PERATURAN DAERAH PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2006 - 2020 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR, Menimbang : a. bahwa untuk mengarahkan pemanfaatan ruang di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur secara berdaya guna, berhasil guna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan pertahanan keamanan, perlu disusun rencana tata ruang wilayah; b. bahwa dalam rangka mewujudkan keterpaduan pembangunan antar sektor, daerah dan masyarakat, maka rencana tata ruang wilayah merupakan arahan lokasi investasi pembangunan yang dilaksanakan Pemerintah, masyarakat, dan/atau dunia usaha; c. bahwa Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur Nomor 2 Tahun 1994 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dewasa ini sehingga perlu ditinjau kembali; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b dan c tersebut, maka perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2006-2020; Mengingat : 1.
Undang–Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerahdaerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1649);
2. Undang – Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerahdaerah Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1655);
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
1
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043); 4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2824); 5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2831); 6. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3208); 7. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3274); 8. Undang–Undang Nomor 5 tahun 1985 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3062); 9. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3319); 10. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 11. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3427); 12. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3469); 13. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3470); 14. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3478); 15. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalulintas Dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3480); 16. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3481);
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
2
17. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647); 18. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3501). 19. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Kupang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3637); 20. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3848); 21. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647); 22. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699); 23. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3881); 24. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888); 25. Undang-Undang Nomor 52 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Lembata (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 180, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3901) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389); 26. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4169; 27. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Rote-Ndao di Propinsi Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4184); 28. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4226; 29. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Manggarai Barat di Propinsi Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 28, , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4271 ); 30. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377);
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
3
31. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389); 32. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4411); 33. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421); 34. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433); 35. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437); 36. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438); 37. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4442); 38. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1982 tentang Irigasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3226); 39. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3294); 40. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3373); 41. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3445); 42. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3516); 43. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3529); 44. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat Dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3660);
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
4
45. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3721); 46. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 Tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3776); 47. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Transmigrasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3800); 48. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Perencanaan dan/atau Perusakan Laut (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3816); 49. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838); 50. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2000 tentang Tingkat Ketelitian Peta untuk Penataan Ruang Wilayah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3934); 51. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonomi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952); 52. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4090); 53. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4145); 54. Peraturan Pemerintah nomor 70 Tahun 2001 tentang Kebandarudaraan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4146); 55. Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik – Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4211). 56. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah; (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 45, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Negara Nomor 4385); 57. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung; 58. Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1997 tentang Penetapan Propinsi Lampung dan Nusa Tenggara Timur Sebagai Daerah Asal sekaligus Sebagai Daerah Transmigrasi ;
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
5
59. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum; 60. Keputusan Menteri Kehakiman Nomor Wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil;
04/PW/07/03/84-tentang
61. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 423/Kpts-II/1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur seluas 1.809.990; 62. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 138 Tahun 1998 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Daerah Rencana Struktur Tata Ruang Propinsi Daerah Tingkat I dan Rencana Umum Tata Ruang Kabupaten Daerah Tingkat II; 63. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 147 Tahun 2000 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah; 64. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2001 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi AMDAL; 65. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 44 Tahun 2002 tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional; 66. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 53 Tahun 2002 tentang Tatanan Kepelabuhan Nasional; 67. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 52 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan; 68. Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 375/KTPSM/M/2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang Penetapan Status Panjang Ruas Jaringan Jalan di Propinsi NTT; 69. Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur Nomor 5 Tahun 1994 tentang Kawasan Lindung Propinsi Nusa Tenggara Timur; 70. Peraturan Daerah Propinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 2 Tahun 2004 tentang Program Pembangunan Propinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2004– 2008 (Lembaran Daerah Tahun 2004 Nomor 54 Seri E Nomor 002) 71. Peraturan Daerah Propinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 3 Tahun 2004 tentang Rencana Startegis Pembangunan Daerah Propinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2004 – 2008 (Lembaran Daerah Tahun 2004 Nomor 55 Seri E Nomor 03);
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
6
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR dan GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2006 - 2020 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1.
Daerah adalah Propinsi Nusa Tenggara Timur.
2.
Pemerintah adalah Pemerintah Pusat
3.
Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur.
4.
Gubernur adalah Gubernur Nusa Tenggara Timur.
5.
Perencanaan Tata Ruang adalah kegiatan menyusun dan menetapkan rencana tata ruang yang dilakukan melalui proses dan prosedur penyusunan serta penetapan rencana tata ruang yang memiliki kekuatan hukum.
6.
Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur selanjutnya disingkat RTRWP adalah hasil perencanaan tata ruang yang memperhatikan arahan struktur dan pola kebijakan pemanfaatan ruang nasional, rencana tata ruang pulau dan persyaratan teknis kedalam struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah Propinsi dan berisi pokokpokok kebijaksanaan dan strategi penataan ruang-ruang wilayah darat, laut/pesisir menurut kewenangan yang dimiliki.
7.
Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidup.
8.
Tata Ruang Wilayah adalah wujud struktural dan pola pemanfataan ruang wilayah dengan maupun tidak direncanakan.
9.
Penataan Ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang yang terlaksana secara sistematis dan berkelanjutan.
10.
Penyelenggaraan Penataan Ruang adalah rangkaian kegiatan dalam pelaksanaan proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
11.
Pemanfaatan Ruang adalah rangkaian program dan kegiatan pelaksanaan pembangunan yang memanfaatkan ruang sesuai jangka waktu yang telah ditetapkan fungsinya didalam rencana tata ruang untuk membentuk ruang.
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
7
12.
Pengendalian Pemanfaatan Ruang adalah kegiatan pengawasan dan penertiban pemanfaatan ruang sebagai usaha untuk menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang dan untuk mengambil tindakan agar rencana pemanfaatan ruang dapat terwujud.
13.
Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.
14.
Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama Lindung atau Budidaya.
15.
Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian hidup yang mencakup sumber daya alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah budaya bangsa untuk kepentingan pembangunan yang berkelanjutan.
16.
Kawasan Budidaya adalah kawasan yang dimanfaatkan secara terencana dan terarah yang berkelanjutan berwawasan lingkungan, sehingga dapat berdaya guna dan berhasil guna bagi hidup dan kehidupan manusia.
17.
Kawasan Prioritas adalah kawasan yang dapat berperan mendorong pertumbuhan ekonomi bagi kawasan dan atau keseimbangan pengembangan wilayah serta keseimbangan ekosistem wilayah itu sendiri dengan kawasan sekitarnya serta dapat mewujudkan pemanfaatan ruang wilayah nasional.
18.
Kawasan Perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pelayanan jasa pemerintahan, pendidikan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.
19.
Kawasan Perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.
20.
Kawasan Tertentu adalah kawasan yang ditetapkan secara nasional mempunyai nilai strategis yang penataan ruangnya diprioritaskan.
21.
Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
22.
Kawasan Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok mempertahankan, mengamankan, mengawetkan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
23.
Kawasan Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah.
24.
Kawasan Hutan Produksi Tetap adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.
25.
Perairan Indonesia adalah laut teritorial Indonesia beserta perairan Kepulauan dan perairan pedalamannya.
26.
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung air yang berasal dari curahan hujan dan sumber air lainnya dan kemudian mengalirkannya melalui sungai utama ke laut atau bentang alam lainnya.
27.
Pusat Kegiatan Nasional yang disingkat PKN adalah kota atau pusat kegiatan yang mempunyai potensi sebagai pintu gerbang ke kawasan-kawasan internasional dan mempunyai potensi untuk mendorong daerah sekitarnya serta sebagai pusat jasa, pusat pengelolaan, simpul transportasi dengan skala pelayanan nasional atau beberapa Propinsi.
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
8
28.
Pusat Kegiatan Wilayah yang disingkat PKW adalah kota sebagai pusat jasa, pusat pengelolaan dan simpul transportasi untuk satu Propinsi yang melayani beberapa Kabupaten dan atau Kota.
29.
Pusat Kegiatan Lokal yang disingkat PKL adalah kota sebagai pusat jasa keuangan, perbankan, yang melayani satu Kabupaten/Kota atau beberapa Kecamatan serta simpul transportasi untuk satu Kabupaten atau beberapa Kecamatan.
30.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah yang disingkat RPJP Daerah adalah dokumen perencanaan pembangunan Propinsi untuk periode 20 (dua puluh) tahun. yang memuat visi, misi, arah dan strategi pembangunan Propinsi yang mengacu kepada RPJP Nasional.
31.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, yang disingkat RPJM Daerah adalah dokumen perencanaan untuk periode 5 (lima) tahun yang merupakan penjabaran dari visi, misi dan program Kepala Daerah yang penyusunannya berpedoman pada RPJP yang memuat arah kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan daerah, kebijakan umum dan program satuan kerja perangkat daerah, lintas satuan kerja perangkat daerah, dan program kewilayahan disertai dengan rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
32.
Sistem Pusat-pusat Permukiman adalah tata pengaturan dan pemanfaatan ruang yang memberi peluang bertumbuhkembangnya kegiatan-kegiatan permukiman beserta aktivitas penunjangnya yang terkonsentrasi dan tertata untuk efisiensi dan efektivitas penggunaan ruang, sumber daya lainnya dan seluruh prasarana/sarana terbangun.
33.
Sistem Sarana dan Prasarana adalah tata pengaturan dan pemanfaatan ruang yang memberi peluang bertumbuhnya pengembangan sarana dan prasarana wilayah yang memadai dan sesuai bagi penunjang kegiatan yang memungkinkan tercapainya efisiensi dan efektivitas penggunaan ruang dan seluruh prasarana/sarana.
34.
Masyarakat adalah orang, seorang, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat atau badan hukum.
35.
Peran serta Masyarakat adalah berbagai kegiatan masyarakat yang timbul atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat, untuk berminat dan bergerak dalam penyelenggaraan penataan ruang. BAB II RUANG LINGKUP, ASAS, TUJUAN, SASARAN DAN FUNGSI Bagian Pertama Ruang Lingkup Pasal 2
Ruang Lingkup RTRWP meliputi : a. asas, tujuan, sasaran dan fungsi RTRWP untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat; b. struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah Propinsi; c. pedoman pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Propinsi.
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
9
Bagian Kedua Asas Pasal 3 RTRWP didasarkan atas asas : a. manfaat ialah pemanfaatan ruang secara optimal dan lestari yang tercermin dalam penentuan jenjang fungsi dan pelayanan kegiatan dan sistem prasarana wilayah; b. keseimbangan dan keserasian ialah menciptakan keseimbangan dan keserasian fungsi dan intensitas pemanfaatan ruang dalam suatu wilayah; c. kelestarian ialah hubungan yang serasi dan seimbang antar manusia dan lingkungan yang tercermin dari pola intensitas pemanfaatan ruang; d. berkelanjutan ialah penataan ruang yang menjamin kelestarian, kemampuan daya dukung sumber daya alam dengan memperhatikan kepentingan lahir bathin antara generasi; e. keterbukaan dan persamaan ialah keadaan dimana setiap orang / pihak dapat memperoleh keterangan mengenai produk perencanaan tata ruang dan proses penataan ruang; f. keadilan dan perlindungan hukum ialah rencana tata ruang menjamin keadilan dan perlindungan hukum dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengendaliannya. Bagian Ketiga Tujuan Pasal 4 Tujuan pemanfaatan ruang adalah : a. meningkatkan integritas pemanfaatan ruang di darat, laut dan udara; b. meningkatkan kualitas pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat; c. meningkatkan keseimbangan dan keserasian perkembangan antar wilayah serta antar sektor melalui pemanfaatan ruang kawasan secara serasi, selaras dan seimbang serta berkelanjutan; d. meningkatkan kemampuan pengelolaan keamanan wilayah Propinsi; e. meningkatkan kualitas lingkungan hidup serta mencegah timbulnya kerusakan fungsi dan tatanannya; f. meningkatkan konsistensi pembangunan dengan mengacu pada kemampuan dan peruntukkan ruang. Bagian Keempat Sasaran Pasal 5 Sasaran pemanfaatan ruang adalah : a. terarahnya pengelolaan kawasan berfungsi lindung; b. terarahnya pengembangan kawasan budidaya, sistem pusat - pusat permukiman perdesaan dan perkotaan, sistem prasarana wilayah, kawasan yang perlu diprioritaskan pengembangannya dan kawasan tertentu; c. terarahnya kebijaksanaan yang menyangkut tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, tata guna sumber daya alam lainnya serta kebijaksanaan penunjang penataan ruang yang dilaksanakan.
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
10
Bagian Kelima Fungsi Pasal 6 Fungsi RTRWP adalah : a. sebagai penyelaras kebijakan penataan ruang Nasional, wilayah Propinsi dan wilayah Kabupaten/Kota; b. sebagai matra ruang dari RPJP Daerah dan RPJM Daerah; c. sebagai dasar kebijaksanaan pokok tentang pemanfaatan ruang Daerah; d. mewujudkan keterkaitan dan keseimbangan perkembangan antar wilayah serta keserasian antar sektor; e. sebagai arahan lokasi investasi yang dilakukan Pemerintah, masyarakat dan swasta;
BAB III WILAYAH, SUBSTANSI, KEDUDUKAN DAN JANGKA WAKTU RENCANA Bagian Pertama Wilayah Perencanaan Pasal 7 Wilayah perencanaan dalam RTRWP adalah wilayah yang sesuai dengan batas wilayah administratif dan batas kewenangan Propinsi mencakup wilayah daratan seluas 4.735.400 Ha, wilayah pesisir dan laut sejauh 12 mil dari garis pantai serta wilayah udara yang diatur menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagian Kedua Substansi Pasal 8 (1)
Substansi RTRWP mencakup kebijakan penataan ruang, rencana tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
(2)
Kebijakan penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. kebijakan perencanaan tata ruang; b. kebijakan pemanfaatan ruang; c. kebijakan pengendalian pemanfaatan ruang.
