1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Desa Nggela merupakan salah satu desa yang ada di Kabupaten Ende Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Tepatnya Desa Nggela berada di wilayah Kecamatan Wolojita dengan jumlah penduduk sesuai perhitungan di tahun 2011 berjumlah 1120 jiwa (BPS Kabupaten Ende, 2012: 5). Desa ini memiliki permukiman adat yang hanya dihuni oleh orang-orang yang memiliki posisi dan peran yang penting bagi kehidupan masyarakat Nggela. Pada dasarnya bentuk permukiman adat Desa Nggela ini berbentuk linear (Wora, 2008a : viii). Bentuk linear yang biasanya berbentuk sebuah garis lurus, namun yang terjadi di Desa Nggela adalah berupa lengkungan. Namun hal ini bukan yang menjadi fokus dari penelitian ini, tapi penelitian lebih mengarah pada struktur organisasi masyarakat, tata zonasi pada permukiman adatnya, peranan dan hubungan antara kedua aspek ini dalam permukiman adat di Desa Nggela. Dalam pembangunan rumah adat dan perkampungan tradisional pada umumnya di Kabupaten Ende, pola pemukimannya ditata secara memusat. Sedangkan bentuk rumahnya mengikuti filosofi bentuk perahu (Mochsen, 2003: 8). Letak pola permukiman adat selalu dilihat dalam hubungan dengan tempat asal manusia pertama Suku Ende-Lio yaitu gunung Lepembusu. Berdasarkan pertimbangan inilah ujung permukiman adat Suku Ende-Lio selalu mengarah ke gunung Lepembusu dan arah berlawanan mengarah ke daerah paling rendah yaitu lautan.
2
Sesuai pertimbangan kosmologis yang mempertahankan keseimbangan antara dua titik ekstrim, kaitannya dalam permukiman yaitu ulu (kepala) dan eko (hilir). Diantara keduanya terdapat puse (pusat). Ulu dihubungkan dengan matahari terbit atau ke arah gunung Lepembusu sedangkan eko ke arah matahari terbenam atau berlawanan dengan gunung tempat asal-usul nenek moyang Suku Ende (Mbete dkk, 2008: 131). Seperti yang diungkapkan Dewi bahwa orientasi dibutuhkan oleh manusia sebagai pengkiblatan diri, dan simetri memberi makna keseimbangan hubungan manusia yang paling hakiki sebagai sikap yang mengagungkan sesuatu (Dewi, 2003: 29). Permukiman adat Desa Nggela terdapat Mosalaki-Mosalaki yang berjumlah 16 orang dengan 14 rumah adat. Namun dalam wilayah permukiman adat ini terdapat juga rumah-rumah adat yang merupakan rumah adat pendukung dari rumah adat inti yang biasanya merupakan keturunannya. Ke-16 Mosalaki ini merupakan pemimpin-pemimpin adat di Desa Nggela sehingga tempat tinggal mereka berada terpisah dari penduduk biasa. Lokasi perumahan bagi para Mosalaki ini berada di tengah Desa sebagai wilayah pertama yang dihuni oleh nenek moyang mereka dan akhirnya berkembang menjadi sebuah Desa. Hal ini seperti yang dikatakan Asy’ari bahwa penghormatan kepada garis keturunan, nenek moyang pertama menata pandangan orang tentang masa lalu sebagai proton atau pola bertingkah laku (Asy’ari, 1990: 100). Dalam hidup bermasyarakat dalam suatu desa pada umumnya terintegrasi secara fungsional dengan mendasarkan diri pada prinsip tujuan khusus (dalam konteks ini desa persawahan dan perkebunan). Hal ini akan nampak adanya kekuasaan tertentu
3
yang menata tingkah laku masyarakat berdasarkan nilai keahlian dan keterampilan khusus. Berdasarkan akan prinsip ini, maka tertanam juga sikap menghargai atasan dan rasa ketergantungan kepada atasan atau pimpinan tampak sebagai sumber nilai yang menentukan pola tingkah laku dan merupakan nilai pedoman yang harus ditaati (Asy’ari, 1990: 100-101). Menurut Robert untuk memahami suatu struktur pemukiman suatu desa perlu adanya tiga langkah yaitu: permukiman sebagai refleksi fisik organisasi ruang sesuai dengan sejarah, zona sosial-ekonomi serta perkembangannya, dan yang terakhir akan memperoleh klasifikasi sistem permukiman secara global (Robert, 1996: 146). Dalam melihat struktur organisasi dan tata zonasi permukiman adat di Desa Nggela tentunya sejarah merupakan hal yang perlu ditelusuri sebagai cikal bakal terbentuknya Desa Nggela. Dalam permukiman adat ini terdapat pembagian kelompok-kelompok zona atau adanya pembagian wilayah. Hal inilah yang menarik untuk diteliti dengan adanya kelompok-kelompok zona ini dan mencari latar belakang adanya pengelompokkan ini, pola yang terbentuk, dan pengaruhnya pada ruang luar. Menurut Baja, fungsi dari zonasi membantu pengguna/pengambil keputusan ruang untuk dapat mengidentifikasi dan mengenal perbedaan yang ada dalam suatu ruang wilayah/kawasan (Baja, 2012: 85). Sudikno mengatakan bahwa secara makro, pola permukiman dipengaruhi oleh orientasi bangunan yang mengahadap ke jalan utama desa dan berorientasi Utara-Selatan; serta tata letak bangunan yang berkaitan dengan sistem kekerabatan. Di dalam pola permukiman tradisional, dapat ditemukan pola atau
4
tatanan yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat kesakralannya atau nilai-nilai adat dari suatu tempat tertentu. Hal tersebut memiliki pengaruh cukup besar dalam pembentukan suatu lingkungan hunian atau permukiman adat (Sudikno, 2011: 95). Permukiman adat Desa Nggela sebagai lokasi penelitian ini hanya dihuni oleh orang-orang dengan kedudukan dan peran yang penting dalam masyarakat atau biasa disebut dengan Mosalaki. Hal ini berkaitan dengan sejarah dan budaya yang ada dalam masyarakat Nggela yang sudah diturunkan dari jaman nenek moyang dan masih dipertahankan sampai sekarang. Seperti yang dikatakan oleh Snyder dan Catanese bahwa dalam masyarakat tradisional yang khususnya pada mula terbentuknya suatu hunian, penataannya sering didasarkan pada hal yang suci, karena religi dan ritual menjadi pusat (walaupun bagian-bagian lain memiliki peranan yang penting juga), sehingga tempat tinggal atupun permukiman yang terbentuk dapat menunjukan suatu makna yang berarti (Snyder dan Catanese, 1984: 18). Dalam melihat pola permukiman adat di Desa Nggela dan juga tata zonasinya tentunya didasari oleh budaya setempat. Menurut Koentjaraningrat budaya terdiri dari tujuh unsur yaitu: bahasa, sistem pengetahuan, sistem organisasi, peralatan hidup dan teknologi, mata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian (Koentjaraningrat, 2009: 165). Namun yang dilihat dalam permukiman adat ini hanya struktur organisasi yang lebih khususnya pada kedudukan dan peran dari tiap Mosalaki (pimpinan adat) dalam permukiman adat ini. Selain
kedudukan dan peran dari Mosalaki-Mosalaki ini untuk lebih
5
memperkuat kedudukan masing-masing Mosalaki ini hal lain yang dilihat adalah hubungannya pada tata zonasi dalam permukiman adat di Desa Nggela. Dalam sumber yang sama Koentjaraningrat mengatakan bahwa setiap kehidupan masyarakat diorganisasikan atau diatur oleh adatistiadat dan aturanaturan/ norma-norma mengenai berbagai macam kesatuan di dalam lingkungan tempat individu hidup dan bergaul dan dalam masyarakat desa terbagi dalam lapisan-lapisan, maka tiap orang di luar kaum kerabatnya menghadapi lingkungan orang-orang yang lebih tinggi dari padanya dan yang sama tingkatnya (Koentjaraningrat, 2009: 285). Sedangkan Sanderson mengatakan bahwa sistem organisasi berkenaan dengan adanya dua atau lebih kelompok-kelompok bertingkat dalam satu masyarakat tertentu, yang anggota-anggotanya mempunyai kekuasaan, hak-hak istimewa, dan prestise yang tidak sama pula (Sanderson, 2010: 146). Permukiman adat Desa Nggela ini perlu di pertahankan dan dijaga keasliannya karena merupakan suatu wujud kebudayaan dari masyarakat setempat dan juga sebagai identitas ataupun ciri khas daerah. Perlunya penelitian dilakukan agar dapat menemukan konsep dasar dari permukiman adat, sehingga dalam perkembangannya dengan adanya kemajuan teknologi tidak akan mengalami perubahan. Selain itu dengan adanya penelitian ini dapat memperkaya pengetahuan mengenai permukiman tradisional yang ada di Indonesia. Namun yang menjadi salah satu kendala adalah tidak semua masyarakat Nggela memiliki kesadaran akan pentingnya mempertahankan budaya lokal yang menjadi identitas masyarakatnya.
