BAB I PENDAHULUAN
a. Latar Belakang Salah satu hak yang dimiliki seorang warga negara Indonesia adalah hak untuk mendapatkan pendidikan. Hak warga negara untuk memperoleh pendidikan ini tertuang dalam Amandemen UUD 1945 Pasal 31 ayat (1). Pemerintah memiliki kewajiban untuk mengusahakan, menyediakan, dan menyelenggarakan pendidikan.
Kewajiban
pemerintah
untuk
menyediakan
pendidikan tersebut diperkuat dengan Amandemen UUD 1945 pasal 31 ayat (2) yang menyatakan bahwa setiap warga negara wajib
mengikuti
pendidikan
dasar
dan
pemerintah
wajib
membiayainya. Posisi pemerintah dalam untuk memenuhi hak pendidikan bagi rakyatnya setidaknya mengacu kewajibannya menyediakan sarana dan fasilitas pendidikan untuk rakyatnya, serta
menjamin
pendidikan.1
rakyat
mendapat
kemudahan
Negara harus menyadari
mengakses
sepenuhnya bahwa
“Pendidikan adalah Tanggung Jawab Pemerintah” dalam: http://www.kompasiana.com/trianaevachristine/pendidikanadalah-tanggung-jawabpemerintah_55007467a33311fb6f511163, diakses pada Kamis, 1 Oktober 2015, pukul 13.52 WIB. 1
kesempatan mengenyam pendidikan merupakan hak asasi manusia
dan
pemerintah
kolonial
berkewajiban
untuk
menyediakannya. Salah satu aspek penting dalam pengembangan pendidikan di sekolah adalah tersedianya sarana dan prasarana yang menunjang jalannya proses pembelajaran. Menurut Dimiyati dan Mudjiono, pelaksanaan proses belajar-mengajar akan berjalan dengan baik apabila sistem pendanaan dan distribusi sarana belajar-mengajar juga berjalan dengan teratur dan sistematis. Sarana dan prasarana ini meliputi beberapa hal, seperti gedung sekolah, ruang belajar, buku pelajaran, alat sekolah, laboratorium, fasilitas olahraga serta alat penunjang pembelajaran lainnya.2 Pada konteks kolonial, masalah tanggung jawab negara dalam menyediakan sarana dan fasilitas pendidikan duduk perkaranya menjadi lebih kompleks daripada sekarang. Pendidikan pada masa tersebut tidak menyentuh semua lapisan masyarakat, terutama
kalangan
bumiputera.
Pemerintah
Kolonial
menerapkan sistem pendidikan dualisme di Hindia Belanda. Hal ini membuat adanya jurang antara pendidikan untuk anakanak Eropa dengan pendidikan untuk anak-anak pribumi. Dimiyati dan Mudjiono. Belajar dan Pembelajaran. (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), hlm. 206. 2
2
Kebutuhan
pendidikan
untuk
kalangan
Eropa
sangat
diperhatikan oleh pemerintah kolonial, sementara kebutuhan pendidikan untuk kalangan bumiputera hanya diselenggarakan secara sederhana. Selain itu, tidak semua kalangan bumiputera dapat mengenyam pendidikan. Hanya anak-anak bumiputera kalangan
atas
saja
yang
mendapat
kemudahan
dalam
mengakses pendidikan Eropa.3 Penelitian
ini
hendak
mengkaji
kebijakan
pemerintah
tentang desentralisasi pendidikan dan pemberian subsidi di sekolah-sekolah rendah di Yogyakarta dari tahun 1907 sampai 1939. “Desentralisasi pendidikan” dimaknai sebagai upaya untuk mendelegasikan sebagian atau seluruh wewenang di bidang manajemen pendidikan yang seharusnya dilakukan oleh pejabat atau pemerintah pusat kepada pejabat atau pemerintah di daerah.4 Dalam konteks kebijakan kolonial, hal ini berarti bahwa pemerintah daerah atau pengelola sekolah diberi kewenangan
untuk
menyelenggarakan
dan
mengatur
kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan proses belajar-
H.A.R. Tilaar, Lima Puluh Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional 1945-1995: Suatu Analisis Kebijakan, (Jakarta: Grasindo, 1995), hlm. 30. 3
Yoyon Bahtiar Irianto, Kebijakan Pembaruan Pendidikan; Konsep, Teori dan Model. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 81. 4
3
mengajar, salah satunya menyangkut pada aspek pendanaan sekolah.