(3)
Rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. Rencana Struktur Tata Ruang, meliputi rencana pengembangan sistem kota-kota, rencana pengembangan infrastruktur wilayah, rencana pengembangan kawasan prioritas dan rencana pengembangan kawasan pertahanan keamanan; b. Rencana Pola Tata Ruang meliputi rencana pola tata ruang kawasan lindung, rencana pola tata ruang kawasan budidaya dan rencana pola tata ruang kawasan tertentu.
(4)
Pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi program, kegiatan, tahapan dan pembiayaan pemanfaatan ruang yang didasarkan atas rencana tata ruang.
(5)
Pengendalian Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan pengawasan dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang.
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
11
Bagian Ketiga Kedudukan Pasal 9 Kedudukan RTRWP merupakan: a. penjabaran strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah Nasional; b. acuan kebijakan penataan ruang wilayah Kabupaten/Kota; c. pedoman bagi pelaksanaan perencanaan, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Bagian Keempat Jangka Waktu Rencana Pasal 10 Jangka waktu RTRWP adalah 15 (lima belas) tahun yaitu tahun 2006 sampai dengan 2020. BAB IV KEBIJAKAN PENATAAN RUANG Bagian Pertama Kebijakan Perencanaan Pasal 11 (1)
Rencana tata ruang sebagai matra ruang pembangunan daerah dilakukan dengan pendekatan partisipatif.
(2)
Rencana tata ruang dapat ditinjau kembali dan atau disempurnakan bilamana tidak mampu lagi mengakomodir dinamika perkembangan yang disebabkan oleh faktor eksternal dan atau internal.
(3)
Rencana tata ruang wilayah perlu ditindaklanjuti dan dijabarkan ke jenjang rencana yang lebih detail yaitu dalam rencana tata ruang pulau dan rencana tata ruang kawasan. Bagian Kedua Kebijakan Pemanfaatan Ruang Paragraf 1 Umum Pasal 12
(1)
Pemanfaatan ruang diwujudkan berdasarkan kebijakan struktur tata ruang dan pola tata ruang.
(2)
Struktur tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengembangan sistem kota-kota, sistim prasarana wilayah, kawasan prioritas dan kawasan pertahanan keamanan.
(3)
Pola tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi kebijakan pola tata ruang kawasan lindung, kawasan budidaya serta pola tata ruang kawasan tertentu.
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
12
Paragraf 2 Sistem Kota-Kota Pasal 13 Kebijakan pengembangan sistem kota-kota dilakukan melalui pengembangan sistem kotakota yang sesuai dengan daya dukung sumber daya alam dan daya tampung lingkungan hidup serta kegiatan dominannya. Paragraf 3 Prasarana Wilayah Pasal 14 Kebijakan pengembangan prasarana wilayah dilakukan dengan : a. mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan infrastruktur transportasi untuk mendukung tumbuhnya pusat-pusat pertumbuhan dan kawasan andalan; b. menyediakan infrastruktur yang berfungsi sebagai penyedia dan penampung air baku untuk mewujudkan keseimbangan ketersediaan air pada musim hujan dan kemarau; c. mempertahankan dan meningkatkan ketersediaan energi listrik dan jaringan telekomunikasi; d. meningkatkan ketersediaan infrastruktur permukiman perdesaan dan perkotaan. Pagaraf 4 Kawasan Prioritas Pasal 15 Kebijakan pengembangan kawasan prioritas dilakukan dengan : a. mengembangkan wilayah-wilayah yang diprioritaskan untuk mengakomodasikan perkembangan sektor-sektor strategis dengan melakukan studi yang lebih mendalam mengenai kawasan tersebut serta upaya penyiapan penataan ruang kawasan; b. menanggulangi dengan segera, kawasan-kawasan prioritas yang memiliki permasalahan yang cukup mendesak untuk ditangani, seperti penanganan terhadap kawasan kritis dan daerah terkebelakang; c. memberi dukungan penataan ruang pada setiap kawasan prioritas.. Paragraf 5 Kawasan Pertahanan Keamanan Pasal 16 Kebijakan pengembangan kawasan pertahanan dan keamanan adalah untuk mengamankan kepentingan pertahanan dan keamanan negara di beberapa kawasan yang disesuaikan dengan rencana tata ruang pertahanan dan keamanan. Paragraf 6 Kawasan Lindung Pasal 17 (1)
Kebijakan pengembangan kawasan lindung meliputi kebijaksanaan untuk memelihara dan mewujudkan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup.
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
13
(2)
Strategi untuk mewujudkan dan memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dengan : a. menetapkan kawasan lindung di wilayah daratan serta di wilayah pesisir dan laut dalam satu bentangan wilayah pulau dan pesisir hingga mencapai minimum 30% dari luas wilayah pulau; b. mewujudkan dan memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup, melalui perlindungan dan pengamanan kawasan – kawasan di darat, laut dan udara; c. mengembalikan fungsi kawasan lindung yang terlanjur dikembangkan dan terganggu fungsinya supaya tetap terpelihara keseimbangan alam dan keanekaragaman hayati.
(3)
Kawasan lindung di daratan dan di wilayah pesisir dan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi kawasan lindung yang memenuhi minimal salah satu kriteria berikut : a. memiliki keanekaragaman biota dan ekosistem yang khas; b. memiliki gejala dan keunikan/kelangkaan alam bagi kepentingan plasma nuftah, ilmu pengetahuan/ budaya dan pembangunan; c. mencakup wilayah lintas kabupaten; d. menjadi perhatian nasional maupun internasional.
Paragaraf 7 Kawasan Budidaya Pasal 18 (1)
Pengembangan dan pengelolaan kawasan budidaya mewujudkan keterpaduan dan keterkaitan antar kegiatan.
(2)
Strategi pengembangan dan pengelolaan kawasan budidaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dengan :
(3)
diselenggarakan
untuk
a. menetapkan kawasan budidaya untuk pemanfaatan sumber daya alam di darat maupun di laut secara sinergis untuk mewujudkan keseimbangan pemanfaatan ruang wilayah yang sesuai dengan kemampuan daya dukung lingkungannya; b. menetapkan kegiatan – kegiatan budidaya beserta prasarana penunjangnya baik di darat maupun di laut secara sinergis; c. mengembangkan dan mempertahankan kawasan budidaya pertanian pangan dan hortikultura; d. mengembangkan dan mempertahankan kawasan budidaya peternakan; e. mengembangkan dan mempertahankan kawasan budidaya perkebunan; f. mengembangkan dan mempertahankan kawasan budidaya pertambangan, energi dan perindustrian; g. mengembangkan dan mempertahankan kawasan pariwisata; h. mengembangkan kegiatan untuk ketahanan budidaya pengelolaan sumber daya alam laut yang bernilai ekonomi di 9 Satuan Kawasan Pesisir Laut Terpadu; i. mengendalikan pengembangan masalah perkotaan besar dan menengah; j. mengembangkan kota - kota dan perdesaan dalam kesatuan sistem kota- kota dan agar berfungsi sebagai pusat - pusat pertumbuhan. Penjabaran pengembangan dan pengelolaan kawasan budi daya sebagaimana dimaksud pada ayat 2 akan diatur dalam Peraturan Daerah Rencana Detail
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
14
Paragraf 8 Kawasan Tertentu Pasal 19 (1)
Pengembangan kawasan tertentu diselenggarakan untuk meningkatkan penanganan yang diutamakan dalam pembangunan daerah, regional dan nasional.
(2)
Kawasan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kawasan strategis daerah dan kawasan perbatasan negara. Pasal 20
(1)
Pengembangan kawasan strategis daerah diselenggarakan dengan: a. menetapkan kawasan- kawasan strategis daerah; b. mengembangkan kawasan strategis daerah dari sudut kepentingan ekonomi, sosial budaya dan lingkungan hidup daerah yang dapat mendukung dalam pembangunan melalui upaya-upaya konservasi/perlindungan dan pengembangan potensi ekonomi, lingkungan hidup dan sosial budaya serta masyarakat dalam memperkuat keanekaragaman jatidiri bangsa; c. mengembangkan kawasan strategis daerah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah dan atau peningkatan manfaat ruang di wilayah Propinsi sekaligus mempercepat pertumbuhan kawasan tertinggal dan sangat tertinggal yang meliputi upaya-upaya : 1. pengembangan pusat-pusat pertumbuhan berbasis potensi sumber daya alam dan sektor/komoditas unggulan sebagai penggerak utama pengembangan wilayah; 2. penyediaan insentif dan penyederhanaan prosedur perizinan investasi; 3. pengelolaan dan promosi peluang investasi kawasan; 4. penyediaan dukungan infrastruktur; d. mengembangkan kawasan strategis daerah dari sudut kepentingan pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi; e. mengembangkan kawasan strategis daerah untuk melestarikan fungsi dan meningkatkan daya dukung lingkungan melalui upaya-upaya konservasi/perlindungan dan peningkatan fungsi dan peranannya; f. mengembangkan kawasan strategis daerah untuk menunjang kepentingan pembangunan daerah dan mendukung keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2)
Strategi pengembangan kawasan perbatasan Negara melalui upaya-upaya sebagai berikut: a. mendorong pengembangan kawasan perbatasan Republik Indonesia, Timor Leste dan Australia sebagai beranda depan Negara Indonesia di Daerah; b. percepatan pembangunan kawasan perbatasan Negara yang berlandaskan pada pola kesejahteraan, keamanan dan kelestarian lingkungan. Paragraf 9 Wilayah Pengembangan Kepulauan Pasal 21
(1)
Dalam rangka penyelenggaraan RTRWP sebagai Propinsi kepulauan maka dibagi menjadi tiga wilayah pengembangan:
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
15
(2)
a. Wilayah Pengembangan I meliputi Timor Barat, Rote dan Alor, dengan pengembangan utama lahan kering, hortikultura, peternakan dan kelautan serta pengembangan penunjang lahan basah, perkebunan, pariwisata dan pertambangan; b. Wilayah Pengembangan II meliputi Flores dan Lembata, dengan pengembangan utama lahan basah, hortikultura, perkebunan, kelautan dan pariwisata serta pengembangan penunjang lahan kering, peternakan dan pertambangan; c. Wilayah Pengembangan III meliputi Sumba, dengan pengembangan utama lahan basah, lahan kering, hortikultura, peternakan, kelautan, dan pariwisata serta pengembangan penunjang perkebunan dan pertambangan; Penjabaran Pengembangan wilayah kepulauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Daerah Rencana Detail Bagian Ketiga Kebijakan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Pasal 22
(1) Kebijakan pengendalian pemanfaatan ruang mengacu pada rencana tata ruang dengan pengendalian pemanfaatan secara berjenjang yang didukung partisipasi masyarakat. (2) Pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui pengawasan dan penertiban. (3) Koordinasi pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan oleh Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) yang ditetapkan oleh Gubernur. BAB V RENCANA TATA RUANG WILAYAH Bagian Pertama Rencana Struktur Tata Ruang Pasal 23 Struktur Tata Ruang Wilayah Propinsi meliputi: a. pengembangan sistem kota-kota dan pusat permukiman; b. pengembangan sistem jaringan transportasi; c. pengembangan sumber dan jaringan distribusi tenaga listrik; d. pengembangan sistem jaringan telekomunikasi; e. pengembangan sistem prasarana sumber daya air; f. pengembangan kawasan prioritas Paragraf 1 Rencana Pengembangan Sistem Kota-Kota dan Pusat Permukiman Pasal 24 (1)
Untuk mewujudkan struktur tata ruang wilayah kebijakan pengembangan sistem kotakota adalah mengembangkan sistem kota-kota yang memiliki keterkaitan secara fungsional.
(2)
Untuk mengembangkan kota - kota dan perdesaan dalam kesatuan hirarki kota dan agar berfungsi sebagai pusat - pusat pertumbuhan, maka strategi pengembangan kota - kota adalah sebagai berikut : a. memantapkan peranan kota Kupang sebagai Ibu Kota Propinsi dan pusat pengembangan wilayah bagi Daerah;
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
16
b. lebih meningkatkan, mengembangkan dan memantapkan peran kota - kota utama agar mengurangi kesenjangan perkembangan antar kota ; c. mengembangkan keterkaitan antar kota secara fungsional melalui peningkatkan peran dan fungsi; d. mengembangkan desa - desa melalui penetapan desa pusat pertumbuhan sebagai pusat lokasi distribusi bagi kegiatan ekonomi. (3)
Sistem pengembangan Kota-kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai fungsi dan konsep pengembangan wilayah adalah : a. Hirarki I : Kota Kupang, Atambua, Waingapu, Labuanbajo dan Maumere; b. Hirarki II : Baa, Oelmasi, SoE, Kefamenanu, Naikliu, Wini, Kolbano, Maritaing, Kalabahi, Lewoleba, Larantuka, Ende, Bajawa, Ruteng, Waikabubak, Betun, Weitabula, Mbay/Aesesa, Seba c. Hirarki III : ibukota Kecamatan lainnya d. Hirarki IV : desa-desa pusat pertumbuhan. Pasal 25
(1)
Pengembangan sistem pusat permukiman wilayah Propinsi meliputi pengembangan pusat permukiman perkotaan dan pusat permukiman perdesaan.
(2)
Pusat permukiman perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas PKN, PKW, dan PKL.