6
1.2 Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang penelitian yang sudah diuraikan, maka rumusan masalah dapat dirumuskan sebagai berikut: 1.
Bagaimanakah struktur organisasi masyarakat dan tata zonasi permukiman adat di Desa Nggela?
2.
Bagaimanakah peranan dari struktur organisasi masyarakat dan tata zonasi terhadap permukiman adat di Desa Nggela?
3.
Adakah hubungan antara struktur organisasi dan tata zonasi masyarakat permukiman di adat di Desa Nggela?
1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami mengenai permukiman adat di Desa Nggela.
1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus yang ingin dicapai adalah: 1.
Mengetahui struktur organisasi masyarakat dan tata zonasi permukiman adat di Desa Nggela.
2.
Mengetahui peranan dari struktur organisasi masyarakat dan tata zonasi terhadap permukiman adat di Desa Nggela.
3.
Mengetahui hubungan antara tata zonasi dan struktur organisasi masyarakat permukiman adat di Desa Nggela.
7
1.4 Manfaat Hasil akhir dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis dan manfaat teoritis, manfaat penelitian adalah sebagai berikut. 1.4.1 Manfaat Praktis (manfaat untuk pembaca) 1.
Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat setempat untuk lebih memahami ciri khas kedaerahan dan memiliki kesadaran untuk tetap mempertahankannya
agar
tidak
hilang
dan
terpengaruh
dengan
perkembangan jaman. 2.
Manfaat lain dari penelitian ini diharapkan agar penelitian ini dapat mendukung ke arah penelitian lain dalam menemukan hal-hal baru dalam permukiman adat di Desa Nggela yang bisa dilihat dari beberapa aspek.
3.
Penelitian ini diharapkan bisa menjadi pedoman bagi pemerintah setempat untuk dapat lebih memperhatikan dan melindungi kampung-kampung adat yang masih ada di Kabupaten Ende.
1.4.2 Manfaat Teoritis Secara akademis, diharapkan penelitian ini dapat menambah data-data mengenai hubungan antara ilmu arsitektur khususnya mengenai permukiman tradisional yang dapat dijadikan referensi, khususnya sebagai studi kasus terhadap tata zonasi dan struktur organisasi dalam permukiman adat di Desa Nggela yang tentunya dapat memperkaya pengetahuan dan referensi mengenai permukiman tradisional yang ada di Indonesia.
8
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
Dalam bab ini terdiri dari kajian pustaka yang berisi tentang penelitianpenelitian sebelumnya yang sesuai dengan topik penelitian yang akan dilakukan. Kedua adalah konsep yang merupakan batasan-batasan teknis berdasarkan judul dan masalah penelitian. Ketiga, berupa landasan teori yang merupakan teori-teori yang digunakan untuk memecahkan rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini. Terakhir adalah model penelitian yang menjelaskan mengenai abstraksi dan sintesis antara teori dan permasalahan penelitian yang digambarkan dalam bentuk gambar (bagan).
2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka berfungsi untuk mengetahui sejarah masalah penelitian, membantu memilih prosedur penyelesaiaan masalah penelitian, memahami latar belakang teori masalah penelitian, mengetahui manfaat penelitian sebelumnya, menghindari terjadinya duplikasi penelitian, dan memberikan pembenaran alasan pemilihan masalah penelitian. Adapun beberapa penelitian sebelumnya yang terkait adalah sebagai berikut:
9
2.1.1 Penelitian
struktur
organisasi
masyarakat
dalam
permukiman
tradisional Retno Hastijanti (2005) dalam jurnal dimensi teknik arsitektur yang berjudul “Pengaruh Ritual Carok terhadap permukiman Tradisional Madura” mengatakan bahwa, ritual Carok merupakan institusionalisasi kekerasan dalam masyarakat Madura dimana para pelaku carok mengekspresikan budi bahasa, oleh karena mereka lebih mengedepankan perilaku-perilaku agresif secara fisik untuk menghilangkan nyawa orang-orang yang dianggap musuh. Carok, juga dipandang sebagai alat untuk meraih posisi atau status sosial yang lebih tinggi perasaan terhina sebagai akibat dari perlakuan orang lain yang mengingkari atau tidak mengakui kapasitas dirinya atau pelecehan harga diri, sebagai orang jago (menang dalam Carok) dalam lingkungan komunitas mereka atau dalam lingkungan dunia blater (Seseorang yang perilakunya selalu cenderung mengarah ke tindakan kriminalitas, seperti berjudi, mabuk-mabukan, dan main perempuan). Dengan demikian, Carok dipandang sebagai suatu alat untuk memperoleh kekuasaan. Carok juga dipandang sebagai alat untuk mengkomunikasikan simbol-simbol tentang sikap dan perilaku kekerasan pada lingkungan kerabat dan lingkungan sosialnya. Purbadi (2010) dalam disertasinya yang berjudul, “Tata Suku Dan Tata Spasial Pada Arsitektur Permukiman Suku Dawan Di Desa Kaenbaun Di Pulau Timor” mengatakan bahwa, tata suku di Kaenbaun mengandung tujuh elemen kunci yaitu (1) ada kedudukan yang tetap dan abadi dari setiap suku (Suku Basan sebagai suku Raja, dan suku lain sebagai suku penopang); (2) ada tugas abadi
10
yang diemban oleh setiap suku; (3) warga Kaenbaun terdiri atas suku laki-laki (Basan, Timo, Taus dan Foni) dan suku perempuan (Nel, Salu, Sait dan Kaba); (4) suku perempuan memiliki kedudukan sejajar dengan suku laki-laki; (5) suku perempuan mendapat perlindungan dari suku-suku laki-laki, (6) semua suku memiliki ”otonomi adat” untuk melaksanakan tradisi masing-masing suku, dan (7) ada upacara adat bersama yang sangat penting yaitu ”upacara adat siklus pertanian” yang berpusat di umesuku Basan dan berorientasi ke Bnoko Kaenbaun sebagai tempat suci desa Kaenbaun. Moh. Ali Topan (2005) dalam jurnal penelitian dan karya ilmiah Lemlit, Universitas Trisakti yang berjudul, “Morfologi Arsitektur Sumba”. Topan mengatakan bahwa masyarakat Sumba terdiri dari beberapa suku, dimana masing-masing suku mempunyai beberapa kelompok kekerabatan lagi yang disebut kabisu. Masing-masing dapat berdiri sendiri ataupun melakukan penggabungan sehingga dalam satu kampung adat dapat terdiri dari satu kabisu atau lebih yang dapat dilihat dari adanya jumlah natar atau halaman tengah dalam satu permukiman atau kampung adat. Secara sosial masyarakat Sumba terdiri dari 3 golongan strata sosial yaitu Maramba (golongan bangsawan), Kabisu (golongan menengah), dan Ata (golongan rendah). Pembentukan strata sosial ini disebabkan oleh adanya proses perkembangan suku menjadi kabisu-kabisu yang lebih kecil. Sehingga salah satu faktor perwujudan permukiman ataupun rumah di Sumba adalah struktur sosial dalam masyarakat. Dari ketiga kajian pustaka di atas dapat diambil beberapa aspek yang berkaitan dengan struktur organisasi dalam masyarakat tradisional. Struktur
11
organisasi berkaitan pada adanya status sosial masyarakat, kedudukan, dan tugas dalam masyarakat. Dalam memperolehnya di tiap daerah memiliki cara dan budaya masing-masing. Ada yang memperolehnya dengan cara kekerasan, dan ada yang diperoleh sesuai garis keturunan. Selian itu sifat dari struktur organisasi adalah memiliki kedudukan yang tetap dan abadi dalam status maupun tugas dan peran masing-masing anggotanya.