Sementara
pembahasan
ini
itu,
subsidi
merupakan
yang
bantuan
dimaksud yang
dalam
diberikan
pemerintah baik berupa barang maupun dana, terutama berkaitan
dengan
keberlangsungan
operasional
kegiatan
belajar-mengajar di sekolah. Desentralisasi pendidikan kolonial di abad keduapuluh, bermula dari kebijakan pemerintah kolonial yang menerapkan kebijakan politik Etis dengan menekankan tiga program penting untuk dijalankan, yakni pendidikan, irigasi, dan imigrasi.5 Pada awal 1900an pemerintah kolonial mendirikan sekolah-sekolah yang berorientasi Barat di wilayah Hindia Belanda, tidak terkecuali di wilayah Yogyakarta. Pendidikan Barat pada masa tersebut menjadi tumpuan masyarakat bumiputera untuk mendapatkan status dan kehidupan yang lebih
baik,
yang
berusaha
untuk
memenuhi
kebutuhan
pendidikan bagi masyarakat bumiputera.
Politik Etis digagas oleh Van Deventer melalui artikelnya berjudul “Hutang Kehormatan” yang dimuat dalam majala “De Gids” pada tahun 1899. Dalam artikel tersebut Van Deventer menonjolkan kewajiban moral bangsa yang mempunyai kebudayaan tinggi terhadap bangsa yang tertindas. Namun dalam prakteknya kebijakan perluasan pendidikan untuk bumiputera merupakan cara untuk melanggengkan kekuasaan di Hindia Belanda. Lihat S. Nasution, Sejarah Pendidikan Nasional, (Bandung: Jemmars, 1983), hlm 15. 5
4
Sejak awal abad XX, ketika pemerintah kolonial memberikan pendidikan untuk kalangan pribumi secara luas, telah terdapat gagasan agar pengelolaan sekolah-sekolah berada di bawah wewenang pemerintah daerah. Pemerintah kolonial pun telah mulai menerapkan sistem otonomi pemerintahan pada tahun 1903 dengan mengeluarkan Undang-Undang Desentralisasi (Decentralisatiewet). Berdasarkan undang-undang tersebut, di wilayah yang langsung berada di bawah pemerintahan Belanda dibentuk desa-desa otonom (Inlandsche gemeente), sementara daerah
yang
merupakan
berstatus
daerah
“Zelfbesturende
otonom
yang
tidak
Landschappen” dikuasai
secara
langsung oleh pemerintah kolonial. Sebagai contoh adalah Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Pakualaman serta beberapa kerajaan
di
Nusantara.
Daerah-daerah
otonom
ini
oleh
pemerintah kolonial diberi hak untuk mengatur rumah tangga pemerintahannya sendiri.6 Sejalan pemerintah
dengan
kebijakan
kolonial
juga
otonomi
memulai
usaha
pemerintahan, desentralisasi
pendidikan pada jenjang sekolah-sekolah rendah. Salah satu cara yang digunakan oleh pemerintah kolonial adalah dengan
Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara republik Indonesia (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 23-25. 6
5
memberikan
subsidi
pendidikan
kepada
sekolah-sekolah
rendah. Pada tahun 1907, Gubernur Jenderal Van Heutz menginstruksikan kepada para pejabat di bawahnya untuk membangun Volksschool atau Sekolah Desa dengan masa belajar
tiga
tahun
yang
bertujuan
untuk
mengajarkan
membaca, menulis dan berhitung kepada golongan bumi putera. Sekolah desa diharapkan menjadi titik awal kebijakan desentralisasi
pendidikan
rendah,
sebab
pendiriannya
menggunakan prinsip swasembada dan swadaya. Sebagian besar pembiayaan dan pemeliharaan sekolah desa berasal dari kas desa dan partisipasi masyarakat desa.7 Selama ini, sebagian besar studi dan penelitian sejarah mengenai pendidikan di Jawa hanya memfokuskan pada perkembangan
pendidikan
secara
umum
atau
dampak
perkembangan pendidikan itu sendiri. Misalnya S. Nasution8 membahas perkembangan pendidikan di Hindia Belanda secara umum pada periode 1892-1920. I.J. Brugmans juga membahas mengenai pendidikan di Indonesia secara umum dari masa
H.A.R. Tilaar, op. cit., hlm. 28. S.L. van Der Wal, Pendidikan di Hindia Belanda 1900-1940, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977), hlm. 198. 7
S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia. (Bandung: Jemmars, 1983). 8
6
Hindu, Islam, VOC hingga periode Hindia Belanda.9 Kemudian H.A.R. Tilaar menganalisis kebijakan-kebijakan pendidikan di Indonesia10,
serta
Abdurrahman
Surjomiharjo11
mengulas
pendidikan di wilayah Yogyakarta pada kurun waktu 18801930, ketika banyak sekolah partikelir berdiri di Yogyakarta di antaranya sekolah Taman Siswa dan Muhammadiyah. Akan tetapi, studi-studi ini belum mengkaji perihal pembiayaan sebagai
bagian
penelitian
ini
dari
otonomi
mencoba
sekolah.
