BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Sesuai dengan UUD 1945, pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Pembangunan kesehatan harus dipandang sebagai suatu investasi untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia dan mendukung pembangunan
ekonomi,
serta
memiliki
peran
penting
dalam
upaya
penanggulangan kemiskinan. Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H ayat (1) dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Pembangunan kesehatan harus dipandang sebagai suatu investasi untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia, yang antara lain diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dalam pengukuran IPM, kesehatan adalah salah satu komponen utama selain pendidikan dan pendapatan. Kesehatan juga merupakan investasi untuk mendukung pembangunan ekonomi serta memiliki peran penting dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan dibutuhkan perubahan cara pandang (mindset) dari paradigma sakit ke paradigma sehat, sejalan dengan visi Indonesia Sehat 2010. Tuntutan yang gencar yang dilakukan oleh masyarakat kepada pemerintah untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah sejalan
Universitas Sumatera Utara
dengan meningkatnya tingkat pengetahuan masyarakat, disamping adanya pengaruh globalisasi. Oleh karena itu tuntutan tersebut merupakan hal yang wajar dan sudah seharusnya direspon oleh pemerintah dengan melakukan perubahanperubahan yang terarah pada terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Mencermati banyaknya ide, konsep, pendekatan dan paradigma baru tentang
reformasi
birokrasi
maupun
penataan
ulang
penyelenggaraan
pemerintahan yang telah dikemukakan para ahli. Memang diakui telah terjadi perkembangan
diskursus
(wacana)
mengenai
Good
Governance
dan
Enterpreneurial Government dan menjadi perdebatan oleh banyak kalangan, baik para politisi, kalangan akademisi, praktisi pemerintahan maupun masyarakat dengan persepsi dan argumen yang berbeda-beda. Penataan ulang, pembaruan, desain ulang, reformasi sektor pemerintahan dan manajemen pemerintahan baru, atau apapun namanya (Osborne and Plastrik, 2000) merupakan pekerjaan besar dan menuntut adanya pembaharu yang mempunyai
semangat
kewirausahaan
(entrepreneur)
sehingga
dapat
mentransformasikan sistem dan organisasi birokratis menjadi organisasi yang bersifat wirausaha. Kesadaran, pemahaman dan pengetahuan yang mendalam dari para elit birokrasi mengenai semangat kewirausahaan di sektor publik dalam rangka mereformasi birokrasi harus menjadi agenda yang penting. Pemahaman yang keliru, parsial, tidak holistik dan tidak komprehensip terhadap hal ini akan menyebabkan timbulnya berbagai masalah dan sikap resistensi yang kuat dari elit birokrasi untuk mempertahankan status quo dan anti akan perubahan yang sebenarnya baik bagi masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Pemerintah Kota Medan
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya berupaya melaksanakan pembangunan disegala bidang, salah satu prioritasnya adalah pembangunan di bidang kesehatan. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di bidang kesehatan, pemerintah melakukan upaya-upaya pembangunan kesehatan secara merata di seluruh wilayah Pemerintah Kota Medan yang bermutu dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Adanya otonomi daerah, di mana bidang kesehatan termasuk ke dalam urusan yang diserahkan kepada daerah dan adanya kebijaksanaan swadana serta masuknya sektor swasta dalam bidang kesehatan akan mendorong kompetisi dalam memanfaatkan sumber daya yang tersedia secara lebih efisien, sehingga pemberi pelayanan kesehatan harus merubah pandangannya untuk
lebih
berorientasi pada pasar atau konsumen, dengan melakukan perbaikan mutu pelayanan. Kondisi seperti itu akan menuntut Dinas Kesehatan Kota Medan untuk melaksanakan kinerjanya dengan baik serta menginternalisasikan nilai-nilai ataupun konsep entrepeneur (kewirausahaan) dalam melaksanakan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Bertitik tolak dari latar belakang tersebut, maka penulis merasa penting untuk melaksanakan sebuah penelitian tentang pelaksanaan nilai-nilai / konsep entrepeneur dalam penyelenggaraan pemerintah modern dalam hal ini padaD inas Kesehatan Kota Medan dan menjadikannya sebagai landasan berpijak untuk menyelenggarakan pelayanan publik yang berorientasi kepada masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
1. 2. Perumusan Masalah Adapun perumusan masalah yang menjadi pokok penelitian ini adalah “Bagaimanakah Penerapan Konsep Entrepeneurship Dalam Kebijakan Pelayanan Kesehatan?” 1. 3. Tujuan penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui bagaimana penerapan konsep entrepeneurship dalam kebijakan pelayanan kesehatan 2. Untuk mengetahaui sejauh mana penerapan konsep entrepeneurship dalam kebijakan pelayanan kesehatan? 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat diadakannya penelitian ini bagi penulis adalah : 1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah penelitian di FISIP-USU 2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi semua kalangan terutama pada organisasi-organisasi pemerintah sebagai pelaksana fungsi pelayanan kepada masyarakat 3. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan penulis mengenai konsep dan nilai entrepeneur
