kerapatan relatif. Stasion I yang memiliki tingkat keanekaragaman (H') yang tinggi menunjukkan tidak ada yang dominan dan memunglankan untuk bertambahnya spesies yang lain untuk hidup berkembang di daerah tersebut. Dengan nilai kekayaan jenis (R) yang tinggi juga menunjukkan bahwa lebih banyak jenis yang ditemukan. Sedangkan kemerataan jenis Q relatif tinggi. Stasion II memililu keanekaragaman
(H') yang relatif rendah, kekayaan jenis (R) juga relatif rendah dan kemerataan jenis rendah. Stasion 111 juga memiliki kanekaragaman (H') yang rendah, kekayaan jenis
(R) relatif rendah. Untuk stasion I1 dan III dengan keanekaragarnan, kekayaan jenis dan kemerataan yang relatif rendah memungkinkan hanya beberapa spesies yang dapat bertahan hidup tidak ada yang mendominasi. Hal ini tentunya karena luas areal untuk tumbuh pada stasion 11 dan IE lebih sempit dibanding dengan stasion I. Juga karena substrat dari stasion I1 dan III yang kurang terdapai lumpur dan hanya terdiri dari pasir sedikit lurnpur serta hancuran batu karang. Pada daerah ini juga langsung berhadapan dengan gelombang pantai dimana pada musim tertentu tejadi ombak yang besar sehingga sukar untuk berhmbuhnya bakau. Struktur komunitas mangrove Desa Talise pada stasion I yang menjadi ciri utarnanya adalah dominasi dan kerapatan serta rata-rata untuk frekuensi. Untuk stasion I1 struktur komunitasnya dicirikan oleh frekuensi dan rendah untuk kerapatan serta rata-rata untuk variabel lainnya. Sedangkan pada stasion III struktur komunitasnya dicirikan oleh kerapatan relatif, dominasi relatif, frekuensi relatif dan nilai penting, rendah untuk dorninasi dan rata-rata untuk kerapatan dan frekuensi. Ananlisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity and Threat) Hasil kajian lapang dan hasil analisis data menjelaskan tentang potensi dan permasalahan yang ada dalam pemanfaatan hutan mangrove di Desa Talise. Dari analisis kondisi potensi dan permasalahan tersebut, dapat diketahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam pengelolaan hutan mangrove di Desa Talise.
Untuk menentukan strategi pengelolaan yang terbaik, yaitu memberikan bobot yang berkisar antara 0,O
-
1.0. Nilai 0,O berarti tidak penting dan nilai 1,O berarti
sangat penting. Juga diberikan rating untuk masing-masing faktor dengan nilai skala antara 4 sampai 1 yang berarti sangat baik sampai kurang baik. Selanjutnya dikalikan antara nilai bobot dan skala dapat menghasilkan skor.
1.
Kekuatan (Strength) Dalam analisis ini yang menjadi unsur kekuatan adalah : hutan mangrove,
keterkaitan masyarakat, peraturan perundang-undangan, lembaga pengelola a.
Hutan mangrove Ekosistem hutan mangrove yang ada di Desa Talise terdiri dari komposisi
tumbuhan yang meliputi jumlah jenis, distribusi spesies, serta struktur komunitas mangrove yang meliputi zonasi vegetasi mangrove, variabel sttuktur komunitas mangrove, pengukuran diameter dan tinggi pohon, jurnlah anakan dan remaja serta ketebalan mangrove. Hutan mangrove ini terdapat hampir sepanjang pantai Desa Talise dengan luas areal hutan bakau sekitar 62 ha. Hamparan ini merupakan benteng perlindungan bagi kehidupan masyarakat yang berada di belakangnya dan potensi yang ada dapat memberikan manfaat yang besar bagi penduduk setempat. Bobot yang diberikan 0.5 dan rating 4. b.