2.1.2 Penelitian mengenai tata zonasi dalam permukiman tradisional Tulistyantoro (2005) dalam jurnal dimensi interior dengan judul,”Makna Ruang Pada Tanean Lanjang Di Madura” mengatakan bahwa dalam primordial masyarakat ladang makna Utara-Selatan adalah perempuan dan laki-laki. Artinya Utara adalah tempat perempuan yang bermakna surgawi atau rohani, dunia atas yaitu yang abadi, gelap, terbatasi, tertutup, basah. Selatan bermakna duniawi, dunia bawah yang sekarang terang, terbuka, kering dan bebas. Hal ini disebabkan oleh masyarakat Madura yang dikelompokan kepada masyarakat yang sebenarnya mengikuti pola garis keturunan ibu, atau mengikuti paham matrilineal. Dwijendra (2003) dalam jurnal permukiman yang berjudul ”Perumahan dan permukiman tradisional Bali”, mengatakan bahwa perumahan Permukiman Tradisional Bali merupakan suatu tempat kehidupan yang utuh dan bulat yang berpola tradisional yang terdiri dari 3 unsur, yaitu: unsur kahyangan tiga (pura desa), unsur krama desa (warga), dan karang desa (wilayah) dengan latar belakang norma-norma dan nilai-nilai tradisional yang melandasinya. Budaya tradisional Bali yang dilandasi agama Hindu, dalam kehidupan sehari-hari yang
12
berhubungan dengan Tatwa, Susila, dan Upacara untuk mecapai tujuan (Dharma), yaitu “Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma”, dimana harus tercapai hubungan yang harmonis antara alam semesta yang merupakan Bhuana agung (makro kosmos) dengan manusia sebagai Bhuana alit (Mikro kosmos). Dalam hal ini, perumahan (Bhuana agung) sedangkan manusia (Bhuana alit) yang mendirikan dan menempati wadah tersebut. Hubungan antara Bhuana agung dengan Bhuana alit yang harmonis dapat tercapai melalui unsur-unsur kehidupan yang sama yatu “ Tri Hita Karana”. Penerapan konsepsi-konsepsi perumahan tradisional Bali sesuai dengan konsep Tri Pramana (Desa, Kala, Patra) yang menjadi landasan taktis operasional, mewujudkan pola perumahan yang bervariasi di Bali, namun dapat diidentifikasi tiga atribut antara lain: aspek sosial yang menyangkut sistem kemasyarakatan yang dikenal desa/banjar (adat), yang memiliki ciri-ciri, seperti: adanya legitimasi dan atribut desa adat atau banjar. Aspek simbolik yang berkenaan dengan orientasi kosmologis antara lain orientasi arah sakral (kajakangin) dan Sanga Mandala atau Tri Mandala. Aspek Morfologis yang secara morfologis kegiatan-kegiatan dalam perumahan tradisional dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu: inti (fasilitas banjar/pura), terbangun (perumahan) dan pinggiran (belum terbangun). Purbadi (2010) dalam disertasinya yang berjudul, “Tata Suku Dan Tata Spasial Pada Arsitektur Permukiman Suku Dawan Di Desa Kaenbaun Di Pulau Timor” mengatakan bahwa, Di desa Kaenbaun terdapat rumah adat yaitu tempat suci untuk mengadakan upacara adat. Ada lima buah rumah adat yaitu untuk
13
empat suku pendiri desa (Basan, Timo, Taus dan Foni) dan satu rumah adat untuk suku perempuan (lian feto) (direpresentasikan pada rumah adat suku Nel). Kelima rumah adat suku di Kaenbaun tersebut terletak berdekatan dan di area pusat permukiman, sehingga sapat dikatakan merupakan ”pusat lingkungan” yang bernilai tradisi lokal. Dari analisis induktif-kualitatif yang telah dilakukan, diperoleh enam konsep yang mendasari tata spasial pada arsitektur permukiman Kaenbaun yaitu (1) konsep pertahanan diri; (2) konsep persaudaraan etnis; (3) konsep ketaatan tradisi; (4) konsep spiritualitas tradisional; (5) konsep adaptasi budaya; dan (6) konsep menyatu dengan alam. Enam konsep tersebut muncul dari induksi dan abstraksi atas data pengalaman empiris yang telah dikumpulkan. Atas dasar pengamatan lapangan, maka dapat dikatakan bahwa enam konsep tersebut sungguh berperan penting dalam kehidupan orang Kaenbaun dan terungkap pada tata spasial permukiman. Enam konsep tersebut berada dalam keadaan latent atau tersembunyi dan mengendap dalam pikiran orang Kaenbaun serta berperan aktif dalam menentukan perilaku sehari-hari. Putra B. A. (2006) dalam tesisnya berjudul “Pola Permukiman Melayu Jambi (studi kasus kawasan Tanjung Pasir Sekoja)” mengatakan bahwa, Karakter pola permukiman Melayu Jambi di kawasan Tanjung Pasir Sekoja pada dasarnya berbentuk linier karena pengaruh unsur alami yang dominan yaitu sungai Batanghari. Sungai Batanghari sangat berperan dalam membentuk orientasi permukiman karena bagi masyarakat Melayu khususnya pada wilayah Tanjung Pasir Sekoja. Pada wilayah darat, dijumpai pola permukiman yang berbentuk
14
menyebar dan mengelompok. Pola lahan permukiman yang terbentuk terbagi menjadi dua, yaitu pola lahan permukiman pinggiran sungai membentuk pola linier dan pola lahan permukiman pada kawasan darat berbentuk grid yang orientasi permukimannya cenderung mengarah pada jalan lingkungan. Dari keempat kajian pustaka di atas dapat disimpulkan bahwa pola permukiman tradisional pada umumnya didasari oleh aspek budaya setempat, kepercayaan, kosmologi, dan juga kondisi alam untuk menentukan filosofi suatu permukiman. Dari aspek-aspek tersebut berpengaruh pada tata zonasi permukimannya. Misalnya pada daerah Bali terdapat pengelompokkan wilayah secara morfologi
kegiatan-kegiatan dalam
perumahan tradisional dapat
dikelompokan menjadi tiga yaitu: inti (fasilitas banjar/pura), terbangun (perumahan) dan pinggiran (belum terbangun). Sedangkan di wilayah Tanjung Pasir Sekoja pengelompokkan wilayah berdasarkan kondisi alam yang mengikuti aliran sungai Batanghari. Selain itu pengelompokkan wilayah juga berdasarkan pada sejarah, yaitu adanya pusat permukiman yang terdiri dari rumah-rumah adat sebagai perwakilan tiap suku pendiri desa dan juga permukiman untuk penduduk biasa.