(3)
Pengembangan pusat permukiman perkotaan dan pusat permukiman perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara teknis diatur Pejabat yang berwenang. Pasal 26
(1)
PKN adalah kawasan perkotaan yang memenuhi salah satu atau semua kriteria meliputi : a. berfungsi atau berpotensi sebagai simpul utama kegiatan ekspor-impor atau pintu gerbang ke kawasan internasional; b. berfungsi atau berpotensi sebagai pusat kegiatan industri dan jasa-jasa berskala nasional atau yang melayani beberapa Propinsi; c. berpotensi atau berfungsi sebagai simpul utama transportasi skala nasional atau yang melayani beberapa Propinsi; d. berpotensi atau berfungsi sebagai pusat utama pelayanan lintas batas antar Negara di kawasan perbatasan
(2)
PKW adalah kawasan perkotaan yang memenuhi salah satu atau semua kriteria meliputi : a. berpotensi atau berfungsi sebagai pusat kegiatan industri dan jasa-jasa yang melayani beberapa Kabupaten; b. berpotensi atau berfungsi sebagai simpul transportasi yang melayani beberapa Kabupaten; c. berpotensi atau berfungsi sebagai simpul kedua kegiatan ekspor-impor mendukung PKN;
(3)
PKL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) adalah kawasan perkotaan yang memenuhi salah satu atau semua kriteria meliputi : a. berpotensi atau berfungsi sebagai pusat kegiatan industri dan jasa-jasa yang melayani satu Kabupaten atau beberapa Kecamatan; b. berpotensi atau berfungsi sebagai simpul transportasi yang melayani satu Kabupaten atau beberapa Kecamatan
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
17
Pasal 27 PKN, PKW dan PKL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) meliputi: a. Kota PKN yaitu Kota-kota Kupang, Atambua, Waingapu, Labuanbajo dan kota Maumere; b. Kota PKW yaitu Kota-kota ibukota Kabupaten dan ibukota Kabupaten pemekaran serta ibukota kecamatan strategis; c. Kota PKL yaitu meliputi seluruh kota – kota ibukota kota kecamatan di Kabupaten. Pasal 28 (1)
Rencana Pengembangan sistem pusat permukiman bertujuan untuk mewujudkan kualitas ruang dan tertibnya pemanfaatan ruang melalui pengaturan sistem pusat permukiman untuk dapat diselenggarakan dengan peranan Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan atau pemerintah Kabupaten/Kota.
(2)
Sasaran pengembangan sistem pusat permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan untuk meningkatkan peranan kawasan perkotaan sebagai PKN, PKW atau PKL; dan sebagai pusat untuk melayani kegiatan penduduk berdasarkan fungsinya.
(3)
Sistem pusat permukiman dilihat dalam konteks wilayah Propinsi serta keterkaitannya satu sama lain, baik secara spasial maupun fungsional terdiri dari: a. Kota – kota yang berfungsi sebagai kota pelabuhan; b. Kota – kota yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan; c. Kota – kota yang berfungsi sebagai pusat perdagangan; d. Kota – kota yang berfungsi sebagai pusat industri; e. Kota – kota yang berfungsi sebagai pusat pariwisata. Paragraf 2 Rencana Struktur Jaringan Transportasi Pasal 29
(1)
Pengembangan sistem jaringan transporatasi wilayah mencakup sistem jaringan transportasi darat, sistem jaringan transportasi laut, dan sistem jaringan transportasi udara.
(2)
Sistem jaringan transportasi darat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup jaringan jalan, jaringan transportasi jalan serta jaringan transportasi penyeberangan;
(3)
Sistem jaringan transportasi laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup pelabuhan laut dan alur pelayaran.
(4)
Sistem jaringan transportasi udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup jaringan rute penerbangan yang membentuk suatu sistem angkutan udara. Pasal 30
(1)
Jaringan jalan terdiri dari jaringan jalan arteri primer sebagai jalan Nasional, dan jaringan kolektor primer sebagai jalan Propinsi serta jaringan jalan lokal primer sebagai jalan Kabupaten/Kota.
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
18
(2)
Jaringan jalan arteri primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi bagian dari sistem jalan Nasional yang menghubungkan ibukota-propinsi dan atau PKN yang melewati Kota-kota ibukota kabupaten dan kabupaten pemekaran, kawasan perbatasan negara dan kawasan strategis daerah dengan total panjang 2.398,98 km.
(3)
Jaringan jalan kolektor primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan status jalan propinsi meliputi jalan yang menghubungkan kawasan-kawasan strategis dalam pulau dan atau antar kabupaten menuju ke jalan arteri primer atau arteri sekunder.
(4)
Jaringan jalan lokal primer dengan status sebagai jalan kabupaten/ kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi jalan yang menghubungkan pusat –pusat pertumbuhan dalam Pulau dan atau antar kabupaten yang menuju ke jalan kolektor primer atau kolektor sekunder.
(5)
Penetapan status jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),(2),(3) dan (4) ditetapkan dengan keputusan Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota.
(6)
Selain fungsi jalan sebagaimana pada ayat (1) pada kawasan tertentu ditetapkan sebagai jalan dengan fungsi khusus. Pasal 31
(1)
Jaringan transportasi jalan dikembangkan untuk mengakomodir keseluruhan jaringan trayek angkutan orang dan jaringan lintas angkutan barang yang terletak pada sistem jaringan jalan yang berperan sebagai akses intra moda dengan sistem jaringan transportasi penyeberangan, serta akses antar moda dengan sistem jaringan transportasi laut dan sistem jaringan transportasi udara;
(2)
Simpul jaringan transportasi jalan terdiri dari : a. Terminal Penumpang Type A : Motaain, Lasiana, Labuan Bajo, Waikelo, Maumere dan Waingapu. b. Terminal Penumpang Type B : di setiap Kota dan Ibukota Kabupaten; c. Terminal Penumpang Type C : di setiap Kecamatan yang tersebar di Kabupaten/Kota; d. Timbangan Jembatan : Nggorang, Watu Alo, Oesapa, Nunbaun Sabu, Motaain dan Waikelo e. Jaringan Trayek Angkutan Perkotaan; f. Jaringan Trayek Angkutan Perdesaan; g. Jaringan Trayek Angkutan Antar Kota Dalam Propinsi; h. Jaringan Trayek Angkutan Antar Kota Antar Propinsi; i. Jaringan Trayek Angkutan Antar Lintas Batas Negara; j. Jaringan Pelayanan Angkutan Tidak Dalam Trayek; k. Jaringan Lintas Angkutan Barang;
(3)
Penetapan lokasi Terminal Penumpang Type A sebagaimana dimaksud pada ayat (2) butir a diatur dengan Keputusan Menteri Perhubungan;
(4)
Penetapan lokasi Terminal Penumpang Type B sebagaimana dimaksud pada ayat (2) butir b diatur dengan Keputusan Gubernur;
(5)
Penetapan lokasi Terminal Penumpang Type C sebagaimana dimaksud pada ayat (2) butir c diatur dengan Keputusan Bupati/Walikota;
(6)
Penetapan lokasi Timbangan Jembatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) butir d diatur dengan Keputusan Menteri Perhubungan;
(7)
Penetapan Jaringan Trayek Angkutan Perkotaan dan Perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) butir e dan f diatur dengan Keputusan Gubernur.
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
19
(8)
Penetapan Jaringan Trayek Angkutan Kota Antar Kota Propinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) butir g dan h diatur dengan Keputusan Menteri Perhubungan;
(9)
Penetapan Jaringan Trayek Angkutan Antar Lintas Batas Negara; sebagaimana dimaksud pada ayat (2) butir i diatur dengan Keputusan Menteri Perhubungan;
(10) Penetapan Jaringan Pelayanan Tidak dalam Trayek : a. pelayanan antar Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) butir j diatur dengan Keputusan Gubernur; b. pelayanan dalam wilayah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) butir j diatur dengan Keputusan Bupati/Walikota; (11) Penetapan Jaringan Lintas Angkutan Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) butir k diatur dengan Keputusan Gubernur; Pasal 32 (1)
Jaringan lintas penyeberangan dikembangkan untuk menghubungkan jaringan jalan yang terpisah oleh laut dan Tatanan Kepelabuhan Nasional.
(2)
Jaringan lintas penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pelabuhan penyeberangan dan lintas penyeberangan.
(3)
Lokasi pelabuhan penyeberangan ditetapkan oleh Menteri Perhubungan berdasarkan Tatanan Kepelabuhan Nasional setelah mendapat rekomendasi dari Gubernur.
(4)
Tatanan Kepelabuhan Nasional, sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk wilayah Nusa Tenggara Timur meliputi: a. Pelabuhan penyeberangan lintas Propinsi dan antar negara: Labuan Bajo, Teluk Gurita, Waikelo, Marapokot; b. Pelabuhan penyeberangan lintas Kabupaten/Kota: Bolok, Waingapu, Aimere, Ende, Larantuka, Kalabahi, Seba dan Pantai Baru; c. Pelabuhan penyeberangan lintas dalam Kabupaten/Kota;
(5)
Penetapan lintas penyeberangan antar negara/propinsi, lintas antar kabupaten/kota, lintas dalam Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Menteri Perhubungan setelah mendapat rekomendasi dari Gubernur.
(6) Rencana Induk pelabuhan diatur sebagai berikut : a. Rencana Induk Pelabuhan penyeberangan lintas Propinsi dan antar Negara ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat rekomendasi dari Gubernur; b. Rencana Induk Pelabuhan penyeberangan lintas kabupaten/kota ditetapkan oleh Gubernur setelah mendapat rekomendasi dari Bupati/Walikota; c. Rencana Induk Pelabuhan penyeberangan dalam Kabupaten/kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota. Pasal 33 (1)
Sistem jaringan transportasi laut berupa tatanan kepelabuhanan nasional dan jaringan pelayaran angkutan laut.
(2)
Tatanan Kepelabuhanan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan hirarki, peran dan fungsi pelabuhan laut yang meliputi pelabuhan internasional hub, pelabuhan internasional, pelabuhan nasional, pelabuhan regional dan pelabuhan lokal.
(3)
Tatanan kepelabuhanan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu: a. Pelabuhan Laut Internasional: Tenau.
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
20
b. Pelabuhan Laut Nasional : Ende, Kalabahi, Larantuka, Labuan Bajo, Reo, Ba’a, Maritaing, Maumere, Waingapu, Atapupu, Waiwadan, Ippi, Seba, Naikliu dan Wini; c. Pelabuhan Laut Regional : Baranusa, Komodo, Wuring, Papela Lewoleba, Waiwerang, Marapokot, Aimere, Waikelo dan Paitoko; d. Pelabuhan Laut Lokal: Biu, Batutua, Ndao, Kabir, Kolana, Balauring, Nangalili, Robek, Maurole, Rua, Baing, Boking, Pulau Ende, Pulau Palue, Namosain, Naikliu, Hansisi, Maumbawa, Mborong, Oelaba, Pulau Salura, Bina Tuka, Waiwole, Bari, Tanariughu, Bakalang, Sulamu, Pulau Sukun, Pulau Pemana, Paga, Raijua, Rindi, Mananga, Tabilota, Bitan, Bina Natun, Benda dan Nule; Pasal 34 (1)
Hirarki peran dan fungsi pelabuhan laut terdiri dari: a. b. c. d. e.
(2)
pelabuhan internasional hub merupakan pelabuhan utama primer; pelabuhan internasional merupakan pelabuhan utama sekunder; pelabuhan nasional merupakan pelabuhan utama tersier; pelabuhan regional merupakan pelabuhan pengumpan primer; pelabuhan lokal merupakan pelabuhan pengumpan sekunder;
Status dan Rencana Induk Pelabuhan a. b. c. d.
e.
status pelabuhan internasional hub dan rencana induk pelabuhan ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat Rekomendasi dari Gubernur; status pelabuhan internasional dan rencana induk pelabuhan ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat rekomendasi dari Gubernur; status pelabuhan nasional dan rencana induk pelabuhan ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat rekomendasi dari Gubernur; status pelabuhan regional ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat Rekomendasi dari Gubernur dan Rencana Induk Pelabuhan ditetapkan oleh Gubernur setelah mendapat rekomendasi dari Bupati/Walikota; status pelabuhan lokal ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat Rekomendasi dari Gubernur dan Rencana Induk Pelabuhan ditetapkan oleh Bupati/Walikota; Pasal 35
(1)
Jaringan pelayaran di laut terdiri dari jaringan pelayaran internasional dan jaringan pelayaran nasional.
(2)
Jaringan pelayaran internasional merupakan jaringan pelayaran yang menghubungkan antar pelabuhan internasional hub dan antar pelabuhan internasional hub dengan pelabuhan internasional.
(3)
Jaringan pelayaran internasional memanfaatkan Alur Laut Kepulauan Indonesia.
(4)
Jaringan pelayaran nasional merupakan jaringan pelayaran yang menghubungkan pelabuhan internasional dengan nasional, regional, dan lokal.
(5)
Jaringan pelayaran nasional dikembangkan untuk menghubungkan pusat-pusat permukiman nasional. Pasal 36
(1)
Sistem jaringan transportasi udara meliputi Tatanan Bandar Udara dan Ruang Lalu Lintas Udara.
(2)
Tatanan bandar udara sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) terdiri dari bandar udara pusat penyebaran skala primer, bandar udara pusat penyebaran skala sekunder,
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
21
bandar udara pusat penyebaran skala tersier, dan bandar udara bukan pusat penyebaran. (3)
Bandar udara pusat penyebaran skala primer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diarahkan untuk melayani penumpang dalam jumlah besar dengan lingkup pelayanan nasional dan berfungsi sebagai pintu utama untuk ke luar negeri;
(4)
Bandar udara dimaksud pada ayat (3) yang potensial sebagai pintu utama menuju wilayah Australia dan Negara Pasifik yaitu Bandara El-Tari, Kota Kupang. Pasal 37
(1)
Bandar udara pusat penyebaran skala sekunder diarahkan untuk melayani penumpang dalam jumlah cukup besar dengan lingkup pelayanan nasional dan beberapa Propinsi dan terhubungkan dengan fungsi pusat penyebaran skala primer untuk pelayanan internasional.
(2)
Bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 yang potensial sebagai pintu menuju Propinsi lain secara langsung yaitu: a. b. c. d.