Peraturan perundang-undangan Salah satu perangkat yang mengatur pengelolaan hutan mangrove sehingga
manfaatnya dapat lestari dari segi fisik, sosial ekonomi dan ekologi yaitu adanya peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan ekosistem mangrove. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengelolaan hutan mangrove
antara lain : Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya, Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Dengan peraturan perundang-undangan ini, memberikan pijakan hukum yang kuat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove. Supaya pelaksanaan peraturan ini berjalan dengan baik maka perlu disosialisasikan pada masyarakat sehingga dapat dipahami dan timbul kesadaran tentang arti pentingnya keberadaan sumberdaya hutan mangrove bagi kehidupan. Bobot yang diberikan 0,4 dan rating 3.
c.
Keterkaitan masyarakat Keberadaan hutan mangrove di Desa Talise mernpunyai arti yang sangat
penting karena selain sebagai pelindung habitat dibelakangnya juga dapat dimanfaatkan pohon dari hutan bakau untuk kayu bakar, bahan bangunan dan lainnya. Pemanfaatan kayu bakar ini sudah berlangsung lama sehingga jumlah terjadi p e n m a n luasan hutan mangrove. Dengan menganggap hutan mangrove sebagai pelindung bagi penduduk dan ekosistem yang lain, menjadikan kekuatan dalam mempertahankan dalam keberadaan hutan mangrove tersebut. Bobot yang diberikan adalah 0,3 dan rating 3. d.
Lembaga pengelola Hutan mangrove di Desa Talise belum dikelola secara kelembagaan seperti
perum perhutani yang mempakan badan usaha milik negara dari Departemen Kehutanan. Sebagai pengelola secara langsung adalah masyarakat dan pemerintah
daerah yang mengawasi. Pemanfaatan hutan mangrove tanpa ada pengelolaan yang baik mengakibatkan tejadinya erosi di P. Kinabuhutan dan sering terjadi banjir bila musim-musim tertentu tiba. Sekarang dengan adanya Program Proyek Pesisir yang menjadi inspirator dan membuat suatu sistem pengelolaan hutan mangrove bersamasama dengan masyarakat desa. Sehingga masyarakat merasakan memiliki sumberdaya hutan mangrove dan harus bertranggung jawab terhadap kelestariannya. Bobot yang diberikan adalah 0,2 dan rating 3. e.
Aksesibilitas Hutan mangrove yang ada di Desa Talise umumnya digunakan oleh orang
desa Talise sendiri karena sangat mudah untuk mencapainya. Untuk mengurangi tingkat pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat hams ada peraturan yang membatasinya. Bobot yang diberikan adalah 0,l dan rating 2. 2.
Kelemahan (Weaknesses) Adapun yang menjadi unsur kelemahan dalarn analisis ini adalah : tingkat
pendidikan yang rendah, kurangnya pemahaman peraturan perundang-undangan. Unsur kelemahan yang sangat penting adalah tingkat pendidikan yang rendah. a.
Tingkat pendidikan masyarakat yang rendah Sebag7an besar masyarakat yang ada di lokasi penelitian hanya memiliki
tingkat penhdikan sekolah dasar (SD). Hal ini menjadi kendala bagi masyarakat dalam memahami pentingnya ekosistem hutan mangrove bagi kehidupan. Sehingga dalam memanfaatkan potensi hutan mangrove tidak memperhatikan pengelolaan yang berkelanjutan yang berakibat pada kerusakan hutan mangrove. Oleh karena itu bobot yang diberikan adalah 0,5 dan rating 4.
b.
Kurangnya pemahaman peraturan perundang-undangan Pengelolaan
hutan
mangrove
dalam
rangka
mencapai
kelestarian
pembangunan, hams berdasarkan peraturan sehingga dapat menghindarkan akibatakibat negatif yang timbul dari kesalahan pengelolaannya. Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan, menyebabkan kerusakan hutan mangrove. Adapun peraturan perundang-undangan tersebut seperti : W RI No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan lingkungan Hidup, UU
RI No.9 Tahun 1985 tentang Perikanan, UU RI No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistem, PP RI No.28 tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan, Instruksi Menteri Pertanian No.l3/lns/Um/7/1975 tentang Pembinaan Hutan Bakau. Untuk itu bobot yang diberikan adalah 0,3 dan rating 3. 3.
Peluang (Opporhmity) Termasuk unsur peluang adalah : pembibitan rakyat, ekowisata dan hutan
mangrove rakyat. Peluang yang sangat penting adalah pembibitan rakyat. a.