mengkaji
Oleh
dampak
karena
itu,
desentralisasi
pendidikan rendah dan kebijakan subsidi pendidikan rendah di Yogyakarta pada kurun waktu 1907-1939.
b. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini mengkaji kebijakan desentralisasi pendidikan kolonial, diantaranya terkait dengan kebijakan pemerintah dalam hal pendirian volksschool (Sekolah Desa) serta pemberian subsidi di sekolah-sekolah rendah di Yogyakarta dari 1907 I.J. Brugmans, Geschiedenis van het Onderwijs in Nederlandsch- Indië, (Groningen-Batavia: J.B. Wolters Uitgevers Mij, 1938). 9
H.A.R. Tilaar, 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional 1945-1995: Suatu Analisis Kebijakan, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1995). 10
Abdurrahman Surjomihardjo, Kota Yogyakarta Tempo Doeloe; Sejarah Sosial 1880-1930, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008). 11
7
hingga sebagai
1939.
Pokok
berikut:
pendidikan
permasalahan
“sejauh
dan
mana
kebijakan
tersebut
kebijakan
subsidi
dirumuskan desentralisasi
sekolah
rendah
mempengaruhi pendidikan di Yogyakarta pada kurun waktu 1907-1939”. Pokok permasalahan ini akan diuraikan dalam pertanyaan penelitian, yaitu: 1.
Mengapa pemerintah kolonial mengambil kebijakan desentralisasi pada sektor pendidikan dasar di Jawa?
2.
Bagaimana
wujud
dan
dinamika
pelaksanaan
desentralisasi pendidikan dasar di Yogyakarta serta pemberian
subsidi
di
sekolah-sekolah
rendah
di
Jogjakarta? 3.
Seperti apa dampak yang timbul di Yogyakarta sebagai akibat dari kebijakan pemerintah kolonial mengenai subsidi dan desentralisasi pendidikan?
Ruang lingkup spasial dari penelitian ini adalah wilayah Yogyakarta, yang pada masa penjajahan Belanda dikenal sebagai bagian dari Vorstenlanden. Yogyakarta sebagai wilayah swapraja (vorstenlanden) memiliki kewenangan dalam hal pemerintahan yang berbeda dibandingkan dengan wilayah lain di
sekitarnya.
Kewenangan
ini
diantaranya
mencakup
pengaturan di bidang pendidikan dan kebijakan mengenai subsidi pendidikan. Tahun 1907-1939 diambil sebagai batas
8
temporal penelitian ini. Tahun 1907 menjadi batas awal penelitian ini dengan mengacu pada instruksi Gubernur Jenderal Van Heutz untuk mendirikan volksschool atau sekolah desa sebagai usaha untuk memperluas pendidikan untuk masyarakat bumiputera. Tahun 1939 merujuk pada rencana
besar
pemerintah
kolonial
untuk
melakukan
reorganisasi pendidikan rendah bumiputera atau dikenal dengan “doorbrekings-plan”. Doorbrekings-Plan adalah rencana perluasan sekolah Bumiputera secara besar-besaran yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Gagasan ini dikemukakan dalam surat Direktur Pendidikan dan Agama (Dr. P.J.A. Idenburg) kepada Gubernur Jenderal (Tjarda van Strakenborgh Stachouwer)
pada
tahun
1940.
Ide
perluasan
sekolah
bumiputera ini dilaksanakan terutama untuk memberantas buta huruf di kalangan bumiputera. Selain itu, kebijakan doorbrekings-plan ini dijalankan untuk merealisasikan janji pemerintah kolonial melaksanakan tanggung jawab untuk menyediakan pendidikan yang memadai.12
Perang Dunia II yang pecah pada 1940an mengakibatkan Doorbrekings-plan tidak sempat direalisasikan oleh pemerintah kolonial. Surat Direktur Pedidikan dan Agama (Dr. P.J.A. Idenburg) kepada Gubernur Jenderal (Tjarda van Starkenborgh Stachouwer), tanggal 8 Maret 1940.” dalam S.L. van Der Wal, Pendidikan di Indonesia 1900-1940 jilid II, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977), hlm. 298. 12
9
c. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, maka
penulisan
tesis
ini
bertujuan
untuk
mengungkap
perkembangan sekolah rendah di wilayah Yogyakarta berkaitan dengan adanya kebijakan desentralisasi pendidikan untuk tingkat sekolah rendah, serta melihat sejauh mana respon masyarakat terhadap pendidikan akibat adanya kebijakan untuk
subsidi
pendidikan.
