SRI WINARTI: SIKAP BAHASA MASYARAKAT DI WILAYAH ...
SIKAP BAHASA MASYARAKAT DI WILAYAH PERBATASAN NTT: PENELITIAN SIKAP BAHASA PADA DESA SILAWAN, PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR (LANGUAGE ATTITUDE OF THE PEOPLE AROUND THE BORDER OF EAST NUSA TENGGARA AND TIMOR LESTE: A LANGUAGE ATTITUDE STUDY IN SILAWAN VILLAGE, THE PROVINCE OF EAST NUSA TENGGARA)
Sri Winarti Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Jalan Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta Pusat Pos-el:
[email protected] Tanggal naskah masuk: 28 Mei 2015 Tanggal revisi terakhir: 30 November 2015
Abstract THIS writing discusses people's language attitude in the border area of East Nusa Tenggara -Timor Leste, particularly in Silawan village, East Tasifeto district, Belu regency, the Province of East Nusa Tenggara. This study aims to describe the people's language attitude in the border area on the Indonesian language, local language, and foreign language using a survey method. The samples are taken from the population and the data are collected via questionnaires. It is a quantitative study correlating respondent social features with their opinion to some language attitude parameters, namely their language attitude on the Indonesian language, local language, and foreign language. It is found that people living around the border area of East Nusa Tenggara have more positive attitude towards the local language than towards the Indonesian language, or the foreign language. The social features of speakers, such as gender, ages, education levels, spouse ethnicities, marital statuses, and residences influence one's language attitude. The language attitude of people living around the border area, either on the Indonesian language, on local language, or on foreign language, based on their social features displays various results. Key words: language attitude, positivity of language attitude, social features of speakers
Abstrak MAKALAH ini mengkaji sikap bahasa masyarakat perbatasan NTT, lebih tepatnya masyarakat di Desa Silawan, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui sikap bahasa masyarakat di wilayah perbatasan tersebut, terhadap bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei, yaitu suatu penelitian yang mengambil sampel penelitian dari populasi dan mengumpulkan data melalui penyebaran kuesioner. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang menghubungkan ciri sosial responden dengan pendapatnya terhadap sejumlah parameter sikap bahasa, baik sikap terhadap bahasa Indonesia, bahasa daerah, maupun bahasa asing. Temuan penelitian ini adalah bahwa masyarakat di wilayah perbatasan NTT 215
Metalingua, Vol. 13 No. 2, Desember 2015:215—227
mempunyai sikap yang lebih positif terhadap bahasa daerah jika dibandingkan dengan sikap mereka terhadap bahasa Indonesia, terlebih lagi sikap mereka terhadap bahasa asing. Ciri sosial penutur, seperti jenis kelamin, tingkat usia, jenjang pendidikan, etnis pasangan, status perkawinan, dan tempat tinggal mempunyai pengaruh terhadap sikap bahasa seseorang. Sikap bahasa masyarakat perbatasan NTT, baik terhadap bahasa Indonesia, bahasa daerah, maupun bahasa asing, berdasarkan ciri sosialnya menunjukkan hasil yang beragam. Kata kunci: sikap bahasa, kepositifan sikap bahasa, ciri sosial penutur
1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Wilayah perbatasan merupakan suatu wilayah yang secara geografis maupun administratif berbatasan langsung dengan suatu negara. Wilayah perbatasan itu ada yang berupa daratan dan ada juga yang berupa lautan. Banyak problematika yang dihadapi oleh masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan, seperti kemiskinan, keterasingan akses informasi, infrastruktur kualitas pendidikan yang kurang baik, dan layanan kesehatan yang kurang baik jika dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal lebih dekat dengan kota. Akibat kurangnya perhatian pemerintah, penduduk yang tinggal di wilayah perbatasan sering berintegrasi dengan negara tetangga untuk mendapatkan kebutuhan hidup ataupun untuk mencari lapangan pekerjaan. Hal itulah yang menyebabkan masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan memiliki kemampuan menguasai dua bahasa atau lebih. Ketidaksetiaan masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan terhadap bahasa daerah maupun bahasa nasionalnya dapat menimbulkan pemudaran rasa nasionalisme mereka. Bahasa dapat mencerminkan jati diri pemakainya atau dapat mencerminkan ciri-ciri, gambaran, atau identitas pemakainya. Sikap negatif yang tumbuh terhadap bahasa daerah dan bahasa Indonesia dapat mengakibatkan hilangnya identitas dan kesadaran akan jati diri sebagai bangsa Indonesia. Rasa kebanggaan memiliki bahasa daerah dan bahasa Indonesia berkaitan erat dengan pencerminan dan perwujudan cinta tanah air, cinta budaya Indonesia, serta cinta terhadap 216
keseluruhan nilai dan norma kehidupan bermasyarakat dan berbangsa Indonesia. Oleh karena itu, usaha pembinaan sikap bahasa perlu diarahkan pada (1) peningkatan dan pemantapan sikap berbahasa daerah dan berbahasa Indonesia dan (2) peningkatan dan pemantapan rasa kebanggaan memiliki bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Penggunaan suatu bahasa tidak hanya tergantung pada partisipan, situasi, topik, dan tujuan pembicaraan, tetapi juga tergantung pada sikap bahasa tersebut. Menurut Kridalaksana (1993:197), sikap bahasa adalah posisi mental atau perasaan terhadap bahasa sendiri atau bahasa orang lain. Fasold (1984:148) menyatakan bahwa sikap bahasa adalah segala macam perilaku tentang bagaimana bahasa diperlakukan, termasuk sikap terhadap usaha perencanaan dan pelestarian bahasa. Sementara itu, Chaer dan Agustina (2010:152) menyatakan bahwa sikap negatif terhadap suatu bahasa bisa terjadi apabila seseorang atau sekelompok orang tidak mempunyai rasa bangga terhadap bahasanya sendiri, atau lebih mempunyai rasa bangga terhadap bahasa lain yang bukan miliknya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hilangnya rasa bangga terhadap bahasa sendiri, di antaranya adalah faktor politik, ras, etnis, dan gengsi. Dengan demikian, situasi kebahasaan di wilayah perbatasan perlu diteliti untuk mengetahui sikap bahasa masyarakat di wilayah perbatasan terhadap bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa asing. Hal itulah yang melatarbelakangi dilakukannya penelitian ini.