Universitas Sumatera Utara
1.5. Kerangka Teori. 1.5.1.
Konsep
Enterpreneurial
Government
(Pemerintahan
bergaya
Wirausaha) Kewirausahaan dikenal sebagai suatu proses penciptaan nilai dengan menggunakan berbagai sumber daya tertentu untuk mengeksploitasi peluang (Lupiyoadi,1999:10). Konsep kewirausahaan telah mendapat perhatian yang sangat luas dan intensif dikalangan pakar akademis maupun dikalangan praktisi baik ekonomi, manajemen bisnis serta para birokrat yang bergerak disektor publik. Kewirausahaan dianggap sebagai obat yang mujarab dan sesuatu yang manjur pada saat produktifitas, kreatifitas dan performansi dipentingkan (Goodman,1993:42). Dalam sejarah perkembangan konsep kewirausahaan selalu dikaitkan dengan persoalan ekonomi dan bisnis perusahaan. Dalam bukunya yang berjudul “The Management Challenge“ James M. Higins (Mutis,1995:10) telah menguraikan secara historis mengenai konsep kewirausahaan dan dianggap sebagai salah satu fungsi ekonomi. Menurut Hisrich (1986:4) yang dimaksud kewirausahaan adalah, “Entrepreneurship is the process of creating something different with value by devoting the necessary time ang effort, assuming the accompanying financial, psychological and time risks ang receiving the resulting rewards financially and personal satisfaction” Selanjutnya Kao (1989) menyatakan bahwa, “wirausaha adalah usaha untuk menciptakan nilai dengan mengenali peluang bisnis, pengelolaan atas pengambilan resiko peluang dan mela;ui komunikasi serta ketrampilan melakukan mobilitas manusia, finansial dan sumber-sumberyang dibutuhkan agar rencana dapat terlaksana dengan baik”
Universitas Sumatera Utara
Kewirausahaan dalam pendefenisiannya juga difokuskan pada aspek karakter seseorang yaitu, bahwa wirausaha adalah seorang inovator, pemberani dan kreatif. Kewirausahaan sebagai seseorang yang merasakan adanya peluang, mengejar peluang-peluang yang sesuai dengan situasi dirinya dan percaya bahwa kesuksesan merupakan sesuatu hal yang bisa dicapai Jose Carlos dan Jarillo Mossi (Mutis,1995:18). Begitu pula Howard H. Stevenson (Mutis 1995:21) menyatakan bahwa, kewirausahaan merupakan pola tingkah laku manajerial yang terpadu, kewirausahaan juga berarti upaya pemanfaatan peluang-peluang yang tersedia tanpa mengabaikan sumberdaya yang dimilikinya. Kewirausahaan lebih dari sekadar tingkah laku individu. Lebih jauh Drucker (Osborne, 1995 : xvii) mengatakan bahwa hampir setiap orang bisa menjadi wirausahawan, asalkan organisasinya disusun untuk mendorong kewirausahaan. Sebaliknya setiap wirausahawan bisa berubah menjadi birokrat, andaikan organisasinya mendorong perilaku birokratis. Perkembangan selanjutnya kewirausahaan didefenisikan dalam konteks yang lebih luas, tidak saja menyangkut masalah ekonomi dan manajemen bisnis tetapi meluas kesektor diluar bisnis (public sektor). Hal ini pernah diungkap oleh Good Man (1993:6) Kewirausahaan juga diartikan sebagai cara pandang baru seperti yang dikemukakan oleh Banfe (Arifuddin,1996:25) yang mengungkapkan bahwa wirausaha adalah pemikiran kembali paradigma konvensional, membuang caracara tradisional untuk melakukan sesuatu. Cara kuno dan tradisional mungkin telah terbukti berhasil, tetapi wirausaha memiliki cara baru yang lebih atau membuat produk baru atau yang telah dikembangkan. Menurut J.B. Say (Osborne, 1996 : xvi),
Universitas Sumatera Utara
“ Wirausahawan “ adalah memindahkan berbagai sumber ekonomi dari suatu wilayah dengan produktifitas rendah ke wilayah dengan produktifitas lebih tinggi dan hasil yang lebih besar. Denga kata lain, seorang wirausahawan menggunakan sumberdaya dengan cara baru untuk memaksimalkan produktivitas dan efektifitas”. Kajian mengenai kewirausahaan saat ini sangat relevan mengingat sumberdaya manusia semakin dilihat sebagai sumber daya utama bagi kemampuan adaptif dan kompetisi organisasi. Kewirausahaan juga dinilai sebagai salah satu teknik manajemen yang baik untuk memperbaiki performance organisasi.
Performance
mampu
mendorong
motivasi
para
manajer
(Goodman,1993:42). Isu tentang perlunya birokrasi pemerintahan dikelola dengan prinsip kewirausahaan sebenarnya bukan hal baru dalam di dunia. Di Indonesiapun konsep dan gagasan tersebut mulai bergema diera tahun 95-an tatkala beberapa orang pemerhati masalah birokrasi menyuarakan perlunya birokrasi pemerintah merubah orientasi menjadi lembaga yang berjiwa wirausaha. Hal ini dikemukakan oleh Tjokrowinoto (1996:233-234) David Osborne dan Ted Gaebler (1996) dengan karyanya yang monumental “Reinventing Government, How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sektor” mencoba untuk menemukan kembali pemerintahan dengan mengembangkan konsep pemerintahan yang bergaya wirausaha (Enterpreneurial Government). Esensi dasar yang sangat strategis dari pemikiran Osborne dan Ted tersebut berkaitan erat dengan birokrasi pemerintahan yang tidak lagi berorientasi pada budaya sentralisasi, strukturalisasi, formalisasi dan
apatistik
melainkan
pada
desentralisasi
pemberdayaan,
kemitraan,
fungsionalisasi dan demokratisasi. Fungsi pemerintahan yang modren strateginya harus diarahkan pada daya dukung dan daya dorong untuk meningkatkan peran
Universitas Sumatera Utara