2.1.3
Penelitian mengenai peranan struktur organisasi masyarakat dan tata zonasi terhadap permukiman tradisional
Adhiya Harisanti Fitriya, Antariksa, dan Nindya Sari (2010) dalam jurnal tata kota dan daerah yang berjudul “Pelestarian Pola permukiman di Desa Adat Bayan-Lombok Utara” yang mengidentifikasi karakteristik pola permukiman.
15
Dalam penelitian mereka menemukan bahwa pola permukiman yang terbentuk dari struktur organisasi masyarakatnnya adalah pola memusat dan mengelompok. Adanya hukum adat (awig-awig adat Bayan) yang mengatur pembentukan pola perumahan sebagai bagian dari pola bermukim masyarakat. Selain itu terdapat pembagian ruang dalam lingkungan tempat tinggal, dan terbentuknya pola ruang berdasarkan kegiatan adat yang masih dilaksanakan masyarakat Desa Adat Bayan. Selain itu Kepercayaan masyarakat terhadap susunan letak rumah dalam satu rumpun keluarga berdasarkan senioritas terus diturunkan kepada anak cucu mereka. Hal ini didukung dengan keyakinan masyarakat Bayan akan adanya sangsi jika tidak mengikuti aturan adat ini. Sanksi yang dipercaya adalah keluarga yang melanggar akan terkena musibah penyakit. Selain itu juga, aturan ini bertujuan untuk memudahkan dalam melihat silsilah keturunan dalam kelompok keluargatersebut. Dari penetilian Fitriya dkk peranan struktur organisasi masyarakatnya berpengaruh pada pola permukiman dan perumahan di Desa Bayan dengan adanya pembagian ruang berdasarkan kegiatan adat. Selain adanya nilai kepercayaan dalam pola permukimannya, terdapat nilai fungsional dimana ruang yang terbentuk untuk mewadahi kegiatan adat yang dilakukan di Desa Bayan. Fathony dkk (2012) dalam jurnal temu ilmiah IPLBI yang berjudul, “ Konsep Spasial Permukiman Suku Madura di Gunung Buring Malang (studi kasus Desa Ngigit)” mengatakan bahwa terdapat pembagian wilayah dalam permukiman sesuai dengan strata sosial. Barat mengandung strata lebih tua semakin ke Timur
16
merupakan strata lebih muda. Jika kearah Timur lahan tidak cukup, maka rumah tinggal generasi anak dan cucu dapat berpindah di Selatan menghadap rumah induk diawali anak atau cucu tertua dan selanjutnya kearah Timur yang lebih muda. Orientasi kearah Selatan merupakan orientasi yang paling kuat karena mengandung nilai kepercayaan yang dianut. Orientasi kearah Timur merupakan pantangan karena membelakangi arah sholat ke Qiblat atau Barat. Dari penelitian yang dilakukan oleh Fathony dkk, dapat disimpulkan bahwa peranan dari adanya pembagian wilayah berdasarkan strata sosial dan kosmologi. Hal ini dipengaruhi oleh adanya nilai kepercayaan yang dianut oleh masyarakatnya yang beroriantasi pada arah Barat yang merupakan arah Qiblat bagi umat Islam.
2.1.4
Penelitian mengenai hubungan struktur organisasi masyarakat dalam permukiman tradisional Ibnu Sasongko (2006) dalam disertasi yang berjudul “Pembentukan Struktur
Ruang Permukiman Berbasis Budaya (Studi Kasus: Desa Puyung - Lombok Tengah)”. Dalam jurnal ini Sasongko menyatakan bahwa masyarakat Sasak di Pulau
Lombok
sangat
terkait
dengan
budaya
dalam
menata
ruang
permukimannya, ataupun pada ritual daur hidup dan berbagai acara keagamaan. Perkampungan merupakan satuan permukiman bentuknya memanjang dari arah Utara ke Selatan. Letak perkampungan diatur berdasarkan fungsi kerabat penghuninya di dalam kehidupan bermasyarakat. Perumahan dalam suatu perkampungan ditata sedemikian rupa, sehingga urutan strata penghuninya di
17
dalam kekerabatannya akan tercermin dengan jelas. Rumah tempat tinggal paling Utara mempunyai strata sosial yang tertinggi sedangkan yang paling Selatan mempunyai strata sosial sebaliknya. Peran senioritas dalam keluarga juga nampak, yakni orang tua ditempatkan pada bagian atas atau Utara, sedangkan anak di bawah atau sampingnya. Retno Hastijanti (2005) dalam jurnal dimensi teknik arsitektur yang berjudul “Pengaruh Ritual Carok terhadap permukiman Tradisional Madura” dimana pola permukiman yang terjadi dipengaruhi oleh tradisi Carok pada masyarakat Madura, sehingga pola perkampungan yang terbentuk dilatarbelakangi oleh tradisi ini. Metode yang digunakan adalah metode analisis wacana. Pola permukiman di Madura dalam penelitian Hastijanti dikatakan dipengaruhi ritual Carok. Adanya ritual Carok ini sangat mempengaruhi pola permukimannya, sehingga permukiman penduduk yang satu dengan yang lainya terisolasi dengan jarak antara kampung bisa sampai 2 km dan yang menghubungkan antar kampung ini hanya jalan setapak. Pola permukiman penduduknya berpusat pada halaman tengah dan rumahrumah penduduk mengelilinginya sebagai pembatas. Halaman tengah ini digunakan untuk ritual Carok. Sehingga terdapat batas ruang yang berlapis-lapis pada pola permukiman ini yaitu: lapis pertama adalah bangunan-bangunan rumah tinggal – musholla – dapur; lapis kedua adalah bangunan-bangunan kandang – halaman belakang rumah; lapis ketiga adalah pagar pembatas (biasanya berupa tanaman/pagar hidup).
18
Dari kedua kajian pustaka di atas, dapat dilihat pengaruh struktur organisasi masyarakat dalam suatu pola permukiman. Beberapa aspek ini berkaitan dengan adanya aktifitas baik dalam kehidupan sehari-hari, maupun dalam aktifitas secara adat. Pengaruhnya struktur organisasi dalam pola permukiman adat dapat dilihat dari elemen-elemen yang terbentuk, misalnya adanya pagar pembatas sebagai batas wilayah dan juga untuk keamanan dan pembagian rumah penduduk sesuai dengan status sosial dalam masyarakat.
2.1.5
Penelitian mengenai Desa Nggela Kajian pustaka yang dijelaskan di atas merupakan kajian pustaka yang
berhubungan dengan zona dalam permukiman adat struktur organisasi masyarakat. Sedangkan kajian pustaka yang berhubungan dengan kampung Nggela yaitu penelitian penelitian yang dilakukan Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Denpasar dimana fokus dari penelitian ini adalah mengkaji kenyamanan termal saja pada salah satu rumah adat yang ada di pemukiman adat Nggela. Dari penelitian-penelitian yang terkait ini dapat disimpulkan bahwa terbentuknya zona dalam pola permukiman dapat dilihat dari lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat, aspek budaya setempat, kepercayaan, kosmologi, dan juga kondisi alam untuk menentukan filosofi suatu permukiman. Sedangkan struktur organisasi dalam masyarakat dilatarbelakangi oleh sejarah awal mula dari pemukimanya, senioritas, status sosial dalam masyarakat dan juga posisi perempuan dalam masyarakatnya. Hal ini dapat dilihat dalam Tabel 2.1.