SRI WINARTI: SIKAP BAHASA MASYARAKAT DI WILAYAH ...
1.2 Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. (1) Bagaimanakah sikap bahasa masyarakat di wilayah perbatasan Nusa Tenggara Timur terhadap bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing? (2) Seberapa positifkah sikap masyarakat tersebut terhadap bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing? (3) Ciri sosial penutur apakah yang memengaruhi sikap bahasa tersebut? 1.3 Tujuan Berdasarkan latar belakang dan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan sikap bahasa masyarakat di wilayah perbatasan Nusa Tenggara Timur terhadap bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing; (2) mengetahui seberapa positif sikap masyarakat di wilayah tersebut terhadap bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing; (3) mengetahui ciri sosial penutur yang memengaruhi sikap bahasa tersebut. 1.4 Metode Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei, yaitu suatu penelitian yang mengambil sampel dari populasi dan mengumpulkan data melalui kuesioner sebagai alat pengumpul data yang pokok. Penerapan metode itu bertujuan untuk menggambarkan dan menafsirkan hal yang berkenaan dengan suatu kondisi atau gejala seperti apa adanya atau mendeskripsikan gejala faktual dan kaitan berbagai variabel masalah yang diteliti secara sistematis. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan teoritis dan metodologis. Pendekatan teoretis mengacu pada pendekatan sosiolinguistik karena sosiolinguistik termasuk teori atau ilmu yang berkaitan dengan pemakaian bahasa dalam
kaitan dengan masyarakat (Chaer dan Agustina, 2004:3), sedangkan pendekatan metodologis menggunakan pendekatan kuantitatif yang bersifat deskriptif (Prasetyo dan Jannah, 2005), yaitu penafsiran data yang berkenaan dengan fakta, variabel, dan fenomena yang terjadi saat penelitian berlangsung dengan menyajikan apa adanya. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang menghubungkan ciri sosial responden dengan pendapatnya terhadap sejumlah parameter sikap bahasa, baik sikap terhadap bahasa Indonesia, bahasa daerah, maupun bahasa asing. Dari data penelitian ini dapat diketahui bagaimana tanggapan responden sesungguhnya dalam menyikapi kondisi kebahasaan di wilayah tempat tinggalnya, dalam penelitian ini di Desa Silawan, Kecamatan Tasiveto Timur, Kabupaten Belu, Provinsi NTT. Sikap responden terhadap bahasa Indonesia, bahasa daerah, maupun bahasa asing harus dilihat sebagai satu kesatuan dengan asumsi bahwa sikap bahasa seseorang terhadap bahasa tertentu berkorelasi positif atau negatif dengan sikap bahasa orang itu terhadap bahasa lain. Ciri sosial responden yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah (1) jenis kelamin, (2) usia, (3), kelompok pendidikan, (4) ciri etnisitas pasangan, (5) status perkawinan, dan (6) tempat tinggal. Tempat penelitian adalah di Desa Silawan, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu, Provinsi NTT. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Juni 2014. Yang dimaksud dengan populasi dalam penelitian ini adalah kelompok subjek yang harus memiliki ciri-ciri atau karakteristik bersama yang membedakannya dengan kelompok subjek lain. Populasi penelitian ini adalah masyarakat bahasa di Desa Silawan, Provinsi NTT, yang lahir dan berdomisili tetap di daerah tersebut. Adapun sampel dalam penelitian ini adalah masyarakat yang tinggal di wilayah penelitian, baik laki-laki maupun perempuan. Dalam penelitian bahasa, sampel yang besar tidak diperlukan karena perilaku linguistik cenderung lebih homogen jika dibandingkan dengan perilakuperilaku lainnya (Mahsun, 2005:210). Ahsen 217
Metalingua, Vol. 13 No. 2, Desember 2015:215—227
(dalam Mahsun, 2005: 210) menyebutkan bahwa penelitian sosiolinguistik yang hasilnya telah diterbitkan ternyata menggunakan sampel dalam jumlah yang tidak besar. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 108 orang dari populasi yang mewakili masyarakat bahasa di desa tersebut. Ciri Sosial responden dalam penelitian ini mencakup jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), usia (usia dewasa awal,(< 25 tahun), usia dewasa menengah (26–50) tahun, dan usia dewasa akhir (> 51 tahun), kelompok pendidikan ( tidak sekolah/SD, pendidikan menengah, dan perguruan tinggi), etnisitas pasangan, status perkawinan (menikah dan belum menikah), dan tempat tinggal. Komposisi responden dilihat dari jenis kelaminnya tidak berimbang. Responden perempuan lebih banyak daripada responden laki-laki. Responden perempuan berjumlah 62 orang atau 56,9%, sedangkan responden lakilaki berjumlah 46 orang atau 42,2%, Komposisi responden berdasarkan ciri sosial lainnya dapat dilihat dalam Tabel 1 sampai dengan Tabel 5 di bawah ini. Tabel 1 Komposisi Responden Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin Usia Laki-laki <25 tahun 4 26–50 tahun 25 >51 tahun 17 Total 46
Jenis Kelamin Perempuan Total 16 20 34 59 12 29 62 108
Tabel 2 Komposisi Responden Berdasarkan Jenjang Pendidikan dan Jenis Kelamin Pendidikan Laki-laki Tidak Sekolah/SD 30 Menengah 16 Total 46
Jenis Kelamin Perempuan 48 14 62
Total 78 30 108
Tabel 3 Komposisi Responden Berdasarkan Etnis Pasangan Responden dan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Pasangan Responden Total Laki-laki Perempuan Ya (etnis yang sama) Etnis yang tidak sama Total 218
28 18 46