serta masyarakat dalam dalam proses kebijakan, penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan. Selanjutnya Osborne (1996:23-24) mengungkapkan sesuatu yang perlu menjadi pegangan dalam menerapkan prisip-prinsip kewirausahaan bahwa organisasi bisnis tidak bisa disamakan dengan lembaga pemerintah dan memang terdapat banyak perbedaan satu dengan yang lainnya. Pemerintah tidak dapat dijalankan seperti sebuah bisnis, tentu saja tidak berarti bahwa pemerintah tidak bisa bergaya wirausaha. Menurut Dwiyanto (1996) Reinventing Government adalah suatu pemikiran dan gerakan untuk mengembangkan pemerintah yang memiliki jiwa dan semangat entrepreneurial. Ciri penting dari pemerintah yang entrepreneurial adalah kemampuannya menggunakan resourses yang ada secara efisien, inovatif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakatnya. Pemerintah hanya akan bisa mengembangkan semangat entrepreneurial jika membuang jauh-jauh sifat dan mental birokratis yang selama ini mengangkanginya. Karakteristik birokrasi pemerintah yang sentralistik, hirarkhis, monopolistik, reaktif dan formalistik harus diganti dengan desentralistik, organik-adaptif, kompetitif, antisipatif dan partisipatif. Selanjutnya Osborne dan Gaebler (1996) mengungkapkan bahwa prinsip-prinsip pemerintahan wirausaha yaitu : 1. Pemerintahan Katalis : Mengarahkan ketimbang mengayuh Pemerintah diibaratkan sebuah perahu, peran pemeritah bisa sebagai pengemudi yang mengarahkan jalannya perahu atau sebagai pendayung yang
Universitas Sumatera Utara
mengayuh untuk membuat perahu bergerak. Pemerintahan yang lebih banyak mengarahkan dan lebih sedikit mengayuh jelas merupakan pemerintahan yang lebih kuat. Bagaimanapun, mereka yang mengarahkan perahu mempunyai kekuasaan jauh lebih banyak atas tujuannya ketimbang mengayuh. Pemerintahan yang memfokuskan pada mengarahkan, secara akitif akan membentuk masyarakat , negara dan bangsanya. Mereka membuat lebih banyak keputusan yang menjadi kebijakan. Mereka menggerakkan lebih banyak lembaga social dan ekonomi. Sebagian bahkan lebih banyak mengatur. 2. Pemerintah milik masyarakat : memberi wewenang ketimbang melayani Dimana upaya pemberdayaan masyarakat akan memberikan hasil yang lebih optimal ketimbang sekedar melayani. Adapun ide dasarnya adalah untuk menjadikan keselamatan umum sebagai tanggung jawab masyarakat, bukan hanya tanggung jawab para profesional. Pemberian wewenang kepada masyarakat tidak hanya mengubah harapan dan membangkitkan kepercayaan, biasanya justru memberikan solusi-solusi yang jauh lebih baik terhadap setiap masalah mereka ketimbang terhadap layanan umum biasa. 3. Pemerintahan yang kompetitif : menyuntikkan persaingan ke dalam pemberian pelayanan Prinsip ini berupaya menciptakan adanya iklim kompetisi bagi organisasi pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Persoalannya adalah bukan negeri versus swasta, melainkan kompetisi versus monopoli. (John Moffitt). Karena tidak ada kebenaran pada pandangan
Universitas Sumatera Utara
lama bahwa sektor bisnis selalu lebih efisien dibanding pemerintahan. “Di mana ada persaingan, Anda akan memperoleh hasil yang lebih baik, kesadaran akan adanya biaya yang lebih besar, dan pemberian pelayanan yang lebih unggul.” Kompetisi tidak akan memecahkan semua masalah tetapi mungkin kompetisi memegang kunci pembuka kisi-kisi birokrasi yang melumpuhkan begitu banyak lembaga pemerintah. Ini tidak bermaksud mengesahkan persaingan yang tajam, yang dapat berdampak buruk dan juga baik. Jika kompetisi menghemat uang hanya dengan jalan mengurangi upah dan tunjangan,, misalnya, pemerintah harus mempersoalkan nilainya. Osborne juga mengatakan bahwa dia juga tidak mengesahkan kompetisi antar-individu, melainkan kompetisi antartim – antarorganisasi dapat membangun semangat dan emndorong kreativitas. 4. Pemeritahan yang digerakkan oleh Misi : Mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan Prinsip ini didasarkan pada pandangan bahwa pemerintahan yang digerakan oleh misi akan bekerja lebih efisien dibandingkan pemerintah yang digerakan oleh peraturan semata. Organisasi yang digerakkan misi memberi kebebasan kepada para karyawannya dalam mencapai misi organisasi dengan metode paling efektif yang dapat mereka temukan. Ada beberapa keunggulan pemerintahan yang digerakkan oleh misi : a. organisasi yang digerakkan oleh misi lebih efisien ketimbang organisasi yang digerakkan oleh peraturan.
Universitas Sumatera Utara
b. Organisasi yang digerakkan oleh misi juga lebih efektif ketimbang organisasi yang digerakkan oleh peraturan karena lebih mendatangkan hasil yang lebih baik. c. Organisasi yang digerakkan oleh misi lebih inovatif ketimbang yang digerakkan oeh peraturan d. Organisasi yang digerakkan oleh misi lebih fleksibel ketimbang yang digerakkan oleh peraturan e. Organisasi yang digerakkan oleh misi mempunyai semangat lebih tinggi ketimbang yang digerakkan oleh peraturan. Kejelasan misi mungkin merupakan satu-satunya aset terpenting bagi sebuah organisasi pemerintah. Lembaga pemerintah semakin mencari kejelasan itu dengan membuat berbagai pernyataan misi. Peran sebuah pernyataan misi adalah untuk memfokuskan pada tujuan organisasi, untuk menarik perhatian terhadap hal penting, dan untuk meneteapkan sasaran organisasi guna menyelaraskan setiap praktek organisasi dengan nilai. 5. Pemerintah yang berorientasi hasil : Membiayai hasil, bukan masukan Pemerintah wirausaha berusaha mengubah bentuk penghargaan dan insentif ini. Para wirausahawan pemerintah tahu bahwa bila lembaga-lembaga dibiayai berdasarkan masukan, maka sedikit sekali alasan mereka untuk berusaha keras mendapatkan kinerja yang lebih baik. Tetapi ketika mereka dibiayai berdasarkan keluaran, mereka menjadi obsesif dengan prestasi.
Universitas Sumatera Utara
6. Pemerintah
berorientasi
pelanggan
:
Memenuhi
kebutuhan
pelanggan, bukan birokrasi Prinsip ini memandang rakyat sebagai pelanggan yang wajib dilayani dengan sebaik-baiknya, sedangkan pemerintah sebagai pelayannya. Pemerintah yang demokratis lahir untuk melayani warganya. Bisnis ada untuk memperoleh profit. Dan oleh karena itulah tugas pemerintah adalah mencari cara untuk menyenangkan
warganya.