19
Tabel 2.1. Kajian Pustaka Rumusan masalah Bentuk struktur organisasi masyarakat dan tata zonasi permukiman adat.
Aspek dalam permukiman Struktur organisasi
Tata zonasi
Peranan struktur organisasi masyarakat dan tata zonasi permukiman adat.
Struktur organisasi
Hubungan antara struktur organisasi masyarakat dan tata zonasi permukiman adat.
Struktur organisasi Tata zonasi
Tata zonasi
Pertimbangan Adanya status sosial masyarakat, kedudukan, dan tugas dalam masyarakat yang bersifat tetap dan abadi. Adanya kepercayaan, kosmologi, dan juga kondisi alam untuk menentukan filosofi suatu permukiman. Adanya nilai kepercayaan dan fungsional yang berperan dalam permukiman. Adanya nilai kepercayaan berperan dalam permukiman. Adanya kegiatan adat masyarakat yang terstruktur membentuk ruang dan elemen-elemen dalm .permukiman
(Analisis penulis, 2013)
Posisi penelitian ini adalah lebih mengarah pada adanya zona-zona dalam permukiman adat di Desa Nggela serta struktur organisasi dalam masyarakat sehingga menjadi suatu sistem tetap yang berlaku dalam masyarakat. Dalam melihat kedua hal diatas perlu adanya penelusuran pada sejarah dari permukiman adat ini dan juga kedudukan serta peran para Mosalaki dalam zona-zona tersebut.
2.2 Konsep Konsep dalam suatu penelitian bertujuan untuk membangun teori, dimana teori dapat dibangun apabila telah memahami konsep-konsep dari penelitian. Dalam penelititan ini konsep yang dikemukan adalah konsep dari tata zonasi, permukiman, dan struktur organisasi.
20
2.2.1
Struktur organisasi masyarakat
Dalam suatu masyarakat, agar dapat terjalin kerja sama yang baik perlu adanya suatu sistem yang mengatur dan mengorganisasikannya sehingga perlu adanya struktur organisasi. Menurut Suparjati dkk, struktur organisasi adalah susunan dan hubungan antara komponen atau bagian dalam suatu organisasi. Struktur orgnasasi memerincikan pembagian aktivitas kerja dan kaitan satu sama lain dan pada tingkat tertentu, dapat menunjukan tingkat spesialis aktivitas kerja serta hierarki oerganisasi (Suparjati dkk, 2000: 2). Dalam penelitian ini struktur organisasi lebih kepada masyarakat desa. Masyarakat desa pada umumnya memiliki struktur organisasi yang lebih sederhana dibadingkan dengan masyarakat kota. Dilihat dari jumlah masyarakat desa yang tidak sepadat di kota sehingga hubungan antar masyarakatnya lebih terjalin secara kekeluargaan dan adanya kerja sama yang dibangun untuk membangun desa dan memenuhi kebutuhan individu dan kelompok. Seperti yang diungkapkan Sutedjo bahwa kerja sama yang terjalin antara orang perorangan ataupun kelompok manusia untuk mencapai suatu tujuan tertentu secara bersamasama (Sutedjo, 1982: 32). Dalam segi sejarah desa dengan norma yang dianut oleh masyarakatnya dapat diketahui struktur organisasinya, seperti yang diungkapkan oleh Kartohadikoesoemo dalam Asy’ari (1990: 139-140) bahwa terdapat empat kategori masyarakat desa yaitu:
21
1.
Mereka yang berasal dari turunan orang-orang yang mendirikan desa (cikal bakal). Mereka adalah pemilik tanah-tanah pertanian yang terbaik di pusat desa,
2.
Mereka yang datang kemudian dan membuka lahan yang menjauh tempatnya dari pusat desa,
3.
Penduduk yang mempunyai tanah diatas pekarangan orang lain,
4.
Orang-orang yang bertempat tinggal menumpang dalam rumah orang lain.
Menurut Susilo struktur dalam masyarakat merupakan penyusunan orangorang secara berkelanjutan dari berbagai peranan dan status dalam suatu kelompok , yang hubungan-hubungannya dikendalikan oleh norma-norma atau pola-pola tingkah laku yang dibangun oleh masyarakat itu sendiri (Susilo, 2009: 32-33). Sedangkan menurut Judge dan Robbins struktur organisasi menentukan bagaimana pekerjaan dibagi, dikelompokkan, dan dikoordinasikan secara formal (Judge dan Robbins, 2004: 214). Setiap struktur organisasi dalam masyarakat memiliki bentuk yang berbedabeda sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Bentuk struktur organisasi menurut suharyadi dkk, ada dua bentuk yaitu unitary (U-form) dan multidivisional (Mform). U-Form membagi suatu organisasi berdasarkan fungsi-funsi, sedangkan M-form membagi kegiatan ke dalam beberapa divisi (Suharyadi, 2007: 147-148). U-form memiliki satu pemimpin yang membawahi beberapa pendukung, dan para pendukungnya memiliki bawahan untuk membantunya. Sedangkan M-form
22
memiliki satu orang pemimpin yang masih dalam pengawasan pusat, dan pendukungnya memiliki tugas masing-masing. Sedangkan menurut Umar bentuk organisasi ada lima yaitu organisasi garis, fungsional, garis dan staf, gabungan , dan organisasi matriks (Umar, 2000: 27). Namun sesuai dengan jumlah dari Mosalaki yang ada struktur organisasi masyarakat Nggela tidak semua bentuk ini dibahas. Organisasi garis merupakan organisasi yang paling sederhana dengan ciri-ciri: jumlah anggota yang relatif sedikit, organisasi relatif kecil, anggota saling mengenal secara akrab, dan spesialis kerja masih relatif rendah. Sedangkan dalam struktur organisasi fungsional , setiap atasan mempunyai wewenang untuk memberikan perintah kepada setiap bawahan yang ada sepanjang masih ada hubungannya dengan fungsi yang dimiliki atasan (Umar,2000: 67-69). Untuk melengkapi bentuk struktur organisasi yang diungkapkan oleh Umar, Gaol menambahkan beberapa sifat dari organisasi garis dan organisasi fungsional. Organisasi garis memiliki sifat sebagai berikut: 1.
Hubungan kerja antara pimpinan dan bawahan masih bersifat langsung.
2.
Tingkat spesialisasi yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi organisasi masih rendah.
3.
Susunan organisasi atau struktur organisasi belum begitu rumit.
4.
Alat-alat yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan dalam rangka mencapai tujuan juga belum beraneka ragam.
23
Sedangkan organsasi fungsional adalah suatu bentuk organisasi yang didalamnya terdapat hubungan yang tidak terlalu menekankan kepada hierarki yang struktural, tetapi lebih banyak didasarkan kepada sifat dan jenis fungsi yang perlu dijalankan (Gaol, 2008: 2-3). Dalam penelitian ini yang dimaksudkan dengan struktur organisasi adalah adanya susunan orang-orang yang memiliki kekuasaan dan kedudukan yang saling berhubungan dalam masyarakat Desa Nggela dan memiliki tugas dan peran masing-masing untuk mencapai tujuan bersama demi kesejahteraan secara individu maupun seluruh masyarakatnya.