39 23 62
67 41 108
Tabel 4 Komposisi Responden Berdasarkan Status Perkawinan dan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Total Laki-laki Perempuan
Status
44 2 46
Kawin Belum Kawin Total
52 10 62
96 12 108
Tabel 5 Komposisi Responden Berdasarkan Tinggal di Tempat yang Sama dengan Bahasa Ibu Responden dan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Tinggal di Tempat yang Sama dengan Bahasa Ibu Laki-laki Perempuan Total ya tidak Total
40 6 46
48 14 62
88 20 108
Data dikumpulkan dengan memperhatikan ciri sosial responden, yaitu jenis kelamin, usia, jenjang pendidikan, etnis pasangan, status perkawinan, dan tempat tinggal. Instrumen pengumpulan data menggunakan kuesioner yang dilengkapi dengan wawancara, observasi, dan studi pustaka untuk menunjang pendalaman penelitian. Angket dalam penelitian ini disusun dengan skala sikap yang sering digunakan, yaitu skala Likert. Skala Likert ini berguna untuk mengukur sikap, pendapat, dan pandangan seseorang atau sekelompok tentang kejadian atau gejala sosial dengan rentang nilai 1–5 dengan kategori bobot nilai, yaitu Sangat Setuju (SS) = 5; Setuju (S) = 4; Ragu-ragu/Netral = 3; Tidak Setuju (TS) = 2; Sangat Tidak Setuju (STS) = 1. Seseorang dianggap bersifat positif terhadap sebuah bahasa apabila orang itu mempunyai kemampuan yang baik terhadap bahasa itu, mempunyai impressi yang baik, masih menggunakan bahasa itu dalam berbagai ranah, dan mampu menurunkan penggunaan bahasa itu kepada generasi di bawahnya (Sugiyono dan Sasangka, 2011:68). Derajat sikap diwujudkan dalam rentang indeks 0 sampai 1. Artinya, angka 0 menunjukkan sikap yang paling rendah atau negatif, sedangkan angka 1 menunjukkan sikap yang paling tinggi atau positif. Untuk keperluan penafsiran indeks, dalam penelitian ini penulis mengikuti pendapat Sugiyono dan Sasangka
SRI WINARTI: SIKAP BAHASA MASYARAKAT DI WILAYAH ...
(2011:68–69) yang ditetapkan rentang indeks seperti dalam tabel berikut. Tabel 6 Julat Indeks Sikap <0,2 0,2–0,4 0,5–0,8 >0,8
Negatif Cukup Positif Positif Sangat Positif
Indeks itu merupakan bentuk lain dari skala Likert. Konversi skala Likert ke dalam indeks itu dimaksudkan untuk memberikan acuan yang lebih dapat dibaca secara umum dalam bentuk persentase atau dalam bentuk pembagian biner. Teknik pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini dimulai dengan pengeditan data, pengodean data, dan pemrosesan. Teknik pengolahan data adalah proses data yang dimulai dengan melakukan pemasukan data dalam bentuk tabulasi pada program Exel. Selanjutnya, data diolah dengan program SPSS. Pertanyaan-pertanyaan dalam instrumen penelitian ada lima pilihan jawaban. Pilihan sangat tidak setuju dikuantifikasi menjadi nilai 1, tidak setuju menjadi nilai 2, ragu-ragu menjadi nilai 3, setuju menjadi nilai 4, dan sangat setuju menjadi nilai 5. Dua rerata atau lebih dianggap berbeda apabila sekurang-kurangnya hasil statistik menunjukkan angka signifikansi 0,1. Hal itu berarti bahwa kebenaran simpulan tentang perbedaan indeks sikap itu 90% benar. Kebenaran simpulan yang kurang dari 90% dianggap tidak berarti atau tidak signifikan. Pengelompokan signifikansi dalam penelitian ini mengikuti pendapat Sugiyono dan Sasangka (2011:72), seperti tampak dalam tabel berikut. Tabel 7 Angka Signifikansi Julat Signifikan < 0,005 0,005–0,054 0,055–0,14 >0,15
Arti Sangat Signifikan Signifikan Cukup signifikan Tidak Signifikan
Data tersebut kemudian dianalis secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif dilakukan berdasarkan jawaban-jawaban atas
pertanyaan yang dilakukan dan diberi bobot berdasarkan skala Likert. Materi kuesioner terdiri atas data ciri sosial responden, sikap bahasa masyarakat terhadap bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. Sementara itu, analisis kualitatif dilakukan berdasarkan pada pernyataan-pernyataan responden, baik terhadap tanggapan atas pertanyaan maupun wawancara.
2. Kerangka Teori Penelitian sikap bahasa merupakan penelitian yang melibatkan dua disiplin ilmu. Dengan demikian, ada beberapa teori yang berhubungan dengan penelitian ini, yaitu sebagai berikut. 2.1 Sosiolinguistik Teori sosioliguistik berkaitan dengan teori sikap bahasa karena sosiolinguistik memandang bahasa sebagai suatu institusi sosial, baik individu maupun kelompok masyarakat yang melakukan interaksi sosial. Menurut Hudson (1996:1–2), sosiolinguistik mencakupi bidang kajian yang sangat luas, tidak hanya menyangkut wujud formal bahasa dan variasinya, tetapi juga penggunaan bahasa di masyarakat. Penggunaan bahasa tersebut mencakupi faktor kebahasaan dan faktor nonkebahasaan. Atas dasar itu, sosiolinguistik memandang suatu bahasa itu terdiri atas ragamragam yang terbentuk dari kelompok-kelompok sosial yang ada. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pada tiap kelompok masyarakat terdapat nilai-nilai sosial dan budaya yang khusus pada penggunaan bahasa mereka yang berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya. Sosiolinguistik sebagai ilmu yang dianggap baru dan menuntut kehadirannya sejajar dengan ilmu-ilmu lain. Sosiolinguistik menuntut keikutsertaannya dalam memberikan informasi untuk pengambilan kebijakan-kebijakan kebahasaan, termasuk kebijakan kebahasaan dalam dunia pendidikan. Hal ini disebabkan oleh kajian-kajian sosiolinguistik yang menghubungkan bahasa dengan fenomena sosial dan kultural.