Kebanyakan
pemerintah
kita
buta
terhadap
pelanggannya sementara bisnis tergerak oleh pelanggan. Bagaimana logikanya? Sederhana. Sebagian besar badan pemerintah tidak memperoleh dananya dari pelanggan. Bisnis adalah sebaliknya. Jika suatu bisnis menyenangkan pelanggannya, penjualannya akan meningkat; jika pesaing bisa lebih menyenangkan pelanggannya, maka penjualannya akan turun. Badan pemerintah memperoleh sebagian besar dana mereka dari legislatif, dewan kota, dan pejabat yang terpilih. Jadi sementara bisnis bersungguh-sungguh untuk menyenangkan kelompok kepentingan. Menempatkan sumber daya di tangan pelanggan saja tidaklah cukup. Jika penyedia jasa adalah publik, atau didanai oleh publik, pemerintah wirausaha sering mendapati bahwa mereka menghadapi satu tahap lagi ; mereka harus mengubah birokrasi yang sudah ada. 7. Pemerintahan wirausaha : Menghasilkan ketimbang membelanjakan Seyogyanya pemerintah memfokuskan kemampuannya tidak untuk membelanjakan uang akan tetapi bagaimana menghasilkannya. Suatu pemerintahan wirausaha mengekspose subsidinya secara terangterangan kepada publik, mengandalkan tekanan publik untuk menghapuskan
Universitas Sumatera Utara
subsidi dan kemudian menemukan cara untuk mendatangkan uang dari pelayanan yang terkait. Jika kita menginginkan pegawai negeri sipil menjadi “sadar pendapatan,” kita memerlukan insentif yang mendorong mereka untuk menghasilkan uang sebagaimana mereka mengeluarkannya. Penghasilan yang terjamin menciptakan insentif yang keliru. Manajer dari anggaran yang besar yang seluruhnya disuplai oleh badan legislatif akan bertindak seperti remaja dengan benyak kebebasan. Tidak ada yang menghasilkan cara-cara baru untuk mendapatkan dan menghemat uang. 8. Pemerintahan yang antisipatif : Mencegah daripada mengobati Pemerintahan tradisional yang birokratis memusatkan pada penyediaan jasa untuk memerangi masalah. Untuk menghadapi sakit, mereka mendanai pelayanan perawatan kesehatan. Ada saatnya ketika pemerintah harus lebih memusatkan pada pencegahan : pada pembangunan sistem air dan pembuangan air kotor, untuk mencegah penyakit; pada pengawasan terhadap susu, daging, dan rumah makan juga untuk mencegah sakit. Tetapi ketika pemerintah mengembangkan kapasitas yang lebih besar lagi untuk
menyampaikan
pelayanan,
perhatian
pemeritah
bergeser.
Ketika
departemen pemadam kebakaran menjadi profesional, mereka mengembangkan seni membasmi kebakaran, bukannya pencegahan. Ketika departemen kepolisian menjadi profesional, mereka berkonsentrasi pada penangkapan penjahat, bukannya membantu masyarakat mencegah kejahatan. Model birokratis membawa serta keasyikan dengan penyampaian jasa, dengan mendayung, bukan mengemudikan. Dan organisasi-organisasi yang
Universitas Sumatera Utara
memusatkan energi terbaik mereka pada mendayung dan jarang yang mencurahkan pada
mengemudikan.
Mereka
diprogram oleh profesional
danbirokrat untuk berpikir bahwa pemerintahan seperti pelayanan, mereka menunggu sampai suatu persoalan menjadi suatu krisis, kemudian menawarkan pelayanan baru bagi yang terkena pengaruh – tunawisma di jalanan, anak putus sekolah, pemakai obat-obat terlarang. Dengan demikian pemerintah banyak membayar untuk mengatasi gejala – dengan lebih banyak polisi, lebih banyak penjara, lebih banyak tunjangan dan bantuan perawatan yang lebih tinggi, sedangkan strategi pencegahan sangat kurang . Mengutip ekonom almarhum Ernst Schumacher, orang yang cerdas memecahkan masalah, orang jenius menhindari masalah. Mencegah penyakit lebih mudah dan lebih murah daripada mengobatinya. 9.
Pemerintahan Desentralisasi : Dari hierarki menuju partisipasi dan tim kerja
Lima puluh tahun yang lalu lembaga-lembaga yang tersentralisasi sangat diperlukan. Teknologi informasi masihprimitif, komunikasi antar berbagai lokasi masih lamban, dan tenaga kerja publik relatif belum terdidik. Tetapi sekarang ini informasi sebenarnya tidak terbatas, komunikasi antar daerah yang terpencil bisa mengalir seketika, banyak pegawai yang sudah terdidik, dan kondisi berubah dengan kecepatan yang luar biasa. Dalam dunia sekarang ini, sesuatu hanya akan berjalan lebih baik jika mereka yang bekerja di organisasi publik—sekolah, pembangunan perumahan umum, taman, program pelatihan—mempunyai otoritas untuk mengambil keputusan sendiri.
Universitas Sumatera Utara
Dalam abad informasi, “tekanan untuk mempercepat pengambilan keputusan mengalahkan kerumitan yang semakin meningkat dan ketidakakraban dengan lingkungan keputusan yang harus diambil,” (Tofler Alvin, Anticipatory Democracy). Tofller menguraikan dua respon yang mungkin: Salah satu cara adalah berusaha untuk lebih memperkuat pusat pemerintahan, yang menambah semakin banyak politikus, birokrat, pakar dan komputer dalam keputusan untuk berlari lebih cepat dari akselerasi kompleksitas; cara lain adalah dengan mulai mengurangi beban keputusan dengan membaginya kepada lebih banyak orang, yang memungkinkan lebih banyak keputusan dibuat “ke bawah” atau pada “pinggiran” ketimbang mengkonsentrasikannya pada pusat yang terkena stress dan tidak berfungsi dengan baik.
Para pemimpin yang berjiwa wirausaha secara naluriah mencoba menjangkau pendekatan yang terdesentralisasi. Mereka menggerakkan banyak keputusan ke “pinggiran” – ke tangan pelanggan, masyarakat, dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Mereka menekan otoritas keputusan yang lain “ke bawah,” dengan membuat hierarki menjadi datar dan memberi otoritas kepada pegawaipegawainya. Lembaga yang terdesentralisasi mempunyai sejumlah keunggulan Pertama, lembaga yang terdesentralisasi ; lembaga tersebut dapat memberi respon dengan cepat terhadap lingkungan dan kebutuhan pelanggan yang berubah. Kedua, lembaga terdesentralisasi jauh lebih efektif daripada yang terdesentralisasi. ketiga, lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih inovatif daripada yang terdesentralisasi. keempat, lembaga yang terdesentralisasi menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih banyak komitmen, dan lebih besar produktivitas.
Universitas Sumatera Utara
10.