Pembibitan rakyat Pemanfaatan hutan mangrove yang tidak terkendali menimbulkan kemsakan
hutan mangrove sehingga perlu diadakan peremajaan kembali. Walaupun lahan hutan mangrove di Desa Talise relatif kecil tapi sangat mempengaruhi bagi kehidupan masyarakat setempat. Pengadaan pembibitan kembali sudah pernah dilakukan oleh Proyek Pesisir, untuk lebih mendukung usaha ralcyat dalam pengadaan bibit. Untuk itulah diberi pemahaman kepada masyarakat akan arti pentingnya hutan mangrove sehingga masyarakat dapat mengadakan bibit tersendiri, dan bobot yang diberikan adalah 0,3 dan rating 3.
b.
Ekowisata Keberadaan sumberdaya pantai yang meliputi hutan mangrove, lamun dan
terumbu karang di Desa Talise dapat dikembangkan menjadi suatu kawasan wisata. Apalagi ditambah dengan hutan tropis beserta satwa asli Sulawesi seperti tarsius, kuse dan monyet sulawesi serta vegetasi hutan yang ditumbuhi pohon jenis lingua, matoa dan kayu hitam. Potensi wisata ini dapat segera dikembangkan dan bobot yang diberikan adalah 0,2 dan rating 3. c.
Hutan mangrove rakyat Hutan mangrove yang ada di Desa Talise masih mempakan hutan mangrove
rakyat yang seluas kurang lebih 62 ha. Semakin berkurangnya hutan mangrove karena banyak ditebang dan digunakan untuk kayu bakar serta bahan bangunan &lam jangka w a h yang lama, perlu untuk dilakukan penanaman pohon bakau. Bobot yang diberikan adalah 0,2 dan rating 2. 4.
Ancaman (Threat) Dalam analisis ini yang termasuk ancaman adalah : penebangan liar,
pengambilan terumbu karangpmboman ikan. Unsur penebangan liar adalah yang terpenting. a.
Penebangan liar Pengambilan hutan mangrove secara tebang liar dilakukan oleh penduduk
setempat dan ada juga dari desa pulau sekitamya. Penebangan ini dimanfaatkan sebagai kayu bakar d m juga bahan bangunan atau untuk bahan pembuatan jaring. Kegatan ini sudah cukup lama berlangsung dan bila dibiarkan terus akan
menyebabkan rusaknya hutan mangrove. Karena itu bobot yang diberikan 0,4 dan rating 4 b.
Pengambilan terumbu karang dan pasir Untuk pengambilan terumbu karang biasanya dilakukan oleh penduduk
setempat untuk membuat bangunan rurnah. Hal ini sudah dilakukan sejak lama dan selain itu juga diambil pasir juga sebagai bahan bangunan. Bobot yang diberikan adalah 0,2 dan rating 2. c.
Pemboman ikan Ancaman terhadap keberadaan hutan mangrove temasuk pembornan ikan
yang dahulu pernah dilakukan oleh penduduk setempat maupun dari luar, sehingga banyak terumbu karang yang rusak terutama yang didepan Stasion II dan 111. Dengan rusaknya terumbu karang maka fimgsi terumbu karang sebagai barrier hagi gelombang akan hilang. Bobot yang diberikan 0,l dan rating 2. Tabel 11. Identifikasi dan pembobotan SWOT
I
Kode
I
Identifikasi
I Bobot
Rating
Skor
Kornentar
Keterangan : Bobot : 0,O (tidak penting
-
- 1,O (sangat penting)
Rating : 1 (buruk) 4 (sangat baik) buntuk kekuatan dan peluang 1 (sangat baik) 4 (buruk) buntuk kelemahan dan ancaman
-
Hasil identifikasi dan pembobotan unsur-unsur SWOT ditabulasi untuk mempermudah pengolahan hasil yang diperoleh. Unsur-unsur yang telah diberi bobot dan nilai dihubungkan keterkaitannya untuk memperoleh beberapa strategi pengelolaannya (SO, ST, WO, WT).