219
Metalingua, Vol. 13 No. 2, Desember 2015:215—227
2.2 Sikap Bahasa Anderson (1974 dalam Chaer dan Leonie Agustina, 2010:51) membagi sikap atas dua macam, yaitu: (1) sikap kebahasaan, dan (2) sikap nonkebahasaan, seperti sikap politik, sikap sosial, sikap estetis, dan sikap keagamaan. Kedua jenis sikap itu dapat menyangkut keyakinan atau kognisi mengenai bahasa. Sikap bahasa adalah tata keyakinan atau kognisi yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenai objek bahasa, yang memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk bereaksi dengan cara tertentu yang disenanginya. Sementara itu, menurut Fasold (1987), sikap bahasa dibedakan dari sikap yang lain karena sikap bahasa semata-mata tentang bahasa. Sebagian penelitian berpendapat bahwa sikap bahasa hanya terbatas pada sikap terhadap bahasa itu sendiri. Namun, seringkali definisi sikap bahasa diperluas untuk menyertakan sikap terhadap penutur bahasa atau dialek tertentu. Perluasan lebih jauh terhadap sikap bahasa memungkinkan segala macam perilaku tentang bagaimana bahasa diperlakukan, termasuk sikap terhadap pemertahanan bahasa dan upaya-upaya perencanaan bahasa. Garvin dan Mathiot dalam Chaer dan Leonie Agustina (2010:152) mengatakan bahwa ada tiga ciri yang berhubungan dengan sikap bahasa, yaitu sebagai berikut. 1) Kesetiaan bahasa (language loyality) yang mendorong masyarakat suatu bahasa mempertahankan bahasanya, dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain. 2) Kebanggaan bahasa (language pride) yang mendorong orang mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitas atau kesatuan masyarakat. 3) Kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm) yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun; dan merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan, yaitu kegiatan menggunakan bahasa (language use). 220
Sama dengan pendapat Garvin dan Mathiot, Suhardi (1996:14) juga mengatakan bahwa sikap terdiri atas tiga komponen, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif. Komponen kognitif mengacu pada struktur kepercayaan atau keyakinan individu. Komponen afektif mengacu pada reaksi emosional individu. Adapun komponen konatif berkaitan dengan kecenderungan untuk bertindak dengan cara tertentu terhadap sikap. Sikap terbentuk dari interaksi sosial yang dialami seseorang yang dalam berinteraksi individu akan membentuk suatu pola tertentu terhadap berbagai objek yang dihadapinya. Ada bermacam-macam faktor yang dapat memengaruhi terbentuknya sikap, antara lain pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, pendidikan, dan agama (Sugiyono dan Sasangka, 2011:38). Menurut Sugiyono dan Sasangka (2011:40), ada empat fungsi sikap bagi individu, yaitu sebagai berikut. Pertama, sikap berfungsi instrumental yang ditunjukkan oleh sikap positif atau sikap negatif individu. Sikap positif individu terhadap individu ialah membantu atau menguntungkan individu, sedangkan sikap negatif atau sikap tidak suka individu terhadap objek ialah menghalangi atau menghukum individu. Kedua, sikap berfungsi sebagai pengetahuan karena sikap merupakan pengetahuan individu terhadap lingkungan yang berarti terstruktur. Ketiga, sikap berfungsi untuk mengungkapkan nilai dasar yang dimiliki seseorang dan berfungsi untuk meningkatkan citra diri. Keempat, sikap berfungsi untuk melindungi individu dari pikiran dan perasaan yang mengancam citra diri atau penilaian mereka.
3. Hasil dan Pembahasan Uraian dalam bagian ini dikelompokkan atas dua bagian, yaitu (1) kepositifan sikap bahasa masyarakat di perbatasan NTT dan (2) sikap bahasa menurut ciri sosial penutur terhadap bahasa Indonesia (BI), bahasa daerah (BD), dan bahasa asing (BA). Berikut uraian kedua bagian itu.
SRI WINARTI: SIKAP BAHASA MASYARAKAT DI WILAYAH ...