2.2.2
Tata zonasi
Zonasi merupakan proses membagi ruang (wilayah/kawasan) menjadi beberapa segmen atau sub-zona yang berbeda (Baja, 2012: 81). Pada umumnya dalam suatu wilayah dilakukan zonasi untuk membagi beberapa wilayah berdasarkan karakteristik lahan dan aktivitas masyarakatnya. Dengan demikian, hasil dari bentuk spasial dari zonasi adalah gambaran ruang yang memiliki satuan-satuan ruang yang memiliki perbedaan tampilan pada peta yang memudahkan pengguna dan pengambil keputusan membedakan satu-satuan ruang atau lahan dengan yang lainnya (Baja, 2012: 84). Dalam penelitian ini tata zonasi yang dimaksud adalah pembagian wilayah dalam kelompok-kelompok zona yang terdapat dalam permukiman adat di Desa Nggela.
24
2.2.3
Permukiman Tradisional
Permukiman pada dasarnya merupakan suatu wilayah dimana tempat manusia bermukim. Heidegger dalam Siregar mengatakan bahwa bermukim adalah memelihara serta merawat dunia tempat bermukim untuk dapat dipergunakan secara bijaksana dan secukupnya, tidak merusak kontinuitas kehidupan
umat
manusia,
sehingga
terlaksana
suatu
kehidupan
yang
berkelanjutan dari generasi ke generasi (Siregar, 2008: 86). Menurut Fathony permukiman merupakan suatu tempat dimana manusia berlindung dan melakukan aktifitas dengan memanfaatkan suatu wilayah atau tempat secara keseluruhan. Permukiman sendiri menjadi tempat tinggal manusia sekaligus tempat kegiatan diluar tempat tinggal seperti aktifitas sosial, keagamaan, adat istiadat, serta budaya. Permukiman terbentuk sebagai refleksi manusia dari kondisi alam dan lingkungan seperti bencana alam (Fathony, 2009: 12). Terbentuknya lingkungan permukiman dimungkinkan adanya proses pembentukan hunian sebagai wadah fungsional yang dilandasi oleh pola aktivitas manusia serta pengaruh setting dan rona lingkungan baik yang bersifat fisik maupun non fisik (sosial-budaya) yang secara langsung mempengaruhi pola kegiatan dan proses perwadahannya (Nuraini, 2004: 11). Winarso dengan bertitik tolak pada analisis Doxiadis menunjukkan, bahwa untuk mengerti tentang permukiman harus dilihat pada morfologi keruangannya, pola-pola dasar yang terkait dengan aktifitas sosial dan tingkah laku manusia, juga fungsi dan struktur organisasinya (Winarso, 2012: 6). Dalam sumber yang
25
sama Winarso menambahkan elemen-elemen dalam suatu permukiman yang saling berhubungan untuk kesejahteraan masyarakatnya, yaitu sebagai berikut: 1
Alam (nature), memberikan pondasi tempat permukiman terbentuk atau dibentuk dan kerangka yang di dalamnya suatu permukiman dapat berfungsi;
2
Manusia (man);
3
Masyarakat (society);
4
Naungan (Shells), perumahan;
5
Jejaring (networks), baik yang alamiah maupun yang buatan yang memfasilitasi berfungsinya suatu permukiman (misalnya Jalan, listrik, air) (Winarso, 2012: 3).
Langkah
praktis
dalam
mengklasifikasikan
pola
permukiman
dan
membedakan dua kategori struktural yang mendasar menurut Robert (1996) adalah pola permukiman tidak stabil dan stabil. Tidak stabil dimana terjadi laju perubahan yang sedemikian rupa, sehingga pola dapat dilihat mengubah secara substantial dalam rentang waktu yang relatif singkat. Sedangkan pola statis atau diam yaitu pola yang mengalami sedikit perubahan dalam rentang waktu seumur hidup manusia dan tentu saja terdapat tempat tinggal baru yang muncul sedangkan yang lama hilang, tapi yang terpenting stabilitas pola permukimannya tetap mendominasi (Robert, 2009: 120). Permukiman yang terbentuk pada daerah pedesaan cenderung membentuk pola permukiman agraris, hal ini berkaitan dengan struktur mata pencaharian dan aktifitas penduduknya yang pada umumnya dibidang pertanian sehingga
26
mempengaruhi pola permukimannya (Fathony, 2009: 12). Berikut ini adalah beberapa bentuk pada umumnya dari pola permukiman menurut Lynch (1981: 373-378) adalah sebagai berikut: 1.
Bentuk bintang. Merupakan bentuk memusat dengan satu
titik pusat yang berada di tengah-tengah dan memiliki 4 sampai jalur transportasi utama yang menyebar. 2.
Bentuk satelit Merupakan bentuk perkembangan dari
permukiman
bentuk
permukiman
dan
bintang. jalur
Titik
pusat
ratransportasi
dipertahankan, dan pertumbuhan permukiman ini dipisahkan dari titik pusat serta tidak berkembang disekitar jalur transportasi utama. 3.
Bentuk linear Merupakan bentuk memanjang atau parallel
dengan satu jalur transportasi utama atau sebagai ruang terbuka . 4.
Bentuk kotak persegi/ persegi panjang Merupakan bentuk persegi atau persegi
panjang yang membagi permukiman ke blok-
27
blok yang identik dan diperpanjang diberbagai arah. Dalam penelitian ini permukiman yang dimaksud dalam penelitian ini adalah permukiman adat suatu wilayah yang merupakan suatu tempat tinggal masyarakat, namun dalam konteks ini adalah para pemimpin secara adat masyarakat di Desa Nggela yang menghuni wailayah yang merupakan permukiman awal yang sudah ada sejak jaman nenek moyang yang tetap dipertahankan sampai sekarang. Dari penjabaran konsep-konsep
pada penjelasan sebelumnya dapat
disimpulkan maksud dari judul yang diambil yaitu “Struktur Organisasi dan Tata Zonasi Permukiman adat di Desa Nggela, Ende-Flores ” adalah susunan orangorang
yang
memiliki
kekuasaan
dan
peran
dalam
masyarakat
dan
pengelompokkan suatu wilayah ke dalam beberapa zona dalam suatu wilayah sebagai suatu wadah fungsional yang mewadahi aktifitas masyarakat baik individu maupun kelompok.
2.3 Landasan Teori Landasan teori pada dasarnya digunakan sebagai konsep dasar dalam membahas suatu peristiwa atau fenomena yang terjadi pada manusia. Dalam penelitian ini ada beberapa teori yang digunakan sebagai dasar dalam melakukan penelitian yaitu teori yang berkaitan dengan struktur organisasi dan tata zonasi permukiman adat. Adapun beberapa teori yang dipakai adalah sebagai berikut:
28
2.3.1
Teori semiotika
Pengertian semiotik atau semiotika berhubungan dengan pengertian semantik karena dua pengertian itu meliputi makna dan kemaknaan dalam komunikasi antar manusia (Parera, 2004: 41). Dalam sumber yang sama Charles Morris mengatakan bahwa bahasa sebagai satu sistem sign dibedakan atas signal dan symbol. Akan tetapi, semiotik bukan hanya berhubungan dengan isyarat bahasa, melainkan juga berhubungan dengan isyarat-isyarat nonbahasa dalam komunikasi antar manusia. Dapat dikatakan bahwa semiotika adalah ilmu isyarat komunikasi yang bermakna. Kajian mengenai semiotik dipelopori oleh Ferdinand de Saussure dan Charles S. Pierce. Menurut Pierce dalam Budiman semiotika tidak lain daripada sebuah nama lain dari logika, yaitu: “doktrin formal tentang tanda-tanda”; sementara bagi Ferdinand dalam sumber yang sama mengatakan semiotika merupakan ilmu umum tentang tanda, “suatu ilmu yang mengakaji kehidupan tanda-tanda dalam masyarakat” (Budiman, 2011: 1). Dalam Eco mempertimbangkan dua jenis tanda yang nampaknya luput dari definisi komunikasional yaitu: (1) peristiwa-peristiwa fisik yang lahir dari alam dan (2) perilaku manusia yang non intensional (Eco. 2009: 23). Tanda-tanda begitu penting terutama memungkinkan manusia berfikir, berkomunikasi dan memahami realitas. Dalam realitas terdapat banyak tanda yang dapat digunakan untuk kebutuhan sosialitas manusia, dimana salah satu sistem tanda tersebut adalah bahasa (Widjojo dan Noorsalim, 2003: 6).