Pemerintah Berorientasi Pasar : Mendongkrak perubahan melalui pasar
Bahwa pemerintah perlu melakukan perubahan organisasi berdasarkan mekanisme pasar. Mekanisme pasar mempunyai banyak keunggulan dibanding mekanisme administratif, pasar didesentralisasikan; mereka (biasanya) kompetitif; mereka mendukung pelanggan untuk membuat pilihan; dan mereka mengaitkan sumber daya secara langsung kepada hasil. Pasar juga memberi respon terhadap perubahan yang cepat dengan segera. Namun mekanisme pasar juga memiliki kelemahan, yang utama adalah kecenderungannya menghasilkan ketimpangan dalam akses terhadap pelayanan. (Osborne, Gaebler, “Mewirausahakan Birokrasi) 1.5.2. Kebijakan Publik Kebijakan adalah suatu istilah yang menunjukkan adanya proses, karena merupakan hasil keputusan atau perbuatan yang mempunyai sifat untuk dilaksanakan. Kebijakan karena merupakan hasil perbuatan atau pemikiran seseorang, maka mengandung berbagai macam kegiatan dan keputusan lainnya yang berkaitan dengan terealisirnya tujuan kebijakan itu. Dalam hal ini juga, kebijakan publik sering dikenal dengan istilah public policy. Menurut pendapat H. Hugh Heclo dalam Jones seperti yang dikutip Soenarko (2003 : 40 - 41) menjelaskan sebagai berikut : -
-
“Policy is a course of action intended to accomplish some end” (Terjemahan : Kebijakan adalah suatu arah kegiatan yang tertuju kepada tercapainya beberapa tujuan). Heinz Eulau dan Kenneth Prewitt, dalam Jones seperti yang dikutip Soenarko(2003; 41), juga mempunyai pendapat yang senada, ialah : “ Policy is defined as a standing decision characterized by behavioral consistency and repetitiveness on the part of both those who makes it and those who abide by itu”. (Terjemahan : Kebijakan dapatlah diberi definisi sebagai suatu keputusan
Universitas Sumatera Utara
yang siap dilaksanakan dengan ciri adanya kemantapan perilaku dan berulangnya tindakan, baik oleh mereka yang membuatnya maupun oleh mereka yang harus mematuhinya). Thomas R. Dye dalam Soenarko (2003 : 41) mengatakan : “ Public Policy is whatever governments choose to do or not to do”. (Terjemahan : Kebijakan pemerintah itu adalah apa saja yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan).
Dari pengertian diatas, dapat kita simpulkan bahwa kebijakan itu menggambarkan suatu arah kegiatan yang hendak dilakukan demi tercapainya suatu tujuan. Sedangkan Anderson (1975) dalam Tangkilisan (2003; 2) memberikan definisi kebijakan publik sebagai kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badanbadan dan pejabat-pejabat pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan itu adalah: 1) kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakantindakan yang berorientasi pada tujuan; 2) kebijakan publik berisi
tindakan-
tindakan pemerintah; 3) kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk dilakukan; 4) kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu; 5) kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang bersifat mengikat dan memaksa. Dan perlu diingat bahwa dalam mendefenisikan kebijakan harus tetap mempunyai pengertian mengenai apa yang sebenarnya dilakukan daripada apa yang diusulkan dalam tindakan mengenai persoalan tertentu mengingat
Universitas Sumatera Utara
kebijakan merupakan suatu proses yang mencakup implementasi dan evaluasi. Oleh karena itu, defenisi mengenai kebijakan publik akan lebih tepat bila defenisi tersebut mencakup pula arah tidakan atau apa yang dilakukan dan tidak sematamata menyangkut usulan tindakan. Lebih lanjut, Charles O. Jones (1977) dalam Tangkilisan (2003; 3) menjelaskan bahwa kebijakan terdiri dari komponen-komponen : 1. Goal atau tujuan yang diinginkan. 2. Plans atau proposal, yaitu pengertian yang spesifik untuk mencapai tujuan. 3. Program, yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan. 4. Decision atau keputusan, yaitu tindakan-tindakan untuk menentukan tujuan, membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program. 5. Efek, yaitu akibat-akibat dari program (baik disengaja atau tidak, primer atau sekunder). Mengingat di dalam penelitian ini peneliti ingin meneliti tentang penerapan konsep entrepreneurship dalam kebijakan pelayanan kesehatan, maka kebijakan yang akan dibahas adalah kebijakan pelayanan kesehatan. 1.5.3. Kebijakan Pelayanan Kesehatan : 1. Rencana Strategis (Renstra) Dinas Kesehatan Kota Medan Tahun 2006 - 2010 sesuai dengan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No : 050/2020/SJ Tanggal 11 Agustus 2005. a. Peningkatan pemerataan dan akses seluruh masyarakat, terhadap pelayanan kesehatan dasar di puskesmas dan pelayanan kesehatan rujukan tingkat pertama diruang rawat kelas III RSPemerintah, melalui pembebasan biaya pelayanan kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
b. Mengintegrasikan
pembangunan
kesehatan
lingkungan,
dengan
pembangunan sosial dan ekonomi dalam rangka peningkatan kesehatan dan mutu hidup masyarakat, termasuk meningkatkan sosialisasi kesehatan lingkungan serta pola hidup bersih dan sehat. c. Peningkatan partisipasi seluruh lapisan masyarakat dalam rangka meningkatkan kesadaran, kemandirian dan membentuk perilaku hidup bersih dan sehat, serta ikut dalam upaya pencegahan penyakit dan peningkatan derajat kesehatan. d. Peningkatan , pemantapan kerjasama lintas sektoraldalam rangka mengoptimalkan pelaksanaan pembangunan kota yang berwawasan kesehatan. e. Peningkatan mutu pelayanan kesehatan sesuai SPM (Standar Pelayanan Minimal) bidang kesehatan. f.
Peningkatan akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin yang berdomisili di wilayah lingkar luar atau yang jauh dari sarana pelayanan kesehatan dengan cara mendekatkan pelayanan melalui operasionalisasi puskesmas keliling.
g. Peningkatan upaya pendidikan kesehatan (“Health Education”) kepada masyarakat sejak usia dini dan mendorong dicantumkannya pendidikan kesehatan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan dasar menengah. h. Pemerataan dan peningkatan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan dasar (“Primary Health Care”).
Universitas Sumatera Utara
2. Program-program Strategis Dinas
Kesehatan Kota Medan Tahun
2006- 2010 a. Program Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat b. Program Lingkungan Sehat c. Program Upaya Kesehatan Masyarakat d. Program Upaya Kesehatan Perorangan e. Program Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit f. Program Perbaikan Gizi Masyarakat g. Program Sumberdaya Manusia Kesehatan h. Program Pengawasan Obat dan Makanan i.