Tulisan
ini
juga
bermaksud
menganalisis politik pendidikan pemerintah kolonial melalui kebijakan pendidikan yang diterapkannya di Hindia-Belanda, serta mengungkap sejauh mana tanggung jawab negara dalam hal menyediakan layanan pendidikan bagi warganya. d. Tinjauan Pustaka Beberapa pustaka membantu memberi pemahaman tentang kebijakan pendidikan pada masa kolonial di Hindia Belanda secara umum dan Jawa secara khusus. Salah satu pustaka yang membahas tentang dinamika pendidikan di Indonesia adalah “50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional 19451995: Suatu Analisis Kebijakan” karya H.A.R. Tilaar.13 Sesuai
H.A.R. Tilaar, 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional 1945-1995: Suatu Analisis Kebijakan, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1995) 13
10
judulnya, buku ini mengulas kebijakan-kebijakan pendidikan di Indonesia. Ary H. Gunawan dalam buku yang berjudul “Kebijakan-kebijakan Pendidikan di Indonesia”14 juga mengulas mengenai kebijakan di Indonesia. Walaupun sebagian besar pembahasan dalam kedua buku ini mengulas mengenai pendidikan di Indonesia pasca 1945, namun H.A.R. Tilaar dan Ary H. Gunawan juga mengulas kebijakan pendidikan yang diterapkan
Belanda
dan
Jepang
pada
masa
penjajahan.
Pendidikan pada kedua masa tersebut turut berpengaruh dalam membentuk sistem pendidikan nasional di Indonesia, terutama pendidikan pasca proklamasi 1945. Sementara itu, buku yang secara khusus mengkaji pendidikan di Yogyakarta adalah “Sejarah Pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta”15. Secara garis besar, buku ini memberikan gambaran mengenai perkembangan pendidikan di Yogyakarta dari masa pendidikan di Jaman Hindu-Budha dan Islam hingga pendidikan pasca kemerdekaan.
Ary H. Gunawan, Kebijakan-Kebijakan Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1986). 14
Dra. Sri Sutjianingsih dan Sutrisno Kutoyo (ed.), Sejarah Pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta, (Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981). 15
11
Pustaka lainnya adalah “Sejarah Pendidikan Nasional”16 dari S. Nasution. Buku ini menguraikan perkembangan pendidikan di Hindia-Belanda pada periode 1892 hingga 1920. Tahun 1892 disebutkan oleh pengarang buku ini sebagai awal berdirinya “Sekolah Kelas I” dan “Sekolah Kelas II”. Dibukanya sekolah tersebut membuka kesempatan bagi warga pribumi untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Buku ini memaparkan mengenai jenis-jenis sekolah di Hindia-Belanda dari jenjang rendah hingga pendidikan tinggi. Dalam buku ini, pembahasan mengenai jenis sekolah terbatas pada sekolah umum saja, dan tidak mencakup sekolah kejuruan. Sementara itu, buku Geschiedenis van het Onderwijs in Nederlandsch-Indie17
karya
I.J.
Brugmans
membahas
perkembangan pendidikan di Indonesia dari masa ke masa. Buku ini membahas perkembangan pendidikan secara umum dari masa Hindu, Islam, VOC hingga masa Hindia Belanda. Selain itu, Brugmans juga menguraikan peranan sistem pendidikan
yang
diterapkan
pemerintah
Hindia
Belanda
terhadap pendidikan bumiputera.