29
Dalam sumber yang sama Widjojo dan Noorsalim mengatakan bahwa bahasa disini tidak hanya dipandang sekedar sabagai teks, tetapi juga struktur dan makna. Terdapat dua fakta yang tidak dapat dipisahkan, yaitu antara fakta wacana dengan fakta bahasa. Fakta wacana berkaitan dengan posisi pembicaran dan topik yang dibicarakan, serta pertukaran makna dengan teksnya, sedangkan fakta bahasa berkaitan dengan sintaksis, semantik dan bahasa. Keduanya saling berkaitan dalam proses dan pembentukan suatu ideologi. Kunci untuk menuju semiotika menurut Stoke adalah mengenai bagaimana pencipta sebuah citra membuatnya bermakna sesuatu dan bagaimana kita sebagai pembaca, mendapatkan maknanya. Bukan berarti pembaca selalu mendapatkan makna yang sama dari sesuatu yang ditempatkan oleh penciptanya. Sehingga Stoke menyimpulkan bahwa semiotika merupakan salah satu metode yang paling interpretatif dalam menganalisis teks, dan keberhasilan maupun kegagalannya sebagai sebuah metode bersandar pada seberapa baik peneliti mampu mengartikulasikan kasus yang mereka kaji (Stoke, 2003: 76). Sistem tanda pertama kadang disebut sebagai denotasi atau sistem termilogi, sedangkan sistem tanda kedua disebut sebagai konotasi atau sistem retoris atau mitologi. Biasanya beberapa tanda denotasi dapat dikelompokkan bersama untuk membentuk suatu konotasi tunggal; sedangkan petanda konotasi berciri sekaligus umum, global, dan tersebar. Petanda ini dapat pula disebut fragmen ideologi. Petanda ini memiliki komunikasi yang sangat dekat dengan budaya, pengetahuan, dan sejarah. Dan dapat dikatakan bahwa “ideologi” adalah bentuk petanda konotasi dan “retorika” adalah bentuk konotasi (Barthes, 1967:91-92).
30
Adanya sistem petanda dan petanda Saussure dalam Barthes memberikan penekanan pada kandungan mental dari petanda dengan menyebutnya sebagai konsep, dan satu-satunya hal yang membedakannya dari penanda adalah bahwa penanda merupakan mediator (Barthes, 1994: 36-37). Untuk lebih mengenal perbedaan antara penanda dan petanda, Siwalatri dalam Salain (2013: 23) menjabarkan penanda dan petanda sebagai berikut: 1.
Penanda dapat berupa bentuk, ruang, permukiman, volume yang memiliki kepadatan, tekstur, warna, dan lain-lain.
2.
Petanda dapat berupa makna seperti ide arsitektural, estetika, konsep ruang, keyakinan/kepercayaan masyarakat, fungsi, aktifitas, dan sebagainya. Teori semiotika ini dapat digunakan untuk melihat pola pemukiman dari
aspek ruang, bentuk, dan permukimannya secara konsep ruang, keyakinan masyarakat, fungsi, dan juga aktivitasnya. Dalam permukiman adat di Desa Nggela terdapat rumah-rumah adat dan juga beberapa elemen permukiman yang dikeramatkan dan memiliki latar belakang sejarahnya. Namun selain sejarah dapat dilihat juga dari perlakuan masyarakat pada elemen-elemen ini, aktivitas, dan juga fungsinya yang tentunya memiliki arti tersendiri bagi masyarakat di Desa Nggela.
2.3.2
Teori spasial Pengertian spasial setelah disarikan dari berbagai kamus oleh Fathony dkk
(2012: 2) adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan ruang, di dalamnya terkandung pengertian jarak, relasi, atau posisi. Dalam sumber yang sama
31
Fathony dkk spasial merupakan aspek meruang dalam pengertian bahwa ruang dipahami bukan semata-mata bersifat geometris, bebas nilai, atau ruang dalam pengertian ruang Euclide (prinsip geometri), melainkan ruang dalam kaitannya dengan nilai-nilai sosial dan nilai-nilai budaya. Ruang memiliki makna, nilai, bersifat heterogen, mempunyai pengertian metaforik (bukan matematik), dan erat kaitannya dengan aspek-aspek sosial dan kultural (Fathony dkk, 2012: 2). Dengan mengutip pendapat dari beberapa sumber (para ahli) dalam Sujarto mengungkapkan bahwa: 1.
Di dalam wujud tata ruang terdapat suatu tatanan sistematik yang terdiri dari 3 unsur pokok, yaitu ruang atau lingkungan yang merupakan wadah, dimana berbagai kehidupan dengan kegiatan usahanya berlangsung; aktifitas fungsional yang menunjang kegiatan usaha dan kebutuhan penduduk; dan kemudian berinteraksi antara kegiatan yang satu dengan yang lainnya secara internal maupun eksternal
2.
Kerangka konsepsi tata ruang yang meluas menyangkut suatu wawasan yang disebut sebagai wawasan “bukan keruangan”, dimana pada kenyataannya struktur fisik sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh faktor non-fisik seperti organisasi fungsional, pola budaya dan nilai kehidupan komunitas serta ketentuan-ketentuan normatif.
Dalam sumber yang sama yang aspek keruangan dan bukan keruangan adalah mencakup tinjauan normatif (berkaitan dengan aspek sosial-budaya), tinjauan fungsional (berkaitan dengan aspek organisasi dan ekonomis), dan
32
tinjauan fisik (aspek wadah fisik). Untuk lebih jelasnya, konsepsi ini dapat dilihat pada tabel sebagai berikut: Tabel 2.2. Konsepsi Spasial Dasar Pertimbangan Normatif (aspek sosial-budaya)
Fungsional (aspek organisasi dan ekonomis) Fisik (aspek wadah fisik)
Aspek Bukan Keruangan
Nilai-nila sosial Perangkat kepranataan Peraturan Undang-undang Teknologi
Pembagian dan fungsi-fungsi Sistem aktifitas (manusia dan kegiatan usaha dalam peran fungsional) Pertimbangan efisiensi Objek-objek fisik Lingkungan geografis Manusia sebagai wujud fisik Kualitas sumber daya
Aspek Keruangan Distribusi ruang dari pola struktural Nilai yang berkaitan langsung dengan pola aktifitas dan lingkungan hidup Distribusi tata ruang fungsi-fungsi Hubungan ketataruangan Pola tata ruang kegiatan usaha berdasarkan fungsinya Distribusi bentuk fisik bangunan, lahan, jaringan jalan, jaringan utilitas, dan lain-lain Tata guna lahan berdasarkan kualitas dan kesesuaian sumber daya alam
Sumber : Sujarto (1993: 77) Dari Tabel 2.2 dapat memberi gambaran bahwa perwujudan fisik ruang dari suatu penataan ruang merupakan suatu hasil pertimbangan normatif dan fungsional ‘bukan keruangan’ dan ‘keruangan’. Dengan demikian ‘spasial’ merupakan pembagian ruang secara fisik yang sesuai dengan norma-norma seperti standar, ketentuan-ketentuan dan fungsi seperti pertimbangan ekonomis, efisiensi dan kemanfaatan. Dari Tabel 2.2, apabila dikaitkan dengan masalah dari penelitian ini khususnya untuk menjawab rumusan masalah mengenai tata zonasi dan hubungan antara struktur organisasi dan tata zonasi permukiman adat di Desa Nggela. Beberapa aspek normatif yang menjadi pertimbangan dapat dilihat dari nilai-nilai sosial, dan norma-norma yang ada dalam masyarakat di Desa Nggela yang diwujudkan dalam permukiman adat dan distribusi ruang pada pola struktural.