Bandara Waioti – Maumere, Kabupaten Sikka; Bandara Komodo – Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat; Bandara Mauhau – Waingapu, Kabupaten Sumba Timur; Bandara H. Aroeboesman , Kabupaten Ende. Pasal 38
(1)
Bandar udara pusat penyebaran skala tersier diarahkan untuk melayani penumpang dalam jumlah sedang dengan lingkup pelayanan pada satu Propinsi atau beberapa kabupaten dan terhubungkan dengan fungsi pusat penyebaran skala sekunder dan pusat penyebaran skala primer untuk pelayanan internasional;
(2)
Bandar udara pusat penyebaran skala tersier sebagai jembatan udara dalam wilayah : a. b. c. d. e. f. g. h. i.
Bandara Lekunik – Pulau Rote, Kabupaten Rote Ndao; Bandara Terdamu – Pulau Sabu, Kabupaten Kupang; Bandara Satartacik – Ruteng, sebagai bandar udara domestik lokal; Bandara Tambolaka – Waikabubak, sebagai bandar udara domestik regional; Bandara Haliwen – Belu, sebagai bandar udara domestik lokal; Bandara Mali – Alor, sebagai bandar udara domestik lokal; Bandara Gewayantana – Larantuka, sebagai bandar udara domestik lokal; Bandara Wunopito – Lewoleba, Kabupaten Lembata; Bandara Soa – Bajawa, Kabupaten Ngada. Pasal 39
(1)
Bandar udara bukan pusat penyebaran diarahkan untuk melayani penumpang dalam jumlah rendah dan tidak mempunyai daerah cakupan atau layanan.
(2)
Status bandar udara bukan pusat penyebaran dan prioritas pengembangannya ditetapkan Menteri melalui rekomendasi Gubenur. Pasal 40
(1)
Pola pengelolaan sistem jaringan transportasi darat, laut dan udara bertujuan untuk mendorong peningkatan kualitas sistem jaringan multimoda transportasi secara sinergis dalam tataran transportasi wilayah.
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
22
(2)
Pola pengelolaan jaringan transportasi jalan meliputi : pola pengelolaan transportasi perkotaan, perdesaan, antar kota dalam Propinsi, antar kota antar Propinsi dan antar lintas batas negara.
(3)
Pola pengelolaan jaringan transportasi penyeberangan meliputi pola pengelolaan pelabuhan penyeberangan dan lintasan penyeberangan.
(4)
Pola pengelolaan jaringan transportasi laut meliputi pola pengelolaan pelabuhan internasional hub, pelabuhan internasional, pelabuhan nasional, dan pelabuhan regional dan pelabuhan lokal.
(5)
Pola pengelolaan jaringan transportasi udara meliputi pola pengelolaan bandar udara pusat penyebaran skala primer, bandar udara pusat penyebaran skala sekunder, dan bandar udara pusat penyebaran skala tersier. Paragraf 3 Rencana Pengembangan Tenaga Listrik Pasal 41
Pengembangan penyediaan tenaga listrik berupa penelitian dan pengembangan sumbersumber energi listrik yang ada dan energi alternatif, pusat pembangkit listrik, sistem jaringan transmisi dan distribusi, jaringan terinterkoneksi dan jaringan terisolasi inter dan antar wilayah Propinsi dan atau kabupaten. Pasal 42 (1) Pola pengelolaan sistem pengembangan penyediaan tenaga listrik bertujuan mendorong peningkatan kualitas pelayanan kelistrikan secara sinergis dalam mendukung pengembangan wilayah yang dirinci ke dalam peranan Pemerintah, pemerintah Propinsi dan pemerintah kabupaten/kota. (2) Sasaran pengelolaan sistem jaringan transmisi tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan untuk : a. meningkatkan pelayanan pengembangan penyediaan tenaga listrik Nasional dalam pengembangan wilayah Propinsi; b. meningkatkan pelayanan jaringan terinterkoneksi kelistrikan dalam pengembangan wilayah Propinsi; c. meningkatkan pelayanan penyediaan tenaga listrik dalam wilayah terisolasi dalam pengembangan wilayah Propinsi. (3)
Pola pengelolaan penyediaan tenaga listrik wilayah Propinsi meliputi pola pengelolaan pembangkitan transmisi dan pola pengelolaan jaringan dalam wilayah Propinsi. Pasal 43
(1)
Pola pengelolaan penyediaan tenaga listrik wilayah Propinsi meliputi : a. menetapkan pembangkit tenaga listrik wilayah Propinsi untuk mewujudkan struktur ruang wilayah Propinsi dan meratakan distribusi energi secara nasional di wilayah Propinsi; b. mempertimbangkan kendala fisik dan pengaturan penggunaan lahan di sekitar pembangkitan; c. melakukan studi kelayakan lingkungan hidup (AMDAL,UKL, UPL) beserta prasyarat yang ditetapkan.
(2)
Pola pengelolaan jaringan transmisi meliputi :
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
23
a.
b. c.
d.
menetapkan dan mengembangkan jaringan transmisi dalam mendukung perwujudan struktur ruang wilayah Propinsi untuk menyediakan tenaga listrik mendukung pengembangan kawasan andalan/tertentu dan sistem kota-kota serta meratakan distribusi supply-demand energi secara nasional di wilayah Propinsi; melakukan studi kelayakan lingkungan hidup (AMDAL,UKL, UPL) beserta prasyarat yang ditetapkan; mengatur jaringan transmisi bertegangan tinggi agar tidak berbahaya bagi penduduk dan aset berharga lainnya dengan menerapkan kaidah teknologi yang sesuai; pengembangan jaringan transmisi dapat dilakukan pemerintah Propinsi melalui kerjasama pemerintah Kabupaten/Kota dan Perusahaan Listrik Negara/Swasta.
(3)
Pola pengelolaan jaringan dalam wilayah Propinsi meliputi : a. mengembangkan jaringan terisolasi untuk mendorong kegiatan produktif sosial ekonomi di daerah yang belum berkembang, daerah terpencil dan perdesaan; b. mendorong pemerataan pembangunan; c. melayani kebutuhan masyarakat; d. membuka isolasi wilayah pedalaman dan terpencil baik informasi maupun akses; e. mengembangkan subsidi pengusahaan dan meningkatkan pemanfaatan sumber daya energi yang tersedia.
(4)
Mengatur jaringan transmisi bertegangan tinggi agar tidak berbahaya bagi penduduk dan aset berharga lainnya dengan menerapkan kaidah teknologi yang sesuai. Paragraf 4 Rencana Pengembangan Jaringan Telekomunikasi Pasal 44
(1)
Pengembangan sistem jaringan telekomunikasi wilayah meliputi pengembangan stasiun bumi dan pengembangan jaringan transmisi.
(2)
Pengembangan stasiun bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk memberikan pelayanan jasa telekomunikasi di seluruh wilayah Propinsi dan nasional.
(3)
Pengembangan jaringan transmisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk melayani jasa telekomunikasi di seluruh wilayah Propinsi yang mengakses ke wilayah nasional.
(4)
Kriteria dan prioritas pengembangan jaringan telekomunikasi di Wilayah Propinsi ditetapkan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 45
(1) Pola pengelolaan sistem jaringan telekomunikasi bertujuan untuk penyediaan informasi yang handal dan cepat di seluruh wilayah Propinsi dalam perwujudan struktur ruang wilayah Propinsi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. (2) Sasaran pengelolaan sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan untuk : a. meningkatkan penyediaan dan akses informasi dari dan ke seluruh pelosok wilayah dan akses ke wilayah nasional; b. meningkatkan penyediaan dan akses informasi dari dan ke luar negeri.
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
24
(3) Pola pengelolaan sistem jaringan telekomuniksi meliputi pola pengelolaan stasiun bumi dan pola pengelolaan jaringan transmisi telekomunikasi. Pasal 46 (1) Pola pengelolaan stasiun bumi meliputi: a. menetapkan lokasi dan mengembangkan peran stasiun bumi sesuai tujuan untuk pemerataan pelayanan informasi; b. mengendalikan kendala fisik dan penggunaan lahan di sekitar stasiun bumi sehingga fungsi penyediaan informasi dapat berkesinambungan; c. melakukan studi lingkungan dan melakukan persyaratan yang diharuskan; (2) Pola pengelolaan jaringan transmisi telekomunikasi meliputi : a. mengembangkan jaringan transmisi telekomunikasi untuk mendukung perkembangan kegiatan sosial ekonomi melalui pengembangan kota-kota dan kawasan budidaya serta kawasan strategis; b. mengintegrasikan sistem jaringan telekomunikasi dengan sistem transportasi dalam perwujudan kerangka struktur ruang wilayah Propinsi dan kerangka akses nasional yang merata dan utuh; c. mengembangkan transmisi telekomunikasi di daerah dilakukan dalam koordinasi Pemerintah melalui Gubernur; d. menggalang partisipasi swasta dan masyarakat dalam investasi dan operasi termasuk membuka kesempatan usaha bagi pengembangan usaha menengah dan koperasi. Paragraf 5 Rencana Pengembangan Sistem Sumber daya Air Pasal 47 (1)
Pengembangan sistem prasarana sumber daya air wilayah Propinsi meliputi penetapan wilayah sungai yang berperan mendukung pengembangan kawasan budidaya dan sistem pusat permukiman, dan perlindungan di kawasan tangkapan air dan daerah aliran sungai kritis.
(2)
Penetapan daerah aliran sungai kritis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kriteria yang ditetapkan.
(3)
Penetapan wilayah sungai yang berperan mendukung pengembangan dan perlindungan kawasan pelayanannya dan penetapan daerah aliran sungai kritis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan pada Lampiran Peraturan Daerah ini.
(4)
Perlindungan air tanah (air tanah dangkal, air tanah dalam, air tanah sangat dalam) untuk memenuhi kebutuhan domestik, irigasi dan industri. Pasal 48
(1)
Pola pengelolaan sistem prasarana sumber daya air bertujuan untuk penyediaan air baku yang berkelanjutan di seluruh wilayah Propinsi untuk mendukung pengembangan wilayah dan kota dalam kerangka perwujudan struktur ruang wilayah Propinsi.
(2)
Sasaran pengelolaan sistem prasarana sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan untuk : a. meningkatkan kualitas wilayah sungai bagi penyediaan air baku bagi kawasan pengembangan;
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
25
b. meningkatkan kualitas sistem prasarana sumber daya air; (3)
Pola pengelolaan prasarana sumber daya air meliputi pola pengelolaan wilayah sungai lintas kabupaten/kota, pola pengelolaan wilayah sungai lintas negara dan wilayah sungai strategis nasional, serta pola pengelolaan sistem jaringan prasarana sumber daya air. Pasal 49
(1)
Pola pengelolaan wilayah sungai lintas Kabupaten/Kota meliputi ; a. menetapkan wilayah sungai lintas Kabupaten/Kota oleh Gubernur dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. menetapkan rencana induk pengelolaan sumber daya air berbasis wilayah sungai lintas Kabupaten/Kota oleh Pemerintah Propinsi dan disepakati Bupati/Walikota bersangkutan; c. menetapkan dan mengelola kawasan lindung untuk melestarikan daerah tangkapan air oleh Pemerintah Propinsi; d. menetapkan sempadan sungai dan pemanfaatan ruang disisi kiri-kanan sungai ; e. melakukan konservasi dan pendayagunaan sumber daya air serta pengendalian daya rusak air; f. melakukan kerjasama pembiayaan penyelenggaraan pengelolaan ditetapkan bersama oleh Pemerintah, Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota g. pemantauan dan evaluasi pengelolaan serta pengawasan dan pengendalian kualitas air dan sumber air secara bersama oleh Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
(2)
Pola pengelolaan wilayah sungai lintas negara dan wilayah sungai strategis nasional, meliputi : a. menetapkan wilayah sungai lintas negara terutama untuk mendukung pengembangan kegiatan di kawasan tertentu dan kota pusat kegiatan nasional; b. menyusun dan menetapkan rencana pengelolaan di bawah koordinasi Menteri;
(3)
Pola pengelolaan sistem jaringan sumber daya air meliputi kegiatan : a. pengembangan jaringan sumber daya air disertai dengan pengembangan jaringan drainase yang menjadi satu kesatuan; b. pengembangan jaringan sumber daya air untuk mendukung pengembangan kawasan andalan/tertentu dan pusat-pusat permukiman dengan memperhatikan pelestarian sumber daya air ; c. pengembangan sistem jaringan sumber daya air dengan pola satu sistem jaringan sumber daya air, satu kesatuan pengelolaan, dengan memperhatikan kepentingan penggunaan di hulu, tengah dan hilir dalam sistem wilayah sungai secara seimbang; d. pembentukan wadah koordinasi sumber daya air dalam rangka koordinasi pengelolaan sumber daya air lintas wilayah kabupaten/kota; e. penyediaan, pengendalian dan perbaikan mutu air irigasi;
(4)
Dalam rangka pengembangan kawasan irigasi, maka arahan pengembangan wilayah adalah pada kawasan lahan basah setiap satuan wilayah sungai.
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
26
Paragraf 6 Rencana Pengembangan Kawasan Prirotas Pasal 50 (1)
Dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi, keseimbangan pengembangan wilayah, keseimbangan ekosistem dan keamanan wilayah maka perlu menetapkan kawasan prioritas.