3.1 Kepositifan Sikap Bahasa Masyarakat Perbatasan NTT Pada masyarakat yang dwibahasawan, kemampuan bahasa-bahasa yang mereka kuasai jarang yang berimbang. Biasanya, kemampuan penggunaan bahasa yang satu lebih baik daripada bahasa yang lain. Hal itu salah satunya mungkin disebabkan oleh seringnya bahasa tersebut digunakan. Keseringan penggunaan bahasa oleh seorang dwibahasawan akan mengasah kemahiran orang tersebut dalam berbahasa. Sikap bahasa masyarakat di wilayah perbatasan NTT terhadap bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing dapat dideskripsikan dengan melihat ada atau tidaknya perbedaan indeks sikap bahasa antara kelompok sosial yang satu dan kelompok sosial yang lain. Berikut akan ditampilkan data yang berupa tabel indeks sikap bahasa masyarakat di daerah perbatasan NTT terhadap bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. Tabel 8 Indeks Sikap Bahasa terhadap BI, BD, dan BA Simpangan Baku 0.983 0.708 0.124 0.944 0.710 0.086 0.891 0.517 0.068
Minimum Maksimum Rerata Indeks_BI Indeks_BD Indeks_BA
0.350 0.344 0.321
Hasil olahan statistik menunjukkan bahwa rerata indeks sikap terhadap bahasa Indonesia adalah 0,708 dengan simpangan baku 0,124. Sementara itu, rerata indeks sikap terhadap bahasa daerah adalah 0,710 dengan simpangan baku 0,086. Adapun rerata indeks sikap terhadap bahasa asing adalah 0,517 dengan simpangan baku 0,068. Distribusi indeks sikap terhadap bahasa Indonesia terentang antara 0,350 dan 0,983 dengan rerata 0,708. Indeks sikap terhadap bahasa daerah terentang antara 0,344 dan 0,944 dengan rerata 0,710. Adapun indeks sikap terhadap bahasa asing terentang antara 0,321 dan 0,891 dengan rerata 0,517. Dari tabel itu dapat diketahui bahwa simpangan baku untuk semua indeks kecil, yaitu kurang dari 0,13. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa indeks sikap
bahasa masyarakat di daerah perbatasan NTT terhadap bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing terentang antara 0,321 dan 0,983. Data dalam Tabel 8 tersebut membuktikan bahwa secara umum indeks sikap bahasa masyarakat di daerah perbatasan NTT terhadap bahasa daerah tidak jauh berbeda atau hampir berimbang dengan sikap mereka terhadap bahasa Indonesia. Akan tetapi, sikap mereka terhadap bahasa asing lebih rendah jika dibandingkan dengan sikap mereka terhadap bahasa daerah maupun terhadap bahasa Indonesia. Berdasarkan hasil perbandingan itu, tampaknya sikap masyarakat di daerah perbatasan NTT terhadap bahasa asing kurang positif jika dibandingkan dengan sikap mereka terhadap bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Sementara itu, sikap masyarakat di daerah perbatasan NTT terhadap bahasa Indonesia lebih rendah jika dibandingkan dengan sikap mereka terhadap bahasa daerah. Dengan demikian, pola perbedaan sikap bahasa secara umum dapat dirumuskan dengan pola bahasa asing (BA) lebih kecil jika dibandingkan dengan bahasa Indonesia (BI) dan BI lebih kecil jika dibandingkan dengan bahasa daerah (BD) atau BA
Metalingua, Vol. 13 No. 2, Desember 2015:215—227
daripada sikap bahasa penutur perempuan, baik terhadap bahasa Indonesia, bahasa daerah, maupun bahasa asing. Tabel 9 Indeks Sikap Menurut Jenis Kelamin Penutur Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
Indeks _BI
Indeks _BD
0.750 0.677
0.745 0.684
Indeks _BA 0.533 0.506
Dalam hal sikap terhadap bahasa Indonesia, indeks sikap bahasa penutur laki-laki (0,750) lebih tinggi daripada indeks sikap bahasa penutur perempuan (0,677). Hal yang sama juga terjadi pada sikap terhadap bahasa daerah. Indeks sikap bahasa penutur laki-laki (0,745) lebih tinggi daripada indeks sikap bahasa penutur perempuan (0,684). Demikian juga dalam hal sikap terhadap bahasa asing, perbedaan antara indeks sikap bahasa penutur lakilaki dan indeks sikap bahasa penutur perempuan tidak begitu jauh. Indeks sikap bahasa penutur lakilaki (0,533) lebih tinggi daripada indeks sikap bahasa penutur perempuan (0,506). Data Tabel 9 itu membuktikan bahwa penutur laki-laki lebih mempunyai kesetiaan terhadap bahasa Indonesia, kemudian terhadap bahasa daerah, dan selanjutnya terhadap bahasa asing. Sebaliknya, sikap bahasa penutur perempuan lebih mempunyai kesetiaan terhadap bahasa daerah, kemudian terhadap bahasa Indonesia, dan selanjutnya terhadap bahasa asing. Sikap bahasa penutur laki-laki dan sikap bahasa penutur perempuan terhadap bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing dapat digambarkan seperti grafiks berikut ini. S i k a p Ba h a s a M e n u r u t J e n i s Ke l a m i n P e n u t u r 0.800
Laki-laki
Perempuan
0.600 0.400 0.200 0.000 I N D E K S_ B I
222
I N D E K S_ B D
I N D E K S_ B A
B. Sikap Bahasa Menurut Usia Penutur Selain jenis kelamin, kelompok usia juga mempunyai peran yang sangat penting dalam membedakan sikap bahasa penutur. Untuk lebih jelasnya, perhatikan Tabel 10 berikut. Tabel 10 Indeks Sikap Menurut Usia Penutur Usia <25 tahun 26–50 tahun >51 tahun
Indeks _BI
Indeks _BD
Indeks _BA
0.677 0.728 0.689
0.661 0.715 0.733
0.493 0.521 0.526
Berdasarkan hasil analisis data, dapat diketahui bahwa indeks sikap terhadap bahasa Indonesia pada penutur yang berusia 26–50 tahun lebih tinggi daripada indeks sikap bahasa penutur yang berusia > 51 tahun dan penutur yang berusia <25 tahun. Akan tetapi, indeks sikap terhadap bahasa daerah, justru penutur yang berusia > 51 tahun yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan penutur berusia 26–50 tahun dan penutur yang berusia <25 tahun. Dengan demikian, dari hasil analisis data itu dapat dibuktikan bahwa penutur yang berusia produktif (26–50 tahun), lebih positif sikapnya terhadap bahasa Indonesia dan kurang positif terhadap bahasa daerah, apalagi terhadap bahasa asing. Sebaliknya, penutur yang berusia tua (>51 tahun), lebih positif sikapnya terhadap bahasa daerah dan kurang positif sikapnya terhadap bahasa Indonesia, apalagi terhadap bahasa asing. Sementara itu, dalam hal sikap terhadap bahasa asing, jika dibandingkan ketiga kelompok penutur itu, indeks sikap bahasa penutur yang berusia >51 tahun lebih tinggi daripada indeks sikap bahasa penutur yang berusia 26–50 tahun dan indeks sikap bahasa penutur yang berusia <25 tahun. Dengan demikian, dalam hal sikap terhadap bahasa asing, penutur yang berusia >51 tahun yang lebih positif sikapnya jika dibandingkan dengan penutur yang berusia 26–50 tahun dan penutur yang berusia <25 tahun. Indeks sikap bahasa ketiga kelompok penutur itu dapat digambarkan seperti grafiks berikut ini.