Strategi pengelolaan tersebut dijumlahkan
bobotnya untuk menghasilkan ranking dari tiaptiap strategi pengelolaan. Strategi pengelolaan yang paling tinggi mempakan strategi yang diprioritaskan untuk dilaksanakan. Matrik hasil analisis SWOT secara rinci disajikan dalam Tabel 11. Tabel 12. Matrik hasil analisis SWOT
Kekuatan (Strength) Kelemahan (Weakness)
Peluaug (Opportunit~) S o l = Sl,S2,S3,S5,01,02 S02= S4,03 WO= Wl,W2,01,02,03
Ancaman (Threat) ST = Sl,S2,S3,S4,Tl,T3
WT = Wl,W2,Tl,T2,T3
Dari hasil analisis SWOT diatas, selanjutnya disusun prioritas strategi pengelolaan Tabel 12. Hasil ini mempakan gabungan dari penggunaan unsur-unsur kekuatan kawasan untuk mendapatkan peluang yang ada (SO), penggunaan kekuatan
untuk menghadapi ancarnan (ST), mengurangi kelemahan dengan menggunakan peluang yang ada (WO) dan mengurangi kelemahan untuk menghindari ancarnan yang akan datang (WT) Tabel 13. Ranking prioritas strategi pengelolaan hutan mangrove Desa Talise
Penentuan prioritas strategi pengelolaan yang hams dilaksanakan, dilakukan penjumlahan skor yang berasal dari keterkaitan antara unsur-unsur SWOT yang terdapat dalam suatu altematif pengelolaan. Jumlah skor tersebut untuk menentukan ranking prioritas pengelolaan. Tabel 13 menunjukkan bahwa dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Talise terdapat 5 strategi. Strategi ST menempati ranking nomor 1, artinya strategi ini diprioritaskan pertama kali untuk dilaksanakan dalam pengelolaan hutan mangrove. Ranking strategi pengelolaan yang ada, secara lengkap sebagai berikut :
1.
ST = Menggunakan kekuatan untuk mengurangi ancaman yaitu potensi hutan mangrove yang ada hams dibuat peraturan pengelolaannya, mendirikan lembaga pengelola, sehingga tidak akan tejadi penjarahan dan penebangan
liar yang mengakibatkan kemsakan hutan mangrove yang akan berdampak pada kehidupan masyarakat Desa Talise.
2.
WT
=
Mengurangi kelemahan untuk menghindari ancaman yaitu dengan
memberikan pendidikan lingkungan, pemahaman arti pentingnya lingkungan dan sosialisasi peraturan perundangan diharapkan masyarakat akan dapat mengelola hutan mangrove secara bijaksana.
3.
WO
= Dengan
mengurangi kelemahan dan memanfaatkan peluang yang ada
yaitu apabila kelemahan-kelemahan yang ada di atas dapat diatasi maka peluang untuk mengadakan pembibitan rakyat, pengembangan ekowisata dan perlindungan hutan rakyat dapat terlaksana.
4.
SO1
=
Dengan menggunakan kekuatan seperti potensi hutan mangrove,
adanya peraturan atau hukum dan sarana transportasi lancar maka dapat dikembangkan usaha pembibitan rakyat dan ekowisata. 5.
SO2
=
Adanya lembaga pengelola diharapkan hutan mangrove yang masih
dianggap hutan rakyat dapat dikelola secara berkelanjutan. Dari analisis SWOT yang dilakukan, maka dapat dilihat altematif strategi yang dapat dijadikan acuan dalam pengelolaan hutan mangrove di Desa Talise. Adapun strategi-strategi tersebut antara lain : 1.
Membuat suatu peraturan perundangan dalam pengelolaan hutan mangrove serta mendirikan suatu lembaga pengelola.
2.
Memberikan pemahaman mengenai pendidikan lingkungan hidup dan mensosialisasikan peraturan perundangan dalam mengelola hutan mangrove.
3.
Pengembangan usaha pembibitan rakyat.
4.
Pengembangan usaha ekowisata
5.