(2)
Kawasan Prioritas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah : a. Kawasan andalan yang memiliki keunggulan spesifik di wilayah darat meliputi : Kawasan Industri Bolok dengan Sub Kawasan Bolok – Tenau; Kawasan Noelmina dengan Sub Kawasan: Oesao – Amarasi – Bena – Baus; Kawasan Benanain dengan Sub Kawasan: Besikama – Aeroki; Kawasan Noelbesi dengan Sub Kawasan: Kapan – Eban – Amfoang; Kawasan Alor Selatan dengan Sub Kawasan: Alor Selatan – Lantoka; Kawasan Tanjungbunga – Magepanda dengan Sub Kawasan Tanjungbunga – Konga – Magepanda; Kawasan Mbay – Mautenda dengan Sub Kawasan: Mbay – Riung – Mautenda – Maurole; Kawasan Lembor dengan Sub Kawasan: Lembor – Nggorang; Kawasan Komodo; Kawasan Iteng dengan Sub Kawasan: Iteng – Buntal; Kawasan Mangili dengan Sub Kawasan : Mangili – Kambaniru – Melolo; Kawasan Wanokaka – Anakalang dengan Sub Kawasan: Kawasan Wanokaka – Anakalang; Kawasan Kodi – Laratama dengan Sub Kawasan: Kodi – Laratama; b. Kawasan Pesisir dan Laut meliputi 9 Satuan Kawasan Pengembangan Pesisir Laut Terpadu (SKPLT) : SKPLT – Selat Ombai – Laut Banda, SKPLT – Laut Sawu I, SKPLT – Laut Sawu II, SKPLT – Laut Sawu III, SKPLT – Laut Flores, SKPLT – Selat Sumba, SKPLT – Laut Timor, SKPLT – Laut Hindia, SKPLT – Selat Sape;
(3)
Kawasan prioritas untuk keseimbangan pengembangan wilayah meliputi : Kawasan daerah terbelakang : Sub Kawasan Pesisir : Lembata Selatan, Alor, Selatan Sumba, Flores Utara, Timor Selatan, Rote Selatan; Sub Kawasan Pedalaman: Timor Utara, Timor Selatan, Lembata Tengah dan Timur, Sumba Timur, Gizing dan Pota; Sub. Kawasan Pulau - pulau kecil: Sabu, Raijua, Semau, Palue, Babi, Ndao, Kepulauan Alor dan Pantar dan gugusan pulau di Manggarai Barat;
(4)
Kawasan prioritas untuk keseimbangan ekosistim meliputi kawasan berfungsi lindung di kawasan perbatasan negara, perbatasan propinsi dan lintas kabupaten, kawasan kritis dan kawasan rawan bencana lintas kabupaten.
(5)
Kawasan prioritas untuk keamanan wilayah meliputi kawasan pulau-pulau terluar seperti pulau Batek, Ndana, Salura, Mengkudu dan Kotak Bagian Kedua Rencana Pola Tata Ruang Wilayah Propinsi Pasal 51
Pola Pemanfaatan ruang wilayah Propinsi menggambarkan sebaran kawasan lindung dan kawasan budidaya serta kawasan tertentu. Paragraf 1 Rencana Pola Tata Ruang Kawasan Lindung Pasal 52 (1)
Kawasan lindung meliputi : a. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya;
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
27
b. c. d. e. f. g. h. i.
kawasan perlindungan setempat; kawasan suaka alam; kawasan pelestarian alam; kawasan cagar budaya; kawasan rawan bencana; kawasan cagar alam geologi; kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah; kawasan lindung lainnya.
(2)
Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi : a. kawasan hutan lindung; b. kawasan bergambut; c. kawasan resapan air.
(3)
Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. sempadan mata air b. sempadan pantai; c. sempadan sungai; d. kawasan sekitar danau/waduk, embung dan bendung e. kawasan terbuka hijau kota, termasuk hutan kota.
(4)
Kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi; a. cagar alam; b. suaka margasatwa.
(5)
Kawasan pelestarian alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi: a. Taman Nasional; b. Taman hutan raya; c. Taman wisata alam.
(6)
Kawasan cagar budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e tidak terbagi lagi dalam kawasan yang lebih kecil.
(7)
Kawasan rawan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f meliputi : a. rawan bencana alam banjir: tidak terbagi lagi dalam kawasan yang lebih kecil; b. rawan bencana geologi mencakup kawasan rawan gerakan tanah; bencana gunung api; gempa bumi; patahan; tsunami; abrasi; lahar dan bahaya gas beracun.
(8) Kawasan cagar alam geologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g mencakup: a. kawasan keunikan batuan dan fosil; b. kawasan keunikan bentang alam; c. kawasan keunikan proses geologi. (9)
Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h mencakup : a. kawasan resapan (imbuhan) air tanah dan mata air; b. sempadan mata air.
(10) Kawasan lindung lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i meliputi: a. Taman buru; b. Cagar biosfir; c. Kawasan perlindungan plasma nutfah; d. Kawasan pengungsian satwa; e. Kawasan pantai berhutan bakau; PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
28
f.
Kawasan perlintasan bagi jenis biota laut yang dilindungi; Pasal 53
Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya mencakup: a. kawasan hutan yang berfungsi lindung : 1). Kawasan lindung yang telah ditetapkan yang sebagian besar terdapat di Pulau Flores dengan beberapa pulau di sekitarnya, seperti Pulau Alor, Lembata dan Pulau Adonara; 2). Kawasan Pulau-pulau kecil yang tidak berpenghuni menjadi tempat perlindungan aneka flora dan fauna serta aneka satwa; 3). Wilayah-wilayah karena kebutuhan posisi geografisnya yang berpotensi sebagai kawasan lindung. b. kawasan resapan air tersebar di kabupaten/kota. Pasal 54 (1)
Kawasan perlindungan setempat meliputi : a. kawasan sempadan pantai yang meliputi daerah surut terendah dan pasang tertinggi sampai daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 m dari titik pasang tertinggi ke arah darat; b. kawasan sempadan sungai yang meliputi kawasan selebar 100 m di kiri/kanan sungai besar dan 50 m di kiri kanan anak sungai yang berada di luar permukiman dan untuk sungai di kawasan berupa sempadan sungai yang diperkirakan cukup untuk dibangun jalan inspeksi antara 10 sampai 15 meter.
(2)
Kawasan sekitar danau/waduk dan embung-embung/cekdam yang meliputi daratan sepanjang tepian danau/waduk, embung-embung/cekdam yang lebarnya proposional dengan bentuk dan kondisi fisik danau/waduk, embung-embung/cekdam antara 50 s/d 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah daratan;
(3)
Kawasan sekitar mata air yang meliputi kawasan sekurang-kurangnya dengan jari-jari 200 meter di sekitar mata air. Pasal 55
Kawasan suaka alam dan cagar budaya mencakup : a. Kawasan Suaka Alam yang meliputi : 1). Cagar Alam yaitu Maubesi, Wai Wuul, Watu Ata, Kimang Boleng dan Wolo Tado 2). Suaka Marga Satwa yaitu Pulau Menipo, Kateri, Danau Tuadale, Harlu, Perhatu dan Ale Aesio; b. Kawasan Suaka Alam Laut dan Perairan lainnya : 1) Taman Wisata Alam Laut dan Taman Laut yaitu Taman Wisata Laut Teluk Kupang di Kabupaten Kupang dan Kota Kupang dan Taman Laut Gugus Pulau Teluk Maumere di Kabupaten Sikka; 2) Cagar alam Laut yaitu Cagar alam Laut 17 Pulau Riung di Kabupaten Ngada. 3) Kawasan suaka alam laut di Alor Solor c. Cagar Budaya yang tersebar di seluruh Kabupaten/Kota se-Nusa Tenggara Timur Pasal 56 Kawasan Pelestarian Alam mencakup : a. Taman Wisata Alam yaitu Camplong, Baumata, Tuti Adagae, Tanjung Watu Manuk, Pulau Besar, Pulau Rusa Pulau Lapang, Pulau Batang, Pulau Pantar dan Ruteng;
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
29
b. Taman Nasional yaitu Komodo, Kelimutu, Laiwanggi, Wanggameti, Mutis Timau, Manupeu dan Tanadaru; c. Taman Hutan Rakyat Profesor Dr. Herman Yohanes. Pasal 57 Kawasan rawan bencana terdiri dari : a. kawasan rawan bencana letusan gunung berapi yang terletak di Kabupaten Manggarai, Ngada, Ende, Sikka, Flores Timur, dan Lembata; b. kawasan rawan bencana gempa bumi terletak di seluruh Kabupaten/Kota terutama wilayah Pulau Flores, Alor dan sekitarnya; c. kawasan rawan tsunami meliputi hampir seluruh daerah pesisir terutama daerah pesisir dengan laut terbuka di Pesisir Flores bagian Utara, Pesisir Sumba bagian Selatan, Pesisir Timor bagian selatan dan Pulau-pulau yang berhadapan dengan laut terbuka; d. kawasan rawan bencana banjir mencakup hampir seluruh daerah aliran sungai (DAS) yang tersebar disetiap Kabupaten/Kota; e. kawasan rawan bencana longsor relatif merata di kabupaten-kabupaten pulau Flores, Pulau Timor dan Pulau Alor terutama pada daerah dengan topografi berbukit dan kritis akibat usaha bertani yang kurang terkontrol dan penggundulan hutan. Pasal 58 Kawasan lindung lainnya mencakup : a. Taman Buru di Kabupaten Alor, Ende, Kupang, Manggarai, TTS, Rote Ndao dan Lembata; b. kawasan pantai berhutan bakau yang mencakup dengan jarak minimal 130 kali nilai ratarata perbedaan pasang tinggi dan terendah tahunan diukur dari garis surut terendah ke arah darat. Kawasan pantai berhutan bakau yaitu kawasan yang tersebar di wilayah Daerah, merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Paragraf 2 Rencana Pola Tata Ruang Kawasan Budidaya Pasal 59 (1)
Kawasan budidaya meliputi kawasan yang diperuntukkan sebagai kawasan hutan produksi, hutan rakyat, pertanian, perikanan, pertambangan, industri, pariwisata, permukiman dan permukiman transmigrasi dan atau permukiman baru.
(2)
Kawasan budidaya yang diperuntukkan sebagai kawasan hutan produksi merupakan kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi berbagai hasil hutan;
(3)
Kawasan budidaya yang diperuntukkan sebagai kawasan hutan rakyat tidak terbagi lagi menjadi kawasan yang lebih kecil;
(4)
Kawasan budidaya yang diperuntukkan sebagai kawasan pertanian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi kawasan budidaya tanaman pangan, kawasan budidaya holtikultura, kawasan budidaya perkebunan dan kawasan budidaya peternakan;
(6)
Kawasan budidaya yang diperuntukkan sebagai kawasan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi wilayah pesisir dan laut yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan perikanan.
(7)
Kawasan budidaya yang diperuntukkan sebagai kawasan pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kawasan wilayah pertambangan dan kawasan wilayah pertambangan rakyat dengan potensi pengembangan bahan-bahan galian yang dibagi
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
30
atas tiga golongan, yaitu golongan bahan galian strategis, golongan bahan galian vital dan golongan bahan galian yang tidak termasuk dalam kedua golongan diatas. (8)
Kawasan budidaya yang diperuntukkan sebagai kawasan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kawasan yang dikembangkan bagi kegiatan berbagai industri.
(9)
Kawasan budidaya yang diperuntukkan sebagai kawasan pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kawasan dengan luas tertentu yang dibangun atau disediakan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata.
(10) Kawasan budidaya yang diperuntukkan sebagai kawasan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kawasan yang didominasi oleh lingkungan hunian dengan fungsi utama sebagai tempat tinggal. (11) Kawasan budidaya yang diperuntukkan sebagai kawasan permukiman transmigrasi dan atau permukiman baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kawasan yang diarahkan pada kawasan marginal untuk hunian transmigran atau pemukim baru, memiliki luas tertentu dan lahan usaha yang bersifat terpusat. Pasal 60 Kawasan budidaya lainnya diatur dalam standar dan kriteria teknis pemanfaatan ruang dan merupakan persyaratan minimal untuk seluruh Kabupaten/Kota yang diatur lebih lanjut oleh Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Paragraf 3 Rencana Pola Tata Ruang Kawasan Tertentu Pasal 61 Kawasan tertentu meliputi kawasan tertentu dari sudut kepentingan; a. sosial budaya bangsa; b. pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah; c. pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi tinggi strategis; d. politik dan pertahanan negara serta integritas nasional; e. fungsi dan daya dukung lingkungan hidup. Bagian Ketiga Rencana Pengelolaan Pola Tata Ruang Paragraf 1 Pengelolaan Kawasan Lindung Pasal 62 (1)
Rencana pengelolaan kawasan lindung bertujuan untuk mencegah timbulnya kerusakan fungsi lingkungan hidup dan melestarikan fungsi lindung kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, kawasan perlindungan setempat, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, kawasan cagar budaya, dan kawasan lindung lainnya, serta menghindari berbagai usaha dan/atau kegiatan di kawasan rawan bencana.
(2)
Sasaran pengelolaan kawasan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan untuk : a. meningkatkan fungsi lindung terhadap tanah, air, iklim, tumbuhan dan satwa serta nilai budaya dan sejarah bangsa;
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
31
b. mempertahankan keanekaragaman hayati, satwa, tipe ekosistem dan keunikan alam. Pasal 63 (1)
Rencana pengelolaan kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya berupa : a. mencegah terjadinya erosi, bencana banjir, sedimentasi dan menjaga fungsi hidrologis tanah di kawasan hutan lindung sehingga ketersediaan unsur hara tanah, air tanah dan air permukaan selalu dapat terjamin; b. mengendalikan hidrologi wilayah, berfungsi sebagai penambat air dan pencegah banjir serta untuk melindungi ekosistem yang khas di kawasan bergambut; c. memberikan ruang yang cukup bagi resapan air hujan pada kawasan resapan air untuk keperluan penyediaan kebutuhan air tanah dan penanggulangan banjir, baik untuk kawasan bawahannya maupun kawasan yang bersangkutan.