S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia. (Bandung: Jemmars, 1983). 16
I.J. Brugmans, Geschiedenis van het Onderwijs in Nederlandsch-Indie, (Groningen-Batavia: J.B. Wolters Uitgevers Mij, 1938). 17
12
Karya Abdurrahman Surjomihardjo yang berjudul Kota Yogyakarta Tempo Doeloe: Sejarah Sosial 1880-193018 menjadi salah
satu
acuan
dalam
menjelaskan
bagaimana
perkembangan sosial di Yogyakarta. Sebagai sebuah kota kerajaan yang bersinggungan dengan kekuasaan kolonial, Yogyakarta
mengalami
beberapa
penyesuaian
dengan
kebudayaan kolonial pada akhir abad XIX hingga awal abad XX. Dengan menggunakan konsep sejarah sosial, buku ini mengkaji hubungan lembaga pendidikan, pergerakan nasional dan pers di wilayah Yogyakarta. Ketiga unsur tersebut menjadi hal yang berpengaruh dalam perkembangan kota Yogyakarta. Referensi lain yang dapat memberi gambaran mengenai keadaan
sosial
masyarakat
di
Yogyakarta
adalah
buku
karangan Selo Soemardjan yang berjudul Perubahan Sosial di Yogyakarta.19 Dalam buku ini disebutkan tentang keadaan sosial masyarakat Yogyakarta sejak jaman penjajahan Belanda hingga masa setelah Indonesia merdeka. Buku ini juga menceritakan tentang keadaan pemerintahan sejak jaman
Abdurrahman Surjomuhardjo, Kota Yogyakarta Tempo Doeloe; Sejarah Sosial 1880-1930, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008). 18
Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta. (Yogyakarta: Gadjah Mada University, 1986). 19
13
kemerdekaan dan juga mengenai pendidikan yang ada di Yogyakarta. Tulisan dari Agus Suwignyo “The Great Depression and the Changing Trajcetory of Public Education Policy in Indonesia, 1930-1942” salah satu karya yang cukup membantu memberi gambaran bagaimana kebijakan pendidikan pada kurun waktu 1930-1942.20 Tulisan ini secara khusus membahas mengenai perkembangan
pendidikan
di
Hindia
Belanda
mengalami
kemajuan yang cukup signifikan pada kurun waktu 1900-1930. Namun
perkembangan
pendidikan
tersebut
mengalami
penurunan ketika depresi ekonomi melanda Hindia Belanda pada 1930an. Salah satu dampak yang cukup terasa dari Depresi Ekonomi tersebut adalah dipangkasnya pos anggaran pendidikan oleh pemerintah kolonial. Dampak lain yang cukup terasa dari Depresi Ekonomi adalah membuat Pemerintah Kolonial mengurangi sejumlah sekolah berbahasa Belanda dan menggantinya menjadi pendidikan berbasis pribumi. e. Kerangka Pemikiran Penelitian tesis ini termasuk kajian politik pendidikan. Dinamika
pendidikan
tidak
dapat
dilepaskan
dari
Agus Suwignyo, “The Great Depression and the changing trajectory of public education policy in Indonesia, 1930–42.” Journal of Southeast Asian Studies, 44. (2013), pp 465-489, via journal.cambridge.org. 20
14
perkembangan aspek-aspek politik, ekonomi, dan sosial, sebab pendidikan mencapai
menjadi tujuan
salah
satu
kebijakannya.
alat
pemerintah
Pendidikan
untuk
memiliki
arti
sebagai usaha untuk menuntun segala kekuatan yang ada pada
diri
anak, agar
dapat
mencapai
keselamatan
dan
kebahagiaan yang setinggi-tingginya, baik sebagai manusia maupun
sebagai
pendidikan,
anggota
manusia
masyarakat.
diharapkan
dapat
Dengan
adanya
tumbuh
menjadi
seseorang yang beradab dan dapat mengendalikan diri.21 Pendidikan juga dipandang sebagai human investment yang diharapkan dapat mencetak sumber daya manusia yang dapat menjadi penggerak roda perekonomian apabila dipandang dari aspek ekonomi.22 Dalam konteks kehidupan bernegara, pemerintah memiliki kewajiban
dan
tanggung
jawab
untuk
mengusahakan,
menyediakan dan menyelenggarakan kegiatan pendidikan. Di negara Indonesia yang merdeka, kewajiban pemerintah untuk menyediakan
pendidikan
tersebut
diperkuat
dengan
Amandemen UUD 1945 pasal 31 ayat (2) yang menyatakan Kumpulan Buklet Hari Bersejarah I, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994), hlm. 79. 21
Yoyon Bahtiar Irianto, Kebijakan Pembaruan Pendidikan: Konsep, Teori dan Model, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 5. 22
15
bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Sementara itu, setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan. Hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan ini tertuang dalam Amandemen UUD 1945 Pasal 31 ayat (1). Kewajiban pemerintah dalam memenuhi hak pendidikan bagi rakyatnya setidaknya
mencakup
penyediaan
sarana
dan
fasilitas
pendidikan untuk rakyatnya, serta menjamin rakyat mendapat kemudahan mengakses pendidikan.23 Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk serta berkembangnya tanggung
jawab
peradaban
masyarakat,
pemerintah
pusat
bertambah untuk
pula
menjamin
kesejahteraan warga negaranya. Oleh karena itu, diperlukan pengalihan wewenang terhadap pengaturan dan pengawasan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Hal ini kemudian direalisasikan dengan pembentukan daerah-daerah otonom yang diberi kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengatur kegiatan pemerintahan di tingkat daerah atau disebut dengan desentralisasi pemerintahan. Sebagaimana
“Pendidikan adalah Tanggung Jawab Pemerintah” dalam: http://www.kompasiana.com/trianaevachristine/pendidikanadalah-tanggung-jawabpemerintah_55007467a33311fb6f511163, diakses pada Kamis, 1 Oktober 2015, pukul 13.52 WIB. 23
16
dikutip oleh Ahmad Khairuddin, Rondinelli menyatakan bahwa desentralisasi adalah upaya pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan kepada level bawah dalam suatu organisasi atau lembaga pemerintahan.24 Rondinelli secara lebih rinci membagi desentralisasi menjadi dua bentuk, yakni desentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional. Desentralisasi fungsional adalah pemberian wewenang kepada lembaga atau organisasi untuk menjalankan fungsi atau tugas tertentu.