SRI WINARTI: SIKAP BAHASA MASYARAKAT DI WILAYAH ...
S i k a p B a h asa M e n urut Usi a P e n utur <25 tahun
26-50 tahun
>51 tahun
0.800 0.700 0.600 0.500 0.400 0.300 0.200 0.100 0.000 I N D E K S_ B I
I N D E K S_ B D
I N D E K S_ B A
Grafiks di atas menunjukkan bahwa penutur generasi muda, yaitu penutur yang berusia <25 tahun, cenderung mempunyai sikap stabil terhadap ketiga bahasa. Kecenderungan yang diperlihatkan dari grafiks itu adalah semakin tua usia penutur, semakin besar perbedaan sikapnya terhadap bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. C. Sikap Bahasa Menurut Tingkat Pendidikan Penutur Tingkat pendidikan juga mempunyai peran yang sangat penting dalam membedakan sikap bahasa penutur. Untuk lebih jelasnya, perhatikan Tabel 11 berikut.
sikapnya terhadap bahasa daerah dan kurang positif sikapnya terhadap bahasa Indonesia, apalagi sikapnya terhadap bahasa asing. Akan tetapi, sebaliknya, penutur yang berpendidikan menengah (SMP dan SMA) lebih positif sikapnya terhadap bahasa Indonesia dan kurang positif sikapnya terhadap bahasa daerah, apalagi terhadap bahasa asing. Sementara itu, dalam hal sikap terhadap bahasa asing, jika dibandingkan kedua kelompok tingkat pendidikan penutur itu, indeks sikap bahasa penutur yang berpendidikan menengah (SMP dan SMA) lebih tinggi jika dibandingkan dengan penutur yang berpendidikan rendah (tidak bersekolah atau SD). Data itu menunjukkan bahwa penutur yang berpendidikan menengah (SMP dan SMA) lebih positif sikapnya terhadap bahasa asing jika dibandingkan dengan penutur yang berpendidikan rendah (tidak sekolah/SD). Sikap bahasa kedua kelompok penutur itu dapat digambarkan seperti grafiks berikut. Sikap Bahasa Menurut Tingkat Pendidikan Penutur 0.800 0.700 0.600 0.500 0.400
Tabel 11 Indeks Sikap Bahasa Menurut Tingkat Pendidikan Penutur Pendidikan
Indeks _BI
Indeks _BD
Indeks _BA
Tidak Sekolah/ SD Menengah
0.693 0.751
0.712 0.704
0.514 0.527
Berdasarkan hasil analisis data, dapat diketahui bahwa indeks sikap terhadap bahasa Indonesia pada penutur yang berpendidikan menengah (SMP dan SMA) lebih tinggi daripada sikap bahasa penutur yang berpendidikan rendah (tidak bersekolah atau SD). Akan tetapi, indeks sikap terhadap bahasa daerah, justru penutur yang berpendidikan rendah (tidak bersekolah atau SD) lebih tinggi jika dibandingkan dengan penutur yang berpendidikan menengah (SMP dan SMA). Dengan demikian, dari hasil analisis data itu dapat dibuktikan bahwa penutur yang berpendidikan rendah (tidak bersekolah SD) lebih positif
0.300 0.200 0.100 0.000 Indeks_BI
Indeks_BD Tidak Sekolah/ SD
Indeks_BA Menengah
Lebih rendahnya indeks sikap bahasa penutur yang berpendidikan menengah (SMP dan SMA), terhadap bahasa daerah jika dibandingkan dengan indeks sikapnya terhadap bahasa Indonesia, memberikan bukti bahwa bahasa Indonesia terlalu dominan bagi penutur yang berpendididkan menengah. Artinya, penutur yng berpendidikan menengah cenderung mempunyai sikap yang lebih positif terhadap bahasa Indonesia jika dibandingkan dengan sikapnya terhadap bahasa daerah. Kecenderungan yang diperlihatkan dari grafiks itu adalah semakin tinggi tingkat pendidikan penutur, semakin besar perbedaan sikapnya terhadap bahasa daerah.