(2)
Rencana pengelolaan kawasan perlindungan setempat adalah : a. menjaga sempadan pantai untuk melindungi wilayah pantai dari kegiatan yang mengganggu kelestarian fungsi pantai; b. menjaga sempadan sungai untuk melindungi sungai dari kegiatan manusia yang dapat mengganggu dan merusak kualitas air sungai, kondisi fisik pinggir dan dasar sungai serta mengamankan aliran sungai; c. menjaga kawasan sekitar danau/waduk untuk melindungi danau/waduk dari berbagai usaha dan/atau kegiatan yang dapat mengganggu kelestarian fungsi danau/waduk; d. menjaga kawasan sekitar mata air untuk melindungi mata air berbagai usaha dan/atau kegiatan yang dapat merusak kualitas air dan kondisi fisik kawasan sekitarnya; e. menjaga kawasan terbuka hijau kota termasuk didalamnya hutan kota untuk melindungi kota dari polusi udara, dan kegiatan manusia yang dapat mengganggu kelestarian lingkungan kota, serta untuk mengendalikan tata air, meningkatkan upaya pelestarian habitat flora dan fauna, meningkatkan nilai estetika lingkungan perkotaan dan kenyamanan kehidupan di kota;
(3)
Rencana pengelolaan kawasan suaka alam berupa perlindungan keanekaragaman biota, tipe ekosistem, gejala keunikan alam di kawasan suaka alam dan kawasan suaka alam laut dan perairan laiannya untuk kepentingan plasma nutfah, keperluan pariwisata, ilmu pengetahuan dan pembangunan pada umumnya.
(4)
Rencana pengelolaan bagi kawasan pelestarian alam berupa pelestarian fungsi lindung dan tatanan lingkungan kawasan pelestarian alam yang terdiri dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam untuk pengembangan pendidikan, rekreasi dan pariwisata, serta peningkatan kualitas lingkungan sekitarnya dan perlindungan dari pencemaran.
(5)
Rencana pengelolaan bagi kawasan cagar budaya dilakukan melalui upaya perlindungan terhadap kekayaan budaya bangsa yang meliputi peninggalanpeninggalan sejarah, bangunan arkeologi dan monumen nasional, serta keanekaragaman bentukan geologi di kawasan cagar budaya untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan pencegahan dari ancaman kepunahan yang disebabkan oleh kegiatan alam maupun manusia.
(6)
Rencana pengelolaan kawasan rawan bencana alam dilakukan melalui pengaturan kegiatan manusia di kawasan rawan bencana alam untuk melindungi manusia dari bencana yang disebabkan oleh alam maupun secara tidak langsung oleh perbuatan manusia.
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
32
(7)
Rencana pengelolaan kawasan lindung lainnya adalah : a. melindungi kawasan taman buru dan ekosistemnya untuk kelangsungan perburuan satwa; b. melestarikan fungsi lindung dan tatanan lingkungan kawasan cagar biosfer untuk melindungi ekosistem asli, ekosistem unik, dan/atau ekosistem yang telah mengalami degradasi dari gangguan kerusakan seluruh unsur-unsur alamnya untuk penelitian dan pendidikan; c. melestarikan fungsi lindung dan tatanan lingkungan daerah perlindungan plasma nutfah untuk melindungi daerah dan ekosistemnya, serta menjaga kelestarian flora dan faunanya; d. melestarikan fungsi lindung dan tatanan lingkungan daerah pengungsian satwa untuk melindungi daerah dan ekosistemnya bagi kehidupan satwa yang sejak semula menghuni areal tersebut; e. melestarikan fungsi dan tatanan lingkungan kawasan pantai berhutan bakau sebagai pembentuk ekosistem hutan bakau, tempat berkembangbiaknya berbagai biota laut, dan pelindung pantai dari pengikisan air laut serta pelindung usaha budi daya di belakangnya. Paragraf 2 Rencana Pengelolaan Kawasan Budidaya Pasal 64
(1)
Rencana pengelolaan kawasan budidaya bertujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna pemanfaatan ruang dan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia untuk menyerasikan pemanfaatan ruang dan kelestarian fungsi lingkungan hidup.
(2)
Pengelolaan kawasan budidaya dilakukan secara seksama dan berdaya guna untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat melalui kegiatan-kegiatan dengan mempertimbangkan aspek-aspek keruangan dan kelestarian fungsi lingkungan hidup.
(3)
Pengelolaan kawasan budidaya diselenggarakan untuk : a. terwujudnya pemanfaatan ruang dan sumber daya alam dan kesejahteraan masyarakat dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup; b. terhindarnya konflik pemanfaatan sumber daya dengan pengertian pemanfaatan ruang harus berdasarkan pada prioritas kegiatan yang memberikan keuntungan terbesar pada masyarakat; c. memelihara kawasan budidaya untuk keadilan dalam masyarakat dengan memperhatikan Penguasaan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P3T). Pasal 65
(1)
Rencana pengelolaan kawasan budidaya dilaksanakan sesuai dengan peran Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
(2)
Peran Pemerintah dalam pengelolaan kawasan budidaya yang mencakup: a. penetapan kriteria, norma, standar, prosedur, dan manual (NSPM) pengelolaan kawasan budidaya; b. bimbingan/pembinaan teknis pengembangan kawasan budidaya kepada Pemerintah Daerah; c. fasilitasi promosi pengembangan investasi kawasan dan fasilitasi pengembangan kerjasama dengan dunia usaha (dengan kemudahan pemberian insentif);
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
33
d. penyelenggaraan izin usaha pemanfaatan kawasan budidaya lintas Propinsi dan kawasan budidaya strategis nasional, seperti pertambangan migas, radio aktif, logam mulia. (3)
Peran Pemerintah Propinsi dalam pengelolaan kawasan budidaya mencakup : a. memberikan pedoman penyelenggaraan pengelolaan kawasan budidaya; b. menyelenggarakan izin usaha pemanfaatan kawasan budidaya lintas kabupaten/kota; c. memfasilitasi kerjasama pengelolaan kawasan budidaya antar kabupaten/kota.
(4)
Peran Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan kawasan budidaya mencakup : a. menyusun Rencana Pengelolaan Kawasan Budidaya; b. melaksanaan pengendalian pengembangan sejak dini melalui mekanisme perizinan c. berkoordinasi dengan pemerintah sebagai pembina teknis atau Pemerintah Propinsi dalam kapasitas fungsi dekonsentrasi; d. mengupayakan kerjasama dan koordinasi antar daerah otonom dalam pengelolaan kawasan budidaya. Pasal 66
(1)
Rencana pengelolaan kawasan yang diperuntukkan sebagai hutan produksi adalah : a. menerapkan cara pengelolaan hutan yang tepat dalam memanfaatkan ruang beserta sumber daya hutan di kawasan hutan produksi terbatas, untuk memperoleh hasil-hasil hutan bagi kepentingan negara, masyarakat, industri dan ekspor dengan tetap menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan kebutuhan pangan jangka panjang; b. menerapkan cara pengelolaan hutan yang tepat dalam memanfaatkan ruang beserta sumber daya hutan di kawasan hutan produksi tetap, untuk memperoleh hasil-hasil hutan bagi kepentingan negara, masyarakat, industri dan ekspor dengan tetap menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup; c. menerapkan cara pengelolaan hutan yang tepat dalam memanfaatkan ruang kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi guna mendukung pengembangan transportasi, transmigrasi, pertanian, permukiman, perkebunan, industri dan lainlain, dengan tetap menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup.
(2)
Rencana pengelolaan kawasan yang diperuntukkan sebagai hutan rakyat adalah menerapkan cara pengelolaan hutan yang tepat dalam memanfaatkan ruang, beserta sumber daya alam di tanah yang dibebani hak milik atau hak lainnya untuk meningkatkan penyediaan kayu bagi kepentingan rakyat dan bahan baku industri pengelolaan kayu, dengan tetap menjaga kelesatrian fungsi lingkungan hidup.
(3)
Rencana pengelolaan kawasan yang diperuntukkan sebagai pertanian berupa : a. memanfaatkan potensi lahan yang sesuai untuk peningkatan kegiatan produksi pangan lahan basah, dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup; b. memanfaatkan potensi lahan yang sesuai untuk peningkatan kegiatan produksi pangan lahan kering di kawasan pertanian lahan kering, dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup; c. memanfaatkan potensi lahan yang sesuai untuk peningkatan kegiatan produksi perkebunan di kawasan perkebunan dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup; d. memanfaatkan potensi lahan yang sesuai untuk peningkatan kegiatan produksi peternakan beserta hasil-hasilnya di kawasan peternakan dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup;
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
34
e. memanfaatkan potensi wilayah yang sesuai untuk peningkatan produksi perikanan di kawasan perikanan, dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. (4)
Langkah pengelolaan kawasan perikanan adalah berupa memanfaatkan potensi perikanan di wilayah pesisir hingga Zona Ekonomi Eksklusif dan meningkatkan nilai tambah perikanan melalui industri pengelolaan hasil-hasil perikanan dan kelautan dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.
(5)
Pengelolaan kawasan yang diperuntukkan sebagai pertambangan adalah memanfaatkan sumber mineral, energi dan bahan galian lainnya di kawasan pertambangan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dengan tetap memelihara sumber mineral tersebut sebagai cadangan pembangunan yang berkelanjutan dan tetap memperhatikan kaidah-kaidah pengelolaan lingkungan hidup secara berkelanjutan.
(6)
Pengelolaan kawasan yang diperlukan sebagai industri adalah memanfaatkan potensi kawasan industri untuk meningkatkan nilai tambah pemanfaatan ruang dalam memenuhi kebutuhan ruang bagi pengembangan kegiatan industri, dengan tetap mempertahankan kelestarian fungsi lingkungan hidup.
(7)
Pola pengelolaan kawasan pariwisata adalah memanfaatkan potensi keindahan alam dan budaya di kawasan pariwisata guna mendorong perkembangan pariwisata dengan memperhatikan kelestarian nilai-nilai budaya, adat-istiadat, mutu dan lingkungan alam serta kelestarian fungsi lingkungan hidup.
(8)
Langkah-langkah pengelolaan kawasan permukiman adalah memanfaatkan ruang yang sesuai untuk tempat bermukim di kawasan permukiman dengan menyediakan lingkungan yang sehat dan aman dari bencana alam serta dapat memberikan lingkungan hidup yang sesuai dengan pengembangan masyarakat dengan memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup. Paragraf 3 Rencana Pengelolaan Kawasan Tertentu Pasal 67
(1)
Rencana pengelolaan kawasan tertentu bertujuan untuk : a. terselenggaranya penataan ruang nasional dan ruang wilayah Propinsi atau ruang wilayah Kabupaten/Kota; b. meningkatkan fungsi kawasan lindung dan fungsi kawasan budidaya yang berada dalam kawasan tertentu; c. mengatur pemanfaatan ruang guna meningkatkan kesejahteraan dan mendukung pertahanan keamanan negara; d. menciptakan kawasan strategis , baik bagi pembangunan nasional maupun bagi pembangunan daerah.
(2)
Pengelolaan kawasan tertentu dilakukan dalam rangka : a. mengoptimalkan pemanfaatan ruang agar sesuai dengan potensi melalui arah pola investasi baik pemerintah maupun swasta dan masyarakat; b. peningkatan pembangunan kawasan dan peningkatan upaya sinergi pembangunan antara kabupaten/kota, propinsi, maupun nasional; c. memacu perkembangan kawasan/daerah dengan memanfaatkan potensi-potensi sumber daya alam dengan penggunaan IPTEK yang tepat guna dan memberikan daya saing nasional; d. mempertahankan fungsi lingkungan hidup kawasan dengan pengendalian yang ketat terhadap pemanfaatan sumber daya alam.
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
35
Pasal 68 (1)
Pengelolaan kawasan tertentu dilaksanakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.
(2)
Peran Pemerintah dalam pengelolaan kawasan tertentu diselenggarakan dengan : a. menyediakan dan menerapkan kriteria, norma, standar, prosedur, dan manual pengelolaan kawasan tertentu; b. melibatkan Pemerintah Daerah dan masyarakat termasuk pemberian insentif dan disinsentif, kompensasi, serta fasilitasi promosi; c. mengupayakan kerjasama dan koordinasi daerah; d. melaksanakan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan tertentu termasuk pengawasan dan penertiban terhadap penyimpangan penyelenggaraan tertentu berdasarkan kewenangannya.
(3)
Peran Pemerintah Daerah dalam pengelolaan kawasan tertentu diselenggarakan dengan : a. memadukan rencana tata ruang kawasan tertentu, termasuk dalam perencanaan tata ruang wilayah masing-masing; b. melaksanakan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan tertentu termasuk pengawasan dan penertiban terhadap penyimpangan penyelenggaraan kawasan tertentu berdasarkan kewenangannya; c. memberikan penghargaan kepada pelaku pembangunan yang berperan dalam menjaga pelestarian dan pengembangan kawasan tertentu
(4)
Hal-hal lain yang telah diatur pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB VI PEMANFAATAN RUANG Bagian Pertama Mekanisme Pemanfaatan Ruang Pasal 69
Mekanisme pemanfaatan ruang meliputi pemaduserasian program pembangunan, pentahapan rencana pemanfaatan ruang dan pembiayaan pelaksanaan program pembangunan. Bagian Kedua Program Pembangunan Pasal 70 (1)
Pemanfaatan ruang dalam Program Pembangunan Daerah diarahkan sesuai rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah Propinsi.
(2)
Gubernur mengkoordinasikan program pembangunan untuk mewujudkan pengelolaan kawasan lindung, kawasan budidaya, kawasan tertentu, serta perwujudan struktur tata ruang wilayah Propinsi melalui pengembangan sistem pusat permukiman wilayah Propinsi dan sistem jaringan transportasi, sistem jaringan transmisi tenaga listrik, sistem jaringan telekomunikasi dan sistem jaringan prasarana sumber daya air Nasional, Propinsi dan Kabupaten/Kota.
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
36
(3)
Pemerintah Kabupaten/Kota didorong untuk ikut serta secara aktif dalam perwujudan pemanfaatan ruang. Pasal 71
(1)
Perwujudan pemanfaatan ruang yang sesuai dan sejalan dengan RTRWP, ditetapkan melalui pentahapan rencana pemanfaatan ruang wilayah Propinsi dan dikembangkan perangkat insentif dan disinsentif.
(2)
Pentahapan rencana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan prioritas rencana pengembangan wilayah Propinsi secara berkesinambungan.