Sementara
itu,
desentralisasi
teritorial
adalah
memindahkan kewenangan kepada wilayah kerja lembaga yang lebih sempit.25 Pada penelitian ini, konsep desentralisasi pemerintahan merupakan payung besar yang menaungi berbagai macam bidang dalam konteks negara kolonial. Salah satunya adalah desentralisasi pendidikan
pada pada
bidang masa
pendidikan. kolonial
Desentralisasi
diawali
dengan
diberlakukannya UU Desentralisasi pada tahun 1903 atau Ahmad Khairuddin, Fenomena Keadilan dalam Otonomi Daerah dalam Bungaran Antonius, et.al. (eds.), Otonomi Daerah, Etnonasionalisme dan Masa Depan Indonesia, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), hlm. 78-79. 24
Rondineli, D. A., 1981. “Government Decentralization in Comparative Perspective: Theory and Practice in Developing Countries”. International Review of Administrative Science, Volume 47, pp. 133-145. 25
17
dikenal dengan Decentralisatie-wet. Sistem pemerintahan yang menerapkan
otonomi
di
daerah,
kemudian
mendorong
terjadinya desentralisasi pada bidang pendidikan. Adanya desentralisasi pendidikan, diharapkan mendorong partisipasi masyarakat untuk mengembangkan pendidikan. Akan tetapi jika ditinjau dengan perspektif saat, desentralisasi pendidikan pada masa kolonial memiliki tujuan yang cukup kompleks. Hal ini karena desentralisasi pendidikan yang diterapkan di Hindia-Belanda kental dengan tujuan politik yang ingin dicapai oleh pemerintah kolonial. Paulo Freire menyatakan bahwa pendidikan merupakan sebuah pilot project dan agen untuk melakukan perubahan sosial guna membentuk masyarakat baru.26 Mengacu pada konsep yang dikemukakan Paulo Freire, pendidikan merupakan salah satu faktor terjadinya perubahan sosial pada masyarakat. Pada konteks pendidikan kolonial, pendidikan Eropa yang diberikan kepada kalangan bumiputera mampu mengubah tatanan sosial masyarakat, terutama pada masyarakat Jawa yang ditandai dengan lahirnya golongan baru yang dikenal sebagai kalangan intelektual bumiputera. Pendidikan pada masa kolonial juga tidak dapat dilepaskan dari kepentingan Paulo Freire, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 5. 26
18
politik
Pemerintah
Hindia
Belanda.
Segala
kebijakan
pendidikan yang diterapkan mengandung tujuan politik yang bertujuan untuk memberikan keuntungan bagi pemerintah kolonial. Pendidikan yang diperkenalkan oleh pemerintah Hindia-Belanda tidak hanya sekedar untuk meningkatkan kemampuan
intelektual
masyarakat
bumiputera,
namun
memiliki tujuan untuk menciptakan tenaga kerja murah dari kalangan bumiputera.27 Pada
masa
pemerintahan
kolonial
Hindia-Belanda,
kebijakan pendidikan berkaitan erat dengan kebijakan politik pemerintah
kolonial.
Hal
ini
mengakibatkan
kebijakan
pendidikan tidak hanya dimaknai sebagai tanggung jawab negara (pemerintah kolonial), namun juga diterapkan untuk mencapai tujuan politik pemerintah kolonial. Pada masa kolonial, pemerintah Hindia-Belanda sebagai penyelenggara negara terkesan bersikap setengah hati dalam menjalankan tanggung jawab pendidikan menyelenggarakan pendidikan, terutama pendidikan untuk bumiputera. Pemerintah justru mengalihkan tanggung jawab menyelenggarakan pendidikan kepada
pihak
lain
dengan
menerapkan
desentralisasi
pendidikan serta subsidi pendidikan. Kedua kebijakan ini, Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme sampai Nasionalisme jilid 2 (Jakarta: PT. Gramedia, 1990), hlm. 217. 27
19
desentralisasi pendidikan dan subsidi pendidikan, merupakan rangkaian dari kebijakan politik Etis yang diterapkan pada awal abad XX. Politik Etis yang digagas oleh Van Deventer, memiliki tiga program utama, yakni edukasi, imigrasi, dan irigasi. Politik Etis tidak hanya dianggap sebagai politik moral atau politik balas budi,
namun
juga
dimaknai
sebagai
politik
perwalian.