223
Metalingua, Vol. 13 No. 2, Desember 2015:215—227
D. Sikap Bahasa Menurut Etnis Pasangan Penutur Variabel sosial lain yang ikut menentukan sikap bahasa penutur adalah etnis pasangan penutur. Sikap penutur terhadap bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing menurut etnis pasangan penutur sangat berbedabeda, seperti dapat dilihat pada Tabel 12 berikut. Tabel 12 Indeks Sikap Bahasa Menurut Etnis Pasangan Penutur Etnis Pasangan Sama etnis (ya) Tidak sama etnis (tidak)
Indeks _BI
Indeks _BD
Indeks _BA
0.711 0.704
0.721 0.691
0.525 0.505
Berdasarkan penghitungan statistik, sikap terhadap bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing menurut etnis pasangan penutur, sikap bahasa yang cukup positif ditunjukkan oleh penutur yang memiliki pasangan yang beretnis sama jika dibandingkan dengan penutur yang memiliki pasangan yang beretnis berbeda. Indeks sikap bahasa penutur yang memiliki pasangan yang seetnis lebih tinggi jika dibandingkan dengan indeks sikap bahasa penutur yang memiliki pasangan yang tidak seetnis, baik terhadap bahasa Indonesia, bahasa daerah, maupun bahasa asing. Indeks sikap bahasa tertinggi ditunjukkan oleh indeks sikap terhadap bahasa daerah pada penutur yang memiliki pasangan yang seetnis (0,721). Adapun indeks sikap bahasa terendah ditunjukkan oleh indeks sikap terhadap bahasa asing pada penutur yang memiliki pasangan yang tidak seetnis (0,505). Jika dibandingkan dengan indeks sikap terhadap ketiga bahasa, indeks sikap terhadap bahasa daerah pada penutur yang memiliki pasangan seetnis lebih tinggi (0,721) daripada indeks sikapnya terhadap bahasa Indonesia (0,711), apalagi indeks sikapnya terhadap bahasa asing (0,525). Hal yang berbeda ditunjukkan pada penutur yang memiliki pasangan yang tidak seetnis. Indeks sikap terhadap bahasa Indonesia
224
pada bahasa penutur yang memiliki pasangan yang tidak seetnis lebih tinggi (0,704) daripada indeks sikapnya terhadap bahasa daerah (0,691), apalagi indeks sikapnya terhadap bahasa asing (0,505). Hal ini menunjukkan bahwa sikap bahasa penutur yang memiliki pasangan seetnis lebih positif terhadap bahasa daerah daripada terhadap bahasa Indonesia, apalagi terhadap bahasa asing. Sebaliknya, penutur yang memiliki pasangan yang tidak seetnis menunjukkan sikap yang positif terhadap bahasa Indonesia dibandingkan sikapnya terhadap bahasa daerah, apalagi terhadap bahasa asing. Sikap bahasa penutur menurut etnis pasangan penutur dapat digambarkan seperti grafiks berikut. S i k a p B a h asa M e n uru t E t n i s P a san ga n P e nutu r ya
tidak
0.800 0.700 0.600 0.500 0.400 0.300 0.200 0.100 0.000 I N D E K S_ B I
E.
I N D E K S_ B D
I N D E K S_ B A
Sikap Bahasa Menurut Status Perkawinan Penutur
Sikap bahasa menurut status perkawinan juga diamati dalam penelitian ini. Berdasarkan penghitungan statistik, sikap terhadap bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing menurut status perkawinan cukup positif ditunjukkan oleh penutur yang menikah jika dibandingkan dengan penutur yang belum menikah. Indeks sikap bahasa tertinggi ditunjukkan oleh indeks sikap terhadap bahasa daerah pada penutur yang sudah menikah (0,712). Adapun indeks terendah ditunjukkan oleh indeks sikap terhadap bahasa asing pada penutur yang belum menikah (0,495). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa status perkawinan penutur juga ikut berperan dalam menentukan sikap bahasa penutur, seperti dapat dilihat dalam Tabel 13 berikut.
SRI WINARTI: SIKAP BAHASA MASYARAKAT DI WILAYAH ...
Tabel 13 Indeks Sikap Menurut Status Perkawinan Penutur Status Kawin Belum Kawin
Indeks _BI
Indeks _BD
0.710 0.692
0.712 0.694
Indeks _BA 0.520 0.495
Indeks sikap bahasa penutur yang sudah menikah lebih tinggi jika dibandingkan dengan indeks sikap bahasa penutur yang belum menikah, baik terhadap bahasa Indonesia, bahasa daerah, maupun bahasa asing. Perbedaan indeks ini menunjukkan bahwa sikap bahasa penutur yang sudah menikah lebih positif atau menunjukkan kesetiaan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan sikap bahasa penutur yang belum menikah. Sikap bahasa penutur yang sudah menikah terhadap bahasa daerah (0,712) lebih tinggi daripada indeks sikapnya terhadap bahasa Indonesia (0,710), apalagi indeks sikapnya terhadap bahasa asing (0,520). Hal yang sama juga ditunjukkan pada penutur yang belum menikah. Indeks sikap terhadap bahasa daerah pada penutur yang belum menikah lebih tinggi (0,694) daripada indeks sikapnya terhadap bahasa Indonesia (0,692), apalagi indeks sikap terhadap bahasa asing (0,495). Hal ini menunjukkan bahwa sikap bahasa penutur yang sudah menikah dan penutur yang belum menikah sama-sama menunjukkan sikap yang positif terhadap bahasa daerah. Sikap bahasa penutur menurut status perkawinan dapat digambarkan seperti grafiks berikut. S i k a p B a h as a M e n urut S t atus P e r k aw ina n P e nutu r Kawin
Belum Kawin
0.800 0.600 0.400 0.200 0.000 I N D E K S_ B I
I N D E K S_ B D
I N D E K S_ B A
F.