Program Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
1.5.4. Pelayanan publik Pelayanan menurut kamus besar Bahasa Indonesia (1999:571) adalah usaha melayani kebutuhan orang lain sedang pelayan adalah membantu menyiapkan (mengurus apa yang diperlukan seseorang). Keunggulan suatu produk jasa adalah tergantung dari keunikan serta kualitas yang diperlihatkan oleh jasa tersebut apakah sudah sesuai dengan keinginan dan harapan pelanggan (J.Supranto,2001) Sejalan dengan uraian tersebut, maka pengertian pelayanan menurut Munir (2000:27) adalah serangkaian kegiatan karena itu ia merupakan proses, sebagai proses pelayanan langsung secara rutin dan berkesinambungan meliputi seluruh kehidupan orang dalam masyarakat. Pelayanan publik (public service) oleh birokrasi publik merupakan salah satu perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat disamping
Universitas Sumatera Utara
abdi negara. Pelayanan publik oleh birokrasi publik dumaksudkan untuk mensejahterakan masyarakat (warga negara) dari suatu negara sejahtera (walfare state). Pelayanan umum oleh Lembaga Administrasi Negara (1998) diartikan sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara/daerah dalam bentuk barang atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Wasistiono (2001:56) menjelaskan bahwa kegiatan institusi pemerintah dalam memberikan pelayanan umum terutama didorong motif sosial politis ditambah dengan motif-motif ekonomi meskipun relatif terbatas. Nurmadi (1999:4) mencirikan pelayanan kepada publik sebagai berikut : tidak dapat memilih konsumen, peranannya dibatasi oleh peraturan perundangundangan, politik menginstitusionalkan konflik, pertanggung jawaban yang kompleks, sangat sering diteliti, semua tindakan harus mendapat justifikasi, tujuan dan output sulit diukur atau ditentukan. Thery (dalam Toha, 1996:14) menggolongkan lima unsur pelayanan yang memuaskan, yaitu : merata dan sama, diberikan tepat pada waktunya, memenuhi jumlah yang dibutuhkan, berkesinambungan, dan selalu meningkatkan kualitas serta pelayanan (proggresive service). Setiap orang mengharapkan pelayanan yang unggul, yaitu suatu sikap atau cara pegawai dalam melayani pelanggan secara memuaskan. Moenir ( 1992:41) menyatakan kualitas pelayanan yang baik adalah sebagai berikut : kemudahan dalam pengurusan kepentingan, mendapatkan
Universitas Sumatera Utara
pelayanan yang wajar, mendapatkan pelayanan yang sama tanpa pilih kasih dan mendapatkan perlakuan yang jujur dan terus terang. Pelayanan publik yang profesional, artinya pelayanan publik yang dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan (aparatur pemerintah). Efektif lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan sasaran. Bila jasa/layanan yang diterima (perceived service) sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas jasa/layanan yang dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika jasa yang diterima melampaui harapan pelanggan, maka kualitas jasa dipersepsikan sebagai kualitas yang ideal. Sebaliknya bila jasa/layanan yang diterima lebih rendah dari pada diharapkan, maka kualitas/layanan akan dipersepsikan buruk. Dengan demikian, baik atau buruknya kualitas jasa/layanan tergantung kepada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan pelanggan secara konsisten dan berakhir pada persepsi pelanggan. Ini berarti bahwa citra kualitas yang baik bukanlah berdasarkan sudut pandang penyelenggara, tetapi harus dilihat dari sudut pandang atau persepsi pelanggan. Kotler
(1994:62)
mengemukakan
bahwa
pelangganlah
yang
mengkomsumsi dan menikmati jasa layanan sehingga merekalah yang seharusnya menentukan kualitas jasa layanan. Persepsi pelanggan terhadap jasa merupakan penilaian menyeluruh atas keunggulan suatu jasa. Namun perlu diperhatikan bahwa jasa seringkali tidak konsisten, sehingga pelanggan menggunakan isyarat intrinsik dan destrinsik jasa sebagai acuan.
Universitas Sumatera Utara
Ndraha (seperti dikutip oleh Djaenuri, 1997:14) memberikan batasan pengertian pelayanan sebagai berikut :”Pelayanan (service) meliputi jasa dan pelayanan. Jasa adalah komoditi, sedangkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat terkait dengan suatu hak dan lepasa dari persoalan apakah pemegang hak itu dapat dibebani suatu kewajiban atau tidak. Dalam kaitan ini dikenal adanya “hak bawahan” (sebagai manusia) dan hak pemberian. Salah satu semangat reformasi adalah menghilangkan kekuasaan yang tidak berpihak kepada rakyat, semangat untuk meningkatkan sektor pelayanan kepada publik. Jadi kalau pada era reformasi sekarang ini ternyata pelayanan kepada publik masih juga belum tergarap dengan baik, itu berarti pengingkaran terhadap nilai-nilai reformasi. Itulah sebabnya lembaga pelayanan publik yang terpilih memegang mandat untuk memperbaiki palayanan kepada masyarakat dan keberhasilan meraka adalah untuk mendekatkan harapan dan kenyataan tersebut. Dengan semangat
reformasi saat
ini diharapkan aparatur dapat
memberikan pelayanan cepat, murah dengan prosedur yang jelas dan menyentuh kehidupan masyarakat, sebagaimana yang dikemukakan Parasuraman, Zeithaml dan Berry dalam Tjahya Supriatna (2000), bahwa pelayanan harus memenuhi kriteria sebagai berikut : 1. Tangibles, yaitu fasilitas secara fisik, peralatan dan penampilan dari personil 2. Reliability, yaitu kemampuan untuk merealisasikan apa yang telah dijanjikan oleh penyedia jasa secara mandiri dan akurat. 3. Responsivines, yaitu adanya keinginan untuk membantu konsumen dan pelayanan yang cepat.