(3)
Tahapan prioritas rencana pengembangan wilayah Propinsi lima tahunan ditetapkan dalam Rencana Struktur Tata Ruang Wilayah Propinsi. Pasal 72
(1)
Perangkat insentif dan disinsentif diarahkan untuk perwujudan pemanfaatan ruang wilayah Propinsi yang sesuai dengan RTRWP.
(2)
Perangkat insentif dimaksudkan untuk memberikan kemudahan bagi seluruh kegiatan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3)
Perangkat disinsentif dimaksudkan untuk menghambat atau mencegah pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah Propinsi yang tidak sesuai dengan Peraturan Daerah ini. Bagian Ketiga Pembiayaan Pasal 73
(1)
Pembiayaan pemanfaatan ruang sesuai dengan RTRWP meliputi sumber dan alokasi pendanaan yang diperlukan untuk pelaksanaan pembangunan.
(2)
Sumber dan alokasi pembiayaan pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa anggaran pembangunan Pemerintah, Pemerintah Daerah, investasi swasta, dan atau bentuk kerjasama pembiayaan.
BAB VII PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG Bagian Pertama Pengawasan Pasal 74 (1)
Pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan agar pemanfaatan ruang wilayah Propinsi sesuai dengan RTRWP.
(2)
Pengendalian pemanfaatan ruang meliputi kegiatan pengawasan dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya. Pasal 75
(1)
Pengawasan terhadap pemanfaatan ruang diselenggarakan dalam bentuk pelaporan, pemantauan dan evaluasi masing-masing diberlakukan untuk :
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
37
a. proses perencanaan, melalui mekanisme perizinan yang diatur sesuai peraturan yang berlaku; b. pelaksanaan program pembangunan, melalui mekanisme perizinan yang diatur sesuai peraturan yang berlaku; c. masa hidup program dan atau bagian-bagian program, melalui perizinan yang diatur sesuai peraturan yang berlaku; (2)
Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan melalui kegiatan pemberian informasi secara obyektif mengenai pemanfaatan ruang baik yang sesuai maupun yang tidak sesuai dengan RTRWP.
(3)
Pemantauan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan melalui kegiatan pengamatan dan pemeriksaan dengan cermat perubahan kualitas tata ruang dan lingkungan baik yang sesuai maupun yang tidak sesuai dengan RTRWP.
(4)
Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan melalui kegiatan penilaian kemajuan kegiatan pemantauan ruang dalam mencapai tujuan pemanfaatan ruang wilayah Propinsi.
(5)
Pengawasan dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dan masyarakat. Bagian Kedua Penertiban Pasal 76
(1)
Penertiban terhadap pemanfaatan ruang diselenggarakan dalam bentuk pengenaan sanksi.
(2)
Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi sanksi administrasi, sanksi pidana dan sanksi perdata.
(3)
Sanksi administrasi dilakukan oleh aparat Penyidik Pegawai Negeri Sipil mewakili pemerintah daerah Propinsi yang berwenang terhadap pemanfaatan ruang di bawah koordinasi Pemerintah Daerah. Bagian Ketiga Rujukan Pasal 77
(1)
Rujukan dalam rangka penataan ruang, Peraturan Daerah ini dilengkapi dengan Lampiran berupa Buku Rencana dan Album Peta Rencana dengan tingkat ketelitian peta rencana 1 : 250.000 yang bergeoreferensi memuat arahan pemanfaatan ruang, struktur tata ruang dan pola pemanfaatan ruang, sebagai bagian yang tidak terpisahkan.
(2)
Penjabaran dan pendetailan lebih lanjut atas peraturan daerah ini berupa rencana tata ruang pulau dan rencana detail tata ruang kawasan berdasarkan arahan fungsi ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
38
BAB VIII PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 78 Dalam pelaksanaan kegiatan penataan ruang wilayah Propinsi, masyarakat berhak : a. berperan serta dalam proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang; b. mengetahui secara terbuka muatan kebijaksanaan dan strategi pengembangan wilayah Propinsi; c. menikmati manfaat ruang dan atau pertambahan nilai ruang sebagai akibat dari penataan ruang; d. memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan kebijaksanaan dan strategi pengembangan wilayah Propinsi. Pasal 79 Dalam pelaksanaan kegiatan penataan ruang wilayah Propinsi, masyarakat wajib : a. berperan serta dalam memelihara kualitas ruang. b. berlaku tertib dalam peranserta selama proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. c. mentaati kebijaksanaan dan strategi pengembangan wilayah Propinsi yang ditetapkan. Pasal 80 (1)
Peran serta masyarakat dalam proses pemanfaatan ruang dapat dilakukan melalui pelaksanaan program dan kegiatan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan kebijaksanaan dan strategi pengembangan wilayah Propinsi, meliputi : a. Pemanfaatan ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara; b. Bantuan pemikiran dan pertimbangan berkenaan dengan pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah Propinsi; c. Bantuan teknik dan kerjasama dalam penelitian dan pengembangan ruang wilayah Propinsi;
(2)
Peran serta masyarakat dalam proses pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui a. Pengawasan dalam bentuk pemantauan terhadap pemanfaatan ruang termasuk pemberian informasi obyektif atau laporan pelaksanaan pemanfaatan ruang; b. Bantuan pemikiran dan pertimbangan berkenaan dengan penertiban pemanfaatan ruang wilayah Propinsi.
(3)
Bentuk dan tata cara keterlibatan masyarakat dalam operasionalisasi rencana tata ruang wilayah Propinsi secara rinci diatur dalam norma, pedoman, standar dan manual yang lebih operasional dan ditetapkan dengan keputusan Gubernur.
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
39
BAB IX PENINJAUAN KEMBALI RENCANA Pasal 81 (1)
Peninjauan kembali dan atau penyempurnaan RTRWP dapat dilakukan maksimum 5 (lima) tahun sekali setelah berlakunya Peraturan Daerah ini.
(2)
Peninjauan kembali dan/atau penyempurnaan RTRWP dilakukan berdasarkan hasil evaluasi pemanfaatan ruang dalam kurun waktu 5 (lima) tahun.
(3)
Evaluasi pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan melibatkan masyarakat dan daerah yang berkaitan.
(4)
Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Gubernur untuk ditindaklanjuti.
(5)
Tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa peninjauan kembali atau menjadi lembaran tambahan (addendum) Peraturan Daerah ini.
BAB X KETENTUAN SANKSI Pasal 82 (1)
Sanksi administrasi dikenakan atas pelanggaran pemanfaatan ruang yang berakibat pada terhambatnya pelaksanaan program pemanfaatan ruang.
(2)
Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat berupa: a. penghentian sementara pelayanan administrasi; b. penghentian sementara pemanfaatan ruang; c. denda administrasi; d. pengurangan luas pemanfaatan ruang; e. pencabutan izin pemanfaatan ruang. BAB XI KETENTUAN PIDANA Pasal 83
(1)
Setiap orang yang melanggar ketentuan-ketentuan pasal 65, 68, 78, 79 dan 80 sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Daerah ini, diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
(2)
Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
(3)
Selain tindak pidana pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tindak pidana atas pelanggaran pemanfaatan ruang yang mengakibatkan perusakan dan pencemaran lingkungan serta kepentingan umum lainnya dikenakan ancaman pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
40
BAB XII KETENTUAN PENYIDIKAN Pasal 84 (1)
Selain Penyidik Umum, penyidikan atas pelanggaran Peraturan Daerah ini dilakukan oleh Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)
Wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut: a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana; b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian dan melakukan pemeriksaan; c. menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. melakukan penyitaan benda dan atau bahan bukti lain; e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang; f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. mendatangkan saksi ahli dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h. mengadakan penghentian karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya memberitahukan hal tersebut kepada penyidik, penuntut umum, tersangka atau keluarganya; i. melakukan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 85
Pada saat berlakunya Peraturan Daerah ini, semua Peraturan Daerah dan peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan penataan ruang yang telah ada, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini. Pasal 86 Dengan diberlakukannya Peraturan Daerah ini, maka : a. kegiatan budidaya yang telah ditetapkan sebelumnya dan berada di kawasan lindung dapat diteruskan sejauh tidak mengganggu fungsi lindung; b. kegiatan budidaya yang telah ada di kawasan lindung yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup dikenakan ketentuan-ketentuan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; c. izin pemanfaatan ruang baik yang berada di kawasan lindung maupun di kawasan budidaya yang telah diberikan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini.
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
41
BAB XIV KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 87 Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini akan diatur lebih lanjut oleh Gubernur sepanjang mengenai pelaksanaannya.
BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 88 Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur Nomor 2 Tahun 1994 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 89 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah.
Ditetapkan di pada tanggal
Kupang 12 Oktober 2005
GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR,
PIET ALEXANDER TALLO
Diundangkan di Kupang pada tanggal 12 Oktober 2005 SEKRETARIS DAERAH PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR,
TH. M. HERMANUS LEMBARAN DAERAH PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2005 NOMOR 099 SERI E NOMOR 058
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
42
PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2006 – 2020
I.
PENJELASAN UMUM: Bahwa untuk mengarahkan pemanfaatan ruang di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur secara berdaya guna, berhasil guna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan, perlu disusun rencana tata ruang wilayah; Bahwa dalam rangka mewujudkan keterpaduan pembangunan antar sektor, daerah dan masyarakat, maka rencana tata ruang wilayah merupakan arahan lokasi investasi pembangunan yang dilaksanakan Pemerintah, masyarakat dan/atau dunia usaha; Bahwa Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur Nomor 2 Tahun 1994 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dewasa ini sehingga perlu ditinjau kembali; Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, maka perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2006 – 2020;
II.
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL: Pasal 1
: Cukup jelas
Pasal 2
: Cukup jelas
Pasal 3
: Cukup jelas
Pasal 4
: Cukup jelas
Pasal 5
: Cukup jelas
Pasal 6
: butir a
: Cukup jelas
butir b
: Yang dimaksud dengan matra ruang adalah dimensi ruang
butir c dst
: Cukup jelas
Pasal 7
: Cukup jelas
Pasal 8
: Cukup jelas
Pasal 9
: Cukup jelas
Pasal 10
: Cukup jelas
Pasal 11
: ayat (1)
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
: Cukup jelas
43
ayat (2)
: Yang dimaksud dengan internal adalah kondisi yang terjadi karena adanya kebijakan Pemerintah di dalam wilayah propinsi Yang dimaksud dengan eksternal adalah kondisi yang terjadi karena adanya kebijakan diluar kebijakan Pemerintah Propinsi
ayat (3) Pasal 12
: Cukup jelas
Pasal 13
: Cukup jelas
Pasal 14
: Cukup jelas
Pasal 15
: Cukup jelas
Pasal 16
: Cukup jelas
Pasal 17
: ayat (1)
: Cukup jelas
: Cukup jelas
ayat (2) butir a
: Yang dimaksud dengan penetapan kawasan lindung minimal 30% adalah areal yang diperuntukkan untuk menjaga kelestarian lingkungan baik di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan dengan ketentuan kawasan lindung di luar kawasan hutan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dengan memperhatikan fungsi lindungnya
ayat (2) butir b dst : Cukup jelas ayat (3) dst : Cukup jelas Pasal 18
: Cukup jelas
Pasal 19
: Cukup jelas
Pasal 20
: Cukup jelas
Pasal 21
: Cukup jelas
Pasal 22
: Cukup jelas
Pasal 23
: Cukup jelas
Pasal 24
: Cukup jelas
Pasal 25
: Cukup jelas
Pasal 26
: Cukup jelas
Pasal 26
: Cukup jelas
Pasal 27
: Cukup jelas
Pasal 28
: Cukup jelas
Pasal 29
: Cukup jelas
Pasal 30
: ayat (1) ayat (2)
: Cukup jelas : Daftar ruas jalan Nasional tercantum pada Tabel 1
ayat (3) dst : Cukup jelas
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
44
TABEL 1. DATA JARINGAN JALAN NASIONAL DI PROPINSI NTT DAN RENCANA PENGEMBANGAN JALAN NASIONAL DI PROPINSI NTT TAHUN 2020
No.