Sebagaimana dikutip oleh Elsbeth Loche-Scholten, Kuyper sebagai salah satu tokoh yang mengemukakan gagasan politik perwalian menyatakan bahwa konsep yang juga dikenal dengan “pemerintahan Hindia demi Hindia” merupakan pemisahan urusan keuangan Hindia dengan pemerintah kerajaan Hindia. Kebijakan politik etis yang diterapkan pada tahun 1900 kemudian meluas pada beberapa bentuk kebijakan, seperti perluasan
pendidikan
bumiputera
dan
desentralisasi
pemerintahan. Kebijakan-kebijakan ini mengacu pada tujuan politik
etis
untuk
mensejahterakan
masyarakat
Hindia-
Belanda.28
Elsbeth Locher Scholten, Etika yang Berkeping-keping; Lima Telaah Kajian Aliran Etis dalam Politik Kolonial 18771942, Jakarta: Djambatan, 1996, hlm. 246-247. 255. 28
20
Dalam penelitian ini, desentralisasi pendidikan diartikan pengalihan tanggung jawab pengadaan dan penyelenggaraan sekolah untuk bumiputera dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Hal ini ditandai dengan kebijakan yang diterapkan pada tahun 1907. Pada tahun tersebut, Gubernur Jenderal J.B. Van Heutz mendirikan volksschool (sekolah desa). Volksschool merupakan lembaga pendidikan sederhana bagi masyarakat bumiputera yang penyelenggaraan dan kegiatan operasionalnya masyarakat
dibebankan
desa.
Pendirian
kepada
pemerintah
volksschool
ini
dan
merupakan
rangkaian dari kebijakan desentralisasi pemerintahan yang diterapkan
pemerintah
kolonial
mulai
tahun
1903
(Decentralisatiewet).29 Pendirian volksschool (Sekolah Desa) tidak hanya dimaknai sebagai bagian dari kebijakan desentralisasi pendidikan pada Keberadaan volksschool sendiri selama ini hanya dilihat sebagai bagian dari keberhasilan pemerintah kolonial (Gubernur Jenderal Van Heutz) dalam memenuhi ketersediaan sekolah bagi masyarakat bumiputera. Namun jika dicermati secara seksama, keberadaan volksschool merupakan bagian dari politik pendidikan pemerintah kolonial untuk melimpahkan kewajiban menyelenggarakan pendidikan kepada pemerintah daerah dan masyarakat desa. “Surat Sekretaris Pemerintah kelas I kepada Pj. Direktur Pendidikan, Agama dan Kerajinan (J.G. Pott) tanggal 27 Oktober 1905 no. 3679.” dalam S.L. van Der Wal, Pendidikan di Indonesia 1900-1940 (jilid I), (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977), hlm. 58-60. 29
21
masa kolonial, namun juga bertujuan untuk menumbuhkan partisipasi
masyarakat
untuk
turut
mengembangkan
pendidikan. Hal ini merupakan strategi politik dari pemerintah kolonial agar tanggung jawab pendidikan tidak hanya dipikul sendiri oleh pemerintah kolonial (pemerintah pusat), namun dapat dipikul oleh pemerintah daerah dan juga masyarakat desa. Salah satu bagian dari kebijakan desentralisasi pendidikan adalah penerapan subsidi pendidikan terhadap sekolah-sekolah rendah. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, subsidi diartikan sebagai tunjangan berupa uang dan sebagainya.30 Menurut M. Suparmoko, dalam teori ekonomi subsidi dapat diberikan
dengan
dengan
dua
cara.
Pertama
dengan
memberikannya secara langsung dalam bentuk uang, sebagai tambahan penghasilan kepada konsumen untuk meningkatkan daya
belinya.
Kedua,
subsidi
diberikan
dalam
bentuk
penurunan harga barang dan jasa sehingga konsumen dapat mengaksesnya.31 Dalam penelitian ini, subsidi pendidikan mengacu pada pemberian bantuan dari pemerintah pusat kolonial di Batavia kepada pemerintah daerah yang diberi W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976), hlm. 968. 30
M. Suparmoko, Asas-Asas Ilmu Keuangan Negara, (Yogyakarta:BPFE, 1980), hlm. 44. 31
22
kewenangan untuk menyelenggarakan pendidikan serta kepada pihak swasta yang mengusahakan pendidikan dalam rangka meluaskan akses pendidikan, terutama pendidikan untuk kalangan pribumi. Subsidi pendidikan juga merupakan bagian dari
kebijakan
pemerintah
kolonial
untuk
melakukan
pemerataan akses pendidikan bumiputera. Baik kebijakan desentralisasi
pendidikan
maupun
subsidi
pendidikan,
merupakan bentuk pelayanan pendidikan yang diberikan oleh pemerintah kolonial sebagai pemerintah kepada rakyatnya, walaupun pemerintah kolonial memiliki tujuan politik terhadap kebijakan yang diterapkannya tersebut. f. Metode Penelitian Metode penelitian sejarah merupakan sebuah rangkaian prosedur heuristik,
penelitian kritik
yang
sumber,
meliputi
empat
interpretasi,
tahapan
dan
yaitu,
historiografi.