Universitas Sumatera Utara
4. Assurance, yaitu pemahaman dan sikap karyawan dan kemampuan mereka untuk menimbulkan kepercayaan dan keyakinan konsumen. 5. Emphaty, yaitu dapat merasakan apa yang konsumen rasakan sehingga dapat melayani dengan baik. Bentuk pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat menurut Lembaga Administrasi Negara (1998) dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis pelayanan yaitu : 1. Pelayanan Pemerintahan, yaitu merupakan pelayanan masyarakat yang erat dalam
tugas-tugas
umum
pemerintahan
seperti
pelayanan
Kartu
Keluarga/KTP, IMB, Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Imigrasi. 2. Pelayanan Pembangunan, merupakan pelayanan masyarakat yang terkait dengan penyediaan sarana dan prasarana untuk memberikan fasilitas kepada masyarakat dalam aktifitasnya sebagai warga masyarakat, seperti penyediaan jalan, jembatan, pelabuhan dan lainnya. 3. Pelayanan Utilitas merupakan penyediaan utilitas seperti listrik, air, telepon, dan transportasi. 4. Pelayanan Kebutuhan Pokok, merupakan pelayanan yang menyediaan bahanbahan kebutuhan pokok masyarakat dan kebutuhan perumahan seperti penyediaan beras, gula, minyak, gas, tekstil dan perumahan murah. 5. Pelayanan Kemasyarakatan, merupakan pelayanan yang berhubungan dengan sifat dan kepentingan yang lebih ditekankan kepada kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, penjara, rumah yatim piatu dan lainnya.
Universitas Sumatera Utara
1.5.5. Pelayanan Kesehatan 1.
Pengertian Pelayanan Kesehatan Pelayanan kesehatan (health service) merupakan salah satu komponen
penentu derajat kesehatan masyarakat, disamping faktor lingkungan, perilaku dan keturunan.
Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan
secara sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi yang bertujuan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, ,kelompok, ataupun masyarakat. (Azwar 1996:1) Namun masih sering dijumpai kesalahan persepsi dan pemahaman orang terhadap pelayanan kesehatan yaitu hanya berupa pelayanan yang diberikan oleh seorang dokter terhadap pasien. Oleh karena itu menurut azwar, pengertian pelayanan kesehatan harus diasosiasikan kepada pelayanan medis dan pelayanan kedokteran komuniti, pengelolaan kesehatan lingkungan hidup, upaya pengumpulan data kesehatan, bahkan tata administrasi pelayanan kesehatan itu sendiri. Dengan demikian terdapat perbedaan pelayanan kesehatan dengan pelayanan medis.Benyamin Lumenta mengemukakan bahwa pelayanan medis adalah segala upaya dan kegiatan pencegahan dan pengobatan penyakit serta semua upaya dan kegiatan peningkatan dan pemulihan kesehatan yang dilaksanakan atas dasar hubungan individual antara para ahli pelayanan medis dengan individu yang membutuhkannya. jadi ruang lingkupnya masih bersifat mikrososial. Sedangkan pelayanan kesehatan bersifat mikrososial dalam arti merupakan upaya atau kegiatan pencegahan, pengobatan,pemulihan, dan
Universitas Sumatera Utara
peningkatan derajat kesehatan yang dilaksanakan terhadap masyarakat secara keseluruhan. 2.
Sasaran Pelayanan Kesehatan Pelayanan kesehatan dapat dibagi menjadi dua bagian utama jika dilihat
berdasarkan sasarannya : 1. pelayanan kesehatan personal (personal health services). Sasaran pelayanan kesehatan ini adalah unuk pribadi atau perorangan. 2. pelayanan kesehatan lingkungan (environmental health services) Sasaran pelayanan kesehatan ini adalah lingkungan, kelompok, atau masyarakat. (Hodgetts dan Cascio dalam Azwar 1996:36) c.
Syarat Pokok Pelayanan Kesehatan Pelayanan kesehatan yang baik memiliki berbagai persyaratan pokok,
syarat pokok yang dimaksud adalah: a. tersedia dan berkesinambungan syarat pokok pertama pelayanan kesehatan yang baik adalah pelayanan kesehatan tersebut harus tersedia di masyarakat serta bersifat berkesinambungan. Artinya, semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat tidak sulit ditemukan, serta keberadaannya dalam masyarakat adalah pada setiap saat yang dibutuhkan. b. dapat diterima dan wajar pelayanan kesehatan tersebut tidak bertentangan dengan keyakinan dan kepercayaan masyarakat. Pelayanan kesehatan yang bertentangan dengan adat istiadat, kebudayaan, keyakinan, dan kepercayaan
Universitas Sumatera Utara
masyarakat, serta bersifat tidak wajar bukanlah suatu pelayanan kesehatan yang baik. c. mudah dicapai pengertian ketercapaian yang dimaksud adalah terutama dari sudut lokasi. Dengan demikian untuk dapat mewujudkan pelayanan kesehatan yang baik, maka pengaturan distribusi kesehatan menjadi sangat penting. Pelayanan kesehatan yang terlalu terkonsentrasi pada perkotaan saja dan tidak ditemukan di daerah pedesaan bukanlah pelayanan kesehatan yang baik. d. mudah dijangkau pengertian mudah dijangkau yang dimaksud adalah dilihat dari segi biaya. Untuk dapat mewujudkan keadaan yang seperti ini harus diupayakan biaya pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat. Pelayanan kesehatan yang mahal dan hanya bias dijangkau oleh sebagian masyarakat bukanlah pelayanan kesehatan yang baik. (Azwar 1996:38) 2. Kualitas Pelayanan Kesehatan Definisi kualitas pelayanan kesehatan banyak menjadi kajian para ahli. Tracendi, (1988:91-94) mengemukakan bahwa salah satu isu yang paling kompleks dalam dunia pelayanan kesehatan adalah penilaian kualitas. Ruang lingkupnya sangat luas, mulai dari kemungkinan derajat kesempurnaan (perfectability) teknik intervensi klinik sampai peranannya dalam menurunkan angka mortalitas. Ada yang berpendapat bahwa kualitas pelayanan kesehatan di
Universitas Sumatera Utara
rumah sakit dapat dinilai dari mortalitas operasi atau dari angka infeksi nosokomial. Ada pula yang berpegang dari derajat pemanfaatan tempat tidur atau jumlah kunjungan ke poliklinik. Anthony dan Herzlinger menyatakan bahwa organisasi nirlaba, seperti halnya rumah sakit, adalah suatu organisasi yang tujuannya bukanlah semata-mata mencari keuntungan bagi pemiliknya, melainkan memberikan pelayanan sesuai dengan misi yang diembannya (lihat Massie, 1987:262-264). Pada organisasi nirlaba seyogianya pihak manajemen berupaya agar dapat memberi pelayanan semaksimal mungkin dengan sumber daya yang tersedia. Suksesnya organisasi nirlaba dapat dinilai dari seberapa besar dan berapa baik pelayanan yang diberikan. Menurut Aditama (2000:149-150) disebutkan bahwa banyak aspek yang dapat digunakan untuk menilai mutu pelayanan kesehatan. Misalnya, dapat dinilai dari struktur pelayanan itu sendiri dan bagaimana bentuk pelayanan yang diberikan. Hal ini meliputi ruang lingkup pelayanan, tingkat pendidikan, dan proses pemberian pelayanan kesehatan. 2.
Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan
a.
Pengertian SPM bidang Kesehatan Makna dari Standar Pelayanan Minimal adalah suatu nilai acuan terendah
yang harus dilampaui dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat agar pelayanan tersebut memenuhi persyaratan dan kepuasan/kelayakan yang diinginkan atau agar fungsi pelayanan dapat berlangsung sebagaimana mestinya. Standar Pelayanan Minimal merupakan suatu standar dengan batas-batas
Universitas Sumatera Utara
tertentu untuk mengukur kinerja penyelenggaraan kewenangan wajib daerah yang berkaitan dengan pelayanan dasar kepada masyarakat yang mencakup jenis pelayanan, indikator, dan nilai (bencmark). Tujuan penyusunan Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Kota Medan adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas serta akuntabilitas pembangunan bidang kesehatan, pemukiman melalui penyusunan pedoman dan titik acuan yang terukur dan disepakati bersama. Melalui adanya SPM ini diharapkan terjadi keseragaman nilai dan dapat mendukung peningkatan kualitas pelayanan kesehatan di Kota Medan. b.
Tujuan dan Manafaat Tujuan Tujuan pembuatan SPM ini adalah tersusunnya data Standar Pelayanan
Minimal Bidang Kesehatan Kota Medan dan Indikator Indonesia Sehat 2010. Manfaat 1. terevaluasinya data SPM bidang kesehatan Kota Medan. 1. terevaluasinya data indikator Indonesia Sehat 2010. 2. sinkronisasi data Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Kota Medan 3. sinkronisasi data indikator Indonesia Sehat 2010 4. memperoleh kejelasan sumber data SPM Bidang Kesehatan Kota Medan
Universitas Sumatera Utara
5. Memperoleh kejelasan pengisian format profil dengan indikator SPM 1.6. Defenisi Konsep Konsep adalah abstraksi yang dibentuk untuk menggeneralisasikan halhal yang bersifat khusus. Singarimbun menyatakan bahwa kerangka konsep merupakan defenisi untuk menggambarkan secara abstrak suatu fenomena sosial ataupun alami . ( Singarimbun, 1989 : 24) Berdasarkan kerangka teori yang ada, dapat disusun defenisi konsep sebagai berikut : 1) Enterpreneurial Government adalah suatu birokrasi pemerintahan yang memiliki jiwa dan semangat kewirausahaan dengan karakteristik berorientasi pada kebutuhan masyarakat (customer oriented), efisien, inovatif, responsive dan kompetitif dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsinya. 2) Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan secara sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi yang bertujuan untuk
memelihara dan
mencegah dan menyembuhkan
meningkatkan kesehatan,
penyakit serta memulihkan
kesehatan perorangan, ,kelompok, ataupun masyarakat.
1.7. Defenisi Operasional Defenisi operasional dalah suatu batasan yang diberikan kepada suatu variabel dengan cara memberikan arti atau mempersiapkan, memberikan suatu petunjuk operasional yang diperlukan untuk mengukur variabel-variabel tertentu. (Singarimbun, 1989, 46)
Universitas Sumatera Utara
1. Enterpreneurial Government Variabel Enterpreneurial Government dapat diukur dengan menggunakan indikator: 1. Berorientasi pada masyarakat (customer oriented) a. Ada tidaknya mekanisme mendengarkan suara dan
keluhan
masyarakat seperti customer carter b. Kebebasan masyarakat dalam memilih penyedia jasa dibidang sosial dan ada tidaknya peningkatan kualitas pelayanan yang dilakukan pemerintah c. Ada tidaknya keikutsertaan masyarakat dan swasta dalam kegiatan pelayanan publik seperti kemitraan dan privatisasi. 2.
Efisiensi dalam penggunaan anggaran a. Ada tidaknya pengukuran kinerja dari dinas dan kantor yang ada b. Alokasi anggaran yang didasarkan pada kinerja dinas atau kantor c. Sistem insentif berdasarkan pada kinerja dari dinas maupun kinerja pegawai
3. Inovasi dan kreatifitas a. Pengembangan alternatif sumber pelayanan yang dilakukan untuk masyarakat seperti kemitraan dengan pihak swasta. b. Ada tidaknya penerapan Manajemen Strategis dalam kebijakan, program dan kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah seperti penyusunan rencana strategis disetiap unit organisasi pemda. c. Ada tidaknya pengembangan organisasi yang lebih flat, dan team
Universitas Sumatera Utara
work yang dilakukan pemda terutama dalam penyusunan struktur organisasi pemda diera otonomi. d. Kegiatan pemerintah daerah dalam mencari profit dan sumber pendapatan yang baru. 4. Kompetitif dalam penyelenggaraan pelayanan publik a. Ada tidaknya kompetisi antar berbagai pelaku dan tingkatan yang terlibat dalam penyelenggaraan pelayanan masyarakat b. Ada tidaknya kebijakan dan program pemerintah yang mendorong pengembangan semangat kompetisi.
Universitas Sumatera Utara
1.8. Sistematika Penulisan BAB I
PENDAHULUAN Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teori, defenisi konsep, defenisi operasional, serta sistematika penulisan.
BAB II
METODE PENELITIAN Dalam bab ini bentuk penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data dan teknik analisa data.
BAB III
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Dalam bab ini disajikan disajikan gambaran umum lokasi penelitian seperti sejarah singkat, perincian tugas, dan struktur organisasi.
BAB IV
PENYAJIAN DAN ANALISA DATA Bab ini memuat analisa data secara mendalam berkaitan dengan masalah yang diteliti.
BAB V
PENUTUP Bab ini merupakan bab terakhir yang memuat kesimpulan dan saran.
Universitas Sumatera Utara