33
Nilai-nilai sosial dalam masyarakat merupakan sebuah sarana pengendalian dalam kehidupan bersama dalam suatu masyarakat dan pada umumnya sangat mempengaruhi kehidupan dalam masyarakat desa yang masih memegang teguh kebersamaan dan sifat kekeluargaan. Seseorang bisa dianggap sebagai orang yang patuh ataupun juga menyimpang dari tatanan sosial. Dan nilai tersebut menjadi tolak ukurnya. Aspek fungsional dilihat dari pembagian ruang dan fungsinya serta aktivitas yang dilakukan di dalamnya yang kemudian dikaitkan dengan distribusi tata ruang fungsi-fungsi, hubungan ketataruangan. Terakhir aspek fisik yang dilihat adalah objek fisik yang dikaitkan dengan distribusi bentuk fisik rumah-rumah adat, elemen-elemen dalam permukiman adat yang dikeramatkan, dan ruang luar yang terbentuk. Namun aspek-aspek tersebut hanya dikaitkan dengan bentuk dari struktur organisasi dan tata zonasi permukiman adat di Desa Nggela, sehingga akan menghasilkan suatu gambaran peta yang menunjukkan hubungan ruang terjadi dalam permukiman.
2.3.3 Teori hermeneutika Secara etimologis, kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, hermeneuein, yang berarti menafsirkan. Dalam mitologi Yunani, kata ini sering dikaitkan dengan tokoh bernama Hermes, seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Tugas menyampaikan pesan berarti juga mengalihbahasakan ucapan para dewa ke dalam bahasa yang dapat dimengerti manusia. Pengalihbahasaan sesungguhnya identik dengan penafsiran.
34
Dari situ kemudian pengertian kata hermeneutika memiliki kaitan dengan sebuah penafsiran atau interpretasi (Saidi, 2008: 376). Dalam Muzir mengatakan bahwa, hermeneutika dianggap hanya mengurusi pencarian makna yang sebenarnya dan pasti dari sebuah teks, kemudian terlibat ke dalam perseteruan epistemologis antara objektivitas dan relativitas (Muzir, 2008: 19). Dalam sumber yang sama, Schleiermacher mengatakan hermeneutika adalah mengisolasi proses pemahaman sehingga muncul metode hermeneutika yang independen. Ketika makna sebuah kata sudah ditemukan terlepas apakah memang begitu yang dimaksud mengarang/ tidak, maka interpretasi objektif sudah dapat dikatakan berhasil. Namun interpretasi ini juga dikatakan negatif, karena dia menentukan batas pemahaman itu sendiri. Sebab elemen kritisnya hanya diarahkan pada makna kata. Tawarannya adalah interpretasi teknis, artinya yang mesti diluar oleh interpretasi adalah subjektivitas dari orang yang berbicara / pengarang sedangkan bahasa yang dipakai dapat diabaikan. Tugas utama dari hermeneutika adalah menuntaskan interpretasi yang terakhir (Muzir, 2008: 72). Diarsa mengatakan bahwa hermeneutika dalam arsitektur memiliki pokok bahan “spekulasi dan analisa” dan bagaimana berspekulasi yang baik dengan analisa yang sudah dibuat, sehingga menghasilkan sebuah konsep yang dapat bertanggung jawab (Diarsa, 2011: 11-12). Sedangkan Wolf dalam sumber yang sama mengatakan bahwa hermeneutika sama dengan interpretasi dimana interpretasi ada 3 yaitu: interpretasi gramatikal (bahasa), interpretasi historikal (fakta dan waktu), dan intrepretasi (mengontrol kedua interpretasi tersebut) (Diarsa, 2011: 12).
35
Teori hermeneutika digunakan untuk menjawab ketiga rumusan masalah karena selain dengan melihat tanda dan petanda, perlu diinterpretasikan agar dapat menjawab ketiga rumusan masalah. untuk menjawab ketiga rumusan masalah perlu adanya penelusuran sejarah dan waktu sehingga nantinya bisa diinterpretasikan.
2.4 Model Penelitian Model penelitian merupakan sintesis dan abstraksi antara teori-teori yang dipilih sesuai dengan permasalahan penelitian. Fokus dari penelitian ini adalah pembagian zona-zona dalam permukiman adat dan juga kaitannya dengan struktur organisasi dalam masyarakat. Pembagian zona-zona dalam permukiman adat ini dilihat dari sejarah awal mula terbentuknya pola permukiman adat, orientasi, topografi, kondisi alam, dan ruang-ruang luar yang terbentuk. Sedangkan struktur organisasi selain dilihat dari kedudukan dan peran dari masing-masing anggotanya juga dilihat dari elemen-elemen petunjuk dalam rumah adat masing-masing.
36
Struktur Organisasi
Tata zonasi
Permukiman adat di Desa Nggela
Kedudukan dan peran Norma-norma Fungsional Religi
Sejarah Kosmologi dan topografi Elemen-elemen
Struktur Organisasi dan Tata Zonasi Permukiman Adat di Desa Nggela, Ende-Fores
Teori Semiotika
Struktur organisasi dan Tata zonasi permukiman adat di Desa Nggela
Teori Spasial
Peranan struktur organisasi dan Tata zonasi permukiman adat di Desa Nggela
Teori Hermeneutika
Hubungan antara Struktur organisasi dan Tata zonasi permukiman adat di Desa Nggela
Gambar 2.1 Model Penelitian
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa penelitian ini ingin mencari bentuk struktur organisasi dan tata zonasi permukiman adat di Desa Nggela dan teori yang digunakan adalah teori semiotika dan juga teori spasial. Teori semiotika digunakan dalam menjawab ketiga rumusan masalah yaitu untuk melihat tanda dan petanda dalam tata zonasi permukiman adat apabila tidak dapat ditelusuri lebih jauh dari sejarah yang ada. Struktur organisasi yang ada dalam masyarakat dapat dilihat dari hierarki, kronologi, serta kedudukan serta posisi dari tiap anggota dalam struktur organisasi dan peranannya dalam
37
permukiman adat. Setelah mendapatkan kedua hal tersebut maka akan dicari hubungan diantaranya dengan menggunakan teori ini. Teori spasial dalam permukiman adat di Desa Nggela dilihat sejarah, nilainilai sosial, orientasi, konsep religi yang diimplementasikan ke ruang-ruang dalam permukiman adatnya. Teori spasial ini digunakan untuk menjawab rumusan masalah yang berhubungan dengan peranan struktur organisasi dan tata zonasi dan hubungan diantaranya dalam permukiman adat di Desa Nggela. Dari gejala sosial yang terdapat masyarakat kemudian dikaitkan dengan ruang dalam permukiman sebagai perwujudannya. Sedangkan teori hermeneutika digunakan untuk menginterpretasikan temuantemuan dalam penelitian ini untuk mendapat suatu konsep dasar dari permukiman adat ini. Dalam hal ini lebih menginterpretasikan kedudukan Mosalaki dalam struktur organisasi dan peranannya terhadap permukiman adat di Desa Nggela.