Keempat tahapan ini merupakan upaya untuk merekonstruksi sebuah peristiwa sejarah dan menghadirkannya dalam bentuk yang objektif, serta dalam rangka menghasilkan karya sejarah yang deskriptif dan analitis.32
Metode sejarah adalah sekumpulan prinsip-prinsip atau aturan-aturan yang sistematis, dalam usaha untuk mengumpulkan bahan-bahan bagi sejarah, menilai secara kritis, kemudian menjelaskan dalam sebuah sintesis, Nugroho Notosusanto, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer, 32
23
Sumber yang digunakan dalam penelitian sejarah ini berupa sumber arsip, dan juga literature atau sumber sekunder. Sumber arsip yang dimaksud merupakan dokumen sejarah atau arsip yang sejaman dengan penelitian ini. Sumber-sumber arsip atau sumber primer untuk penulisan ini mencakup datadata berupa kumpulan arsip mengenai pendidikan di Hindia Belanda yang dibukukan oleh S.L. Van Der Wal, Staatsblad, Rijksblad, Algemeen Verslag, Kolonial Verslag dan Onderwijs Statistiek. Data-data ini dapat diakses di Kantor Arsip Widya Budaya Pura Pakualaman, Perpustakaan Sonobudoyo, Koleksi Langka BPAD DIY, Hatta Corner Perpustakaan Pusat UGM, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) serta Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Sumber-sumber primer tersebut dilengkapi dengan sumber sekunder berupa jurnal, artikel, maupun buku-buku yang memiliki keterkaitan dengan tema yang diangkat dalam penelitian ini. Sumber sekunder berupa buku-buku dan literature pendukung dapat diakses di perpustakaan
FIB
UGM,
perpustakaan
pusat
UGM,
perpustakaan Pusat Studi Asia Tenggara UGM, Jogja Library Center, serta Perpustakaan Balai Pelestarian Nilai dan Budaya (BPNB) DIY. (Jakarta:Inti Idayu, 1978), hlm. 10-12. Teuku Ibrahim Alfian (ed.), Tentang Metodologi Sejarah dari Babat sampai Sejarah Kritis, (Yogyakarta: UGM Press, 1992), hlm.413.
24
g. Sistematika Penulisan Mengacu pada rumusan masalah dan pertanyaan penelitian yang telah disebutkan pada sub-bab sebelumnya, tulisan ini akan diawali dengan paparan mengenai kondisi pendidikan di Jawa sebelum pemerintah kolonial menerapkan kebijakan desentralisasi pendidikan atau sebelum tahun 1907. Tulisan ini kemudian menjelaskan Yogyakarta sebagai daerah otonom yang ditinjau dari segi sosial, budaya dan demografi penduduknya (BAB
II).
desentralisasi
Pembahasan
selanjutnya
pemerintahan
dan
mengenai
pendidikan
sistem
di
Jawa.
Kebijakan desentralisasi pendidikan rendah di Jawa dimulai pada tahun 1907, yakni dengan berdirinya volksschool (sekolah desa) sebagai lembaga pendidikan milik desa. Kebijakan Desentralisasi Desentralisasi
pendidikan
merupakan
Pemerintahan
rangkaian
dari UU
(Decentraliesatiewet)
yang
diterapkan oleh pemerintah kolonial pada tahun 1903. Baik kebijakan desentralisasi pemerintahan maupun desentralisasi pendidikan, keduanya merupakan kebijakan turunan dari Politik Etis yang mulai diterapkan oleh pemerintah kolonial pada tahun 1901. Pembahasan mengenai desentralisasi pada bab ini mengerucut pada sistem desentralisasi pendidikan yang
25
diterapkan di Yogyakarta(BAB III). Pembahasan selanjutnya adalah
mengenai
kebijakan
dan
praktik
desentralisasi
pendidikan di Yogyakarta, terutama mengenai subsidi untuk sekolah rendah di Yogyakarta. Pembahasan kemudian juga meluas pada dampak kebijakan desentralisasi pendidikan terhadap perkembangan pendidikan di Yogyakarta (BAB IV). Tulisan ini akan diakhiri dengan kesimpulan atas pembahasanpembahasan
pada
bab-bab
sebelumnya
(BAB
V).
26
27