Sikap Bahasa Menurut Tempat Tinggal yang Sama dengan Bahasa Ibu Penutur
Tempat tinggal juga dapat menentukan sikap bahasa seseorang, baik terhadap bahasa Indonesia, bahasa daerah, maupun bahasa asing. Dalam penelitian, tempat tinggal dikelompokkan atas dua, yaitu tempat tinggal yang sama dengan bahasa ibu penutur dan tempat tinggal yang tidak sama dengan bahasa ibu penutur. Seseorang dianggap tinggal di tempat yang sama dengan bahasa ibu penutur apabila ia bertempat tinggal di daerah yang semua penduduknya atau mayoritas penduduknya satu etnis dengannya, sedangkan seseorang dianggap tidak tinggal di daerah yang tidak sama dengan bahasa ibu penutur apabila ia bertempat tinggal di daerah yang dihuni oleh beragam etnis. Indeks sikap bahasa menurut tempat tinggal yang sama dengan bahasa ibu dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 14 Indeks Sikap Menurut Tempat Tinggal yang Sama dengan Bahasa Ibu Penutur Tempat Tinggal Sama (ya) Tidak Sama
Indeks _BI 0.711 0.696
Indeks _BD 0.707 0.723
Indeks _BA 0.519 0.510
Indeks sikap terhadap bahasa Indonesia pada masyarakat yang tinggal di tempat yang sama dengan bahasa ibunya lebih tinggi (0,711) jika dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di tempat yang berbeda dengan bahasa ibunya (0,696). Perbedaan seperti itu juga ditemukan dalam perbandingan indeks sikap terhadap bahasa asing. Indeks sikap terhadap bahasa asing pada masyarakat yang tinggal di tempat yang sama dengan bahasa ibunya lebih tinggi (0,519) jika dibandingkan dengan indeks sikap bahasa pada masyarakat yang tinggal di tempat yang berbeda dengan bahasa ibunya (0,510). Sebaliknya, indeks sikap terhadap bahasa daerah pada masyarakat yang tinggal di tempat yang berbeda dengan bahasa ibunya, justru lebih tinggi (0,723) jika
225
Metalingua, Vol. 13 No. 2, Desember 2015:215—227
dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di tempat yang sama dengan bahasa ibunya (0,707). Indeks sikap bahasa menurut tempat tinggal yang sama dan yang berbeda dengan bahasa ibunya dapat digambarkan seperti tampak dalam grafiks berikut. S i k a p B ah asa M en uru t Tem pa t Ti ng g al Ya n g S am a d en gan B ah asa Ib u P e nu tur ya
tidak
0.800 0.600 0.400 0.200 0.000 I N D E K S_ B I
I N D E K S_ B D
I N D E K S_ B A
4. Penutup 4.1 Simpulan Simpulan sikap bahasa masyarakat di wilayah perbatasan NTT adalah sebagai berikut. Masyarakat perbatasan NTT mempunyai sikap yang cukup positif, baik terhadap bahasa Indonesia, bahasa daerah, maupun bahasa asing. Jika dilihat dari hasil perbandingan indeks, sikap bahasa masyarakat di daerah perbatasan NTT terhadap bahasa daerah lebih positif jika dibandingkan dengan indeks sikap bahasa mereka terhadap bahasa Indonesia. Indeks sikap bahasa yang paling rendah adalah indeks sikap bahasa mereka terhadap bahasa asing. Ciri sosial penutur, seperti jenis kelamin, tingkat usia, jenjang pendidikan, status perkawinan penutur, etnis pasangan penutur, mempunyai pengaruh terhadap sikap bahasa seseorang. Hasil analisis data menunjukkan bahwa (1) sikap bahasa penutur laki-laki lebih positif jika dibandingkan dengan sikap bahasa penutur perempuan; (2) penutur yang berusia produktif (26–50 tahun), lebih positif sikapnya terhadap bahasa Indonesia dan kurang positif terhadap bahasa daerah, apalagi terhadap bahasa asing; sebaliknya, penutur yang berusia tua (>51 tahun), lebih positif sikapnya terhadap bahasa daerah dan kurang positif sikapnya terhadap
226
bahasa Indonesia, apalagi terhadap bahasa asing; (3) penutur yang berpendidikan rendah (tidak bersekolah SD) lebih positif sikapnya terhadap bahasa daerah dan kurang positif sikapnya terhadap bahasa Indonesia, apalagi sikapnya terhadap bahasa asing; sebaliknya, penutur yang berpendidikan menengah (SMP dan SMA) lebih positif sikapnya terhadap bahasa Indonesia dan kurang positif sikapnya terhadap bahasa daerah, apalagi terhadap bahasa asing; (4) sikap bahasa penutur yang memiliki pasangan seetnis lebih positif sikapnya terhadap bahasa daerah jika dibandingkan dengan bahasa Indonesia; sebaliknya, penutur yang memiliki pasangan yang tidak seetnis lebih positif sikapnya terhadap bahasa Indonesia jika dibandingkan dengan sikapnya terhadap bahasa daerah, apalagi terhadap bahasa asing; (5) sikap bahasa penutur yang sudah menikah lebih positif atau menunjukkan kesetiaan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan sikap bahasa penutur yang belum menikah; (6) Indeks sikap terhadap bahasa Indonesia dan bahasa asing pada masyarakat yang tinggal di tempat yang sama dengan bahasa ibunya lebih tinggi jika dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di tempat yang berbeda dengan bahasa ibunya. Sebaliknya, indeks sikap terhadap bahasa daerah pada masyarakat yang tinggal di tempat yang berbeda dengan bahasa ibunya, justru lebih tinggi jika dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di tempat yang sama dengan bahasa ibunya.
4.2 Saran Wilayah Indonesia berbatasan dengan beberapa negara. Sikap bahasa masyarakat pada masing-masing wilayah perbatasan kemungkinan tidak sama. Penelitian ini baru meneliti sikap bahasa masyarakat di perbatasan Nusa Tenggara Timur. Dengan demikian, perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui sikap bahasa masyarakat di wilayah perbatasan yang lain.
SRI WINARTI: SIKAP BAHASA MASYARAKAT DI WILAYAH ...
Daftar Pustaka Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: PT Rineka Cipta. Fasold, Ralp. 1984. The Sociolinguistics of Language. Oxford: Basil Blackwell. Fasold, Ralp. 1984. Sociolinguistics of Society. New York: Basil Blak Well Inc. Hudson, R.A. 1996. Sociolinguistics. Great Britain: Cambridge University Press. Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Palmer, F.R. 1976. Sematics: A New Introduction. Cambridge: University Press. Prasetyo, Bambang dan Lina M. Jannah. 2005. Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sugiyono dan Sry Satria Tjatur Wisnu S. 2011. Sikap Masyarakat Indonesia terhadap Bahasanya. Yogyakarta: Elmatera Publishing. Suhardi, Basuki. 1996. Sikap Bahasa: Suatu Telaah Eksploratif atas Sekelompok Sarjana dan Mahasiswa di Jakarta. Jakarta: FSUI.
227
Metalingua, Vol. 13 No. 2, Desember 2015:215—227
228