Pengeloalan hutan rakyat secara berkelanjutan
Pengelolaan Hutan Mangrove di Desa Talise Pemanfaatan sumberdaya pesisir seperti hutan mangrove haruslah dilakukan dengan memperhatikan keberlanjutan dari sumberdaya tersebut. Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehdupan di wilayah pesisir. Selain berfungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, penahan abrasi, penyerap limbah, mencegah interusi air laut, juga memiliki nilai ekonomi seperti penyedia kayu, dam-daunan sebagai bahan baku obat-obat dan lain-lain. Hutan mangrove di Desa Talise dengan luas kurang Iebih 62 hektar telah mengalami pemanfaatan yang melebihi kapasitas produksi. Penggunaan hutan mangrove untuk pembuatan bahan bangunan, pagar, kayu bakar, bahan tarnbahan pembuatan jaring tanpa disadari oleh masyarakat telah membuka peluang terjadinya erosi pantai. Hal ini dirasakan oleh masyarakat P. Kinabuhutan yang pada saat musim gelombang air pantai dapat menyusuri sampai daerah pemukiman. Selain itu di daerah sekitar mangrove sukar untuk ditemukan jenis ikan clan kepiting yang pemah didapat oleh nelayan pada waktu sebelumnya. Di wilayah Dusun I dan Dusun II Desa Talise areal pesisimya sudah mengalami erosi karena pengambilan pasir pantai dan tipisnya mangrove yang ada. Pengambilan pasir ini untuk digunakan sebagai bahan bangunan juga pengambilan batu karang telah terjadi di areal tersebut. Kegiatan ini hkhawatirkan akan berakibat pada berkurangnya luas daratan seperti yang terjadi di Dusun III P. Kinabuhutan.
(Macacu nigra), kus-kus beruang (Strigocuscus celebensis), tarsius (Tarsius spectrum) dan kuse (Ailurops ursinus). Sedangkan vegetasi hutan banyak ditumbuhi pohon dengan jenis linggua (Ptercarpus indicus), rnatoa (Pometiopinnata) dan kayu hitam (Diospyros sp). Selain mempunyai hutan tropis juga terdapat perkebunan kelapa bekas peninggalan miiik Belanda, tetapi sekarang statusnya sudah diserahkan ke pemerintah daerah menyebabkan orang dengan bebas menangkap satwa yang ada dan menebang hutan. Bahkan saat sekarang lahan bekas perkebunan kelapa banyak ditanami tanaman pertanian seperti ketela, pisang dan bahan rempah untuk memasak. Untuk lahan perikanan sangat berpotensi karena pada musim-rnusim tertentu banyak ditemukan jenis ikan pelagis seperti mai-mai (Ancltovy) dan julung-julung (Hemirhampus sp). Daerah sekitar pernukiman penduduk pemah dilakukan budidaya rumput laut tetapi mengalami kegagalan dalam pemanenan karena terserang hama dan penyakit sehingga sampai sekarang untuk usaha budidaya rurnput laut tidak pemah dilakukan. Nelayan Desa Talise juga sering menangkap ikan napoleon,untuk nama lokal 'rnaming', yang dianggap bemilai rnahal meskipun mereka mengetahui kegiatan menangkap ikan ini dilarang. Selain jenis ikan tersebut, juga merniliki surnberdaya terumbu karang yang dapat dikatakan masih baik. Untuk daerah yang terletak di depan P. Kinabuhutan tutupan karang hidupnya masih mencapai 82.52% sedangkan yang berada di depan pemukiman untuk Dusun 1dan Dusun I1 (Kp. Talise dan Kp. Tambun) berturut-tumt tutupan karang hidupnya sebesar 43.75% dan 81.18%. Keadaan ini dapat menjadikan daerah tersebut sebagai areal untuk penyelaman (diving).
Dengan potensi surnberdaya yang ada, Desa Talise mampu untuk mengembangkan secara optimal menjadi kawasan wisata alam, baik untuk wisata bahari ataupun wisata hutan. Keterpaduan pengembangan sumberdaya yang ada ditujukan untuk memberikan peningkatan pendapatan tanpa merusak ekosistem sumberdaya yang ada. Terciptanya beragam aktivitas oleh pengembangan kawasan menjadi areal wisata alam akan membuat masyarakat turut menjaga kelestarian sumberdaya alam yang ada.