1 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 3 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
4 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nama Ruas
Wilayah Pengembangan
2 WP II : Flores - KAB. ENDE 006. 11 K Lembata 006. 12 K 006. 13 K 006. 14 K 007. 11 K 007. 12 K 006 007 008 009 010 011 012 P152 P153 P154
3 Jl. Katedral (Ende) Jl. Sukarno (Ende) Jl. Perwira (Ende) Jl. Arah Bajawa (Ende) Jl. A. Yani (Ende) Jl. Gatot Subroto (Ende) Ende - Aegela Ende - Detusoko Detusoko - Wologai Wologai - Junction Junction - Wolowaru Wolowaru - Lianunu Lianunu - Hepang Kaburea-Maukaro-Nabe Nabe - Ranakolo - Maurole Maurole - Kota Baru - Koro Jumlah
KAB. SIKKA 013 Hepang - Nita 014 Nita - Woloara 015 Woloara - Maumere Jln. Konterius (Maumere) 015. 11 K Jln. Sugiyo Pranoto (Maumere) 015. 12 K Jln. NongMeak (Maumere) 015. 13 K Jln. Gajah Mada (Maumere) 015. 14 K 016 Maumere - Waepare Jln. A. Yani (Maumere) 016. 11 K Jln. Sudirman (Maumere) 016 . 12 K 017.1 Waepare - KM. 180 P154 Koro - Magepanda P038 Waepare - Bola Jumlah KAB. FLOTIM 017. 2 Km. 180 - Waerunu 017. 3 Waerunu - Larantuka Jln. Basuki Rahmat (Larantuka) 017. 31. K Jln. Herman Fernandes (Larantuka) 017. 32 K Jln. Yoakim Bl. de.Rosari (Larantuka) 017. 33 K Jln. Renha Rosari (Larantuka) 017. 34 K Jln. Yos Sudarso (Larantuka) 017. 35 K P39 Larantuka - Watowiti P122 Mudajebak - Lato - Waerunu P159 Wailebe - Waiwadan K016 + 01 Waiwadan-Kolilanang-Lambunga-Witihama K021 Witihama - Waiwuring Jumlah KAB. NGADA 005 Aegela - Gako 004 Gako - Malanuza 003 Malanuza - Bajawa Jl. Sukarno - Hatta (Bajawa) 003 11 K Jl. Ahmad Yani (Bajawa) 003 12 K Jl. Gatot Subrorto (Bajawa) 003 13 K P148 Waeklambu - Mboras P149 Mboras - Danga P150 Danga - Nila - Marapokot P151 Marapokot - Aeramo - Kaburea Jumlah
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
Usulan Tambahan Total Status Status Jalan Jalan Nasional Nasional pada pada Review Review RTRWP RTRWP 2006 2006 - 2020 2020 5
4
16,00 40,00 35,00 91,00
1,00 0,45 0,60 1,00 1,50 2,40 51,49 27,95 8,65 9,26 13,05 13,44 47,34 16,00 40,00 35,00 269,13
8,20 20,01 28,21
6,81 4,84 3,81 0,17 0,53 0,64 1,67 3,37 1,60 1,79 25,31 8,20 20,01 78,75
8,680 27,800 16,00 16,00 20,00 88,48
36,30 55,19 4,30 1,07 0,46 1,31 1,53 8,68 27,80 16,00 16,00 20,00 188,64
20,00 36,00 12,00 45,00 113,00
31,77 17,24 15,33 0,55 0,60 2,00 20,00 36,00 12,00 45,00 180,49
45
1 5 1 2 3 4 5 6 7 8 9
2 WP II : Flores Lembata
6 1 2 3 4 5 7 1
8 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 9 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
10
WP I : Timor Barat - Rote Ndao - Alor
3 KAB. MANGGARAI 002 . 1 Sp. Bajawa - Bts. Manggarai 002 . 2 Bts. Manggarai - Km. 210 002 . 3 Km. 210 - Ruteng 002 . 31 K Jl. A. Yani (Ruteng) 002 . 32 K Jl. Ranakaka (Ruteng) Jl. Komodo (Ruteng) 019 . 11 K P146 Reo - Dampek - Pota P147 Pota - Waeklambu P001 Ruteng - Reo - Kedindi Jumlah KAB. MANGGARAI BARAT 019 Ruteng - Malwatar 018 Malwatar - Labuan Bajo Nggorang - Sp.Wangkung - Kondo Kondo - Sp.Noa - Hita Hita - Sp. Tiga - Kedindi Jumlah KAB. LEMBATA P088 Lewoleba - Balauring Jumlah KOTA KUPANG 163 Tenau - Bolok 054 . 15 K Jl. A. Yani ( Kupang) 054 . 16 K Jl. Sukarno ( Kupang) 054 . 17 K Jl. Pahlawan ( Kupang) 054 . 18 K Jl. Tua Bata ( Kupang) 054 . 19 K Jl. Ke Tenau ( Kupang) 055 . 12 K Jl. Siliwangi ( Kupang) 055 . 13 K Jl. Sumba - Sumatra (Kupang) 055 . 14 K Jl. Timor - Timur ( Kupang) 067 Simp. Oesapa - Lap. Terbang Eltari 067 Jalan Raya Eltari 056 11 K Oesapa - Oesao Jumlah KAB. KUPANG 056 Oesapa - Oesao 057 Oesao - Bokong 054 K1 Kupang - Tenau 054 K Kupang - Oesapa 054 K2 Jalan Tompelo (Kupang) 054 K3 Jalan Lalamentik (Kupang) 054 K4 Jalan Kayu Putih (Kupang) P102 Naikliu - Oepuli P069 Seba - Bolow K010 Biu - Bolow Jumlah
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
KAB. TTS 058 059 059 11 K 059 12 K 060 060 11 K 060 12 K 061 P077 P128 P129 P130 P078 P093
11 1 2 3 4
KAB. TTU 062 062 11 K 062 12 K 062 13 K
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
Bokong - Batu Putih Batuputih - Soe Jl. Gajah Mada ( Soe) Jl. Sudirman ( Soe) Soe - Nikiniki Jl. Diponegoro (Soe) Jl. A. Yani (Soe) Nikiniki - Noelmuti Batu Putih - Panite Panite - Kolbano Kolbano - Boking Boking - Wanibesak Soe - Kapan Kapan - Eban Jumlah Noelmuti - Kefamenanu Jl. Pattimura (Kefamenanu) Jl. Kartini (Kefamenanu) Jl. El Tari (Kefamenanu)
5
4
34,00 40,00 62,17 136,17
39,59 44,95 43,70 1,05 0,80 0,90 34,00 40,00 62,17 267,16
34,00 40,00 46,00 120,00
62,74 60,26 34,00 40,00 46,00 243,00
52,45 52,45
52,45 52,45
-
4,30 2,10 0,40 3,00 3,76 4,38 1,05 1,10 6,14 4,29 11,30 3,50 45,32
32,50 25,15 4,20 61,85
16,10 40,73 32,50 25,15 4,20 118,68
29,73 41,00 56,00 21,00 15,51 22,18 185,42
7,66 27,38 4,00 0,20 20,69 0,95 4,40 43,01 29,73 41,00 56,00 21,00 15,51 22,18 293,71 8,16 0,75 1,27 3,32
46
1 5 6 7 8 9 10 11
2 WP I : Timor Barat - Rote Ndao - Alor
12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
KAB. BELU 065 066 066 11 K 066 12 K 066 13 K 066 14 K 067 067 11 K 067 12 K P125 P123
13 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
16 1 2 3 4 5 6 7
3 Jl. Basuki Rahmat (Kefamenanu) Kefamenanu - Maubesi Jl. A. Yani (Kefamenanu) Maubesi - Nesam (Kiupukan) Lakafehan - Keliting Keliting - Wini - Sakato Kefamenanu - Oelfaub Jumlah Nesam (Kiupukan) - Halilulik Halilulik - Atambua Jl. Suprapto (Atambua) Jl. Supomo (Atambua) Jl. M. Yamin (Atambua) Jl. Basuki Rahmat (Atambua) Atambua - Motaain Jl. Martha Dinata (Atambua) Jl. Yos Sudarso (Atambua) Webua - Motamasin Sp.Berluli - Teluk Gurita Jumlah
KAB. ALOR 089 089. 11.K 089. 12.K 089. 13.K 089. 14.K 089. 15.K 089. 16.K 089. 17.K 90 120 K46 K45 NS K54 K37 K38 K39
Kalabahi - Taramana Jl. Kartini (Kalabahi) Jl. Dewi Sartika (Kalabahi) Jl. Sudirmana (Kalabahi) Jl. Panglima Polim (Kalabahi) Jl. Gatot Subroto (Kalabahi) Jl. Sam Ratulangi (Kalabahi) Jl. Pattimura (Kalabahi) Junction - Lapangan Terbang Mali Taramana - Lantoka - Maritaing Beangong - Boloang Baranusa - Beangong Kayang - Sp. Beangong Kabir - Baranusa Kabir - Pandai Pandai - Tuabang Tuabang - Bakalang Jumlah KAB. ROTE NDAO P071 Baa - Olafullihaa - Pante Baru Jumlah
14 1
15 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
062 14 K 063 063 11 K 064 P126 P127 P082
WP III : Sumba Barat - Sumba Timur
KAB. SUMBA TIMUR 043 .1 Waingapu - KM. 35 043 . 2 KM. 35 - Bts. Sumba Timur 043. 11 K Jl. Suprapto (Waingapu) 043. 12 K Jl. Panjaitan (Waingapu) 043. 13 K Jl. MT. Haryono (Waingapu) 043. 14 K Jl. A. Yani (Waingapu) 043. 15 K Jl. Diponegoro (Waingapu) 043. 16 K Jl. Gajah Mada (Waingapu) 043. 17 K Jl. Adam Malik (Waingapu) 043. 18 K Jl. Matawi Amahul (Waingapu) 043. 19 K Jl. Nanga Mesi (Waingapu) P051 Waingapu - Melolo P052 Melolo - Baing NS Jln. Matawaiamahu Jumlah KAB. SUMBA BARAT 043 Bts. Sumba Timur - Waikabubak 043.31K Jln. Sudirman ( Waikabubak) 042 Waikabubak - Waitabula 041 Waitabula - Waikelo K15 Memboro - Lenang K33 Lenang - Tanambanas K Tanambanas - Napu Jumlah Propinsi Nusa Tenggara Timur
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
5
4
5,20 53,00 21,20 79,40
1,95 13,07 3,50 13,97 5,20 53,00 21,20 129,39
22,16 6,21 28,37
32,13 15,90 2,20 0,80 1,20 0,20 35,57 0,90 2,90 22,16 6,21 120,17
23,00 12,80 15,21 33,10 9,70 16,00 3,00 112,81
41,82 0,33 1,04 1,16 0,64 0,43 0,79 0,49 9,00 48,50 23,00 12,80 15,21 33,10 9,70 16,00 3,00 217,01
30,750 30,75
30,75 30,75
57,86 56,70 2,50 117,06
23,32 35,46 1,00 0,54 0,55 1,08 0,84 0,60 2,40 2,18 1,05 57,86 56,70 2,50 186,08
29,000 27,000 21,000 77,00
58,01 5,41 33,04 4,80 29,00 27,00 21,00 178,26
1.321,97
2.598,99
47
Pasal 31
: Cukup jelas
Pasal 32
: Cukup jelas
Pasal 33
: Cukup jelas
Pasal 34
: Cukup jelas
Pasal 35
: Cukup jelas
Pasal 36
: Cukup jelas
Pasal 37
: Cukup jelas
Pasal 38
: Cukup jelas
Pasal 39
: Cukup jelas
Pasal 40
: ayat (1)
: Yang dimaksud dengan Multimoda adalah keseluruhan jenis sarana transportasi baik darat, penyeberangan, laut dan udara
ayat (2) dst : Cukup jelas Pasal 41
: Cukup jelas
Pasal 42
: Cukup jelas
Pasal 43
: Cukup jelas
Pasal 44
: Cukup jelas
Pasal 45
: Cukup jelas
Pasal 46
: Cukup jelas
Pasal 47
: ayat (1) & (2) : Cukup jelas ayat (3)
: Data Wilayah Sungai yang disebut Satuan Wilayah Sungai (SWS) dan Daerah Aliran Sungai Kritis adalah sebagai berikut:
a. SWS Timor – Rote Ndao – Alor;
Daerah Aliran Sungai Oesao;
Daerah Aliran Sungai Manikin;
Daerah Aliran Sungai Tuasene;
Daerah Aliran Sungai Noelmina;
Daerah Aliran Sungai Nain;
Daerah Aliran Sungai Powu;
Daerah Aliran Sungai Kaubele;
Daerah Aliran Sungai Haekto;
Daerah Aliran Sungai Tala;
Daerah Aliran Sungai Benanain;
Daerah Aliran Sungai Nobelu;
Daerah Aliran Sungai Haekesak;
Daerah Aliran Sungai Waelombur;
Daerah Aliran Sungai Sabu;
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
48
Daerah Aliran Sungai Oepoli;
Daerah Aliran Sungai Malibata;
Daerah Aliran Manubulu.
b. SWS Flores - Lembata
Daerah Aliran Flores Timur;
Daerah Aliran Sungai Bama;
Daerah Aliran Sungai Mati;
Daerah Aliran Sungai Warielou;
Daerah Aliran Sungai Ili Getang;
Daerah Aliran Sungai Mebe;
Daerah Aliran Sungai Wolowana;
Daerah Aliran Sungai Mautenda;
Daerah Aliran Sungai Nangapanda;
Daerah Aliran Sungai Panondiwal;
Daerah Aliran Sungai Dsampek;
Daerah Aliran Sungai Waikaap.
c. SWS Sumba
Daerah Aliran Sungai Wanokaka;
Daerah Aliran Sungai Payeti;
Daerah Aliran Sungai Wanga;
Daerah Aliran Sungai Kakaha.
ayat (4) Pasal 48
: Cukup jelas
Pasal 49
: Cukup jelas
Pasal 50
: Cukup jelas
Pasal 51
: Cukup jelas
Pasal 52
: Cukup jelas
Pasal 53
: Cukup jelas
Pasal 54
: Cukup jelas
Pasal 55
: Cukup jelas
Pasal 56
: Cukup jelas
Pasal 57
: Cukup jelas
Pasal 58
: Cukup jelas
Pasal 59
: Cukup jelas
Pasal 60
: Cukup jelas
Pasal 61
: Cukup jelas
Pasal 62
: Cukup jelas
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
: Cukup jelas
49
Pasal 63
: Cukup jelas
Pasal 64
: Cukup jelas
Pasal 65
: Cukup jelas
Pasal 66
: Cukup jelas
Pasal 67
: Cukup jelas
Pasal 68
: Cukup jelas
Pasal 69
: Cukup jelas
Pasal 70
: Cukup jelas
Pasal 71
: Cukup jelas
Pasal 72
: Cukup jelas
Pasal 73
: Cukup jelas
Pasal 74
: Cukup jelas
Pasal 75
: Cukup jelas
Pasal 76
: Cukup jelas
Pasal 77
: Cukup jelas
Pasal 78
: Cukup jelas
Pasal 79
: Cukup jelas
Pasal 80
: Cukup jelas
Pasal 81
: Cukup jelas
Pasal 82
: Cukup jelas
Pasal 83
: Cukup jelas
Pasal 84
: Cukup jelas
Pasal 85
: Cukup jelas
Pasal 86
: Cukup jelas
Pasal 87
: Cukup jelas
Pasal 88
: Cukup jelas
Pasal 89
: Cukup jelas
PERDA RTRWP NTT 2006‐2020
50